BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan hukum

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal
sejak masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk
mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara
masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal
dalam ilmu hukum yaitu : ubi societes ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada
hukum).1
Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum menuntut, antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan
masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan
kewajiban seseorang dengan subyek hukum dalam masyarakat.2
Menurut Gustav Radbruch keberadaan hukum dimaksudkan adanya
keadilan, kepastian hukum,
kemanfaatan hukum. Hukum
yang
dibuat
harus mampu memberikan rasa keadilan, kepastian hukum serta hukum mampu
sebagai sarana pengintegrasian kepentingan sosial. Pembentukan hukum harus
1
Satjipto Raharjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung , hal.127.
Dyah Sulstyani, “Penegakan Undang-Undang Jabatan Notaris, Etik dan`Moral Notaris` dalam
Ketahanan Nasional” , http://medianotaris.com/ diunduh pada tanggal 18 September 2014 pukul
14.48
2
2
mampu menjamin kepentingan rakyat dan penegakan hukum harus mampu
mewujudkan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan
kebutuhan masyarakat yang sangat fundamental, sedangkan harapan hukum yang adil
hanya dapat terpenuhi atas dasar kepastiannya melalui positivisasi hukum, atas
pemahaman tersebut maka kepastian dan keadilan merupakan hakikat hukum dalam
arti bahwa terselenggaranya hukum secara baik maka hukum positif harus merupakan
realisasi dari prinsip-prinsip keadilan yang merupakan dasar tuntutan asasi manusia
untuk dipenuhi.3
Pasal 1 ayat ( 3 ) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara
hukum”. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Dalam hal pemenuhan prinsip negara hukum tersebut menuntut dalam
lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat diperlukan adanya alat bukti tertulis
yang bersifat autentik mengenai peristiwa maupun perbuatan hukum manusia,
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum.
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan dalam konsideran Undang-Undang
No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris ( yang selanjutnya disingkat menjadi UUJNP )4
3
Ibid.
Konsideran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris “ bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan,
perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang
berwenang”
4
3
Peranan Notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian
dan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena Notaris sebagai pejabat umum
berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut
tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.5 Menurut Tan Thong Kie,
keberadaan Notaris tidak terlepas dari kebutuhan masyarakat yang membutuhkan
seseorang (figure) yang keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang
tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang
ahli yang tidak memihak dan penasehat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar)
atau (unimpeachhable), yang tutup mulut dan membuat suatu perjanjian yang
dapat melindungi di hari-hari akan datang. Kalau seorang advocate membela hakhak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seorang Notaris harus berusaha
mencegah terjadinya kesulitan itu. 6
Notaris merupakan profesi yang terhormat dan selalu berkaitan dengan
moral dan etika ketika menjalankan tugas jabatannya. Dalam menjalankan tugas
jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat profesinya
sebagai jabatan kepercayaan dan terhormat. Karena lekatnya etika pada profesi
Notaris disebut sebagai profesi yang mulia (officium nobile)7
Ketentuan hukum yang menjadi landasan bagi keberadaan notaris di
Indonesia adalah Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jabatan
5
Akta-akta yang pembuatannya ditugaskan kepada pihak lain atau oleh undang-undang
dikecualikan pembuatannya dari Akta Notarias, antara lain :
1. Akta pengakuan anak diluar kawin (Pasal 281 KUH Perdata)
2. Akta Berita Acara tentang lkkelalaian pejabat penyimpan hipotek (Pasal 1227 KUH Perdata)
3. Akta Catatan Sipil ( Pasal 4 KUH Perdata)
4. Pegawai Pencatat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
6
Tan Thong Kie, 200, 7Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, , hal. 449.
7
Abdul Ghofur Anshori, , 2009,Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,
UII Press, Yogyakarta, hal.6.
4
Notaris ini juga diatur berdasarkan undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 jo 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ( untuk selanjutnya disingkat UUJN ) yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 117 menggantikan Reglement of
Het Notaris Ambt in Indonesia (S.1860 No. 3) tentang Peraturan Jabatan Notaris
(untuk selanjutnya disebut PJN) yang sudah tidak berlaku lagi.
Diberlakukannya UUJN dan UU perubahan atas UUJN diharapkan bahwa
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. UU perubahan atas UUJN telah
menetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tentang kewenangan seorang Notaris yaitu
Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau
yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,
memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang
lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu dalam Pasal 15 ayat (2) UU
perubahan atas UUJN menyatakan Notaris juga berwenang mengesahkan tanda
tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah tangan dengan
mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
5
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah lelang.
