7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkawinan Sumber pokok dari segala peraturan perundang-undangan Negara RI adalah Pancasila dan UUD tahun 1945, sebagaimana pada sila pertama adalah keTuhanan Yang Maha Esa, sila ini tercantum juga dalam UUD 1945 salah satu pasalnya yaitu menetapkan jaminan Negara terhadap pelaksanaan ajaran agama masing-masing, dimana yang terbesar dianratanya adalah Islam. Berdasarkan kenyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa Undang-Undang lebih bersifat agamais dan diantara ajaran agama yang diserap dalam Undang-Undang itu adalah agama Islam yang lebih dominan. Dalam pandangan hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dengan terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata–mata membawa akibat terhadap hubungan–hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia sesama manusia (mu`amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat dunia dan akhirat. Para ahli berpendapat bahwa : 7 8 “perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi”.1 Dari pendapat tersebut diatas maka jelaslah bahwa perikatan adat dalam perkawinan masyarakat Tolaki memiliki landasan yang kuat terhadap pandangan hukum perkawinan dalam perspektif adat. Perkawinan menurut perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Begitu pula perkawinan yang dilakukan pada masyarakat tolaki. Dimana pihak pria melamar kepada wanita dengan berbagai macam persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan pernikahan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasan sanak yaitu hubungan anak-anak, bujang dan gadis. Dan rasan tuha yaitu hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, keluarga atau kerabat menurut hukum yang adat terutama yang berlaku pada masyarakata tolaki yaitu dalam pelaksanaan upacara dan selanjutnya dalam peran serta membinaan dan memelihara keturunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Akibat hukum dalam 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju, Bandung 1990. h. 9 9 perikatan adat masyarakat Tolaki memiliki kedudukan suami terhadap isteri yang begitu besar serta sangat relevan dengan konsep islam yaitu bahwa suami merupakan pemimpin dan keluarga dan begitu pula dalam adat Tolaki, dan menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem “perkawinan jujur” dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami seperti yang telah terjadi pada adat masyarakat Tolaki secara umum. Menurut undang-undang perkawinan pada pasal 3 dinyatakan bahwa: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah”.2 Islam tidak hanya mementingkan keselamatan akhirat saja melainkan juga ementingkan pula kesejahteraan hidup di dunia dengan memberikan norma-norma pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam satu tali perkawinan. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 3 yang berbunyi sbb. Artinya : “…… Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa : 3).3 Melalui ayat tersebut Allah SWT. memerintahkan kepada seorang laki-laki yang telah mampu menikah agar mengawini perempuan dan perlakuannya secara adil. dan jika 2 3 Depkeh RI, Undang – Undang Perkawinan di Indonesia . Jakarta, Arkola 1974. h. 180 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahan, (Semarang : Toha Putra, 1979), h. 157 10 ia tidak mampu berlaku adil, maka baginya dianjurkan menikahi seorang wanita. kesemuanya ini adalah demi kebahagiaan manusia lahir dan batin. Mengenai seruan perkawinan telah banyak disinggung dan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits, seperti sabda Rasulullah SAW Yaitu : ﺍﻠﻨﻛﺎﺡ ﻣﻦ ﺳﻨﺘﻰ ﻓﻤﻦ ﻟﻡ ﻳﻌﻤﻝ ﺒﺴﻨﺘﻰ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﻰ:ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻞ ﷲ ﺻﻠﻰﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻟﻢ Artinya : “Rasulullah SAW. telah bersabda nikah itu adalah sebagian dari sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka dia bukan dari golonganku (umatku)…….4 Hadits tersebut menunjukkan bahwa perkawinan itu wajib hukumnya bagi orang yang mampu secara lahir dan batin. Perkawinan memiliki manfaat positif, seperti akan terciptanya perkembangbiakan