analisis pelaksanaan praktikum biologi dan upaya

advertisement
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
ANALISIS PELAKSANAAN PRAKTIKUM BIOLOGI DAN
UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN
PENALARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
DI SMA NEGERI 2 BINJAI
M.Yus Efendi, Dian Armanto, Asmin, [email protected]
Abstract
This Classroom Action Research (CAR) aims to find out: how
the effectiveness and students' response to the problem based
learning model in improving the understanding of mathematical
concepts and reasoning of students SMA Negeri 2 Binjai. This
CAR was conducted in two cycles with stages of planning,
action, observation and reflection. The method used to apply a
model of problem-based learning during the learning processing
class. The instrument was used the end of each test cycle I and
II, teacher observation sheet, student observation sheets and
student questionnaire responses to the implementation f problem
based learning. From 32 students there are 28 students
(87.50%) stated that students complete individually who scored
≥ 76 with an average of 80.56. Value of the class average is
79.25 with the level of exhaustiveness learn classical is planned
minimum is 85%. Effectiveness of problem-based learning
modelis designed to form small study groups consisting of 5-6
people is very good and effective in improving the
understanding of mathematical concepts and reasoning. 87% of
students responded positively and fun to the learning process,
91% of students claimed to give them the opportunity to think
and 84% found it easier to understand mathematical concepts
and develop reasoning through a problem-based learning.
Keywords: Problem-Based Learning, Understanding Concepts,
Mathematical Reasoning
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan
martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat di lihat dari filosofi
pendidikan yang intinya untuk mengaktualisasikan ketiga dimensi
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
105
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
kemanusiaan yang paling elementer, yakni: (1) afektif yang tercermin
pada kualitas keimanan dan ketaqwaan, etika dan estetika serta akhlak
mulia dan budi pekerti luhur; (2) kognitif yang tercermin pada
kapasitas berfikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu
pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; (3)
psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
keterampilan teknis dan kecakapan praktis (Depdiknas, 2005). Namun
pada tingkat praktis, permasalahan pendidikan yang terjadi
memperlihatkan berbagai kendala yang menghambat tercapainya
tujuan pendidikan seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari berbagai
hasil survey menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia
masih tergolong rendah (Tjalla, 2010). Perkiraan kelemahan siswa
Indonesia, antara lain sebagai berikut: a) Mengorganisasi dan
menyimpulkan informasi, membuat generalisasi dan memecahkan
masalah yang tidak rutin, b) Memecahkan berbagai macam rasio dan
masalah presentase, c) Menerapkan pengetahuannya untuk
menghubungkan konsep bilangan dan aljabar, d) Membuat
generalisasi model matematika secara aljabar, e) Mengaplikasikan
pengetahuannya pada geometri dalam masalah yang kompleks; dan f)
Menggunakan data dari berbagai sumber untuk memecahkan berbagai
masalah.
Ketidakmampuan siswa dalam memecahkan berbagai masalah,
serta menerapkan pengetahuannya dalam menghubungkan antar
konsep dalam matematika merupakan indikator lemahnya kondisi
pembelajaran matematika di sekolah. Dalam proses pembelajaran
matematika, kebiasaan membaca sambil berfikir dan bekerja sampai
dapat memahami informasi esensial dan strategis belum menjadi
kebiasaan siswa. Dalam hal ini dosis mekanistik masih terlampau
besar dan dosis penalaran masih terlampau kecil. Akibatnya
matematika belum menjadi “sekolah berfikir” bagi siswa. Selanjutnya
(Wahyudin, 1999: 244) mengatakan lebih jauh bahwa pada umumnya
para guru matematika hampir selalu menggunakan metoda ceramah
dan ekspositori. Para guru matematika jarang sekali bahkan tak pernah
menugaskan para siswanya untuk mempelajari materi baru sebelum
diajarkan oleh gurunya.(Wahyudin, 1999) juga mengatakan lebih
lanjut bahwa dalam penyampaian pengertian, definisi, rumus, teorema
para guru matematika sering kali tidak pernah mengajak siswa untuk
menganalisis secara mendalam tentang objek tersebut sehingga siswa
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
106
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
kurang mantap menguasainya. Akibatnya pemecahan masalah sebagai
fokus pembelajaran tak pernah dijamah sebagian besar guru apalagi
mengujicobakannya. Hal inilah yang membuat adanya anggapan
bahwa mempelajari matematika cukup hanya untuk dihafal saja tanpa
memberikan pengertian dan makna padanya. langkah-langkah untuk
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan pemahaman dan
penalaran matematika siswa terhadap pemecahan masalah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan
pembelajaran matematika sebagaimana yang di utarakan (Depdiknas,
2006). Bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan antara lain: 1) Menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika, 2) Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Selanjutnya (Amir, 2009:4) membiarkan siswa belajar pasif,
dengan pendekatan yang terpusat pada guru sulit untuk
memungkinkan siswa mengembangkan kecakapan berfikir, kecakapan
intra personal, kecakapan beradaptasi dengan baik. Oleh karena itu
diperlukan paradigma baru dalam pembelajaran matematika yang
bersifat konstruktif. Salah satu cara untuk kearah itu adalah dengan
menggunakan
pendekatan-pendekatan
dan
metode-metode
pembelajaran baru yang melibatkan siswa aktif secara mental dan
spiritual. Hal ini dapat dipahami untuk mengembangkan pemahaman
dan penalaran yang lebih kreatif dengan tujuan:
1.
Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat
mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru, seperti
yang di katakana oleh (Rianto, 2009) membangun pemahaman akan
lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi
memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa
melalui diskusi, saling bertanya dan saling menjelaskan.
2.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem). Dengan
mengajukan masalah
kontekstual, peserta didik secara bertahap di bimbing untuk
menguasai konsep matematika. (Depdiknas, 2006).
Dalam pembelajaran matematika di kelas XI Ilmu Sosial (IS)
SMA Negeri 2 Binjai dijumpai bahwa ada sebagaian siswa yang
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
107
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika
terutama yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari yang
memerlukan pemahaman konsep dan penalaran logis. Sebagai contoh
dari salah satu soal pada materi peluang:
Pada suatu tes berbentuk jawaban benar salah tersedia 5 item
soal. Jika Winda menjawab secara acak , berapa peluang ia mendapat
nilai benar 3 butir atau lebih?
Dari 32 orang siswa hanya 5 orang yang mampu menjawab soal
dengan benar, 12 orang tidak menjawab sama sekali, sementara 15
orang menjawab dengan jawaban yang salah. Data tersebut
menunjukkan betapa masih banyak siswa yang belum mampu
memahami konsep dan menggunakan penalaran dalam menyelesaikan
masalah kontekstual yang diberikan, berbagai kelemahan tersebut
antara lain dalam hal mengubah soal cerita menjadi sebuah model
matematika yang dapat diselesaikan. Dari data hasil pekerjaan siswa
terlihat
bahwa
siswa
belum
mampu
melakukan
interpretasi,translasidan ektrapolasi masalah yang diberikan, oleh
karena rendahnya pemahaman konsep siswa dalam memahami
masalah sehingga tidak mampu membangun penalaran untuk
membuat sebuah analogi yang telah ada dari bentuk contoh lain. Hal
ini merupakan bukti empirik dari temuan (Tjalla: 2010) yang
menyatakan bahwa “siswa Indonesia lemah dalam Menerapkan
pengetahuannya untuk menghubungkan konsep bilangan dan aljabar
serta membuat generalisasi model matematika secara aljabar”.
Berdasarkan hasil interview dan wawancara memberikan
gambaran tentang hal-hal yang menyebabkan kemampuan siswa
dalam memahami konsep dan menggunakan penalaran dalam
menyelesaikan masalah sangat rendah bahwa.Pertama siswa
beranggapan pada jurusan Ilmu Sosial tidak terlalu membutuhkan
kemampuan matematika yan mendalam.Kedua pada program studi
Ilmu Sosial sebagian siswa ternyata berusaha menjauhkan diri dari
matematika oleh karena tidak memiliki kemampuan dasar matematika
dalam halini konsep aljabar (perkalian, pembagian, penjumlahan dan
pengurangan).Ketiga guru memberikan materi pelajaran matematika
yang tidak mampu menarik perhatian siswa oleh karena model
penyampaian yangmonoton dan terkesan guru hanya belajar sendiri di
depan kelas. Keempat penilaian yang digunakan oleh guru mata
pelajaran selalu subjektif, tidak memberikan penghargaan kepada
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
108
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih sehingga memunculkan
sikap yang acuh kepada mata pelajaran matematika.
