JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 ANALISIS PELAKSANAAN PRAKTIKUM BIOLOGI DAN UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN PENALARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DI SMA NEGERI 2 BINJAI M.Yus Efendi, Dian Armanto, Asmin, [email protected] Abstract This Classroom Action Research (CAR) aims to find out: how the effectiveness and students' response to the problem based learning model in improving the understanding of mathematical concepts and reasoning of students SMA Negeri 2 Binjai. This CAR was conducted in two cycles with stages of planning, action, observation and reflection. The method used to apply a model of problem-based learning during the learning processing class. The instrument was used the end of each test cycle I and II, teacher observation sheet, student observation sheets and student questionnaire responses to the implementation f problem based learning. From 32 students there are 28 students (87.50%) stated that students complete individually who scored ≥ 76 with an average of 80.56. Value of the class average is 79.25 with the level of exhaustiveness learn classical is planned minimum is 85%. Effectiveness of problem-based learning modelis designed to form small study groups consisting of 5-6 people is very good and effective in improving the understanding of mathematical concepts and reasoning. 87% of students responded positively and fun to the learning process, 91% of students claimed to give them the opportunity to think and 84% found it easier to understand mathematical concepts and develop reasoning through a problem-based learning. Keywords: Problem-Based Learning, Understanding Concepts, Mathematical Reasoning A. Pendahuluan Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik. Hal ini dapat di lihat dari filosofi pendidikan yang intinya untuk mengaktualisasikan ketiga dimensi Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 105 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 kemanusiaan yang paling elementer, yakni: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan dan ketaqwaan, etika dan estetika serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas berfikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis dan kecakapan praktis (Depdiknas, 2005). Namun pada tingkat praktis, permasalahan pendidikan yang terjadi memperlihatkan berbagai kendala yang menghambat tercapainya tujuan pendidikan seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari berbagai hasil survey menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah (Tjalla, 2010). Perkiraan kelemahan siswa Indonesia, antara lain sebagai berikut: a) Mengorganisasi dan menyimpulkan informasi, membuat generalisasi dan memecahkan masalah yang tidak rutin, b) Memecahkan berbagai macam rasio dan masalah presentase, c) Menerapkan pengetahuannya untuk menghubungkan konsep bilangan dan aljabar, d) Membuat generalisasi model matematika secara aljabar, e) Mengaplikasikan pengetahuannya pada geometri dalam masalah yang kompleks; dan f) Menggunakan data dari berbagai sumber untuk memecahkan berbagai masalah. Ketidakmampuan siswa dalam memecahkan berbagai masalah, serta menerapkan pengetahuannya dalam menghubungkan antar konsep dalam matematika merupakan indikator lemahnya kondisi pembelajaran matematika di sekolah. Dalam proses pembelajaran matematika, kebiasaan membaca sambil berfikir dan bekerja sampai dapat memahami informasi esensial dan strategis belum menjadi kebiasaan siswa. Dalam hal ini dosis mekanistik masih terlampau besar dan dosis penalaran masih terlampau kecil. Akibatnya matematika belum menjadi “sekolah berfikir” bagi siswa. Selanjutnya (Wahyudin, 1999: 244) mengatakan lebih jauh bahwa pada umumnya para guru matematika hampir selalu menggunakan metoda ceramah dan ekspositori. Para guru matematika jarang sekali bahkan tak pernah menugaskan para siswanya untuk mempelajari materi baru sebelum diajarkan oleh gurunya.