Arijo Isnoer Narjono 9 Manajemen Konflik Organisasi dalam Pandangan Islam (Organizational Conflict Management in Islamic View) Arijo Isnoer Narjono Dosen PNS-DPK pada STIE ASIA Malang ABSTRAK Organisasi terdiri dari orang – orang atau kelompok – kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses interaksi antara satu anggota atau kelompok dengan yang lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan. Setiap saat konflik akibat meningkatnya ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu, antar individu dengan kelompok maupun antar kelompok dalam organisasi. Islam juga menggariskan beberapa nilai dan kaidah dalam mengelola konflik dalam organisasi. Artikel ini mencoba untuk mengupas konsep konflik dalam organisasi dan bagaimana mengelola konflik yang efektif menurut pandangan Agama Islam. Kata Kunci: Manajemen Konflik, Organisasi, Pandangan Islam ABSTRACT Organization made up of individuals or groups that work together to achieve certain goals. In the process of interaction between the members or other groups with no guarantee that there will always be fit or compatibility. Any time conflict due to increased tensions may arise, whether between individuals, between individuals and groups and between groups within the organization. Islam also outlined several values and principles to manage conflict within the organization. This article tries to explore the concept of conflict in the organization and how to manage conflict effectively in the view of Islam. Keywords: Conflict Management, Organization, Islamic View PENDAHULUAN Setiap perusahaan – sebagai salah satu bentuk organisasi - dapat dipastikan pernah mengalami konflik dan akan terus mengalaminya. Gelombang demokratisasi, dukungan terhadap partisipasi dan pengakuan terhadap adanya keberagaman dalam suatu perusahaan telah menempatkan konflik sebagai sesuatu yang tidak lagi tabuh (dilarang) dalam setiap aktivitas perusahaan. Meskipun konflik mungkin akan berperan salah dan cenderung merugikan, hal ini tidak boleh lagi dihindarkan tetapi harus dikelola dengan cerdas. Karena memang akan sulit menghindari konflik, yang umumnya timbul sebagai hasil adanya interaksi sosial yang komplek dalam perusahaan tersebut. Konflik biasanya timbul dalam perusahaan sebagai hasil adanya masalah komunikasi, hubungan pribadi atau struktur organisasi yang selalu ada dalam suatu perusahaan (Handoko, 2003). Manajemen (mengelola) konflik adalah salah satu tugas penting seorang manajer. Tidak peduli di jenjang mana manajer tersebut berada atau area bisnis yang dibidanginya, setiap manajer pasti menghadapi banyak masalah yang bersumber dari ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota organisasi (perusahaan). Setiap konflik ini harus dikelola agar perusahaan dapat mencapai sasaran – sasarannya. Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Ilmu manajemen mengenal adanya pendekatan situasional. Menurut pendekatan ini, manajemen konflik yang efektif perlu mempertimbangkan pandangan Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Yang bisa jadi, mereka adalah karyawan, manajemen, pelanggan, pesaing atau masyarakat tempat perusahaan beroperasi sehingga interaksinya bisa menimbulkan konflik dalam atau dengan perusahaan tersebut. Sehingga, pandangan Islam tentang manajemen konflik penting untuk diperhatikan sebagai alternatif solusi dalam mengelola atau menyelesaikan konflik yang timbul. Konflik Dan Manajemen Konflik Pengertian konflik yang khusus mengacu kepada pendekatan organisasi banyak dikemukakan oleh pakar manajemen. Luthans (1985) mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai atau tujuan antara anggota kelompok organisasi. Dubrint (1984:346) mengartikan konflik sebagai pertentangan antara individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan. Sedarmayanti (2000:137) mengemukakan konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior). James A. F. Stoner (1986:550) menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih 10 banyak anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan/atau pandangan yang berbeda. Untuk menyamakan persepsi, pendapat Winardi (2004:1) dapat dijadikan pegangan, yang mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi. Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Poloma (1994: 115) menyatakan bahwa konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif disfungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Menurutnya, manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik yang ada pada organisasi agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi peningkatan efektivitas dan prestasi organisasi tersebut. Handoko (2003) juga menyimpulkan hal yang sama bahwa konflik mempunyai potensi pengembangan atau pengganggu pelaksanaan kegiatan organisasi tergantung pada bagaimana konflik tersebut dikelola. Pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin (1982:219) mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi, et al. (1990) berpendapat bahwa, “Conflict management mean that a manager takes an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan (manager) baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan lingkungan. Tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R.E. 1987:79). Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi. Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, (1996) mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan manajemen konflik Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami. Menurut Handoko (2003) dan Winardi (2004) secara umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu, (1) stimulasi konflik, (2) pengurangan atau penekanan konflik, dan (3) penyelesaian konflik. Stimulasi konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang ditetapkan. Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu; (a) memasukkan anggota yang memiliki sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku, (b) merestrukturisasi organisasi terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru, (c) menyampaikan informasi yang bertentangan dengan kebiasaan yang dialami, (d) meningkatkan persaingan dengan cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya, (e) memilih pimpinan baru yang lebih demokratis (Handoko, 2003). Tindakan mengurangi konflik dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok (Winardi, 2004). Penyelesaian konflik (conflict resolution) merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam menghadapi pihak-pihak yang sedang berkonflik. Metode penyelesaian konflik yang paling banyak digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi dan penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah secara integratif. Metode-metode ini berbeda dalam hal efektifitas dan kreatifitas penyelesaian konflik serta pencegahan situasi konflik di masa mendatang. 1. Dominasi dan penekanan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: (1). Kekerasan (forcing), yang bersifat menekan otokratik; (2). Penenangan (snoothing), merupakan cara yang lebih diplomatis; (3). Penghindaran (avoidance), dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang tegas; (4). Aturan mayoritas (majority rule), mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil. 2. Kompromi. Melalui kompromi, manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui pencarian jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk kompromi meliputi: (1) pemisahan (separation), Arijo Isnoer Narjono 3. (2). Perwasitan (Arbitrage), (3). Penyuapan (bribing). Pemecahan masalah integratif. Dengan metode ini, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama yang dapat diselesaikan melalui teknik-teknik pemecahan masalah. Ada 3 metode pemecahan konflik integratif: (1).Konsensus, (2). Konfrontasi, dan (3). Penggunaan tujuan-tujuan yang lebih tinggi. Perubahan Pandangan Tentang Konflik Sikap terhadap konflik dalam organisasi telah berubah dari waktu ke waktu. Robbins (1974) telah menelusuri perkembangan ini, dengan penekanan pada perbedaan antara pandangan tradisional tentang konflik dan pandangan baru, yang sering disebut pandangan interaksionis. Robbins (2003) mengemukakan tiga pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional (Traditional view of conflict), pandangan hubungan manusia (human relations view of conflict), dan pandangan interaksonis (interactionism view of conflict). Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk. Konflik memiliki sifat dasar yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Sementara pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum berkelanjutan dari konflik. Winardi (2004) menggambarkan pandangan kuno dan pandangan modern tentang konflik yang menjadi pembeda antara konflik masa lalu dan konflik masa kini dalam organisasi dalam tabel berikut. Perbedaan Pandangan Mengenai Konflik Menurut Pandangan Kuno makna Konflik dapat dirinci sebagai berikut. 1. Konflik dapat dihindari. 2. Konflik disebabkan karena adanya kesalahan manajemen dalam hal mendesain dan manajemen organisasi-organisasi atau karena adanya pengacau-pengacau. 3. Konflik merusak organisasi yang bersangkutan dan menyebabkan tidak tercapainya hasil optimal. 4. Tugas manajemen adalah meniadakan konflik. 5. Agar dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal, maka konflik perlu ditiadakan. 11 Menurut Pandangan Modern makna Konflik dapat dirinci sebagai berikut. 1. Konflik tidak dapat dihindari. 2. Konflik muncul karena aneka macam sebab, termasuk di dalamnya struktur organisatoris, perbedaan-perbedaan dalam tujuan-tujuan yang tidak dapat dihindari, perbedaan-perbedaan dalam persepsi-persepsi, serta nilai-nilai personalia yang terspesialisasi dan sebagainya. 3. Konflik membantu, kadang-kadang menghambat hasil pekerjaan organisatoris dengan derajat yang berbeda-beda. 4. Tugas manajemen adalah mengelola tingkat konflik, dan pemecahannya hingga dapat dicapai hasil prestasi organisatoris optimal. 5. Hasil pekerjaan optimal secara organisatoris, memerlukan konflik moderate. Perspektif Islam Islam tidak pernah memungkiri adanya konflik dalam organisasi. Manusia sebagai mahluk Allah mempunyai sifat yang unik dan berlainan antara satu dengan lainnya. Sehingga perbedaan pendapat dalam berpikir, menilai dan mengambil keputusan merupakan tabiat yang alamiah. Mau tidak mau, akan sukar sekali untuk mewujudkan satu kehidupan dan hubungan kemanusian yang berlandaskan satu pendapat dan satu keinginan saja. Kehidupan tanpa perselisihan boleh dikatakan tidak mungkin kalau organisasi itu ingin memiliki prestasi dan produktifitas yang tinggi. ― Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat‖. (TQS. Hud:118). Dalam Islam, konflik tidak harus difahami sebagai gejala yang destruktif, dan kontra-produktif, namun bisa menjadi gejala yang konstruktif bahkan produktif. Keberadaan konflik sebagai unsur pembawaan sangat penting dalam kehidupan manusia. Kehidupan tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada konflik. Manusia memiliki tuntutan serta keinginan yang beraneka ragam dan manusia akan selalu berusaha untuk memenuhi keinginan tersebut. Namun untuk bisa mendapatkannya, mereka akan berkompetisi untuk mendapatkan keinginan tersebut. Konflik akan mengajarkan manusia untuk dapat berfikir lebih maju untuk mendapatkan keinginannya tersebut sehingga akan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu, Allah membekali nilai-nilai moral pada setiap makhluk dalam kepentingan-kepentingannya sendiri. Selagi konflik masih dibutuhkan oleh manusia, maka mereka pun dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk berkonflik, baik dalam fisik, roh maupun akalnya, dan sekaligus kemampuan untuk mencari solusinya. Islam memandang konflik bukanlah sebagai tujuan namun lebih sebagai sarana untuk memadukan antara berbagai hal yang saling bertentangan untuk membebaskan kehidupan manusia dari kepentingan 12 individual dan dari kejelekan-kejelekan, sehingga tidak membiarkan perbedaan-perbedaan itu menjadi penyebab adanya permusuhan. Islam selalu mengingatkan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari asal yang sama. ―Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu‖. (TQS. An Nisaa': 1) Islam mengajarkan pentingnya untuk toleransi menghargai adanya perbedaan-perbedaan yang dimiliki manusia baik sisi fisik, pemikiran budaya dan lain-lain agar jangan sampai mengakibatkan perseteruan dan permusuhan. Konflik memang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Namun, jangan sampai terlarut dalam konflik yang berkepanjangan dan tidak ada solusinya sehingga dapat merusak hubungan antar manusia dan akan merugikan manusia itu sendiri. Surat An-Nisaa’ diatas merupakan penetapan nilai persaudaraan yang dimaksudkan sebagai pedoman hubungan antar kelompok manusia. Nilai ini harus menjadi landasan masalah multikulturisme, multiagama, multibahasa, multibangsa dan pluralisme secara umum, karena Al-Qur’an menganggap perbedaan ras, suku, budaya dan agama