III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Konsep

advertisement
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Konsep Perekonomian Daerah
Secara makro, aktivitas perekonomian dapat dicermati melalui perilaku para
pelaku ekonomi di pasar, yaitu pemerintah, rumahtangga, dan dunia usaha. Ketiga
pelaku ini melakukan aktivitas ekonominya dengan tujuan yang spesifik dan
berbeda antara pelaku yang satu dengan yang lain. Dengan mencermati aktivitas
para pelaku ekonomi di pasar tersebut dapat diperoleh beberapa indikator suatu
perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, inflasi, kondisi
pasar tenaga kerja dan keseimbangan neraca dalam perekonomian. Dengan
demikian kita dapat melihat perkembangan perekonomian wilayah tersebut secara
keseluruhan.
Berkaitan dengan kebijakan makroekonomi menurut Branson dan Litvack
(1981), instrument yang sering digunakan dalam menyusun kebijakan yang akan
mempengaruhi perekonomian secara makro dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu penerapan kebijakan fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah,
penerapan kebijakan fiskal dengan cara memotong pajak, dan dengan melalui
kebijakan moneter dengan cara meningkatkan money supply.
Perekonomian dapat didekati dengan instrument aggregate supply dan
aggregate demand. Kedua instrument ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
menjelaskan kondisi perekonomian baik secara teoritis maupun mekanistis
terutama dalam menggambarkan fluktuasi output, tingkat harga, tingkat
pendapatan, dan inflasi. Gambar berikut mengilustrasikan interaksi antara
60
aggregate demand dan aggregate supply dalam pasar (Dornbusch et. al., 2004,
dan Case dan Fair ,1999).
Gambar 2. Hubungan Tingkat Harga, Output, Agregat Demand dan Agregat
Supply
Keterangan:
AS = Penawaran agregat
AD =Permintaan agregat
Po =Harga keseimbangan
Yo = Output keseimbangan
Berdasarkan Gambar 2. di atas dapat dilihat bahwa titik Eo merupakan
titik keseimbangan antara tingkat output dan tingkat harga. Pergeseran salah satu
kurva karena salah satu sebab akan merubah tingkat harga dan tingkat output.
Pergeseran kurva permintaan agregate ke kanan dapat disebabkan oleh dua hal,
61
yaitu peningkatan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Selain itu kurva
permintaan agregat juga bergeser ke kanan jika jumlah uang beredar meningkat
(Case dan Fair, 1999). Kedua penyebab ini menggeser
kurva Permintaan
aggregate bergeser dari ADo menjadi AD1.
Kurva Agregate Supply secara konsep adalah kurva yang menghubungkan
antara jumlah barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan pada harga
tertentu. Kurva ini slopenya positif karena perusahaan selalu berusaha untuk
menawarkan barang yang diproduksi pada harga yang lebih tinggi. Sedangkan
kurva aggregate demand slopenya negatif karena harga yang lebih tinggi akan
menurunkan nilai money supply yang selanjutnya akan menurunkan juga
permintaan akan output. Kurva permintaan agregate adalah kurva yang
menguhubungkan kombinasi level harga dan level output pada suatu pasar output
dan pasar uang
secara simultan dan keadaan pasar tersebut dalam keadaan
seimbang (Mankiw, 2003).
Perubahan dari salah satu kurva tersebut akan mempengaruhi keseimbangan
umum. Dalam perekonomian modern, komponen dari permintaan agregate terdiri
dari empat kelompok, yaitu pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran
investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor (Krugman dan
Obstfeld, 2003). Dengan demikian maka secara fungsi, pemerintah dapat
menyusun kebijakan yang bisa mempengaruhi pergeseran kurva permintaan
agregat.
Dengan mendasarkan pada hal tersebut di atas, komponen dari permintaan
agregate perlu dikelola secara optimal agar terjadi keseimbangan pasar yang
berkualitas. Dengan demikian dalam analisis ekonomi makro suatu daerah perlu
62
memperhatikan komponen tersebut. Agregate demand secara matematis dapat
diformulasikan sebagai berikut.
D=C (Y – T) + I + G + CA (EP*IP, Y-T)…(Krugman dan Obstfeld, 2003)
Keterangan:
C (Y – T)
= Konsumsi sebagai fungsi dari pendapatan disposibel
I+G
= Investasi dan pengeluaran pemerintah yang merupakan
variabel eksogen
CA (EP*/P,Y-T) = Current account yang merupakan fungsi dari real exchange
rate dan pendapatan disposibel
Formula tersebut di atas mengandung arti bahwa permintaan agregate akan
sangat terpengaruh oleh besarnya konsumsi yang merupakan fungsi dari
pendapatan disposibel, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, dan exchange
rate. Dalam hal ini investasi dan pengeluaran pemerintah merupakan faktor
eksogen yang penting dalam menggerakan perekonomian.
Dalam perekonomian, analisis secara komprehensif dapat dilakukan
dengan menggabungkan antara analisis kurva IS-LM dan analisis AD-AS. Dalam
kontek peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah alat analisis di atas
dapat digunakan. Kebijakan peningkatan investasi dan pengeluaran pemerintah
dengan yang lain dianggap tetap maka akan mengakibatkan keseimbangan pasar
bergeser. Kenaikan investasi mengakibatkan perubahan yang sama dengan
perubahan pengeluaran pemerintah jika asumsinya kurva LM tetap, dan tidak ada
ekspor dan impor dalam suatu perekonomian. Dengan perekonomian hanya terdiri
dari tiga sektor, yaitu pemerintah, perusahaan dan rumah tangga, maka kenaikan
pengeluaran pemerintah atau kenaikan investasi akan memberikan perubahan
63
yang sama, yaitu pergerakan IS ke arah kanan, seperti pada Gambar 3. (Branson
dan Litvack, 1981).
Sumber : Branson dan Litvack (1981)
Gambar 3. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah atau Investasi
terhadap Output
Keterangan:
r
= Tingkat suku bunga
y
= Output
s
= Tabungan
t
= Pajak
i
= Investasi
g
= Pengeluaran Pemerintah
Peningkatan pengeluaran pemerintah akan menggeser kurva go menjadi
g1. Dengan kondisi demikian output pada setiap tingkat bunga menjadi lebih
64
tinggi. Pada kurva g1 jika tingkat suku bunga ro, maka output yang dicapai pada
kondisi kesimbangan adalah Y1. Jadi meningkatnya pengeluaran pemerintah
memberikan dampak pergeseran kurva IS ke arah kanan, yaitu dari ISo menjadi
kurva IS1. Hal ini mempunyai arti bahwa output menjadi lebih besar. Tingkat
output yang besar akan meningkatkan aktivitas perekonomian. Selanjutnya
kondisi ini akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang
bekerja di sektor tersebut meningkat selanjutnya akan mengurangi pengangguran.
