1 PROBLEM EKSISTENSI DAN OPERASIONAL PERBANKAN

advertisement
1
PROBLEM EKSISTENSI DAN OPERASIONAL
PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA
Oleh:
Abdul Halim Barkatullah
Penulis adalah Dosen Tetap di Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The existence of Islamic bank in Indonesia is held up by law of Banking
Syariah No. 21, 2008,. This particular law gives opportunity to anyone (individual
or institution) to establish new Islamic banks or to convert old conventional bank
into Islamic bank. It is also clearly stated in article 6 of the law that commercial
banks are allowed to run some parts of their business on Islamic principles. A
part from these laws, Islamic banks can also enjoy their existence in Indonesia on
the basis of Law No. 3, 2004 on Bank of Indonesia, as the replacement of Law No.
2, 1999. Nevertheles, Indonesian Islamic banks are still having problems with
their existence fiqh, legal issues, and socialization. Whereas their operational
problems are dealing with human resources, and lack of regulations-especially
about conflict settlemnet, and lack of (Islamic banking) scholars-particularly
from Islamic universities.
Key Word: Problem, Eksistensi, Operasional, Bank Syari’ah
A. PENDAHULUAN
Bank mempunyai andil yang sangat besar dalam proses pembangunan
suatu bangsa. Bank berfungsi sebagai lembaga “financial intermediary” dengan
kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dari unit
surplus kepada unit defisit atau pemindahan uang dari penabung kepada
peminjam.
Kehadiran bank syariah dengan prinsip ke-Islamannya yang tidak
mengenal riba bagaikan angin segar bagi dunia perekonomian Indonesia. Terlebih
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentunya
keberadaan bank syariah sangat sesuai dengan kondisi tersebut. Bagi masyarakat
yang beragama muslim tentunya tidak akan ragu dalam melakukan transaksi di
bank syariah. Meskipun berdasarkan prinsip Islam namun bank syariah tidak
menutup diri terhadap masyarakat yang beragama non muslim. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa keberadaan bank syariah adalah untuk melayani seluruh
2
warga Indonesia yang memerlukan, tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu
saja.1
Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip
syari’ah berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam.
Gagasan ini secara Internasional muncul pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika
pertama kali diselenggarakan konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di
Makkah pada tahun 1976.2
Di antara pemikir-pemikir sistem ekonomi Islam terdapat pola
kecenderungan
yang
berbeda-beda,
pada
prinsipnya
terbagi
dua
yaitu
kecenderungan teoritis dengan memberikan alternative konsep dan kecenderungan
pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang
beroperasi berdasarkan prinsip Islam. Salah satu di antara kecenderungan
kelompok kedua tersebut adalah mendirikan bank-bank Islam.3
Dengan demikian istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan
fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan
upaya gencar yang dilakukan oleh pakar Islam yang mendukung ekonomi Islam
yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi
konvensional yang berbasis pada bunga. Oleh karena itulah bank syari’ah
menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya atau bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam dengan mengacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan hukum dan operasional.4
B. PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
1. Sejarah dan Landasan Hukum Bank Syariah
Bank Syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai
perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang
1
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press), 2007, hlm, 98.
2
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI,
TAKAFUL dan Pasar Modal Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 1.
3
Ibid.
4
Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, Kendala-kendala Seputar Eksistensi
Perbankan Syari’ah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004, hlm. 1.
2
3
berkekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai
dengan hukum Islam. Selain itu, Bank Syariah juga disebut Islamic
Banking atau Interest fee banking, yaitu suatu sistemm perbankan dalam
pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba),
spekulasi (maisir) dan ketidak pastian atau ketidakjelasan (gharar).5
Gagasan mengenai Bank Syariah telah muncul sejak lama, ditandai
dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang
keberadaan Bank Islam, misalnya Anwar Kureshi ( 1946 ), Naeim Siddiqi
(1948) dan Mahmud Ahmad ( 1952 ). Kemudian uraian yang lebih
terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Mawdudi (1961).6
Bank syariah yang pertama kali berdiri adalah Islamic Rural Bank di
Desa Mit ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir. Kemudian Bank Islam
pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic bank , yang didirikan
pada tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara.
