Catatan Kuliah Fisika Kuantum 1

advertisement
Catatan Kuliah
∗
FI-3104 FISIKA KUANTUM 1
oleh:
Prof. Freddy P. Zen, D. Sc ([email protected])
Laboratorium Fisika Teoretik, FMIPA-ITB
∗
terakhir diperbaharui pada 6 Januari 2010.
Daftar Isi
Daftar Isi
ii
Daftar Gambar
iii
1 Gejala Kuantum
1
1.1 Radiasi Benda Hitam . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1.1 Gejala radiasi termal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1.2 Hukum Stefan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
1.1.3 Hukum Raleygh-Jeans . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
Model osilator harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
Energi rata-rata osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
Rapat jumlah osilator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
Kerapatan energi radiasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
1.1.4 Teori kuantum radiasi Planck . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
1.2 Efek Fotolistrik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
1.3 Efek Compton (1922) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
1.4 Hipotesis de Broglie (1924) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
2 Dasar-dasar Kuantum
12
2.1 Perbedaan Fisika Klasik dan Kuantum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
2.2 Fungsi Gelombang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
2.3 Operator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
13
2.3.1 Sifat-sifat operator . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
2.3.2 Operator Hermitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
2.4 Pengukuran Serentak dan Berurutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
15
i
DAFTAR ISI
ii
3 Persamaan Schrödinger
17
3.1 Arus Rapat Probabilitas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
17
3.2 Kasus Stasioner . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
18
3.3 Partikel Bebas . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
19
3.4 Partikel dalam kotak potensial takhingga (1 dimensi).
. . . . . . . . . . .
19
3.5 Partikel dalam Sumur Potensial Berhingga . . . . . . . . . . . . . . . . . .
21
3.6 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Tangga . . . . . . . . . . . . . . .
22
3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang . . . . . . . . . . . .
24
3.8 Osilator Harmonik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
26
4 Atom Hidrogen
31
4.1 Postulat Bohr tentang Atom Hidrogen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
31
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32
Daftar Pustaka
38
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Daftar Gambar
1.1 Kurva intensitas radiasi termal per satuan panjang gelombang . . . . . . .
2
1.2 Perbandingan antara hasil yang didapat hukum Raleygh-Jeans dan Teori
Kuantum Planck . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
1.3 Skema efek Compton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
√
√
λ−y 2
λ−y 2
3.1 Grafik tan y =
dan
−
cot
y
=
. . . . . . . . . . . . . . . . . .
y
y
9
iii
23
Bab 1
Gejala Kuantum
1.1
1.1.1
Radiasi Benda Hitam
Gejala radiasi termal
Kajian tentang radiasi benda hitam bertujuan menjelaskan fenomena yang terkait dengan intensitasi radiasi (daya emisi) suatu benda pada temperatur tertentu. Pada tahun
1792, T. Wedjwood mendapati bahwa sifat universal dari sebuah objek yang dipanaskan
tidak bergantung pada komposisi dan sifat kimia, bentuk, dan ukuran benda. Selanjutnya, pada tahun 1859 G. Kirchoff membuktikan sebuah teorema yang didasarkan pada
sifat termodinamika benda bahwa pada benda dalam kesetimbangan termal, daya emisi
(pancar) dan daya absorbsi (serap) sama besar. Ide Kirchoff dinyatakan dalam sebuah
persamaan
ef = J (f, T ) Af ,
(1.1)
dengan ef adalah daya emisi per frekuensi cahaya tiap satuan luas, f adalah frekuensi
cahaya, T suhu mutlak benda, dan Af daya absorbsi (yaitu fraksi daya masuk yang
diserap per frekuensi tiap satuan luas. Benda hitam didefinisikan sebagai benda yang definisi
menyerap semua radiasi elektromagnetik yang mengenainya, sehingga benda tersebut benda
menjadi berwarna hitam, atau pada persamaan (1.1) berlaku Af = 1 sehingga ef = hitam
J (f, T ) (daya emisi per frekuensi per satuan luas hanya bergantung pada f dan T saja).
1.1.2
Hukum Stefan
Pada tahun 1879, J. Stefan menemukan (secara eksperimental) bahwa daya total tiap
satuan luas yang dipancarkan oleh benda padat pada semua frekuensi bergantung pada
1
1.1 Radiasi Benda Hitam
2
Gambar 1.1 Kurva intensitas radiasi termal per satuan panjang gelombang. Jumlah radiasi yang
dipancarkan (luas daerah di bawah kurva) bertambah seiring dengan naiknya temperatur. (Gambar diambil dari [1])
pangkat empat dari suhu (T 4 ), atau
Z
etotal =
∞
ef (f, T ) df = aσT 4 ,
(1.2)
0
dengan 0 < a <= 1 merupakan koefisien serap dan σ = 5, 67 × 10−8 W.m−2 .T−4 adalah
tetapan Stefan-Boltzman.
Contoh. Hukum Stefan dapat diterapkan untuk memperkirakan suhu di permukaan bintang. Sebagai contoh, kita akan memperkirakan suhu di permukaan matahari. Diketahui jejari matahari adalah RS = 7, 0 × 108 m, jarak rata-rata matahari ke
bumi adalah R = 1, 5 × 1011 m, dan fluks (daya per satuan luas) energi matahari yang
terukur di permukaan bumi adalah 1400 Wm−2 . Seluruh energi yang dipancarkan matahari dapat dianggap berasal dari reaksi nuklir yang terjadi di dalamnya, bukan berasal
pantulan dari radiasi yang mengenainya (seluruh radiasi yang mengenai matahari dianggap terserap sempurna). Sehingga, matahari dapat dianggap sebagai benda hitam
(a = 1). Energi radiasi total yang mengenai bumi dan titik-titik lain di alam semesta
yang berjarak R dari matahari adalah et (R) 4πR2 , sedangkan energi total yang meninggalkan permukaan matahari adalah et (RS ) 4πRS2 . Menurut hukum kekekalan energi,
besar kedua energi tersebut haruslah sama, sehingga
et (R) 4πR2 = et (RS ) 4πRS2 ⇒ et (RS ) = et (R)
R2
.
RS2
(1.3)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.1 Radiasi Benda Hitam
3
Lalu, menurut hukum Stefan et (RS ) = σT 4 , sehingga diperoleh
T =
=
et (R)R2
σRS2
1/4
1400W m−2
2
1, 5 × 1011 m (R)R2
!1/4
(5, 67 × 10−8 W.m−2 .T −4 ) (7, 0 × 108 m)2
≈ 5800K.
(1.4)
Berdasarkan persaaan (1.1), untuk benda hitam akan berlaku ef = J(f, T ). Selanjutnya, didefinisikan besaran kerapatan spektrum energi per satuan volume per satuan definisi
frekuensi u(f, T ), sehingga untuk cahaya (kecepatannya c) akan diperoleh
c
J(f, T ) = u(f, T ) .
4
u(f, T )
(1.5)
Berdasarkan kurva spektrum radiasi benda hitam, Wien membuat tebakan bentuk fungsi tebakan
βf
kerapatan spektrum energi tersebut sebagai u(f, T ) = Af 3 e− T . Ternyata bentuk fungsi Wien
tersebut dikonfirmasi secara eksperimental oleh Paschen untuk λ = 1 − 4 µm (infra
merah) dan T = 400 − 1.600 K (hasil eksperimen untuk λ lebih besar menyimpang dari
prediksi Wien).
1.1.3
Hukum Raleygh-Jeans
Model osilator harmonik
Bentuk kurva spektrum pancar benda hitam juga coba dijelaskan melalui hukum RayleighJeans. Menurut hukum tersebut, benda hitam dimodelkan sebagai sebuah rongga, dan
cahaya yang memasukinya membentuk gelombang berdiri. Energi radiasi per satuan
volume per satuan frekuensi merupakan moda dari osilator-osilator harmonik per satuan volume dengan frekuensi yang terletak pada selang f dan f +df . Sehingga, kerapatan
energi dapat dinyatakan sebagai
u(f, T )df = ĒN (f )df
(1.6)
dengan N (f ) menyatakan rapat jumlah osilator per satuan volume per satuan frekuensi. definisi
Benda hitam dianggap berada pada kesetimbangan termal, sehingga terbentuk gelom- N (f )
bang elektromagnetik berdiri di dalam rongga (gelombang berdiri EM ekivalen dengan
osilator satu dimensi).
Fungsi probabilitas osilator klasik memenuhi fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann,
−
P () = P0 e
(−0 )
kB T
distribusi
Maxwell-
,
(1.7)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Boltzmann
1.1 Radiasi Benda Hitam
4
dengan 0 adalah energi dasar (terendah) osilator, energi osilator, P0 = P (0 ) merupakan peluang osilator memiliki energi sebesar 0 , kB konstanta Boltzmann, dan T suhu
mutlak sistem (dalam hal ini rongga).
Energi rata-rata osilator
Energi rata-rata osilator dihitung dengan memanfaatkan fungsi probabilitas (1.7),
P
P ()
,
(1.8)
¯ = P
P ()
P
atau untuk nilai energi yang sinambung (kontinyu), notasi jumlah ( ) berubah menjadi
integral. Lalu dengan mengingat persamaan (1.7), diperoleh
R∞
0
¯ = R
∞
−
P0 e
0
(−0 )
kB T
(− )
− k T0
B
P0 e
d
d
R∞
− k T
0
e
0
e
= R∞
B
− k T
B
d
.
(1.9)
d
Pembilang dan penyebut pada persamaan terakhir dapat dihitung dengan cara sebagai
berikut. Misalkan β = (kB T )−1 , maka penyebut persamaan terakhir menjadi
Z ∞
1 −β ∞
−β
e d = − e β
0
=0
1
= .
β
Lalu, dengan memanfaatkan hubungan tersebut, dapat diperoleh
Z ∞
d
d 1
−β
e d =
dβ
dβ β
Z ∞ 0 d
1
⇔
e−β d = − 2
dβ
β
0
Z ∞
1
−
⇔ −
e kB T d = − 2
β
Z0 ∞
1
− ⇔
e kB T d = 2 .
β
0
(1.10)
(1.11)
Sehingga, energi rata-rata osilator adalah
R∞
− k T
0
e
0
e
¯ = R ∞
B
− k T
B
d
d
=
β −2
1
= = kB T.
β −1
β
(1.12)
Rapat jumlah osilator
Tinjau sebuah kubus dengan panjang rusuk L yang di dalamnya terdapat gelombang
elektromagnetik stasioner. Berdasarkan persamaan Maxwell, diperoleh persamaan gelombang stasioner untuk medan elektromagnetik berbentuk
~ + k2 E
~ = 0,
∇2 E
(1.13)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.1 Radiasi Benda Hitam
dengan ∇2 ≡
∂2
∂x2
+
∂2
∂y 2
5
+
∂2
,
∂z 2
~ = E(E
~ x , Ey , Ez ), serta Ex , Ey , dan Ez masingE
