EPISTIMOLOGI IBN TAIMIYAH ABSTRAK Epistimologi seringkali diartikan filsafat ilmu, yang mempertanyakan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Karena memperhatikan landasan-landasan dasar itulah ilmu dapat berkembang sebagai suatu disiplin, yaitu pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturannya dengan penuh kesungguhanEpistimologi Ibn Taymiyah berpusat pada konsepsinya tentang fitrah. Karena fitra itulah manusia memperoleh pengatahuan, baik fitrah yang inheran dalam firi menusia sejak dilahirkan maupun fitrah yang datang dari luar diri manusia. Fitrah yang pertama berpusat pada daya akal (quwwah al-„aql). Adapun fitrah yang datang dari luar diri manusia disebut al fitrah al-munazzalah, yaitu wahyu, baik Al Qur‟an (al-wahya ghayr al-mutluw) maupun sunnah (al-why ghayr al-mutluw ) Penerimaan Ibn Taymiyah atas kebenaran pengetahuan yang diperoleh melalui cara inituitif (kasyfiyyah) menempetkannya sebagai seorang tokoh sufisme. Abdul Qodir Mahmud, dalam al-falsafah al-sufiyyah fi al- Islam, menempatkannya sebagai seoranga tokoh sufi salaf yang mempunyai teori yang orisional tentang almahabbahSalafisme Ibnu Taymiyah sangat tampak dalam menafsirkan akal ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa akal berarti suatu kegiatan berupa amal yang berdasarkan ilmu, mengambil manfaat bagi manusia dan mencegah yang memadaratkannya dengan meninjau akibat-akibatnya Pendahuluan Epistimologi merupakan studi filosofis tentang asal, struktur, metode-metode, kesahiha, dan tujuan pengatahuan. Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yakni mempertanyakan obyek yang ditelaah ilmu, wujud hakikat ilmu tersebut, serta bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia, seperti berfikir, merasa dan menghindar, yang membuahkan pengatahuan. Oleh sebab itu epistimologi menjelaskan proses dan prosedur yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu serta hal-hal yang harus dipertimbangkan sehingga diperoleh pengetahuan yang benar. Epistimologi menjelaskan apa yang disebut kebenaran dan menjelaskan cara yang dapat membantu diperolehnya kebanaran itu.1 Epistimologi seringkali diartikan filsafat ilmu, yang mempertanyakan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Karena memperhatikan landasan-landasan dasar itulah ilmu dapat berkembang sebagai suatu disiplin, yaitu pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturannya dengan penuh kesungguhan.2 Ibn Taymiyah (661 – 728 H / 1263 – 1328 M ) adalah salah seorang tokoh Islam yang peninggalan pemikirannya dianggap paling banyak mengilhami berbagai gerakan pembaharuan di abad modern melalui karya tulisnya yang berjumlah sekitar lima ratus judul. Bagian pemikirannya yang paling menarik ialah landasan epistimologinya yang berpusat pada prinsip3 yang dianutnya : Muwafaqa al – Sari alma‟qul li al-Sahih al-manqul. Prinsip tersebut dapat diterjemahkan dengan “pendapat akal sesuai dengan wahyu”. Timbul pernyataan tersebut : apa dan dari mana berasal akal dan wahyu itu ? 1 Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Totawa : Little Field Adams &Co, 1977), 94. Jamil Saliba, al-Mu‟jam al-Falsafi, (Beirut-Kairo : Dar al-Kitab al-Lubnani), 71 3 Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942,( Jakarta : LP3ES, 1980), 87. 