ANALISIS KESENJANGAN EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Ahmad Fadliansyah Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banjarbaru Jl. Teratai No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan e-mail: [email protected] Abstract. The aim of this research is to investigate the sectors where economic disparity has been taken place in South Kalimantan Province among regencies/ cities and to analyze the causes of the disparity. It uses sectoral Gross Domestic Regional Domestic Product (GRDP) per capita comparison which are related to the population and by measuring the Williamson index of disparity of the 11 regencies and 2 cities of the Province. The result from sectoral GRDP per capita comparison shows that value-added among the regencies and cities is still not fair on most sectors and economic disparity is still very high at some sectors especially mining or excavation and services. Geographic, demographic and infrastructures are the main factors which causing disparity problems. Keywords : economic disparity, GRDP per capita, population Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui di sektor-sektor apa saja terjadinya kesenjangan (disparitas) ekonomi di Provinsi Kalimantan Selatan dalam hal ini adalah antar daerah kabupaten/kota di tiap sektor dan untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah perbandingan antar nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sektoral dalam hubungannya dengan jumlah penduduk (populasi) di tiap kabupaten/kota dan metode perhitungan kategori kesenjangan ekonomi antar daerah dengan menggunakan indeks Williamson. Penelitian dilakukan terhadap 11 kabupaten dan 2 kota yang ada dalam wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Dari perbandingan nilai PDRB per kapita sektoral terlihat bahwa nilai tambah tiap kabupaten/kota hanya sebagian kecil yang mendekati keseragaman dan sebagian besar tidak merata. Sedangkan kesenjangan ekonomi antar daerah masih sangat tinggi pada beberapa sektor terutama di sektor pertambangan dan penggalian, serta di sektor jasa-jasa. Faktor perbedaan geografis, demografis dan infrastruktur adalah faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tersebut. Kata Kunci: Kesenjangan Ekonomi, PDRB per kapita, jumlah penduduk Latar Belakang Pendapatan yang dihasilkan oleh suatu daerah tidak selalu bisa dinikmati/digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut. Sebaliknya, ada pendapatan yang dinikmati oleh masyarakat tersebut yang berasal dari daerah lain. Ada kelompok kecil masyarakat yang memperoleh keuntungan besar dari hasil pembangunan. Namun, ada pula kelompok masyarakat lainnya yang tidak atau hampir tidak merasakan peningkatan kesejahteraan- nya, sehingga mereka tetap saja hidup dalam kemelaratan Usaha-usaha pembangunan seharusnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara merata. Pada tahun 1960-an, banyak negara berkembang yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun tidak mampu memecahkan masalah kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Negara-negara berkembang mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu berhasil untuk mengurangi angka kemiskinan dan kesen- 301 302 Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, Vol 2, No 3, November 2016, hal 301-311 jangan distribusi pendapatan (Arsyad, 2010:224). Hasil studi Kuncoro (2004:89) menyimpulkan adanya perbedaan dalam laju pertumbuhan antara daerah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu kecenderungan peranan modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas yang lengkap seperti: prasarana perhubungan, jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja yang trampil, selain adanya disparitas redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat kepada daerah. Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan yang terjadi dan sebagai indikator penting bagi daerah untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan (Sirojuzilam, 2008:18). Tingkat hidup kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan sangat dipengaruhi oleh berbagai potensi yang dimiliki, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya lain. Lapangan usaha pertambangan dan penggalian yang notabene merupakan capital intensive, kenaikan nilai tambah pada lapangan usaha tersebut tidak serta merta berimbas pada kenaikan kesejahteraan (BPS:30). Sektor pertanian, meski menjadi penampung penduduk miskin terbanyak. Karakteristik tenaga kerja di sektor ini masih kental dengan stigma berpendidikan rendah (tamat/tidak tamat SD); memiliki wawasan rendah; memiliki skill rendah (BPS:65). Menurut data yang dihasilkan oleh