islamisasi ilmu pengetahuan - Kumpulan Jurnal STAIN Sorong

advertisement
1
PENDIDIKAN QUR’ANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
DINAMIKA SOSIAL MASYARAKAT
HM. Bakir Muzanni
Abstract: Qur'anic education is education which taught the values contained in the
Qur'an (either the value of faith, morals, morality, muamalah, etc), in which it is
intended that students can behave and act in doing everything in life in accordance with
these values. Qur'anic education can also be regarded as a nuanced study of the Qur’an/
nature of the Qur’an, and in accordance with the content of the Qur'an as a source of
knowledge. Which is aimed at education so that learners can practice the values of
education (which is contained in the Qur'an) in the reality of life that is lived everyday.
Role or the implications of the Qur'anic education is in preparation and a reference to
realize that people behave in accordance with the values and teachings of the Qur’an,
according to the role of the Qur’an, is as light or guidance for mankind and as well as
education book (a book that describes the values, components and educational purposes).
Key Words: Qur'anic education, Social Society, Implications.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan himpunan wahyu Tuhan yang sampai kepada Nabi
Muhammad saw dengan perantaraan Malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur, karena ia bertujuan untuk memecahkan setiap problema atau
segala macam persoalan yang timbul dalam masyarakat. Mengenai ajaran serta isinya,
al-Qur’an selain sebagai sumber/dasar dari ajaran/hukum Islam, ia juga merupakan
sumber dari adanya ilmu pengetahuan. Karena segala macam jenis pengetahuan pada
dasarnya adalah bersumber dari al-Qur’an. Dan al-Qur’an juga telah menyebutkan
segala macam jenis ilmu yang telah dan akan diketahui oleh manusia.
Sedangkan dalam mempelajari ilmu pengetahuan, diperlukan adanya proses
pendidikan, yang mana pendidikan merupakan sebuah proses (dalam suatu
cara/sistem) yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh suatu ilmu
pengetahuan. Segala macam komponen yang terdapat dalam pendidikan pada
hakikatnya telah diuraikan dalam al-Qur’an sehingga segala hal dan persoalan yang
berkaitan dengan pendidikan telah terdapat penyelesaiannya dalam al-Qur’an. AlQur’an selain sebagai kitab petunjuk, ia juga sebagai kitab pedoman bagi umat
manusia, khususnya umat Islam. Oleh karena itu, sangatlah tepat apabila dalam setiap
pekerjaan dan persoalannya manusia berpedoman pada kitab al-Qur’an.

Dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur.
Email: [email protected]
Sebuah pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai, ajaran, dan metode alQur’an disebut dengan pendidikan qur’ani. Pendidikan qur’ani merupakan sebuah
pembekalan yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, yakni nilai-nilai ajaran
syariat Islam yang terkandung secara sempurna dalam al-Qur’an sangat dibutuhkan
dalam mewujudkan masyarakat yang agamis dan berperadaban. Oleh karena itu,
sebuah masyarakat yang ingin maju dan berkembang sesuai dengan yang menjadi
harapan umat, dan juga sesuai dengan yang telah digambarkan dalam al-Qur’an
tentang konsep masyarakat ideal (masyarakat madani/masyarakat yang berperadaban)
harus berpedoman dan merealisasikan nilai-nilai (dalam konsep ajaran Islam) yang
terkandung dalam al-Qur’an.
Dengan begitu dapatlah diketahui peran atau implikasi pendidikan qur’ani dalam
dinamika sosial masyarakat, yaitu sebagai bekal dalam mewujudkan masyarakat yang
ideal dan berperadaban. Oleh karena hal tersebut, maka pembahasan tentang
pendidikan qur’ani dan implikasinya terhadap dinamika sosial masyarakat
menemukan relevansinya.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah sepenuhnya penelitian kepustakaan (library research), dalam
arti data-data yang diteliti adalah karya-karya seputar pendidikan al-Qur’an yang
terkait dengan persoalan dinamika sosial masyarakat. Untuk lebih jelasnya, langkahlangah metodologis yang dipergunakan sebagai berikut:
Karena model penelitian ini adalah library research, maka dalam pengumpulan data
terdapat dua sumber: Pertama, sumber primer yang membahas tentang pendidikan
al-Qur’an dan implikasinya terhadap dinamika sosial masyarakat yang tertuang dalam
karya Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an. Kedua, sumber sekunder yang berasal
dari karya-karya seputar pendidikan al-Qur’an atau karya tafsir yang berwawasan
pendidikan.
