TINJAUAN PUSTAKA Konsep Corporate Social Responsibility Tanggung jawab sosial perusahaan tertuang dalam program atau kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR pertama kali muncul dalam diskusi resmi akademik sejak munculnya tulisan Howard Rothman Bowen berjudul Social Responsibility of the Bussinesman pada tahun 1953. Pertemuan World Business Council for Sustainability Development (WBCSD) di New York 2005, yang menghasilkan kesepakatan bahwa praktik CSR adalah wujud komitmen dunia bisnis membantu PBB merealisasikan target Millenium Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan dan kelaparan pada Tahun 2015 (Hardinsyah 2007). Sebagai sebuah konsep yang makin populer, CSR ternyata belum memiliki definisi yang tunggal. Pengertian CSR telah dikemukakan oleh banyak pakar dan lembaga-lembaga yang terkait. CSR Forum memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment”. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120 perusahaan multinasional yang berasal lebih dari 30 negara, dalam publikasinya Making Good Business Sense, mendefinisikan CSR, yaitu; “Corporate social responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life the workforce and their families as well as of the local community and society at large.” Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah, CSR adalah komitmen dari bisnis atau perusahaan untuk berperilaku etis, dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas. Definisi CSR menurut Bank Dunia, yaitu lembaga keuangan global merumuskan: “Corporate Social Responsibility is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”. Uni Eropa sebagai lembaga perhimpunan negara-negara di benua Eropa merumuskan pengertian CSR dalam EU Green Paper on CSR sebagai “CSR is a 7 concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on voluntary basic”. Secara prinsip rumusan WBCSD dengan World Bank sama-sama menekankan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja sama dengan karyawan, keluarga karyawan, dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Namun demikian, rumusan Bank Dunia menambahkan penekanan pada kemanfaatan dari aktivitas CSR tersebut, bermanfaat bagi usaha dan pembangunan (in ways that are both good for business and good for development), sedangkan pengertian dari Uni Eropa hanya menggambarkan CSR sebagai suatu konsep, bagaimana suatu perusahaan berusaha mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan serta stakeholders atas dasar “voluntary” dalam melakukan aktivitas usahanya. Pengintegrasian ini tidak hanya kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi meliputi kerelaan berinvestasi ke dalam modal manusia, lingkungan dan hubungan dengan stakeholders. Berdasarkan rumusan dari berbagai lembaga formal tersebut, saat ini belum ditemui kesepakatan bakunya. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat CSR adalah sebuah konsep yang berkembang dengan cepat, sehingga definisinya pun juga bisa berubah-ubah menyesuaikan dengan perkembangannya. Namun demikian, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan (Wibisono 2007). CSR hadir sebagai jalan tengah untuk tetap mempertahankan nilai kebermanfaatan perusahaan dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dalam menciptakan kebermanfaatan tersebut. Tujuan ini tidak akan tercapai tanpa adanya kerjasama sinergis antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah. Hal ini dikarenakan perusahaan adalah agen yang melakukan aksi, masyarakat adalah agen sasaran dan sekaligus stakeholders, sementara pemerintah adalah agen yang berposisi sebagai regulator. Integrasi program CSR dengan berbagai kebijakan stakeholders tersebut kini telah menjadi suatu kebutuhan. Artinya, kebijakan CSR jangan hanya eksklusif di dalam perusahaan, melainkan harus terintegrasi dengan kebijakan pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Bagi masyarakat, CSR merupakan 8 ruang aktualisasi pengembangan sumberdaya yang pada akhirnya dapat mendukung peningkatan kesejahteraan. Bagi pemerintah, dengan adanya CSR, perusahaan menjadi partner dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang menjadi agenda pemerintah, seperti kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan lingkungan. Sedangkan bagi perusahaan, CSR bermanfaat untuk menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan pemerintah, dan pada saat yang sama berguna untuk mendukung kinerja melalui image korporasi. Melalui kerjasama ini, harapan akhirnya adalah tercapainya kebaikan bagi lingkungan, masyarakat, pemerintah, dan juga bagi perusahaan (Soemanto et al. 2007). CSR dapat didefinisikan