Kelima pemberian tugas secara berkelompok yang hanya
dikerjakan oleh satu atau dua orang saja, sehingga anggota kelompok
yang lain merasa tidak perlu belajar oleh karena penilaian diberikan
berdasarkan kelompok.Dalam menyikapi berbagai masalah yang
timbul dalam proses pembelajaran di sekolah, terutama yang berkaitan
dengan masalah peningkatan pemahaman konsep dan penalaran
matematika yang mengakibatkan rendahnya kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah kontekstual secara matematis. Perlu dicari
solusi untuk menemukan model dan teknik pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam belajar serta meningkatkan
kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika secara
logis.Diantara sekian banyaknya model pembelajaran kooperatif yang
disinyalir dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan
penalaran matematika salah satu diantaranya adalah model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning).Hal ini
didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Suhendra (2005) baha “pembelajaran berbasis masalah dalam
kelompok belajar kecil dan secara klasikal berpengaruh terhadap hasil
belajar siswa pada aspek kemampuan problem solving matematik dan
ketuntasan belajar klasikal siswa”. Berkaitan dengan penalaran,
Johnson (2003) mengatakan “dengan partisipan yang bervariasi dalam
tingkat ekonomi, usia, jenis kelamin dan latar belakang budaya
mengindikasikan bahwa tingkat penalaran, munculnya ide – ide baru
dan solusi lebih besar pada kelas pembelajaran berbasis masalah dari
pada kelas dengan pembelajaran individual”.
Salah satu bentuk model pembelajarankooperatif yang akan diuji
dampaknya terhadap peningkatan pemahaman konsep dan penalaran
matematika adalah model pembelajaran berbasis masalah. Pada model
pembelajaran berbasis masalah siswa dibagi kedalam beberapa
kelompok-kelompok belajar kecil yang terdiri dari 5-6 orang setiap
kelompok, semua anggota kelompok bersifat heterogen.Setiap
anggota kelompok memiliki tugasnya masing-masing dan
bertanggungjawab terhadap kelompoknya.Topik pembelajaran atau
masalah ditetapkan oleh guru, sedangkan tugas siswa menyelesaikan
masalah yang diberikan melalui kegiatan membaca, mengamati,
mendiskusikan, membuat laporan dan mempresentasekan hasil karya
kelompok secara bersama-sama untuk selanjutnya saling berbagi
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
109
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
dengan kelompok-kelompok lainnya.Disini guru mengajukan
masalah, membimbing dan memberikan petunjuk minimal kepada
siswa dalam memecahkan masalah. Adapun ciri - ciri Pembelajaran
Berbasis Masalah adalah: 1) Pengajuan Masalah atau Pertanyaan; 2)
Pengaturan Pembelajaran Berbasis Masalah berkisar pada masalah
atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat.
Menurut Arends (http://www.idonbiu.com/2009, diakses 17
Nopember 2010), pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah
memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Autentik: masalah harus lebih
berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada
prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.2) Jelas: masalah dirumuskan
dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa
yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. Menurut Arend
adapun langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sebagai
berikut: 1) Memberikan Orientasi tentang permasalahannya kepada
siswa. 2) mengorga -nisasikan siswa untuk meneliti; 3) Membantu
investigasi mandiri dan kelompok.; 4) Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya (artefak dan exhibit).5) Menganalisis dan
mengevaluasi proses mengatasi masalah. Pembelajaran dibagi ke dalam
lima fase, yang pelaksanaannya sesuai dengan sintak pembelajaran berbasis
masalah.
Fase 1, Guru memberikan Orientasi tentang masalah kepada
siswadiawali dengan Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang gunakan, dan memotivasi siswa agar
terlibat dalam mengatasi masalah-masalah.Menyajikan informasi,
mengaitkan materi dengan pengetahuan sebelumnya tentang
materiyang pernah dipelajari, serta aplikasi peluang dalam kehidupan
nyata.
Fase 2, Mengorganisikan siswa untuk meneliti dan membantu
siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan masalah yang
terdapat pada lembar aktivitas siswa di masing-masing kelompok
siswa diminta untuk membaca buku referensi untuk memahami
masalah yang diberikan.