Sedangkan analisis data dalam tulisan ini menggunakan metode analisis wacana
kritis sebagai berikut: Pertama, analisis teks, di mana dalam hal ini penulis akan
menyoroti terkait pendidikan al-Qur’an atau pendidikan qur’ani. Sedangkan analisis
konteks, pada wilayah ini akan dicoba menganalisis dinamika sosial masyarakat yang
terimplikasi dari pendidikan qur’ani tersebut.
Pendidikan Qur’ani
Khoiron Rosyadi dalam bukunya Pendidikan Profetik mengartikan pendidikan
dalam dua sudut pandang, yaitu pendidikan ditinjau dari sudut pandang manusia, dan
pendidikan dipandang dari sudut pandang individu. Dari sudut pandang manusia,
pendidikan ialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu
pengetahuan, dan keterampilan dalam kehidupan. Sedangkan dari sudut pandang
individu, pandidikan adalah proses perkembangan, yakni perkembangan potensi yang
dimiliki secara maksimal dan diwujudkan dalam bentuk konkret, dalam arti
berkemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan berguna untuk kehidupan
manusia mendatang, mampu berdialog dengan dirinya sendiri, dengan alam sekitar
dan juga dengan realitas absolut, yaitu Tuhannya.
2
Beliau juga mengaitkan hal ini dengan sabda Nabi Muhammad saw : “Didiklah
anak-anakmu, sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, dan bukan untuk
zamanmu”. Dari sini dapat dimengerti bahwa pendidikan harus berorientasi pada
masa depan peserta didik.1
Dari pengertian tersebut dapat dibuat pengertian bahwa pendidikan qur’ani
adalah proses mensosialisasikan/memasyarakatkan nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam al-Qur’an, atau sebuah proses dalam mengembangkan potensi dan
kemampuan yang dimiliki manusia (peserta didik) dengan berpedoman pada nilainilai dan sifat-sifat kependidikan yang terkandung dalam al-Qur’an (sebagai dasar dari
adanya pendidikan Islam).
Pendidikan qur’ani merupakan pendidikan yang didalamnya diajarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam al-Qur’an (baik berupa nilai akidah, moral, akhlaq, muamalah
dan lain sebaginya), yang mana hal itu bertujuan agar peserta didik dapat berperilaku
dan berbuat dalam melakukan segala hal dalam kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai
tersebut.
Pendidikan qur’ani juga bisa dikatakan sebagai pendidikan yang bernuansa alQur’an/bersifat al-Qur’an, dan sesuai dengan kandungan al-Qur’an sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Yang mana pendidikan ini bertujuan agar peserta didik dapat
mengamalkan nilai-nilai pendidikan (yang terkandung dalam al-Qur’an) di dalam
realitas kehidupan yang dijalaninya sehari-hari.
Pembinaan atau bimbingan yang dilakukan dalam pendidikan ini diorientasikan
untuk bisa mengamalkan al-Qur’an dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
dengan tujuan agar menjadi insan (manusia) yang dapat menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai makhluk dan hamba Allah swt dengan baik dan benar. Selain
itu, juga bertujuan agar ia dapat memahami ajaran Islam dengan benar, yang
sumbernya adalah al-Qur’an dan hadis.
Tahapan-Tahapan Pendidikan Qur’ani
Pendidikan Qur’ani memiliki tiga tahapan, yaitu tahapan membaca/bacaan
(iqra’), tahapan memahami (pemahaman), dan mengamalkan (pengamalan). Untuk
lebih jelasnya akan kami uraikan sebagai berikut:
Pertama, Membaca/bacaan (iqra’). Nabi Muhammad saw ketika pertama kali
mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, beliau diperintah untuk
membaca. Padahal waktu itu Nabi tidak bisa membaca, karena Nabi Muhammad
adalah ummi (tidak bisa baca tulis) waktu itu. Karena itu, beliau tidak bersedia
membaca karena memang beliau tidak bisa membaca, akan tetapi Malaikat Jibril
memaksanya dan kemudian mengajarinya untuk bisa membaca.
Kedua, Memahami (pemahaman). Tahapan kedua adalah pemahaman. Setelah
melalui proses membaca, seorang pendidik pastinya akan berusaha untuk bisa
memahami terhadap apa-apa yang telah dibacanya.
Ketiga, Mengamalkan (pengamalan). Setelah peserta didik melalui proses
membaca dan memahami, maka tahapan selanjutnya adalah pengamalan. Yaitu
1Khoiron
Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 136-137.