sebagai upaya manajemen yang dijalankan oleh entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial dan lingkungan dengan meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif di setiap pilar (Leimona & Fauzi 2008). Kotler dan Lee (2005) memberikan rumusan: “corporate social responsibility is a commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources”. Pada definisi tersebut, Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata discretionary yang berarti kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan perundang - undangan seperti kewajiban untuk membayar pajak atau kepatuhan perusahaan terhadap undang - undang ketenagakerjaan. Kata discretionary juga memberikan nuansa bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas CSR haruslah perusahaan yang telah menaati hukum dalam pelaksanaan bisnisnya. Meski memiliki banyak definisi, namun secara esensi CSR merupakan wujud dari giving back dari korporat kepada komunitas. Perihal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan dan menghasilkan bisnis berdasar pada niat tulus guna memberikan kontribusi yang paling positif pada komunitas (stakeholders) (Rahman 2009). CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines, yaitu profit, people, dan planet. a. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang b. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti 9 pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendiri sarana pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan ada yang merancang berbagai skema perlindungan sosial warga setempat c. Planet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan pemukiman, dan pengembangan pariwisata (ecotourism) (Wibisono 2007). CSR yang memiliki paradigma Good Corporate Citizenship dalam pelaksanaannya berfokus pada kontribusi suatu perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang mengalami metamorphosis, dari yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemandirian masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambadar 2008). Metamorfosis kontribusi perusahaan tersebut diungkapkan oleh Saidi dan Abidin (2003) yang dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Metamorfosis CSR No. Paradigma Charity 1 Motivasi Agama, tradisi, adaptasi 2 Misi 3 Pengelolaan 4 Pengorganisasian Mengatasi masalah setempat Jangka pendek, mengatasi masalah sesaat Kepanitiaan 5 Penerima Manfaat Kontribusi 6 Orang miskin Hibah sosial 7 Inspirasi Kewajiban Sumber : Saidi dan Abidin (2003) Philantropy Good Corporate Citizenship (GCC) Norma, etika dan Pencerahan diri hukum universal dan rekonsiliasi dengan ketertiban social Mencari dan Memberikan mengatasi akar kontribusi terhadap masalah masyarakat Terencana, Terinternalisasi terorganisasi, dan dalam kebijakan terprogram perusahaan Yayasan/dana Keterlibatan baik pribadi/ dana maupun profesionalitas sumberdaya lain Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan Hibah Hibah (sosial dan pembangunan pembangunan serta keterlibatan sosial) Kepentingan bersama Program CSR Kotler dan Lee (2005) mengidentifikasi lima pilihan program bagi perusahaan untuk melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan berbagai masalah sosial sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab 10 sosial perusahaan, yaitu : a. Cause promotions, dalam bentuk memberikan kontribusi dana atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah - masalah sosial tertentu, seperti bahaya narkoba b. Cause related marketing, yaitu bentuk kontribusi perusahaan dengan menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan donasi bagi masalah sosial tertentu, untuk periode atau produk tertentu c. Corporate social marketing, membantu pengembangan maupun implementasi dari kampanye dengan fokus untuk mengubah perilaku tertentu yang mempunyai pengaruh negatif, misalnya berupa inisiatif perusahaan dengan memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering dalam bentuk donasi atau sumbangan tunai d. Community volunteering, memberikan bantuan dan mendorong karyawan serta mitra bisnisnya secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat setempat e. Social responsible business practices, berupa insiatif perusahaan untuk mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta investasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan Berbagai model CSR diterapkan oleh perusahaan di Indonesia. Terdapat empat model atau pola CSR yang umum diterapkan (Saidi & Abidin 2003), yaitu: a. Keterlibatan langsung Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari bagian public relation. b. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan - perusahaan di negara maju. Perusahaan biasanya menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. 11 c. Bermitra dengan pihak lain Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial atau organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. d. Mendukung atau bergabung dalam satu konsorsium Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Apabila dibandingkan dengan model lainnya, model ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu mendukungnya yang secara dipercayai proaktif oleh perusahaan mencari mitra - perusahaan kerjasama dari yang lembaga operasional. Lingkup pelaksanaan CSR menurut gagasan dari Prince of Wales International Forum terdiri dari lima pilar (Wibisono 2007), yaitu: a. Upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal (masyarakat sekitar) dengan cara melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan pada mereka b. Memberdayakan ekonomi komunitas c. Menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik d. Mengimplementasikan tata kelola yang baik e. Memperhatikan kelestarian lingkungan Tahap-tahap dalam penerapan CSR yang dilakukan perusahaan pada umumnya adalah sebagai berikut : 1. Tahap perencanaan; tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu awareness building, CSR assesment, dan CSR manual building. 2. Tahap implementasi; tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi. Tahap pengorganisasian yaitu penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. 3. Tahap evaluasi; tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR. 12 4. Pelaporan; tahap ini dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka (Suharto 2005). Menurut Ife (1995), pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: - Pilihan - pilihan personal dan kesempatan - kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusan - keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan - Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya - Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan - Lembaga - lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata - pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan - Sumber - sumber: kemampuan memobilisasi sumber - sumber formal, informal dan kemasyarakatan - Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa - Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu - individu 13 yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Dalam konteks pekerjaan sosial, terdapat strategi pemberdayaan yang dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment setting): mikro, mezzo, dan makro. 1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugas - tugas kehidupannya. Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach). 2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketrampilan dan sikap - sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. 3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi - situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Suharto 2005). Payne (1997) dalam Adi (2003), mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya 14 untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan dilakukan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Sebaiknya, orang - orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan beradaptasinya. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat (Hikmat 2004). Pemberdayaan Keluarga Keluarga adalah suatu kelompok dari orang - orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan - peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak laki laki dan perempuan, saudara laki - laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU nomor 52 Tahun 2009). Menurut Mattesich dan Hill dalam Megawangi (1999), keluarga merupakan suatu kelompok dimana anggotanya memiliki hubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang erat. Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. 15 Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama keluarga adalah “Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera” (Megawangi 1994). Keluarga mempunyai karakteristik sosial (pendidikan, pekerjaan, status sosial), ekonomi (pendapatan, jumlah aset), demografi (jumlah anak, umur orangtua, tempat tinggal). Setiap keluarga mempunyai tujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah atau mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin (fisik, ekonomi, sosial, psikologi, spiritual, mental). Keluarga merupakan unit sosial terkecil pembangun institusi masyarakat. Perhatian terhadap keluarga sebagai institusi sosial terkecil diawali oleh kajian bahwa masalah sosial berkaitan