masing merupakan fungsi dari koordinat x, y, z. Dengan menganggap berlakunya sep~ misalnya Ex (x, y, z) ≡ u(x)v(y)w(z), dan
arasi variabel pada tiap komponen medan E,
k 2 = kx2 + ky2 + kz2 diperoleh
d2 u
+ kx2 u = 0,
dx2
d2 v
+ ky2 v = 0,
dy 2
d2 w
+ kz2 w = 0,
dz 2
(1.14)
(1.15)
(1.16)
dengan solusi
u(x) = Bx cos(kx x) + Cx sin(kx x),
(1.17)
v(y) = By cos(ky y) + Cy sin(ky y),
(1.18)
w(z) = Bz cos(kz z) + Cz sin(kz z).
(1.19)
Selanjutnya, diterapkan syarat batas bahwa u = v = w = 0 pada x = y = z = 0 dan
x = y = z = L, sehingga Bx = By = Bz = 0 dan kx,y,z = nx,y,z π/L dengan nx,y,z
merupakan bilangan bulat positif. Dengan demikian, diperoleh
u(x) = Cx sin(kx x),
(1.20)
v(y) = Cy sin(ky y),
(1.21)
w(z) = Cz sin(kz z),
(1.22)
yang memberikan solusi untuk komponen Ex
Ex (x, y, z) = A sin(kx x) sin(ky y) sin(kz z),
dan berlaku pula
k2 =
n2 π 2
π2 2
2
2
n
+
n
+
n
,
y
z =
L2 x
L2
(1.23)
(1.24)
dengan n menyatakan jumlah osilator dalam kotak.
Sebuah kotak dalam ruang k (dimensi/satuannya m−1 ) dengan volume
π 3
L
berisi
satu buah gelombang berdiri. Sebuah elemen volum berbentuk kulit bola berjejari k yang
terletak pada sebuah kotak dengan rusuk k memiliki volum
1
8
× 4πk 2 dk (karena kotak
berusuk k menempati satu oktan/perdelapan dari sebuah bola berjejari k). Lalu, diperoleh N (k) yaitu rapat jumlah gelombang berdiri dengan bilangan gelombang terletak
antara k dan dk,
N (k)dk =
1
8
× 4πk 2 dk
L3 k 2
=
dk.
π 3
2π 2
(1.25)
L
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.1 Radiasi Benda Hitam
6
Dengan mengingat bahwa terdapat dua keadaan polarisasi untuk setiap modus gelombang EM, diperoleh jumlah gelombang berdiri tiap satuan volume (V = L3 ) sebesar
N (k)dk ≡
k 2 dk
N (k)dk
,
=2×
V
2π 2
atau dengan memanfaatkan hubungan besaran-besaran gelombang EM k =
(1.26)
2π
λ
dan c =
λf diperoleh
N (f )df =
8π
8πf 2
df ⇔ N (λ)dλ = − 4 dλ.
3
c
λ
(1.27)
Kerapatan energi radiasi
Berdasarkan hasil untuk Ē dan N (f ) seperti di atas, diperoleh nilai kerapatan energi
radiasi
u(f, T )df =
8πf 2
8π
kB T df ⇔ u(λ, T )dλ = 4 kB T dλ.
c3
λ
(1.28)
Hasil ini memungkinkan terjadinya bencana ultraviolet, bahwa rapat energi untuk cahaya bencana
dengan panjang gelombang kecil (atau frekuensi besar) dapat bernilai takhingga. Dan UV
ini bertentangan dengan hasil eksperimen.
1.1.4
Teori kuantum radiasi Planck
Untuk mengatasi masalah yang timbul pada hukum Rayleigh-Jeans, Max Planck mempostulatkan bahwa energi osilator adalah sebanding dengan frekuensi gelombang, n = postulat
nhf (n bilangan bulat positif dan h konstanta Planck). Penerapan postulat ini ke per- Planck
samaan untuk energi rata-rata menurut statistik Maxwell-Boltzman (persamaan 1.8)
memberikan
−
P∞
nhf
kB T
n=0 nhf e
P∞ − knhfT .
B
n=0 e
¯ =
(1.29)
Dengan mengingat rumus jumlah pada deret geometri,
∞
X
rn =
n=0
1
1−r
|r| < 1,
(1.30)
maka penyebut persamaan energi rata-rata tersebut dapat dituliskan sebagai
∞ X
n=0
− khfT
e
B
n
=
1
− khfT
1−e
(1.31)
B
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.1 Radiasi Benda Hitam
7
Bagian pembilang dihitung seperti pada persamaan (1.11). Misalkan α =
X
ne−αn = −
n
hf
kB T ,
maka
d X −αn
e
dα n
!
1
d
=−
dα
− khfT
1−e
B
e−α
.
=
(1 − e−α )2
(1.32)
Jadi, diperoleh energi rata-rata
hf
¯ =
=
=
hf e
− khfT
− khfT
1−e
e
2
− hf
1 − e kB T
B
B
− khfT
B
− khfT
1−e
hf
B
(1.33)
hf
e kB T − 1
Selanjutnya, diperoleh rapat energi radiasi
!
8πf 2
8πhc dλ
hf
.
hf
u(f, T )df = 3
df ⇔ u(λ, T )dλ =
hf
c
kB T
k
T
5
e
−1
λ e B −1
(1.34)
Terlihat bahwa postulat Planck mampu mengatasi masalah yang muncul pada hukum
Rayleigh-Jeans. Bahkan, hasil ini sesuai dengan data eksperimen (Gambar ??). Postulat
Gambar 1.2 Kurva intensitas radiasi termal menurut hukum Raleygh-Jeans dan Teori Kuantum
Planck. Terlihat bahwa teori Planck sesuai dengna hasil eksperimen (yang dinyatakan oleh titik), sedangkan hukum Raleygh-Jeans hanya sesuai untuk daerah panjang gelombang besar. (Gambar diambil dari [1])
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.2 Efek Fotolistrik
8
Planck juga mampu menjelaskan hukum Stefan-Boltzman. Substitusi persamaan rapat
energi radiasi ke persamaan untuk radiasi total, menghasilkan
Z
c ∞
u(λ, T ) dλ
et =
4
Z ∞λ=0
8πhc dλ
hf
.
=
λ=0 5
kB T
λ e
−1
Ambil x ≡
hc
λkB T
2k
dλ atau dλ = − λ
sehingga dx = − λ2hc
kB T
kB T
et = −
2πhc2
hc
=
=
4 T4
2πkB
3
h c2
Z
Z
∞
| x=0
0
x=∞
BT
hc
hc dx
k B T x2
5
hc
(ex
xkB T
dx = − khc
BT
(1.35)
dx
,
x2
sehingga
− 1)
x3
dx
−1
{z
}
ex
4
= π15
4
2π 5 kB
T4
15h3 c2
= σT 4 ,
dengan
σ=
(1.36)
4
2π 5 kB
≈ 5, 67 × 10−9 W.m−2 K−4
15h3 c2
(1.37)
merupakan konstanta Stefan-Boltzmann.
Soal Latihan
1. Turunkan hukum pergeseran Wien, λm T = C, dengan memaksimumkan u(λ, T ).
1.2
Efek Fotolistrik
Tugas 1 (28 Agustus 2009)
Gejala Kuantum: Efek Fotolostrik
(dikumpulkan sebelum Jum’at, 4 September 2009)
1. Beri penjelasan tentang efek fotolistrik yang menganggap bahwa cahaya berbentuk
kuanta (partikel)!
2. Hitung kecepatan photoelectron yang dilepas dari bahan seng (zinc, dengan stopping potential 4,3 eV) yang diberi cahaya ultraviolet. Dibanding kecepatan cahaya,
berapa persen besar kecepatan tersebut?
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.3 Efek Compton (1922)
9
3. Cahaya dengan intensitas 1,0 µW/cm2 jatuh pada permukaan besi seluas 1,0 cm2 .
Anggap bahwa besi memantulkan 96% cahaya yang mengenainya dan hanya 3%
dari energi yang terserap terletak pada daerah ultraviolet.
(a) Hitunglah intensitas yang dipakai untuk menghasilkan efek fotolistrik!
(b) Jika panjang gelombang sinar ultraviolet adalah 250 nm, hitunglah banyaknya
elektron yang diemisikan tiap detik!
(c) Hitunglah besar arus yang ditimbulkan pada efek fotolistrik!
(d) Jika frekuensi cut off f0 = 1, 1 × 1015 Hz, carilah fungsi kerja φ0 untuk besi!
1.3
Efek Compton (1922)
Efek Compton adalah gejala yang timbul jika radiasi (sinar x) berinteraksi dengan partikel (elektron). Foton sinar x bersifat sebagai partikel dengan momentum p =
hf
c
= λh .
Skema efek Compton diberikan pada gambar 1.3. Efek Compton dapat dijelaskan meng-
Gambar 1.3 Skema efek Compton. Foton datang dengan momentum p dan menumbuk elektron
yang diam. Lalu foton terhambur dengan momentum p0 dan elektron terhambur
dengan momentum pe . Sudut hamburan foton θ dihitung terhadap arah datangnya.
(Gambar diambil dari [1])
gunakan konsep momentum dan tumbukan. Tumbukan dianggap bersifat lenting sempurna, sehingga berlaku hukum kekekalan energi,
E + me c2 = E 0 + Ee ⇔ Ee = hf − hf 0 + me c2 .
(1.38)
dengan E adalah energi foton sebelum tumbukan, me c2 energi elektron sebelum tumbukan (berupa energi diam), E 0 energi foton setelah tumbukan, dan Ee energi elektron
setelah tumbukan. Seperti kasus tumbukan pada umumnya, pada peristiwa efek Compton juga berlaku kekekalan momentum.
• Pada arah sumbu x (searah dengan arah datang foton)
p = p0 cos θ + pe cos φ ⇔ p2 + p02 cos2 θ − 2pp0 cos θ = p2e cos2 φ
(1.39)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.4 Hipotesis de Broglie (1924)
10
dengan p momentum foton sebelum tumbukan, p0 momentum foton setelah tumbukan, pe momentum elektron setelah tumbukan, dan φ sudut hambur elektron
(dihitung terhadap arah foton datang).
• Pada arah sumbu y (tegaklurus arah datang foton)
p0 sin θ = pe sin φ ⇔ p02 sin2 θ = p2e sin2 φ.
(1.40)
Jumlah dari kedua persamaan terakhir menghasilkan
p2 + p02 − 2pp0 cos θ = p2e .
(1.41)
Dengan mengingat hubungan antara momentum dengan frekuensi, persamaan terakhir
dapat ditulis menjadi
p2e
=
hf 0
c
2
+
hf
c
2
−
2h2 f f 0
cos θ.
c2
(1.42)
Di lain pihak, elektron memenuhi persamaan energi relativistik,
Ee2 = (pe c)2 + me c2
2
(1.43)
.
Substitusi persamaan (1.38) dan (1.42) ke persamaan terakhir, menghasilkan
2
hf − hf 0 + me c2 =
"
hf 0
c
2
+
hf
c
2
2h2 f f 0
−
cos θ.
c2
#2
+ me c2
2
(1.44)
Setelah disederhanakan, persamaan tersebut menghasilkan
−f 0 me c2 + f me c2 = hf f 0 − hf f 0 cos θ
c hc2
2 c
⇔ me c
−
=
(1 − cos θ)
λ λ0
λλ0
h
⇔ λ0 − λ =
(1 − cos θ) ,
me c
(1.45)
yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang foton terhambur (λ0 ) dan sudut
hamburannya (θ) dengan panjang gelombang foton datang (λ) dan massa diam elektron
(me ). Persamaan tersebut telah sesuai dengan hasil percobaan.
1.4
Hipotesis de Broglie (1924)
Pada kasus radiasi benda hitam, efek fotolistrik, dan efek Compton telah ditunjukkan
bahwa cahaya (yang sebelumnya dikenal sebagai gelombang) ternyata memiliki sifat
partikel. Berdasarkan kenyataan tersebut, de Broglie membuat hipotesis bahwa partikel
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
1.4 Hipotesis de Broglie (1924)
11
pun dapat memiliki sifat gelombang. Panjang gelombang dari sebuah partikel bergantung pada momentumnya, dengan hubungan yang sama seperti pada gelombang
λ=
h
h
=
,
p
mv
(1.46)
dengan m massa partikel dan p kecepatannya.
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Bab 2
Dasar-dasar Kuantum
Terdapatnya gejala-gejala fisis yang tidak dapat dijelaskan menggunakan hukum-hukum
fisika yang telah ada mendorong para ilmuwan untuk menyadari akan perlunya cara
pandang baru dalam memahami dan menjelaskan gejala fisis.
2.1
Perbedaan Fisika Klasik dan Kuantum
Perbedaan antara Fisika klasik dan kuantum dapat dipandang dari dua sisi: formulasi
dan pengamatan. Pada tingkat perumusan (formulasi), dinamika partikel dalam Fisika
klasik digambarkan oleh hukum dinamika Newton,
X
d2 ~x
d~
p
F~ = m 2 =
,
dt
dt
(2.1)
dengan solusi berupa ruang fasa {~r, p~}. Sedangkan pada fisika kuantum, dinamika sistem
digambarkan oleh persamaan Schrödinger,
