Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Kultural vs

advertisement
Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah
Dakwah Kultural vs Imperialisme Islam Murni
Oleh Zakiyuddin Baidhawy
11/07/2003
Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang
sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok
abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah
kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme,
keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori
abangan.
Satu lagi kejumudan modernisme semakin memperoleh afirmasi, dan kini diperlihatkan oleh
sebuah gerakan Islam modernis bernama Muhammadiyah, yang terjebak dalam perangkap
imperialisme dan ideologi. Mentahbiskan diri sebagai gerakan tajdid dan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar, Muhammadiyah seolah seperti Portugis atau Spanyol, yang merasa mempunyai
legitimasi mission sacre dari Paus untuk menguasai belahan dunia Timur dan Barat. Kekuatan
imperialis yang memperoleh “mandat Tuhan” untuk melakukan hegemoni, kolonisasi, dan
penindasan demi keutuhan dan kemurnian Islam yang sebenar-benarnya.
Mendasarkan diri pada “kegagahan” kacamata kuda dari logika positivistik yang hanya
mengetahui satu sumber kebenaran, arus utama yang kini mendominasi Muhammadiyah selalu
memahami dan menempatkan realitas kehidupan dalam dua sisi yang saling bertentangan secara
diametral. Suatu pendekatan oposisi biner yang membagi dunia dalam dua kutub plus minus,
sekali dan selamanya. Tidak lebih tidak kurang. Melalui pendekatan ini, Islam dan realitas keberislam-an mengalami simplifikasi ke dalam dua polar: yakni “Islam murni” versus “bukan Islam
murni”. Seluruh kualitas dan karakteristik yang disandarkan pada dua polar tersebut mengikuti
model oposisi biner.
Islam murni adalah satu-satunya paham keagamaan dan cara beragama yang dipandang ortodoks
(murni dan utuh), sementara lawannya adalah paham dan cara yang telah terkontaminasi atau
tercampuri unsur-unsur asing, dan karenanya disebut heterodoks atau sinkretis. Bertolak dari
klaim ortodoksi itulah Islam murni memperoleh justifikasi dan legitimasi untuk melakukan
hegemoni. Hegemoni nampak pada proses pengarus-utamaan paham keagamaan tersebut atas
paham-paham yang bercorak lain atau keluar dari mainstream dalam Muhammadiyah. Meskipun
untuk keberhasilan upaya hegemoni ini ia harus memanipulasi diri sebagai paham keagamaan
tanpa mazhab, namun sesungguhnya lebih menyandarkan diri pada paham keagamaan a la
wahabi (sebagian menyebutnya salafi) dengan daya dukung struktural untuk memberangus sang
“lian” (the other). Atas dasar kemurnian itu pula paham mainstream ini merasa berhak untuk
melakukan kolonisasi dan penindasan secara fisik dan atau psikis pada mereka yang secara
aqidah (thought), ibadah (action), maupun jamaah (fellowship) tidak sejalan dengan MKCH
(matan keyakinan dan cita-cita hidup), masa`il al-khamsah (agama, dunia, ibadah, sabilillah, dan
qiyas), muqaddimah anggaran dasar, Himpunan Putusan Tarjih, dan sebagainya.
Sifat-sifat hegemonik-imperialistik Islam Murni tidak cukup sampai di situ. Beberapa di
antaranya dapat dilihat pada beban teologis yang dipikul di pundaknya. Pandangan teologis yang
berpijak pada misi suci ar-ruju ila al-Qur’an wa as-Sunnah, membuat Muhammadiyah terbebani
tanggung jawab mempertahankan Islam Murni itu. Dengan basis Islam Murni ini pula, para
penganjurnya “menuduh”, mendiskreditkan “Muslim lain”, “Muhammadiyah lain” yang tidak
sepaham sebagai “heresy” yang dipenuhi takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC), dan karenanya
dapat dianggap sesat (dhalalah). Sebuah klaim kebenaran (truth-claim) yang pada akhirnya mesti
diiringi dengan penilaian bahwa mereka yang dhalalah itu akan dijerumuskan ke dalam dan
distempel sebagai penghuni neraka. Hanya Islam murni satu-satunya jalan yang menjamin
keselamatan (salvation-claim). Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa bertanggung
jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Murni, serta memandang perlu untuk
mengislamkan kembali dan atau memproselitisasi mereka yang tersangka tidak islami, amoral,
atau dalam kesesatan. Inilah yang secara istilahi dapat disebut sebagai Islam Murni’s burden,
tanggung jawab “memperadabkan” individu maupun kelompok yang menyimpang dari jalan
lurus mereka.