(Wahyudin, 1999) juga mengatakan lebih lanjut bahwa dalam penyampaian pengertian, definisi, rumus, teorema para guru matematika sering kali tidak pernah mengajak siswa untuk menganalisis secara mendalam tentang objek tersebut sehingga siswa Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 106 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 kurang mantap menguasainya. Akibatnya pemecahan masalah sebagai fokus pembelajaran tak pernah dijamah sebagian besar guru apalagi mengujicobakannya. Hal inilah yang membuat adanya anggapan bahwa mempelajari matematika cukup hanya untuk dihafal saja tanpa memberikan pengertian dan makna padanya. langkah-langkah untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematika siswa terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika sebagaimana yang di utarakan (Depdiknas, 2006). Bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan antara lain: 1) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 2) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Selanjutnya (Amir, 2009:4) membiarkan siswa belajar pasif, dengan pendekatan yang terpusat pada guru sulit untuk memungkinkan siswa mengembangkan kecakapan berfikir, kecakapan intra personal, kecakapan beradaptasi dengan baik. Oleh karena itu diperlukan paradigma baru dalam pembelajaran matematika yang bersifat konstruktif. Salah satu cara untuk kearah itu adalah dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode pembelajaran baru yang melibatkan siswa aktif secara mental dan spiritual. Hal ini dapat dipahami untuk mengembangkan pemahaman dan penalaran yang lebih kreatif dengan tujuan: 1. Siswa akan lebih mudah membangun pemahaman apabila dapat mengkomunikasikan gagasannya kepada siswa lain atau guru, seperti yang di katakana oleh (Rianto, 2009) membangun pemahaman akan lebih mudah melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Interaksi memungkinkan terjadinya perbaikan terhadap pemahaman siswa melalui diskusi, saling bertanya dan saling menjelaskan. 2. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap di bimbing untuk menguasai konsep matematika. (Depdiknas, 2006). Dalam pembelajaran matematika di kelas XI Ilmu Sosial (IS) SMA Negeri 2 Binjai dijumpai bahwa ada sebagaian siswa yang Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 107 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika terutama yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari yang memerlukan pemahaman konsep dan penalaran logis. Sebagai contoh dari salah satu soal pada materi peluang: Pada suatu tes berbentuk jawaban benar salah tersedia 5 item soal. Jika Winda menjawab secara acak , berapa peluang ia mendapat nilai benar 3 butir atau lebih? Dari 32 orang siswa hanya 5 orang yang mampu menjawab soal dengan benar, 12 orang tidak menjawab sama sekali, sementara 15 orang menjawab dengan jawaban yang salah. Data tersebut menunjukkan betapa masih banyak siswa yang belum mampu memahami konsep dan menggunakan penalaran dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan, berbagai kelemahan tersebut antara lain dalam hal mengubah soal cerita menjadi sebuah model matematika yang dapat diselesaikan. Dari data hasil pekerjaan siswa terlihat bahwa siswa belum mampu melakukan interpretasi,translasidan ektrapolasi masalah yang diberikan, oleh karena rendahnya pemahaman konsep siswa dalam memahami masalah sehingga tidak mampu membangun penalaran untuk membuat sebuah analogi yang telah ada dari bentuk contoh lain. Hal ini merupakan bukti empirik dari temuan (Tjalla: 2010) yang menyatakan bahwa “siswa Indonesia lemah dalam Menerapkan pengetahuannya untuk menghubungkan konsep bilangan dan aljabar serta membuat generalisasi model matematika secara aljabar”. Berdasarkan hasil interview dan wawancara memberikan gambaran tentang hal-hal yang menyebabkan kemampuan siswa dalam memahami konsep dan menggunakan penalaran dalam menyelesaikan masalah sangat rendah bahwa.Pertama siswa beranggapan pada jurusan Ilmu Sosial tidak terlalu membutuhkan kemampuan matematika yan mendalam.Kedua pada program studi Ilmu Sosial sebagian siswa ternyata berusaha menjauhkan diri dari matematika oleh karena tidak memiliki kemampuan dasar matematika dalam halini konsep aljabar (perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan).Ketiga guru memberikan materi pelajaran matematika yang tidak mampu menarik perhatian siswa oleh karena model penyampaian yangmonoton dan terkesan guru hanya belajar sendiri di depan kelas. Keempat penilaian yang digunakan oleh guru mata pelajaran selalu subjektif, tidak memberikan penghargaan kepada Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 108 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 