~2 2
−
∇ + V (~r, t) Ψ(~r, t) = EΨ(~r, t),
2m
(2.2)
dengan solusi Ψ(~r, t) disebut fungsi gelombang, vektor keadaan, atau amplitudo probabilitas. Fungsi Ψ(~r, t) tidak memiliki makna fisis, namun informasi fisis bisa didapatkan
darinya.
Pada tingkat pengamatan, hasil pengamatan berupa {~r, p~} pada fisika klasik sama
persis dengan prediksi yang diberikan oleh formulasi. Dengan demikian, menurut fisika
klasik pengukuran sama sekali tidak mengganggu keadaan sistem. Sementara itu, pada
fisika kuantum pengukuran akan mengganggu sistem, sehingga hasil pengukuran selalu
mengandung ketidakpastian terhadap nilai sesungguhnya. Nilai |Ψ(~r, t)|2 menyatakan
fungsi probabilitas (sesuai interpretasi Born), dan antarvariabel konjugat memenuhi keti-
12
2.2 Fungsi Gelombang
13
Tabel 2.1: Operator dalam kuantum.
dakpastian Heisenberg,
~
2
~
∆E.∆t ≥ .
2
∆r.∆p ≥
2.2
(2.3)
(2.4)
Fungsi Gelombang
Agar dapat menggambarkan sistem fisis secara mudah, fungsi gelombang Ψ haruslah
memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Invarian (tidak berubah) terhadap perkalian dengan sebuah skalar, sehingga Ψ dan
aΨ (a ∈ C) menggambarkan keadaan kuantum yang sama.
2. Invarian terhadap pergeseran fasa, sehingga eiδ Ψ (δ ∈ R) bermakna fisis sama
dengan Ψ.
3. Memenuhi lim|x|→∞ |Ψ|2 = 0, atau Ψ konvergen pada |x| → ∞.
4. Sinambung (kontinyu) dan mulus (smooth) pada seluruh ruang.
2.3
Operator
Dalam kuantum, besaran-besaran fisis diperoleh dengan menerapkan operator-operator
kepada fungsi gelombang Ψ. Contoh operator dalam kuantum dan besaran yang bersesuaiab dengannya pada fisika klasik diberikan pada tabel 2.1.
Operator bekerja secara serial kepada fungsi gelombang, sehinga menghasilkan observabel fisis. Karena bekerja secara serial, maka pada umumnya hasil pengukuran dua
observabel fisis yang dilakukan berurutan akan bergantung pada urutan pengukuran,
ÂB̂Ψ 6= B̂ ÂΨ.
Contoh. Operator posisi dan momentum masing-masing dinyatakan sebagai x̂ = x
~ atau (atau dalam satu dimensi p̂ = −i~ ∂ ). Bekerjanya kedua operator
dan p̂ = −i~∇
∂x
tersebut kepada Ψ menghasilkan:
∂
∂Ψ
p̂x̂Ψ(x) = −i~
(xΨ) = −i~ Ψ + x
∂x
∂x
∂Ψ
∂Ψ
x̂p̂Ψ(x) = x −i~
= −i~ x
.
∂x
∂x
(2.5)
(2.6)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
2.3 Operator
14
Selisih kedua persamaan tersebut adalah
(p̂x̂ − x̂p̂) Ψ(x) = −i~Ψ(x),
(2.7)
sehingga diperoleh hubungan komutasi
(2.8)
[p̂, x̂] = i~,
h
i
dengan Â, B̂ ≡ ÂB̂ − B̂ Â.
Nilai rata-rata dari suatu observabel dinyatakan oleh
Z ∞
Ψ∗ (x)ÂΨ(x)dx,
hAi =
(2.9)
−∞
misalnya nilai rata-rata operator momentum pada ruangwaktu adalah
Z ∞
∂
∗
Ψ (x) −i~
hpi =
Ψ(x)dx,
∂x
−∞
(2.10)
atau dalam ruang momentum-energi
∞
Z
hpi =
Ψ∗ (p)pΨ(p)dp.
(2.11)
−∞
2.3.1
Sifat-sifat operator
[A, B] = AB − BA = − [B, A] ,
[A, α] = 0
(2.12)
dengan α bilangan kompleks,
(2.13)
(2.14)
[αA, B] = α [A, B] = [A, αB] ,
[AB, C] = ABC − CAB
= ABC − ACB + ACB − CAB
= A (BC − CB) + (AC − CA) B
= A [B, C] + [A, C] B,
(2.15)
[A, BC] = B [A, C] + [A, B] C,
(2.16)
[AB, CD] = AC [B, D] + A [B, C] D + C [A, D] B + [A, C] DB.
(2.17)
Dengan memanfaatkan hubungan aljabar di atas dan hubungan komutasi operator
posisi dan momentum, diperoleh hubungan yang bermanfaat berikut:
[x̂, p̂] = i~,
x̂, p̂2 = p̂ [x̂, p̂] + [x̂, p̂] p̂
= 2i~p̂,
x̂, p̂3 = x̂, p̂2 p̂
= p̂2 i~
(2.18)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
2.4 Pengukuran Serentak dan Berurutan
15
Berdasarkan hubungan di atas, diperoleh hubungan yang lebih umum berupa
[x̂, p̂n ] = ni~p̂n−1 = i~
2.3.2
dp̂n
.
dp̂
(2.19)
Operator Hermitian
Suatu matriks H dikatakan hermitian jika berlaku H † = H, dengan tanda † menyatakan
konjugat transpos. Nilai eigen dari sebuah matriks hermitian bersifat riil. Dalam mekanika kuantum, nilai observabel fisis diberikan oleh nilai eigen dari operator yang berkaitan.
Agar memiliki makna fisis, nilai eigen dari matriks operator tersebut haruslah bernilai
riil. Sehingga, representasi matriks dari operator-operator dalam mekanika kuantum
haruslah berupa matriks hermitian.
∂
merupakan operator Hermitian, karena nilai
Contoh. Operator posisi p̂ = −i~ ∂x
rata-ratanya riil. Bukti untuk pernyataan ini adalah sebagai berikut:
Z ∞
∂
∗
Ψdx
hpi =
Ψ −i~
∂x
−∞
Z ∞
∂Ψ
dx
= −i~
Ψ∗
∂x
−∞
!
Z ∞
d |Ψ|2 dΨ∗
= −i~
−
Ψ dc
dx
dx
−∞
∞
dΨ ∗
2
= −i~ |Ψ| + i~ −i~
Ψdc
dx
−∞
Z ∞
=
(p̂Ψ) ∗ Ψdx
−∞
= hp̂† i.
(2.20)
∂
Dengan cara yang sama dapat dibuktikan pula bahwa operator energi Ê = i~ ∂x
juga
hermitian.
2.4
Pengukuran Serentak dan Berurutan
Pada dasarnya, karena operator kuantum bekerja secara serial, maka dua pengukuran
atau lebih hanya dapat dilakukan secara berurutan, dan tidak dapat dilakukan secara
serentak. Akan tetapi, selang waktu antarpengukuran dapat dibuat sangat singkat sehingga keadaan sistem belum banyak berubah dan pengukuran dua besaran atau lebih
dapat dianggap serentak.
Ketidakpastian dari dua pengukuran serentak Q̂1 dan Q̂2 diberikan oleh
∆Q̂1 ∆Q̂2 ≥
i
1 h
h Q̂1 , Q̂2 i .
2
(2.21)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
2.4 Pengukuran Serentak dan Berurutan
16
h
i
Pada fisika klasik, selalu didapatkan Q̂1 , Q̂2 (karena operator Q̂ merupakan skalar)
sehingga ∆Q̂1 ∆Q̂2 = 0. Dengan demikian, dalam fisika klasik dua pengukuran dapat
dilakukan tanpa ketidakpastian (kecuali ketidakpastian yang disebabkan karena kekurangan pada alat atau pengukur).
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Bab 3
Persamaan Schrödinger
Dinamika sisten kuantum dinyatakan oleh persamaan Schrödinger, yang merupakan persamaan gerak untuk Ψ(~r, t),
ĤΨ(~r, t) = i~
∂Ψ(~r, t)
,
∂t
(3.1)
dengan Ĥ adalah operator energi total. Pada fisika klasik telah diketahui bahwa energi total adalah jumlah dari energi kinetik (K =
1
2
2 mv
=
p2
2m )
dan energi potensial
(V = V (~r, t)). Dengan menuliskan besaran momentum p dan potensial V dalam bentuk
operator, diperoleh operator energi total
2
~
−i~∇
Ĥ =
+ V̂ (~r, t)
2m
~2 2
=−
∇ + V̂ (~r, t),
2m
(3.2)
dengan V̂ adalah operator energi potensial. Dengan demikian, persamaan Schrödinger
dituliskan sebagai
∂Ψ(~r, t)
~2 2
∇ + V̂ (~r, t) Ψ(~r, t) = i~
.
−
2m
∂t
(3.3)
Dengan diketahuinya V̂ , akan diperoleh solusi persamaan diferensial untuk Ψ yang
menggambarkan dinamika sistem kuantum.
3.1
Arus Rapat Probabilitas
Rapat probabilitas menemukan partikel di titik x pada saat t adalah
P (x, t) = |Ψ(x, t)|2 .
Maka rapat probabilitas menemukan partikel pada daerah a ≤ x ≤ b adalah
Z b
P (a ≤ x ≤ b, t) ≡
P (x, t)dx ≤ 1.
a
17
(3.4)
(3.5)
3.2 Kasus Stasioner
18
Sehingga, perubahan P terhadap t dapat dinyatakan sebagai
Z
d b
d
P (x, t)dx
[P (a ≤ x ≤ b, t)] =
dt
dt a
Z
d b ∗
=
Ψ (x, t)Ψ(x, t)dx
dt a
Z b ∗
dΨ (x, t)
dΨ(x, t)
∗
=
dx.
Ψ(x, t) + Ψ (x, t)
dt
dt
a
(3.6)
Dengan mengingat kembali persamaan Sechrödinger satu dimensi untuk partikel bebas
(V = 0),
∂Ψ
i~ ∂ 2 Ψ
=
∂t
2m ∂x2
dan
∂Ψ∗
i~ ∂ 2 Ψ∗
=−
,
∂t
2m ∂x2
(3.7)
serta memperhatikan
2
| dΨ
dx |
{
z }|
2
2
dΨ 2
dΨ∗ dΨ
d
d
∗ dΨ
∗d Ψ
∗d Ψ
∗ dΨ
,
Ψ
=
+Ψ
⇒Ψ
=
Ψ
− dx
dx
dx dx
dx2
dx2
dx
dx
dx (3.8)
2
| dΨ
dx |
z }| {
∗ 2
∗
dΨ 2
d Ψ
dΨ∗ dΨ
d2 Ψ∗
d
dΨ∗
d dΨ
,
Ψ =
Ψ+
⇒Ψ
=
Ψ
−
dx dx
dx2
dx dx
dx2
dx
dx
dx (3.9)
maka arus probabilitas dapat dituliskan sebagai
Z b
d
i~ ∂ 2 Ψ∗
i~ ∂ 2 Ψ ∗
Ψ+
Ψ dx
[P (a ≤ x ≤ b, t)] =
−
dt
2m ∂x2
2m ∂x2
a
2 !
Z b
dΨ 2
d
i~
dΨ∗
dΨ
dΨ
d
+
dx
−
=
Ψ
+ Ψ∗
− 2m a
dx
dx
dx
dx
dx
dx Z b d
dΨ∗
i~
d
∗ dΨ
Ψ
−
Ψ
dx
=
2m a dx
dx
dx
dx
i~
dΨ∗ b
∗ dΨ
=
Ψ
−Ψ
.
(3.10)
2m
dx
dx x=a
Akhirnya, secara umum didefinisikan besaran rapat arus probabilitas sebagai
dP (x, t)
i~
dΨ(x, t)
dΨ∗ (x, t)
∗
j(x, t) ≡
=
Ψ (x, t)
− Ψ(x, t)
.
dt
2m
dx
dx
definisi
(3.11)
rapat arus
probabilitas
3.2
Kasus Stasioner
Pada kasus gelombang y(x, t) = A sin(kx − ωt), gelombang berdiri/stasioner dinyatakan
oleh fungsi y(x, t) = A sin kx cos ωt. Terlihat bahwa fungsi gelombang dapat dipisahkan
(separable) menurut variabel-variabel yang menyusunnya. Dengan demikian, kasus stasioner pada kuantum digambarkan oleh
Ψ(~r, t) = ψ(~r)T (t).
(3.12)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.3 Partikel Bebas
19
Substitusi persamaan ini ke persamaan Schrödinger menghasilkan
~2 2
∂T (t)
T (t) −
∇ + V̂ (~r, t) ψ(~r) = i~ψ(~r)
2m
∂t
2
1
i~ ∂T (t)
~
∇2 ψ(~r) + V (~r)ψ(~r)
=
.
⇔ −
2m
ψ(~r)
T (t) ∂t
(3.13)
Terlihat bahwa ruas kiri dari persamaan di atas hanya merupakan fungsi dari posisi sedangkan ruas kanannya hanya fungsi dari waktu. Sehingga kedua ruas haruslah bernilai
konstan, misal E, dengan dimensi energi. Sehingga diperoleh dua persamaan terpisah,
~2 2
∇ ψ(~r) + V (~r)ψ(~r) = Eψ(~r),
2m
dT
i
= − T (t)E ⇒ T (t) ∝ e−iEt/~ .
dt
~
−
(3.14)
(3.15)
Sehingga solusi persamaan Schrödinger ditulis sebagai Ψ(~r, t) = ψ(~r)e−iEt/~ , dengan
ψ(~r) akan ditentukan oleh V (~r).
3.3
Partikel Bebas
Pada partikel bebas adalah partikel yang berada pada daerah dengan potensial V = 0.
Untuk kasus ini, persamaan Schrödinger bebas waktu menjadi berbentuk
−
~2 d2 ψ(x)
= Eψ(x)
2m dx2
⇒
d2 ψ(x)
2mE
= − 2 ψ(x).
2
dx
~
(3.16)
Solusi persamaan diferensial tersebut adalah ψ(x) ∝ eλx dengan λ2 = − 2mE
atau λ1,2 =
~2
q
±i 2mE
. Sehingga solusi umum persamaan Schrödinger untuk partikel bebas ini adalah
~2
q
i
ψ(x) = Ae
2mE
x
~2
q
−i
+ Be
2mE
x
~2
r
= A (cos kx + i sin kx) + B (cos kx − i sin kx) ;
k≡
2mE
~2
= (A + B) cos kx + i(A − B) sin kx
(3.17)
= C cos kx + D sin kx.
Karena tidak ada syarat batas apapun, nilai kn dapat bernilai berapapun (asal riil dan
berhingga), sehingga energi E pun dapat bernilai berapapun (riil dan berhingga).
3.4
Partikel dalam kotak potensial takhingga (1 dimensi).
Sebuah partikel berada dalam daerah dengan potensial