Dari sini nampak bahwa ada “kegairahan” yang terus menyala pada Islam murni untuk tetap
dominan dan memegang supremasi terhadap mereka yang marginal dan pheriperal. Adalah
faktual bahwa para penganjur Islam Murni melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek
keagamaan. Islam populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level
bawah cara beragama, atau bahkan bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama, menurut
kacamata Islam Murni. Dengan demikian, Islam Murni adalah satu-satunya cara beragama yang
benar dan karenanya lebih superior dibanding cara dan “jalan lain ke sana” (baca: menuju
keselamatan), meminjam judul sinetron Chaerul Umam. Sebagaimana layaknya rezim kolonial,
Islam Murni juga menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah segregasi yang
sengaja diciptakan melalui pendekatan dan istilah yang cukup populer di kalangan mereka, yakni
“minna” wa “minhum”. “Minna” adalah representasi golongan kanan (ashab al-yamin),
kelompok dengan klaim kebenaran absolut; dan “minhum” sebagai wakil golongan kiri (ashab
asy-syimal), kelompok sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa adh-dhalalah).
Beban teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka untuk “membabat secara arif”
kelompok-kelompok semacam itu di luar Islam Murni.
Di usianya yang satu abad, introspeksi adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar. Boleh
jadi, Muhammadiyah merasa semakin beranjak dewasa, atau bisa juga sudah menjadi tua bangka
dan “loyo” untuk terus bertajdid (too old to be reformist). Ini semua berpulang para para
penganutnya yang setia. Yang jelas, setelah melalui perjalanan panjang sepuluh dasawarsa itu,
Muhammadiyah rupanya semakin mengkristalkan diri sebagai kekuatan ideologis, yang
dipahami dalam bahasa Karl Mannheim. Yakni ideologi lebih dimaknai dan nampak sebagai
battle cry atau arena propaganda. Organisasi yang dibidani oleh Kyai Ahmad Dahlan ini, kini
menyatakan perang dan melakukan propaganda (iman) yang berusaha membentuk opini tentang
isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan, absah dan tidak absah untuk dikritik
dan diubah. Atas nama misi suci ar-ruju` ila al-Qur’an wa as-Sunnah dan slogan TBC, mereka
dapat memobilisasi massa, membentuk opini publik, memolitisir kekuasaan untuk “berjuang
demi” atau “menentang terhadap”. Artinya, dengan keyakinan mempertahankan, menegakkan
dan menjunjung tinggi Islam murni, apapun perlu dilakukan sembari mengenyahkan kekuatankekuatan yang dipersepsi sebagai penghalang atau duri bagi tujuan luhur ini.
Nampaknya belum terbersit dalam pikiran dan nurani kelompok pendukung ideologi Islam murni
ini untuk mendudukkan ideologi lebih sebagai masalah “partisipasi” (daripada dominasi atau
manipulasi), sebagaimana dipahami Gramsci dan Bakhtin. Dalam arti luas, ideologi lebih
merupakan persoalan “pandangan dunia” (worldview) daripada propaganda partisan. Jadi,
ideologi adalah sistem kepercayaan yang komprehensif yang diikuti oleh berbagai kelompok
sosial, dan dengan berbagai macam alasan. Meminjam analisis tersebut, seyogyanya
Muhammadiyah menempatkan diri sebagai tenda besar bagi keragaman kelompok pendukung
dan simpatisannya. Semua individu dan kelompok memiliki peluang yang sama untuk
berpartisipasi dalam rangka memberikan kontribusi untuk mendefinisikan “apa”, “siapa” dan
“bagaimana” menjadi Muhammadiyah. Bukan mempropagandakan paham arus utama yang
disebut Islam murni itu, dan meminggirkan mereka yang berbeda. Taruhlah misalnya, rezim
Islam murni merasa perlu menggusur kelompok berhaluan `irfani atas nama ideologi
Muhammadiyah yang dipahami secara sempit.
Wacana Dakwah Kultural yang berkembang dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Bali pada
24-27 Januari 2002, merupakan lompatan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan
gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es
kejumudan tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari pimpinan dan warga
Muhammadiyah sendiri.
Tanwir memahami dakwah kultural meliputi dua pintu utama – konvensional dan komunikasi.
Yang pertama menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, khutbah, dialog interaktif dan
kegiatan tabligh lainnya. Cara ini sudah berlangsung lama dan masih terus digunakan sampai
saat ini. Yang kedua sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka
terjadinya perubahan pemahaman, keimanan dan pengamalan Islam secara individual; dan
perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani secara sosial.
Keberpihakan dakwah kultural adalah pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan
dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia
secara individual dan sosial. Cara dakwahnya “memudahkan” dan “menggembirakan” demi
tegaknya nilai-nilai Islam diberbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Upaya Muhammadiyah untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang
sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok
abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam. Singkatnya, dakwah
kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme,
keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat, termasuk mereka yang berada dalam kategori
abangan.
Melampaui kebekuan dakwah purifikatif yang selama ini dipandang sebagai ciri khas (idiokrasi
dan idiolatri, meminjam Kuntowijoyo) Muhammadiyah, yang ternyata mengalami benturan dan
kebuntuan di sana sini, dakwah kultural merupakan visi baru agar dakwah dalam arti seluas-
luasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan aliran. Perubahan orientasi dakwah agar
menyentuh aspek-aspek multikultural dan multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif
dengan memandang perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi obyeknya.