Fase 3, Guru membantu investigasi mandiri dan kelompok.Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan
pelaksanaan percobaan dan penyelidikan untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan masalah
masing-masing kelompok. Pada fase ini guru meminta kepada semua
kelompok untuk membaca buku penuntun siswa serta menuliskan
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
110
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
jawaban hasil diskusi kelompok pada lembar jawaban lembar aktivitas
siswa. Tiap kelompok diminta untuk tetap displin dan bekerja sama
saling berbagi pengetahun kepada semua anggota kelompok masing masing, setiap anggota dalam kelompok diminta untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh ketua kelompok semua anggota kelompok
diingatkan untuk dapat memahami konsep yang sedang dibahas secara
bersama. Sekretaris kelompok dibantu oleh anggota kelompok
membuat catatan-catatan kecil sebagai bahan untuk dipresentasekan di
depan kelas. Setiap kelompok diminta untuk membuat kesimpulan
dengan mengemukakan aspek penalaran analogi dari hasil percobaan.
Fase ke 4, pada fase ini dialokasikan waktu selama 40 menit,
fase ini merupakan inti dari proses pembelajaran berbasis masalah,
guru meminta siswa (kelompok) untuk mengembangkan dan
menyajikan hasil karyanya didepan kelas. Sebelum masing-masing
kelompok menyajikan
hasil diskusinya di depan kelas, guru
memberikan format penilaian kepada masing-masing kelompok mulai
dari kelompok I sampai dengan kelompok VI, hal ini bertujuan agar
setiap kelompok dapat memberikan masukan dan penilaian kepada
kelompok yang menyajikan hasil karyanya di depan kelas. Pada
pertemuan pertama ini kelompok yang akan menyajikan presentase di
depan kelas adalah kelompok I dan IV. Pada fase ini siswa diberikan
kesempatan untuk mengajukan pendapat dan pertanyaan kepada
kelompok yang mempresentasekan hasil karyanya.Pada fase ini guru
bertindak sebagai fasilitator pada saat diskusi/ presentase berlangsung.
Fase kelima, pada fase ini diskusi kelompok diakhiri sesuai
dengan kesepakatan bersama, dari apa yang dikemukakan oleh
masing-masing kelompok I dan IV guru membuat beberapa
kesimpulan yang berkaitan dengan materi pelajaran yang merupakan
hasil dari analisis masing-masing kelompok disepakati menjadi
kesimpulan secara bersama. Diakhir pertemuan guru memberikan
tugas mandiri atau tugas rumah untuk dikerjakan secara individu.
Dalam pembelajaran berbasis masalah para siswa dihadirkan situasi
masalah yang memuat ide-ide matematika secara utuh sebagai
persoalan kehidupan keseharian siswa yang merupakan stimulus
dalam proses pembelajaran. Para siswa mengamati stimulus tersebut
dan meresponnya dengan menemukan masalah-masalah untuk
kemudian menyatakannya ke dalam redaksi pertanyaan menurut
kalimatnya sendiri. Hal ini akan memunculkan perilaku belajar berupa
usaha-usaha untuk merencanakan, memecahkan dan menjawab
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
111
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
pertanyaan yang dimunculkan tersebut. Secara umum pembelajaran
yang terjadi dilakukan dengan mengadakan reorganisasi atau
restrukturisasi yang bergerak dari ide-ide informal menuju ide-ide
formal yang terstruktur.
B. Metodologi Penelitian.
Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas XI -1 Ilmu Sosial
SMA Negeri 2 Binjai yang berjumlah 32 orang siswa terdiri dari 13
orang siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan. Subjek
penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling. Sedangkan
yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kemampuan
pemahaman konsep dan penalaran logis matematika siswa yang
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis
masalah.
Penelitian ini dikategorikan kedalam penelitian tindakan kelas
(class action research). Adapun rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada model rancangan Hopkins.
Penelitian ini dilaksanakan dalamdua siklus yang masing-masing
siklus terdiri dari tiga kali pertemuan (tatap muka). Setiap siklus pada
penelitian ini dibuat tahapan rancangan (planning), tindakan (action),
pengamatan (observation), dan refleksi (reflecting). Prosedur
pengumpulan data menggunakan dalam penelitian ini merujuk pada
pernyataan Kunandar (2008:125) yang menyatakan pengumpulan data
dapat dilakukan dengan cara melakukan (1) tes; (2) observasi; (3)
wawancara; (4) diskusi antara sesama teman sejawat dan kolaborator
untuk melakukan refleksi terhadap hasil observasi. Sedangkan alat
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) tes; 2) observasi; 3)
wawancara; 4) kuisioner dan 5) diskusi antar teman sejawat.