umat manusia sebagai penerus keluarga. oleh karena itu perkawinan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia khususnya dalam hal perkembangbiakan manusia sesuai syariat Islam. Dari hal tersebut di atas maka pihak pria berhak menetukkan tempat kedudukan dan kediaman mereka demi terciptanya keluarga yang diharapkan dan terakhir ini berlaku pada masyarakat modern bahkan mastarakat tolaki tersebut sudah dapat dikaterogikan sebagai masyarakat modern jika dilihat proses perkawinan yang dilaksanakan masyarakat Tolaki setempat, apalagi dalam undang – undang no 1 tahun 1974 tidak mengatur tentang tata tertib perkawinan adat melainkan diberikan kewenangan menurut tradisi masing – masing daerah tempat pelaksanaan perkawinan tersebut. 4 Abu Hafidz Abi Abdullah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Dar Al-Fikr Li at-Thaba’ah wa an-nasyr wa at-tauziy, 275 M. h. 592 11 Dalam perikatan adat masyarakat tolaki jika terjadi perbedaan adat maka tidak begitu berat dalam menyelesaikannya daripada melangsungkan perkawinan antar agama, oleh karena perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan tradisi masyarakat bukan perbedaan keyakinan. Sementara di dalam masyarakat hukum adat bersifat persekutuan hukum. Ter Haar mengemukakan bahwa : Masyarakat hukum adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa dan mempunyai kekayaan berwujud maupun yang tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun para anggota mempunyai pikiran atau kecenderungan membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkan dalam arti melepaskan diri dari ikatan untuk selamalamanya.5 Dari pendapat tersebut diatas bahwa hukum adat yang berlaku pada masyarakat di wilayah masing-masing memiliki otoritas untuk melaksanakan sesuai tradisi masingmasing pada masyarakat tersebut. Masyarakat hukum adat Tolaki yang memiliki strukturnya bersifat Genealogis (menurut asas kedarahan atau keturunan) ialah masyarakat hukum adat yang anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari keturunan yang sama dengan kata lain seseorang menjadi masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap dirinya keturunan dari seorang ayah-asal (nenek moyang laki-laki) tunggal melaui garis keturunan laki-laki atau seorang ibu-asal (nenk moyang perempuan) tunggal melalui garis keturunan perempuan dengan demikian semua anggota masyarakat yang bersangkutan itu tadi merasa sebagai kesatuan dan tunduk pada peraturan hukum adat yang sama. Bushar Muhammad, Asas – Asas Hukum Adat : Suatu Pengantar. Jakarta PT. Pradnya Paramita, 2003, h. 22 5 12 Pada masyarakat tolaki selain dari pada persyaratan-persyaratan yang termasuk dalam adat secara formal yang harus dipenuhi ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh seorang pria sebelum melaksanakan pelamaran Mengenai perkawinan menurut adat pada masyarakat tolaki yang dimaksudkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrauf Tarimana yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mengenai perempuan mana yang terlarang dan paling ideal untuk dijadikan istri. Proses penyelenggaraan perkawinan. Jenis Perkawinan. Pola menetap sesudah nikah. Warisan dan bingkisan nikah. Perceraian.6 Berdasarkan hal tersebut diatas maka seorang pria ketika hendak melaksanakan pelamaran haruslah menilai dan memperhatikan keenam hal tersebut diatas. B. Perkawinan Menurut Pandangan Adat Tolaki. Dalam setiap tradisi atau adat istiadat masyarakat Indonesia sangatlah berbeda-beda pada tiap daerah yang ada, hal tersebut tidak berbeda pula dengan tradisi yang ada pada masyarakat Tolaki yang memiliki adat tersendiri dalam melaksanakan kegiatan perkawinan pada setiap masyarakat yang akan melakukan ikatan perkawinan yang sah diantara individu pada jenis berbeda dalam artian terjalinnya ikatan perkawinan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan. Perbedaan kultur dan berbagai macam budaya di Indonesia merupakan salah satu kekayaan bangsa indonesia yang mesti dibanggakan dan dilestarikan, seperti pada adat dan budaya masyarakat tolaki dimana sebelum dilaksanakannya perkawinan terlebih dahulu akan dilaksanakan pelamaran dan pada saaat