2 Bagaimana agar pendapat akal itu sesuai dengan wahyu serta hubungannya dengan manusia ? bagaimana aplikasi prinsip ini dalam ilmu-ilmu agama ? Tulisan ini akan mencoba menjelaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Penjelasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang pemikiran Ibn Taymiyah yang dijadikan panutan Wahhabiyah,4 suatu masyarakat Islam yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Sunni penganut madhhab Hanbali sebagaimana diinterpretasikan oleh Ibn Taymiyah Riwayat Hidup dan Pusaran Ide-ide Ibn Taymiyah Ibn Taymiyah, yang bernama lengkapnya Taqiyy al-Din Abu al-Abbas Ahmad „Abd al Halim Ibn Muhammad al-Khudr Ibn „Abd Allah Ibn Taymiyah al Harran,5 lahir pada hari ahad tanggal 10 Rabi‟al –Awwal 661 H atau 20 januari 1263 M, lima tahun setelah jatuhnya Bagdad ke tangan Hulagu. Ketika itu Ibn Taymiyah kecil baru berusia lima tahun. Keluarganya, ketika berimigrasi, tidak membaawa apaapa yang berharga kecuali kitab-kitab. Ibn Taymiyah dilahirkan dari keluarga terhormat dan ilmuwan di bidang ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu seperti aljabar, ilmu hitung, kimia, ilmu jiwa, ilmu falak, dan sebagainya. Oleh karena itu, ia pun dapat belajar ilmu-ilmu itu dari orang tuanya. Di samping itu ia pun memperoleh ilmu-ilmu agama dari tokoh-tokoh terkemuka di bidangnya pada zamannya.6 Demikian pula, ia dapat mengabadikan ilmunya lewat murid-murid yang cemerlang seperti Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al –Dhahabi, Ibn Kathir, al-Tufi, dan lain-lainnya. Keluarga Taymiyah adalah tokoh Hanabilah, pembela Sunnisme yang ketat. Perkembangan Hanabilah tidaklah semulus perkembangan Shafi‟iyah atau Malikiyah. Pada mulanya kegiatan Hanabilah itu berpusata di Bagdad. Akan tetapi, kemudian kegiatan Hanabilah berpindah ke Harran, terutama setelah tampilnya Ibn Taymiyyah, walaupun jumlah pengikutnya masih minim. Perkembangan Hanabilah baru mempunyai pengikut yang banyak setelah muncul Muhammad Ibn „Abd al-Wahhab yang mendapat dukungan penuh Raja Sa‟ud. Keadaan umat Islam di zaman Ibn Taymiyah amat menyedihkan. Serangan datang dari berbagai penjuru. Serangan atas umat Islam bukan saja datang dari Tartar dari arah timur, akan tetapi dari arah barat pun datang tentara Salib. Bahkan dari dalam sendiri digerogoti oleh kekacauan dan kerusuhan yang timbul karena permusuhan politik antar penguasa yang disertai timbulnya persengketaan antar sektesekte Islam itu sendiri. Saat itu terjadi perang dalam berbagai bidang, perang mempertaruhkan agama, jiwa, harta, semangat, adat-istiadat, dan pemikiran.7 Dalam situasi chaos seperti itula ibn Taymiyah tampil sebagai pemikir dan aktivis. Ia dapat dianggap sebagai titik yang menentukan antara periode klasik Islam dengan periode Pertengahan.8 Serajul Haque menyatakan bahwa Ibn Taymiyah adalah seorang mujtahid yang berfikir rasional dan kritis. Sementara Abu Zahrah menilainya sebagai seorang yang pengaruhnya sangat besar, terutama di bidang fiqih. Hampir sepempat dunia Islam mendapat pengaruh pemikiran fiqih Ibn Taymiyah.9 Khazanah 4 ........, Encyclopedia of Islam , (Leiden-London : Brill-Luzas Co, 1961), 618. Nur Cholis Madjid, Ibn Taymiyah on Kalam and Falsafa, disertasi The University of Chicago, faculty of te division of the humanities, Departement of Near Eastern Languages and Cvilization, Chicago, Illiones. 6 Abd al-Azis Ali Manshur, Usul al-Figh wa Ibn Taymiyah, (Mesir :.., 1980), 80. 7 Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyah, Hayatul wa Arauh al-Fighiyah, ( Kairo : Dar al- Fikral„Araby, 1977), 92. 8 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang , 1982), 12. 9 Abu Zahrah, 92. 