sebagai masalah alami (ketentuan Tuhan). Justru itu, perbedaan tadi tidak boleh dijadikan ukuran kemuliaan dan harga diri, tapi ukuran manusia terbaik adalah ketaqwaan dan kesalehan sosial yang dilakukannya. ―Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal‖. (TQS Al-Hujurat: 13) Etika Islam dalam Manajemen Konflik Di dalam agama Islam juga dijelaskan tentang tata cara mengelola suatu konflik agar konflik tidak bersifat destruktif melainkan menjadi hal yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Islam memandang konflik terjadi karena tingkah laku atau sikap manusia dalam sebuah organisasi yang tidak mempraktikkan nilai – nilai atau etika yang baik, seperti amanah, adil, bertanggung jawab dan sebagainya. Pengabaian terhadap etika yang baik menyebabkan manusia melakukan tindakan tidak terpuji (mazmumah), seperti gila jabatan, menindas (eksploitatif), iri dan dengki, tidak jujur dan Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 sebagainya yang pada akhirnya menyebabkan konflik (al-Qudsi & Abu Bakar, 2006). Oleh karena itu, langkah pertama dalam mengelola suatu konflik dalam organisasi adalah meningkatkan program – program yang sasarannya adalah memperkuat keimanan anggota organisasi. Aktivitas ini dapat meliputi program seminar, ceramah, ataupun bengkel kerohanian yang dapat meningkatkan perasaan bertanggungjawab dan mengurangi perasaan mementingkan diri sendiri (alQudsi & Abubakar, 2006). Agama Islam menegaskan bahwa manusia perlu meningkatkan keimanannya agar Allah SWT berkenan menyatukan hati manusia yang cenderung tidak bersatu dengan yang lainnya. “Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang – orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan mereka”. (TQS Al-Anfal:63). Budaya kerja tim (berkelompok) sangat dianjurkan oleh agama Islam guna mencegah atau mengurangi konflik (Al-Qudsi & Abu Bakar, 2006). Pembentukan satuan tugas (satgas) atau panitia tertentu untuk melaksanakan suatu proyek dapat mendorong anggota organisasi untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan yang satu. Dengan budaya kerja tim ini, secara tidak langsung dapat mempererat hubungan silaturahim dan menciptakan sikap saling memahami antara mereka. Konsep persaudaraan atau persahabatan ini amat ditekankan dalam Islam. ―Sesungguhnya orang – orang mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu”. (TQS Al-Hujurat:10). Konflik juga bisa diarahkan sebagai gejala yang konstruktif dan produktif dengan cara mengembangkan sikap saling menghormati dan kemauan untuk saling mengenal dengan yang lainnya. Perbedaan warna kulit, bangsa, bahasa dan sebagainya memang sering menjadikan manusia berlainan dari segi pemikiran, pandangan, persepsi, kepribadian dan pemahaman. Tetapi perbedaan ini hendaknya dipahami sebagai perintah Allah SWT untuk saling mengenal dan bekerjasama antara satu dan lainnya dan bukan untuk permusuhan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”. (TQS Al-Hujurat:13). Agama Islam mengajarkan bagaimana menyelesaikan perbedaan atau pertentangan dengan cara-cara damai. Sebenarnya konsep resolusi konflik dalam Islam cenderung memiliki kesamaan dengan manajemen konflik secara umum. Dalam Islam resolusi konflik dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya musyawarah dan perdebatan. Arijo Isnoer Narjono Konsep musyawarah telah dianggap sebagai salah satu mekanisme dalam sistem manajemen yang Islami. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberhasilan pemerintahan Rasulullah SAW dan Khulafa alRasyidin dalam membangun dan mengembangkan kota Madinah yang penduduknya mempunyai latarbelakang yang berbeda (al-Qudsi & Abu Bakar, 2006). Salah satu prinsip pemerintahan Qur’ani bagi masyarakat plural yang dicontohkan Beliau dan para sahabatnya adalah musyawarah sebagai mekanisme penyelesaian konflik. “Dan (bagi) orang yang mau menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka”. (TQS Asy-Syuura:38) Selain musyawarah, metode konfrontasi (perdebatan) dapat merupakan salah satu cara dalam mengelola konflik dalam organisasi. Dalam AlQur’an, perdebatan sering merujuk pada upaya kompetisi yang dilakukan kaum muslim dengan kaum non muslim. Debat sering digunakan oleh Nabi Allah untuk menanggapi segala tuduhan terhadap agama Islam sekaligus meyakinkan pihak lain tentang kebenaran agama Islam. Perdebatan lebih menunjukkan sebagai upaya untuk meyakinkan fihak lain, dan tidak mungkin terjadi kompromi, dan yang mungkin hanya sebatas memahami saja, bukan untuk saling membenarkan satu sama lain. Di dalam AlQur’an juga di jelaskan bahwa berdebat harus dilakukan dengan adil dan fair. ―Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk‖. (TQS An-Nahl: 125) Dari beberapa penjelasan diatas dapat dipahami bahwa Islam banyak menggunakan cara-cara damai sebagai cara untuk mengelola konflik. Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk memiliki sikap toleransi terhadap perbedaan yang dimiliki tiaptiap manusia. Karena perbedaan itu merupakan kodrat Allah SWT yang tidak bisa ditolak. Perbedaan itu diciptakan untuk saling melengkapi, dan dengan perbedaan itu manusia akan terus berkembang dan menciptakan perubahan-perubahan yang nantinya akan bermanfaat bagi manusia pada umumnya. Meskipun begitu, Islam masih memberi kesempatan untuk mengambil tindakan tegas manakala cara-cara damai tidak dapat mengarahkan konflik untuk berperan fungsional atau membantu kegiatan organisasi. Manajer boleh melakukan penekanan, mengambil tindakan disiplin atau sangsi sampai pemecatan dengan tujuan menjaga kelangsungan hidup organisasi (Sarif at al, 2004). Penggunaan metode seperti ini dibolehkan dalam Islam dengan tetap mengutamakan perdamaian dan berpegang teguh pada prinsip keadilan. “Dan jika 13 ada dua golongan dari orang – orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang berlaku Adil. (TQS Al-Hujurat:9). PENUTUP Islam memiliki pendapat yang tidak berbeda jauh dengan konsep manajemen pada umumnya yang menyatakan bahwa konflik di dalam suatu organisasi tidak mungkin dihindari. Konflik adalah tabiat alamiah manusia yang tidak mungkin disatukan dalam satu pendapat dan satu keinginan. Islam memahami konflik sebagai gejala yang positif dan konstruktif bahkan produktif. Manajemen konflik yang Islami mengarahkan setiap konflik menuju ke situasi yang fungsional dan mendukung pelaksanaan kegiatan organisasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Al-Qudsi, Syarifah Hayati Syed Ismail & Abu Bakar, Mohd Mauli Azli Bin, Etika Penyelesaian Konflik dalam Pentadbiran Islam: Suatu perbandingan. Malaysia, University of Malaya, Jurnal Syariah, 14:1, p. 122 ,2006.OnLine:http://myais.fsktm.um.edu.my/679 7/1/Etika_Penyelesaian_Konflik_..... Diakses tanggal 20 september 2013. 2. Criblin, J., Leadership Strategies for Organizations Effectiveness. New York: Amacom, 1982. 3. Departeman Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya. Jakarta: Mahkota Surabaya, 1989. 4. Dubrint, A.J., Foundation of Organizational Behavior an Applied Perspective. London: Prentice-Hall International Inc., 1984. 5. Handoko, T. Hani, Manajemen, Edisi 2. Yogyakarta: BPFE, 2003 6. Luthans, F., Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill Bokk Company, 1985. 7. Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1994. 8. Robbins, Stephen P., Managing Organizational Conflict. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New York, 1974. 9. —————, Organizational Behavior. Diterjemahkan oleh Indeks. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia, 2003. 10. Sarif, Suhaili; Noordin, Kamaruzaman & Abdullah, Ahmad Sufian Che, Managing Organizational Conflict from Islamic perspective. Malaysia, University of Malaya. 14 11. 12. 13. 14. 15. Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014 JurnalSyariah,12:2,p.107s/d122,2004.OnLine:htt p://myais.fsktm.um.edu.my/6980/1/Managing_O rganization_Conflict_From_Islamic_Perspective. pdf. Diakses Tanggal 25 september 2013. Sedarmayanti, Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi untuk Menghadapi Dinamika Perubahan Lingkungan Ditinjau dari Beberapa Aspek Esensial dan Aktual. Bandung, CV Mandar Maju, 2000. Stoner, James A. F., Charles Wankel, Management. 3-ed., London: Prentice Hall International Inc., 1986. Tosi, H.L., Rizzo, J.R. & Carrol, S.J., Managing Organizational Behavior. 2nd ed., New York: Harper Collins Publihser, 1990. Walton, R.E., Managing Conflict: Interpersonal Dialogue and Third-Party Roles. 2nd ed.,. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, 1987. Winardi, Prof. Dr. SE., Manajemen Konflik. Konflik Perubahan dan Pengembangan., Bandung: Mandar Maju, 2004.