ini akan lahir kesepakatan dari dari kedua 6 Abdurrauf tarimana, Kebudayaan Tolaki, Jakarta : Balai Pustaka 1985, h. 84 13 belah pihak melalui juru bicara tentang biaya pernikahan atau perkawinan dimana biaya perkawinan ini sepenuhnya akan ditanggung oleh pihak laki-laki sehingga pihak laki-laki harus berusaha semaksimal mungkin dalam memenuhi permintaan dari pihak perempuan. bagi masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan mengalami kesulitan untuk melaksanakan proses perkawinan tersebut, sehingga untuk memudahkan dari pada persoalan ini pada masyarakat tolaki ada yang dikenal dengan Perilaku Pabitara untuk mengurangi beban yang dihadapi oleh pihak laki-laki. Perilaku Pabitara adalah suatu kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat suku Tolaki dalam membantu keluarga atau kerabat guna terlaksanakan proses perkawinan, mombowehi ini muncul ketika dalam setiap keluarga sangat membutuhkan biaya perkawinan pada saat pihak perempuan meminta atas biaya yang dibutuhkan dalam proses pesta perkawinan tersebut, Perilaku Pabitara berlaku secara turun temurun pada suku Tolaki terutama yang dijalankan oleh para nenek moyang suku Tolaki tersebut. Adat atau tradisi ini sudah sangat melekat pada masyarakat Tolaki dan bukan hanya pada saat akan dilakukan proses perkawinan tetapi sudah meluas pada kehidupan sosial secara keseluruhan seperti ketika akan melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi maupun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan yang dianggap tidak mampu untuk ditanggung sendiri sehingga hubungan kekerabatan antar masyarakat yang satu dengan yang lainnya sangat erat atau terjalin dengan begitu kokoh jadi pada suku Tolaki berbicara tentang kebersamaan persatuan dan kesatuan telah ditanamkan pada dirinya dengan mengdepankan asas-asas kebersamaan seperti yang telah dilaksanakan masyarakat Tolaki secara umum. 14 Perilaku Pabitara ini biasanya di pelopori oleh orang yang dianggap memiliki pengaruh terhadap masyarakat lain seperti tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah setempat dalam hal ini kepala Desa atau kepala kampung sehingga masyarakat tersebut sadar akan pentingnya Pabitara terhadap sesama terutama pada lingkungan masyarakat. Tradisi sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa merupakan kebiasaan masyarakat tolaki dalam memberikan bantuan kepada keluarga atau kerabat lain yang sedang menghadapi kegiatan seperti pernikahan, pendidikan dan sebagainya guna mempererat hubungan kekeluargaan diantara masyarakat tersebut. Sementara dala masyarakat suku Tolaki dikenal dengan dua (2) bentuk Perkawinan yakni 1. Perkawinan Normal atau ideal yakni perkawinan yang terjadi sesuai dengan harapan orang yang tata urutannya mengikuti urutan yang sudah baku yang telah ditetapkan oleh adat yang di daamnya termasuk - - 2. Bite Tinongo atau Mowawo Niwule adalah peminangan yang dilakukan secara resmi antara kedua belah pihak Mosoro Orongo yakni dilakukan karena Seorang istri meninggal lalu suaminya dikawinkan dengan kakak atau adik dari isteri yang meninggal itu Mosula Inea adalah perkawinan dimana 2 orang bersaudara (laki-laki atau perempuan) yang sekandung kawin dengan orang lain yang juga bersaudara sekandung. Tumutuda adalah terjadi karena keluarga menikahkan anaknya dimana masingmasing dari satu keluarga, yang tertua menikah dengan perempuan yang tertua pula begitu pula adiknya juga menikah dengan adik perempuan yang tertua tersebut Perkawinan yang tidak normal yakni perkawinan yang terjadi dimana didalamnya terdapat masalah, atau dapat dikatakan perkawinan yang tidak mengikuti tata aturan yang baku dari adat perkawinan orang Tolaki yang didalamnya meliputi : - Mombokomendia adalah perkawinan terjadi jika seorang laki-laki menghamili seorang gadis atau janda sebelum berlangsung pernikahan secara resmi 15 - - - Mombolasuako perkawinan dapat terjadi karena 3 hal yakni Molasu yakni dimana seorang laki-laki dan perempuan setuju untuk lari bersama karena baik orang tua laki-laki dan perempuan tidak menyetujui hubungan mereka, Pinolasuako yaitu dimana seorang laki-laki dan perempuan setuju untuk lari bersama