3
mengamalkan apa-apa yang telah diperolehnya melalui bacaan dan pemahaman yang
diperolehnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an sebagai berikut:
‫ ﻋﻠﻢ‬.‫ ﺍﻟﺬﻯ ﻋﻠﻢ ﺑﺎﻟﻘﻠﻢ‬.‫ ﺇﻗﺮﺃ ﻭﺭﺑﻚ ﺍﻷﻛﺭﻡ‬.‫ ﺧﻠﻕ ﺍﻹﻧﺳﺎﻥ ﻤﻦ ﻋﻟﻕ‬.‫ﺇﻗﺮﺃ ﺒﺎﺴﻢ ﺭﺒﻚ ﺍﻠﺬﻯ ﺧﻠﻖ‬
.‫ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﺎﻟﻢ ﯾﻌﻠﻢ‬
Terjemahnya:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang
paling pemurah. Yang mengajar (manusb ia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq: 1-5).2
Sedangkan metode-metode yang terdapat dalam pendidikan qur’ani tidak jauh
berbeda dengan metode-metode yang digunakan dalam pendidikan Islam, karena
pendidikan ini menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya. Sebagaimana yang dikutip
Khoiron Rosyadi dari pendapat Abdurrahman an-Nahlawi, diantara metode-metode
tersebut adalah :
1. Metode hiwar (percakapan) qur’ani dan nabawi, yakni pendidikan dengan
percakapan/dialog yang bernuansa al-Qur’an dan kenabian.
2. Mendidik dengan kisah-kisah qur’ani dan nabawi.
3. Mendidik dengan amtsal (perumpamaan) qur’ani dan nabawi.
4. Mendidik dengan memberi teladan, atau pendidikan keteladanan.
5. Mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman.
6. Mendidik dengan ibrah (pelajaran) dan mau’izah (peringatan).
7. Mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).3
Inilah metode-metode atau cara yang patut dikembangkan dan diamalkan dalam
pendidikan qur’ani, yang nantinya akan dapat memberikan manfaat dalam
pengamalan pendidikan sehingga peserta didik dapat merealisasikannya dalam
kehidupannya, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam lingkungan masyarakatnya.
Dinamika Sosial Masyarakat
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Muhammad saw yang
berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat yang hidup di
masa turunnya maupun pada masyarakat sesudahnya hingga akhir zaman. Namun
perlu diingat bahwa al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa nilai,
melainkan masyarakat yang sudah sarat dengan nilai-nilai kultural dan sosialnya
masing-masing.4
Maka dari itu, untuk mengantisipasi problematika umat dan dinamika sosial
dewasa ini adalah dengan melalui sebuah alternatif, yaitu rasa keagamaan yang kokoh
tetap dipertahankan sambil mengungkapkannya secara populer (kontekstual) sesuai
dengan nilai-nilai modern. Akan tetapi, konsekuensi penerimaan alternatif ini
2Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 41-42.
Rosyadi, op.cit., h. 216.
4Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. 38.
3Khoiron
4
menuntut diadakannya perubahan-perubahan, baik dalam cara berpikir maupun
dalam cara bersikap yang amat mendasar di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana diimpikan oleh banyak orang bahwa untuk menanggapi tema-tema
pokok persoalan umat, sudah saatnya slogan kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah
perlu digalakkan kembali, agar penataan kualitas umat sejalan dengan slogan itu.
Malahan al-Qur’an sejak semula menegaskan bahwa perlunya pembinaan kualitas
manusia di kalangan umat Islam melalui kreativitas berpikir dan berkarya secara
qur’ani.5
Hal ini sebagaimana telah disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai berikut:
‫ﻭ ﺍﻋﺗﺼﻤﻮﺍ ﺑﺤﺒﻞ ﺍﻠﻠﻪ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻮﻻ ﺗﻔﺮﻗﻮﺍ ﻮﺍﺫﻛﺮﻮﺍ ﻧﻌﻤﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺇﺫ ﻜﻨﺘﻢ ﺃﻋﺩﺍﺀ‬
‫ﻓﺄﻟﻒ ﺑﻴﻦ ﻗﻠﻮﺑﻜﻢ ﻓﺄﺻﺑﺤﺘﻢ ﺑﻨﻌﻤﺘﻪ ﺇﺧﻮﺍﻧﺎ ﻭﻛﻧﺘﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻔﺎ ﺣﻔﺮﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺮ ﻓﺄﻧﻘﺬ ﻜﻢ‬
.﴾٣٠١:‫ﻣﻨﻬﺎ ﻛﺬﺍ ﻟﻚ ﻳﺒﻴﻦ ﺍﻟﻟﻪ ﻟﻜﻢ ﺃﻳﺘﻪ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻬﺘﺪﻭﻥ ﴿ﺍﻝﻋﻤﺮﺍﻥ‬
Terjemahnya:
Berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama Allah) dan janganlah
kamu berpecah belah dan ingatlah akan nikmat Allah (yang diberikannya)
kepadamu, ketika kamu telah bermusuh-musuhan, lalu dipersatukan-Nya
hatimu, sehingga kamu jadi bersaudara dengan nikmat-Nya, dan adalah kamu
di atas pinggir lubang neraka, lalu Allah melepaskan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu. Mudah-mudahan
kamu menerima petunjuk. (QS. Ali-‘Imran : 103).6
Penataan kualitas umat tentu saja harus dimulai dari kualitas diri yang unggul
(insan kamil), yakni keterpaduan antara iman, ilmu dan amal. Banyak ayat al-Qur’an
yang menyebutkan kata iman, selalu diikuti dengan kata amal shalih, mengisyaratkan
bahwa formasi terbaik kualitas manusia pilihan Tuhan adalah bertumpu pada kualitas
manusia yang beriman, berilmu dan beramal baik (shalih) tersebut.
