tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Corporate Social Responsibility
Tanggung jawab sosial perusahaan tertuang dalam program atau
kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Istilah CSR pertama kali muncul
dalam diskusi resmi akademik sejak munculnya tulisan Howard Rothman Bowen
berjudul Social Responsibility of the Bussinesman pada tahun 1953. Pertemuan
World Business Council for Sustainability Development (WBCSD) di New York
2005, yang menghasilkan kesepakatan bahwa praktik CSR adalah wujud
komitmen dunia bisnis membantu PBB merealisasikan target Millenium
Development Goals (MDGs) mengurangi kemiskinan dan kelaparan pada Tahun
2015 (Hardinsyah 2007).
Sebagai sebuah konsep yang makin populer, CSR ternyata belum
memiliki definisi yang tunggal. Pengertian CSR telah dikemukakan oleh banyak
pakar dan lembaga-lembaga yang terkait. CSR Forum memberikan definisi,
“CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical
values and respect for employees, communities and environment”.
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD),
lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120
perusahaan multinasional yang berasal lebih dari 30 negara, dalam publikasinya
Making Good Business Sense, mendefinisikan CSR, yaitu; “Corporate social
responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and
contribute to economic development while improving the quality of life the
workforce and their families as well as of the local community and society at
large.” Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah, CSR adalah
komitmen dari bisnis atau perusahaan untuk berperilaku etis, dan berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya
meningkatkan
kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Definisi CSR menurut Bank Dunia, yaitu lembaga keuangan global
merumuskan: “Corporate Social Responsibility is the commitment of business to
contribute to sustainable economic development working with employees and
their representatives, the local community and society at large to improve quality
of life, in ways that are both good for business and good for development”.
Uni Eropa sebagai lembaga perhimpunan negara-negara di benua Eropa
merumuskan pengertian CSR dalam EU Green Paper on CSR sebagai “CSR is a
7
concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their
business operations and in their interaction with their stakeholders on voluntary
basic”.
Secara prinsip rumusan WBCSD dengan World Bank sama-sama
menekankan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja sama dengan karyawan, keluarga
karyawan, dan masyarakat setempat (lokal) dalam rangka meningkatkan kualitas
kehidupan. Namun demikian, rumusan Bank Dunia menambahkan penekanan
pada kemanfaatan dari aktivitas CSR tersebut, bermanfaat bagi usaha dan
pembangunan (in ways that are both good for business and good for
development), sedangkan pengertian dari Uni Eropa hanya menggambarkan
CSR
sebagai
suatu
konsep,
bagaimana
suatu
perusahaan
berusaha
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan serta stakeholders atas dasar
“voluntary” dalam melakukan aktivitas usahanya. Pengintegrasian ini tidak hanya
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi meliputi
kerelaan berinvestasi ke dalam modal manusia, lingkungan dan hubungan
dengan stakeholders.
Berdasarkan rumusan dari berbagai lembaga formal tersebut, saat ini
belum ditemui kesepakatan bakunya. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat CSR
adalah sebuah konsep yang berkembang dengan cepat, sehingga definisinya
pun juga bisa berubah-ubah menyesuaikan dengan perkembangannya. Namun
demikian, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta
lingkungan (Wibisono 2007).
CSR hadir sebagai jalan tengah untuk tetap mempertahankan nilai
kebermanfaatan perusahaan dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan
dalam menciptakan kebermanfaatan tersebut. Tujuan ini tidak akan tercapai
tanpa adanya kerjasama sinergis antara perusahaan, masyarakat, dan
pemerintah. Hal ini dikarenakan perusahaan adalah agen yang melakukan aksi,
masyarakat adalah agen sasaran dan sekaligus stakeholders, sementara
pemerintah adalah agen yang berposisi sebagai regulator.
Integrasi program CSR dengan berbagai kebijakan stakeholders tersebut
kini telah menjadi suatu kebutuhan. Artinya, kebijakan CSR jangan hanya
eksklusif di dalam perusahaan, melainkan harus terintegrasi dengan kebijakan
pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Bagi masyarakat, CSR merupakan
8
ruang aktualisasi pengembangan sumberdaya yang pada akhirnya dapat
mendukung peningkatan kesejahteraan. Bagi pemerintah, dengan adanya CSR,
perusahaan menjadi partner dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
sosial yang menjadi agenda pemerintah, seperti kemiskinan, pengangguran, dan
kerusakan lingkungan. Sedangkan bagi perusahaan, CSR bermanfaat untuk
menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan pemerintah, dan pada saat
yang sama berguna untuk mendukung kinerja melalui image korporasi. Melalui
kerjasama ini, harapan akhirnya adalah tercapainya kebaikan bagi lingkungan,
masyarakat, pemerintah, dan juga bagi perusahaan (Soemanto et al. 2007).