 0, − L ≤ x ≤
2
V (x) =
 ∞, lainnya.
L
2
(3.18)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.4 Partikel dalam kotak potensial takhingga (1 dimensi).
Pada daerah x < − L2 dan x >
L
2,
20
nilai potensial menuju takhingga sehingga persamaan
Schrödinger untuk daerah ini adalah
~2 d 2
+ V ψ(x) ≈ lim V ψ(x) = Eψ(x).
lim −
V →∞
V →∞
2m dx2
(3.19)
Karena nilai E berhingga, maka haruslah ψ(x) = 0.
Pada daerah − L2 < x <
L
2,
V = 0 sehingga persamaan Schrödinger untuk daerah ini
adalah
−
~2 d2 ψ(x)
= Eψ(x)
2m dx2
⇒
d2 ψ(x)
2mE
= − 2 ψ(x).
2
dx
~
(3.20)
Serupa dengan kasus partikel bebas, solusi umum persamaan Schrödinger untuk daerah
dalam kotak potensial ini adalah
q
i
ψ(x) = Ae
2mE
x
~2
q
−i
+ Be
2mE
x
~2
(3.21)
= C cos kx + D sin kx.
Selanjutnya, diterapkan syarat batas kesinambungan fungsi gelombang pada titik batas
x = − L2 dan x = L2 , bahwa ψ − L2 = ψ L2 = 0 sebagai berikut
L
kL
kL
ψ −
= C cos
− D sin
=0
(3.22)
2
2
2
L
kL
kL
ψ
= C cos
+ D sin
= 0.
(3.23)
2
2
2
Sehingga, dapat dipilh dua kasus khusus:
• C = 0 dan D 6= 0, sehingga sin ± kL
= 0 atau k =
2
2nπ
L ,
• C 6= 0 dan D = 0, sehingga cos ± kL
= 0 atau k =
2
(2n−1)π
,
L
dengan n = 1, 2, 3, . . ..
dengan n = 1, 2, 3, . . ..
Dengan demikian, solusi lengkap persamaan Schrödinger terdiri atas solusi ganjil (berupa fungsi cos yang genap) dan solusi genap (berupa fungsi sin yang ganjil) sebagai
berikut