Selanjutnya perkembangan bank syariah secara internasional dimulai
dengan Sidang Menteri Luar Negeri yang diselenggarakan oleh Organisasi
Konferensi Islam ( OKI ) di Karachi, Pakistan, Desember 1970 dimana
dalam sidang tersebut Mesir mengajukan sebuah proposal yang
mengusulkan bawwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan
dengan sebuah sitem kerja sama dengan skema bagi hasil atas keuntungan
maupun kerugian. Dimana dalam sidang tersebut disetujuilah rencana
pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Dari sinilah
kemudian bermunculan Bank-bank Islam di berbagai belahan dunia.7
Di Indonesia pada awalnya perbankan masih berpegang pada sistem
konvensional atau sistem bunga bank. Secara kelembagaan bank syariah
pertama kali yang berdiri di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia ,
yang kemudian disusul oleh bank-bank lain yang membula jendela syariah
( Islamic Window ) dalam menjalankan kegiatan usahanya.
5
6
Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
Heri Sudarsono, Bank dan lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2007),
hlm. 28.
7
Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hlm. 24-26.
3
4
Bank Syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui
keberadaannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis
normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia antara
lain yaitu :
a) Undang-undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94;
b) Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182;
c) Undang-undang No 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
d) Undang-undang No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
2. Pengertian dan Karakteristik Perbankan Syariah
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa “Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 7 UU No 21 Tahun 2008 disebutkan
bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah.
Pada pasal 1 tersebut pula dijelaskan bahwa Bank Umum Syariah
adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Syariah adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Salah satu karakteristik bank syariah yang membedakannya dengan
Bank Konvensional adalah penggunaan prinsip syariah di dalam setiap
4
5
kegiatan Bank Syariah. Pada Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan “ Prinsip Syariah
adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.”
Bisnis Syariah haruslah berdasarkan prinsip syariah, maka kegiatan
usaha tidak boleh mengandung unsur:8
a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl) , atau dalam transaksi pinjammeminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
3. Kegiatan Usaha Perbankan Syariah.
Secara garis besar kegiatan operasional bank syariah dan bank
konvensional dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:9
a. Kegiatan Penghimpunan dana (Funding)
Kegiatan penghimpunan dana dapat ditempuh oleh perbankan
melalui mekanisme tabungan, giro, serta deposito. Untuk tabungan dan
giro bisa didasarkan pada akad wadiah atau akad mudharabah.
Sedangkan untuk deposito hanya menggunakan akad mudharabah.
8
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) (Bandung:
Refika Aditama, 2009), hlm. 9-10.
9
Ibid , hlm. 65.
5
6
b. Kegiatan Penyaluran Dana (Lending)
Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat (lending) dapat
ditempuh oleh bank dalam bentuk murabahah, mudharabah,
musyarakah, ataupun qardh. Bank sebagai penyedia dana akan
mendapatkan imbalan dalam bentuk, margin keuntungan untuk
murabahah, bagi hasil untuk mudharabah dan musyarakah serta biaya
administrasi untuk Qardh.
c. Jasa Bank
Kegiatan usaha di bidang jasa, dapat berupa penyediaan bank
garansi (kafalah), Letter of Credit (L/C), Hiwalah, Wakalah dan jual
beli valuta asing.
Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
yakni meliputi:
a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
b. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa Deposito, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
c. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah;
d. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam,
akad ishtishna atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
e. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
g. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau
akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah;
i. Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri surat berharga
pada pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
6
7
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti akad Ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah atau hawalah;
Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan
prinsip syariah;
Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan prinsip syariah;
Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah;
Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan akad wakalah;
Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan
Prinsip Syariah;
Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan
dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Sengketa Perbankan Syariah
Sengketa Perbankan Syariah adalah sengketa yang terjadi
antara bank syariah dengan nasabahnya atau dengan pihak lain,
karena adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa
dirugikan. Sebagaimana dalam sengketa perdata lainnya, dalam
sengketa perbankan syariah pun pada prinsipnya pihak-pihak yang
bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan
penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan diselesaikan
melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non-litigasi
(diluar pengadilan) sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam
peraturan perundang-undangan.