5 pemikirannya meliputi berbagai bidang ilmu dan menarik minat banyak orang, baik bi dang kalam, etika, metodologi dan metodologi hukum Islam atau ushul al-figh, dan bidang-bidang lainnya. Pusaran ide-idenya ialah pemurnian Islam dengan semboyan al-ruju‟ ila alQur‟an wa al-sunnah (kembali kepada al Qur‟an dan Sunnah). Kritiknya atas berbagai bentuk khurafat dinyatakan dalam pernyataan inna usul al-din wa furu‟aha qad bayyanaha al-rasul. Konsekuwensi dari pusaran ide-idenya itu ialah kritiknya terhadap mantiq dan filsafat. Namun demikian, ia menekankan terbukanya ijtihad sembari tetap berpegang teguh kepada salafismes. Itulah kiranya yang melatar belakangi prinsipnya yang menyatakan bahwa pendapat akal sesuai dengan wahyu. Lebih tegas ia menyatakan:10 Akal bukanlah dasar untuk menetapkan kebenaran wahyu karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh akal atau tidak. Wahyut tidak memerlukan pembenaran akal kita. Apabila akal telah mengetahui wahyu dan kandungannya, maka ia akan mengetahui kebutuhan dunia dan akhiratnya. Dengan demikian, akal dapat memanfaatkan wahyu. Wahyu menyempurnakan akal. Akal dan wahyu mungkin bisa bertantangan. Akan tetapi, pendapat akal yang sarih sesuai dengan wahyu yang sahih. Wahyu selamanya tidak dapat dipisahkan dari akal. Manusia, Fitrah dan Pengetahuan Epistimologi Ibn Taymiyah berpusat pada konsepsinya tentang fitrah. Karena fitra itulah manusia memperoleh pengatahuan, baik fitrah yang inheran dalam firi menusia sejak dilahirkan maupun fitrah yang datang dari luar diri manusia. Fitrah yang pertama berpusat pada daya akal (quwwah al-„aql). Adapun fitrah yang datang dari luar diri manusia disebut al fitrah al-munazzalah, yaitu wahyu, baik Al Qur‟an (al-wahya ghayr al-mutluw) maupun sunnah (al-why ghayr al-mutluw) Membicarakan epistimologi Ibn Taymiyahmesti membiarakan konsepsinya tentang manusia. Manusia, demikian menurut Ibn Taymiyah , dilahirkan ke dunia ini belum memiliki pengetahuan apapun (Q. 27:78). Akan tetapi, ia telah dibekali dayadaya potensial yang disebut al-fitrah (Q. 30:30). Dayal-daya yang terkandung dalam fitrah ialah daya “intelek” (quwwah al„aql), daya “ofensif (quwwah al-qadhab). Quwwah al-„aql atau daya intelek ialah suatu potensi yang berfungsi untuk menggetahui (ma‟rifah) Allah dan mengesakanNya. Potensi inilah yang memungkinkan manusia beriman kepada Allah. Penggikaran atas Allah, karena tidak berfungsinya daya ini, akan mengakibatkan kekufuran dan kemusyrikan. Akal dapat membedakan antara yang manfaat dan mudarat, mambedakan perbuatan mana yang mana membawa kepada kebaikan dan kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat.Daya yang berpotensi untuk mengetahui baik buruk, benar salah disebut al-nadar dan al- iradah. Al nazar meliputi daya-daya kognisi, persepsi dan kokmplrehensi. Al iradah meliputi daya-daya emosi dan kemampuan menilai. Oelh karena itu manusia cenderung secara naluri melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Manusia, dengan fitrahnya, akan secara alamiah menarima kebanaran dan menolak kesalahan dan kepalsuan. Daya-daya inilah yang memungkinkan menusia mempunyai “gerak” (al-harakah). 11 Quwwah al-shahwah atau daya “ofensif”(concupicible power ) ialah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat. Pengingkaran dan penyelewengan atas daya ini menimbulkan perbuatanIbn Taymiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi‟ah wa al-Qadariyah, (Riyad : Dar al-Maktabat Riyad al-aditsa), 58. 11 Majmu‟ Fatawa Ibn Taymiyah, XV: 428-9,(...: Dar Ta‟arud, VIII), 458. 