1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi adalah kesehatan fisik, mental dan sosial secara menyeluruh dalam semua hal berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi-fungsi serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan wanita untuk mendapat informasi, pelayanan kesehatan reproduksi yang meliputi kesehatan seksual dengan tujuan untuk memajukan kehidupan dan hubungan pribadi (UNFPA, 1995). Kesehatan reproduksi, sama halnya dengan kesehatan pada umumnya, adalah hak setiap manusia (WHO, 2011). Untuk mampu mencapainya, diperlukan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang benar dan komprehensif. Pengetahuan tersebut didapatkan melalui berbagai sarana, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan merupakan cara yang paling penting dan efektif untuk memperoleh pengetahuan tentang kesehatan reproduksi (WHO, 2009). Studi internasional dan juga di Indonesia telah menunjukkan bahwa diberikannya pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah akan menghasilkan perilaku seksual yang lebih bertanggung jawab dan perilaku seksual aman (Utomo et al. 2010). Akan tetapi Pendidikan kesehatan reproduksi selama ini masih dianggap tabu untuk dibahas oleh masyarakat Indonesia, sebagai penganut budaya timur. Akibatnya pengetahuan yang diperoleh remaja tentang kesehatan reproduksi masih minim. Usia remaja merupakan usia yang paling rawan mengalami masalah kesehatan reproduksi seperti kehamilan usia dini, infeksi menular seksual (IMS) termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan akibat dari perilaku seksual yang tidak aman, pelecehan seksual dan perkosaan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI, 2012), pengetahuan remaja (pria dan wanita umur 15-24 tahun) tentang IMS masih rendah dimana 35% wanita dan 19% pria mengetahui gonorrhea, 14% wanita dan 4% pria mengetahui genital herpes, sedangkan pengetahuan mengenai condylomata, chancroid, chlamydia, candida, dan jenis IMS lain tergolong sangat rendah (dibawah 1%). 2 Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI), 7 dari 10 pria dan wanita (masing-masing 72%) tidak memiliki pengetahuan tentang gejala IMS. Pengetahuan tentang gejala IMS lebih rendah pada wanita dan pria yang lebih muda. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah penyakit infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang. WHO memperkirakan terdapat lebih dari 340 juta kasus baru dari IMS yang dapat diobati seperti sifilis, gonorrhea, klamidia trakomatis dan trikomonas vaginalis yang terjadi setiap tahun di dunia, terutama pada pria dan wanita berusia 15- 49 tahun (WHO, 2009). Christine et al. (2000), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa gonorrheae merupakan kasus ims yang masih tinggi di kalangan remaja yaitu 600 kasus per 100.000 (di Federasi Rusia dan Amerika Serikat), meskipun di banyak negara hasil yang dilaporkan di kalangan remaja dibawah 10 kasus per 100.000. Di semua negara dengan system pelaporan yang baik, kejadian chlamydia sangat tinggi di kalangan remaja (antara 563 dan 1.081 kasus per 100,000). Insiden IMS yang dilaporkan umumnya lebih tinggi terjadi pada remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki pada usia yang sama. Sedangkan Centers for Disease Control (CDC) memperkirakan bahwa ada sekitar 56.300 kasus baru human immunodeficiency virus (HIV) pada tahun 2006 (Diane, 2009). Berdasarkan data dari CDC pada tahun 2012 lebih dari 2,8 juta kasus Chlamydia dan lebih dari 700.000 kasus gonorrhea yang terjadi pada remaja di Amerika Serikat (Robert, 2012). Fenomena Infeksi Menular Seksual (IMS) di Indonesia meningkat pada tahun 2008 menjadi 809 remaja tertular IMS dan sebagian besar adalah wanita dengan kecenderungan meningkat setiap tahunnya, IMS terbanyak adalah servicitis non gonorrhea (32,1%), kondilomata akunimata (15,7%), kandidiasis vaginitis (14,9%), sifilis (11,7%), gonorrhea (9,6%). Distribusi umur yang terbanyak adalah pada kelompok remaja pada usia 20-24 tahun pada pria maupun 3 wanita. Penyebaran IMS sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya. Berdasarkan data dari kabupaten/kota tahun 2012 jumlah penderita PMS di Maluku sebanyak 1.658 orang dan Kabupaten Kep. Aru memiliki jumlah penderita terbanyak yaitu 812 orang, diikuti oleh Kota Ambon sebanyak 768 orang. PMS/IMS berprevalensi tinggi yaitu gonorrhea, chlamydia, dan Sifilis (Profil kesehatan Maluku, 2012). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kab. Maluku Tenggara Barat pada tahun 2012 sampai 2013 Kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan yaitu kasus HIV dari 16 menjadi 24 kasus dan kasus AIDS dari 4 menjadi 8 kasus, dimana 49% adalah wanita. Sedangkan terdapat 51 kasus sifilis dimana 16 kasus terjadi pada wanita usia 15-24 tahun (DinKes MTB, 2013). Berdasarkan Profil Kesehatan DIY tahun 2012, saat ini DIY telah menempati urutan ke 17 provinsi dengan penderita penyakit HIV/AIDS terbesar. Penularan telah berubah dengan dominasi dari jarum suntik pengguna narkoba. Penderita HIV/AIDS terbanyak adalah kelompok usia 20-26 tahun. Laporan program P2M tahun 2012 menunjukkan bahwa penemuan kasus HIV/AIDS dicapai 1.940 kasus. Dari kasus yang ditemukan sejumlah 831 kasus diantaranya telah memasuki fase AIDS sedangkan sisanya masih dalam fase HIV positif (1.110 kasus). Proporsi kasus berdasarkan jenis kelamin anatara lain kasus HIV (562 kasus laki-laki dan 399 kasus perempuan) dan untuk kasus AIDS (579 lakilaki dan 246 perempuan). Sementara itu pada tahun 2011 terdapat 41 kematian akibat AIDS yang meliputi 19 penderita laki-laki dan 22 penderita perempuan. Kondisi kasus AIDS hingga Desember tahun 2012 adalah : 1.685 hidup, 205 meninggal dan tanpa diketahui sebesar 51 kasus. Proporsi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di DIY berdasarkan pada faktor risiko yang menyebabkan HIV/AIDS didominasi oleh perilaku heteroseksual sebanyak 51%, tidak diketahui sebanyak 25%, IDU’s 13% dan yang lainnya adalah homoseksual, biseksual, perinatal dan transfusi. Sedangkan data dari Profil kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2012, dari 134 sampel darah yang 4 diambil pada terdapat 1 positif yang positif HIV positif dan penyakit menular seksual (IMS) berupa syphilis. Sementara dari data register kasus HIV-AIDS sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 jumlah penderita HIV/AIDS yang tercatat berdomisili di wilayah Kabupaten Sleman ada 433 orang, dengan 225 HIV dan 208 AIDS. Hubungan seks pertama kali yang terlalu muda akan meningkatkan risiko terinfeksi IMS dan risiko psikososial. Perilaku remaja yang rentan terhadap IMS meliputi: terlalu dini melakukan hubungan seks, tidak konsisten memakai kondom, melakukan aktifitas seks tanpa perlindungan, berhubungan seks dengan pasangan yang beresiko atau berganti-ganti pasangan (Taylor et al, 2000). Di beberapa negara maju seperti Amerika, hubungan seks yang dilakukan oleh perempuan lebih tinggi yaitu pada usia 14 tahun (Albert et al, 2003). Di 13 dari 32 Negara-negara sub-Sahara Afrika dan di Bangladesh, seperlima atau lebih dari perempuan berusia 20-24 tahun mengatakan mereka pertama kali melakukan hubungan seks sebelum usia 15 tahun (Mensch, 2009). Kang et al, (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa remaja yang aktif secara seksual berisiko mengalami IMS. Dari 856 peserta terdapat 704 remaja yang mengaku telah melakukan hubungan seksual (79,1% perempuan) dan yang menderita IMS antara lain infeksi chlamydia (16,9%), Human Papilloma Virus (8,3%), genital herpes (3,9%), gonorrhea (2,1%) dan HIV (1,0%). Penelitian tentang perilaku seksual berisiko tertular IMS pada remaja yang di lakukan di Teheran, Iran menunjukkan bahwa 27,7% remaja laki-laki usia 15-18 tahun telah melakukan hubungan seksual dan 54% menggunakan kondom (Mohammadi, 2006). Berdasarkan data hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 komponen Kesehatan Reproduksi Remaja (SDKI 2012 KRR), bahwa secara nasional terjadi peningkatan angka remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pranikah dibandingkan dengan data hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) 2007. Hasil survei SDKI 2012 KRR menunjukkan bahwa sekitar 9,3% atau sekitar 3,7 juta remaja menyatakan pernah melakukan hubungan seksual pranikah, sedangkan hasil SKRRI 2007 hanya sekitar 7% atau 5 sekitar 3 juta remaja. Sehingga selama periode tahun 2007 sampai 2012 terjadi peningkatan kasus remaja yang pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 2,3%. Laporan SDKI 2012, perilaku seksual pranikah remaja (15-24 tahun) di Indonesia pada pria lebih tinggi (19,1%) dibandingkan dengan remaja wanita (2,5%). Responden pria yang lebih tua cenderung lebih memiliki pengalaman seksual dibanding pria lainnya (15 berbanding dengan 5 persen). Pria dengan tingkat pendidikan SMTA atau lebih tinggi cenderung pernah melakukan hubungan seksual dibandingkan dengan pria yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada beberapa remaja MTB (Maluku Tenggara Barat) diketahui bahwa 2 dari 5 remaja tidak mengetahui tentang infeksi menular seksual, ada juga yang mempunyai kebiasaan pergi ke club malam dan berganti-ganti pacar. Dampak pergaulan bebas mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti seks bebas, tindak kriminal termasuk aborsi, narkoba, serta berkembangnya infeksi menular seksual (IMS). B. Perumusan Masalah Masa remaja merupakan masa yang begitu penting dalam hidup manusia, karena pada masa tersebut terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia yang disebut pubertas. Masa remaja juga merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Perubahan ini ditunjukkan dari perkembangan organ seksual menuju kesempurnaan fungsi serta tumbuhnya organ genetalia sekunder. Hal ini menjadikan remaja sangat dekat dengan permasalahan seputar seksual. Seks pranikah di kalangan remaja makin meningkat. Keingintahuan remaja yang besar, perkembangan teknologi informasi, kurangnya komunikasi dalam keluarga, dan semakin tak pedulinya masyarakat membuat perilaku itu semakin meluas. Ancaman penyebaran berbagai infeksi menular seksual dan HIV-AIDS. Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: “Adakah hubungan antara Pengetahuan Tentang Infeksi Menular Seksual Dengan Perilaku Seksual Tidak Aman Pada Remaja Putri Maluku Tenggara Barat (MTB) di Daerah Istimewa Yogyakarta?” 6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang infeksi menular seksual dengan perilaku seksual tidak aman pada remaja putri MTB di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran pengetahuan tentang infeksi menular seksual pada remaja putri MTB. b. Mengetahui gambaran perilaku seksual tidak aman pada remaja putri MTB. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam peningkatan program kesehatan reproduksi remaja, program pencegahan dan intervensi dalam upaya menekan laju penyebaran IMS pada remaja. 2. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan konstribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan di bidang kesehatan reproduksi remaja. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikut: Tabel 1. Keaslian Penelitian No 1 Judul penelitian Kuo et al. (2006) Sexual Behavior and Self Reported Sexually Transmitted Diseases (STDs); Comparison between white and Chinesse American Young People. Hasil penelitian Hasil penelitian adalah warga Negara China Amerika lebih rendah tingkat hubungan seksnya dibanding kulit putih. Tidak ada perbedaan prevalensi terkena penyakit menular seksual antara warga China Amerika dan kelompok kulit putih pada kedua kelompok tersebut. Persamaan Persamaan terletak pada variabel terikat yaitu perilaku seksual. Perbedaan penelitian ini menggunakan rancangan Longitudinal Study. Perbedaan juga terdapat pada waktu, lokasi, subjek, dan populasi penelitian. 7 Lanjutan Tabel 1 No 2 Judul penelitian Kang et al. (2014) Sexual behaviour, sexually transmitted infections and attitudes to chlamydia testing among a unique national sample of young Australians: baseline data from a randomised controlled trial. Hasil penelitian Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa remaja yang aktif secara seksual beresiko mengalami IMS. Dari 856 peserta terdapat 704 remaja yang mengaku telah melakukan hubungan seksual (79,1% perempuan) dan yang menderita IMS antara lain infeksi Chlamydia (16,9%), Human Papilloma Virus (8,3%), genital herpes (3,9%), gonorrhea (2,1%) dan HIV (1,0%). Persamaan Variabel bebas infeksi menular seksual. Perbedaan Pada penelitian ini variabel perilaku seksual merupakan variabel bebas. Perbedaan juga terdapat pada waktu, lokasi, subjek, desain penelitian, dan populasi penelitian. Pada Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey. 3 Christine et al. (2000) Sexually transmitted diseases among adolescents in developed countries. Hasil penelitian adalah Gonorrheae merupakan kasus pms yang masih tinggi di kalangan remaja yaitu 600 kasus per 100.000 (di Federasi Rusia dan Amerika Serikat), meskipun di banyak negara hasil yang dilaporkan di kalangan remaja dibawah 10 kasus per 100.000. Di semua negara dengan system pelaporan yang baik, kejadian Chlamydia sangat tinggi di kalangan remaja (antara 563 dan 1.081 kasus per 100,000). Insiden PMS yang dilaporkan umumnya lebih tinggi terjadi pada remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki pada usia yang sama. Rancangan penelitian crosssectional. Terdapat persamaan pada variabel bebas yaitu penyakit menular seksual. Perbedaan terdapat pada waktu, lokasi, subjek, dan populasi penelitian. 4 Miriam J et al. (1999) Perceptions of Sexual Behavior and Knowledge About Sexually Transmitted Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya tingkat aktivitas seksual pranikah di kalangan Terdapat persamaan pada variabel bebas yaitu pengetahuan Desain penelitian “pra eksperiment”. Perbedaan juga terdapat pada waktu, lokasi, 8 Lanjutan Tabel 1 No Judul penelitian Diseases Among Adolescents in Benin City, Nigeria. Hasil penelitian remaja Nigeria dan pengetahuan tentang PMS pada remaja. Selain itu, survei terbaru dari remaja perempuan usia 17-19 tahun di tenggara Nigeria menemukan bahwa prevalensi trikomoniasis sebesar 11%, infeksi klamidia 11%, sedangkan vaginal discharge 82% dan kandidiasis 26%. Persamaan tentang penyakit menular seksual. Perbedaan subjek, desain penelitian, dan populasi penelitian. Pada Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survey.