Direktur Bank Syariah Mandiri, Hanawijaya, mengemukakan
bahwa sengketa antara nasabah dan pihak bank syariah selama i ni
lebih banyak dipicu oleh empat hal. Pertama, karena adanya
perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati. Kedua,
adalah karena adanya perselisihan ketika transaksi sudah berjalan;
Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum (PMH); dan Keempat, adanya
7
8
kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga melakukan
wanprestasi. 10
Sengketa perbankan syariah yang timbul tidak mungkin
dibiarkan
begitu
saja,
tetapi
perlu
dicarikan
alternatif
penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan
menimbulkan kerugian yang besar. Membiarkan sengketa terlambat
diselesaikan akan mengakibatkan kepercayaan nasabah terhadap
bank syariah berkurang, karena pihak nasabah adalah pihak yang
selalu merasa dirugikan.
Dari berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa bisnis
(termasuk bisnis di bidang perbankan syariah), pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian melalui jalur litigasi
(pengadilan) dan melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan).
C. PROBLEMATIKA KEBERADAAN DAN OPERASIONAL
PERBANKAN SYARI’AH
1. Problem Keberadaan Perbankan Syari’ah
Problem
yang menghambat perkembangan perbankan Syari’ah
dapat dijabarkan dalam beberapa segi, antara lain:11
a.
Kendala Fiqh:
adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama
Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga
pendapat yaitu, halal, syubhat dan haram. Hal ini sangat menentukan
respon masyarakat terhadap bank syari’ah.
Nahdatul ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia
memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang
dengan terjadinya polarisasi
pendapat
pada tiga kelompok yaitu
10
http://www.hukumonline.com, “Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur Undangundang Arbitrase”, diakses 7 Juli 2010.
11
Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, op.cit., hlm. 23.
8
9
haram, halal dan syubhat. Namun demikian meskipun terdapat
perbesdaan pandangan, Lajnah Bahsul Masail memutuskan bahwa yang
lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yakni bunga bank haram. 12
Sementara itu Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa
bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya
atau sebaliknya, selama berlaku ternmasuk perkara syubhat. Akan tetapi
dari faktor tersebut hanya menyinggung bunga bank yang diberikan
oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga bank yang
diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bungan yang diberikan
masih tergolong rendah
jika dibandingkan dengan bunga bank
swasta.13
Di samping Muhammadiyah, Nahdatul ulama sebagai organisasi Islam
terbesar di Indonesia memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan
beberapa kali sidang dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga
kelompok yaitu haram, halal dan syubhat. Namun demikian meskipun
terdapat perbesdaan pandangan, Lajnah Bahsul Masail memutuskan
bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yakni bunga
bank haram. 14
Setelah adanya fatwa ulama tentang bunga bank haram 15, kontroversi
tentang bunga bank haram pada akhirnya dapat terminimalisir,
meskipun belum sepenuhnya diterima.
b. Problem Hukum dan Iklim Investasi
Problem yang dihadapi bank syariah dalam hukum dan investasi,
antara lain:
12
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia
Institut, 1999), hlm. 63.
13
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta:
Universitas Yaris, 2001), hlm. 127.
14
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia
Institut, 1999), hlm. 63.
15
Fatwa tentang haramnya bunga bank dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada tanggal 16 Desember 2003.
9
10
1) Aturan investasi dan perpajakan masih dinilai mengganjal
berkembangnya bisnis syariah;
2) Tahapan birokrasi di level pemerintahan dan hubungan antar
departemen
terkait.