Tes hasil belajar adalah yang merupakan post tes, dilakukan
untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep matematika siswa
dan penalaran logis matematis yang berhubungan dengan aspek
analogi dan generalisasi yang berkaitan dengan materi peluang dalam
bentuk soal essay, soal tes dirancang berbentuk soal rutin-terapan
yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tes akhir
dilaksanakan dua kali dimasning-masing akhir siklus I dan siklus II.
Hasil tes akhir (N3) disetiap siklus akan digabungkan dengan nilai
aktivitas siswa dalam belajar secara kelompok (N2) dan penugasan
individu (N1). Untuk mengetahui apakah seorang siswa mengalami
peningkatan dalam memahami konsep dan penalaran logis matematis
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
112
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
digunakan indikator keberhasilan dengan kriteria NA 
N1  N 2  N 3
3
,
dengan ketuntasan minimal yang direncanakan ≥76 secara individual
serta ketuntasan belajar secara klasikal mencapai ≥ 85%. Data
dianalisis sesuai capaian tujuan yakni peningkatan kemampuan
pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa dalam
pemecahan masalah. Diakhir penelitian untuk mengetahui respon
siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah diambil
data dengan menggunakan kuisioner dan hasilnya disajikan secara
kuantitatif dan kualitatif.
C. Hasil dan Pembahasan
Adapun model pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian
ini menggunakan pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan
kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika
siswadalam menyelesaikan masalah pada materi peluang. Dari hasil
penelitian ini diperoleh data sebagai berikut:
Hasil evaluasi pembelajaran dalam bentuk tes yang
dilaksanakan pada akhir siklus I memperlihatkan rata-rata skor subjek
penelitian 74,38 dan siswa yang memperoleh skor ≥76 adalah 22
orang atau setara dengan 68,75%. Dan siswa yang mendapat skor < 76
sebanyak 10 orang atau setara dengan 31,25%. Tingkat persentase
ketuntasan belajar klasikal direncanakan minimal adalah 85% dari
jumlah siswa yang mengikuti tes. Jadi terdapat minimal 16,25% dari
jumlah siswa yang mengikuti tes sebagai kekurangannya. Berdasarkan
kriteria sukses (keberhasilan), yaitu jumlah skor keseluruhan (nilai
akhir) NA = N1  N 2  N3 ≥ 76 (tanpa remedial). Berdasarkan hasil
3
evaluasi siklus I setelah dianalisis diperoleh bahwa ada 15 orang (
46,88%) siswa yang memperoleh nilai < 76, 17 orang (53,13%) siswa
yang memperoleh nilai ≥ 76. Ini berarti hanya 17 orang siswa yang
dinyatakan tuntas belajar dengan prsentase 53,13%, sedangkan yang
15 orang siswa (46,88) dinyatakan belum tuntas, sementara nilai ratarata kelas 75,56. Oleh karena persentase ketuntasan belajar baru
mencapai 53,13% dari kriteria yang harus dicapai yaitu 85% berarti
masih ada selisih yang harus dipenuhi yaitu 31,87%. Dengan
demikian pembelajaran pada siklus I dikatakan belum berhasil, dan
penelitian dilanjutkan ke siklus II.
Pada siklus II dilakukan refleksi hasil observasi bersama
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
113
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
observer dan teman sejawat dalam membuat rencana tindakan pada
siklus II, hal hal yang dianggap perlu perbaikan dilakukan pada siklus
II. Dari hasil evaluasi tindakan siklus II diperoleh data sebagai
berikut:
Dari hasil evaluasi akhir siklus II yang terdiri dari pemberian
tugas mandiri, tugas kelompok serta tes akhir siklus II diperoleh nilai
akhir yang merupakan nilai rata-rata NA =
N1  N 2  N 3
3
yang
menyatakan bahwa dari 32 orang siswa ada 4 orang (12,5%) yang
memperoleh nilai < 76, 28 orang (87,50%) siswa mendapat nilai ≥ 76
dan nilai rata-rata kelas 79,25. Ini berarti presentase ketuntasan belajar
secara klasikal adalah 87,50%, dengan pencapaian nilai rata-rata
79,25. Peningkatan tersebut menunjukan bahwa pembelajaran melalui
model pembelajaran berbasis masalah berhasil meningkatkan
kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa
dalam pemecahan masalah matematika siswa pada materi Peluang,
karena telah memenuhi indikator keberhasilan dengan tingkat
persentase ketuntasan belajar klasikal yang direncanakan minimal
adalah 85% dari jumlah siswa yang mengikuti tes.