Dari beberapa kewenangan tersebut jasa seorang Notaris kebanyakan dibutuhkan
oleh masyarakat dalam hal pembuatan akta otentik
Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
disebutkan bahwa: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.
Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah dalam hal ini
negara, dimana negara telah memberikan kepercayaan kepada Notaris untuk
menjalankan sebagian urusan negara, khususnya dalam bidang hukum Perdata.
Keberadaan Notaris diharapkan menjawab kebutuhan masyarakat akan bantuan
hukum yang netral, sehingga melindungi kepentingan hukum masyarakat. Notaris
juga diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat,
khususnya dalam pembuatan akta, sehingga masyarakat akan mendapatkan
kepastian hukum dan perlindungan hukum.
Menurut Adrian Djuaini (Ketua Umum Ikatan Notaris Indonesia): “Notaris
sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian tugas penguasa, dalam
menjalankan tugas dan jabatannya harus secara profesional memberikan bantuan
hukum kepada masyarakat dalam pembuatan alat bukti tertulis berupa akta
autentik untuk suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum, harus selalu menjunjung
tinggi keluhuran harkat dan martabat profesinya, serta memiliki tanggung jawab
hukum (legal accountability) kepada masyarakat dan Negara serta bangsa untuk
6
mendorong terciptanya kepastian hukum dan juga menegakkan supremasi
hukum”.8
Pada saat menjalankan tugas dan jabatannya, Notaris berkewajiban
menyimpan atau merahasiakan segala keterangan atau ucapan yang diberikan
dihadapannya sehubungan dengan pembuatan akta.Menjaga kerahasiaan itu
merupakan salah satu bentuk kewajiban Notaris sebagaimana ditetapkan oleh
Undang-Undang Jabatan Notaris. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya,
Notaris juga wajib: “bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.9
Pada era globalisasi, otonomi daerah dan pasar bebas sekarang ini,
dibutuhkan Notaris yang berkualitas.Kualitas tersebut mencakup kualitas
keilmuan, maupun kualitas moralitas dan etika yang baik, serta menjunjung tinggi
keluhuran martabatnya dalam memberikan pelayanan jasa hukum kepada
masyarakat.Seorang notaris yang menjalankan profesi Notaris bukan tidak
mungkin melakukan tindakan yang merendahkan profesi notaris, dapat merugikan
masyarakat, bahkan menjalankan profesi Notaris tidak sesuai undangundang.Untuk meminimalkan pelanggaran-pelanggaran ini asosiasi profesi
ataupun negara membuat berbagai aturan, mulai dari kode etik Notaris sampai
dengan penjatuhan sanksi.
Akta merupakan refleksi dari pemenuhanserta pelaksanaan hak dan
kewajiban antara suatu subjek hukum dengan subjekhukum lainnya. Menurut R.
8
9
Seminar Nasional, Membangun Hukum Kenotariatan di Indonesia, Yogyakarta, 27 Feb 2014
Indonesia Legal Center, 2009,Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris&
PPAT, Karya Gemilang, Jakarta, , hal.8.
7
Subekti, suatu akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani, dengan demikian
unsur penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti
tertulis dan penandatanganan tulisan itu.10
Di dalam penjelasan Undang-Undang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa:
“Akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang
diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban
untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh
telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara
membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses
terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang
terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat
menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta Notaris
yang ditandatanganinya”.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa
yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Notaris berkewajiban untuk
memasukkan ke dalam akta mengenai apa saja yang dikehendak para pihak dan
selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak tersebut ke dalam
akta Notaris. Sedangkan tulisan di bawah tangan atau biasa disebut dengan akta
dibawah tangan dibuat tidak dibuat dihadapan Notaris dan dalam bentuk yang
tidak ditentukan oleh undang-undang serta tanpa adanya perantara berdasarkan
ketentuan Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
10
R. Subekti, 2007, Hukum Pembuktian, cet. XVI, Jakarta, Pradya Paramita, , hal. 25.
8
Menurut Pasal 1 angka 7 UU perubahan atas UUJN menentukan
bahwa“akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris
menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Akta
otentik yang dimaksud adalah akta otentik sesuai dengan rumusan Pasal 1868
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata)
yaitu : “Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.”
