1 PROBLEM EKSISTENSI DAN OPERASIONAL PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA Oleh: Abdul Halim Barkatullah Penulis adalah Dosen Tetap di Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin e-mail: [email protected] ABSTRACT The existence of Islamic bank in Indonesia is held up by law of Banking Syariah No. 21, 2008,. This particular law gives opportunity to anyone (individual or institution) to establish new Islamic banks or to convert old conventional bank into Islamic bank. It is also clearly stated in article 6 of the law that commercial banks are allowed to run some parts of their business on Islamic principles. A part from these laws, Islamic banks can also enjoy their existence in Indonesia on the basis of Law No. 3, 2004 on Bank of Indonesia, as the replacement of Law No. 2, 1999. Nevertheles, Indonesian Islamic banks are still having problems with their existence fiqh, legal issues, and socialization. Whereas their operational problems are dealing with human resources, and lack of regulations-especially about conflict settlemnet, and lack of (Islamic banking) scholars-particularly from Islamic universities. Key Word: Problem, Eksistensi, Operasional, Bank Syari’ah A. PENDAHULUAN Bank mempunyai andil yang sangat besar dalam proses pembangunan suatu bangsa. Bank berfungsi sebagai lembaga “financial intermediary” dengan kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dari unit surplus kepada unit defisit atau pemindahan uang dari penabung kepada peminjam. Kehadiran bank syariah dengan prinsip ke-Islamannya yang tidak mengenal riba bagaikan angin segar bagi dunia perekonomian Indonesia. Terlebih Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tentunya keberadaan bank syariah sangat sesuai dengan kondisi tersebut. Bagi masyarakat yang beragama muslim tentunya tidak akan ragu dalam melakukan transaksi di bank syariah. Meskipun berdasarkan prinsip Islam namun bank syariah tidak menutup diri terhadap masyarakat yang beragama non muslim. Hal ini dapat menunjukkan bahwa keberadaan bank syariah adalah untuk melayani seluruh 2 warga Indonesia yang memerlukan, tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu saja.1 Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu sistem ekonomi Islam. Gagasan ini secara Internasional muncul pada sekitar dasawarsa 70-an, ketika pertama kali diselenggarakan konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Makkah pada tahun 1976.2 Di antara pemikir-pemikir sistem ekonomi Islam terdapat pola kecenderungan yang berbeda-beda, pada prinsipnya terbagi dua yaitu kecenderungan teoritis dengan memberikan alternative konsep dan kecenderungan pragmatis dengan mendirikan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip Islam. Salah satu di antara kecenderungan kelompok kedua tersebut adalah mendirikan bank-bank Islam.3 Dengan demikian istilah bank Islam atau bank syari’ah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh pakar Islam yang mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Oleh karena itulah bank syari’ah menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya atau bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam dengan mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai landasan hukum dan operasional.4 B. PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA 1. Sejarah dan Landasan Hukum Bank Syariah Bank Syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang 1 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), 2007, hlm, 98. 2 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, TAKAFUL dan Pasar Modal Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 1. 3 Ibid. 4 Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syari’ah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004, hlm. 1. 2 3 berkekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, Bank Syariah juga disebut Islamic Banking atau Interest fee banking, yaitu suatu sistemm perbankan dalam pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir) dan ketidak pastian atau ketidakjelasan (gharar).5 Gagasan mengenai Bank Syariah telah muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim yang menulis tentang keberadaan Bank Islam, misalnya Anwar Kureshi ( 1946 ), Naeim Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad ( 1952 ). Kemudian uraian yang lebih terperinci tentang gagasan itu ditulis oleh Mawdudi (1961).6 Bank syariah yang pertama kali berdiri adalah Islamic Rural Bank di Desa Mit ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir. Kemudian Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic bank , yang didirikan pada tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Selanjutnya perkembangan bank syariah secara internasional dimulai dengan Sidang Menteri Luar Negeri yang diselenggarakan oleh Organisasi Konferensi Islam ( OKI ) di Karachi, Pakistan, Desember 1970 dimana dalam sidang tersebut Mesir mengajukan sebuah proposal yang mengusulkan bawwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan sebuah sitem kerja sama dengan skema bagi hasil atas keuntungan maupun kerugian. Dimana dalam sidang tersebut disetujuilah rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Dari sinilah kemudian bermunculan Bank-bank Islam di berbagai belahan dunia.7 Di Indonesia pada awalnya perbankan masih berpegang pada sistem konvensional atau sistem bunga bank. Secara kelembagaan bank syariah pertama kali yang berdiri di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia , yang kemudian disusul oleh bank-bank lain yang membula jendela syariah ( Islamic Window ) dalam menjalankan kegiatan usahanya. 