CSR dapat didefinisikan sebagai upaya manajemen yang dijalankan oleh
entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar
keseimbangan pilar ekonomi, sosial dan lingkungan dengan meminimalkan
dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif di setiap pilar (Leimona &
Fauzi 2008). Kotler dan Lee (2005) memberikan rumusan: “corporate social
responsibility is a commitment to improve community well being through
discretionary business practices and contribution of corporate resources”.
Pada definisi tersebut, Kotler dan Lee memberikan penekanan pada kata
discretionary yang berarti kegiatan CSR semata-mata merupakan komitmen
perusahaan secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas
dan bukan merupakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum dan
perundang - undangan seperti kewajiban untuk membayar pajak atau kepatuhan
perusahaan terhadap undang - undang ketenagakerjaan. Kata discretionary juga
memberikan nuansa bahwa perusahaan yang melakukan aktivitas CSR haruslah
perusahaan yang telah menaati hukum dalam pelaksanaan bisnisnya.
Meski memiliki banyak definisi, namun secara esensi CSR merupakan
wujud dari giving back dari korporat kepada komunitas. Perihal ini dapat
dilakukan dengan cara melakukan dan menghasilkan bisnis berdasar pada niat
tulus guna memberikan kontribusi yang paling positif pada komunitas
(stakeholders) (Rahman 2009).
CSR merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar
yang dikenal dengan istilah Triple Bottom Lines, yaitu profit, people, dan planet.
a. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan
ekonomi yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang
b. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan
manusia. Beberapa perusahaan mengembangkan program CSR seperti
9
pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendiri sarana
pendidikan dan kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan ada yang
merancang berbagai skema perlindungan sosial warga setempat
c. Planet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan berkelanjutan
keragaman hayati. Beberapa program CSR yang berpijak pada prinsip ini
biasanya berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih,
perbaikan pemukiman, dan pengembangan pariwisata (ecotourism) (Wibisono
2007).
CSR yang memiliki paradigma Good Corporate Citizenship dalam
pelaksanaannya berfokus pada kontribusi suatu perusahaan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang mengalami metamorphosis, dari yang bersifat
charity menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemandirian
masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambadar 2008). Metamorfosis
kontribusi perusahaan tersebut diungkapkan oleh Saidi dan Abidin (2003) yang
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Metamorfosis CSR
No.
Paradigma
Charity
1
Motivasi
Agama, tradisi,
adaptasi
2
Misi
3
Pengelolaan
4
Pengorganisasian
Mengatasi
masalah
setempat
Jangka pendek,
mengatasi
masalah sesaat
Kepanitiaan
5
Penerima
Manfaat
Kontribusi
6
Orang miskin
Hibah sosial
7
Inspirasi
Kewajiban
Sumber : Saidi dan Abidin (2003)
Philantropy
Good Corporate
Citizenship (GCC)
Norma, etika dan
Pencerahan diri
hukum universal
dan rekonsiliasi
dengan ketertiban
social
Mencari dan
Memberikan
mengatasi akar
kontribusi terhadap
masalah
masyarakat
Terencana,
Terinternalisasi
terorganisasi, dan dalam kebijakan
terprogram
perusahaan
Yayasan/dana
Keterlibatan baik
pribadi/
dana maupun
profesionalitas
sumberdaya lain
Masyarakat luas
Masyarakat luas
dan perusahaan
Hibah
Hibah (sosial dan
pembangunan
pembangunan
serta keterlibatan
sosial)
Kepentingan bersama
Program CSR
Kotler dan Lee (2005) mengidentifikasi lima pilihan program bagi
perusahaan untuk melakukan inisiatif dan aktivitas yang berkaitan dengan
berbagai masalah sosial sekaligus sebagai wujud komitmen dari tanggung jawab
10
sosial perusahaan, yaitu :
a. Cause
promotions,
dalam
bentuk
memberikan
kontribusi
dana atau
penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah - masalah
sosial tertentu, seperti bahaya narkoba
b. Cause related marketing, yaitu bentuk kontribusi perusahaan dengan
menyisihkan sepersekian persen dari pendapatan donasi bagi masalah sosial
tertentu, untuk periode atau produk tertentu
c. Corporate social marketing, membantu pengembangan maupun implementasi
dari kampanye dengan fokus untuk mengubah perilaku tertentu yang
mempunyai pengaruh negatif, misalnya berupa inisiatif perusahaan dengan
memberikan kontribusi langsung kepada suatu aktivitas amal, lebih sering
dalam bentuk donasi atau sumbangan tunai
d. Community volunteering, memberikan bantuan dan mendorong karyawan
serta mitra bisnisnya secara sukarela terlibat dan membantu masyarakat
setempat
e. Social responsible business practices, berupa insiatif perusahaan untuk
mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu serta investasi yang
ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan
Berbagai model CSR diterapkan oleh perusahaan di Indonesia. Terdapat
empat model atau pola CSR yang umum diterapkan (Saidi & Abidin 2003), yaitu:
a. Keterlibatan langsung
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke
masyarakat tanpa perantara. Perusahaan biasanya menugaskan salah satu
pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau
menjadi bagian dari bagian public relation.
b. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau
grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di
perusahaan - perusahaan di negara maju. Perusahaan biasanya menyediakan
dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi
kegiatan yayasan.
11
c. Bermitra dengan pihak lain
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga
sosial atau organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan
kegiatan sosialnya.
d. Mendukung atau bergabung dalam satu konsorsium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu
lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Apabila dibandingkan
dengan model lainnya, model ini lebih berorientasi pada pemberian hibah
perusahaan yang bersifat hibah pembangunan. Pihak konsorsium atau lembaga
semacam
itu
mendukungnya
yang
secara
dipercayai
proaktif
oleh
perusahaan
mencari
mitra
-
perusahaan
kerjasama
dari
yang
lembaga
operasional.
Lingkup pelaksanaan CSR menurut gagasan dari Prince of Wales
International Forum terdiri dari lima pilar (Wibisono 2007), yaitu:
a. Upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal
(karyawan) maupun eksternal (masyarakat sekitar) dengan cara melakukan
pengembangan dan memberikan kesejahteraan pada mereka
b. Memberdayakan ekonomi komunitas
c. Menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik
d. Mengimplementasikan tata kelola yang baik
e. Memperhatikan kelestarian lingkungan
Tahap-tahap dalam penerapan CSR yang dilakukan perusahaan pada
umumnya adalah sebagai berikut :
1. Tahap perencanaan; tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu awareness
building, CSR assesment, dan CSR manual building.
2. Tahap implementasi; tahap ini terdiri atas tiga langkah utama yaitu sosialisasi,
pelaksanaan dan internalisasi. Tahap pengorganisasian yaitu penyusunan
untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan,
pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian
untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan.
3. Tahap evaluasi; tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu
untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR.
12
4. Pelaporan; tahap ini dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk
keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan
informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Oleh karena itu, ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang
lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka
(Suharto 2005).
Menurut Ife (1995), pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan
kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Pemberdayaan
memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah.
Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti
sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas:
-
Pilihan - pilihan personal dan kesempatan - kesempatan hidup:
kemampuan dalam membuat keputusan - keputusan mengenai gaya
hidup, tempat tinggal, dan pekerjaan
-
Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras
dengan aspirasi dan keinginannya
-
Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan
gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan
-
Lembaga - lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan
mempengaruhi
pranata
-
pranata
masyarakat,
seperti
lembaga
kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan
-
Sumber - sumber: kemampuan memobilisasi sumber - sumber formal,
informal dan kemasyarakatan
-
Aktivitas
ekonomi:
kemampuan
memanfaatkan
dan
mengelola
mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang serta jasa
-
Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,
perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi
Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu - individu
13
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan
menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan
sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator
keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.
Dalam konteks pekerjaan sosial, terdapat strategi pemberdayaan yang
dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerment
setting): mikro, mezzo, dan makro.
1. Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu
melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention.
Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam
menjalankan tugas - tugas kehidupannya. Model ini sering disebut
sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered
approach).
2. Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai
media intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan
sebagai
strategi
dalam
meningkatkan
kesadaran,
pengetahuan, ketrampilan dan sikap - sikap klien agar memiliki
kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3. Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar
(large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada
sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan
sosial, kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat,
manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini.
Strategi Sistem Besar memandang klien sebagai orang yang memiliki
kompetensi untuk memahami situasi - situasi mereka sendiri, dan untuk
memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak (Suharto
2005).
Payne (1997) dalam Adi (2003), mengemukakan bahwa suatu proses
pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya
14
untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan
yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki,
antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.
Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan.
Pada dasarnya, pemberdayaan dilakukan pada kekuatan tingkat individu dan
sosial.
Partisipasi
merupakan
komponen
penting
dalam
pembangkitan
kemandirian dan proses pemberdayaan. Sebaiknya, orang - orang harus terlibat
dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya
untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk
mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga
semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan
beradaptasinya.
Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial
dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya. Proses
ini, pada akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat
pada rakyat (Hikmat 2004).
Pemberdayaan Keluarga
Keluarga adalah suatu kelompok dari orang - orang yang disatukan oleh
ikatan perkawinan, darah, dan adopsi dan berkomunikasi satu sama lain yang
menimbulkan peranan - peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak laki laki dan perempuan, saudara laki - laki dan perempuan serta merupakan
pemeliharaan kebudayaan bersama. Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari dari suami, istri atau suami istri dan anaknya atau
ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (UU nomor 52 Tahun 2009).
Menurut Mattesich dan Hill dalam
Megawangi (1999), keluarga
merupakan suatu kelompok dimana anggotanya memiliki hubungan kekerabatan,
tempat tinggal, atau hubungan emosional yang erat. Keluarga sebagai sebuah
sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas
tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta
pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga.
15
Resolusi Majelis Umum PBB menguraikan fungsi utama keluarga adalah
“Keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan
fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan
lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera” (Megawangi
1994).
Keluarga mempunyai karakteristik sosial (pendidikan, pekerjaan, status
sosial), ekonomi (pendapatan, jumlah aset), demografi (jumlah anak, umur
orangtua, tempat tinggal). Setiap keluarga mempunyai tujuan untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah atau mewujudkan kesejahteraan
lahir dan batin (fisik, ekonomi, sosial, psikologi, spiritual, mental).
Keluarga merupakan unit sosial terkecil pembangun institusi masyarakat.
Perhatian terhadap keluarga sebagai institusi sosial terkecil diawali oleh kajian
bahwa masalah sosial berkaitan dengan kehidupan keluarga, sehingga banyak
para pembaharu sosial yang memandang bahwa keluarga sebagai dasar
kesehatan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya
manusia (SDM), keluarga merupakan institusi pertama dan utama penentu
pembangunan SDM. Terdapat dua penjelasan sederhana terhadap konsep atau
kerangka fikir tersebut. Pertama adalah karena di keluargalah seorang individu
tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut
menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat,
bahkan pemimpin bangsa dan negara. Alasan kedua adalah karena di
keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti
2001).
Terdapat berbagai alasan pentingnya pemberdayaan keluarga, yaitu: (1)
kedudukan keluarga dalam sistem sosial yang lebih luas, dimana keluarga
sebagai sistem sosial terkecil mempengaruhi dan dipengaruhi sistem lainnya; (2)
fakta yang menunjukkan masih banyaknya keluarga yang hidupnya marjinal,
miskin, tidak sejahtera, dan (3) pada hakekatnya seluruh kegiatan pembangunan
bertujuan
untuk
mensejahterakan
individu,
keluarga,
dan
masyarakat.
Kesejahteraan keluarga merupakan indikator keberhasilan seluruh kegiatan
pembangunan.
Pemberdayaan keluarga adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat keluarga, terutama keluarga miskin atau keluarga tidak sejahtera atau
istilah lainnya yang menunjukkan masih belum berfungsinya keluarga, sehingga
16
tidak bisa mencapai tujuan kehidupan berkeluarga. Dengan kata lain,
memberdayakan keluarga adalah memampukan dan memandirikan keluarga.
Keberdayaan keluarga merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu
keluarga bertahan, dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuannya
(Sunarti 2010).