Ini berarti bahwa iman yang tertanam di dalam hati, hanya akan bermakna bila
membuahkan perbuatan-perbuatan lahiriyah yang nyata (amal shalih). Termasuk dari
salah satu amal shalih adalah berbuat baik terhadap sesama manusia, terutama
berbuat baik terhadap sesama masyarakat. Dalam artian, al-Qur’an senantiasa
menganjurkan untuk selalu bersikap dan bertingkah laku yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pengertian Masyarakat
Di dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an sebagaimana yang ditulis oleh Abuddin
Nata dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, menyatakan bahwa masyarakat
diartikan sebagai sebuah kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu,
dan tempat, baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri. Abuddin Nata sendiri
mengemukakan bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki
5Ibid.,
6
h. 40-41.
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim (Cet. 72; Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2002), h. 83.
5
keyakinan dan tujuan yang sama. Menghimpun diri secara harmonis dengan maksud
dan tujuan bersama.8
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat merupakan sebuah
kesatuan dari kumpulan manusia yang saling berhubungan dan memiliki nilai-nilai
dan kebiasaan tertentu. Sebuah masyarakat yang ingin kokoh dan ingin bertahan
dalam menghadapi berbagai tantangan adalah masyarakat yang berpegang teguh pada
nilai-nilai moral dan akhlak yang baik dan mulia. Yaitu masyarakat yang antara satu
dan lainnya tidak saling menyakiti, mendzalimi, merugikan, mencurigai, mengejek,
dan sebagainya.9
Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang menjadi pedoman dan panduan bagi umat
Islam, menghendaki agar hubungan kemasyarakatan manusia dapat bejalan dengan
baik, hendaknya disertai dengan etika,10. sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
‫ﻳﺂ ﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦﺁﻣﻧﻮﺍﺍﺟﺘﻨﺒﻮﺍ ﮐﺜﻴﺮﺍ ﻣﻦﺍﻟﻈﻦ ﺇﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻈﻦ ﺇﺛﻢ ﻭﻻ ﺗﺠﺴﺴﻮﺍ ﻭﻻ ﻳﻐﺘﺐ‬
‫ﺑﻌﻀﮑﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﺃﻳﺤﺐ ﺃﺣﺪ ﻛﻡ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻟﺤﻡ ﺃﺧﻴﻪ ﻣﻴﺘﺎ ﻓﻜﺮﻫﺘﻤﻮﻩ ﻭﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ‬
﴾٣١:‫ﺗﻮﺍﺏ ﺭﺣﻴﻢ ﴿ﺍﻟﺤﺠﺮﺍﺕ‬
Terjemahnya:
“Hai orang-arang yang beriman, jauhilah banyak dari dugaan, sesungguhnya
sebagian dari dugaan adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain serta janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? maka kamu telah jijik kepadanya dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. AlHujurat(49):12).11
Dalam ayat ini, al-Qur’an menjelaskan tentang etika hubungan kemasyarakatan,
yaitu al-Qur’an melarang umat Islam (umat yang beriman) untuk saling berburuk
sangka, menghindari mencari-cari kesalahan orang lain, dan membicarakan
keburukan orang lain (menggunjing). Agar terhindar dari perbuatan tersebut,
seseorang hendaknya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah.12
Ayat di atas menegaskan bahwa sebagian dugaan adalah dosa, yakni dugaan yang
tidak berdasar. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah
dugaan buruk terhadap pihak lain. Ini berarti ayat di atas melarang melakukan dugaan
buruk yang tanpa dasar, karena hal tersebut dapat menjerumuskan seseorang ke
dalam dosa.