Dalam kontek yang sama jika suku bunga lebih rendah dari sebelumnya
maka investasi akan meningkat. Dengan mekanisme yang sama seperti diuraikan
pada Gambar 3 maka suku bunga yang lebih rendah juga akan meningkatkan
output. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya investasi dan
pengeluaran pemerintah mempunyai efek yang sama terhadap perekonomian,
yaitu penambahan output (Sukirno, 2000). Oleh karena itu dalam hal ini investasi
dan pengeluaran pemerintah menjadi sangat strategis untuk meningkatkan kinerja
perekonomian daerah.
3.2. Kerangka Kebijakan Fiskal Daerah pada Era Otonomi
Kebijakan otonomi daerah di Indonesia diikuti dengan kebijakan
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal sendiri mempunyai pengertian suatu
proses alokasi pengeluaran pemerintah dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang ada di bawahnya. Hal ini dimaksudkan untuk dapat
digunakan dalam mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang telah
dilimpahkan tersebut berdasarkan undang undang.
Dengan demikian maka
prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah prinsip money follow
65
functions. Prinsip ini merupakan suatu keharusan untuk optimalisasi pencapaian
tujuan desentralisasi fiskal. Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa pemerintah
pusat
selain
menyerahkan
dan
melimpahkan
sebagian
kewenangannya,
pemerintah pusat juga harus menyerahkan sebagian anggarannya untuk
pelaksanaan kewenangan tersebut.
Menurut Waluyo (2007) dalam pelaksanaannya desentralisasi fiskal dapat
menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment.
Pendekatan expenditure assignment adalah pendekatan sebagai akibat perubahan
tanggung jawab. Sebagian tanggungjawab pemerintah pusat dalam hal pelayanan
publik telah berpindah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pendekatan
ini dapat dilakukan dengan cara pembatasan kewenangan dan tanggungjawab
yang jelas. Selain itu, perlu juga menyusun standar kinerja. Dengan demikian
pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih optimal dan tepat.
Berbeda dengan expenditure assignment, pendekatan revenue assignment
lebih menekankan pada peningkatan kemampuan keuangan daerah dengan cara
pengalihan sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai
fungsi yang didesentralisasikan (Waluyo, 2007). Penentuan sumber-sumber
pembiayaan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara salah satunya dengan tax
assigment. Kondisi ini ditandai dengan disusunnya kebijakan pajak dan retribusi
daerah yang tepat. Di Indonesia implementasinya adalah dengan mendelgasikan
pengelolaan beberapa pajak yang tadinya dikelola pemerintah pusat sebagian telah
dialihkan menjadi pajak daerah.
Desentralisasi fiskal yang ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan
dan perimbangan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
66
telah memberikan dampak besar terhadap perekonomian daerah. Semua
pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah dikelola melalui APBD. Jadi
dalam kontek pemerintah daerah di Indonesia, pendapatan dan pengeluaran
pemerintah daerah selama satu tahun dimuat dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang merupakan persetujuan dan kesepakatan antara
eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan prosesnya melalui
tahapan tertentu yang melibatkan masyarakat.
Salah satu efek dari kebijakan pemerintah pusat tentang desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah adalah ketimpangan pendapatan antar wilayah.
Pendapat Etharina (2005) mengatakan bahwa disparitas regional antar wilayah di
Indonesia tidak lepas dari kebijakan pemerintah terhadap daerah terutama
berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah yang
termuat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa
pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua pendapatan daerah
yang meliputi pendapatan dari hasil kekayaan alam dan tambang telah
mengakibatkan daerah yang kaya sumber daya alam tidak menikmati hasil yang
dimiliki (Hill, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat
terbuksi mengakibatkan ketimpangan pendapatan antar wilayah. Oleh karena itu,
kebijakan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah seperti otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal diduga akan sangat berpengaruh terhadap ketimpangan
pendapatan antar wilayah.
Di Indonesia pengelompokan provinsi-provinsi dalam hal kinerja
perekonomian sangat beragam. Penelitian ketimpangan pendapatan berbasis
spasial yang dilakukan oleh Etharina (2005) selain membagi provinsi-provinsi
67
Jawa dan luar Jawa dia juga membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah,
yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). KBI
mencakup provinsi-provinsi di pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Provinsi Bali.
Sedangkan yang KTI meliputi provinsi-provinsi yang ada di Pulau Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
3.2.1. Kerangka Dasar Penerimaan Daerah
Pada Undang-Undang No 25 Tahun 1999 yang direvisi dengan UndangUndang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
Pengelolaan pembiayaan pembangunan daerah dilakukan berdasarkan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (Yustika, 2007). Pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi dilakukan atas
beban APBD yang berisi pendapatan dan belanja daerah untuk periode tahunan.
Dokumen APBD ini disusun melaui proses yang panjang dan melibatkan
berbagai institusi dan masyarakat. Alasannya adalah bahwa dokumen APBD
disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD). Dokumen
RKPD ini disusun oleh pemerintah daerah melaluai proses teknokratik,
partisipatif, politik, bottom up, dan top down (Undang-Undang No. 25 Tahun
2004 ).
Selanjutnya pada Undang-Undang No. 33 tahun 2004 diuraikan bahwa
penerimaan fiskal daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana bagi
hasil pajak dan bukan pajak, transfer dari pemerintah pusat, dan penerimaan lain
yang sah berdasarkan perundangan.
68
Secara konsep Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Adapun
yang termasuk dalam PAD adalah pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian
laba dari badan usaha milik daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah.
Sedangkan dana dari pemerintah berupa dana transfer berupa teridiri dari Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan total bagi hasil. Secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa total penerimaan daerah ini menggambarkan
ketersediaan fiskal daerah atau fiscal available, sedangkan kemampuan fiskal atau
kapasitas fiskal (fiscal capacity) menggambarkan kemampuan keuangan daerah
yang bersumber dari PAD dan total bagi hasil baik berupa bagi hasil pajak
maupun bagi hasil bukan pajak (UU No33/2004).
Secara definisi pajak merupakan pungutan yang yang dilakukan pemerintah
sesuai dengan kewenangan yang diatur undang-undang yang berlaku dan dapat
dipaksakan kepada subyek pajak. Pajak ini juga tidak mempunyai balas jasa
langsung yang dirasakan oleh penggunanya. Sedangkan Retribusi adalah pungutan
pemerintah karena pembayar menerima jasa langsung dari pemerintah.
Besaran pajak dan retribusi merupakan fungsi dari suatu perekonomian.
Perekonomian yang semakin beragam dan volumenya semakin tinggi pada suatu
daerah makin maka akan semkain banyak objek pajak dan retribusi yang bisa
dipungut. Hal ini mengandung arti bahwa semakin tinggi nilai suatu objek pajak
makin besar jumlah pajak yang dapat dipungut. Jenis pajak daerah misalnya pajak
hotel dan restaurant, pajak hiburan, pajak reklame, pajak listrik, dan lain-lain.