BPS pada tahun 2014 jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan masih di atas 190 ribu jiwa. Kegiatan ekonomi Kalimantan Selatan untuk sektor primer yang meliputi lapangan usaha pertanian dan pertambangan serta penggalian masih memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu sebesar 41,35 persen (BPS, 2015:66). Lapangan usaha pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Kalimantan Selatan, namun jaminan akan kesejahteraan tidak selalu seiring. Apabila kita lihat secara kasar dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kesenjangan ekonomi antar kabupaten/di Provinsi Kalimantan Selatan cukup tinggi, terlihat dari besarnya gap antara kabupaten atau kota dengan PDRB per kapita tertinggi dan PDRB per kapita terendah. Berdasarkan informasi yang telah disampaikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu di sektor-sektor apa saja terjadinya kesenjangan ekonomi di Provinsi Kalimantan Selatan dan mengapa terjadi kesenjangan ekonomi di Provinsi Kalimantan Selatan. Masalah kesenjangan ekonomi sangatlah luas dan kompleks, sehingga perlu adanya pembatasan. Dalam penelitian ini data yang digunakan dibatasi hanya tiga tahun yaitu dari tahun 2012 sampai 2014 pada 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Studi Literatur Analisis ekonomi regional sangat berguna untuk perencanaan pembangunan dalam menentukan jenis kebijaksanaan yang sebaiknya dilakukan dalam pembangunan daerah sehingga memaksimalkan potensi pembangunan setiap daerah, dengan pertimbangan indikator-indikator ekonomi. Salah satu sasaran terpenting dari pembangunan ekonomi adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi serta aspek pemerataan pendapatan (Yustika, 2008:229). Boediono (dalam Tarigan, 2005:46) menjelaskan, bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi presentase pertambahan output itu haruslah lebih tinggi dari presentase pertambahan penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan output total (PDB/PDRB) dalam jangka panjang tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih kecil atau lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk dan apakah diikuti oleh perubahan struktur perekonomian atau tidak. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita berarti semakin tinggi kekayaan daerah (region prosperity) di daerah tersebut. Dalam hal ini, nilai PDRB per kapita dianggap merefleksikan tingkat kekayaan daerah. Gambaran kondisi disparitas sangat diperlukan dalam Fadliansyah, Analisis Kesenjangan Ekonomi di Provinsi …. 303 menilai tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antar daerah (equalization policy) yang dijalankan pemerintah. Menurut Maier (dalam Kuncoro, 1997: 38) di kalangan para pakar pembangunan telah ada konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap persediaan bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumber daya manusia. Terdapat tiga alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan yaitu: 1. Semakin tingginya konsumsi di masa mendatang. 2. Mengancam keseimbangan antara sumber daya alam yang langka dan penduduk. 3. Sulitnya melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap masalah kesenjangan regional. Kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah kesenjangan dalam perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar daerah (Kuncoro, 2004:26). Menurut Sukirno dalam Wicaksono (2010:28) faktor-faktor yang dianggap sebagai sumber penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi antara lain: 1. Tanah dan kekayaan lainnya. 2. Jumlah, mutu penduduk dan tenaga kerja. 3. Barang modal dan tingkat teknologi. 4. Sistem sosial dan sikap masyarakat. 5. Luas pasar dan sumber pertumbuhan. Penilaian mengenai cepat atau lambatnya pertumbuhan ekonomi haruslah dibandingkan dengan pertumbuhan di masa lalu dan pertumbuhan yang dicapai oleh daerah lain (Sukirno dalam Wicaksono, 2010:28). Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian. Atas dasar pengertian tersebut, analisis kesenjang- an ekonomi antar wilayah dimaksudkan untuk memberi gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan antar wilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antar wilayah dan informasi adanya gap antara daerah yang maju dan tertinggal. Hendra Esmara merupakan peneliti pertama yang mengukur kesenjangan ekonomi antar daerah. Berdasarkan data dari tahun 1950 hingga 1960, ia menyimpulkan Indonesia merupakan negara dengan kategori kesenjangan daerah yang rendah apabila sektor minyak dan gas diabaikan. Studi tentang kesenjangan regional di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Sjafrizal (1997:27-38) yaitu dengan menggunakan