5 6 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1. Heri Sudarsono, Bank dan lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), hlm. 28. 7 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hlm. 24-26. 3 4 Bank Syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui keberadaannya di Negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain yaitu : a) Undang-undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; b) Undang-undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182; c) Undang-undang No 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, d) Undang-undang No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 2. Pengertian dan Karakteristik Perbankan Syariah Dalam Pasal 1 angka 1 UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa “Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 7 UU No 21 Tahun 2008 disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah. Pada pasal 1 tersebut pula dijelaskan bahwa Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Salah satu karakteristik bank syariah yang membedakannya dengan Bank Konvensional adalah penggunaan prinsip syariah di dalam setiap 4 5 kegiatan Bank Syariah. Pada Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan “ Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.” Bisnis Syariah haruslah berdasarkan prinsip syariah, maka kegiatan usaha tidak boleh mengandung unsur:8 a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahan (fadhl) , atau dalam transaksi pinjammeminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. 3. Kegiatan Usaha Perbankan Syariah. Secara garis besar kegiatan operasional bank syariah dan bank konvensional dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:9 a. Kegiatan Penghimpunan dana (Funding) Kegiatan penghimpunan dana dapat ditempuh oleh perbankan melalui mekanisme tabungan, giro, serta deposito. Untuk tabungan dan giro bisa didasarkan pada akad wadiah atau akad mudharabah. Sedangkan untuk deposito hanya menggunakan akad mudharabah. 8 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 9-10. 9 Ibid , hlm. 65. 5 6 b. Kegiatan Penyaluran Dana (Lending) Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat (lending) dapat ditempuh oleh bank dalam bentuk murabahah, mudharabah, musyarakah, ataupun qardh. Bank sebagai penyedia dana akan mendapatkan imbalan dalam bentuk, margin keuntungan untuk murabahah, bagi hasil untuk mudharabah dan musyarakah serta biaya administrasi untuk Qardh. c. Jasa Bank Kegiatan usaha di bidang jasa, dapat berupa penyediaan bank garansi (kafalah), Letter of Credit (L/C), Hiwalah, Wakalah dan jual beli valuta asing. Adapun kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yakni meliputi: a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; d. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad ishtishna atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; i. Membeli, menjual, atau menjamin atas resiko sendiri surat berharga pada pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata 6 7 j. k. l. m. n. o. p. q. berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti akad Ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah atau hawalah; Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah; Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan prinsip syariah; Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah; Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan akad wakalah; Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Sengketa Perbankan Syariah Sengketa Perbankan Syariah adalah sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabahnya atau dengan pihak lain, karena adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Sebagaimana dalam sengketa perdata lainnya, dalam sengketa perbankan syariah pun pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non-litigasi (diluar pengadilan) sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan. Direktur Bank Syariah Mandiri, Hanawijaya, mengemukakan bahwa sengketa antara nasabah dan pihak bank syariah selama i ni lebih banyak dipicu oleh empat hal. Pertama, karena adanya perbedaan penafsiran mengenai akad yang sudah disepakati. Kedua, adalah karena adanya perselisihan ketika transaksi sudah berjalan; Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum (PMH); dan Keempat, adanya 7 8 kerugian yang dialami salah satu pihak sehingga melakukan wanprestasi. 10 Sengketa perbankan syariah yang timbul tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan menimbulkan kerugian yang besar. Membiarkan sengketa terlambat diselesaikan akan mengakibatkan kepercayaan nasabah terhadap bank syariah berkurang, karena pihak nasabah adalah pihak yang selalu merasa dirugikan. Dari berbagai macam alternatif penyelesaian sengketa bisnis (termasuk bisnis di bidang perbankan syariah), pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian melalui jalur litigasi (pengadilan) dan melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan). C. PROBLEMATIKA KEBERADAAN DAN OPERASIONAL PERBANKAN SYARI’AH 1. Problem Keberadaan Perbankan Syari’ah Problem yang menghambat perkembangan perbankan Syari’ah dapat dijabarkan dalam beberapa segi, antara lain:11 a. Kendala Fiqh: adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu, halal, syubhat dan haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank syari’ah. Nahdatul ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu 10 http://www.hukumonline.com, “Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur Undangundang Arbitrase”, diakses 7 Juli 2010. 