Sedangkan retribusi misalnya retribusi pelayanan kesehatan, pengurusan akte,
69
retribusi pasar, dan lain-lain. Jadi baik pajak maupun retribusi dan jenis
penerimaan daerah lainnya berkaitan dengan tingkat perekonomian suatu daerah.
Pemerintah daerah pada era otonomi sering melakukan kebijakan perubahan
penarikan pajak daerah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan
daerah. Menurut Devas et al (1989) tujuan pokok pada perubahan sistem pajak
adalah untuk menyederhanakan system pajak daerah, meningkatkan penerimaan
dari pajak dan mengoptimalkan kewenangan pemerintah daerah dalam menyusun
kebijakan pajak.
Peacock dan Wiseman dalam Mangkusubroto (1998) mengatakan bahwa
masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana
masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh
pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Masyarakat menyadari
bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintahan
sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar
pajak. Namun masyarakat juga mempunyai tingkat toleransi dalam membayar
pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan
pemungutan pajak. Selanjutnya dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB)
menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak
berubah. Dengan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran
pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
meningkatnya PDRB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar
dan menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
70
3.2.2. Kerangka Dasar Pengeluaran Daerah
Pengeluaran daerah merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Semakin
besar penerimaan maka semakin besar juga tingkat pengeluaran. Oleh karena itu,
semakin besar penerimaan, penyusun kebijakan pengeluaran daerah harus
merencanakan pengeluaran secara tepat dan sesuai kebutuhan masyarakat agar
manfaat dari anggaran tersebut dapat lebih berdaya guna dan tepat sasaran.
Secara konsep pengeluaran daerah adalah jumlah dana yang dikeluarkan dan
digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan daerahnya baik kebutuhan yang
termasuk dalam belanja langsung maupun yang termasuk dalam belanja tidak
langsung.
Pengeluaran pemerintah atau government expenditure ini dalam
praktiknya adalah semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Variabel pengeluaran pemerintah termasuk dalam
kelompok perubah eksogen di mana besaran nilainya tergantung pada strategi
yang dianut pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan fiskalnya.
Dalam kaitannya dengan keuangan daerah, seluruh potensi dan pendapatan
daerah disebut dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). Sedangkan total
pengeluaran disebut kebutuhan fiskal ( fiscal needs). Selisih antara kapasitas fiskal
daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need) menunjukkan besarnya
kesenjangan fiskal daerah (fiscal gap), semakin besar nilai negatif dari
kesenjangan fiskal menunjukkan kesenjangan fiskal daerah yang semakin senjang.
Pengeluaran
pemerintah
bisa
diklasifikasikan
menjadi
4
yaitu
:
(1) pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan barang dan jasa yang digunakan
sekarang atau yang disebut dengan final consumption, (2) pengeluaran pemerintah
71
investasi yaitu pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastuktur dan riset,
(3) pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk produksi yang menggunakan
faktor tenaga kerja yang berasal dari pemerintah itu sendiri dan penggunaan aset
tetap dan pembelian barang dan jasa yang sifatnya intermediet, dan (4)
pengeluaran pemerintah bisa digunakan untuk keperluan transfer dalam rangka
pembiayaan kepentingan dan pengamanan sosial (Mankiw,2003).
Empat faktor yang mempengaruhi perkembangan pengeluaran pemerintah
yaitu : (1) perubahan permintaan akan barang publik, (2) perubahan aktivitas
pemerintah dalam menghasilkan barang publik, (3) perubahan dari kombinasi
faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi barang publik, dan (4)
Perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga-harga faktor produksi
(Mangkusubroto, 1998). Faktor faktor ini menjadi penting bagi penyusun
kebijakan agar output yang dihasilkan dapat optimal dalam arti sesuai dengan
kemampuan daerah dan kebutuhan daerah.
Selanjutnya Mangkoesubroto (1998) menyatakan bahwa teori pengeluaran
pemerintah dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok makro dan mikro. Yang
termasuk dalam kelompok makro adalah model pembangunan tentang
perkembangan pengeluaran pemerintah, Hukum Wagner, dan Teori Peacock, dan
Wiseman.
Dalam model pembangunan yang berkaitan dengan perkembangan
pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave (2003). Teori
ini mengembangkan teori yang menghubungkan perkembangan pengeluaran
pemerintah dan tahap-tahap pembangunan ekonomi.
Pada tahap awal
perkembangan ekonomi persentase investasi pemerintah terhadap total investasi
besar sebab pemerintah harus menyediakan prasarana seperti misalnya
72
pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi dan sebagainya (Sirojuzilam ,
2009). Pada tahap menengah dan lanjut memerlukan alokasi anggaran yang
berbeda.
Hukum Wagner adalah hukum yang menghubungkan pengeluaran
pemerintah dengan perkembangan produk domestik bruto. Ekonom German,
Adolph Wagner dalam bukunya Grundlegung der Politischen Ökonomie (1863)
memformulasikan hukum pengembangan aktivitas pemerintahan (Peters,2012).
Kemudian Atkinson and Stiglitz (1980) dalam Henrekson (1993) mengatakan
bahwa Hukum Wagner yang dikenal dengan “The Law of Expanding State
Expenditure”pada prinsipnya mengatakan bahwa dalam jangka panjang terdapat
kecenderungan sektor publik akan tumbuh secara relative dengan pendapatan
nasional. Dengan kata lain perkembangan pengeluaran pemerintah akan semakin
besar dalam persentase terhadap Gross National Product ( GNP). Dalam hal ini
Mangkusubroto (1998) mengatakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila
pendapatan per kapita meningkat secara relative maka pengeluaran pemerintah
juga akan semakin meningkat. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut.
Keterangan:
PkPP
= Pengeluaran pemerintah per kapita
PPK
= Pendapatan per kapita
1,2,…,n
= Jangka waktu (tahun)
73
Secara diagramatik Hukum Wagner ditunjukkan pada Gambar 4. Pada
Gambar
tersebut
menjelaskan
bahwa
kenaikan
pengeluaran
pemerintah
mempunyai bentuk tidak linier tetapi bentuknya eksponensial. Bentuk
eksponensial tersebut ditunjukkan oleh Kurva 1dan bukan Kurva 2.
Sumber: Mangkoesoebroto, 1998.
Gambar 4. Hubungan antara Pengeluaran Pemerintah dengan Pendapatan
Nasional dalam Jangka Panjang
Dengan Gambar di atas terlihat bahwa pertumbuhan perekonomian
semakin besar dan komplek. Hubungan antar industri semakin besar, hubungan
antara industri dengan masyarakat semakin rumit dan komplek. Dengan demikian
peranan pemerintah menjadi semakin besar karena pemerintah harus mengatur
hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan kebudayaan
kesehatan dan sebagainya. Hal ini dapat berlangsung dengan baik jika pemerintah
menganggap sebagai individu yang bebas bertindak terlepas dari anggota lainnya.