indeks kesenjangan regional (regional inequality index) yang dikembangkan oleh Williamson tahun 1965. Beliau menganalisis indeks provinsi-provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Barat (WIBB) untuk tahun 1971 – 1993. Dari analisis tersebut disimpulkan bahwa untuk jangka waktu yang relatif panjang, indeks untuk WIBB lebih rendah dibandingkan dengan indeks Indonesia secara keseluruhan. Artinya, wilayah tersebut menikmati pendapatan nasional secara relatif lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Data yang dipergunakan dalam perhitungannya adalah data produk domestik bruto (PDB) dan produk domestik regional bruto (PDRB) non migas. Dari hasil hitung itu pula, disimpulkan bahwa indeks ketimpangan Indonesia yang berkisar antara 0,40 – 0,50, yang menunjukkan ketimpangan pembangunan antar wilayah yang relatif tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan antar daerah di antaranya adalah perbedaan sumber daya alam yang dimiliki. Hal ini didasari pemikiran klasik yang menyatakan bahwa pembangunan di daerah yang kaya sumber daya alam akan cenderung lebih maju dan masyarakatnya pun lebih makmur dibanding daerah yang miskin sumber daya alam (Tambunan, 2001:176-181). Pertumbuhan ekonomi dan tingkat disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dalam suatu provinsi bisa dilihat melalui PDRB dan PDRB per kapitanya. PDRB merupakan 304 Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, Vol 2, No 3, November 2016, hal 301-311 indikator untuk mengukur perkembangan ekonomi daerah. Sementara itu, PDRB perkapita merupakan hasil bagi PDRB dengan jumlah penduduk wilayah yang bersangkutan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) PDB atau PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Sementara itu, PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDB harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Untuk menghitung angka-angka PDB ada tiga pendekatan yaitu: 1. Menurut pendekatan produksi, yaitu jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara/daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). 2. Menurut pendekatan pendapatan, yaitu jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara/ daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. 3. Menurut pendekatan pengeluaran, yaitu semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba. b. Pengeluaran konsumsi pemerintah. c. Pembentukan modal tetap domestik bruto. d. Perubahan inventori. e. Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor). PDRB per kapita merupakan hasil bagi antara pendapatan regional suatu daerah dengan jumlah penduduk pada daerah tersebut. Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antara berbagai daerah pada suatu wilayah yang akan menyebabkan pula ketimpangan tingkat pendapatan per kapita antar daerah (Kuncoro, 2004:22). Menurut Tarigan (2005:21) PDRB per kapita adalah total PDRB suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama. Angka yang digunakan semestinya adalah total pendapatan regional dibagi jumlah pendapatan regional dibagi jumlah penduduk. Akan tetapi, angka ini seringkali tidak diperoleh sehingga diganti dengan total PDRB atas harga pasar dibagi dengan jumlah penduduk. Angka pendapatan per kapita bisa dinyatakan dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan tergantung kebutuhan. Terdapat penelitian terdahulu seperti Aji (2008) tentang identifikasi sektor basis dan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Papua. Penelitian tersebut menggunakan metode analsis sektor basis dan indeks Williamson mengidentifikasi menunjukkan bahwa selain sektor pertambangan dan pertanian, sektor basis di Provinsi Papua yaitu sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa. Berdasarkan hasil analisis ketimpangan antar wilayah, Provinsi Papua pada satu sisi mengalami ketimpangan antar wilayah tingkat menengah (indeks Williamson 0,4 – 0,69), dan pada sisi lain mengalami kesenjangan ekonomi antar wilayah yang sangat tinggi (Indeks Williamson > 1). Kemudian Wicaksono (2010) meneliti tentang analisis disparitas pendapatan antar kabupaten/kota dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003 – 2007 memperoleh kesimpulan antara lain bahwa perekonomian Provinsi Jawa Tengah sangat dipengaruhi oleh sektor industri. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kontribusi sektor industri dengan nilai lebih besar dari 30 persen. Kabupaten/kota yang memberikan kontribusi Fadliansyah, Analisis Kesenjangan Ekonomi di Provinsi …. 