Semisal
terkait
penggandaan
proyek
infrastruktur di daerah masih menjadi hambatan investasi syariah;
3) Peraturan untuk membuat iklim investasi di industri syariah masih
kurang fleksibel. Aturan yang fleksibel diberlakukan di negara lain
seperti Malaysia, Singapura, Cina, dan Jepang yang aktif
mengembangkan layanan syariah;
4) Masih kurangnya modal yang dimiliki perbankan syariah;
5) Infrastruktur perbankan syariah yang belum memadai;
6) Permasalahan kewenangan Absolut lembaga Pengadilan yang
berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah
setelah dikeluarkannya Undang-undang 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yang dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2)
memberi kewenangan pada Peradilan Umum sesuai isi akad. Hal
ini
menimbulkan
problem
kewenangan
masyarakat terhadap lembaga peradilan
dan
kebingungan
yang mana yang
mempunyai wewenang dalam penyelesaian sengketa.
c. Minimnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk
perbankan yang berdasarkan syari’ah sebagain besar masih kurang tepat.
Hal demikian tidak hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga
terjadi pada diri Ulama, Kyai
dan para tokoh masyarakat lainnya.
Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu
melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi
kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis
bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan
10
11
anatara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam
bank syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar.16
Oleh karena itu sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan
perbankan syari’ah yang berbeda konsepnya dengan perbankan
konvensional perlu secara intensif dilakukan.17 Hal ini dalam rangka
menumbuhkan pemahaman yang benar tentang konsep dasar operasi
perbankan syari’ah yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terdapat
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga
masyarakat muslim
khususnya dapat memanfaatkan sistem tersebut tanpa ragu-ragu.
Pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan
menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau
sosialisasi masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk syariah;
Masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat
ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk
masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja.
Ada pandangan dari sebagian masyarakat yang memandang bahwa pada
umumnya sistem, kegiatan dan produk bank syariah masih mengekor
pada bank konvensional. Hal pokok yang menjadi pembedanya hanyalah
pada ditiadakannya unsur riba atau bunga yang diharamkan dalam
hukum Islam. Salah satu contoh, perbedaan istilah seperti, kalau di bank
konvensional ada tabungan dan deposito, maka di bank syariah ada
tabungan syariah dan deposito syariah.
2. Kendala Operasional Perbankan Syari’ah
16
Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, op.cit., hlm 25. Lihat juga Bank
Indonesia, “ Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id. Oktober
2010. Bandingkan dengan tulisan, Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah
(Deskripsi dan Ilustrasi), Edisi 2 (Yogyakarta: Ekonisia kampus Fakultas Ekonomi UII), 2004,
hlm. 49.
17
Sosialisasi tidak hanya mengenai tempat operasional perbankan syari’ah, akan tetapi
memperkenalkan mekanisme, produk bank dan instrument-instrumen keuangan bank syari’ah
kepada masyarakat.
11
12
Dalam perkembangannya bank syari’ah menghadapi berbagai kendala,
di antaranya:18
a. Sumber Daya Manusia (SDM). Maraknya Bank Syari’ah di Indonesia
tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Terutama
sumber daya manusia yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan
bidang perbankan syari’ah. Sebagaian besar sumber daya manusia di
perbankan syari’ah terutama yang lahir dari bank konvensional
yang
membuka Islamic windows berlatang belakang disiplin ilmu ekonomi
konvensional. Keadaan yang demikian mengakibatkan akselerasi hukum
Islam dalam praktek perbankan kurang cepat dapat diakomodasikan dalam
sistem perbankan, sehingga kemampuan pengembangan bank syari’ah
menjadi lambat.
Keterbatasan sumber daya manusia yang memahami produk dan sistem
syariah. Disektor perbankan syariah saja masih membutuhkan tambahan
sumberdaya manusia sebanyak 14.458 orang (selama tahun 2008,
perbankan syariah menyerap sdm sebanyak sekitar 8.063 orang. Apabila
pangsa pasar perbankan syariah bertumbuh menjadi 5%, maka dibutuhkan
sdm sebanyak 22.521 orang. Dengan demikian, masih ada kekurangan
atau gap sebanyak 14.458 orang untuk mendorong bisnis perbankan
syariah bergulir cepat)
b. Peraturan-undangan di bidang perbankan yang belum memadai.