(Mangkusubroto, 1998). Dengan mendasarkan pada Hukum Wagner berarti
74
pemerintah cenderung terus meningkatkan pengeluarannya. Artinya setiap sektor
mengharapkan untuk bisa terus memperoleh alokasi anggaran yang tinggi agar
sektor tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang diminta oleh masyarakat
bersangkutan.
Selain Hukum Wagner dalam kaitan dengan pengeluaran pemerintah,
Peacock dan Wiseman mengemukakan teorinya tentang pengeluaran pemerintah.
Teori ini mendasarkan bahwa fluktuasi pengeluaran publik seiring dengan tingkat
pendapatan dan berjalannya waktu. Hipotesis yang diajukan adalah bahwa
pengeluaran publik tumbuh karena pertumbuhan pendapatan dari pajak. Jadi
pengeluaran pemerintah merupakan fungsi dari besarnya penerimaan negara.
Dari beberapa alternatif alokasi pengeluaran pemerintah, Rosen (2002)
mengatakan bahwa alokasi anggaran yang strategis dari sisi pembangunan
masyarakat adalah alokasi untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Bidang ini
merupakan bagian yang terpenting dalam kebijakan anggaran. Kebijakan alokasi
ke bidang ini sangat tepat berkaitan dengan peranan pemerintah sebagai penyedia
dari barang publik. Dampak eksternalitas dari kebijakan alokasi anggaran untuk
kedua bidang tersebut tentunya diharapkan berpengaruh pada peningkatan tingkat
pendidikan dan kesehatan bila anggaran yang digunakan sesuai dengan yang
diharapkan.
Berbeda dengan pendekatan makro, secara mikro pengeluaran pemerintah
dimaksudkan untuk memenuhi permintaan barang publik yang diminta
masyarakat. Permintaan barang publik ini sangat tergantung dari beberapa hal,
yaitu perubahan preferensi dari masyarakat akan kebutuhan barang publik,
perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga
75
perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi,
perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor faktor produksi
untuk memproduksi barang publik tersebut.
Dengan mendasarkan pada uraian di atas dan perkembangan empiris
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah, maka perkembangan pengeluaran
pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu wilayah. Pada
tahap awal perkembangan ekonomi, pengeluaran pemerintah negara yang besar
digunakan untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur
seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan. Pada tahap menengah pembangunan
ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun
diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut
pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan terutama untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat,
misalnya
peningkatan
kualitas
pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, dan untuk jaminan sosial.
Pada konteks keuangan daerah, tingkat pengeluaran pemerintah daerah
tercermin dari nilai APBD khususnya pada komponen belanja. Anggaran belanja
dalam format APBD diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program,
kegiatan dan jenis belanja. Stiglitz (2000) dalam Riyanto dan Siregar (2005)
menyatakan bahwa APBD memegang peranan sentral dalam hal mengatasi
kegagalan pasar penyediaan barang dan jasa publik. Dengan demikian maka
tingkat pengeluaran pemerintah yang termuat dalam APBD diharapkan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan terutama jika
alokasi pengeluaran ini lebih besar untuk penyediaan barang dan jasa publik
dibandingkan untuk pengeluaran rutin atau operasional pemerintah.
76
Selain besarnya investasi dan pengeluaran pemerintah kinerja perekonomian
daerah juga tergantung dari beberapa faktor baik yang sifatnya teknis maupun non
teknis. Faktor tersebut antara lain adalah proses perencanaan pembangunan di
daerah, pengelolaan keuangan daerah, dan kualitas birokrasi pemerintahan di
daerah yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (Riyanto dan Siregar,
2005). Oleh karena itu, jika pengeluaran pemerintah dikelola dengan baik dengan
mendasarkan pada pengalaman empirik dan teoritik maka pengeluaran pemerintah
dapat mendorong terjadinya perbaikan kinerja perekonomian daerah dan tingkat
kesejahteraan yang direpresentasikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
(economic growth), peningkatan jumlah orang yang bekerja, dan penurunan
jumlah penduduk miskin.
Dalam kaitannya dengan pengeluaran pemerintah, sistem pengelolaan
keuangan daerah menjadi penting untuk keperluan administrasi keuangan daerah
dan akuntansi pengelolaan keuangan daerah sesuai peran pemerintah sebagai
penanggung jawab pengelola keuangan daerah. Sistem akuntansi pengelolaan
keuangan daerah pada era otonomi daerah terus mengalami perubahan dan terus
disempurnakan. Hal ini menjadikan bahwa sistim akuntansi pengelolaan keuangan
daeah mengalami perubahan yang diatur dalam peraturan perundangan. Secara
diagramatik perkembangan perubahan tata kelola keuangan daerah dapat dilihat
pada Gambar 5.
Pendekatan pengeluaran pemerintah, pada periode sebelum tahun
2006 menggunakan belanja sektor. Dalam hal ini dikenal belanja rutin dan belanja
pembangunan yang merupakan belanja sektor pembangunan. Sementara mulai
tahun 2006, belanja pemerintah daerah dikelompokkan menjadi belanja urusan
77
pemerintahan. Kelompok belanjanya adalah belanja langsung dan belanja tidak
langsung.
Sumber: Diadaptasikan dari Yuwono et. al.( 2007)
Gambar 5. Perundang-undangan berkaitan dengan Pengelolaan Keuangan
Daerah
Berdasarkan perbedaaan tersebut di atas maka diperlukan penyelarasan dan
penyesuaian dalam mengolah data agar antara tahun yang satu dengan tahun yang
lain tetap konsisten dan tidak berubah. Hal ini dilakukan terutama untuk
konsistensi belanja sebelum dan sesudah implementasi perundangan otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 33 tahun 2004.
78
3.3.
Peran Investasi dalam Pembangunan Daerah
Dalam konsep perekonomian, investasi sangat menentukan dinamika
kegiatan ekonomi. Hal ini disebabkan karena investasi dapat menggerakan
pertumbuhan ekonomi. Investasi yang masuk dalam perekonomian mempunyai
efek keterkaitan baik ke depan maupun ke belakang (forward and backward
linkages). Selain itu investasi juga dapat menyediakan lapangan kerja baru dan
membantu mengurangi kemiskinan.
Mengingat pentingnya investasi, maka pada era otonomi daerah para
pimpinan daerah berusaha mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan cara
memacu investasi baru yang sesuai dengan daya dukung dan potensi daerah.
Investasi dapat diperoleh dengan cara melakukan proses produksi dan reproduksi
kapital yang dapat didorong melaluai reinvestasi profit dan pembiayaan eksternal
melalui kredit (Hidayat dan Nugroho, 2010).