siswa-siswa yang memiliki kemampuan lebih sehingga memunculkan sikap yang acuh kepada mata pelajaran matematika. Kelima pemberian tugas secara berkelompok yang hanya dikerjakan oleh satu atau dua orang saja, sehingga anggota kelompok yang lain merasa tidak perlu belajar oleh karena penilaian diberikan berdasarkan kelompok.Dalam menyikapi berbagai masalah yang timbul dalam proses pembelajaran di sekolah, terutama yang berkaitan dengan masalah peningkatan pemahaman konsep dan penalaran matematika yang mengakibatkan rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual secara matematis. Perlu dicari solusi untuk menemukan model dan teknik pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar serta meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika secara logis.Diantara sekian banyaknya model pembelajaran kooperatif yang disinyalir dapat meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika salah satu diantaranya adalah model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning).Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suhendra (2005) baha “pembelajaran berbasis masalah dalam kelompok belajar kecil dan secara klasikal berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada aspek kemampuan problem solving matematik dan ketuntasan belajar klasikal siswa”. Berkaitan dengan penalaran, Johnson (2003) mengatakan “dengan partisipan yang bervariasi dalam tingkat ekonomi, usia, jenis kelamin dan latar belakang budaya mengindikasikan bahwa tingkat penalaran, munculnya ide – ide baru dan solusi lebih besar pada kelas pembelajaran berbasis masalah dari pada kelas dengan pembelajaran individual”. Salah satu bentuk model pembelajarankooperatif yang akan diuji dampaknya terhadap peningkatan pemahaman konsep dan penalaran matematika adalah model pembelajaran berbasis masalah. Pada model pembelajaran berbasis masalah siswa dibagi kedalam beberapa kelompok-kelompok belajar kecil yang terdiri dari 5-6 orang setiap kelompok, semua anggota kelompok bersifat heterogen.Setiap anggota kelompok memiliki tugasnya masing-masing dan bertanggungjawab terhadap kelompoknya.Topik pembelajaran atau masalah ditetapkan oleh guru, sedangkan tugas siswa menyelesaikan masalah yang diberikan melalui kegiatan membaca, mengamati, mendiskusikan, membuat laporan dan mempresentasekan hasil karya kelompok secara bersama-sama untuk selanjutnya saling berbagi Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 109 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 dengan kelompok-kelompok lainnya.Disini guru mengajukan masalah, membimbing dan memberikan petunjuk minimal kepada siswa dalam memecahkan masalah. Adapun ciri - ciri Pembelajaran Berbasis Masalah adalah: 1) Pengajuan Masalah atau Pertanyaan; 2) Pengaturan Pembelajaran Berbasis Masalah berkisar pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Menurut Arends (http://www.idonbiu.com/2009, diakses 17 Nopember 2010), pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Autentik: masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa daripada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.2) Jelas: masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa. Menurut Arend adapun langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut: 1) Memberikan Orientasi tentang permasalahannya kepada siswa. 2) mengorga -nisasikan siswa untuk meneliti; 3) Membantu investigasi mandiri dan kelompok.; 4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya (artefak dan exhibit).5) Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Pembelajaran dibagi ke dalam lima fase, yang pelaksanaannya sesuai dengan sintak pembelajaran berbasis masalah. Fase 1, Guru memberikan Orientasi tentang masalah kepada siswadiawali dengan Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang gunakan, dan memotivasi siswa agar terlibat dalam mengatasi masalah-masalah.Menyajikan informasi, mengaitkan materi dengan pengetahuan sebelumnya tentang materiyang pernah dipelajari, serta aplikasi peluang dalam kehidupan nyata. Fase 2, Mengorganisikan siswa untuk meneliti dan membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan masalah yang terdapat pada lembar aktivitas siswa di masing-masing kelompok siswa diminta untuk membaca buku referensi untuk memahami masalah yang diberikan. Fase 3, Guru membantu investigasi mandiri dan kelompok.Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan pelaksanaan percobaan dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan masalah masing-masing kelompok. Pada fase ini guru meminta kepada semua kelompok untuk membaca buku penuntun siswa serta menuliskan Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 110 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 jawaban hasil diskusi kelompok pada lembar jawaban lembar aktivitas siswa. Tiap kelompok diminta untuk tetap displin dan bekerja sama saling berbagi pengetahun kepada semua anggota kelompok masing masing, setiap anggota dalam kelompok diminta untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh ketua kelompok semua anggota kelompok diingatkan untuk dapat memahami konsep yang sedang dibahas secara bersama. Sekretaris kelompok dibantu oleh anggota kelompok membuat catatan-catatan kecil sebagai bahan untuk dipresentasekan di depan kelas. Setiap kelompok diminta untuk membuat kesimpulan dengan mengemukakan aspek penalaran analogi dari hasil percobaan. Fase ke 4, pada fase ini dialokasikan waktu selama 40 menit, fase ini merupakan inti dari proses pembelajaran berbasis masalah, guru meminta siswa (kelompok) untuk mengembangkan dan menyajikan hasil karyanya didepan kelas. Sebelum masing-masing kelompok menyajikan hasil diskusinya di depan kelas, guru memberikan format penilaian kepada masing-masing kelompok mulai dari kelompok I sampai dengan kelompok VI, hal ini bertujuan agar setiap kelompok dapat memberikan masukan dan penilaian kepada kelompok yang menyajikan hasil karyanya di depan kelas. Pada pertemuan pertama ini kelompok yang akan menyajikan presentase di depan kelas adalah kelompok I dan IV. Pada fase ini siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat dan pertanyaan kepada kelompok yang mempresentasekan hasil karyanya.Pada fase ini guru bertindak sebagai fasilitator pada saat diskusi/ presentase berlangsung. Fase kelima, pada fase ini diskusi kelompok diakhiri sesuai dengan kesepakatan bersama, dari apa yang dikemukakan oleh masing-masing kelompok I dan IV guru membuat beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan materi pelajaran yang merupakan hasil dari analisis masing-masing kelompok disepakati menjadi kesimpulan secara bersama. Diakhir pertemuan guru memberikan tugas mandiri atau tugas rumah untuk dikerjakan secara individu. Dalam pembelajaran berbasis masalah para siswa dihadirkan situasi masalah yang memuat ide-ide matematika secara utuh sebagai persoalan kehidupan keseharian siswa yang merupakan stimulus dalam proses pembelajaran. Para siswa mengamati stimulus tersebut dan meresponnya dengan menemukan masalah-masalah untuk kemudian menyatakannya ke dalam redaksi pertanyaan menurut kalimatnya sendiri. Hal ini akan memunculkan perilaku belajar berupa usaha-usaha untuk merencanakan, memecahkan dan menjawab Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 111 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 pertanyaan yang dimunculkan tersebut. Secara umum pembelajaran yang terjadi dilakukan dengan mengadakan reorganisasi atau restrukturisasi yang bergerak dari ide-ide informal menuju ide-ide formal yang terstruktur. B. Metodologi Penelitian. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas XI -1 Ilmu Sosial SMA Negeri 2 Binjai yang berjumlah 32 orang siswa terdiri dari 13 orang siswa laki-laki dan 19 orang siswa perempuan. Subjek penelitian ditentukan dengan teknik purpossive sampling. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah kemampuan pemahaman konsep dan penalaran logis matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Penelitian ini dikategorikan kedalam penelitian tindakan kelas (class action research). Adapun rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model rancangan Hopkins. Penelitian ini dilaksanakan dalamdua siklus yang masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan (tatap muka). Setiap siklus pada penelitian ini dibuat tahapan rancangan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflecting). Prosedur pengumpulan data menggunakan dalam penelitian ini merujuk pada pernyataan Kunandar (2008:125) yang menyatakan pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara melakukan (1) tes; (2) observasi; (3) wawancara; (4) diskusi antara sesama teman sejawat dan kolaborator untuk melakukan refleksi terhadap hasil observasi. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) tes; 2) observasi; 3) wawancara; 4) kuisioner dan 5) diskusi antar teman sejawat. Tes hasil belajar adalah yang merupakan post tes, dilakukan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep matematika siswa dan penalaran logis matematis yang berhubungan dengan aspek analogi dan generalisasi yang berkaitan dengan materi peluang dalam bentuk soal essay, soal tes dirancang berbentuk soal rutin-terapan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tes akhir dilaksanakan dua kali dimasning-masing akhir siklus I dan siklus II. Hasil tes akhir (N3) disetiap siklus akan digabungkan dengan nilai aktivitas siswa dalam belajar secara kelompok (N2) dan penugasan individu (N1). Untuk mengetahui apakah seorang siswa mengalami peningkatan dalam memahami konsep dan penalaran logis matematis Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 112 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 digunakan indikator keberhasilan dengan kriteria NA N1 N 2 N 3 3 , dengan ketuntasan minimal yang direncanakan ≥76 secara individual serta ketuntasan belajar secara klasikal mencapai ≥ 85%. Data dianalisis sesuai capaian tujuan yakni peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa dalam pemecahan masalah. Diakhir penelitian untuk mengetahui respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah diambil data dengan menggunakan kuisioner dan hasilnya disajikan secara kuantitatif dan kualitatif. C. Hasil dan Pembahasan Adapun model pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswadalam menyelesaikan masalah pada materi peluang. Dari hasil penelitian ini diperoleh data sebagai berikut: Hasil evaluasi pembelajaran dalam bentuk tes yang dilaksanakan pada akhir siklus I memperlihatkan rata-rata skor subjek penelitian 74,38 dan siswa yang memperoleh skor ≥76 adalah 22 orang atau setara dengan 68,75%. Dan siswa yang mendapat skor < 76 sebanyak 10 orang atau setara dengan 31,25%. Tingkat persentase ketuntasan belajar klasikal direncanakan minimal adalah 85% dari jumlah siswa yang mengikuti tes. Jadi terdapat minimal 16,25% dari jumlah siswa yang mengikuti tes sebagai kekurangannya. Berdasarkan kriteria sukses (keberhasilan), yaitu jumlah skor keseluruhan (nilai akhir) NA = N1 N 2 N3 ≥ 76 (tanpa remedial). Berdasarkan hasil 3 evaluasi siklus I setelah dianalisis diperoleh bahwa ada 15 orang ( 46,88%) siswa yang memperoleh nilai < 76, 17 orang (53,13%) siswa yang memperoleh nilai ≥ 76. Ini berarti hanya 17 orang siswa yang dinyatakan tuntas belajar dengan prsentase 53,13%, sedangkan yang 15 orang siswa (46,88) dinyatakan belum tuntas, sementara nilai ratarata kelas 75,56. Oleh karena persentase ketuntasan belajar baru mencapai 53,13% dari kriteria yang harus dicapai yaitu 85% berarti masih ada selisih yang harus dipenuhi yaitu 31,87%. Dengan demikian pembelajaran pada siklus I dikatakan belum berhasil, dan penelitian dilanjutkan ke siklus II. Pada siklus II dilakukan refleksi hasil observasi bersama Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 113 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 observer dan teman sejawat dalam membuat rencana tindakan pada siklus II, hal hal yang dianggap perlu perbaikan dilakukan pada siklus II. Dari hasil evaluasi tindakan siklus II diperoleh data sebagai berikut: Dari hasil evaluasi akhir siklus II yang terdiri dari pemberian tugas mandiri, tugas kelompok serta tes akhir siklus II diperoleh nilai akhir yang merupakan nilai rata-rata NA = N1 N 2 N 3 3 yang menyatakan bahwa dari 32 orang siswa ada 4 orang (12,5%) yang memperoleh nilai < 76, 28 orang (87,50%) siswa mendapat nilai ≥ 76 dan nilai rata-rata kelas 79,25. Ini berarti presentase ketuntasan belajar secara klasikal adalah 87,50%, dengan pencapaian nilai rata-rata 79,25. Peningkatan tersebut menunjukan bahwa pembelajaran melalui model pembelajaran berbasis masalah berhasil meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa dalam pemecahan masalah matematika siswa pada materi Peluang, karena telah memenuhi indikator keberhasilan dengan tingkat persentase ketuntasan belajar klasikal yang direncanakan minimal adalah 85% dari jumlah siswa yang mengikuti tes. Berdasarkan deskripsi hasil sebagaimana uraian di atas, dapat dikemukakan temuan-temuan selama penelitian berlangsung. 