305 terbesar bagi pembentukan PDRB Provinsi Jawa Tengah selama periode pengamatan adalah Kabupaten Cilacap, karena terdapat industri pengolahan minyak dan gas milik negara. Syahrial (2014) melakukan penelitian tentang analisis klasifikasi daerah dan disparitas pembangunan ekonomi antar provinsi di Pulau Sumatera. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui klasifikasi daerah, disparitas pembangunan ekonomi antar propinsi serta untuk mengetahui hubungan antara pendapatan per kapita dan disparitas pembangunan ekonomi di Pulau Sumatera tahun 2004 – 2012. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari instansi pemerintah serta situs Badan Pusat Statistik (BPS). Metode analisis yang digunakan adalah tipologi Klassen, indeks Williamson, dan tren. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode pengamatan 2004 – 2012 provinsi yang termasuk sebagai provinsi yang cepat maju dan cepat tumbuh adalah Provinsi Kepulauan Riau, provinsi yang maju tapi tertekan adalah Provinsi Riau, provinsi dengan klasifikasi daerah yang berkembang cepat adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Sementara itu, provinsi yang relatif tertinggal adalah Provinsi Aceh dan Kepulauan Bangka Belitung. Disparitas pembangunan antar propinsi di Pulau Sumatera cenderung menurun (semakin merata) dengan pembangunan yang moderat (sedang). Hubungan antara pendapatan per kapita dan disparitas pembangunan ekonomi di Pulau Sumatera adalah berhubungan negatif atau berbanding terbalik. Metode Penelitian Data-data sekunder didapat dengan teknik dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan, mempelajari dan mencatat dokumendokumen mengenai kumpulan data, perencanaan, peraturan dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian ini sepenuhnya diperoleh melalui studi pustaka di BPS Kota Banjarbaru, sehingga tidak diperlukan teknik sampling serta kuesioner. Periode data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2012 – 2014. Seba- gai pendukung, digunakan buku referensi, jurnal, serta dari internet yang terkait dengan masalah kesenjangan ekonomi khususnya di Provinsi Kalimantan Selatan. Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan penduduk di suatu wilayah adalah pendapatan per kapita yang dapat didekati dengan nilai PDRB. Dalam penelitian ini digunakan nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (PDRB ADHB) tahun 2012 – 2014. PDRB per kapita atas dasar harga berlaku menggambarkan besarnya produktivitas perorangan yang masih dipengaruhi oleh perubahan harga dari komoditi yang diproduksinya (BPS. 2015:16). Data yang digunakan berasal dari regional account menurut kabupaten/kota yang mulai dipublikasikan oleh BPS secara konsisten sejak tahun 1993. Selanjutnya nilai PDRB dibagi jumlah penduduk kabupaten/ kota. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita berarti semakin tinggi kekayaan daerah (region prosperity) di daerah tersebut, dalam hal ini nilai PDRB per kapita dianggap merefleksikan tingkat kekayaan daerah. Model lain yang digunakan untuk mengukur kesenjangan ekonomi antar wilayah (regional inequality) dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson (Kuncoro, 2004: 127). Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau unweighted index) untuk mengukur tingkat disparitas pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu. Data yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah nilai PDRB per kapita sektoral Provinsi Kalimantan Selatan dan kabupaten/kota serta jumlah penduduk baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan indikator bahwa apabila angka Indeks Williamson semakin mendekati nol maka menunjukkan disparitas yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan kesenjangan ekonomi yang makin melebar. Adapun rumus Williamson dapat disajikan berikut ini: √∑ 306 Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, Vol 2, No 3, November 2016, hal 301-311 Keterangan: WI = (Williamson Index) Yi = PDRB per kapita di kabupaten/kota i Y = PDRB per kapita di Provinsi Kalimantan Selatan Fi = Jumlah penduduk di kabupaten/kota i n = Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Selatan i = 1,2,3, ....n Menurut Nugroho dalam Ponco (2008:38) kesenjangan berada pada : 1. Level rendah jika Vw < 0,39. 2. Level sedang, jika 0,39 ≤ Vw ≤ 0,69. 3. Level tinggi jika 0,7 ≤ Vw ≤ 1. 