Investasi adalah pengeluaran untuk pembelian barang untuk keperluan
waktu yang akan datang atau pembelian barang barang modal termasuk dalam hal
ini adalah pembelian saham dan obligasi. Investasi ini dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu bussiness fixed investment, residential fixed investment, dan
inventory investment (Mankiw, 2003). Bussiness fixed investment adalah investasi
pembelian untuk pabrik dan peralatannya. Residential fixed investment adalah
pembelian berupa rumah atau tempat tinggal, sedangkan inventory investment
adalah investasi untuk pembelian barang tahan lama dan jasa untuk proses
produksi. Jadi investasi merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan stok barang-barang modal, yaitu mesinmesin, dan produk-produk tahan lama yang diharapkan memberikan keuntungan.
79
Peran investasi dalam perekonomian dapat digambarkan dengan model
perekonomian salah satunya adalah Model multiplier regional Keynesian. Model
ini merupakan model yang diadaptasikan dari model standar Keynesian National
Income Multiplier Expenditure. Dengan asumsi bahwa marginal dan biaya input
rata-rata konstan serta diasumsikan tidak ada konstrain dalam perekonomian,
maka model multiplier income-expenditure national Keynesian standar dapat
dilihat pada Gambar 6. Secara umum gambar ini mendeskripsikan bahwa
perubahan dalam pendapatan Y sebagai akibat perubahan investasi. Perubahan
pendapatan ini akan sangat berkaitan dengan perubahan dalam permintaan
agregate AD yang dapat direpresentasikan dengan Y = k ( AD), k itu sendiri
merupakan angka multiplier. Besarnya angka multiplier ini merupakan nilai ratio
perubahan dari Y1 ke Y2 dibagi pergerakan sumbu vertical AD1 ke AD2.
Perubahan bergerak dari a, ke b dan kemudian ke c dan seterusnya (McCann,
2006).
Sumber: McCann (2006)
Gambar 6. Model Multiplier, Pendapatan, dan Pengeluaran Keynesian
80
Pada Gambar 6 tersebut di atas, bisa diartikan bahwa perubahan pada setiap
komponen permintaan agregate akan mempengaruhi besarnya komponen
permintaan agregate dikalikan dengan mulitplier tersebut. Proses pengalian ini
berjalan terus menerus dan dinamis. Dengan demikian jika hal ini berjalan dalam
waktu yang cukup lama dan terus menerus maka permintaan agregat akan
semakin bertambah besar.
Investasi
dalam
perekonomian
juga
sangat
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ekonomi. Jumlah investasi ini merupakan determinan output suatu
perekonomian yang penting.
Jika investasi bertambah dan digunakan untuk
proses produksi maka terjadi penambahan produksi. Perubahan ini bisa mengarah
ke pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitannya dengan persediaan kapital dalam
perekonomian ada dua hal yang mempengaruhi output, yaitu investasi dan
depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan
peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi
berkaitan dengan penggunaan modal yang menjadikan persediaan modal
berkurang. (Mankiw, 2003).
Investasi juga dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas sumberdaya
manusia. Investasi Sumberdaya manusia (human capital) dimaksudkan untuk
memperbaiki
kualitas
sumberdaya manusia.
Sumberdaya
manusia
yang
berkualitas akan mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih besar
terhadap produksi. Sekolah-sekolah formal, sekolah-sekolah kejuruan, programprogram latihan kerja, serta berbagai pendidikan informal lainnya semuanya
diciptakan secara lebih efektif untuk memperbesar kemampuan manusia,
sumberdaya-sumberdaya lainnya sebagai hasil dari investasi langsung dalam
81
pembangunan gedung-gedung, peralatan, dan bahan-bahan belajar mengajar.
Latihan-latihan tingkat lanjutan yang relevan bagi tenaga pendidik, demikian pula
dengan buku-buku pelajaran ekonomi yang baik, bisa membuat perubahan yang
sangat besar dalam mutu, kepemimpinan, dan produktivitas tenaga kerja yang ada.
Oleh karena itu, investasi sumberdaya manusia dapat meningkatkan dan
memperbaiki produktivitas sumberdaya daya lainnya.
3.4. Produk Domestik Regional Bruto sebagai Indikator Perekonomian
Daerah
Fungsi pemerintah dalam perekonomian modern dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stablisasi. Sebagai alokator,
pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan
secara efisien. Dalam menjalankan fungsi distribusi, pemerintah harus bisa
mendistribusikan barang dan jasa secara adil sehingga tidak terjadi kerugian di
dalam masyarakat. Sebagai stabilisator pemerintah diharapkan bisa menjaga
stabilitas perekonomian sehingga terwujud dinamika perekonomian yang stabil
dan tidak terjadi guncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan
inflasi. Dengan demikian maka diharapkan pemerintah dapat menjaga agar pasar
tidak terdistorsi. Artinya mekanisme pasar berjalan degan baik dan sistem pasar
dapat
membuat
penyesuaian-penyesuaian
yang
akan
menciptakan
full
employment. Dengan demikian maka peranan pemerintah sangat penting dalam
perekonomian.
Dalam perekonomian daerah indikator yang sering digunakan untuk
mengukur dinamika perekonomian adalah Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). PDRB secara definisi adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
82
seluruh unit usaha dalam suatu wilayah atau merupakan jumlah seluruh nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah.
PDRB dapat dihitung dengan metode langsung dan metode tidak langsung.
Dalam hal ini akan dibahas hanya untuk metode langsung. Metode langsung yang
digunakan dalam hal ini dilakukan dengan pendekatan produksi, pendekatan
pendapatan, dan pendekatan pengeluaran (Tarigan, 2004). Pada pendekatan
produksi dilakukan dengan cara penghitungan nilai tambah barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu kegiatan atau sektor ekonomi dengan cara mengurangkan
nilai produksi total dengan biaya total produksi sektor atau subsektor.
PDRB
diartikan sebagai jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu
biasanya satu tahun. Sedangkan pendekatan pendapatan mempunyai arti bahwa
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi
yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu
tertentu. Dalam definisi ini PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak
langsung netto. Pendekatan pengeluaran mempunyai arti bahwa PDRB merupakan
semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran konsumsi
rumahtangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan
modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi
impor). Secara konsep ketiga pendekatan akan menghasilkan angka yang sama.
Metode pendekatan yang sering digunakan dalam hal perhitungan adalah dengan
pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran atau permintaan.