1) Penerapan model pembelajaran berbasis dapat digunakan untuk pelajaran Matematika pada materi Peluang, 2) Adanya adanya indikasi yang menyatakan peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa dalam pemecahan masalah. Dari hasil evaluasi pada setiap akhir siklus menunjukkan bahwa pada siklus I skor rata-rata siswa secara klasikal mencapai 74,72 dan pada siklus II skor rata-rata siswa mencapai 79,25. Dalam hal ini terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4,53. 3) Efektivitas model pembelajaran berbasis masalahsesuai hasil observasi para pengamat dapat dikategorikansangat baik, baik pada siklus I dan Siklus II dalam hal meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa dalam pemecahan masalah pada materi peluang. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dari kedua pengamat (observer) dari sisi siswa bahwa nilai rata-rata kedua pengamat pada siklus I adalah 91,70%, siklusi II adalah 94,18%.Dengan perubahan peningkatan sebesar 2,48%. 4) Pelaksanan pembelajaran berbasis masalah dari sisi siswa untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa pada pokok bahasan peluang Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 114 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 berdasarkan kedua observer pada siklus I dan Siklus II menunjukkan persentase ada pada setiap item fase yang diamati dengan rata-rata 68,6% dengan kategori kurang pada Siklus I menjadi 82,5% dengan kategori baik pada siklus II. siswa menyatakan senang belajar dengan model pembelajaran berbasis masalah karena lebih mudah memahami materi pelajaran. Ini merupakan salah satu aspek yang perlu dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan serta upaya meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematika siswa. D. Penutup Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran logis matematis siswa dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi peluang. Dari kelima fase pembelajaran berbasis masalah dapat disimpulkan bahwa: 1) Jika guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan nilai peluang secara bersama-sama dan terbimbing dengan proses mengedepankan aspek translasi, interpretasi dan ekstrapolasi, dapat meningkatkan pemahaman konsep dan penalaran logis yang berkaitan dengan analogi dan generalisasi siswa pada materi ajar peluang. 2) Setelah diberikan tindakan model pembelajaran berbasis masalah dengan belajar pada kelompok-kelompok kecil dalam memecahkan masalah yang menekankan pada aspek berfikir pemahaman konsep (translasi, interpretasi dan ektrapolasi). Siswa mampu memecahkan masalah rutin-terapan yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari pada materi peluang, 3) sebanyak 85% siswa dapat memenuhi kriteria ketuntasan minimal setalah dilakukan kegiatan belajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dalam kelompok - kelompok belajar kecil yang menekankan aspek berfikir pemahaman konsep (translasi, interpretasi, ektrapolasi) dan penalaran induktif (analogi dan generalisasi). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka model pemeblajaran berbasis masalah dengan kelompok-kelompok kecil dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran logis matematis siswa pada materi peluang. Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 115 JURNAL TABULARASA PPS UNIMED Vol.10 No.2, Agustus 2013 Daftar Pustaka Amir Taufik M.(2009). Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning (Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan). Jakarta: Kencana Departemen Pendidikan Nasional (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi. http://www.idonbiu.com/2009/05/model-pembelajaran-cooperativelearning.html di download 28 April 2010 Riyanto Yatim (2009), Paradigma Baru Pembelajaran Sebagai Referensi Bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang efektif dan berkualitas, Jakarta: Kencana Richard I.Arends (2008), Learning To Teach Belajar Untuk Mengajar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Slavin, R.E (1995), Cooperative Learning : Theory, Research, and Practice. Secon Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi IKIP bandung. Tidak Diterbitkan Analisis P... … (M.Yus E, Dian A., Asmin 105:116) 116