PENGARUH SISTEM PENGGEMBALAAN BEBAS (LEPAS) TERHADAP DEGRADASI LAHAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Medo Kote, Sophia Ratnawaty, dan Masniah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT ABSTRAK Kondisi fisik alam yang dimiliki NTT telah membentuk lingkungan hayati yang khas, dimana didominasi oleh sabana, padang rumput, hutan musim dataran tendah dan vegetasi sekunder belukar. Pemeliharaan ternak di NTT, hampir seluruhnya mengandalkan hijauan makanan ternak yang tersedia di alam (padang penggembalaan), walaupun ada upaya untuk penanaman hijauan makanan ternak, namun dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan ternak. Pemeliharaan ternak secara bebas (lepas) di padang penggembalaan di NTT dipandang sebagai salah satu pemicu kerusakan lingkungan salah satunya adalah terjadinya degradasi lahan. Bahwa jenis, jumlah dan cara pemeliharaan sangat erat kaitannya dengan tingkat kerusakan lahan atau erosi. Erosi berakibat menurunnya tingkat kesuburan tanah baik yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologi. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengulas beberapa hal yang ada kaitannya dengan degradasi lahan akibat sistem penggembalaan bebas. Sistem pemeliharaan kandang kelompok disarankan untuk mengatasi permasalahan lingkuangan yang diakibatkan oleh ternak. Keuntungan dari kandang kelompok adalah selain kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman juga mudah dalam pengontrolan terutama kesehatan dan tentunya untuk memperkecil kasus pencurian ternak. Sosialisasi/penyuluhan tentang teknologi yang ramah lingkungan seperti teknologi kandang kelompok disertai dengan teknologi penyediaan hijauan makanan ternak sehingga tidak selalu mengandalkan padang rumput yang ketersediaannya terbatas hanya pada saat musim hujan. Kata kunci: sistem penggembalaan lepas, degradasi lahan, Nusa Tenggara Timur PENDAHULUAN Latar Belakang Degradasi adalah runtutan peristiwa dari penurunan mutu lingkungan atau penurunan kemampuan daya dukung lingkungan yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh alam. Degradasi lingkungan merupakan proses yang sangat kompleks sehingga penyebabnya seringkali sulit untuk diidentifikasikan. Dalam beberapa kasus identifikasi, sering merumuskan penyebab degradasi yang bersifat umum, padahal proses degradasi lebih bersifat spesifik lokasi. Oleh kerena itu penyebab degradasi akan lebih teridentifikasi sebagai hubungan keterkaitan timbal balik antara faktor alam, manusia, kelembagaan serta kebijakan pemerintah daripada hubungan sebab akibat (Soetedjo, 2000). Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah berekosistem kering, dimana bersifat lebih labil dibandingkan ekosistem lahan basah. Hal ini erat kaitannya dengan curah hujan yang rendah, kecepatan angin yang tinggi, radiasi matahari yang intens, kemiringan lahan yang tinggi dan proses genesis tanah yang relatif masih aktif (Kepas, 1984; Monk et al, 2000). Sifat-sifat ini akan menyebabkan ekosistem lahan kering peka terhadap degradasi jika digunakan untuk kepentingan pertanian dan kepentingan lainnya tanpa disertai pengelolaan yang memadai (Mudita, 1998). Kondisi fisik alam yang dimiliki NTT telah membentuk lingkungan hayati yang khas, dimana didominasi oleh sabana, padang rumput, hutan musim dataran tendah dan vegetasi sekunder belukar. Kepulauan di NTT dikenal sebagai daerah sabana, karena diperkirakan sekurang-kurangnya sekitar 38,1% dari total wilayah NTT berupa wilayah sabana, dan luasan ini diperkirakan akan semakin bertambah setiap tahunnya akibat pola perladangan yang diterapkan masyarakat, serta tingginya konversi hutan oleh masyarakat ke lahan pertanian. Savana dan padang rumput di NTT sebagian merupakan sabana dan padang rumput anthropogenic, jika dilihat dari peralihan yang tiba-tiba dari hutan ke sabana. Berkembangnya usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada masa lalu telah menjadikan daerah ini menjadi salah satu lumbung ternak sapi di Indonesia. Kondisi ini mencapai puncaknya