Berdasarkan pengertiannya, maka pemberdayaan keluarga memiliki
dimensi tujuan yang luas dan beragam, yaitu:
-
Membantu sasaran untuk menerima/melewati/menjalani/mempermudah
proses perubahan yang harus/akan dijalani/ditemui individu/keluarga
-
Menggali potensi laten anggota keluarga (kepribadian, ketrampilan
manajerial, dan ketrampilan kepemimpinan)
-
Mendorong sasaran agar memiliki daya ungkit/daya lompat serta sebagai
lecutan untuk lari mengejar cita-cita keluarga
-
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan hidup seluruh anggota
keluarga sepanjang tahap perkembangan dan siklus hidupnya
-
Membangun daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap
perubahan agar mampu menjalani kehidupan dengan sukses tanpa
kesulitan dan hambatan yang berarti
-
Membina dan mendampingi proses perubahan sampai pada tahap
kemandirian dan tahapan tujuan yang dapat diterima
Agar tujuan pemberdayaan keluarga dapat tercapai, maka perlu
memperhatikan beberapa prinsip penting pemberdayaan keluarga. Beberapa
prinsip penting tersebut di antaranya adalah:
-
Pemberdayaan keluarga hendaknya tidak memberikan bantuan atau
pendampingan
yang
bersifat
charity
yang
akan
mendatangkan
ketergantungan dan melemahkan, melainkan bantuan, pendampingan,
dan pelatihan yang mempromosikan self reliance dan meningkatkan
kapasitas sasaran pemberdayaan
-
Hendaknya menggunakan metode pemberdayaan yang menjadikan pihak
yang dibantu menjadi lebih kuat melalui latihan daya juang/tahan,
menghadapi masalah “kenelangsaan”
-
Meningkatkan partisipasi yang membawa pihak yang diberdayakan
meningkat kapasitasnya
17
-
Menjadikan
pihak
yang
diberdayakan
mengambil
kontrol
penuh,
pengambilan keputusan penuh, dan tanggung jawab penuh untuk
melakukan kegiatan yang akan membawanya menjadi lebih kuat
Dampak Program CSR terhadap Masyarakat Lokal
Berdasarkan penelitian Zaleha (2008) mengenai peranan CSR PT.
Inalum Divisi PLTA Siguragura terhadap pengembangan sosio ekonomi
masyarakat
Kecamatan
Pintupohan
Meranti
Kabupaten
Toba
Samosir
menyatakan bahwa pendidikan dan pendapatan nominal masyarakat sebelum
dan sesudah adanya program CSR berbeda nyata, tetapi pendapatan riil tidak
berbeda nyata. Ditinjau dari pendapatan nominal, bantuan memberikan peran
terhadap ekonomi karyawan dan masyarakat, namun secara riil belum berperan
akibat inflasi yang tinggi pada tahun 2005. Peran CSR terhadap ekonomi lokal
adalah adanya 17 unit usaha mitra kontraktor sebagai rekanan PT. Inalum yang
dapat menyerap tenaga kerja masyarakat.
Hasil penelitian Utomo (2010) mengenai dampak pelaksanaan program
CSR PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk terhadap masyarakat lokal
menyatakan bahwa dampak dari program CSR PT. Indocement yang dirasakan
oleh warga Desa Nambo adalah perubahan tingkat pengetahuan, tingkat
kesehatan, dan berkurangnya jumlah pengangguran. Karena mereka (penerima
program) berpendapat bahwa program tersebut bermanfaat baik dalam
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan berusaha, serta
meningkatkan penghasilan. Namun, dampak yang dirasakan hanya sedikit dan
lebih besar kepada penerima program. Hal ini didasarkan oleh data jumlah
pengangguran yang berkurang dari program CSR (ayam petelur) hanya lima
belas orang (terdiri dari 11 peternak, 3 karyawan ternak, dan 1 distributor) dari
3.657 orang pengangguran di Desa Nambo. Perubahan sosial yang terjadi akibat
program CSR PT. Indocement secara keseluruhan relatif kecil dan terbatas.
Hasil penelitian Asrianti (2010) mengenai Analisis Pola Pelaksanaan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Holcim Indonesia menunjukkan secara
agregat pengembangan masyarakat telah dilakukan dalam kegiatan CSR berupa
Baitul Maal Wa Tamwil. Penelitian dilakukan dengan membagi komunitas pada
tiga lapisan sosial. Hasil menunjukkan secara dampak ekonomi seluruh kelas
sosial mengalami dampak ekonomi. Hal ini artinya bahwa terjadi peningkatan
yang positif bagi aspek ekonomi. Namun pada dampak sosial, lapisan bawah
18
belum mengalami dampak yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan nilai yang
negatif pada lapisan bawah. Berbeda dengan lapisan menengah dan atas yang
bernilai positif. Perbedaan ini dapat disebabkan karena banyak faktor, salah
satunya adalah budaya yang ada di masyarakat. Budaya akan mempengaruhi
cara berpikir dan kemampuan seseorang dalam memahami suatu kegiatan yang
diikutinya.
