bab 1 pendahuluan

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa ini anak-anak tidak hanya berperan sebagai pengguna barang yang
diperoleh dari orang tuanya. Anak-anak turut berperan dalam keputusan yang dibuat
oleh keluarga dalam membeli atau menentukan sesuatu, misalnya membeli mainan,
permen, pakaian, perlengkapan olahraga, dan produk-produk yang mereka gunakan.
Selain itu, anak-anak juga seringkali meminta orang tua mereka untuk membelikan
sebuah barang yang diinginkan secara terus-menerus (John, 1999).
Adanya perkembangan pada peran dan tingkat konsumsi anak membuat anak juga
telah menggunakan internet sebagai salah satu tempat mencari dan membeli sesuatu
yang dibutuhkan. Pada studi yang dilakukan oleh Thomson dan Laing (2003), sebanyak
43% anak dari studi yang mereka lakukan pernah membeli barang secara online. Barang
yang dibeli beragam, seperti pakaian, sepatu, video games, DVD atau CD, permainan,
dan lain-lain. Keputusan seorang anak untuk melakukan pembelian secara online
dipengaruhi oleh iklan yang mereka lihat sehari-harinya.
Peningkatan peran anak sebagai konsumen juga dapat dilihat dengan ditargetkannya
anak-anak menjadi salah satu segmen konsumen oleh para pemasar (Sharma, 2011). Hal
tersebut dapat dilihat dari iklan-iklan maupun produk-produk yang dibuat untuk
membuat kalangan anak-anak menjadi tertarik, karena anak dianggap sebagai konsumen
potensial yang memiliki daya beli, dapat memengaruhi orang lain untuk membeli
sesuatu, misalnya orang tua mereka, dan juga sebagai konsumen dewasa pada masa
yang akan datang (Arnas, 2006).
Shim, Snyder, dan Gehrt (dalam McNeal & Ji, 1999) mengemukakan bahwa pada
dasarnya, awal seorang anak dapat mengetahui sebuah informasi mengenai sebuah
produk adalah pada saat orang tua membawa mereka ke tempat perbelanjaan. Semakin
sering orang tua membawa anak-anaknya ke tempat berbelanjaan, semakin sang anak
menyadari tentang informasi produk seperti merek dan harga barang.
Orang tua adalah agen sosialisasi utama dalam peran anak sebagai seorang
konsumen. Selain orang tua, media massa dan iklan juga dianggap sebagai agen yang
sangat berpengaruh dalam peningkatan konsumsi anak saat ini (McNeal & Ji, 1999;
1
2
Rizkallah & Truong, 2010; Priya, Baisya, & Sharma, 2010). Selain kedua agen tersebut,
teman sebaya juga sangat berperan dalam sosialisasi anak sebagai seorang konsumen.
Anak-anak membeli produk-produk seperti video game, permainan, dan baju, atau
merasakan pengalaman ke bioskop, pesta ulang tahun, dan perjalanan liburan berfungsi
sebagai tanda atau bukti agar mereka bisa merasa menjadi bagian dalam kelompok
(Pugh dalam Smock, 2010).
Tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan sama sekali
sehingga sifatnya menjadi berlebihan dan membuat seseorang menjadi lebih
mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan disebut sebagai perilaku konsumtif
(Putri, 2013). Perilaku konsumtif merupakan pengaruh dari menyamakan kebahagiaan
pribadi dengan membeli harta benda dan konsumsi. Konsumsi didefinisikan sebagai
seleksi, adopsi, penggunaan, pembuangan, dan daur ulang atas barang dan jasa
(Lambert, 2005).
Keputusan seorang konsumen untuk membeli sesuatu dipengaruhi oleh interaksi
kompleks antara pikiran, otak, tubuh, dan masyarakat secara umum (Zaltman, 2003).
Sunarto (dalam Natalia, 2009) mengemukakan bahwa ada empat faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk membeli, yaitu faktor budaya (budaya dan
subkebudayaan), faktor sosial (kelompok kecil, keluarga, peran, dan status), faktor
pribadi (umur dan tahap siklus hidup, pekerjaan, situasi ekonomi, gaya hidup,
kepribadian dan konsep diri), dan faktor psikologis (motivasi, persepsi, pembelajaran,
keyakinan dan sikap).
Pemikiran konsumen dan lingkungan sosial tempat tinggal mereka akan menentukan
apa yang mereka beli dan bagaimana mereka membuat keputusan untuk membeli
(Maheswari, 2009). Seseorang dapat berpikiran konsumtif karena tidak dapat
membedakan keinginan dan kebutuhan. Seseorang dapat dikatakan sebagai pembeli
yang rasional jika ia membeli sesuatu karena kebutuhan (need). Namun, jika ia membeli
karena keinginannya dan hal tersebut tidak dibutuhkan, maka ia dapat digolongkan
menjadi orang yang konsumtif (Elrika, 2008).
Konsumtif, menurut (Nugroho, 2003) merupakan keinginan untuk mengonsumsi
barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai
kepuasan yang maksimal. Sehingga, seseorang yang dikatakan memiliki pola pikir
konsumtif adalah orang yang memiliki pola pikir yang tidak dapat membedakan
2
3
kebutuhan dan keinginannya sehingga ia memiliki keinginan untuk mengonsumi
barang-barang yang kurang diperlukan secara berlebihan.