pada tahun 1983, dengan tingkat pertumbuhan mencapai 13,4 %. Populasi sapi Bali mencapai 720.000 ekor dan sapi Ongole mencapai 450.000 ekor dengan tingkat pengeluaran ternak tertinggi pada tahun 1984 mencapai 75.499 ekor. Potensi ini sangat ditunjang oleh padang pengembalaan yang luas sebagai sumber pakan utama ternak dalam sistem pemeliharaan ekstensif yaitu mencapai 2.962.571 ha (59,4 % dari luas lahan NTT). Di NTT usaha dibidang peternakan sangat penting, berhubung kondisi iklim NTT yang sangat rentan untuk usaha pertanian tanaman pangan. Musim kering yang panjang (7 – 9 bulan) dan curah hujan yang rendah (< 1500 mm) dan kurang menentu (bersifat eratik) mengakibatkam resiko gagal panen cukup tinggi. Ternak, khususnya ternak besar merupakan bagian integral dari sistem pertanian di NTT. Akan tetapi pengusahaan ternak bagi masyarakat NTT tidak berorientasi ekonomi semata. Unsur sosial budaya dalam pemeliharaan ternak cukup dominan, ternak mempunyai peranan dalam upacara adat dan sebagai salah satu indicator status sosial keluarga. Pemeliharaan ternak di NTT, hampir seluruhnya mengandalkan hijauan makanan ternak yang tersedia di alam (padang penggembalaan), walaupun ada upaya untuk penanaman hijauan makanan ternak, namun dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan ternak. Oleh karena itu pemeliharaan ternak secara bebas (lepas) di padang penggembalaan di NTT dipandang sebagai salah satu pemicu kerusakan lingkungan salah satunya adalah terjadinya degradasi lahan. Makalah ini membahas masalah kerusakan padang penggembalaan sebagai akibat penggembalaan secara bebas yang berdampak pada degradasi padang penggembalaan karena terjadi penurunan vegetasi rumput dan tumbuhan lain yang disukai ternak sebagai akibat dari injakan dan renggutan ternak pada saat penggembalaan yang tidak diatur atau dikontrol. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana sistem pemeliharaan ternak secara bebas (lepas) di padang penggembalaan terhadap degradasi lahan. Metodologi Makalah ini merupakan kajian pustaka dari hasil-hasil penelitian tentang padang penggembalaan yang dikaitkan dengan sistem pemeliharaan ternak dan kerusakan lingkungan (padang penggembalaan). HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pemeliharaan Ekstensif Di NTT produksi peternakan adalah untuk memenuhi kesenjangan produksi tanaman pangan. Cekaman kekeringan mengakibatkan tanah-tanah di NTT relatif lebih cocok untuk penggembalaan ternak dibanding usaha pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Diperkirakan bahwa kurang lebih 67,5% tanah di Nusa Tenggara diklasifikasikan sebagai tanah tipe IV-VI yang tidak cocok untuk mengembangkan sistem pertanian yang intensif. Tanah tipe ini lebih cocok untuk penggembalaan ternak (Hasibuan dan Mangunsong, 1993). NTT memiliki areal penggembalaan yang relatif luas. Umumnya padang penggembalaan alamiah (pastura) ini digunakan oleh masyarakat sekitar, secara bersama-sama. Bagaimanapun juga pastura ini memiliki beberapa kendala, antara lain kekurangan air dan sering terjadinya kebakaran yang dapat merusakan areal ini bila tidak ditanggulangi sejak dini. Diyakini bahwa lebih dari 90% ternak di NTT dipelihara secara ekstensif pada padang penggembalaan umum. Minimalnya masukan (input) yang ditanam oleh para pemilik ternak dan rendahnya biaya produksi merupakan alasan utama mengapa cara ini diterapkan secara luas. Walaupun produktivitasnya relatif rendah, ternyata pertumbuhan populasi sapi Bali meningkat pesat dari sekitar 100.000 ekor pada tahun 1940-an menjadi lebih dari 500.000 ekor dalam tahun 1990 (Bamualim dan Saramony, 1995). Peningkatan populasi yang tinggi dalam tiga decade terakhir dan belum jelasnya status penggunaan tanah penggembalaan mengakibatkan terjadinya overstocking di beberapa lokasi di NTT. Konsekuensinya, pertambahan populasi tahunan menurun pada tahun-tahun terakhir. Wirdahayati et al, (1997) mengemukakan bahwa pemeliharaan ternak sapi bagi petani di NTT adalah pola tradisional yaitu mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan tenaga yang minim, produktivitas ternak sapi dengan sistem ini berfluktuasi mengikuti musim. Pada musim hujan ketika produksi hijauan melimpah, ternak mengalami peningkatan bobot badan sebaliknya dimusim kemarau ketika produksi dan kualitas hijauan menurun, ternak mengalami kehilangan bobot badan dimana penurunannya dapat mencapai 20-25% dari bobot badan pada musim hujan (Bamualim, 1994; Jelantik, 2001). Perkiraan total penggunaan tanah untuk peternakan dan kapasitas tampung pulau-pulau besar di NTT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan luas lahan, kawasan peternakan, jumlah ternak, dan kapasitas tampung padang rumput di NTT Pulau Luas lahan Kawasan Jumlah ternak Kapasitas (Ha) peternakan (UT) tampung (Ha/UT) (Ha) Sumba 1.085.440 770.600 145.960 5,3 Flores/Alor 1.909.500 406.170 129.630 3,1 Timor 1.699.060 705.040 537.110 1,3 Total/rataan 4.694.000 1.475.680 812.700 1,8 Sumber: Bamualim et al, 1991 Data pada Tabel 1 menunjukkan kapasitas tampung di Timor Barat secara teori telah mencapai titik maksimum. Ini berarti daerah tersebut membutuhkan perbaikan manajemen penggembalaan ternak terutama di wilayah-wilayah yang kritis. Selanjutnya sistem pemeliharaan intensif dengan persediaan cadangan makanan yang cukup perlu dikembangkan untuk menjamin ketersediaan pakan yang cukup jumlahnya, baik kualitasnya maupun kuantitasnya sepanjang tahun. Dilain pihak jumlah ternak yang digembalakan di Pulau Sumba dan Flores masih dapat ditingkatkan melalui penggunaan padang penggembalaan secara tepat dan pembagian sumber air yang merata. Karena pengaruh iklim maka pada pemeliharaan ekstensif, pertambahan bobot badan ternak meningkat pesat pada musim hujan, dan pada musim kemarau mengalami kehilangan bobot badan yang juga tinggi, oleh karena itu rataan produksi per tahun terbilang rendah. Ruminansia besar, terutama ternak sapi, merupakan komoditas pertanian penting di NTT, yang akan terus memanfaatkan lahan pastura alam di NTT. Melihat banyaknya tekanan yang diberikan oleh sektor dan subsektor lain dan beberapa kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk kegunaan yang lain, maka areal kawasan peternakan akan menurun dan terkonsentrasi pada tipe tanah yang lebih marginal lagi. Sehingga dengan tetap menerapkan sistem pengelolaan yang ekstensif dan tetap mempertahankan peningkatan jumlah ternak yang digembalakan, lahan pastura alam akan terus mengalami kerusakan, bahkan dapat menuju ke pemusnahan. Produktivitas Padang Penggembalaan Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2004) menunjukkan bahwa padang rumput di NTT merupakan padang rumput yang paling luas, dibandingkan di tempat manapun di Indonesia. Padang rumput ini terkonsentrasi terutama di Sumba, Timor dan beberapa lokasi di Flores yang pada umummnya merupakan lahan komunal. Luas lahan penggembalaan di NTT menurut data BPS tahun 2004 adalah 811.796 ha. Padang penggembalaan alam adalah padang yang terdiri dari tanaman dominan yang berupa rumput perenial, sedikit atau tak ada sama sekali gulma, tidak ada pohon (Moorre,1964) dalam Reksohadiprodjo (1977). Sering disebut padang penggembalaan permanen. Tidak ada campur tangan manusia terhadap susunan floranya. Manusia hanya mengawasi ternak yang digembalakan. Ternak berpindah-pindah secara nomad mengikuti pemiliknya. Padang penggembalaan ini biasanya menghasilkan hijauan yang melimpah di musim hujan, dan musim kemarau mengalami kekeringan. Hasil penelitian Bamualim et al. (1994) melaporkan bahwa produksi padang penggembalaan di NTT pada musim hujan dapat mencapai 1,7 ton BK/ha, dan pada musim kemarau hanya mencapai 0,538 ton BK/ha. Salah satu masalah yang saat ini dihadapi NTT adalah buruknya kondisi padang rumput tersebut. Hasil penelitian Bamualim, et al. (1992) menunjukkan bahwa periode defisiensi protein padang rumput alam di NTT terjadi selama bulan Juni sampai dengan Desember setiap tahunnya yang bertepatan dengan musim kemarau di NTT, terutama di Sumba dan Timor. Lebih lanjut Nulik dan Bamualim (1998) memperkirakan daya tampung padang penggembalaan alam di NTT berkisar antara 1,4 – 2,8 ekor/ha/tahun. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi produktivitas ternak yang diusahakan. Iklim semiarid tropis, persediaan dan kualitas pakan selama musim kemarau yang panjang merupakan kendala utama pengembangan peternakan di NTT, Jumlah dan kualitas pastura alam di NTT mempunyai variasi yang besar sepanjang tahun. Hanya ada periode yang singkat bagi pakan kualitas baik yaitu sekitar 3 bulan sesudah musim hujan berhenti (Maret-Mei), sejak hujan dimulai pada Desember, diikuti oleh periode yang panjang dari penurunan kuantitas dan kualitas pakan, sampai yang terburuk pada akhir musim kemarau (Agustus-November). Inilah periode kritis pada saat ternak dewasa mengalami kehilangan bobot badan sampai 25% dari bobotnya pada musim hujan. Dilaporkan bahwa angka kematian yang tinggi pada anak sapi di Timor selama musim kemarau sebesar 20-50% (Banks 1985; Wirdahayati dan Bamualim 1990) dengan kematian terbanyak pada bulan Mei-September. Selanjutnya dikatakan bahwa protein, forfor, belerang, natrium dan tembaga adalah unsur-unsur gizi yang selalu defisien selama musim kemarau. Produksi bahan kering juga menurun dari 3 ton/ha pada musim hujan menjadi kurang dari 0,5 ton/ha pada tiga bulan terakhir musim kemarau. Akibatnya kapasitas tampung turun dari 4 UT/ha pada musim hujan menjadi kurang dari 0,3 UT/ha pada akhir musim kemarau (Bamualim et al, 1994). Banyaknya penyebaran gulma eksotik Chromolaena odorata dan aneka jenis tumbuhan pengganggu lainnya yang membentuk koloni yang luas dalam lahan penggembalaan alam juga ikut membatasi produktivitas padang rumput tersebut. Selain akibat dari pengembalaan berat, penurunan keanekaragaman rumput padang pengembalaan alam, juga dapat disebabkan oleh pembakaran padang yang tidak terkontrol. McIlroy (1977) mengemukakan bahwa, pembakaran sangat berpengaruh terhadap asosiasi padang rumput namun dapat bermanfaat jika dikelola dan diawasi dengan sungguh-sungguh. Pembakaran merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk membasmi tumbuh-tumbuhan padang penggembalaan yang sudah sangat tua dan tidak berguna, sehingga pada waktu musim hujan dapat menyebabkan timbulnya tumbuhan muda yang bernilai gizi baik. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, terdapat 16 asosiasi rumput di padang rumput daerah tropik. Menurut Bamualim et al. (1992), ada 7 jenis rumput yang mendominasi padang penggembalaan alam di NTT, sedangkan menurut Bonnemaison (1961) yang dikutip Siregar et al. (1985) bahwa sebagian besar padang penggembalaan di Nusa Tenggara didominasi oleh jenis rumput Paspalum sp., Axonopus compresus dan beberapa jenis legum Desmodium heterophyllum sedangkan pada padang savana, didominasi oleh jenis rumput Themeda sp., Sorghum sp. dan Heteropogon sp. Berkembangnya gulma yang mempunyai daya ekspansi dan daya tumbuh yang tinggi, pada padang penggembalaan dapat menekan pertumbuhan dan bahkan mematikan rumput alam. Beberapa gulma padang penggembalaan yang akhir-akhir ini berkembang di padang pengembalaan alam NTT, adalah bunga putih/kirinyu (Chromolaena odorata), Lantana (Lantana camara), Damar merah (Jatropha gassypiifolia) dan kacang hutan/Papoo (Sena tora ). Di beberapa lokasi, gulma-gulma ini mendominasi padang penggembalaan alam, sehingga menekan produksi rumput alam dan mempersempit areal penggembalaan. Perbaikan padang penggembalaan alam lebih merupakan masalah sosial dan perizinan daripada masalah penyediaan teknologinya, karena cukup sulit untuk membentuk konsensus bersama dalam penggunaan padang rumput. Seharusnya sebagian areal penggembalaan dapat diisolasi dan diperbaiki menjadi lebih produktif, dan sistem ini mungkin dapat dikembangkan bila pengontrolan terhadap padang penggembalaan telah diterapkan. Namun kenyataannya faktor manusia dan institusi adalah persoalan yang sulit ditembus, padahal ini masalah penting. Kualitas padang rumput alam dapat diperbaiki melalui perbaikan fasilitas