4. Level sangat tinggi jika Vw >1. Yang menjadi lokasi/obyek penelitian ini adalah 13 kabupaten/kota yang berada di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 1. Kab. Tanah Laut 2. Kab. Kotabaru 3. Kab. Banjar 4. Kab. Barito Kuala 5. Kab. Tapin 6. Kab. Hulu Sungai Selatan 7. Kab. Hulu Sungai Tengah 8. Kab. Hulu Sungai Utara 9. Kab. Tabalong 10.Kab. Tanah Bumbu 11.Kab. Balangan 12.Kota Banjarmasin 13.Kota Banjarbaru Hasil Penelitian dan Pembahasan Di beberapa sektor kesenjangan ekonomi antar daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan masih terlihat. Hal ini terlihat dari besarnya gap antara Kabupaten atau kota dengan PDRB per kapita tertinggi dan PDRB per kapita terendah. Hasil Indeks Williamson menurut sektor antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012 – 2014 dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1: Indeks Williamson Menurut Sektor antar Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2012-2014 No Sektor 2012 2013 2014 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 0,612 0,616 0,611 2 Pertambangan dan Penggalian 1,403 1,417 1,442 3 Industri Pengolahan 0,990 0,992 1,002 4 Pengadaan Listrik dan Gas 0,828 0,828 0,842 5 Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan 0,883 0,873 0,872 Daur Ulang 6 Konstruksi 0,265 0,257 0,263 7 Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan 0,246 0,241 0,241 Sepeda Motor 8 Transportasi dan Pergudangan 0,618 0, 650 0,652 9 Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum 0,367 0, 397 0,378 10 Informasi dan Komunikasi 0,544 0,551 0,547 11 Jasa Keuangan dan Asuransi 1,223 1,236 1,249 12 Real Estat 0,299 0,303 0,296 13 Jasa Perusahaan 1,421 1,412 1,421 14 Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan 0,256 0,254 0,253 Jaminan Sosial 15 Jasa Pendidikan 0,265 0,252 0,327 16 Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial 0,643 0,649 0,658 17 Jasa Lainnya 0,438 0,440 0,448 Sumber: data diolah peneliti Fadliansyah, Analisis Kesenjangan Ekonomi di Provinsi …. 307 Sektor-sektor yang terjadi kesenjangan ekonomi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Kategori pertanian pada tahun ini kembali menempati posisi terbesar kedua yang memberikan andil terhadap perekonomian Kalimantan Selatan, yaitu sebesar 14,3 persen. Kontribusi tersebut terutama ditunjang oleh peranan subkategori tanaman perkebunan yaitu sekitar 4,60 persen. Kemudian, diikuti oleh subkategori tanaman pangan yang memberikan kontribusi sebesar 4,3 persen. Di sektor ini juga terjadi kesenjangan ekonomi tingkat sedang yaitu sekitar 0,6 menurut indeks Williamson. Pada tahun 2014 PDRB per kapita tertinggi diperoleh Kabupaten Kotabaru yaitu Rp 10.586.548. Sementara itu, PDRB per kapita terendah berada di Kota Banjarbaru yaitu hanya Rp 552.227. Pada level provinsi Kalimantan Selatan PDRB per kapitanya adalah Rp 4.803.316. 2. Pertambangan dan Penggalian Kesenjangan ekonomi di lapangan usaha yang satu ini adalah yang tertinggi. Terjadi peningkatan kesenjangan sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 yaitu 1,403 hingga 1,442. Sektor pertambangan dan penggalian memegang peranan terbesar dalam perekonomian Provinsi Kalimantan Selatan. PDRB per kapita Kabupaten Balangan mencapai angka yang sangat fantastis yaitu lebih dari Rp 56 juta pada 2014. Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan beberapa perusahaan pertambangan batubara seperti PT Adaro Energy yang beroperasi di kabupaten ini. Sementara itu, nilai tambah per kapita di Kabupaten Barito Kuala hanya sekitar Rp 16 ribu dan Rp 0 untuk Kota Banjarmasin. 3. Industri Pengolahan Kesenjangan ekonomi di sektor industri dan pengolahan termasuk kategori tinggi dan cenderung meningkat sejak tahun 2012 yang berada pada angka 0,99 hingga 1,002 pada tahun 2014. Kabupaten Kotabaru adalah yang memiliki nilai tambah per kapita tertinggi di sektor ini yaitu Rp 15.268.598 pada tahun 2012 dan meningkat hingga Rp 18.415.680 pada 2014. Sementara itu, nilai tambah per kapita terke- 4. 5. 6. 7. cil terdapat di Kabupaten Balangan yaitu pada angka Rp 1.252.601. Pengadaan Listrik dan Gas Kesenjangan ekonomi di sektor ini termasuk tinggi yaitu pada angka 0,8 menurut indeks Williamson. Di sektor pengadaan listrik dan gas Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru memiliki nilai tambah PDRB per kapita tertinggi yaitu Rp 59.539 dan Rp 31.782 pada tahun 2014. Kabupaten dengan nilai tambah per kapita terendah adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Selatan yaitu pada kisaran angka Rp 7.000 dan Rp 8.000 sejak tahun 2012 hingga 2014. Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Kesenjangan di lapangan usaha ini masih tinggi sejak tahun 2012 yaitu pada kisaran angka 0,8 pada indeks Williamson. Nilai PDRB per kapita terbesar dimiliki oleh Kota Banjarmasin dengan nilai Rp 342.419 dan Kabupaten Balangan dengan nilai Rp 151.880 pada tahun 2014. Kabupaten Tanah Bumbu merupakan daerah dengan nilai tambah per kapita yang terkecil sejak tahun 2012 yaitu Rp 36.044 hingga Rp 41.525. Transportasi dan Pergudangan Kesenjangan ekonomi menurut lapangan usaha transportasi dan pergudangan termasuk dalam level sedang yaitu pada kisaran angka 0,65 menurut indeks kesenjangan Williamson. Sejak tahun 2012 hingga 2014 Kabupaten Barito Kuala menjadi daerah dengan nilai tambah paling rendah di sektor ini dengan nilai tambah hanya Rp 682.159, sedangkan Kota Banjarbaru menjadi daerah dengan nilai tambah paling tinggi yaitu mencapai Rp 5.521.446. Nilai PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan pada lapangan usaha ini pada tahun 2014 adalah Rp 1.941.501. Nilai tambah PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan di sektor ini adalah Rp 485.419 pada tahun 2012 dan meningkat menjadi Rp 604.111 pada 2014. Informasi dan Komunikasi Di sektor informasi dan komunikasi kesenjangan ekonomi masih tergolong tinggi yaitu di atas 0,5 pada indeks 308 Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, Vol 2, No 3, November 2016, hal 301-311 Williamson. PDRB per kapita Kabupaten Tabalong terus meningkat dari tahun 2012 sebesar Rp 1.996.293 hingga menjadi Rp 1.996.293 pada tahun 2014 yang merupakan nilai tambah tertinggi pada Provinsi Kalimantan Selatan. Sementara itu, Kabupaten Kotabaru menjadi daerah dengan PDRB per kapita paling kecil di sektor ini dengan nilai Rp 219.339. 8. Jasa Keuangan dan Asuransi Sebagai pusat perekonomian di Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin mempunyai PDRB per kapita terbesar yaitu Rp 3.059.582 pada tahun 2012, Rp 3.635.943 pada tahun 2013 dan Rp 4.096.899 pada tahun 2014. Kabupaten Balangan menjadi juru kunci dengan PDRB per kapita hanya Rp 187.595 pada tahun 2014, jauh di bawah PDRB per kapita wilayah Provinsi Kalimantan Selatan pada sektor ini yaitu Rp 1.095.317. Hal ini mengakibatkan indeks kesenjangannya masih sangat tinggi yaitu pada angka 1,25 menurut indeks Williamson. 9. Jasa Perusahaan Dari tahun 2012 hingga 2014 kesenjangan ekonomi di sektor jasa perusahaan masih sangat tinggi yaitu 1,4 menurut indeks Williamson. Pada sektor ini Kabupaten Hulu Sungai Selatan menjadi juru kunci dengan PDRB per kapita Rp 21.952 pada tahun 2014. PDRB per kapita Kota Banjarmasin menjadi yang terbesar yaitu Rp 793.846 pada tahun yang sama. 10. Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Pada lapangan usaha ini, kesenjangan ekonomi Provinsi Kalimantan Selatan berada pada level yang cukup tinggi yaitu 0,64 pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 0,66 menurut indeks Williamson pada tahun 2014. Pada tahun 2014 Kabupaten Tanah Laut meraih nilai tambah terkecil di sektor ini yaitu hanya Rp 277.341, jauh di bawah nilai tambah Kota Banjarbaru di posisi terbesar dengan Rp 1.299.177. Sementara itu, PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan secara keseluruhan adalah hanya sebesar Rp 546.091 di tahun yang sama. 11. Jasa Lainnya Terakhir untuk sektor jasa yang lainnya, indeks kesenjangan masih berada pada ka- tegori sedang tetapi cenderung meningkat dari angka 0,438 pada tahun 2012 hingga 0,448 tahun 2014. Pada sektor ini Kota Banjarmasin masih memiliki kontribusi terbesar sejak tahun 2012 yaitu Rp 531.155 dan terus naik hingga Rp 659.331 pada tahun 2014. Sementara itu, Kabupaten Barito Kuala menjadi penyumbang terkecil dengan nilai Rp 112.776 pada tahun 2012, Rp 121.870 tahun berkutnya dan menjadi Rp 142.565 pada 2014. Pada tingkat provinsi nilai tambah sektor jasa lainnya berada pada angka Rp 281.719 tahun 2012 dan meningkat tidak terlalu signifikan tahun 2014 menjadi Rp 343.506. Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kesenjangan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebagai berikut. 1. Perbedaan Bentang Alam atau Posisi Geografis Daerah Penyebab utama yang mendorong timbulnya kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing daerah. Keunggulan/kemajuan daerah tidak terlepas dari sumber daya alam yang dimiliki daerah tersebut. Provinsi Kalimantan Selatan memiliki bentang alam yang khas. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam di Kalimantan Selatan cukup besar. Di daerah yang dilewati oleh deretan Pegunungan Meratus mempunyai nilai tambah yang besar di sektor pertambangan dan penggalian. Sektor ini secara keseluruhan memberikan kontribusi PDRB sekitar 27 persen untuk Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar seperti Kabupaten Balangan dan Kotabaru, yang tidak terdapat di daerah lain, misalnya Hulu Sungai Utara dan Barito Kuala. Demikian pula dengan luas dan tingkat kesuburan lahan yang sangat bervariasi sehingga sangat mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah. Fadliansyah, Analisis Kesenjangan Ekonomi di Provinsi …. 