Salah satu perhitungan PDRB yang sering digunakan dalam suatu
perekonomian adalah dengan pendekatan produksi. Pendekatan ini merupakan
83
penghitungan PDRB secara langsung dan formulasinya dapat dinyatakan secara
matematis sebagai berikut :
Keterangan :
Yi
= Nilai produksi (output) sector-sektor perekonomian mulai dari
sector ke-i sampai sector ke-n.
t
= Tahun pengamatan
Dengan mendasarkan pada formula tersebut di atas maka PDRB tergantung
pada jumlah input yang disebut faktor-faktor produksi, kemampuan dan proses
untuk mengubah beberapa input menjadi output. Hubungan ini sering ditunjukkan
dalam fungsi produksi. Secara konsep, hubungan teknis antara output, kapital dan
tenaga kerja dapat dilihat pada fungsi produksi sebagai berikut :
Yi = F(Ki, Li)
Keterangan :
Yi
= Output/produksi sektor i
Ki
= Input produksi modal sektor i
Li
= Input produksi tenaga kerja sektor i
Dengan mendasarkan pada fungsi produksi seperti terlihat pada persamaan
di atas maka dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan untuk mengubah
modal dan tenaga kerja menjadi output menjadi jelas. Hubungan input dan output
dalam fungsi porduksi juga dapat dibagi menjadi tiga kategori, increasing return
to scale, decreasing return to scale, dan constant return to scale. Increasing
return to scale mempunyai pengertian bahwa jika seluruh input produksi kita
84
tingkatkan sebesar 10 persen maka output akan meningkat dalam prosentase yang
lebih besar dari 10 persen. Decreasing return to scale mengandung arti bahwa jika
seluruh input produksi kita tingkatkan sebesar 10 persen maka output akan
menurun atau lebih kecil dari 10 persen. Sedangkan constant return to scale
mempunyai pengertian bahwa jika seluruh input produksi kita tingkatkan sebesar
10 persen maka akan diperoleh output dengan prosentase yang sama, yaitu 10
persen.
Secara teknis hubungan input dan output dapat dirumuskan sebagai
berikut :
zYi
=
F (zKi, zLi)
Keterangan:
Yi
= Output/produksi sektor i
Ki
= Input produksi modal sektor i
Li
= Input produksi tenaga kerja sektor i
z
= Presentase input dan ouptu dari sector i
Dari sisi pengeluaran, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan
jumlah pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah,
pembentukan modal tetap atau investasi, dan ekspor netto dalam suatu wilayah
dalam jangka waktu tertentu. Adapun formula PDRB berdasarkan pengeluaran
yang dikenal dengan permintaan agregat adalah:
Y(t) = C(t) + I(t) + G(t) + X(t) – M(t)
Secara konsep PDRB sangat penting dalam perekonomian regional karena
PDRB merupakan indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan
pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan dapat digunakan
sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama bagi penyusun
85
kebijakan pembangunan daerah. Selain itu, PDRB merupakan representasi dari
kegiatan perekonomian daerah. Oleh karena itu, dengan melihat perkembangan
PDRB dapat dilihat pertumbuhan perekonomian suatu daerah dan sektor utama
dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
3.5. Fungsi Konsumsi Agregat dalam Perekonomian
Fungsi konsumsi dalam perekonomian merupakan fungsi yang penting
karena fungsi ini mengindikasikan hubungan kuantitas dari konsumsi dengan
variabel yang mempengaruhinya. Dengan demikian, para penyusun kebijakan
pembangunan daerah sangat membutuhkan fungsi konsumsi yang komprehensif
dalam penyusunan kebijakan ekonomi.
Dalam ekonomi makro ada dua tipe pengeluaran. Pertama pengeluaran oleh
individu yang sering disebut dengan pengeluaran rumahtangga. Kedua adalah
pengeluaran oleh perusahaan yang sering disebut dengan investasi. Menurut Case
dan Fair (1999) ada empat faktor yang mempengaruhi konsumsi aggregate, yaitu:
pendapatan rumahtangga, kesejahteraan rumahtangga, suku bunga, dan harapan
rumahtangga akan masa yang akan datang. Semakin tinggi pendapatan akan
semakin tinggi pula pengeluaran. Rumahtangga yang tingkat kesejahteraanya
tinggi maka semakin tinggi juga tingkat pengeluarannya. Suku bunga yang rendah
akan mendorong rumahtangga untuk meningkatkan konsumsi. Jika masa depan
diperkirakan cerah maka akan meningkatkan pengeluaran untuk masa sekarang.
Selanjutnya mereka juga menyusun diagram hubungan pendapatan dengan
konsumsi yang dikenal dengan fungsi konsumsi. Kurva fungsi konsumsi dapat
digambarkan sebagai berikut.
86
Sumber: Case dan Fair (1999)
Gambar 7. Fungsi Konsumsi untuk Rumahtangga
Fungsi c (y) mempunyai arti bahwa konsumsi merupakan fungsi dari
pendapatan. Kurva fungsi konsumsi dengan pendapatan slope nya adalah positif.
Ini mengandung arti bahwa jika pondapatan meningkat maka konsumsi juga
meningkat. Interseksi antara konsumsi dengan pendapatan berada di atas titik
origin (0). Hal ini mengandung arti bahwa walaupun tidak ada pendapatan maka
konsumsi juga tetap dilakukan oleh rumahtangga. Dengan kata lain walaupun
rumahtangga tidak mempunyai pendapatan, rumahtangga tersebut harus tetap
berkonsumsi. Menurut Case dan Fair (1999) hubungan ini diformulasikan dengan
persamaan sebagai berikut :
C= a + bY
Keterangan:
C
= Konsumsi Agregat
Y
= Output Agregat
a
= Titik perpotongan antara C dan Y pada saat Y sama dengan 0
b
= Slope
87
Persamaan C= a + bY , yang merupakan hubungan antara output dengan
pendapatan dapat didiagramkan seperti pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tersebut
dapat dijelaskan bahwa dengan pendapatan yang terus meningkat dan
perubahannya sebesar ∆Y, konsumsi meningkat sebesar b dikalikan dengan ∆Y.
Dengan demikian maka ∆C= b X ∆Y atau dengan kata lain b = ∆C/∆Y.
Persamaan ini sangat
penting dalam perekonomian untuk menghitung
kecenderungan konsumsi masyarakat.
Sumber: Case dan Fair (1999)
Gambar 8. Fungsi Konsumsi Agregat
Slope dari fungsi konsumsi sering disebut dengan Marginal Propensity to
Consume (MPC). Secara definsi MPC merupakan fraksi perubahan dari
pendapatan yang dikonsumsi. Di dalam dunia nyata pemerintah memperoleh
pendapatan dari rumahtangga dalam bentuk pajak. Oleh karena itu, rumahtangga
membelanjakan pendapatannya setelah total pendapatan dikurangi dengan pajak.
Hal ini sering disebut dengan pendapatan disposable atau pendapatan
88
rumahtangga setelah pajak. Dengan demikian besarnya konsumsi rumahtangga
yang difomulasikan sebagai C=a+bY secara kenyataan besarnya Y adalah setelah
dikurangi dengan pajak. Kondisi seperti ini dapat difomulasikan dengan Y=a + b
(Y-Tax) atau sering diformulasikan dengan Y =a+bYd. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa besarnya konsumsi rumahtangga sangat tergantung dari
pendapatan disposibel.