 C cos (k x) , n ganjil,
n
ψ(x) =
 D sin (kn x) , n genap.
(3.24)
Lalu berdasarkan nilai k yang diperoleh di atas, didapatkan nilai eigen energi
E=
π 2 ~2 2
n ,
mL2
nilai eigen
energi
n = 1, 2, 3, . . .
(3.25)
partikel
Nilai konstanta C dan D diperoleh dari normalisasi fungsi gelombang ψ(x) sebagai dalam
kotak
potensial
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.5 Partikel dalam Sumur Potensial Berhingga
21
berikut
Z
∞
2
Z
|ψ(x)| =
1=
L
2
−L
2
−∞
|C|2
=
kn
|C|2 cos2 (kn x) dx
L
2
cos (2kn x) + 1
d (kn x)
2
−L
2
L
2
|C|2 sin (2kn x)
=
+ kn x 2kn
2kn
−L
Z
2
2L
= |C|
Sehingga diperoleh C =
3.5
q
2
L.
2
(3.26)
.
Dengan cara yang sama diperoleh pula D =
q
2
L.
Partikel dalam Sumur Potensial Berhingga
Sebuah partikel berada dalam daerah dengan potensial

 −V , − L ≤ x ≤
0
2
V (x) =
 0,
lainnya.
L
2
(3.27)
Untuk kasus energi partikel −V0 < E < 0, penerapan syarat batas pada persamaan
Schrödinger bebas waktu untuk partikel ini adalah:
• pada x < − L2 dan x > − L2 , V (x) = 0 sehingga,
~2 d2 ψ(x)
= −Eψ ⇒ ψ(x) = C1 eKx + D1 e−Kx , dengan K =
−
2m dx2
r
2mE
. (3.28)
~2
Karena pada x → −∞ harus berlaku ψ(x) → 0, maka haruslah D1 = 0 sehingga
ψ(x) = C1 eKx .
• pada − L2 < x <
−
L
2.
V (x) = −V0 sehingga,
~2 d2 ψ(x)
d2 ψ(x)
2m (V0 − E)
− V0 ψ(x) = −Eψ(x) ⇒
=−
ψ(x).
2
2m dx
dx2
~2
(3.29)
Karena E < q
V , maka solusi persamaan tersebut adalah ψ(x) = A cos qx + B sin qx,
dengan q = 2m(V~02−E) .
• pada x > − L2 , V (x) = 0 sehingga diperoleh hasil mirip pada x < − L2 namun
dengan menerapkan syarat limx→∞ ψ(x) = 0, yaitu ψ(x) = D2 e−Kx .
Dengan dengan demikian, diperoleh solusi lengkap

Kx

x < − L2

 C1 e ,
A cos qx + B sin qx, − L2 < x <
ψ(x) =



D2 e−Kx ,
x>
L
2
(3.30)
L
2.
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.6 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Tangga
22
Tetapan-tetapan yang ada pada solusi di atas ditentukan dengan menerapkan syarat
batas keinambungan fungsi dan turunanya pada daerah x = ± L2 = ±a.
• pada x = −a:
C1 e−Ka = A cos qa − B sin qa
(3.31)
C1 Ke−Ka = q (A sin qa + B cos qa) .
(3.32)
• pada x = a
D2 e−Ka = A cos qa + B sin qa
(3.33)
−D2 Ke−Ka = q (−A cos qa + B sin qa) .
(3.34)
Dengan membagi persamaan (3.32) dengan (3.31) serta (3.34) dengan (3.33), diperoleh
K=
q (A sin qa + B cos qa)
q (−A sin qa + B cos qa)
=−
.
A cos qa − B sin qa
A cos qa + B cos qa
(3.35)
Dengan menyelesaikan persamaan terakhir, akan diperoleh
AB = −AB.
(3.36)
Jadi, salah satu dari A dan B haruslah bernilai nol. Jika keduanya bernilai nol, maka
akan diperoleh ψ(x) = 0 di daerah (−a, a), dan ini tidak boleh terjadi.
Dengan demikian, solusi untuk daerah (−a, a) adalah ψ(x) = A cos qa atau ψ(x) =
B sin qa. Substitusi hasil ini ke persamaan (3.35) akan menghasilkan K = q tan qa dan
2
2mV0 a
K=−
√y=
qcot qa. Dengan memperkenalkan sebuah tetapan λ = ~2 dan menuliskan
λ−y 2
qa = 2m(V~02−E) a, maka untuk kedua solusi di atas dapat dituliskan tan y = Kq =
y
√
λ−y 2
dan − cot y =
. Selanjutnya, solusi untuk nilai y ditentukan dengan metode grafik
y
(lihat gambar 3.1).
3.6
Partikel dalam Daerah dengan Potensial Tangga
Suatu partikel berada pada daerah dengan potensial

 0, x < 0
V (x) =
 V0 , x ≥ 0.
(3.37)
Solusi persamaan Schrödinger bebas waktu untuk kasus ini adalah

q
 Aeikx + Be−ikx , x < 0, k = 2mE
2
q~
ψ(x) =
2m(V0 −E)
 De−Kx ,
x ≥ 0, K =
.
(3.38)
~2
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.6 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Tangga
√
Gambar 3.1 Grafik tan y =
λ−y 2
y
23
√
(atas) dan − cot y =
λ−y 2
y
(bawah). Pada kedua grafik di
atas, tan y dan − cot y sama-sama naik. Titik-titik potong pada kedua grafik di atas
menyatakan nilai eigen diskrit untuk q (yang berkaitan dengan E).
Penerapan syarat batas pada x = 0 menghasilkan
A + B = D dan ik (A − B) = −KD.
Dari persamaan tersebut, diperoleh
menghasilkan
D
A
B
A
(3.39)
ik+K
ik−K .
Substitusi hasil ini ke persamaan (3.39)
2
2k
(dan D 2 ) menyatakan probabilitas
= k+iK
. Selanjutnya, nilai B
A
A
=
partikel pantul (dan transmisi), dan disebut koefisien reflektansi (dan koefisien transmisi).
Dengan demikian, solusi lengkap untuk kasus potensial tangga adalah
q
 h
i
 A eikx + k−iK e−ikx , x < 0, k = 2mE
2
k+iK
q~
ψ(x) =
 A 2k e−Kx ,
x ≥ 0, K = 2m(V~02−E) .
k+iK
Lalu, probabilitas partikel pantul untuk kasus ini adalah
ψpantul (x)2 = A∗ k + iK eikx . A k − iK e−ikx = |A|2 .
k − iK
k + iK
(3.40)
(3.41)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang
24
Sedangkan probabilitas gelombang transmisinya
2k
2k
4k 2
2
−Kx
−Kx
∗
e
.A
e
=
|A|2 e−2Kx .
|ψtransmisi (x)| = A
k − iK
k + iK
k2 + K 2
(3.42)
Terlihat bahwa limx→∞ |ψtransmisi (x)|2 = 0. Selanjutnya, arus probabilitas pada tiap daerah adalah:
• pada x < 0
i ~k
i~ h 2
|A| ik − |A|2 (ik) =
|A|2 ,
2m
m
~k
=−
|A|2 .
2m
jdatang = −
(3.43)
jpantul
(3.44)
• pada x ≥ 0
(3.45)
jtransmisi = 0.
Lalu, bagaimanakah jadinya jika E > V0 ? Solusi umum untuk kasus ini akan berupa

q
 Aeikx + Be−ikx ,
x < 0, k = 2mE
2
q~
ψ(x) =
(3.46)
2m(E−V
 CeiKx + De−iKx , x ≥ 0, K =
0)
.
2
~
Untuk partikel yang datang dari arah kanan ke kiri, diperoleh D = 0. Lalu dengan
menerapkan syarat batas seperti sebelumnya, akan diperoleh
q
 h
i
 A eikx + k−K e−ikx , x < 0, k = 2mE
2
k+K
q~
ψE (x) =
0)
 A 2k eiKx ,
x ≥ 0, K = 2m(E−V
.
k+K
~2
Lalu, dengan menuliskan amplitudo probabilitas pantul ρ ≡
tas transmisi τ ≡
D
A,
B
A
dan amplitudo probabili-
diperoleh probabilitas pantul dan transmisi sebagai berikut:
k − K 2
jpantul 6= 0,
|ρ| = ≡R=
k +K
jdatang jtransmisi 4kK
2
6= 0.
|τ | =
≡ T = jdatang (k + K)2
2
3.7
(3.47)
(3.48)
(3.49)
Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang
Suatu partikel berada pada daerah dengan potensial penghalang berbentuk