309 Sumber daya alam di seluruh wilayah Kalimantan Selatan masih cukup luas untuk pengembangan potensi pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sebut saja Kabupaten Balangan yang berada di wilayah barat pegunungan ini meraup nilai PDRB per kapita hingga lebih dari Rp 56 juta pada tahun 2014 dan Kabupaten Tabalong yang memperoleh hampir Rp 37 juta. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Kota Banjarmasin yang notabene jauh dari wilayah pegunungan hingga sampai saat ini sama sekali tidak memiliki potensi di sektor ini. Hal serupa juga terdapat pada Kabupaten Barito Kuala yang sebagian besar wilayahnya adalah lahan gambut sehingga nilai tambahnya hanya sekitar Rp 16 ribu. Dilihat dari posisi geografis, Banjarmasin merupakan kota yang strategis, di mana kota ini merupakan kota yang dilewati jalur distribusi perdagangan antar pulau dan antar kota. Sehingga tidak mengherankan jika sektor utama yang menopang ekonomi untuk masa depan kategorikategori tersebut. 2. Perbedaan Demografis Faktor lain yang juga mendorong terjadinya kesejangan ekonomi antar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan adalah adanya perbedaan kondisi demografis. Kondisi demografis yang dimaksudkan di sini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam kebiasaan atau kerja masyarakat setempat. Tingkat pendidikan dan kompetensi tenaga kerja yang masih terbatas di provinsi ini menjadikan minat masih cukup besar untuk bekerja di sektor pertanian dan pertambangan. Hasil Survey Tenaga Kerja (Sakernas) tahun 2015 menunjukkan bahwa tenaga kerja di Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang pendidikannya sekolah dasar ke bawah masih tinggi yaitu 50,45%. Hingga tahun 2014 pertanian dan pertambangan masih merupakan sektor utama dalam hal menciptakan lapangan usaha dan nilai tambah perekonomian bagi sebagian besar kabupaten/kota di provinsi ini walaupun cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya, sebagai pusat perekonomian Kalimantan Selatan, ekonomi kota Banjarmasin hanya ditopang oleh kategori industri pengolahan, jasa keuangan dan asuransi, dan perdagangan. 3. Perbedaan Infrastruktur Transportasi Di daerah perkotaan yang menjadi pusat kegiatan bisnis, segala sarana dan prasarana tergarap dengan baik. Akan tetapi, di daerah yang bukan pusat bisnis dan minim infrastruktur, sarana dan prasarana tidak tergarap. Hal ini kemudian yang membuat aktivitas ekonomi jadi rendah. Masih kurangnya perhatian terhadap pembangunan sarana transportasi darat di Kalimantan Selatan mengakibatkan kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa yang pada akhirnya mendorong terjadinya peningkatan kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah di provinsi ini. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi dari daerah yang lebih maju ke daerah kurang maju maupun sebaliknya. Beberapa kabupaten/kota yang wilayahnya masih terdapat daerah yang tidak dapat dicapai dengan angkutan darat dan hanya bisa dicapai dengan sarana angkutan air adalah Kabupaten Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara. Bahkan di Kota Banjarmasin pun masih ada daerah yang hanya bisa dicapai dengan sarana angkutan sungai atau sepeda motor. Kesimpulan Sejak tahun 2012 hingga 2014 kesenjangan ekonomi sangat tinggi terjadi pada Provinsi Kalimantan Selatan di mana indeks Williamson mencapai level > 1 yaitu pada sektor-sektor: 1. Pertambangan dan penggalian. 2. Jasa perusahaan. 3. Jasa keuangan dan asuransi. 310 Jurnal Ilmiah Ekonomi Bisnis, Vol 2, No 3, November 2016, hal 301-311 4. Industri pengolahan. Sektor-sektor dengan kesenjangan kategori tinggi dengan level 0,7 ≤ Vw ≤ 1 yaitu: 1. Pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang. 2. Pengadaan listrik dan gas. Sektor-sektor dengan kesenjangan kategori menengah dengan indeks 0,39 ≤ Vw ≤ 0,69 yaitu: 1. Jasa kesehatan dan kegiatan sosial. 2. Jasa lainnya. 3. Informasi dan komunikasi. 4. Transportasi dan pergudangan. 5. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sementara itu, sektor-sektor dengan kesenjangan kategori sangat rendah (bisa dikatakan tidak terjadi kesenjangan) di mana indeks Williamson < 0,39 yaitu: 1. Perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor. 2. Konstruksi. 3. Penyediaan akomodasi dan makan minum. 4. Real estate. 5. Jasa pendidikan. 6. Administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial. Beberapa faktor penyebab mengapa terjadi kesenjangan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu: 1. Perbedaan Bentang Alam atau Posisi Geografis Daerah Perbedaan kandungan sumber daya alam di Kalimantan Selatan cukup besar. Beberapa daerah mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tapi daerah lain tidak ada. Demikian pula dengan tingkat luas dan kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi 2. Perbedaan Demografis Perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam kebiasaan serta etos kerja masyarakat daerah bersangkutan. 