3.6. Penyerapan Tenaga Kerja dalam Perekonomian Daerah
Penyerapan tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap pengangguran dalam
perekonomian daerah. Semakin tinggi tingkat penyerapan tenaga kerja maka akan
semakin rendah angka pengangguran di daerah tersebut. Kaitan seperti inilah yang
menjadikan bahwa pembahasan penyerapan tenaga kerja yang merupakan faktor
penting dalam membahas pengangguran daerah menjadi sangat penting.
Dalam perekonomian daerah pengangguran merupakan salah satu aspek
yang penting dan menentukan kinerja perekonomian. Hal ini penting karena
tingkat pengangguran sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengangguran maka semakin rendah tingkat
kesejahteraan di daerah tersebut. Dalam diskusi tentang pengangguran informasi
tentang pasar tenaga kerja menjadi sangat penting.
Dalam pasar tenaga kerja selalu ada permintaan tenaga kerja dan penawaran
tenaga kerja. Integrasi antara permintaaan dan penawaran tenaga kerja ini yang
akan membentuk suatu keseimbangan pasar tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja
dalam hal ini adalah dilihat dalam jumlah penyerapan atau permintaan tenaga
keja. Permintaan tenaga kerja dipengaruhi antara lain oleh upah, produktivitas,
inflasi, output (PDRB), net migration (dengan motivasi ekonomi), dan populasi.
89
Secara konsep permintaan tenaga kerja pada dasarnya merupakan interaksi antara
jumlah tenaga kerja dengan upah. Jika dikaitkan dengan dunia usaha maka dapat
dikatakan bahwa perusahaan mempekerjakan seseorang adalah untuk membantu
memproduksi barang atau jasa yang akan dijual kepada konsumennya. Dengan
dasar ini maka nilai permintaan dunia usaha terhadap tenaga kerja sangat
dipengaruhi oleh besaran permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi
oleh dunia usaha. Dengan mendasarkan pada alasan ini maka permintaan terhadap
tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari pasar barang
dan jasa.
Secara konsep penawaran tenaga kerja yang meliputi semua jumlah orang
yang mempunyai pekerjaan dalam masyarakat ditambah jumlah orang yang secara
aktif mencari pekerjaan dan jumlah mereka yang seharusnya dapat diikutsertakan
dalam kegiatan ekonomi apabila terdapat kesempatan kerja yang memadai. Supply
atau penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah dengan
jumlah tenaga kerja Fungsi penawaran tenaga kerja merupakan fungsi dari tingkat
upah, harga dan pendapatan. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS, 2006) penawaran
tenaga keja lebih dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk dalam angkatan
kerja. Perubahan jumlah penduduk dalam angkatan kerja di suatu negara lebih
banyak dipengaruhi oleh populasi suatu negara, maka besar kemungkinan
penawaran kerja akan semakin tinggi yang disebabkan oleh bertambahnya
penduduk dalam angkatan kerja. Total jumlah penawaran tenaga keja secara
ekonomi tergantung pada tiga komponen, yaitu : jumlah populasi jumlah
penduduk di suatu wilayah, persentase angkatan kerja, dan jam kerja.
90
Angkatan kerja akan bertambah jika jumlah penduduk bertambah.
Pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya melalui kelahiran dan migrasi
penduduk. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya angkatan kerja yang berarti
bertambah pula penawaran tenaga keja. Jumlah penduduk yang bertambah yang
berarti juga akan menambah angkatan kerja. Jika lapangan pekerjaan terbatas akan
mengakibatkan terlihatnya perbedaan antara penawaran dan permintaan tenaga
kerja atau pasar tenaga keja. Jika supply tenaga kerja lebih banyak dari pada
permintaan tenaga kerja maka terjadi pengangguran. Supply tenaga kerja juga
dipengaruhi oleh tingkat upah riil. Hubungan jumlah tenaga kerja dengan tingkat
upah dapat dilihat secara diagramatik dengan gambar sebagai berikut.
Sumber: Dornbusch et. al., (2004)
Gambar 9. Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Riil pada Saat
Kurva Permintaan Tenaga Kerja Bergeser
91
Gambar 9. di atas dapat dijelaskan bahwa jika permintaan tenaga kerja
meningkat karena perusahaan meningkatkan kapital maka kurva Do bergeser
menjadi DI. Akibatnya upah riil meningkat dari Wo ke W1 dan jumlah tenaga
kerja yang bekerja meningkat dari Lo ke L1. Dengan melihat Gambar 9 tersebut
maka jumlah anggkatan kerja dalam perekonomian menjadi sangat penting dalam
penyusunan kebijakan pembangunan daerah. Kaitannya dengan pergeseran kurva
penawaran gambar berikut akan menjelaskan kejadian pergeseran kurva
penawaran tenaga kerja.
Sumber: Dornbusch et. al., (2004)
Gambar 10. Hubungan Jumlah Tenaga Kerja dengan Upah Rill pada Saat
Kurva Penawaran Tenaga Kerja Bergeser
Gambar 10. menjelaskan tentang kejadian jika penawaran tenaga kerja
meningkat karena misalnya karena adanya imigrasi maka kurva So bergeser ke
S1. Jika hal ini terjadi maka jumlah tenaga kerja yang siap bekerja bertambah dari
Lo ke L1. Hal ini mendorong upah menurun dari Wo ke W1. Jadi pergeseran
92
kurva tenaga kerja baik kurva permintaan maupun kurva penawaran akan
mempengaruhi tingkat upah.
Dalam hal keseimbangan pasar tenaga kerja pada persaingan sempurna
maka tingkat penyerapan tenaga kerja (level of employment) dan tingkat upah
ditentukan secara bersamaan oleh segenap harga-harga output dan faktor-faktor
produksi selain tenaga kerja (Todaro dan Smith, 2006).
Secara definisi pengangguran adalah mereka yang mencari perkerjaan,
mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin
mendapatkan pekerjaan, sudah punya pekerjaan tapi belum mulai bekerja
(Depnakertrans, 2009). Kelompok ini sering disebut penganggur terbuka (Open
Unemployment). Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ini memberikan indikasi
tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran.
Tingkat
pengangguran
terbuka
diukur
sebagai
persentase
jumlah
penganggur/pencari kerja terhadap jumlah angkatan kerja, yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
TPT = (Pencari Kerja / Angkatan Kerja) x 100 persen
Dalam perekonomian daerah salah satu indikator yang penting adalah
tingkat pengangguran. Indikator tingkat pengangguran terbuka memberikan acuan
kepada penyusun kebijakan dalam pembukaan lapangan kerja baru. Selain itu,
perkembangannya
dapat
menunjukkan
tingkat
keberhasilan
program
ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Yang lebih utama lagi indikator ini sering
digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian
daerah.
93
3.7.
Pembangunan Daerah dan Kemiskinan
Pembangunan yang selama ini dilakukan pemerintah ternyata telah belum
berhasil
memberantas
kemiskinan.