Berdasarkan pasal tersebut Notaris mempunyai wewenang untuk membuat
akta otentik. Terdapat dua golongan akta otentik yang dibuat oleh Notaris yaitu
akta otentik yang dibuat oleh Notaris dimana merupakan suatu akta yang dibuat
oleh Notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang
disaksikan oleh Notaris dan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris yaitu akta
yang dibuat dihadapan Notaris yang memuat uraian mengenai hal-hal yang
diterangkan oleh pihak yang menghadap kepada Notaris. Dengan adanya UUJN
dan UU perubahan atas UUJN kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik
dalam penerapannyan akta tersebut mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait.
Akta otentik merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat
sempurna. Akta otentik memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu kekuatan
pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta
itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta otentik. Kekuatan
pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa
9
sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar
oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap. Kekuatan
pembuktian materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang
materi atau isi suatu akta.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) berwenang
membuat akta otentik, sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat
dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan
hukum.
Pertanggungjawaban merupakan suatu sikap atau tindakan untuk
menanggung segala akibat dari perbuatan yang dilakukan atau sikap untuk
menanggung segala resiko ataupun kosekuensinya yang ditimbulkan dari suatu
perbuatan.
Apabila dikaitkan dengan akta yang dibuat “oleh”atau “dihadapan”
Notaris, maka sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJNP, maka Notaris
berkewajiban: “melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta”. Pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Jabatan Notaris diatur
tentang pengertian Minuta
Akta.“Minuta
Akta
adalah asli akta
yang
mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan
sebagai bagian dari Protokol Notaris”.
Berdasarkan pengertian diatas tersebut terkandung kehendak UndangUndang Jabatan Notaris bahwa dalam Minuta Akta yang dicantumkan adalah
tanda tangan para penghadap bukan sidik jari penghadap, yang selama ini
10
dianggap sebagai pengganti tanda tangan.Undang-Undang Jabatan Notaris tidak
mengatur tentang kemungkinan adanya suatu Minuta Akta tanpa tanda tangan
penghadap, berhubung satu-satunya penghadap atau seluruh penghadap tidak
dapat membubuhkan tanda tangan, baik karena sakit maupun cacat fisik. Pada
bagian penutup akta Notaris, dalam Pasal 38 ayat (4) huruf b Undang-Undang
Jabatan Notaris, dijelaskan bahwa akhir akta memuat: “uraian penandatanganan
dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada”.Di dalam pasal
diatas tidak menyinggung sama sekali tentang pencantuman sidik jari.
Kewajiban membubuhkan sidik jari pada minuta akta sebagaimana telah
dimaksud dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c tersebut
tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 1 angka 8 dan Pasal 38 Undang-Undang
Jabatan Notaris yang menyatakan tentang apa saja yang harus dicantumkan dalam
minuta akta, tetapi tidak menyebut sidik jari diantaranya.
Seiring perubahan zaman yang semakin modern, yang mengikuti
perkembangan
masyarakat
dan
kemajuan
ilmu
pengetahuan,
sehingga
menimbulkan perubahan norma-norma hukum yang telah dituangkan di dalam
Undang-Undang, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai hukum serta
tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. UUJNP terdapat perubahan
yang mengatur kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan seseorang Notaris,
salah satunya dengan penambahan kewajiban notaris yang terdapat di dalam
11
UUJN yang berisi penambahan kewajiban notaris untuk melekatkan sidik jari
penghadap kedalam minuta akta notaris.
Berdasarkan tradisi, pembubuhan cap jempol hanya dilakukan untuk aktaakta yang tidak dapat ditandatangani oleh penghadapnya, mungkin karena kondisi
fisik maupun lantaran penghadap tak dapat menyatakan tandatangannya. Apabila
memang pembubuhan sidik jari untuk membuktikan bahwa penghadap benarbenar menghadap notaris dan menyetujui isi akta, maka pertanyaan selanjutnya
adalah mengapa harus dilembar tersendiri? Bukankah lebih otentik kalau pada
lembar akta itu sendiri?
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c UUJNP tentang kewajiban Notaris
melekatkan sidik jari penghadap pada Minuta Akta, jika dikaitkan dengan teori
hukum positivisme harus dilaksanakan, karena menurut teori ini “hukum adalah
perintah undang-undang”. Oleh karena kewajiban melekatkan sidik jari
penghadap tersebut merupakan perintah Undang-Undang Jabatan Notaris,
seharusnya tidak ada perbedaan pendapat diantara sesama Notaris.
Berdasarkan uraian di
atas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan yang masih belum terjawab mengenai kewajiban melekatkan sidik
jari penghadap pada minuta akta, dengan suatu bentuk penelitian dengan judul
“Implikasi Hukum Bagi Notaris Yang Tidak Melekatkan Sidik Jari Penghadap
Pada Minuta Akta”
12
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi latar belakang kewajiban para penghadap melekatkan
sidik jari pada minuta akta sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c ?