penyediaan air dan pemagaran kelompok yang hanya dapat dilakukan dengan bantuan permodalan dari pemerintah. Degradasi Lahan Degradasi lahan merupakan hasil (resultante) suatu atau beberapa proses yang dapat mengurangi tingkat kemampuan lahan, baik dimasa kini maupun dimasa mendatang, untuk memproduksi suatu barang atau jasa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Requier, 1977: Saifuddin, 1985). Degradasi lahan dapat diartikan sebagai lahan yang tanahnya telah mengalami proses penurunan produktivitas tanah. Tiga macam proses perubahan dalam tubuh tanah, yaitu: 1) perubahan yang berlangsung dalam jangka panjang sesuai proses geologi, 2) perubahan yang berlangsung dalam kurun waktu setahun, berdaur ulang, terutama disebabkan oleh faktor iklim, bahan organik, kandungan unsur hara tertentu, dan pH, dan 3) perubahan yang berlangsung cepat dan tidak berkaitan dengan siklus tahunan. Perladangan merupakan salah satu faktor penyebab degradasi yang paling besar pengaruhnya karena erat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pertanian yang merupakan tulang punggung pemenuhan kebutuhan pangan dan perekonomian di NTT yang lebih dari 80% penduduknya bergantung dari sektor pertanian (RePPProt, 1989). Degradasi lahan di NTT cenderung terus meningkat setiap tahun yang dicirikan dengan terus bertambahnya luas lahan kritis yang ada di NTT (Tabel 2.) Tabel 2. Luas lahan kritis didalam dan diluar kawasan hutan di 12 kabupaten Luas lahan kritis (Ha) No. Kabupaten Didalam kawasan hutan Diluar kawasan hutan 1. Kupang 45.782 13.699 2. TTS 13.587 142.575 3. TTU 50.993 51.021 4. Belu 5.425 22.711 5. Alor 44.587 57.439 6. Flores Timur 14.950 84.287 7. Sikka 17.690 92.577 8. Ende 13.331 42.502 9. Ngada 18.911 66.275 10. Manggarai 7.234 66.890 11. Sumba Timur 27.342 82.354 12. Sumba Barat 39.291 209.136 Sumber: Dephutbun, Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, NTT (1999) Pengaruh Penggembalaan Bebas Terhadap Degradasi Lahan Peternakan lepas merupakan juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya degradasi lahan, karena faktor-faktor sebagai berikut: 1) Penginjakan atau trampling yang terjadi seiring dengan gerakan ternak menyebabkan lahan berkemiringan tinggi mudah erosi 2) Pembakaran untuk memicu pertumbuhan rumput pada musim kemarau menyebabkan lahan terbuka pada musim hujan 3) Perenggutan (browsing) menyebabkan anakan jenis-jenis pohon sulit tumbuh dan bahkan mati 4) Pembuatan pagar kayu untuk melindungi tanaman dari ternak lepas yang berperilaku sebagai hama menyebabkan banyak pohon harus ditebang 5) Pemangkasan jenis-jenis pohon-pohon tertentu untuk diambil daunnya sebagai pakan pada musim kemarau menyebabkan naungan berkurang dan pohon mati sehingga lahan menjadi terbuka. Selanjutnya dilaporkan bahwa jenis, jumlah dan cara pemeliharaan sangat erat kaitannya dengan tingkat kerusakan lahan atau erosi. Erosi berakibat menurunnya tingkat kesuburan tanah baik yang bersifat fisik, kimiawi maupun biologi, menurut Baver et al (1982) ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas erosi yaitu: a) sifat-sifat hujan; b) tingkat kemiringan leher; c) panjang lereng; d) jenis tanaman penutup; e) kemampuan tanah untuk menahan dispersi dan mengisap air hujan untuk selanjutnya dirembeskan ke lapisan tanah yang lebih dalam. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tingkat kemiringan lahan juga mempengaruhi intensitas erosi. Keadaan topografi NTT yang sebagian besar (70%) berbukit-bukit dan bergelombang dengan kemiringan mencapai 50%, dan iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Muson dengan intensitas penyinaran dan suhu rata-rata yang relatif tinggi (23-40 0C), serta keadaan musim kering yang panjang sekitar 7-10 bulan telah menciptakan kondisi lingkungan NTT yang khas. Wilayah NTT sebagian besar bertipe sabana, yang diperkirakan akan terus bertambah dari tahun ketahun sebagai akibat praktek perladangan yang diterapkan masyarakat (Conterius, BC. 2004). KESIMPULAN Disadari atau tidak ternak merupakan salah