Pembangunan
selama
ini
malah
mengakibatkan efek samping berupa ketimpangan antar wilayah yang cukup
tajam antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (Hill,
2000). Pada dekade 90-an, wilayah Jawa-Bali mempunyai pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi dan pertumbuhan ini diikuti dengan indikator sosial yang
sangat baik. Hal ini berbeda sekali dengan kondisi di kawasan Timur Indonesia
yang masih ditandai dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi.
Keberhasilan pembangunan suatu daerah juga harus dilihat dari berapa besar
jumlah orang miskin yang dapat dientaskan menjadi orang tidak miskin. Untuk
itulah maka penelitian ini memasukkan variabel tingkat kemiskinan sebagai salah
satu variabel penting untuk melihat kinerja pembanguan daerah. Apakah belanja
daerah yang telah dialokasikan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin.
Selain itu juga penelitian ini mendeteksi peran investasi dalam kaitannya dengan
penurunan jumlah penduduk miskin di daerah.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya
dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut
ilmiah yang telah mapan.
94
Secara
konsep
kemiskinan
merupakan
fenomena
multidimensional
mencakup : (1) gambaran kekurangan materi yang biasanya mencakup kebutuhan
pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan
dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan
dasar, (2) gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal
ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan
dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan
tidak dibatasi pada bidang ekonomi, dan (3) gambaran tentang kurangnya
penghasilan dan kekayaan yang memadai. Semua variabel ini merupakan
representasi dari tingkat kesejahteraan dari masyarakat. Variabel kemiskinan ini
juga merupakan variabel penting dalam penentuan tingkat kesejahteraan. Seperti
formula kesejahteraan di bawah ini (Todaro dan Smith, 2006).
W = f (Y,I,P)
Formula tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Tingkat
kesejahteraan (W) dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan per kapita (Y) dan
hubungan korelasinya positif. Selanjutnya dipengaruhi juga oleh ketimpangan
pendapatan (I) yang berkorelasi negatif. Selain itu tingkat kesejahteraan juga
dipengaruhi oleh kemiskinan absolute (P) yang korelasinya negatif.
3.8.
Pembangunan Daerah dan Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan salah satu indikator yang
dapat digunakan sebagai ukuran kuantitatif hasil kualitas pembangunan manusia.
Oleh karena itu, pada tataran daerah pembangunan juga ditujukan untuk
95
meningkatkan pembangunan di segala aspek kehidupan termasuk pembangunan
manusianya. Kaitanya dengan hal tersebut maka IPM dijadikan salah satu variabel
yang digunakan untuk indikator pembanguna manusia.
UNDP dalam BPS (2006) mendefenisikan pembangunan manusia sebagai
suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep
tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end)
sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means)
untuk mencapai tujuan itu. Untuk menjamin tercapainya tujuan pembangunan
manusia, empat hal pokok yang perlu diperhatikan adalah produktivitas,
pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan.
IPM menjadi salah satu indikator yang penting dalam pembangunan
manusia karena indikator ini mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar
bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu
ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. Ketiga aspek tersebut
berkaitan dengan tingkat peluang hidup (longevity), tingkat pengetahuan
(knowledge), dan standar hidup layak (decent living) (BPS, 2008).
Setiap indikator tersebut dapat disusun sebagai berikut. Tingkat peluang
hidup dihitung berdasarkan angka harapan hidup ketika lahir. Sedangkan
pengetahuan diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf
penduduk usia 15 tahun keatas. Selanjutnya hidup layak diukur dengan
pengeluaran per kapita yang didasarkan pada Purchasing Power Parity (paritas
daya beli dalam rupiah).
BPS
(2008)
menghitung
Angka
Harapan
Hidup
(AHH)
dengan
menggunakan pendekatan tak langsung (Indirect estimation) untuk ini digunakan
96
dua data yaitu : data Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH).
Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator yaitu
rata-rata lama sekolah (mean years schooling) dan angka melek huruf. Rata-rata
lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia
15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek
huruf adalah presentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan
menulis huruf latin dan huruf lainnya. Standar layak hidup dihitung dengan
menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil. Selanjutnya
IPM
secara
sederhana dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut.
IPM = (X1+X2+X3)/3
Keterangan:
X1 = Angka harapan hidup
X2 = Tingkat pendidikan
X3 = Tingkat kehidupan yang layak
Konsep IPM ini juga mendapat berbagai kritik. Salah satu kritik dari IPM
adalah pada pengukuran lama sekolah. Pada negara tertentu orang yang sudah
mendaftar sudah dihitung sebagai murid yang telah belajar pada jenjang tersebut
tetapi hal ini tidak berarti karena seorang mereka yang sudah mendaftar tidak
menyelesaikan sampai selesai tetapi hanya belajar beberapa tahun mereka tidak
melanjutkan atau drop out (Todaro dan Smith, 2006). Keterbatasan IPM yang
lain meliputi: (1) indeks tersebut bukan merupakan suatu ukuran yang
komprehensif mengenai pembangunan manusia. Artinya masih ada indikator lain
yang menunjukkan perkembangan pembangunan manusia, (2) indeks tersebut
97
hanya mencakup tiga aspek dari pembangunan manusia, tidak termasuk aspek
penghargaan diri, kebebasan politik, dan masalah lingkungan, dan (3) indeks
tersebut tidak dapat menilai perkembangan pembangunan manusia dalam jangka
pendek, karena dua komponennya, yaitu angka melek huruf dan angka harapan
hidup, tidak responsif terhadap perubahan kebijakan dalam jangka pendek.
Terlepas dari keterbatasan dari IPM, indikator ini sangat penting untuk
megukur hasil pembangunan di suatu wilayah. IPM juga telah banyak
menyumbang pengetahuan tentang negara yang telah melakukan pembangunan
dengan baik atau tidak melakukan pembangunan sama sekali. Dengan mengetahui
indikator ini maka kita dengan mudah membandingkan antara daerah yang satu
dengan daerah yang lain.
Melihat komponen IPM ini mencakup komponen ekonomi seperti angka
harapan hidup, angka melek huruf, pendapatan perkapita , dan rata-rata sekolah
maka secara teroritis variabel ini sangat dipengaruhi oleh belanja pemerintah di
sektor pendidikan dan sektor kesehatan. Besarnya alokasi belanja sektor ini juga
tergantung dari proses yang melibatkan berbagai institusi. Selain itu besarnya
belanja ini juga sangat tergantung dari tingkat penerimaan daerah.
Secara konsep, institusi yang terlibat dalam penyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) adalah lembaga swadaya masyarakat, dewan
perwakilan daerah, pemerintah daerah, wirausaha, masyarakat profesi, dan
akademisi. Hal ini mengingat bahwa dokumen APBD sangat penting dalam
pembangunan daerah dan merupakan dokumen public yang harus dapat di
pertanggung jawabkan baik dari aspek teknis, aspek administratif maupun aspek
yuridis.
Download