11 Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, op.cit., hlm. 23. 8 9 haram, halal dan syubhat. Namun demikian meskipun terdapat perbesdaan pandangan, Lajnah Bahsul Masail memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yakni bunga bank haram. 12 Sementara itu Majelis Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya atau sebaliknya, selama berlaku ternmasuk perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga bank yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bungan yang diberikan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan bunga bank swasta.13 Di samping Muhammadiyah, Nahdatul ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu haram, halal dan syubhat. Namun demikian meskipun terdapat perbesdaan pandangan, Lajnah Bahsul Masail memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yakni bunga bank haram. 14 Setelah adanya fatwa ulama tentang bunga bank haram 15, kontroversi tentang bunga bank haram pada akhirnya dapat terminimalisir, meskipun belum sepenuhnya diterima. b. Problem Hukum dan Iklim Investasi Problem yang dihadapi bank syariah dalam hukum dan investasi, antara lain: 12 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia Institut, 1999), hlm. 63. 13 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta: Universitas Yaris, 2001), hlm. 127. 14 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum (Jakarta: Tazkia Institut, 1999), hlm. 63. 15 Fatwa tentang haramnya bunga bank dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 16 Desember 2003. 9 10 1) Aturan investasi dan perpajakan masih dinilai mengganjal berkembangnya bisnis syariah; 2) Tahapan birokrasi di level pemerintahan dan hubungan antar departemen terkait. Semisal terkait penggandaan proyek infrastruktur di daerah masih menjadi hambatan investasi syariah; 3) Peraturan untuk membuat iklim investasi di industri syariah masih kurang fleksibel. Aturan yang fleksibel diberlakukan di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Cina, dan Jepang yang aktif mengembangkan layanan syariah; 4) Masih kurangnya modal yang dimiliki perbankan syariah; 5) Infrastruktur perbankan syariah yang belum memadai; 6) Permasalahan kewenangan Absolut lembaga Pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah setelah dikeluarkannya Undang-undang 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) memberi kewenangan pada Peradilan Umum sesuai isi akad. Hal ini menimbulkan problem kewenangan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan kebingungan yang mana yang mempunyai wewenang dalam penyelesaian sengketa. c. Minimnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah Pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari’ah sebagain besar masih kurang tepat. Hal demikian tidak hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan 10 11 anatara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar.16 Oleh karena itu sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan perbankan syari’ah yang berbeda konsepnya dengan perbankan konvensional perlu secara intensif dilakukan.17 Hal ini dalam rangka menumbuhkan pemahaman yang benar tentang konsep dasar operasi perbankan syari’ah yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga masyarakat muslim khususnya dapat memanfaatkan sistem tersebut tanpa ragu-ragu. Pemahaman masyarakat terhadap bank syariah belum optimal dan menyeluruh. Hal ini mungkin disebabkan karena disseminasi atau sosialisasi masih kurang untuk memaparkan keunggulan produk syariah; Masih ada kesan di sebagian masyarakat bahwa Bank syariah bersifat ekslusif dalam artian bahwa bank syariah hanya ditujukan untuk masyarakat muslim dan melibatkan kaum yang beragama muslim saja. Ada pandangan dari sebagian masyarakat yang memandang bahwa pada umumnya sistem, kegiatan dan produk bank syariah masih mengekor pada bank konvensional. Hal pokok yang menjadi pembedanya hanyalah pada ditiadakannya unsur riba atau bunga yang diharamkan dalam hukum Islam. Salah satu contoh, perbedaan istilah seperti, kalau di bank konvensional ada tabungan dan deposito, maka di bank syariah ada tabungan syariah dan deposito syariah. 2. Kendala Operasional Perbankan Syari’ah 16 Asmuni M. Thaher dan Omar Hazeim Abdul, op.cit., hlm 25. Lihat juga Bank Indonesia, “ Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id. Oktober 2010. Bandingkan dengan tulisan, Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan Ilustrasi), Edisi 2 (Yogyakarta: Ekonisia kampus Fakultas Ekonomi UII), 2004, hlm. 49. 17 Sosialisasi tidak hanya mengenai tempat operasional perbankan syari’ah, akan tetapi memperkenalkan mekanisme, produk bank dan instrument-instrumen keuangan bank syari’ah kepada masyarakat. 