 V , 0≤x≤L
0
V (x) =
 0, lainnya.
(3.50)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.7 Partikel dalam Daerah dengan Potensial Penghalang
25
Solusi umum persamaan Schrödinger untuk kasus ini adalah
ψ(x) =
dengan k =
q
2mE
~2
dan K =

ikx
−ikx ,


 Ae + Be
x<0



x > L,
Ce−Kx + DeKx , 0 ≤ x ≤ L
q
Eeikx + F e−ikx ,
2m(V0 −E)
.
~2
(3.51)
Jika dianggap partikel bergerak dari kiri ke
kanan (dan tidak ada partikel yang bergerak dari kanan ke kiri), diperoleh F = 0. Lalu
dengan menerapkan syarat kesinambungan fungsi dan turunannya di x = 0 dan x = L,
diperoleh
A + B = C + D,
ik (A − B) = K (−C + D) ,
Ce−KL + DeKL = EeiKL
K −Ce−KL + DeKL = ikEeikL .
(3.52)
(3.53)
(3.54)
(3.55)
Jumlah dari persamaan (3.52) dan (3.53) serta (3.54) dan (3.55) akan menghasilkan
2ikA = C(ik − K) + D(ik + K),
2KDeKL = (K + ik) EeikL
(3.56)
(3.57)
Selisih persamaan (3.54) yang dikalikan dengan K dengan persamaan (3.55) adalah
C=
K − ik (ik+K)L
e
E.
2K
(3.58)
Substitusi (3.57) dan (3.58) ke (3.56) memberikan
E
4ikK
=
2 (ik+K)L
A
− (K − ik) e
+ (K + ik)2 e(ik−K)L
4ikKe−ikL
=
(K + ik)2 e−KL − (K − ik)2 eKL
4ikKe−ikL
=
(K 2 − k 2 + 2iKk) e−KL − (K 2 − k 2 − 2iKk) eKL
4ikKe−ikL
=
(K 2 − k 2 ) (e−KL − eKL ) + 2iKk (e−KL + eKL )
2ikKe−ikL
=
.
(K 2 − k 2 ) sinh KL + 2iKk cosh KL
(3.59)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.8 Osilator Harmonik
26
Dengan demikian, diperoleh koefisien transmitansi
2 ∗
E E E 2
|τ | = = A
A A
=
=
=
=
(2kK)2
(K 2 − k 2 )2 sinh2 KL + 4K 2 k 2 cosh2 KL
2K 2 k 2
(2kK)2
cosh2 KL − sinh2 KL + 2K 2 k 2 cosh2 KL + (K 4 + k 4 ) sinh2 KL
2K 2 k 2 + 2K 2 k 2
(2kK)2
1 + sinh2 KL + (K 4 + k 4 ) sinh2 KL
(2kK)2
(2Kk)2 + (K 2 + k 2 )2 sinh2 KL
(3.60)
,
(ingat bahwa cosh2 x − sinh2 x = 1). Terlihat bahwa nilai KL yang kecil, akan menyebabkan semakin besar kemungkinan partikel menembus potensial penghalang (T → 1).
3.8
Osilator Harmonik
Fungsi potensial untuk kasus osilator harmonik berbentuk V (x) = 21 kx2 , sehingga persamaan Schrödinger untuk kasus ini berbentuk
−
~2 d2 ψ(x) 1 2
+ kx ψ(x) = Eψ(x).
2m dx2
2
Solusi persamaan tersebut diambil berbentuk ψ(x) ∝ φ(x)e−
x2
2
(3.61)
dengan φ(x) memenuhi
persamaan diferensial Hermite
d2 φ
dφ
− 2x
+ (λ − 1) φ = 0,
2
dx
dx
(3.62)
dengan nilai λ berkaitan dengan energi menurut E = 12 λ~ω. Solusi untuk φ(x) ditenP
k+α , dengan α tetapan yang
tukan melalui metode Frobenius. Misal φ(x) = ∞
k=0 ak x
akan dicari kemudian. Selanjutnya, diperoleh turunan pertama dan kedua dari φ(x)
terhadap x sebagai berikut:
φ0 (x) =
φ00 (x) =
∞
X
k=0
∞
X
ak (k + α) xk+α−1
(3.63)
ak (k + α) (k + α − 1) xk+α−2 .
(3.64)
k=0
Dengan demikian, persamaan Hermite dapat dituliskan menjadi
∞ n
o
X
(k + α) (k + α − 1) ak xk+α−2 − [2 (k + α) − (λ − 1)] ak xk+α = 0.
(3.65)
k=0
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.8 Osilator Harmonik
27
Untuk suku pertama (k = 0), diperoleh persamaan
α (α − 1) a0 xα−2 − (2α − λ + 1) a0 xα = 0,
(3.66)
yang hanya akan dipenuhi jika α = 0 atau α = 1 dan 2α − λ + 1 = 0. Lalu untuk
memudahkan diambil solusi α = 0, sehingga persamaan Hermite menjadi
∞ n
o
X
k (k − 1) ak xk−2 − [2k − (λ − 1)] ak xk = 0.
(3.67)
k=0
Persamaan tersebut akan berlaku jika koefisien dari setiap suku dalam deret tersebut
bernilai nol,
suku x−2 : a0 .0(0 − 1) = 0 ⇒ a0 = tetapan sembarang,
suku x−1 : a1 .1(1 − 1) = 0 ⇒ a1 = tetapan sembarang,
suku x0 :
suku x1 :
suku x2 :
1−λ
a0
2
2 − (λ − 1)
a1
a3 .3(3 − 1) − a1 (2 − λ + 1) = 0 ⇒ a3 =
3.2
2.2 − (λ − 1)
a2
a4 .4(4 − 1) − a2 (2.2 − λ + 1) = 0 ⇒ a4 =
4.3
a2 .2(2 − 1) − a0 (0 − λ + 1) = 0 ⇒ a2 =
...
atau didapat rumus rekursif,
ak+2 =
2k − (λ − 1)
ak .
(k + 2) (k + 1)
(3.68)
Dengan demikian φ(x) merupakan jumlah dari solusi ganjil (k ganjil) dan genap (k
genap).
Selanjutnya dilakukan uji konvergensi dari solusi ψ(x) ∝ φ(x)x−
2
− x2
0 (artinya e
x2
2
. Karena limx→∞ e−
konvergen), maka konvergensi dari ψ(x) hanya ditentukan oleh φ(x). Uji
perbandingan (ratio test) terhadap φ(x):
• pada k → ∞:
ak+2 xk+2
2k − (λ − 1) 2
= lim
x = 0,
k
k→∞
k→∞ (k + 2) (k + 1)
ak x
lim
(3.69)
Jadi φ(x) pada kasus ini konvergen untuk semua x.
• pada k >> λ:
ak+2 xk+2
2k − (λ − 1) 2 2x2
=
lim
x ≈
.
k>>λ
k>>λ (k + 2) (k + 1)
k
ak xk
lim
(3.70)
Untuk menentukan konvergensi pada kasus ini, dipilih deret yang sifat konverP
2
2
2
xk
gensinya mirip dengan 2xk , yaitu ex (sebab ex = ∞
k=0 ( k )! , dengan k genap).
2
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
x2
2
=
3.8 Osilator Harmonik
28
Bukti untuk kemiripan sifat konvergensi kedua fungsi diberikan melalui uji per2
bandingan untuk ex sebagai berikut.
xk+2
ak+2 xk+2
xk
Un+1
=
÷
≈
=
k+2
k
Un
ak xk
2 !
2 !
sehingga limk>>λ
Un+1
Un
≈
2x2
k .
Jadi, ψ(x) = φ(x)e−
x2
2
x2
,
k
2 +1
2
≈ ex e−
x2
2
(3.71)
=e
x2
2
. Dengan
demikian ψ(x) bersifat divergen dan tidak dapat berperan sebagai fungsi gelombang.
Agar ψ(x) konvergen, φ(x) dibuat konvergen dengan cara memotong nilai k hanya
sampai nilai tertentu (berhingga). Dengan mengambil pangkat tertinggi pada deret untuk φ(x) sebagai k, maka ak+2 = ak+4 = . . . = 0. Lalu, berdasarkan persamaan (3.68)
diperoleh λ = 2k + 1, sehingga akhirnya diperoleh nilai energi dari osilator harmonik
berbentuk
1
E = λ~ω =
2
1
k+
2
(3.72)
~ω.
Solusi lengkap dari persamaan Schrödinger bebas waktu untuk kasus osilator harmonik adalah berbentuk
ψ(x) = An ψ(x)e−
x2
2
(3.73)
,
dengan An adalah amplitudo (tetapan) yang diperoleh melalui normalisasi fungsi gelombang. Secara umum, fungsi Hermite φ(x) dapat dituliskan sebagai Hn (x) yang memenuhi
persamaan diferensial Hermite bentuk
dHn (x)
d2 Hn (x)
− 2x
+ 2nHn (x) = 0.
2
dx
dx
(3.74)
Selanjutnya, persamaan gelombang dapat dituliskan sebagai ψ(x) = An Hn (x)e−
malisasi fungsi gelombang menghendaki
Z ∞
Z
∗
∗
ψm (x)ψn (x)dx = Am An
−∞
∞
−∞
2
∗
Hm
(x)Hn (x)e−x = δmn .
x2
2
. Nor-
(3.75)
Fungsi pembangkit untuk fungsi Hermite berbentuk
2
g(x, h) = e2xh−h =
∞
X
Hn (x)
n=0
hn
,
n!
(3.76)
dengan h sebuah parameter. Dengan memanfaatkan fungsi pembangkit tersebut, dapat
diperoleh
2
e−x g 2 (x, h) = e−(x−2h)
2
+2h2
=
XX
n
m
2
e−x Hm Hn
hm+n
.
m!n!
(3.77)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.8 Osilator Harmonik
29