10 perbauatan yang terlarang, seperti perzinahan. Quwwah al-ghadab atau al-dafi‟ah (tha repulsive faculty) berfungsi secara potensial untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan. Pengingkaran dan penyalagunaan daya ini akan menimbulkan kejahatan seperti pembunuhan dan sebagainya.12 Karena manusia mempunyai daya-daya tersebut diatas, maka ia berpeluang menjadi manusia termulia dimuka bumi ini. Bahkan Al –Qur‟an secara tegas menyatakan bahwa manusia adalah makhluk nan mulia (al Isra‟, 77), karena daya “akal” manusia dapat menjadi makhluk yang amat terkutuk dan sesat daripada binatang apabila aktualits daya-daya “ofensif” dan “defensif”-nya tidak terkontrol oleh daya “intelektual”-nya. Dengan kata lain, manusia akan sesat sekali daya “akal”-nya dikuasai oleh daya “ofensif” dan “defensif”-nya. (Q. 7:179) Sesuai dengan fitrah , potensi-potensi dan kemungkinan aktualitas potensipotensi tersebut, manusia dapat termasuk salah satu dari tiga kategori. Kategori pertama ialah manusia berpribadi “tentram” (mutmai‟nnah), yaitu manusia yang daya “intelek” (al-aql)nya menguasai dan mengontrol daya-daya lainnya. Inilah manusia yang disebut al_Qur‟an al-nafs al-mutmai‟nnah (Q. al-fajr, 27 – 30). Inilah tipe ideal manusia. Kategori kedua ialah manusia ketiga dayanya berkualitas secara bersamasama dan satu sama lainnya saling mengalahkan. Manusia tipe ini ialah manusia yang “labil” (al-nafs al-ammarah). Kebanyakan manusia masuk ke dalam kategori kedua ini. Kategori ketiga ialah mausia yang daya “intelek”-nya terkalahkan selalu oleh kedua daya-daya lainnya: daya” defensif “ dan “ofensif”. Maka ia lebih sesat dari pada binatang. Manusia ini disebut al-nafs al-ammarah bi al-su‟ (Q. al An‟am,179).13 Fitrah manusia berpotensi untuk menerima wahyu sebagai petunjuk hidup yang menjamin kebaagiaan hidup di dunia dan di akhirat sesuai dengan tujuan manusia itu sendiri. Fitrah itu pula yang menjadi landasan adanya taklif berupa keharusan-keharusan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan yang ditetapkan Allah. Fitrah yanga berupa keharusan melaksanakan kewajiban dan meinggalkan larangan-larangan yang ditetapkan Allah. Fitrah adalah anugerah Allah bagaikan cahaya-Nya, yang menuntun manusia ke arah yang baik dan benar. Namun demikian, memelihara dan mengaktualitaskannya sesuai dengan petunjuk Allah tidaklah mudah. Nabi menyatakan, “kullu mawludin yuladu „ala al-fitrah, fa abawahu yuhawwidanihi aw yumajjisanihi (setiap orang yang dilahirkan ada dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi). Hadith diatas menggunakan kata “kedua arang tuanya”. Menurut sebagaian pendapat, kata Majusi untuk menunjukkan betapa sulitnya memelihara dan maengaktualkan fitrah itu sehingga manusia itu beriman serta melaksanakan petunjuk-petunjuk wahyu, menjadikan wahyu dan akal sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan dan tak terpisahkan. Pengetahuan dalam arti al-alim, dalam konsepsi Ibn Taymiyah, terbagi atas dua macam. Pertama, pengetahuan tentang Allah, kedua, pengetahuan tentang hukumhukum Allah, yaitu pengetahuan tentang batasan dan definisi-definisinya. Pembagian ilmu diatas dilihat dari sumbernya. Pengetahuan ditinjau dari sudut obyeknya dibagi atas dua bagian. Pertama pengetahuan tentang segala yang ada atau al -„ilm bi al-ka„inat, kedua, pengetahuan tentang agama atau al-„ilm bi al-din.14 Pembagian ilmu yang terakhir ini kiranya lebih umum karena pengetahuan tentang Allah dan batasanbatasannya dapat diketegorikan kepada kpengetauan tentang agama. Ibn Taymiyah, „Al-Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahy al-Munkar, “Fatawa, VIII; 147. Ibid. 14 Ibn Taymiyah, Qaidah Sarifa fi al-Mu‟jizat wa al-Karamat,Fatawa, VIII: 336. 