karena orang tua dari perempuan tidak menyetujui hubungan mereka sementara orang tua laki-laki setuju, Mepolasuako yakni terjadi karena seorang gadis mengajak seorang laki-laki untuk kawin lari atau karena seorang gadis mengadu kepada imam atau tokoh adat. Bite Nggukale adalah perkawinan seorang laki-laki dan perempuan melakukan pengakuan kepada orang tua, tokoh agama, dan keluarga bahwa selama ini mereka telah hidup bersama layaknya sepasang suami isteri. Umoapi adalah perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki mengambil seorang perempuan yang sudah menjadi isteri laki-laki lain Somba Labu adalah yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan dan dilanjutkan dengan proses perceraian antara keduanya 7 Kemudian dalam perkawinan adat Tolaki dikenal dengan nama Kalo Sara sebagai alat yang digunakan untuk melangsungkan proses perkawinan adat namun dapat digolongkan kedalam (5) bagian yakni : 1. Kalo untuk kepala pemerintahan (Mokole/Bokeo) besar lingkarannya termuat bahu kiri dan bahu kanan (Kalo Ulu Bose) 2. Kalo untuk turunan bangsawan Tolaki dan yang sedang menduduki jabatan atau yang tidak menduduki jabatan besar lingkarannya batas ujung bahu kiri dan bahu kanan (Kalo Tundu Bose) 3. Kalo untuk turunan masyarakat biasa (Toono Dadio) yang ada jabatannya besar lingkarannya sebesar kepala (Kalo Ulu) 4. Kalo untuk tawanan perang dan masyarakat biasa tanpa jabatan lingkarannya sebesar lingkaran kedua kaki atau lutut (Kalo Olutu) 5. Kalo untuk abdi dalam (Ata Ilaika) sebesar lingkaran siku (Kalo Hiku). 8 7 Erens, E Kodoh, Abdul Alim, Bachruddin, Hukum Adat Orang Tolaki, Yogyakarta: Teras, 2011, h, 44 16 Namun dalam perkembangan sekarang ini, yang berlaku atau yang masih sering digunakan adalah jenis kalo yakni Kalo Ulu Bose, Kalo Tundu Bose, Kalo Ulu. Sehingga tradisi tersebut sudah merupakan kegiatan yang mengakar pada masyarakat sehingga tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat dan jika dilihat dari aspek kegamaan hal tersebut adalah merupakan anjuran bagi setiap muslim untuk memberikan bantuan kepada sesama bagi yang membutuhkan seingga terjalin persaudaraan sesama umat Islam secara kokoh Secara umum dalam masyarakat suku Tolaki mengenal dua jabatan dalam adat yakni Tolea dengan Pabitara, (Juru Bicara) kedua hal tersebut sebenar memiliki fungsi dan tugas yang sama, Tolea merupakan juru bicara yang dipercayakan untuk melaksanakan adat perkawinan (Merapu) dari pihak laki-laki, sementara Pabitara merupakan juru bicara dari pihak perempuan. Kemudian dalam sebuah kepercayaan masyarakat Tolaki jabatan antara Tolea dan Pabitara (Juru Bicara) harus berdasarkan garis keturunanannya serta tidak dibenar jika Tolea dan Pabitara (Juru Bicara) dipegang oleh yang tidak memiliki garis keturunan, jika terjadi pelanggaran dipercaya akan memberikan dampak negatif seperti di timpah musibah yang menyebabkan kematian secara mendadak atau akan menderita dengan berbagai macam penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan fungsi Tolea dan Pabitara bukan hanya dalam masalah perkawinan saja melainkan juga dapat bertugas sebagai mediator dalam sengketa, perselisihan, serta berbagai macam masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Perkawinan menurut Laech adalah ikatan hak-hak kemudian W.H, 8 Nurdin Abdullah, Perkawinan Adat Tolaki (Perapua). Unaaha : Karya Baru Unaaha, 1997,, h. 9 17 Goddenough menjelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu catatan sipil dan kontrak yang berakibat dimana seorang laki-laki atau perempuan, kelompok atau perseorangan dengan sendiri atau dengan wakil menetapkan hak memiliki secara terus menerus tubuh perempuan.9 Secara umum menurut hukum perkawinan adalah perbuatan yang suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran tuhan yang maha esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing–masing. Menurut hukum islam tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Jadi tujuan perkawinan adalah untuk menegakkan agama Allah dalam arti mentaati perintah dan larangan-Nya. Tujuan perkawinan selanjutnya adalah untuk mencegah maksiyat, terjadinya perzinahan atau pelacuran sebagaimana