Berdasarkan deskripsi hasil sebagaimana uraian di atas, dapat
dikemukakan temuan-temuan selama penelitian berlangsung. 1)
Penerapan model pembelajaran berbasis dapat digunakan untuk
pelajaran Matematika pada materi Peluang, 2) Adanya adanya indikasi
yang menyatakan peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan
penalaran matematika siswa dalam pemecahan masalah. Dari hasil
evaluasi pada setiap akhir siklus menunjukkan bahwa pada siklus I
skor rata-rata siswa secara klasikal mencapai 74,72 dan pada siklus II
skor rata-rata siswa mencapai 79,25. Dalam hal ini terjadi peningkatan
rata-rata sebesar 4,53. 3) Efektivitas model pembelajaran berbasis
masalahsesuai
hasil
observasi
para
pengamat
dapat
dikategorikansangat baik, baik pada siklus I dan Siklus II dalam hal
meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran
matematika siswa dalam pemecahan masalah pada materi peluang.
Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dari kedua pengamat
(observer) dari sisi siswa bahwa nilai rata-rata kedua pengamat pada
siklus I adalah 91,70%, siklusi II adalah 94,18%.Dengan perubahan
peningkatan sebesar 2,48%. 4) Pelaksanan pembelajaran berbasis
masalah dari sisi siswa untuk meningkatkan kemampuan pemahaman
konsep dan penalaran matematika siswa pada pokok bahasan peluang
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
114
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
berdasarkan kedua observer pada siklus I dan Siklus II menunjukkan
persentase ada pada setiap item fase yang diamati dengan rata-rata
68,6% dengan kategori kurang pada Siklus I menjadi 82,5% dengan
kategori baik pada siklus II. siswa menyatakan senang belajar dengan
model pembelajaran berbasis masalah karena lebih mudah memahami
materi pelajaran. Ini merupakan salah satu aspek yang perlu
dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangkan serta upaya meningkatkan kemampuan pemahaman
konsep dan penalaran matematika siswa.
D. Penutup
Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman konsep dan penalaran logis matematis siswa dalam
pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
materi peluang. Dari kelima fase pembelajaran berbasis masalah dapat
disimpulkan bahwa: 1) Jika guru melaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, siswa belajar dalam
kelompok-kelompok kecil menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
nilai peluang secara bersama-sama dan terbimbing dengan proses
mengedepankan aspek translasi, interpretasi dan ekstrapolasi, dapat
meningkatkan pemahaman konsep dan penalaran logis yang berkaitan
dengan analogi dan generalisasi siswa pada materi ajar peluang. 2) Setelah
diberikan tindakan model pembelajaran berbasis masalah dengan belajar
pada kelompok-kelompok kecil dalam memecahkan masalah yang
menekankan pada aspek berfikir pemahaman konsep (translasi, interpretasi
dan ektrapolasi). Siswa mampu memecahkan masalah rutin-terapan yang
berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari pada materi peluang, 3)
sebanyak 85% siswa dapat memenuhi kriteria ketuntasan minimal
setalah dilakukan kegiatan belajar dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah dalam kelompok - kelompok belajar
kecil yang menekankan aspek berfikir pemahaman konsep (translasi,
interpretasi, ektrapolasi) dan penalaran induktif (analogi dan
generalisasi).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka model
pemeblajaran berbasis masalah dengan kelompok-kelompok kecil
dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman
konsep dan penalaran logis matematis siswa pada materi peluang.
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
115
JURNAL TABULARASA PPS UNIMED
Vol.10 No.2, Agustus 2013
Daftar Pustaka
Amir Taufik M.(2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based
Learning (Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar
di Era Pengetahuan). Jakarta: Kencana
Departemen Pendidikan Nasional (2006). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi.
http://www.idonbiu.com/2009/05/model-pembelajaran-cooperativelearning.html di download 28 April 2010
Riyanto Yatim (2009), Paradigma Baru Pembelajaran Sebagai
Referensi Bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran
yang efektif dan berkualitas, Jakarta: Kencana
Richard I.Arends (2008), Learning To Teach Belajar Untuk
Mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Slavin, R.E (1995), Cooperative Learning : Theory, Research, and
Practice. Secon Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon
Publishers
Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru
Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika.
Disertasi IKIP bandung. Tidak Diterbitkan
Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116)
116
Download