satu faktor penyebab erosi, oleh karena itu untuk memperkecil erosi yang disebabkan ternak perlu dilaksanakan usaha intensifikasi peternakan. Salah satunya adalah dengan pemeliharaan kandang kelompok, keuntungan dari kandang kelompok adalah selain kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman juga mudah dalam pengontrolan terutama kesehatan dan tentunya untuk memperkecil kasus pencurian ternak. Sistem pemeliharaan lepas akan mengakibatkan penggembalaan berlebih atau over grazing yang berdampak pada menurunnya kualitas rumput atau vegetasi lainnya yang disukai ternak, karena direnggut secara terus menerus sementara tidak ada kesempatan bagi rumput untuk bertumbuh kembali, karena sistem penggembalaan tidak disertai dengan pengelolaan dalam hal penggiliran merumput. Kurangnya keterpaduan program pembangunan yang dilakukan secara sektoral sering menimbulkan tumpang tindih kepentingan antar instansi yang pada akhirnya memberikan beban pada kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Antara pengembangan peternakan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan tidak disertai dengan pemberdayaan masyarakat untuk menanam hijauan makanan ternak dan penerapan teknologi peternakan yang berwawasan lingkunagn telah menyebabkan kerusakan lingkungan flora akibat injakan ternak yang dipelihara secara bebas. SARAN Perlu adanya keterpaduan program pembanguan antar sektor/instansi demi memelihara keselamatan lingkungan yang berkelanjutan untuk masa mendatang. Perlunya sosialisasi/penyuluhan tentang teknologi yang ramah lingkungan seperti teknologi kandang kelompok untuk memperkecil kerusakan lahan disertani dengan teknologi penyediaan hijauan makanan ternak sehingga tidak selalu mengandalkan padang rumput yang ketersediaannya terbatas hanya pada saat musim hujan . DAFTAR PUSTAKA Bamualim, A., Saleh, A., Liem, C., dan Fernandez, P.Th. 1994. Produksi Dan Kualitas Hijauan Rumput Alam Di Nusa Tenggara. Dalam: Chaps Book A. Final Seminar of the Cattle Health and Production Survey (CHAPS) held at the Disease Investigation Centre. Denpasar-Bali, May 15-17, 1994. Mataram: Eastern Island Veterinary Sercice Project. P.202. Banks. D.J.D. 1985. Report on Livestock survey. NTT Livestock Development Project. Melbourne:ACIL. Pty Ltd. Conterius,B.C. 2004. Tipologi Ekosistem Dan Kerawannya. Materi Kursus. Dasar-Dasar Analisis Menganai Dampak Lingkungan (AMDAL tipe A) Reguler angkatan XIV. Kerjasama BAPEDALDA Propinsi NTT dan PPLHSA UNDANA, 13-26 Juli 2004. Hasibuan, DB., dan Mangunsong, R.D. 1993. Peluang Investasi Sub Sektor Peternakan Dalam Pengembangan Daerah Lahan Kering Di Nusa Tenggara. Dalam: Momuat, E.O., Taryoto, A.H., Momuat, Ch.J.S,. dan Sitepu, D. (Penyunting). Prosiding Lokakrya Status dan Pengembangan Lahan Kering di Indonesia. Mataram 16-18 November 1993. Proyek Pengembangan Penelitian Nusa Tenggara (P3NT). Buku I. P.256. McIlroy. R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita, Jakarta. Requier, J. 1977. Phylosophy Of The World: Assesment of Soil Degradation and Items for Discussion, Assesing Soil Degradation. FAO Soil Bul.Rome. RePPProT. 1989. Review Of Phase 1 Results Maluku And Nusa Tenggara Volume I Main Report. Government of the Republic of Indonesia. Ministry of the Transmigration, Directorate General of Settlement Preparation, Land Resources Department ODRNI and ODA, Jakarta. Reksohadiprojo. S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik.BPFE. Yogyakarta. Saifuddin, S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Pustaka Buana. Bandung. Soetedjo. I.N.P. Proses Degradasi Lingkungan. Materi Kuliah Program Pascasarjana, UNDANA, 2006. Siregar. M.E. dan M. Pandjaitan. (1991). Agronomis Tanaman Gamal. Dalam Wina. E dan Syafrizal. S. (1991). Gamal (Gliricidia sepium) dan pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak. Ciawi-Bogor Wirdahayati R.B. dan Bamualim, A. 1990. Penampilan Produksi Dan Struktur Populasi Ternak Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, Bali 20-22 September 1990. p.C1.