dengan kehidupan keluarga, sehingga banyak para pembaharu sosial yang memandang bahwa keluarga sebagai dasar kesehatan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya manusia (SDM), keluarga merupakan institusi pertama dan utama penentu pembangunan SDM. Terdapat dua penjelasan sederhana terhadap konsep atau kerangka fikir tersebut. Pertama adalah karena di keluargalah seorang individu tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat, bahkan pemimpin bangsa dan negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti 2001). Terdapat berbagai alasan pentingnya pemberdayaan keluarga, yaitu: (1) kedudukan keluarga dalam sistem sosial yang lebih luas, dimana keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempengaruhi dan dipengaruhi sistem lainnya; (2) fakta yang menunjukkan masih banyaknya keluarga yang hidupnya marjinal, miskin, tidak sejahtera, dan (3) pada hakekatnya seluruh kegiatan pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan individu, keluarga, dan masyarakat. Kesejahteraan keluarga merupakan indikator keberhasilan seluruh kegiatan pembangunan. Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat keluarga, terutama keluarga miskin atau keluarga tidak sejahtera atau istilah lainnya yang menunjukkan masih belum berfungsinya keluarga, sehingga 16 tidak bisa mencapai tujuan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain, memberdayakan keluarga adalah memampukan dan memandirikan keluarga. Keberdayaan keluarga merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu keluarga bertahan, dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuannya (Sunarti 2010). Berdasarkan pengertiannya, maka pemberdayaan keluarga memiliki dimensi tujuan yang luas dan beragam, yaitu: - Membantu sasaran untuk menerima/melewati/menjalani/mempermudah proses perubahan yang harus/akan dijalani/ditemui individu/keluarga - Menggali potensi laten anggota keluarga (kepribadian, ketrampilan manajerial, dan ketrampilan kepemimpinan) - Mendorong sasaran agar memiliki daya ungkit/daya lompat serta sebagai lecutan untuk lari mengejar cita-cita keluarga - Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan hidup seluruh anggota keluarga sepanjang tahap perkembangan dan siklus hidupnya - Membangun daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan agar mampu menjalani kehidupan dengan sukses tanpa kesulitan dan hambatan yang berarti - Membina dan mendampingi proses perubahan sampai pada tahap kemandirian dan tahapan tujuan yang dapat diterima Agar tujuan pemberdayaan keluarga dapat tercapai, maka perlu memperhatikan beberapa prinsip penting pemberdayaan keluarga. Beberapa prinsip penting tersebut di antaranya adalah: - Pemberdayaan keluarga hendaknya tidak memberikan bantuan atau pendampingan yang bersifat charity yang akan mendatangkan ketergantungan dan melemahkan, melainkan bantuan, pendampingan, dan pelatihan yang mempromosikan self reliance dan meningkatkan kapasitas sasaran pemberdayaan - Hendaknya menggunakan metode pemberdayaan yang menjadikan pihak yang dibantu menjadi lebih kuat melalui latihan daya juang/tahan, menghadapi masalah “kenelangsaan” - Meningkatkan partisipasi yang membawa pihak yang diberdayakan meningkat kapasitasnya 17 - Menjadikan pihak yang diberdayakan mengambil kontrol penuh, pengambilan keputusan penuh, dan tanggung jawab penuh untuk melakukan kegiatan yang akan membawanya menjadi lebih kuat Dampak Program CSR terhadap Masyarakat Lokal Berdasarkan penelitian Zaleha (2008) mengenai peranan CSR PT. Inalum Divisi PLTA Siguragura terhadap pengembangan sosio ekonomi masyarakat Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir menyatakan bahwa pendidikan dan pendapatan nominal masyarakat sebelum dan sesudah adanya program CSR berbeda nyata, tetapi pendapatan riil tidak berbeda nyata. Ditinjau dari pendapatan nominal, bantuan memberikan peran terhadap ekonomi karyawan dan masyarakat, namun secara riil belum berperan akibat inflasi yang tinggi pada tahun 2005. Peran CSR terhadap ekonomi lokal adalah adanya 17 unit usaha mitra kontraktor sebagai rekanan PT. Inalum yang dapat menyerap tenaga kerja masyarakat. Hasil penelitian Utomo (2010) mengenai dampak pelaksanaan program CSR PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk terhadap masyarakat lokal menyatakan bahwa dampak dari program CSR PT. Indocement yang dirasakan oleh warga Desa Nambo adalah perubahan tingkat pengetahuan, tingkat kesehatan, dan berkurangnya jumlah pengangguran. Karena mereka (penerima program) berpendapat bahwa program tersebut bermanfaat baik dalam meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan berusaha, serta meningkatkan penghasilan. Namun, dampak yang dirasakan hanya sedikit dan lebih besar kepada penerima program. Hal ini didasarkan oleh data jumlah pengangguran yang berkurang dari program CSR (ayam petelur) hanya lima belas orang (terdiri dari 11 peternak, 3 karyawan ternak, dan 1 distributor) dari 3.657 orang pengangguran di Desa Nambo. Perubahan sosial yang terjadi akibat program CSR PT. Indocement secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas. Hasil penelitian Asrianti (2010) mengenai Analisis Pola Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Holcim Indonesia menunjukkan secara agregat pengembangan masyarakat telah dilakukan dalam kegiatan CSR berupa Baitul Maal Wa Tamwil. Penelitian dilakukan dengan membagi komunitas pada tiga lapisan sosial. Hasil menunjukkan secara dampak ekonomi seluruh kelas sosial mengalami dampak ekonomi. Hal ini artinya bahwa terjadi peningkatan yang positif bagi aspek ekonomi. Namun pada dampak sosial, lapisan bawah 18 belum mengalami dampak yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang negatif pada lapisan bawah. Berbeda dengan lapisan menengah dan atas yang bernilai positif. Perbedaan ini dapat disebabkan karena banyak faktor, salah satunya adalah budaya yang ada di masyarakat. Budaya akan mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan seseorang dalam memahami suatu kegiatan yang diikutinya. Penelitian Rachmidar (2009) mengkaji pengaruh pengembangan Kampung Wisata Cinangneng terhadap taraf hidup masyarakat sekitar. Penelitiannya menelaah secara mendalam tentang berbagai macam peluang kerja dan usaha yang ada di Kampung Wisata Cinangneng. Selain itu, juga menganalisis pengaruh pengembangan Kampung Wisata Cinangneng terhadap empat variabel taraf hidup masyarakat: tambahan pendapatan rumah tangga, pola nafkah rumah tangga, kondisi fisik rumah, beserta kepemilikan barangbarang dan lahan. Penelitian yang dianalisis dengan metode analisis deskriptif menggunakan alat bantu Microsoft Excel 2007 memperoleh hasil bahwa pengembangan Kampung Wisata Cinangneng berpengaruh positif terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar, melalui empat variabel taraf hidup. Taraf hidup masyarakat di sini meningkat akibat pendapatan masyarakat yang semakin bertambah dengan adanya kerjasama dengan Kampung Wisata Cinangneng, dan juga didukung oleh terbentuknya pola nafkah rumah tangga contoh. Faktor lain juga diketahui terbentuk dalam penelitian ini, yang menentukan ada atau tidaknya peningkatan taraf hidup masyarakat, diantaranya faktor gaya hidup masyarakat desa yang semakin konsumtif, serta besarnya pengeluaran yang kurang sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Konsep Kesejahteraan Keluarga Kesejahteraan Keluarga. Kesejahteraan adalah sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima. Namun demikian tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut (Sawidak 1985, diacu dalam Sunarti 2008). Keluarga sejahtera mengacu pada UU Nomor 10 tahun 1992 yaitu keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, 19 memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota, antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga. Penelitian ini mengukur kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif contoh. Kesejahteraan Objektif. Suandi (2007) mendefinisikan kesejahteraan objektif adalah pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga yang diukur dengan rata - rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan digunakan untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Ukuran kesejahteraan objektif yang digunakan pada penelitian ini untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah indikator Garis Kemiskinan (GK) BPS. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan melalui tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya dengan Ukuran Kemiskinan Sajogyo adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhankebutuhan dasar dengan jumlah beras. Sampai saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2005, Garis Kemiskinan (GK) wilayah kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan sebesar Rp 159.347/kapita/bulan, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp 219.500/kapita/bulan. Banyak sedikitnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan. Penduduk miskin suatu wilayah adalah penduduk yang rata - rata pendapatan atau pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di wilayah tersebut. Semakin tinggi garis kemiskinan, semakin banyak penduduk yang digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS 2010). Kesejahteraan