Nabi berseru kepada generasi muda berdasarkan Jama`ah ahli hadits bahwa : “Artinya: hai para pemuda jika diantara kamu mampu dan berkeinginan kawin, hendaklah kawin karena sesungguhnya perkawinan itu memanjakan mata terhadap orang yang tidak halal dipandang, dan akan memelihara dari godaan syahwat, jika tidak mampu untuk kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu terhadap perempuan akan berkurang”.10 Selanjutnya Nabi bersabda bahwa : “Artinya barang siapa yang kawin dengan seorang wanita karena agamanya, niscaya Allah akan memberi karunia dengan harta dan kawinilah mereka dengan dasar agama dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lebih baik asalkan ia beragama”.11 9 Ibid, h. 6 10 Hilman Hadikusuma, Op – Cit. h. 24 11 Ibid, h. 25 18 Jika berdasarkan hadist tersebut diatas maka perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi setiap orang jika ia tidak mampu menahan hawa nafsunya sehingga seseorang terhindarkan dari segala perbuatan yang dilarang oleh Allah, serta dapat menjaga keturunan untuk berbuat hal serupa yang dapat menjerumskan kelembah kehinaan dunia maupun akhirat. Hal tersebut sebagian besar para ulama berpendapat bahwa : “perkawinan itu hukumnya sunnah (dianjurkan) tetapi jika anda takut terjerumus kelembah perzinahan dan mampu untuk kawin ,maka hukumnya wajib (dimustikan) dan perkawinan itu haram (dilarang) jika anda sengaja tidak memberi nafkah kepada isteri, baik nafkah batin mapun nafkah lahir”.12 Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia perkawinan yang sah adalah yang dilaksanakan di kediaman mempelai, di mesjid ataupun di kantor agama dengan bentuk Ijab dan Kabul dalam bentuk akad nikah. Ijab adalah ucapan emnikahkan dari wali calon isteri dan Kabul adalah kata penerimaan dari calon suami. Ucapan Ijab dan Kabul dari kedu belah pihak harus terdengar dihadapan majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugassebagai saksi akad nikah. Jadi sah perkawinan menurut hukum islam adalah diucapkannya Ijab dari wali perempuan dan Kabul dari calon suami pada saat yang sama didalam suatu majelis akad nikah disaksikan oleh dua orang saksi yang sah. Menurut Mazhab Syafi`i, Maliki dan Hambali wali dari perempuan dapat diwakilkan dan calon suami dapat diwakilkan. Calon suami dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain jika ia berhalangan hadir ketika akad nikah dilaksanakan. Menurut Hanafi cara demikian itu boleh dan boleh juga sebaliknya yaitu Ijab dari pihak calon suami 12 Ibid, h. 25 19 atau wakilnya dan Kabul dari pihak perempuan (walinya atau wakilnya) asal saja perempuan itu sudah baligh dan berakal sehat. Sementara menurut mazhab Hanafi di antara Ijab dan Kabul boleh ada waktu antara misalnya hari ini Ijab dan Kabulnya satu minggu kemudian, asal saja nikah itu dilakukan dalam suatu majelis dan tidak ada halangan yang sifatnya merupakan ada keingkaran dari salah satu pihak untuk melakukan perkawinan itu sementara mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali tidak demikian bahwa Ijab dan Kabul tidak berjarak waktu lama. Sementara syarat yang harus ada pada wali nikah dari mempelai wanita atau yang menjadi wakilnya. Wali harus orang yang beragama islam, sudah dewasa, berakal sehat dan berlaku adil. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi dalam nikah ialah harus orang yang beragama islam, sudah dewasa, berakal sehat, dapat melihat, mendengar dan memahami tentang akad nikah dan berlaku adil. Perkawinan dalam islam sangat jelas bahwa untuk menikahkan seorang wanita atas seorang laki–laki dengan syarat atau ketentuan yang tidak bertentangan dengan konsep perlkawinan menurut islam begitu pula hal yang telah dilaksanakan pada masyarakat lokal khususnya pada masyarakat Tolaki jika akan menikahkan keluarganya disamping mereka membantu secara ekonomi juga mengikuti tata cara perkawinan sesuai dengan ajaran islam yang sebenarnya. C. Pabitara Dalam Perkawinan Masyarakat Tolaki. Setiap akan dilaksanakan proses perkawinan dalam masyarakat suku tolaki di kenal dengan nama Pabitara atau Tolea kedua istilah tersebut memiliki fungsi yang sama yakni sebagai penghubung antara kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan pihak perempuan guna tercapainya kesepekatan atas segala kebutuhan dalam pelaksanaan perkawinan, 20 bahkan jika terjadi pemahaman yang berbeda atau tidak ada persetujuan dalam salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan, maka Pabitara atau Tolea yang bertindak sebagai penengah dan pendamai sehingga dapat dibicarakan kembali segala bentuk urusan perkawinan. Masyarakat Tolaki memliki ketergantungan dengan Pabitara karena urusan perkawinan tidak akan dapat berlangsung tanpa keterlibatannya, dan kalaupun perkawinan dilaksanakan tidak ada keterlibatan Pabitara maka perkawinan tersebut dalam masyarakat suku Tolaki disebut “lia sara” artinya tidak mematuhi peraturan adat yang berlangsung, dalam peran juru bicara adat dapat dikemukakan bahwa : Tolea dan Pabitara hanya ada pada proses peletakkan adat pada perkawinan yakni Tolea sebagai juru bicara pihak laki-laki dan Pabitara sebagai juru bicara yang ada pada pihak perempuan, sedangkan dalam proses peletakkan adat lainnya, seperti pada penyelesaian konflik, yang ada hanya Pabitara yang berfungsi sebagai juru bicara sekaligus penengah atau mediator dari mereka yang sedang berkonflik. 13 Dapat pula dikemukakan proses penyelesaian adat perkawinan menurut adat Tolaki yang dilaksanakan oleh Pabitara dengan Tolea sebagai berikut : Perkataan Tolea dalam bahasa daerah suku tolaki dalam penyesaian adat perkawinan Inggomiu mbulipu-mbuwonua Inggomiu owo-owose nininaa motuo Inggomiu anamotuo-toono meohai Inggomiu mburaha-mbulaika Inggomiu mbuana-mbuwulele Inngomiuu Pabitara Artinya Yang kami hormati penghuni negeri Yang kami hormati para tetua adat dan yang dituakan Yang kami hormati orang tua dan semua keluarga Yang kami hormati tuan rumah 13 Erens, E Kodoh, et-al, h. 56 21 Yang kami hormati orang tua pengantin perempuan Yang kami hormati Pabitara Tuduito-resito Mepoluhu-mepokodede Mepotira-mepokulelo osara niwindahako Iwoimiu-iraimiu Artinya Sudah turun dan sudah terletak Sudah dipersembahkan, sudah diperhadapkan Adat negeri, leluhur warisan Dihadapan yang terhormat Meutio-menggauito Tolaambelelennggoikee haono-mbebobahoikee tawano Mano tano haringgi kapo osara-heo peowai Artinya Telah sekian lama kita menanti Tapi belum ada wujud penyelesaiannya Maa niino ona, nggo mokonggapoito osara-mokoheoii peowai Hende-hende ari pine dandiako ihawi inipua Taku laloii-taku liaii-taku taa dunggui Artinya Sekarang tibalah Perwujudan penyelesaian yang dinanti-nanti Seperti yang menjadi kesepakatan bersama saat peminangan yang lalu Tak ada yang terlangkahi, tak ada yang terlewatkan juga tak ada yang terlewatkan Puuno niwindahko patonggasu, ieto: Perahano asondumbu okasa, o`aso kiniku ilaika, o`aso o`gumba atau aso ndangge oeno Aso lawa tawa-tawa Artinya Pokok adat ada 4 jenis, terdiri dari 1 pis kain kaci, satu ekor kerbau, satu buah gumbang atau satu lingkar (seuntai) kalung, satu buah gong Tawano hopulo o`ono mata o`lipa (atau hoalu mata olipa) Wawono/popolo/kinawiako halumbulo o`sawu (atau halumbulo hoalu o`sawu) Artinya 22 Daun adat enam belas atau delapan mata, yakni enam belas sarung atau delapan lembar kain sarung Sara peana o1limo mata, ieto: Rane-rane mbaa, boku mbebahoa, tematema, sandu-sandu, like-like mata ronga siku-siku hulo Artinya Adat pengasuhan anak sebanyak lima jenis yakni Perawatan ibu, satu helai kain sarung Wadah tempat memandikan bayi, satu buah baskom Kain panjang untuk menggendong bayi, satu helai kain sarung panjang Gayung/timba untuk mandi, satu buah Alat penerangan/lampu dan alat untuk membuang sisa-sisa pembakaran pada lampu damar Sesengano niwindahako kuuito-koaito Keno laa taa kuuno nggo o`sara moko ngguui Keno laa taa kaduno nggo anamotuo toono meohai moko nggadui Artinya Rasanya : segala yang bertalian dengan penyelesaian adat sudah lengkap dan terpenuhi, namun bila dipandang masih ada yang belum lengkap, adatlah yang melengkapinya dan bila masih ada yang belum terpenuhi, pihak orang tualah dan keluargalah yang akan memenuhinya. Kemudian dijawab oleh Pabitara untuk menerima segala persyaratan dalam perkawinan yang sudah terpenuhi, adapun jawaban Pabitara