12 13 Pengetahuan menusia diperoleh melalui penalaran rasional („aqliyyah),. Pengetauan empiris (al-tajarrub), dan penelitian-penelitian. Adapun pengetahuan manusia, kususnya pengetahuan agamanya diperoleh melalui pengetahuan “tradisional” atau authority yang disebut naqliyyah, intuitif (kasyfiyyah).15 Penerimaan Ibn Taymiyah atas kebenaran pengetahuan yang diperoleh melalui cara inituitif (kasyfiyyah) menempetkannya sebagai seorang tokoh sufisme. Abdul Qodir Mahmud, dalam al-falsafah al-sufiyyah fi al- Islam, menempatkannya sebagai seoranga tokoh sufi salaf yang mempunyai teori yang orisional tentang almahabbah.16 Apa yang dinyatakan „Abdul Qadir Mahmud, bagi kebanyakan orang, adalah suatu yang ganjil karena Ibnu Taymiyah sering diidentifikasikan sebagai tokoh yang anti tasawuf dan kebenaran yang diperoleh melalui mukashafah (intuisi).17 Pengetahuan agama atau ilmu agama dibagi atas dua bagian. Pertama usul aldin atau al-fiqh al-akbar yaitu ikmu kalam atau tauhid. Kedua usul al-fiqh atau „ilm al-sha ri‟ah yang membahas perbuatan-perbuatan menusia yang ditutut untuk dilakukan, atau merupakan pilihan atau tidak melakukan perbuatan.18 Kedua macam ilmu agama tersebut diatas tunduk kepada kaidah besar yang berlaku pada setiap ilmu. Kaidah itu menyatakan bahwa setiap ilmu mempunyai sifat “obyektif” dan “subyektif” (tabi wa matbu‟). Sifat pertama menunjukkan ilmu yang keberadaan obyeknya tidak memerlukan pengetahuan seorang tentang obyek tersebut. Umpamanya, keberadaan Allah, malaikat, rasul dan akhirat. Kesemuanya tetap ada walaupun manusia tidak mengetahui keaberadaannya atau mengingkarinya. Sifat kedua menunjukkan ilmu yang keberadaan obyeknya tergantung kepada ada atau tidaknya pengetahuan si obyek (manusia) tentang obyek tersebut.19 Apa yang dikemukakan Ibnu Taymiyah diatas adalah suatu argumen epistemologis untuk mendukung landasan tauhid dan landasan dua kalimah syahadad serta rukun iman lainnya. Dengan kata lain argumen diatas adalah argumen epestimologis ilmu-ilmu agama. Di atas landasan epistimologis inilah ia membangun prinsip-prinsip ilmu agama seperti muwafaqat sarih al-ma‟qul li sahih al-manqul dan inna usul al-din wa furu‟ aha qad bayyanaha al-rasul. Argaumen epistimologis ini menempatkan Ibn Taymiyah sebagai “rasionalis” Islam di mana kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah, terutama kebenaran tentang kemestian adanya Allah dan Rasul-Nya. “Rasionalismse” Ibn Taymiyah bukan saja karena argumen epistimologis seperti dikemukakan di atas. Akan tetapi, konsepsinya tentang fitrah manusia yang berfungsi untuk mengetahui baik-buruknya dan benar-salahnya pun adalah salah satu ciri “rasionalisme”-nya. Seperti halnya tokoh rasionalisme, Rene Descartes (1596 – 1650), yanga menyatakan bahwasannya Tuhan selalu memberiku “daya yang selalu mengoreksi kesalahan-kesalahan “ (faculty of correcting errors).20 Pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui “rasio” (al-„aql) akan tetapi juga diperoleh melalui indra , yakni al-qalb (qalbu), mata dan telinga (al basar wa al udun).21 Ketiga indra yang menjadi “alat” untuk memperoleh pengetauan ini mempuntai fungsi mesing-masing yang saing melengkapi sastu sama lainnya. Fungsi 15 Fatawa XIX;134. „Abd al-Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyyah fi al-Islam, (Mesir : Dar al-Fikral – „Arabiy, 1967), 136. 17 Ibn Taymiyah, I-Suluk, Fatawa, X :430. 18 Fatawa XX : 400. 19 Fatawa, XIX : 129. 20 Betrand Russel, History of Western Philosophy, (London : George Allen & Unwinn Ltd, Cet Vii, 1974), 550. 21 Fatawa, XIX :332 16 qalbu (al-qulub, jamak al-qalb) untuk mengetahui hal-hal yang abstrak yang tidak dapat diketahui oleh indra manusia. Qalbu bertugas melakukan intelektualisasi atas segala sesuatu. 