Sebelum perubahan orientasi ini, sudah ada pergeseran besar lain, yakni pergeseran dari
“gerakan purifikasi” (ijtihad pertama) yang orientasi dakwahnya mengembangkan isu takhayul,
bid’ah, dan khurafat (TBC), ke gerakan redefinisi TBC dalam kultus individu dan KKN. Gerakan
yang terakhir inilah yang disebut sebagai ijtihad kedua. Dakwah kultural merupakan upaya baru
untuk menggeser Muhammadiyah dari dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke
gerakan kultural dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme.
Memperhatikan pergeseran-pergeseran itu, dakwah kultural sesungguhnya mempunyai
kesinambungan (continuity) historis dengan perjalanan dakwah yang hampir satu abad itu.
Perubahannya (change) terletak pada cara dakwah kultural memaknai kembali wacana dan
gerakan TBC. Sesuai dengan namanya, dakwah kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan
kebudayaan yang menjadi kebutuhan dan tantangan kontemporer.
Serupa dengan dakwah purifikatif dan dakwah politik, dakwah kultural juga berpijak pada slogan
TBC, namun dengan pemaknaan yang sama sekali berbeda dengan dua dakwah sebelumnya
(lihat skema 1 dan skema 2). Penyandaran “kultural” menekankan distingsi yang berpijak pada
makna dan cakupan kebudayaan itu sendiri yang meliputi sistem gagasan (ide), aktivitas dan
fungsi, serta bentuk atau materi. Dari sini dapat dipahami, dakwah kultural ingin melakukan
perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak, sekaligus bentuk dan
materi kebudayaan.
Kata kunci dalam istilah “kultural” adalah inovasi dan kreasi. Inilah yang dimaksud bid’ah dalam
dakwah kultural. Sementara itu, takhayyul yang selama ini dipahami sebagai “sesuatu yang tidak
ada dalam kenyataan” (Nyai Roro Kidul misalnya), dipahami oleh dakwah kultural sebagai
imajinasi, suatu kekuatan dan kemampuan khas manusia yang merupakan anugerah alam dan
anugerah Tuhan (a gift of nature and a gift of God). Menurut dakwah kultural, berimajinasi
bukan cermin kemalasan dan tidak produktif karena suka “berkhayal”. Ini kekeliruan besar,
karena imajinasi adalah anugerah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Imajinasi
itu sendiri bertingkat-tingkat meliputi: imajinasi onerik, imajinasi estetik, imajinasi kreatif,
imajinasi abstraktif, dan imajinasi intuitif. Pada sisi ini, dakwah kultural nampaknya merupakan
penegasan pentingnya pendekatan `irfani (dalam manhaj Tarjih 2000); pada saat yang sama
dakwah kultural memperoleh dukungan metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya
dengan pendekatan inilah realitas imajinatif dapat dipahami. Sayangnya, pendekatan `irfani
selama ini justeru menjadi kontradiksi dan penolakan dalam Muhammadiyah, dan karena itu pula
Majelis Tarjih belum dapat mentanfidzkannya.
Yang dimaksud dengan khurafat selama ini adalah bid’ah dalam bidang aqidah. Ada sebagian
penulis menyandarkan khurafat pada nama orang yang memiliki “keahlian bercerita, membuat
legenda dan berdongeng”, seperti dongeng tentang kemampuan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang
dapat menangkap malaikat Izrail dan meminta agar ruh manusia yang dibawanya dikembalikan
ke jasadnya atas permintaan seseorang. Dakwah kultural, memaknai khurafat sebagai
“kemampuan menciptakan makna” (meaning-making), menciptakan dan membangun citra
(image-making and building) dalam wilayah-wilayah kultural dan keberagamaan.
Jadi, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah
kultural adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan
kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik
(indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong,
memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan
menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam
Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk
kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh
kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed
Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra
keberagamaan, keber-islam-an, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat
utama.
Penulis berharap, dakwah kultural menjadi semacam tenda besar bagi bangsa karena
mempertimbangkan dan menyantuni realitas masyarakat Indonesia yang plural dan
multikultural-multireligi dalam wacana dan gerakan dakwah; tenda besar bagi ummat Islam
karena mengusung semangat kebersamaan antargolongan di kalangan internal ummat menuju
tercapainya masyarakat madani; dan tenda besar bagi Muhammadiyah sendiri karena
Muhammadiyah terbuka bagi warga dan simpatisannya yang hadir dengan banyak wajah, aliran
dan kecenderungan, bukan semata wajah purifikatif-anti-TBC dalam pengertian lama (in the old
meaning).
Sumber: http://islamlib.com/id/artikel/dakwah-kultural-vs-imperialisme-islam-murni
Download