Tugas filsafat ilmu dan logika

advertisement
NAMA
: WIDURI UTAMI KUSUMA
NIM
: 2012-31-120
MATA KULIAH
: FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA
Matematika
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataaan
yang ingin kita sampaikan. Lambang – lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya
merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada
matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha
untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang –
lambang dari matematika dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan perjanjian yang
berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji.
Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai
dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang
anak maka obyek “kecepatan jalan kaki seorang anak” tersebut dapat kita lambangkan dengan x.
Dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni “kecepatan jalan kaki seorang anak”.
Lambang matematika yang berupa x ini kiranya mempunyai arti yang jelas yakni “kecepatan
jalan kaki seorang anak”. Di samping itu lambang x tidak bersifat majemuk sebab x hanya dan
hanya melambangkan “kecepatan jalan kaki seorang anak” dan tidak mempunyai pengertian
yang lain.
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara
kuantitatif. Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang berlainan
umpamanya gajah dan semut, maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari semut.
Kalau kita ingin menelusur lebih lanjut berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita
mengalami kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif.
Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal
semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa mengetahui bahwa logam kalau dipanaskan akan
memanjang. Namun pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa mengatakan dengan
tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini menyebabkan penjelasan dan ramalan yang
diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat eksak, menyebabkan daya prediktif dan kontrol ilmu
kurang cermat dan tepat.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep pengukuran. Lewat
pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan tepat berapa panjang sebatang logam dan
berapa pertambahan panjang nya kalau logam itu dipanaskan.
Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol dari ilmu.
Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan pemecahan masalah
secara lebih tepat dan cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari
tahap kualitatif ke kuantitatif.
Seperti diketahui berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan.
Penggolongan ini memungkinkan kita untuk menemukan ciri-ciri yang bersifat umum
dari anggota-anggota yang menjadi kelompok tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini
merupakan pengetahuan bagi manusia dalam mengenali dunia fisik. Tahap kuantitatif dimana
kita mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan melainkan berdasarkan
pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita selidiki.
Matematika menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berpikir logis. Berdasarkan
perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan
membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Matematika pada garis besar nya
merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif.
Memang, menurut akal sehat sehari-hari, kebenaran matematika tidak ditentukan oleh
pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses penalaran deduktif. Di samping sarana
berpikir deduktif yang merupakan aspek estetik.
Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat
tahap. Matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis
namun pernyataan bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi
secara jelas dan tepat namun juga singkat.
Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara
berpikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Matematika merupakan bahasa artifisial yang
dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Angka tidak
bertujuan menggantikan kata-kata pengukuran sekadar unsur dalam menjelaskan persoalan yang
menjadi pokok analisis utama.
Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan
kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan
pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara seksama. Penalaran
kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai
banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum.
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketilitian dari kesimpulan yang
ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana. Statistika juga
memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara
dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar terkait dalam suatu hubungan yang
bersifat empiris.
Statistika
Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak
dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi, dan bahkan Eropa dalam abad pertengahan.
Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi
tertentu.
Statistika dan Cara Berpikir Induktif.
Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat faktual dimana konsekuensinya diuji baik
dengan jalan menggunakan panca indera maupun dengan menggunakan alat yang membantu
panca indera.
Logika deduktif berpaling kepada matematika, sebagai sarana penalaran penarikan
kesimpulan sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan
pengetahuan untuk menarik kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat
peluang ini dengan eksak. Penarikan kesimpulan induktif menghadapkan kita kepada sebuah
permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus kita amati sampai kepada suatu kesimpulan
yang bersifat umum.
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang
ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sangat sederhana. Statistika juga
memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalita antara
dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan
yang bersifat empiris.
Terlepas dari semua itu maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif kekeliruan memang
tidak bisa dihindarkan. Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk
melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis, dimana tanpa statistika hal ini tak mungkin dapat
dilakukan. Karakteristik yang dipunyai statistika ini sering kurang dikenali dengan baik yang
menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika dalam penelaahan keilmuan. Hal ini
menimbulkan kesan seakan-akan fungsi matematika lebih tinggi dibandingkan dengan statistika
dalam penelaahan keilmuan.
Karakteristik Berpikir Induktif.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekadar tingkat peluang bahwa untuk
premis-premis tertentu dapat ditarik. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita
untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori
statistika adalah teori peluang.
Download