3. Perbedaan Infrastruktur Transportasi Masih kurangnya perhatian terhadap pembangunan sarana transportasi darat di Kalimantan Selatan mengakibatkan kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa yang pada akhirnya mendorong terjadinya peningkatan kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah di provinsi ini. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menganalisis sektor basis pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan menguraikan sampai per subsektor. Untuk mengatasi kesenjangan sektoral maupun kesenjangan antar wilayah maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan kabupaten/kota perlu mengembangkan penanaman modal di sektor-sektor lain untuk menggantikan sektor pertambangan dan penggalian, karena hasil tambang tersebut lama-lama akan habis. DAFTAR PUSTAKA Aji Ponco Bambang Wahyu, 2008, “Identifikasi Sektor Basis dan Ketimpangan antar Wilayah di Provinsi Papua”, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsyad Lincoln, 2010, Ekonomi Pembangunan, UPP STIM YKPN Yogyakarta, Yogyakarta. BPS Kalsel, 2015, Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota Se-Kalimantan Selatan 2010 – 2014, BPS Kalsel, Banjarmasin. _________, 2015, Laporan Perekonomian Kalimantan Selatan Tahun 2014, BPS Kalsel, Banjarmasin. _________, 2015, Produk Domestik Kabupaten/Kota Se-Kalimantan Selatan menurut Lapangan Usaha 2010 – 2014, BPS Kalsel, Banjarmasin. _________, 2015, Statistik Provinsi Kalimantan Selatan 2015, BPS Provinsi Kalsel, Banjarmasin. _________, 2015, Produk Domestik Regional Bruto Kalimantan Selatan 2010 – 2014. BPS Kalsel. Banjarmasin. _________, 2014, Kalimantan Selatan dalam Angka 2014, BPS Kalsel, Banjarmasin. Fadliansyah, Analisis Kesenjangan Ekonomi di Provinsi …. 311 _________, 2013, Kalimantan Selatan dalam Angka 2013, BPS Kalsel, Banjarmasin. _________, 2012, Kalimantan Selatan dalam Angka 2012, BPS Kalsel, Banjarmasin. BPS Tanah Laut, 2015, Kabupaten Tanah Laut dalam Angka 2015. BPS Tanah Laut. Pelaihari. BPS Kotabaru, 2015, Kabupaten Kotabaru dalam Angka 2015, BPS Kotabaru, Kotabaru. BPS Banjar, 2015, Kabupaten Banjar dalam Angka 2015, BPS Banjar, Martapura. BPS Barito Kuala, 2015, Kabupaten Barito Kuala dalam Angka 2015, BPS Barito Kuala, Marabahan. BPS Tapin, 2015, Kabupaten Tapin dalam Angka 2015, BPS Tapin, Rantau. BPS Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Dalam Angka 2015, BPS Hulu Sungai Selatan, Kandangan. BPS Hulu Sungai Tengah, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Tengah dalam Angka 2015, BPS Hulu Sungai Tengah, Barabai. BPS Hulu Sungai Utara, 2015, Kabupaten Hulu Sungai Utara dalam Angka 2015. BPS Hulu Sungai Utara, Amuntai. BPS Tabalong, 2015, Kabupaten Tabalong dalam Angka 2015, BPS Tabalong, Tanjung. BPS Tanah Bumbu, 2015, Kabupaten Tanah Bumbu dalam Angka 2015. BPS Tanah Bumbu, Batulicin. BPS Balangan, 2015, Kabupaten Balangan dalam Angka 2015, BPS Balangan, Paringin. BPS Kota Banjarmasin, 2015, Kota Banjarmasin dalam Angka 2015, BPS Banjarmasin, Banjarmasin. BPS Kota Banjarbaru, 2015, Kota Banjarbaru dalam Angka 2015, BPS Banjarbaru, Banjarbaru. Boediono, 1992, Teori Pertumbuhan Ekonomi, Edisi 1, BPFE, Yogyakarta. Kuncoro Mudrajad, 2004, Teori Pembangunan Ekonomi, Balai Pustaka, Jakarta. Sirojuzilam, 2008, Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional, Ketimpangan Ekonomi Wilayah Barat dan Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara, Pustaka Bangsa Press, Medan. Sjafrizal, 1996, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat, Prisma, Jakarta. Sjafrizal, 2012, Ekonomi Wilayah dan Perkotaan, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sjafrizal, 1997, Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat, Prisma, Jakarta, 27-38. Syahrial, 2014, “Analisis Klasifikasi Daerah dan Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Propinsi di Pulau Sumatera”, Universitas Bengkulu, Bengkulu. Tarigan Robinson, 2005, Ekonomi Regional dan Aplikasi, Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta. Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia (Teori dan Temuan Empiris), Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta. Wicaksono, Cholif, Prasetyo, 2010, “Analisis Disparitas Pendapatan antar Kabupaten/Kota dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, Universitas Diponegoro, Semarang. Yustika Ahmad Erani, 2008, Ekonomi Kelembagaan Definisi, Teori, dan Strategi, Bayumedia Publishing, Malang.