adalah sebagai berikut : Inggomiu tolea rongga bawamiu Kipodeaito ilaa sumarui, ronga kikiito ilaa tumatalaii O`sara-peowainiwindahako Artinya Yang kami hormati tolea, bersama rombongan Kami telah mendengar yang telah diucapkan, dan telah melihat apa yang dipersembahkan Tentang adat perkawinan, rasanya sudah cukup lengkap Kuuito koaito Kuuito peihi-koaito tepoiahari O`asonotokaa inggito ino Tumotareakaa-tumotalia Konduuma ari-ari peana Ipatemboaku leesu Akumbule megili-hende mombependee Tahoringgu sumokoi o`sara- tumarimai peowai 23 Artinya Rasanya sudah cukup dan lengkap Hanya saja, kita ini hanya pesilat lidah, tetapi penentu Adalah pihak orang tua kandung masing-masing pihak Izinkanlah buat sejenak, aku berpaling meminta pendapat Sebelum aku menerima apa yang disuguhkan Inggomiu tolea Ariakuto mbule megili-hende mombependee Ine konduuma ari-ari peana Laalaa numaai totoi ronga poehe Laaito pohuna poasa-asanggire Batuano-hendeakono kuuito o`sara- koaito peowai Inggito tumotokiikeito o`sara-sumulahiikeito peowai Artinya Yang kami hormati Aku telah berpaling dan meminta pendapat Kepada pihak orang tua Sebagai pemilik hak berpendapat Telah ada isyarat, tanda persetujuan Semua adat yang disuguhkan sudah cukup dan lengkap Hanggario, keno laambo pinehawamiu-bara kinolupemiu Maa itaa taanggekeitotokaa ano meita-ita Artinya Akan tetapi, jika mungkin masih ada hal yang terlupakan Kami mohon untuk diingat kembali Hal tersebut diatas merupakan pembicaraan yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan pihak perempuan yang diperankan oleh seorang Tolea dan Pabitara D. Hubungan Pabitara dalam Adat Tolaki dan Sistem Perkawinan Dalam Islam Dalam perubahan yang terjadi dalam masyarakat maka merupakan suatu gejala umum bahwa perubahan tersebut terutama akan mengenai gejala sosial yang dinamakan hukum. Kadang-kadang tidak disadari bahwa perubahan yang terjadi di bidang kehidupan 24 lain akan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Bahwa hukum baik sebagai kaidah maupun perilaku, memberi bentuk dan tata tertib pada bidang-bidang lain seperti ekonomi politik, pendidikan, pembangunan desa. Banyak yang mengalami kesulitan diberbagai bidang kehidupan karena hukum yang mengaturnya sudah dianggap tidak memadai lagi atau hukum yang diremehkan oleh masyarakat karena terlampau berbelit-belit prosedurnya. Hal tersebut sering mengakibatkan bahwa dalam masa terjadinya perubahan hukum seolah-olah berada disuatu posisi yang terpisah dari realitas sosial padahal hukum pada hakikatnya merupakan suatu realitas sosial, paling tidak hal tersebut dapat dikembalikan dalam tiga sebab yaitu : 1. Hukum menghendaki adanya stabilitas dalam masyarakat, stabilitas tersebut seringkali menutup mata kalangan hukum terhadap perubahan sosial yang terjadi akibatnya hukum dilihat sebagai unsur yang konservatif belaka. 2. Yang dinamakan formalisme yang terutama melihat hukum sebagai kaidah yang mengatur hubungan antar manusia, ini lebih banyak menyangkut tehnik, walaupun ada yang lebih menekankan substansi. 3. Bahwa hukum cenderung untuk mementingkan ketertiban. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipahami bahwa kekuatan hukum sangat berpihak pada suatu kepentingan tertentu dalam menertibkan yang berhubungan dengan kepentingan tersebut sehingga hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak terabaikan begitu saja tanpa ada pendekatan yang dilakukan untuk memenuhi kepentingan tersebut. Perubahan kultur dan wilayah yang terjadi pada masyarakat hukum secara umum telah sangat besar sehingga dapat dilihat secara langsung terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri disebabkan karena terkesan hukum membela 25 kepentingan penguasa ketimbang kepentingan orang kecil dalam hal ini masyarakat tingkat bawah. Agar hukum menjadi sesuatu yang dapat memberikan efek yang baik dalam mengatur ketertiban dalam masyarakat maka pelaksanaan hukum mesti melihat keadaan masyarakat setempat sehingga dalam merepkan hukum tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat atau tradisi masyarakat setempat sehingga hukum apapun yang diterapkan benar-benar efektif, apalagi jika kita