22 Uraian di atas menunjukkan bawa pengetahuan bukan hanya bersumber pada “rasio” tetapi juga pada pengalaman indrawi atau empiris. Di sini Ibnu Taymiyah menjadi seorang “empirisme”. Ia telah menggabungkan rasionalisme dengan empirisisme yang berdasarkan kepada wahyu. Empirisisme Ibnu Taymiyah bertujuan untuk mendukung kebenaran wahyu, baik al-Qur‟an maupun sunnah dan sekaligus menentang mantiq sebagai kelanjutan dari prinsip inna usul al-din wa furu‟aha qad bayyanaha al-rasul. Oleh karena itu demikiran orisinalnya melahirkan metodemetode ilmu agama yang meliputi : al-tajribat al-hissiyyah; al-mutawatirat; dan alistiqra‟ Al-tajribat al-hissiyah ialah pengalaman empiris, dimana pengetahuan yang menjadi sumber kebenaran dapat diperoleh melalui pengalaman empiris. Pengalaman empiris adalah salah satu metode untuk memperoleh pengetahuan melalui qiyas. Pengalaman yang berulang-ulang dapat membentuk aksioma-aksioma yang rasional dan meyakinkan.23 Pengalaman itu diperole melalui penelitian dan pengamatan, seperti penelitian tentang gejala suatu realitas yang selalu berulang-ulang atau berputar dan merupakan akibat dari gejala realitas itu. Bahkan pengalaman orang lain (tajribat al-ghair) pun dapat menjadi sumber kebenaran.24 Penolakan Ibnu Taymiyah atas logika Aristoteles (mantiq) terletak pada keberatannya mengenai konsep al-tajribah. Dalam pandangan ahli mantiq, pengalaman orang lain tidak dapat dijadikan argumen kecuali bagi yang mengalami sendiri.25 Jika argumen ahli mantiq itu diterima, maka wahyu yang kita ketahui sebagai sumber kebenaran yang diyakini benar dari Allah berdasarkan periwayatan berarti tidak dapat dijadikan argumentasi. Karena kebenaran dapat diperoleh melalui al-tajribah al-hissiyah, termasuk tajribah al-ghair, maka premis-premis yang dibangun berdasarkan al-mutawatirrat (transmitted data ) atau dalil-dalil naql dapat dijadikan argumentasi dan sumber kebenaran yang meyakinan. Demikian pula fenomena-fenomena batiniah, yang tidak dapat dialami oleh setiap orang, menjadi sumber kebenaran berargumentasi. 26 Penerimaaan al-mutawatirat sebagai metode untuk memperoleh kebenaran suatu pengetahuan dibangun untuk memberi landasan ilmu tafsir („ulum al-tafsir) dan ilmu adith („ulum al-hadith), bahkan untuk membenarkan kebenaran intuitif (tasawuf). Berdasarkan dua metode di atas dibangunlah metode ketiga, yakni al-istiqra‟ atau penalaran induktif. Penalaran induktif ini adalah metode untuk mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan realistis umat manusia. Oleh karena itu, secara metodologis kebenaran praktek-praktek keagamaan terutama hukum-hukum pembenarannya melalui qiyas, yakni qiyas al-tamathil dan qiyas al-sumul. Konsep universal untuk al-Kulli, menurut Ibnu Taymiyah, adalah sesuatu yang hanya ada dalam pikiran.27 Oleh karena itu, ajaran agama yang universal tidak dapat dipraktekkan tanpa mengakui realitas sosial sehingga diperlukan metode operasionalisasinya. Atas dasar pemikiran inilah Ibnu Taymiyah membangun “politik hukum Islam” yang dikenal dengan al-siyasah al-shar‟iyyah, yaitu suatu uapaya 22 Fatawa, XIX : 332. Ibn Taymiyah, al- Rad ala al-Mantiqiyyin, (Bombay, 1949), 387. 24 Ibid. 25 Ibid, 92. 26 Ibid. 27 Ibid, 127. 