Penelitian
Rachmidar
(2009)
mengkaji
pengaruh
pengembangan
Kampung Wisata Cinangneng terhadap taraf hidup masyarakat sekitar.
Penelitiannya menelaah secara mendalam tentang berbagai macam peluang
kerja dan usaha yang ada di Kampung Wisata Cinangneng. Selain itu, juga
menganalisis pengaruh pengembangan Kampung Wisata Cinangneng terhadap
empat variabel taraf hidup masyarakat: tambahan pendapatan rumah tangga,
pola nafkah rumah tangga, kondisi fisik rumah, beserta kepemilikan barangbarang dan lahan. Penelitian yang dianalisis dengan metode analisis deskriptif
menggunakan alat bantu Microsoft Excel 2007 memperoleh hasil bahwa
pengembangan Kampung Wisata Cinangneng berpengaruh positif terhadap
peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar, melalui empat variabel taraf hidup.
Taraf hidup masyarakat di sini meningkat akibat pendapatan masyarakat yang
semakin bertambah dengan adanya kerjasama dengan Kampung Wisata
Cinangneng, dan juga didukung oleh terbentuknya pola nafkah rumah tangga
contoh. Faktor lain juga diketahui terbentuk dalam penelitian ini, yang
menentukan ada atau tidaknya peningkatan taraf hidup masyarakat, diantaranya
faktor gaya hidup masyarakat desa yang semakin konsumtif, serta besarnya
pengeluaran yang kurang sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.
Konsep Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan Keluarga. Kesejahteraan adalah sejumlah kepuasan
yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima.
Namun demikian tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu
yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh
dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut (Sawidak 1985, diacu dalam
Sunarti 2008).
Keluarga sejahtera mengacu pada UU Nomor 10 tahun 1992 yaitu
keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi
kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME,
19
memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota, antar
keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Terdapat beberapa indikator
yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga. Penelitian
ini
mengukur kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif contoh.
Kesejahteraan Objektif. Suandi (2007) mendefinisikan kesejahteraan
objektif adalah pengukuran tingkat kesejahteraan keluarga yang diukur dengan
rata - rata patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya.
Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan
yang baku (tingkat kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama).
Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional dan digunakan untuk
kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan,
namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.
Ukuran kesejahteraan objektif yang digunakan pada penelitian ini untuk
mengukur tingkat kesejahteraan keluarga adalah indikator Garis Kemiskinan
(GK) BPS. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan melalui
tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya dengan
Ukuran Kemiskinan Sajogyo adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhankebutuhan dasar dengan jumlah beras. Sampai saat ini BPS menggunakan
batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran komoditas
pangan dan non pangan. Komoditas pangan terpilih terdiri dari 52 macam,
sedangkan komoditas non pangan terdiri dari 27 jenis untuk kota dan 26 jenis
untuk desa. Garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS dari tahun ke tahun
mengalami perubahan. Pada tahun 2005, Garis Kemiskinan (GK) wilayah
kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan sebesar Rp 159.347/kapita/bulan,
sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp 219.500/kapita/bulan. Banyak
sedikitnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan.
Penduduk miskin suatu wilayah adalah penduduk yang rata - rata pendapatan
atau pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan di wilayah
tersebut.
Semakin tinggi garis kemiskinan, semakin banyak penduduk yang
digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS 2010).
Kesejahteraan
Subjektif.
Kesejahteraan
dapat
diukur
dengan
menggunakan ukuran ordinal. Menurut Rojas (2004) kurang tepat untuk menilai
kesejahteraan hanya berdasarkan pendapatan dan indikator sosial ekonomi
lainnya. Kesejahteraan manusia tergantung pada banyak faktor di luar standar
hidup yang biasa seperti pendapatan, konsumsi, kekayaan, posisi sosial -
20
ekonomi dan akses terhadap pelayanan umum. Dengan demikian, pendapatan
harus dipertimbangkan sebagai satu dari banyak alternatif untuk meningkatkan
kesejahteraan. Pendapatan dan variabel sosial - ekonomi lain dapat menjadi
variabel penjelas yang nyata, dan proksi yang baik dari kesejahteraan bagi
sebagian orang, namun tidak untuk setiap orang.