melihat budaya atau adat masyarakat Tolaki yang melakukan kawin lari secara hukum telah melanggar tetapi menurut adat tidak melanggar hukum karena dalam adat tersebut sudah mengatur tentang pekawinan lari oleh kedua belah pihak, serta telah diatur pula pelangaran yang harus diberlakukan kepada pihak tertentu dalam hal ini pihak laki – laki dan sanksinyapun juga sudah diatur dalam adat tersebut, sehingga segala sesuatunya dapat terselesaikan dengan baik pula. Dengan demikian bahwa Pabitara dalam hukum adat Tolaki menjadi suatu keharusan untuk melaksanakan aturan hukum adat, dalam perkawinan pabitara juga memiliki peran yangat penting dalam masyarakat Tolaki, betapa tidak karena Pabitara merupakan salah satu tokoh sentral pada penyelesaian perkawinan, namun peran Pabitara terbatasi oleh hukum perkawinan dalam Islam sehingga Pabitara tidak dapat menikahkan kedua belah pihak melainkan hanya berperan sebagai mediator atau sebagai juru bicara. Dalam hukum Islam yang dapat menikahkan kedua belah pihak adalah kewenangan sepenuhnya berada pada pihak Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dalam hal ini penghulu sehingga dibutuhkan suatu kerjasama antara pemuka adat dengan pemuka agama sehingga tercipta hubungan yang sinergis dalam menata serta mengatur sistem perkawinan guna menghindari terjadi pelanggaran hukum 26 Hubungan Pabitara sebagai salah satu tokoh adat dengan pemuka agama dalam perkawinan suku Tolaki sangat dibutuhkan karena dengan adanya kerjasama akan dapat menciptakan kondisi hukum yang kondusif dalam masyarakat adat, namun disisi lain perkawinan dapat dilaksanakan tanpa Pabitara jika kewenangan tersebut diambil alih sepenuhnya oleh pihak KUA dalam hal ini penghulu, jika perkawinan tersebut dilaksanakan dengan perwlian hakim, namun Pabitara tidak dapat menikahkan oleh kedua belah pihak tanpa adanya kesediaan oleh penghulu untuk menikahkan kedua belah pihak. Peran kedua belah pihak antara Pabitara dengan penghulu sangat dibutuhkan dalam menata hukum perkawinan dengan menggunakan pendekatan kultural, artinya perlu adanya ruang bagi tokoh adat untuk berperan serta dalam melaksanakan perkawinan sehingga tercipta hubungan yang dapat menciptakan suasanan hukum yang kondusif pula. E. Kajian Relevan Penelitian ini dilaksanakan di desa Asaria yang bertujuan melakukan penelitian tentang Tinjauan Hukum Islam terhadap Eksistensi Pabitara dalam Perkawinan Tolaki, diharapkan penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian sebelumnya sesuai dengan kondisi dilapangan. Penelitian Tradisi Mombowehi Masyarakat Tolaki Dalam Perkawinan Penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian sebelumnya yang berjudul “Tradisi Mombowehi Masyarakat Tolaki dalam Proses Perkawinan Menurut Tinjauan Hukum Islam di Desa Awila Kecamatan Molawe” (Rita Dewiyanti :2007) dan Sistem Perkawinan Adat Suku Tolaki Di Desa Bungguosu Kecamatan Wawotobi Ditinjau Dari Hukum Islam (Syamsul Marham 2004/2005). Penelitian ini mengkaji tentang tradisi masyarakat Tolaki yang menikahkan anak mereka dengan memberikan bantuan secara 27 materil dengan pendekatan hukum Islam, di dalam penelitian ini menemukan tradisi masyarakat Tolaki memiliki suatu pendekatan yang sesuai dengan Hukum Islam sehingga tercipta nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari, dimana dalam tradisi tersebut selalu melibatkan keberadaan Pabitara. Tradisi yang melekat pada masyarakat Tolaki sudah menjadi tradisi yang dianut secara turun temurun sehingga menjadi kebisaan yang dilaksanakan pada setiap akan dilaksanakan suatu proses perkawinan, tradisi mombowehi dalam masyarakat tolaki adalah suatu kegiatan sosial yang intinya adalah memberikan bantuan secara Cuma-Cuma pada anggota masyarakat lain yang membutuhkan sehingga dapat meringankan beban yang dialami bagi pihak laki-laki atau perempuan yang akan menikah, sebab tradisi ini juga tidak dapat dihilangkan oleh masyarakat Tolaki dalam perkawinan adalah biaya yang dibutuhkan untuk perkawinan terkadang memberatkan bagi pihak laki-laki, dengan penelitian ini dapat ditinjau dari Hukum Islam sehingga dianggap memeliki relevansi dengan penelitian sekarang ini.