Integrasi persamaan tersebut pada selang (−∞, ∞) memberikan
XXZ ∞
R ∞ −(x−2h)2 +2h2
hm+n
−x2
e
H
H
dx
rrl
e
dx
=
m
n
−∞
m!n!
−∞
n m
X h2n Z ∞
2
2
2 R∞
⇔ e2h −∞ e−(x−2h) d (x − 2h) =
e−x Hn2 dx
2
−∞
n (n!)
Z ∞
2n
X
h
2
2√
⇔
e2h π
=
e−x Hn2 dx
2
−∞
n (n!)
Z
∞
X h2n
P (2h2 )n √
2
⇔
e−x Hn2 dx
π
=
n
n!
2
−∞
n (n!)
Z ∞
2n
X
P n 2n √
h
2
⇔
π
=
e−x Hn2 dx
n2 h
n! −∞
n
Sehingga diperoleh
Z
∞
−∞
√
2
e−x Hn2 dx = 2n n! π.
(3.78)
Substitusi hasil ini ke persamaan (3.75) memberikan
Z ∞
√ − 1
2
∗
An An
e−x Hn2 dx = 1 ⇒ An = 2n n! π 2 .
(3.79)
−∞
x2
iEt
Solusi total untuk kasus osilator harmonik adalah Ψ(x, t) = An Hn e− 2 e− ~ dengan
energi E = n + 12 ~ω. Heisenberg mempelajari kasus osilator harmonik ini dengan
menggunakan metode mekanika matriks, dan mendapatkan hasil yang sama. Heisenberg menyatakan fungsi gelombang sebagai vektor keadaan |ψn i, dan mendapatkan nilai
eigen energi dengan mengerjakan operator energi (Hamiltonian) yang dinyatakan dalam
operator kreasi dan anihilasi osilator harmonik.
Cara Heisenberg (Mekanika Matriks) untuk Osilator Harmonik
Definisikan operator energi osilator harmonik
Ĥ =
1 2 1 2
p̂ + kx̂ ,
2m
2
(3.80)
dengan p̂ dan x̂ masing-masing menyatakan operator momentum dan posisi (kedua operator tersebut memenuhi hubungan komutasi [x̂, p̂] = i~I, I adalah matriks identitas).
Jika Ĥ dikerjakan pada fungsi gelombang |ψE i akan diperoleh Ĥ |ψE i = E |ψE i.
Ambil ~ = k = m = 1 sehingga Ĥ = 21 p̂2 + x̂2 dan [x̂, p̂] = iI. Definisikan operator
i
â = √ (p̂ − ix̂)
2
i
dan ↠= √ (p̂ + ix̂) ,
2
(3.81)
sebagai operator anihilasi dan kreasi, serta
N̂ = ↠â
(3.82)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
3.8 Osilator Harmonik
30
sebagai operator jumlah (yang memenuhi N̂ |ni = n |ni). Hubungan komutasi antara
operator-operator di atas adalah
h
i
â, ↠= I,
h
i
N̂ , â = −â,
h
i
N̂ , ↠= ↠.
(3.83)
Operator energi dapat dinyatakan sebagai
Ĥ =
1n
o
1 †
ââ + ↠â ≡
â, ↠,
2
2
(3.84)
(notasi {A, B} ≡ AB + BA disebut antikomutasi). Dengan memanfaatkan hubungan
komutasi antar operator di atas dan definisi operator jumlah, operator energi dapat dituliskan sebagai
i
1 h
I + ↠â + ↠â
2
1
I + 2N̂
=
2
I
= N̂ + .
2
Ĥ =
(3.85)
Dengan hubungan terakhir ini, dapat diperoleh fakta bahwa operator energi dan jumlah
saling linear dan saling komut, sehingga keduanya dapat memiliki vektor eigen yang
sama (|ψE i = |ni). Selanjutnya, diperoleh
I
Ĥ |ψE i = N̂ +
|ni
2
1
⇔ E |ψE i = n +
|ni ,
2
atau
1
En = n + .
2
(3.86)
Hasil ini sama persis dengan persamaan (3.72).
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Bab 4
Atom Hidrogen
4.1
Postulat Bohr tentang Atom Hidrogen
Teori kuantum telah berhasil membuktikan postulat Planck tentang osilator harmonik.
Pada bagian ini, akan diberikan pembuktianteori kuantum untuk postulat Bohr tentang
atom hidrogen (bahwa tingkat-tingkat energi atom H adalah En = − 13,6
eV).
n2
Menurut postulat Bohr, elektron dalam atom hidrogen mengelilingi inti atom (proton) pada orbit stasioner berbentuk lingkaran (misal dengan jejari a). Pada orbit elektron, gaya Coulumb berperan sebagai gaya sentripetal, sehingga berlaku
1 Ze2
mv 2
=
4πε0 a2
a
⇒ mv 2 =
1 Ze2
.
4πε0 a
(4.1)
Sehingga energi kinetik elektron adalah
1
1 Ze2
K = mv 2 =
.
2
8πε0 a
(4.2)
Postulat Bohr: keadaan stasioner sistem dikarakterisasi oleh momentum sudut
pφ = mva = n~,
n = 1, 2, 3, . . . .
Berdasarkan postulat tersebut, diperoleh v =
n~
ma .
(4.3)
Substitusi nilai v tersebut ke per-
samaan gaya sentripetal menghasilkan
a=
4πε~2 2
n ≈ 0, 528n2 Å.
mZe2
(4.4)
Lalu, diperoleh energi total elektron
E =K +V
1
1 Ze2
= mv 2 −
2
4πε0 a
1 Ze2
=−
8πε0 a
13, 6
= 2 eV.
n
31
(4.5)
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
4.2
32
Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
Atom hidrogen terdiri atas proton dan elektron. Misal posisi kedua partikel tersebut
menurut suatu kerangka koordinat (kerangka lab) masing-masing ~r1 dan ~r2 . Operator
energi (Hamiltonian) untuk sistem ini adalah
p̂2
1
e2
p̂21
+ 2 −
2m1 2m2 4πε0 |~r1 − ~r2 |
~2 ~ 2
1
e2
~2 ~ 2
∇1 −
∇2 −
=−
.
2m1
2m2
4πε0 |~r1 − ~r2 |
Ĥ =
(4.6)
Sehingga persamaan Schrödinger dituliskan sebagai
−
~2 ~ 2
~2 ~ 2
1
e2
∇1 Ψ −
∇2 Ψ −
Ψ = Etotal Ψ.
2m1
2m2
4πε0 |~r1 − ~r2 |
(4.7)
Persamaan diferensial di atas sulit untuk dipecahkan karena tercampurnya variabel posisi kedua partikel (~r1 dan vecr2 ). Agar lebih mudah dipecahkan, persamaan tersebut
~ dan relatif (~r = ~r1 − ~r2 ) sebagai
dituliskan dalam sistem koordinat pusat massa (R)
berikut:
m1~r1 + m2~r2
~
R(X,
Y, Z) =
m1 + m2
(4.8)
~r(x, y, z) = ~r1 − ~r2 .
(4.9)
Berdasarkan kedua hubungan tersebut, dapat diperoleh
m~r
m1
m~
~ − r,
~r2 = R
m2
~+
~r1 = R
dengan m ≡
m1 m2
m1 +m2
(4.10)
(4.11)
adalah massa tereduksi. Lalu, operator diferensial juga dinyatakan
dalam koordinat pusat massa. Dalam koordinat lab, operator diferensial dinyatakan
sebagai
~ 1 = ~ex ∂ + ~ey ∂ + ~ez ∂
∇
1
1
1
∂x1
∂y1
∂z1
~ 2 = ~ex ∂ + ~ey ∂ + ~ez ∂ .
∇
2
2
2
∂x2
∂y2
∂z2
(4.12)
(4.13)
Karena x1 , y1 , z1 dan x2 , y2 , z2 masing-masing merupakan fungsi dari X, Y , Z dan x, y,
z, yaitu menurut persamaan (4.8) dan (4.9), maka
∂
∂X ∂
∂Y ∂
∂Z ∂
∂x ∂
∂y ∂
∂z ∂
=
+
+
+
+
+
∂x1
∂x1 ∂X
∂x1 ∂Y
∂x1 ∂Z
∂x1 ∂x ∂x1 ∂y ∂x1 ∂z
m1
∂
∂
+0+0+
+0+0
=
m1 + m2 ∂X
∂x
=
m ∂
∂
+
.
m2 ∂X
∂x
(4.14)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
33
Dengan cara yang sama akan diperoleh
∂
∂y1
∂
∂z1
∂
∂x2
∂
∂y2
∂
∂z2
=
=
=
=
=
m ∂
∂
+
m2 ∂Y
∂y
m ∂
∂
+
m2 ∂Z
∂z
m ∂
∂
−
m1 ∂X
∂x
m ∂
∂
+
m1 ∂Y
∂y
m ∂
∂
+
.
m1 ∂Z
∂z
(4.15)
(4.16)
(4.17)
(4.18)
(4.19)
Sehingga secara keseluruhan diperoleh
~R+∇
~ r, ∇
~2
~1 = m ∇
∇
m2
=
m ~
~ r.
∇R − ∇
m1
(4.20)
Lalu,
0
∇21 =
m
m2
2
m
m2
2
m
m1
2
=
∇2 =
z }| {
m ~
2
2
~r
∇R + ∇r + 2
∇R · ∇
m2
∇2R + ∇2r ,
(4.21)
∇2R + ∇2r ,
(4.22)
~R·∇
~ r = 0 karena koordinat R dan r saling bebas.)
(∇
Selanjutnya, persamaal Schrödinger dituliskan sebagai
2
2
~2
~2
1 e2
m 2
m 2
2
2
~ ~r) = Etotal Ψ(R,
~ ~r)
−
∇ + ∇r −
∇ + ∇r −
Ψ(R,
2m1 m22 R
2m2 m21 R
4πε0 r
2
~
m2
m2
~2
1
1
1 e2
2
2
~ ~r) = Etotal Ψ(R,
~ ~r).
Ψ(R,
−
+
∇R −
+
∇r −
2 m1 m22 m21 m2
2 m1 m2
4πε0 r
(4.23)
Lalu, dengan mengingat definisi dari massa tereduksi m ≡
dapat diubah menjadi

m1 m2
m1 +m2 ,
persamaan terakhir

 ~2
~2 2
1 e2 
 ~

2
~ ~r),
∇R + −
∇r −
−
 Ψ(R, ~r) = Etotal Ψ(R,
2m
4πε
r
| 2M

0
{z } |
{z
}
EPM
(4.24)
Erel.
dengan M = m1 + m2 adalah massa total kedua partikel. Suku pertama pada ruas
kiri menyatakan operator energi menurut kerangka pusat massa (”PM”) sedangkan suku
kedua menyatakan operator energi menurut kerangka relatif.
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
34
Persamaan Schrödinger terakhir dapat diselesaikan dengan metode pemisahan (sep~ ~r) ≡ ρ(R)ψ(~
~
arasi) variabel. Anggap Ψ(R,
r) sehingga persamaan Schrödinger dituliskan
sebagai
~2 2
~2 2 ~
~
∇R ρ(R) + ρ(R) −
∇ ψ(~r) −
ψ(~r) −
2M
2m r
1
~2 2 ~
~2 2
1
−
−
∇R ρ(R) +
∇ ψ(~r) −
~
2M
ψ(~r)
2m r
ρ(R)
ψ(~r) e2
~ ~r) = Etotal ρ(R)ψ(~
~
Ψ(R,
r)
4πε0 r
ψ(~r) e2
~ ~r) = EPM + Erel. ,
Ψ(R,
4πε0 r
(4.25)
atau
~2 2 ~
−
∇ ρ(R) = EPM
2M R
~2 2
1
ψ(~r) e2
~ ~r) = Erel.
−
Ψ(R,
∇ ψ(~r) −
ψ(~r)
2m r
4πε0 r
1
~
ρ(R)
(4.26)
(4.27)
Solusi untuk ρ adalah
~ ·R
~
iP
~ ∝e
ρ(R)
,
r 2M E
PM
dengan P~ =
.
~2
(4.28)
Untuk mendapatkan solusi persamaan diferensial untuk ψ di atas, dilakukan separasi
variabel ψ(~r) = ψ(r, θ, φ) = R(r)Y(θ, φ) (digunakan koordinat bola). Operator Laplacian
dalam koordinat bola dinyatakan sebagai
1 ∂
∂
1
1 ∂
∂
1 ∂2
∇2 = 2
r2
+ 2
sin θ
+
.
r ∂r
∂r
r sin θ ∂θ
∂θ
sin2 θ ∂φ2
(4.29)
Sehingga, persamaan Schrödinger (4.27) dituliskan sebagai (untuk mempersingkat pe1
nulisan, selanjutnya digunakan satuan 4πε
= 1)
0
1 ∂
1
1 ∂
∂ψ
1 ∂2ψ
2m e2
2 ∂ψ
r
+
sin
θ
+
+
+
E
ψ=0
r2 ∂r
∂r
r2 sin θ ∂θ
∂θ
~2
r
sin2 θ ∂φ2
Y d
R
1 d
dY
1 d2 Y
2m e2
2 dR
r
+ 2
sin θ
+
+ 2
+ E RY = 0
⇔ 2
r dr
dr
r sin θ dθ
dθ
~
r
sin2 θ dφ2
Atau,
2m e2
1 d
dY
1 d2 Y
1 d
1
2 dR
2
r
+ 2
+E r R =−
sin θ
+
R dr
dr
~
r
Y sin θ dθ
dθ
sin2 θ dφ2
(4.30)
Ruas kiri persamaan di atas hanya merupakan fungsi dari r sementara ruas kanan fungsi
dari θ dan φ saja. Dengan demikian, kedua ruas haruslah bernilai konstan. Ambil konstanta tersebut bernilai l(l + 1) dengan l = 0, 1, 2, 3, . . ., sehingga diperoleh
1 d
2m e2
l(l + 1)
2 dR
r
+
+E −
R=0
r2 dr
dr
~2
r
r2
1 d
dY
1 d2 Y
sin θ
+
= −l(l + 1)Y.
sin θ dθ
dθ
sin2 θ dφ2
(4.31)
(4.32)
Sehingga didapatkan persamaan radial dan sferis yang terpisah.
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
35
Persamaan radial
Dengan memisalkan u = rR, persamaa radial dapat dituliskan sebagai
2m e2
l(l + 1)
d2 u
+
u = 0.
+
E
−
dr2
~2
r
r2
(4.33)
Karena elektron dan proton saling terikat, maka ditinjau keadaan E < 0. Pada keadaan
asimtotik r sangat besar, persamaan tersebut tereduksi menjadi
d2 u
−2mE
u ≈ 0,
−
dr2
~2
(4.34)
dengan solusi
r
u ∝ exp −
!
−2mE
r ,
~2
(4.35)
(solusi negatif pada eksponensial dipilih agar limr→∞ u = 0). Sehingga solusi umum
untuk persamaan radial dapat dituliskan sebagai
r
u(r) = w(r) exp −
!
−2mE
r .
~2
Substitusi solusi ini ke (4.33) menghasilkan
r
2
d2 w
−2mE dw
me 2 l(l + 1)
w = 0.
−2
+
−
dr2
~2 dr
~2 r
r2
Anggap w ∝ rα , sehingga persamaan diatas dapat menjadi
r
2
−2mE α−1
me
α−2
α−1
α−2
α(α − 1)r
−2
αr
+
2r
− l(l + 1)r
= 0.
~2
~2
(4.36)
(4.37)
(4.38)
Dengan memperhatikan koefisien untuk suku rα−2 didapat α(α − 1) = l(l + 1) yang
berlaku jika α = l + 1 atau α = −l. Ambil solusi α = l + 1 > 0, sehingga secara umum w
dapat dinyatakan sebagai deret pangkat
w(r) =
∞
X
ak rk .
(4.39)
k=l+1
Substitusi nilai w tersebut ke persamaan (4.37) menghasilkan
"
#
r
2
∞
X
−2mE k−1
me
k−2
k−1
k−2
ak k(k − 1)r
−2
kr
+
2r
− l(l + 1)r
= 0. (4.40)
~2
~2
k=l+1
Dengan menggunakan teknik seperti pada penentuan solusi persamaan gelombang untuk
partikel pada kasus osilator harmonik (lihat kembali bagian 3.8), diperoleh persamaan
rekursif untuk koefisien ak sebagai berikut
q
2
2k −2mE
− 2me
~2
~2
ak+1 =
ak ,
k(k + 1) − l(l + 1)
dengan k > l.
(4.41)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
36
Pada k yang sangat besar, berlaku
ak+1
≈
ak
2
q
−2mE
~2
2
≈
k+1
q
−2mE
~2
k
(4.42)
.
q
Secara umum sifat dari fungsi w(r) akan setara dengan exp 2 −2mE
r
. Seperti pada
2
~
osilator harmonik, bukti kesamaan sifat konvergensi kedua fungsi diberikan melalui uji
perbandingan,
r
exp 2
−2mE
r
~2
!
=
q
k
X 2 −2mE
~2
k
(k + 1)!
|
{z
}
rk ,
(4.43)
ak
lalu
ak+1
=
ak
k
q
2 −2mE
2
~
2
=
2
(k + 2)!
q
÷
q
k
2 −2mE
2
~
(k + 1)!
−2mE
~2
k+2
q
≈
−2mE
~2
k
(4.44)
.
Sehingga, pada k → ∞ diperoleh
!
−2mE
u(r) = w(r) exp −
r
~2
!
!
r
r
−2mE
−2mE
≈ exp 2
r . exp −
r
~2
~2
!
r
−2mE
exp
r ,
~2
r
(4.45)
yang bersifat divergen untuk r → ∞. Agar konvergen, maka deret untuk w(r) diambil
hingga nilai k tertentu saja (berhingga). Sehingga,
(4.46)
ak+1 = ak+2 = . . . = 0.
Berdasarkan rumus rekursif untuk ak pada persamaan (4.41), diperoleh
r
−2mE 2me2
me4 1
2k
−
=
0
⇔
E
=
−
,
~2
~2
2~2 k 2
(4.47)
dengan k = l + 1, l + 2, ldots dan l = 0, 1, 2, . . .. Untuk atom hidrogen, karena massa
proton (m1 = mp ) jauh lebih besar dibanding massa elektron (m2 = me ≈
mp
2000 ),
massa
besarnya massa tereduksi akan mendekati massa elektron,
m=
mp me
≈ me .
mp + me
(4.48)
Sehingga, besar energi atom hidrogen yang diperoleh melalui perumusan teori kuantum
sama dengan model Bohr, Ek = − 13,6
eV.
k2
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
4.2 Teori Kuantum tentang Atom Hidrogen
37
Persamaan sferis
Dilakukan separasi variabel untuk fungsi harmonik sferis, Y(θ, phi) = P (θ)Φ(φ), sehingga persamaan sferis menghasilkan
dP
P d2 Φ
Φ d
sin θ
+
= −l(l + 1)P Φ,
sin θ dθ
dθ
sin2 θ dφ2
(4.49)
atau
1
d
dP
1 d2 Φ
sin θ
sin θ
+ l(l + 1) sin2 θ =
= m2 ,
P
dθ
dθ
Φ dφ2
(4.50)
dengan m konstanta (bukan massa terduksi!). Solusi untuk bagian φ adalah
Φ(φ) ∝ e±imφ ,
(4.51)
sedangkan bagian θ membentuk persamaan
dP
m2
1 d
sin θ
+ l (l + 1) −
θP = 0.
sin θ dθ
dθ
sin2
Dengan memisalkan µ = cos θ sehingga
d
dθ
=
dµ d
dθ dµ
(4.52)
d
= − sin θ dµ
, persamaan terakhir
dapat dituliskan sebagai
d
m2
2 dP
(1 − µ )
+ l(l + 1) −
P = 0.
dµ
dµ
1 − µ2
(4.53)
Solusi persamaan tersebut berupa associated Legendre function,
Plm (µ) =
(sin θ)m dl+m 2
(µ − 1)l .
2l l! dµl+m
Bentuk akhir dari fungsi harmonik sferis adalah
s
2l + 1 (l − m)! imφ
Y(θ, φ) = (−1)m
e Plm (cos θ).
4π (l + m)!
(4.54)
(4.55)
FI3104 Fisika Kuantum 1 • 2009
Daftar Pustaka
[1] S. Gasiorowicz, Quantum Physics, John Wiley and Sons, 1996.
[2] J. J. Sakurai, Modern Quantum Mechanics, Addison-Wesley, 1994.
38
Download