23 untuk mengaplikasikan hukum Islam sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Melalui landasan ini pula ia memasuki konsep al-istislah yang secara harfiah berarti “mengambil kemaslahatan”. Adapun maksud konsep ini iala bahwa hukum tentang suatu masalah yang tidak terdapat kepastiannya secara tekstual dalam al-Qur‟an dan sunnah, dapat ditetapkan bersama oleh masyarakat, sepanjang memenuhi kemaslahatan bersama dan tidak bertentangan dengan prinsi-prinsip ajaran al-Qur‟an dan sunnah.28 Akal dan Qalbu Akal, yakni al-„aql, adalah kata benda abstrak (masdar) yang seakar dengan kata kerja (fi‟il) „aqala-ya‟qillu yang berarti “menahan dan melarang”. Akal memang menahan dan melarang orang agar tidak menyimpang dari jalan yang benar menuju jalan yang salah.29 Dalam al-Qur‟an tidak dijumpai satu pun kata al-‟aql kecuali bentuk sintaksisnya.30 Karena akal adalah kata benda abstrak, maka dalam diri manusia pun ia nampaknya tidak mengambil tempat tertentu atau tidak berbentuk material. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ajal berasal dari qalbu. Apabila daya akal itu sampai ke tingkat kesempurnaannya, maka daya akal itu berakhir di otak manusia.31 Akal yang berkualitas sampai ke otak adalah akal dalam arti ilmu. Adapun akal dalam arti daya yang berpusat di qalbu, tampaknya berarti kehendak atau aliradah yang menjadi dan menimbulkan gerak atau al-harakah. Qalbu, yang dalam al-Qur‟an sering dipakai term al-qalb dan al-qulub, sering disebut sebagai alat yang berfungsi untuk berfikir seperti dalam kalimat qulub ya‟qilun biha. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menyatakan bawa qalbu adalah pusat penalaran dan pemikiran serta kehendak.32 Oleh karena itu, qalbu harus selalu terjaga dan terpelihara. Apabila qalbu itu rusak, maka akan rusaklah seluruh badan; dan apabila baik, maka akan baiklah seluruh badan sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. Dalam konteks inilah Ibnu Taimiyah memasuki sufiesme yang bertugas menjelaskan cara untuk pembersihan qalbu seingga tetap bertauhid. Inilah kiranya yang melatar belakangi ditulisnya kitab „Ilm al-Suluk. Ia menjelaskan bawa qalbu manusia ada empat macam : qalbu yang diterangi cahaya yang terang benderang, yakni qalbu orang beriman; qalbu yang tertutup, yakni qalbu orang yang munafik; qalbu yang mengandung dua meteri: materi yang cenderung keimanan dan lainnya cenderung kepada kemunafikan.33 Karena qalbu yang terang dan iman serta takwa, maka orang dapat melahirkan suatu perbuatan yang diluar adat kebiasaan atau khawariq, yaitu suatu yang timbul sebagai karamah para wali.34 Demikian menurut Ibnu Tamiyah. Pengetahuan diperoleh manusia melalui qalbu yang berfikir dan bahasa lisan orang yang bertanya, seperti dijelaskan hadith yang diriwayatkan ole Ibnu Abbas, yang artinya, “ Dengan apa engkau menerima pengetahuan (al-„ilm)? Melalui lisan orang yang bertanya (billisan sa‟ul) dan qalbu yang berakal” (waqlb „aqul). 35 28 Nur Cholis Madjid, Islam, 127. Ibn Taymiyah, Al Rad, 196. 30 Juhaya S. Praja, Epistimologi Hukum Islam, Disertasi Doktor Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta. 1988, 128. 31 Fatawa, XII : 221. 32 Juhaya S. Praja, Epistimologi, 128. 33 Ibn Taimiyah, “Ilm al-Suluk,”, Fatwa, X : 452. 34 Ibid, 453. 35 Fatwa, IX, 303. 29 Pengertian akal menurut Ibnu Taimiyah iala “instink” (gharizah), suatu pengertian yang diambil dari al-Muhasibi.36 Oleh karena itu, ia menantang kesahihan hadith-hadith yang menjelaskan keistimewaan dan keutamaan akal. Hadith-hadith yang meriwayatkan akal itu dinalisanya lemah (dha‟if) karena ada oknum perawi yang dinilai dah‟if oleh para pakar di bidang ilmu hadith seperti al-Daruqutni. Ibnu Hibban, dan lain-lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali yang menerima kebenaran hadith-hadith tentang akal dan menjelaskan peringkat akal manusia, Ibnu Taymiyah tidak menjelaskan peringkat akal dan