11 12 Dalam perkembangannya bank syari’ah menghadapi berbagai kendala, di antaranya:18 a. Sumber Daya Manusia (SDM). Maraknya Bank Syari’ah di Indonesia tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Terutama sumber daya manusia yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan bidang perbankan syari’ah. Sebagaian besar sumber daya manusia di perbankan syari’ah terutama yang lahir dari bank konvensional yang membuka Islamic windows berlatang belakang disiplin ilmu ekonomi konvensional. Keadaan yang demikian mengakibatkan akselerasi hukum Islam dalam praktek perbankan kurang cepat dapat diakomodasikan dalam sistem perbankan, sehingga kemampuan pengembangan bank syari’ah menjadi lambat. Keterbatasan sumber daya manusia yang memahami produk dan sistem syariah. Disektor perbankan syariah saja masih membutuhkan tambahan sumberdaya manusia sebanyak 14.458 orang (selama tahun 2008, perbankan syariah menyerap sdm sebanyak sekitar 8.063 orang. Apabila pangsa pasar perbankan syariah bertumbuh menjadi 5%, maka dibutuhkan sdm sebanyak 22.521 orang. Dengan demikian, masih ada kekurangan atau gap sebanyak 14.458 orang untuk mendorong bisnis perbankan syariah bergulir cepat) b. Peraturan-undangan di bidang perbankan yang belum memadai. Meskipun sudah ada Undang-undang Perbankan Syari’ah, namun sampai saat ini masih banyak kendala operasional yang belum terselesaikan, contoh lembaga jaminan perorangan dan lembaga jaminan kebendaan masih menggunakan lembaga jaminan bank konvensional seperti Hak Tanggungan dan Fidusia yang keduanya itu adalah lembaga jaminan Hutang bukan Pembiayaan seperti operasional Perbankan Syariah. Hal ini penting terutama dalam kerangka pengembangan bank syari’ah di masa depan. 18 Heri Sudarsono, Bank…, Ibid. 12 13 c. Minimnya akademisi perbankan syari’ah. Lingkungan akademisi (termasuk lingkungan Perguruan Tinggi Agama) lebih memperkenalkan kajian-kajian perbankan yang berbasis pada instrumen konvensional. Kondisi semacam ini lebih disebabkan lingkungan pendidikan lebih familiar dengan literatur-leteratur ekonomi konvensional dibanding literatur ekonomi Islam. Jika kondisi semacam ini tidak segera diatasi, maka keberadaan bank syari’ah kurang mendapat legitimasi secara ilmiah di masyarakat. E. PENUTUP Eksistensi perbankan Syariah di Indonesia pada awalnya didasarkan pada Undang-undang Perbankan No.7 Tahun 1992 di mana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga maupun keuntungan-keuntungan bagi hasil. Eksistensi perbankan syari’ah semakin eksis setelah disahkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai perubahan dari Undang-undang no. 7 Tahun 1992. Undangundang ini ini membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank Syari’ah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional dengan sistem syari’ah. UU No.10 tahun 1998 ini sekaligus menghapus Pasal 6 pada PP No.72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 UU No.10 tahun 1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Selain itu juga, eksistensi perbankan Syari’ah diperkukuh dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004. Keberadaan Perbankan Syariah semakin kuat setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang merupakan UU yang mengatur dan menjadi landasan hukum eksistensi Perbankan Syariah. Namun demikian, dari segi eksistensi dan operasionalnya bank syari’ah masih memiliki meliputi kendala-kendala. Kendala-kendala dari segi eksistensinya kendala fiqh, problem hukum dan sosialisasi. Sedangkan kendala- 13 14 kendala dalam operasionalnya meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), Peraturan-undangan di bidang perbankan yang belum memadai, khususnya mengenai penyesaian sengketa dan Minimnya akademisi perbankan syari’ah. Lingkungan akademisi (termasuk lingkungan Perguruan Tinggi Agama). DAFTAR PUSTAKA Ali, Zainudin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perbankan Syariah ( UU No. 21 Tahun 2008 ), Bandung: Refika Aditama, 2009. Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syariah Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007. Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institut, 1999. Bank Indonesia, “ Perbankan Syari’ah Nasional: Kebijakan dan Perkembangan”, www.bi.co.id. Diakses Oktober 2010. Fatwa tentang haramnya bunga bank dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 16 Desember 2003. 14 15 http://www.hukumonline.com, “Kompetensi Pengadilan Agama Terbentur Undang-undang Arbitrase”, diakses 7 Juli 2010. Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia Persepektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta: Universitas Yaris, 2001. Sudarsono, Heri, Bank dan lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Ekonisia, 2007. Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah (Deskripsi dan Ilustrasi), Edisi 2, Yogyakarta: Ekonisia kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004. Thaher, Asmuni M., dan Omar Hazeim Abdul, Kendala-kendala Seputar Eksistensi Perbankan Syari’ah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004. Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, TAKAFUL dan Pasar Modal Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, lulus S1 Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2000, dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam Banjarmasin Tahun 2001. Lulus S2 Magister Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Tahun 2003. Lulus S3 Pada Program Doktor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tahun 2006. Saat ini menjadi Kabid Akademik Magister Kenotaraiatan Fakultas Hukum Unlam. 15 16 16