Suatu keluarga, walau tinggal di bawah garis kemiskinan, mungkin
merasa lebih sejahtera, karena merasa lebih bersyukur atas karunia-Nya,
merasa semua keinginannya sudah terpenuhi, merasa telah hidup selaras
dengan alam, dan alasan lainnya (Syarief & Hartoyo 1993). Sebaliknya, suatu
keluarga mungkin merasa kurang sejahtera, walau sudah berpendapatan di atas
garis kemiskinan, karena masih ada saja keinginan yang belum terpenuhi dan
merasa selalu ketakutan atau tertekan, merasa selalu ‘stres’ dan dituntut oleh
pekerjaan, serta alasan lainnya.
Dari berbagai konsep dan hasil penelitian tentang kesejahteraan, maka
keluarga memiliki pandangan tersendiri dalam mengartikan kesejahteraan
tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan persepsi keluarga dalam menghayati
kesejahteraan. Menurut Sumarti (1999) persepsi tentang kesejahteraan hidup
manusia terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam
usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungannya. Dengan demikian,
persepsi tentang kesejahteraan tersebut akan terbentuk melalui pengalaman
hidup manusia dan hubungannnya dengan lingkungan (keluarga, kelompok dan
masyarakat) dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup. Terbentuknya
persepsi kesejahteraan tersebut selanjutnya akan mendorong manusia dalam
usaha mencapai kesejahteraan sesuai dengan konsepsi yang dimiliki dan
terwujud dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Mengacu dari pemikiran di atas, persepsi kesejahteraan pada setiap
keluarga akan berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan karena
setiap keluarga memiliki pengalaman hidup di lingkungan yang berbeda.
Pengalaman seseorang terhadap obyek atau peristiwa sosial yang dialami
menjadi dasar dalam memberikan pemahaman atau pandangan terhadap obyek
atau peristiwa sosial tersebut. Persepsi atas realita tersebut mengandung arti
bahwa nilai - nilai subyek persepsi ikut menentukan hasil persepsi. Dengan
demikian, persepsi sekaligus sudah merupakan suatu penilaian. Hubungan
antara nilai - nilai, persepsi dan perilaku dapat dijelaskan sebagai berikut:
persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku konkrit, dan bahwa nilai - nilai lewat
21
emosi, motivasi dan ekspektasi yang mempengaruhi persepsi ini (Noerhadi 1982
dalam Sumarti 1999).
Faktor - faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan. Penelitian penelitian mengenai kesejahteraan dilakukan dengan menggunakan beberapa
indikator. Penelitian Rambe, Hartoyo, dan Karsin (2003) mengkaji mengenai
analisis alokasi pengeluaran dan tingkat kesejahteraan keluarga (studi di
kecamatan Medan Kota, Sumatera Utara). Salah satu dari tujuan penelitiannya
adalah menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
keluarga. Dari hasil penelitian, terbukti bahwa pendidikan kepala rumah tangga,
pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah tangga, umur kepala rumah tangga,
persepsi harga dan pendapatan yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
keluarga. Hasil penelitian Iskandar (2007) menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan keluarga menurut kriteria BPS antara lain
pendidikan istri, pendapatan, pekerjaan suami (bukan buruh), kepemilikan aset,
dan perencanaan, sementara kesejahteraan subjektif dipengaruhi secara nyata
oleh pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga dan pembagian tugas
dalam keluarga.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa karakteristik sosial demografi
keluarga
seperti
besar
keluarga
memiliki
pengaruh
negatif
terhadap
kesejahteraan, sedangkan pendidikan kepala keluarga dan mata pencaharian
keluarga memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap kesejahteraan
keluarga (Muflikhati 2010). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah
anggota keluarga akan semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. Semakin
tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga akan membuka peluang untuk
memperoleh penghasilan yang lebih tinggi.
Penelitian Simanjuntak (2010) menunjukkan bahwa relasi gender yang
semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan
pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan
ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit
akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
keluarga subjektif.
Download