Menurut Triantis (2013) pola pikir merupakan filosofi kehidupan, cara berpikir,
sikap, opini, dan mentalitas seseorang atau sebuah kelompok. Pola pikir, yang adalah
sebuah pandangan mental atau karakter yang terprogram, yang memutuskan respon
individu terhadap berbagai situasi (Aloia, Pasquale, & Aloia, 2011), merupakan hasil
dari pengalaman masa lalu seperti mengamati, belajar, atau melakukan sesuatu (Perry,
2009). Pola pikir terjadi di kepala seseorang dan memiliki kekuatan untuk mengontrol
sikap seseorang dan berpotensi untuk memengaruhi perilaku seseorang (Fang et al.,
2004).
Menurut Goldsmith, Xu, dan Dhar (2010) jika konsumen dibuat untuk berpikir
dengan cara tertentu, maka akan memengaruhi pembeliannya. Ketika konsumen harus
membuat keputusan apakah ia harus melakukan pembelian dari berbagai kategori
barang yang berbeda namun saling terkait, seperti pasta gigi, obat kumur, dan lain-lain,
pola pikir abstrak menyebabkan meningkatnya jumlah produk yang dipilih oleh
konsumen. Hal sebaliknya terjadi ketika konsumen harus memilih di antara produkproduk serupa yang dapat digantikan satu sama lain, misalnya seperti berbagai jenis
minuman ringan, maka pola pikir konkret menyebabkan meningkatnya jumlah produk
yang ingin dibeli oleh konsumen.
Berdasarkan teori kognitif Piaget, anak-anak yang berusia 7-11 tahun berada pada
tahap operasional konret, yaitu masa seorang anak dapat melakukan kegiatan yang
melibatkan objek, dan mereka dapat berpikir secara logis ketika mereka dapat
menggunakan penalaran pada contoh-contoh yang spesifik atau konkret (Santrock,
2011). Selain itu, anak-anak usia sekolah juga dapat fokus terhadap tugas-tugas atau
menggunakan selective attention (Frost, Wortham, & Reifel, 2012). Anak-anak usia
sekolah, lanjut Frost dkk. (2012), memiliki kemampuan untuk tidak terdistraksi dan
tetap fokus kepada informasi yang relevan dengan tugas mereka. Mereka menggunakan
selective attention untuk mengingat dan melakukan pemecahan masalah.
Frost dkk. (2012) menambahkan bahwa anak-anak yang telah berada pada tahap
operasional konkret dapat bermain menggunakan permainan yang memiliki aturan.
Mereka dapat bermain dengan permainan yang menggunakan aturan yang kompleks
4
ketika mereka mampu untuk mendesain dan mengimplementasikan sebuah rencana atau
strategi dan bermain baik dalam kompetisi maupun kerja sama dengan pemain lainnya.
Bermain dapat didefinisikan sebagai apa yang dilakukan anak-anak dengan mainan
yang melibatkan perhatian dan minat mereka, terlepas dari apa pun yang terjadi dan
siapa saja yang hadir (Lifter, Mason, & Barton, 2011). Menurut Sudono (2006),
bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan
alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan
maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Bermain juga dikonseptualisasikan
sebagai proses dalam perkembangan, dengan anak yang sedang berkembang sebagai
peserta aktif dalam proses tersebut. Whitebread, Coltman, Jameson, dan Lander (2009)
mengungkapkan bahwa melalui bermain anak-anak dapat merasakan perasaan
mengontrol dan tantangan kognitif (melalui pemecahan masalah dan kreativitas).
Media permainan merupakan suatu metode yang kuat atau powerful untuk membina
kreativitas dan inovasi dalam organisasi (Kurt, Kurt, & Medaille, 2010). Media
permainan selain dianggap menyenangkan juga membantu anak untuk memahami
konsep-konsep dan pengertian secara alamiah (Sudono, 2006).
Salah satu bentuk dari media permainan yang dapat membantu anak memahami
konsep dalam kehidupan sehari-hari namun tetap dengan cara yang menyenangkan
adalah permainan Cashnut. Permainan Cashnut merupakan sebuah permainan yang
dibuat untuk mengedukasi anak tentang cara mengatur keuangan dan juga membedakan
antara kebutuhan dan keinginan. Permainan Cashnut diciptakan oleh lima orang
mahasiswi psikologi dalam proses magang yang sedang dijalani di sebuah perusahaan
yang menyediakan layanan jasa konsultasi keuangan. Permainan Cashnut
diperuntukkan bagi anak-anak kelas satu hingga enam SD atau berumur 6 hingga 11
tahun. Usia tersebut dipilih karena secara umum anak-anak mulai mengerti akan konsep
peraturan dan permainan ketika mereka memasuki tahap perkembangan operasional
konkret pada usia sekitar enam tahun (Hinebaugh, 2009).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari permainan Cashnut terhadap
pola pikir konsumtif anak. Penelitian yang dilakukan akan melibatkan 32 orang
responden yang merupakan siswa kelas 4-6 SD.
5
1.2
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan paparan di latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti adalah:
Apakah terdapat pengaruh dari bermain Cashnut terhadap pola pikir konsumtif anak?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah bermain Cashnut memiliki pengaruh
terhadap pola pikir konsumtif anak.
Download