menguraikannya. Al-Ghazali menerangkan bahwa akal mempunyai empat makna. Pertama, akal adalah kualitas yang membedakan manusia dengan hewan. Akal dalam pengertian ini ialah akal yang sudah siap menerima ilmuilmu teoritis dan pemikiran hal-hal yang rumit. Akal dalam pengertian ini, menurut alGhazali, adalah akal dalam pengertian al-gharizah seperti pendapat al-Muhasibih, yaitu naluri atau instink. Ia bagaikan cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam qalbu manusia sehingga siap mengetahui benda-benda. Nisbah naluri itu dengan ilmu bagaikan nisbah mata dengan penglihatan. Adapun nisbah naluri (akal) dengan wahyu bagaikan nisbah cahaya matahari dengan pengliatan. Kedua, akal dalam arti pengetahuan aktual pada diri seorang anak kecil yang dapat membedakan apa yang jaiz dan apa yang mustahil. Akal dalam pengertian ini sama dengan al-aql al-tamyiz, yaitu akal yang membedakan dalam teori Ibnu Khaldun.37 Ketiga, akal dalam arti pengetahuan yang diperoleh dari pengalamanpengalaman dan peristiwa-peristiwa yang berulang-ulang. Orang yang telah mengetaui pengetauan seperti inilah yang disebut aqil. Keempat, akal dalam arti puncak daya instink yangb telah dapat mengetahui akibat-akibat akhir dari segala sesuatu yang dapat mengendalikan kesenangan sejenak (duniawi), yang di al-shawah al-ajilah. Akal dalam pengertian pertama dan kedua adalah akal potensial, yakni akal bawaan. Adapun akal dalam pengertian ketiga dan keempat, akal yang beraktual yang diperoleh melalui usaha atau iktisab.38 Dua pengertian akal pertama dama dengan pengertian al-fitrah dalam konsepsi Ibnu Taymiyah. Adapun dua pengertian akal terakhir sama dengan pengertian alsabab al-munfasil atau al-fitrah al-munazzalah dalam pengertian Ibnu Taymiyah yang sama-sama menamai dua pengertian akal pertama dengan matbu‟ dan dua pengertian terakir dengan nama masmu‟. Mereka pun sama-sama merujuk kepada ungkapan Ali Ibnu Abi Thalib ra. Sebagai berikut: Menurut pendapatku akal itu ada dua. Akal matbu; (yang ada pada setiap orang) dan masmu‟, yaitu wahyu. Wahyu tidak akan berguna apabila tidak ada akal sebagaimana matahari (sic mata), tidak akan berguna apabila sinar mata (sic matahari) itu terhalang. Bagi al-Ghazali, makna terpenting dari akal adalah hakekat akal itu sendiri yang merupakan “mata keyakinan dan caaya keimanan”. Akal adalah “kualitas spiritual” yang membedakan manusia dari binatang. Bahkan, yang lebih penting lagi adalah aktualitas akal yang menghasilkan ilmu-ilmu yang akan berubah dalam bentuk ketakwaan (al-khasiyah). Hanya orang yang berilmulah yang takwa kepada Allah.39 Oleh karena itu, al-Ghazali menafsirkan bahwa surat al-Rum ayat 30 menerangkan 36 Juhaya S. Praja, Epistimologi, 130. Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Cairo : TP), 599. 38 Al-Ghazali, Ihya‟ „Ulum al-Din, (Cairo : Tp, 1864), I : 85. 39 Ibid. 37 bahwa manusia diciptakan untuk beriman kepada-Nya serta mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya.40 Dalam hal ini, kiranya Ibnu Taymiyah melanjutkan pendapat al-Ghazali. Ibnu Taymiyah mempertegasnya dengan menyatakan bahwa Allah tidak bisa diketahui dan disembah tanpa ilmu; Ia tak dapat dikenal dan disembah hanya dengan sekedar naluri belaka (al-gharizah al-„aqliyah).41 Salafisme Ibnu Taymiyah sangat tampak dalam menafsirkan akal ini. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa akal berarti suatu kegiatan berupa amal yang berdasarkan ilmu, mengambil manfaat bagi manusia dan mencegah yang memadaratkannya dengan meninjau akibat-akibatnya. 42 Dar Ta‟arud, IX, 21. Ibid. 85-86. 42 Ibid. 40 41