2. Apakah tanpa adanya sidik jari, kekuatan pembuktian akta notaris menjadi
batal dan atau menurunkan derajad ( degradasi) menjadi akta di bawah
tangan?
3. Bagaimana implikasi hukum bagi Notaris yang tidak melekatkan sidik jari
penghadap pada minuta akta ?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kewajiban melekatkan sidik jari penghadap pada
minuta telah beberapa kali
dilakukan sebelumnya, dengan judul penelitian
sebagai berikut :
1.
“Telaah Penggunaan Sidik Jari Penghadap Yang Dilekatkan Pada Minuta
Akta Pasca Amandemen Undang-Undang Jabatan Notaris”,11 dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pelaksanaan melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta
Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris ?
11
Ferina, Nezia Zara, „Telaah Penggunaan Sidik Jari Penghadap Yang Dilekatkan Pada Minuta
Akta Pasca Amandemen Undang-Undang Jabatan Notaris’, 2014, Magister Kenotariatan,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
13
b. Apakah faktor yang menghambat pelaksanaan penggunaan sidik jari
penghadap yang dilekatkan pada minuta akta pasca revisi UndangUndang Jabatan Notaris ?
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
a. Pelaksanaan melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta tergantung
pada penafsiran masing-masing notary. Tujuan dari penggunan sidik jari
tersebut untuk menghindarkan penyangkalan-penyangkalan mengenai
kehadiran dan tanda tangan penghadap dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian notaris.
b. Faktor penghambat pelaksananan Pasal 16 ayat (1) huruf c tentang UUJN
Perubahan adalah ketidakjelasan mengenai sidik jari mana yang akan
digunakan dan waktu saat para penghadap bisa berkumpul.
2.
“Urgensi Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta Berdasarkan Pasal 16 ayat
(1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris”12 dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa urgensi adannya kewajiban pelekatan sidik jari penghadap pada
minuta akta ?
b. Bagaimana implementasi palaksanaan sidik jari pada minuta , apakah
salah satu jari atau seluruh jari penghadap ?
c. Apa akibat hukum dari satu minuta aktayang tidak melekatkan sidik jari ?
12
Panggabean,Gernalia Nova „Urgensi Sidik Jari Penghadap Pada Minuta Akta Berdasarkan
Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris’,2014, Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan adalah sebagai berikut, :
1. Pelekatan sidik jari penghadap pada minuta akta dianggap penting untuk
melindungi notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai
pejabat umum.
2. Pada prakteknya sidik jari dibubuhkan oleh setiap penghadap pada lembar
tersendiri untuk masing-masing penghadap dan kemudian dilekatkan pada
minuta akta.
3. Minuta akta yang tidak dilekati dengan sidik jari tetap merupakan akta
autentik yang tidak mempengaruhi keautentikan aktanya.
Berdasarkan temuan kedua penelitian diatas ada perbedaaan dalam hal
apakah yang menjadi latar belakang dari dirumuskannya Pasal 16 ayat (1)
huruf c Undang-Undang Jabatan Notaris, dampak yang diakibatkan jika akta
yang sudah ditandatangani tidak melekatkan sidik jari, serta bagaimana
implikasi hukum jika Notaris tidak menjalankan perintah dari Undang-Undang
Jabatan Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf c tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan pernyataan operasional yang merincikan apa
yang akan diselesaikan dan dicapai dalam penelitian ini. Secara lebih rinci sesuai
dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
tujuan penelitian yang akan dilaksanakan adalah, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui latar belakang kewajiban melekatkan sidik jari penghadap
pada minuta akta berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf c
15
2. Untuk mengetahui akibat hukum ketiadaaan sidik jari penghadap pada minuta
akta notaris
3. Untuk mengetahui implikasi hukum bagi notaries yang tidak melekatkan sidik
jari penghadap pada minuta akta.
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi dari 2 (dua)
aspek, yaitu:
1. Secara Teoritis :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi,
referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas hukum maupun
masyarakat luas untuk mengetahui tentang bagaimana implikasi hukum bagi
notaris yang tidak melekatkan sidik jari penghadap pada minuta akta notaries.
2. Secara Aplikatif
Diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta
khasanah penelitian ilmu hukum yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan lembaga yang terkait didalamnya serta masyarakat dan pihak yang
terkait dalam mengambil keputusan selanjutnya khususnya dalam bidang
kenotariatan.
Download