Meskipun sudah ada Undang-undang Perbankan Syari’ah, namun sampai
saat ini
masih banyak kendala operasional yang belum terselesaikan,
contoh lembaga jaminan perorangan dan lembaga jaminan kebendaan
masih menggunakan lembaga jaminan bank konvensional seperti Hak
Tanggungan dan Fidusia yang keduanya itu adalah lembaga jaminan
Hutang bukan Pembiayaan seperti operasional Perbankan Syariah. Hal ini
penting terutama dalam kerangka pengembangan bank syari’ah di masa
depan.
18
Heri Sudarsono, Bank…, Ibid.
12
13
c. Minimnya
akademisi perbankan syari’ah. Lingkungan akademisi
(termasuk lingkungan Perguruan Tinggi Agama) lebih memperkenalkan
kajian-kajian perbankan yang berbasis pada instrumen konvensional.
Kondisi semacam ini lebih disebabkan lingkungan pendidikan lebih
familiar dengan literatur-leteratur ekonomi konvensional dibanding
literatur ekonomi Islam. Jika kondisi semacam ini tidak segera diatasi,
maka keberadaan bank syari’ah kurang mendapat legitimasi secara ilmiah
di masyarakat.
E. PENUTUP
Eksistensi perbankan Syariah di Indonesia pada awalnya didasarkan pada
Undang-undang Perbankan No.7 Tahun 1992 di mana bank diberikan kebebasan
untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga
maupun keuntungan-keuntungan bagi hasil. Eksistensi perbankan syari’ah
semakin eksis setelah disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan sebagai perubahan dari Undang-undang no. 7 Tahun 1992. Undangundang ini ini membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank
Syari’ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional dengan
sistem syari’ah. UU No.10 tahun 1998 ini sekaligus menghapus Pasal 6 pada PP
No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 UU No.10 tahun
1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional
dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Selain itu juga,
eksistensi
perbankan Syari’ah
diperkukuh dengan Undang-undang No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang
No. 3 Tahun 2004.
Keberadaan Perbankan Syariah semakin kuat setelah
dikeluarkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
yang merupakan UU yang mengatur dan menjadi landasan hukum eksistensi
Perbankan Syariah.
Namun demikian, dari segi eksistensi dan operasionalnya bank syari’ah
masih memiliki
meliputi
kendala-kendala. Kendala-kendala dari segi eksistensinya
kendala fiqh, problem hukum dan sosialisasi. Sedangkan kendala-
13
14
kendala
dalam operasionalnya meliputi Sumber Daya Manusia (SDM),
Peraturan-undangan di bidang perbankan yang belum memadai, khususnya
mengenai penyesaian sengketa dan Minimnya akademisi perbankan syari’ah.
Lingkungan akademisi (termasuk lingkungan Perguruan Tinggi Agama).
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perbankan Syariah ( UU No. 21 Tahun 2008 ),
Bandung: Refika Aditama, 2009.
Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2007.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta:
Tazkia Institut, 1999.
Bank Indonesia, “ Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”,
www.bi.co.id. Diakses Oktober 2010.
Fatwa tentang haramnya bunga bank dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tanggal 16 Desember 2003.
14
15
http://www.hukumonline.com,
“Kompetensi
Pengadilan
Agama
Terbentur
Undang-undang Arbitrase”, diakses 7 Juli 2010.
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU,
Jakarta: Universitas Yaris, 2001.
Sudarsono, Heri, Bank dan lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia,
2007.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan
Ilustrasi), Edisi 2, Yogyakarta: Ekonisia kampus Fakultas Ekonomi
UII, 2004.
Thaher, Asmuni M., dan Omar Hazeim Abdul, Kendala-kendala Seputar
Eksistensi Perbankan Syari’ah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004.
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait
(BAMUI, TAKAFUL dan Pasar Modal Syari’ah di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, lulus S1 Fakultas
Syariah IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2000, dan Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Sultan Adam Banjarmasin Tahun 2001. Lulus S2 Magister Hukum Bisnis
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Tahun 2003. Lulus S3 Pada
Program Doktor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 2006. Saat ini
menjadi Kabid Akademik Magister Kenotaraiatan Fakultas Hukum Unlam.
15
16
16
Download