Subjektif. Kesejahteraan dapat diukur dengan menggunakan ukuran ordinal. Menurut Rojas (2004) kurang tepat untuk menilai kesejahteraan hanya berdasarkan pendapatan dan indikator sosial ekonomi lainnya. Kesejahteraan manusia tergantung pada banyak faktor di luar standar hidup yang biasa seperti pendapatan, konsumsi, kekayaan, posisi sosial - 20 ekonomi dan akses terhadap pelayanan umum. Dengan demikian, pendapatan harus dipertimbangkan sebagai satu dari banyak alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan. Pendapatan dan variabel sosial - ekonomi lain dapat menjadi variabel penjelas yang nyata, dan proksi yang baik dari kesejahteraan bagi sebagian orang, namun tidak untuk setiap orang. Suatu keluarga, walau tinggal di bawah garis kemiskinan, mungkin merasa lebih sejahtera, karena merasa lebih bersyukur atas karunia-Nya, merasa semua keinginannya sudah terpenuhi, merasa telah hidup selaras dengan alam, dan alasan lainnya (Syarief & Hartoyo 1993). Sebaliknya, suatu keluarga mungkin merasa kurang sejahtera, walau sudah berpendapatan di atas garis kemiskinan, karena masih ada saja keinginan yang belum terpenuhi dan merasa selalu ketakutan atau tertekan, merasa selalu ‘stres’ dan dituntut oleh pekerjaan, serta alasan lainnya. Dari berbagai konsep dan hasil penelitian tentang kesejahteraan, maka keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesejahteraan tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan persepsi keluarga dalam menghayati kesejahteraan. Menurut Sumarti (1999) persepsi tentang kesejahteraan hidup manusia terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungannya. Dengan demikian, persepsi tentang kesejahteraan tersebut akan terbentuk melalui pengalaman hidup manusia dan hubungannnya dengan lingkungan (keluarga, kelompok dan masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup. Terbentuknya persepsi kesejahteraan tersebut selanjutnya akan mendorong manusia dalam usaha mencapai kesejahteraan sesuai dengan konsepsi yang dimiliki dan terwujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Mengacu dari pemikiran di atas, persepsi kesejahteraan pada setiap keluarga akan berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan karena setiap keluarga memiliki pengalaman hidup di lingkungan yang berbeda. Pengalaman seseorang terhadap obyek atau peristiwa sosial yang dialami menjadi dasar dalam memberikan pemahaman atau pandangan terhadap obyek atau peristiwa sosial tersebut. Persepsi atas realita tersebut mengandung arti bahwa nilai - nilai subyek persepsi ikut menentukan hasil persepsi. Dengan demikian, persepsi sekaligus sudah merupakan suatu penilaian. Hubungan antara nilai - nilai, persepsi dan perilaku dapat dijelaskan sebagai berikut: persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkrit, dan bahwa nilai - nilai lewat 21 emosi, motivasi dan ekspektasi yang mempengaruhi persepsi ini (Noerhadi 1982 dalam Sumarti 1999). Faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan. Penelitian penelitian mengenai kesejahteraan dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator. Penelitian Rambe, Hartoyo, dan Karsin (2003) mengkaji mengenai analisis alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan keluarga (studi di kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). Salah satu dari tujuan penelitiannya adalah menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Dari hasil penelitian, terbukti bahwa pendidikan kepala rumah tangga, pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah tangga, umur kepala rumah tangga, persepsi harga dan pendapatan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Hasil penelitian Iskandar (2007) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS antara lain pendidikan istri, pendapatan, pekerjaan suami (bukan buruh), kepemilikan aset, dan perencanaan, sementara kesejahteraan subjektif dipengaruhi secara nyata oleh pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga dan pembagian tugas dalam keluarga. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa karakteristik sosial demografi keluarga seperti besar keluarga memiliki pengaruh negatif terhadap kesejahteraan, sedangkan pendidikan kepala keluarga dan mata pencaharian keluarga memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap kesejahteraan keluarga (Muflikhati 2010). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga akan semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan membuka peluang untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Penelitian Simanjuntak (2010) menunjukkan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif.