BAB V PENUTUP Kompleks Misi Boro maupun Gereja Santa Perawan Maria Lourdes Promasan memiliki corak arsitektur “campuran” yaitu perpaduan antara arsitektur tradisional dan arsitektur Eropa yang menyatu dengan alam. Trend arsitektur yang berkembang pada kurun tahun 1930-1940 yaitu arsitektur Indis juga turut memberikan pengaruh pada corak arsitektur keduanya. Pada Kompleks Misi Boro unsur arsitektur tradisional nampak lebih dominan jika dibandingkan dengan unsur dari arsitektur Eropa. Hal tersebut tercermin pada dominasi tipe atap limas dan penggunaan jendela tipe dudan terutama pada bangunan selain gereja. Sementara itu, bentuk menyatu dengan alam nampak pada penggunaan ornamen batu alam tempel pada profil dinding bagian bawah pada bangunan selain Gereja Boro, banyaknya jendela dan bukaan atas, serta arah hadap utara-selatan. Bangunan gereja pada kompleks Misi Boro memang sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan bangunan yang lain, akan tetapi unsur arsitektur tradisional masih nampak jelas pada tipe atap limas yang menaungi bangunan. Di samping itu, juga terdapat unsur arsitektur Klasik Eropa yang nampak pada penggunaan menara 131 lonceng sebagai fasad bangunan, arah hadap timur-barat, bentuk ruang basilika dengan narthex, nave, aisle, dan, apse, serta penggunaan ornamen konstruktif berupa pilaster. Konsep menyatu dengan alam tetap dapat dilihat jelas pada bukaan atas yang berjajar pada dinding atas nave. Kondisi ini menunjukan bahwa gereja Boro memadukan karakter-karakter dari arsitektur yang berbeda jaman dan konteks lokasi yaitu arsitektur tradisional Jawa dengan arsitektur Klasik Eropa. Pada Gereja Promasan unsur arsitektur Klasik Eropa lebih nampak jelas apabila dibandingkan dengan unsur arsitektur tradisional. Hal tersebut tercermin dalam atap pelana dengan kemiringan yang tajam, penggunaan menara lonceng sebagai fasad bangunan, bentuk ruang basilika dengan narthex, nave, aisle, dan, apse, serta penggunaan ornamen konstruktif berupa pilaster dan pelengkung. Denah Gereja Promasan sendiri lebih menyerupai denah gereja pada masa perkembangan arsitektur Kristen Awal jika dibandingkan dengan denah Gereja Boro. Bentuk denah Gereja Promasan tersebut menyerupai denah dari Gereja Basilika Santo Petrus lama di Vatikan, Roma. Sementara konsep menyatu dengan alam nampak pada penggunaan ornamen batu alam tempel pada profil dinding bagian bawah, keberadaan bukaan atas dan bawah, serta arah hadap utara-selatan. Penggunaan ornamen batu alam tempel tidak sekedar menjadi cara untuk menyatu dengan alam, tetapi bukti pengaruh trend arsitektur pada kurun tahun 1930-1940, yaitu arsitektur Indis. Ornamen ini sering digunakan pada bangunan yang bersifat komunal, seperti pada Institut Teknologi Bandung (ITB), Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, dan postpaarbank Makasar. 132 Dengan demikian nampak bahwa corak arsitektur kedua bangunan tersebut berbeda, walaupun tumbuh dan berkembang dilingkungan yang sama yaitu lereng tenggara perbukitan Menoreh. Kompleks Misi Boro dengan corak arsitektur tradisional yang lebih dominan, sedangkan pada Gereja Promasan corak arsitektur Klasik Eropa lebih mendominasi. Perbedaan corak arsitektur yang muncul pada kedua bangunan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain: 1. Tingkat masalah yang terjadi pada kurun tahun 1928-1930 lebih kompleks sehingga memberikan pengaruh pada keanekaragaman bangunan pada Kompleks Misi Boro. Masalah-masalah tersebut antara lain mewabahnya penyakit disentri dan Malaria, pendidikan masyarakat yang masih rendah (terutama pengetahuan akan pertanian dan obat-obatan), dan semakin masifnya pengaruh agama Islam di wilayah Boro. Keanekaragaman bangunan pada Kompleks Misi Boro turut memberikan pengaruh pada corak arsitekturnya. 2. Romo J. Prennthaler, S.J. memiliki keinginan untuk membangun gereja sebagai bangunan pertama di misi ini dengan konsep sederhana yang mampu mencerminkan kondisi masyarakat Boro pada waktu itu. Hal ini turut memberikan sumbangan pada corak arsitektur Kompleks Misi Boro yang lebih didominasi arsektur tradisional. 3. Aspek religi yaitu pengaruh kepercayaan Kristen-Katolik abad pertengahan yang nampak pada arah hadap timur-barat pada Gereja Boro. Hal ini tidak lepas dari pengaruh agama Katolik yang lebih masif pada Kompleks Misi Boro. 133 4. Intensifnya hubungan dengan Pemerintah Belanda. Pembangunan gereja Promasan tidak lepas dari bantuan Pemerintah Belanda baik secara dana maupun material pendukung peribadatan. Hal ini secara tidak langsung memberikan dampak pada arsitektur bangunan yang lebih megah dan lebih kental akan unsur arsitektur Klasik Eropa jika dibandingkan dengan gereja pada Kompleks Misi Boro. 5. Tujuan pembangunan Gereja Promasan yaitu untuk mengatasi semakin meningkatnya jumlah umat Katolik di Promasan dan jumlah peziarah yang menuju Sendang Sono. Oleh karena itu, dibutuhkan gereja yang cukup besar untuk mengatasi kondisi tersebut. Dari tujuan tersebut nampak bahwa tingkat kompleksitas yang menjadi latar pembangunan Gereja Promasan tidak seperti yang terjadi pada Kompleks Misi Boro. Hal ini tercermin pada keberadaan gereja yang tidak didukung bangunan lain seperti pada Kompleks Misi Boro. Perbedaan corak arsitektur dan latar belakang penerapannya di antara Kompleks Misi Boro dan Gereja Promasan secara tidak langsung menunjukan sebuah hierarki. Kompleks Misi Boro berperan sebagai pusat pengajaran agama Katolik di Kulon Progo utara (Kalibawang), sedangkan Gereja Promasan sendiri lebih kepada kepanjangan tangan dari Kompleks Misi Boro. Hal ini dibuktikan dengan Gereja Promasan sempat menjadi bagian dari Paroki Promasan sampai tahun 1959. Di samping itu, pemusatan pengajaran agama Katolik di Boro didukung dengan akses yang lebih mudah jika dibandingkan akses untuk menuju ke Gereja Promasan.