Dengan menghindari dugaan dan prasangka buruk, anggota masyarakat akan
hidup tenang dan tentram serta produktif, karena mereka tidak akan ragu terhadap
pihak lain dan tidak juga akan tersalurkan energinya kepada hal-hal yang sia-sia.
8Abuddin
Nata, op.cit., h. 232-233.
h. 240.
10.Ibid., h. 238.
11M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Volume-13), (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 253.
12Abuddin Nata, op.cit., h. 238.
9Ibid.,
6
Tuntutan ini juga membentengi setiap anggota masyarakat dari tuntutan terhadap halhal yang baru bersifat prasangka.
Setelah larangan berburuk sangka, kemudian al-Qur’an selanjutnya adalah
Tajassus, yakni upaya mencari tahu dengan cara yang tersembunyi. Karena upaya
melakukan Tajassus dapat menimbulkan kerenggangan hubungan. Oleh karena itu,
pada prinsipnya ia dilarang, apabila tidak ada alasan yang tepat untuk melakukannya.
Dan juga karena tajassus merupakan kelanjutan dari dugaan (dugaan yang tidak
dibenarkan). Walaupun pada kenyataannya dugaan dan tajassus ada yang dibenarkan
dan ada yang tidak dibenarkan, akan tetapi pada prinsipnya ia dilarang.
Untuk selanjutnya, etika dalam hubungan kemasyarakatan yang disebutkan
dalam ayat di atas adalah larangan Ghibah (menggunjing), yaitu menyebut orang lain
yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh
yang bersangkutan. Thabathaba’i (ulama’ beraliran Syi’ah), sebagaimana yang dikutip
oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Al-Mishbah, menulis bahwa ghibah
merupakan perusakan bagian dari masyarakat satu demi satu sehingga dampak positif
yang diharapkan dari wujudnya satu masyarakat menjadi gagal dan berantakan. Yang
diharapkan dari wujudnya masyarakat adalah hubungan yang harmonis antar
anggotanya, dimana setiap orang dapat bergaul dengan penuh rasa aman dan damai.
Masing-masing dapat mengenal anggota masyarakat yang lainnya sebagai seorang
manusia yang disenangi, tidak dibenci atau dihindari.
Thabathaba’i juga menjelaskan bahwa tujuan manusia dalam usahanya
membentuk masyarakat adalah agar masing-masing dapat hidup di dalamnya dengan
satu identitas yang baik, sehingga dalam interaksi sosialnya dia dapat
menarik/mengambil dan memberi manfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.13
Perubahan Masyarakat
Isyarat al-Qur’an tentang etika tersebut pada gilirannya dapat membentuk
hukum-hukum kemasyarakatan. Al-Qur’an sarat dengan uraian tentang hukumhukum yang mengatur lahir, tumbuh, dan runtuhnya suatu masyarakat. Hukumhukum tersebut oleh al-Qur’an dinamai dengan sunnatullah.14 Salah satu hukum
kemasyarakatan yang amat populer adalah hukum terjadinya perubahan yang dimulai
dari perubahan diri sendiri. Hal ini di rumuskan oleh firman Allah dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
... ‫ﺇﻥ ﺍﻠﻟﻪ ﻻ ﻴﻐﯾﺮ ﻣﺎ ﺒﻘﻮﻢ ﺣﺗﻰ ﯿﻐﯾﺮﻮﺍ ﻣﺎ ﺒﺄ ﻨﻔﺴﻬﻢ‬
...
Terjemahnya:
“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
(masyarakat) sampai mereka mengubah (terlebih dahulu) apa yang ada pada diri
mereka (sikap mental mereka) …(QS. Al-Ra’d(13):11).
13M.Quraish
14Abuddin
Shihab, Tafsir Al-Mishbah (volume-13), op.cit., h. 255-257.
Nata, op.cit., h. 239.
7
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama,
perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah swt; dan kedua, perubahan
keadaan diri manusia yang pelakunya adalah diri manusia itu sendiri. Perubahan yang
dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang
ditetapkannya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih atau membedakan antara satu
masyarakat atau kelompok dengan masyarakat atau kelompok lain. Siapapun yang
mengabaikan (hukum-hukum) tersebut akan digilasnya, sebagaimana yang pernah
terjadi pada masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad sendiri dalam perang
uhud dahulu.15
Pada hakikatnya al-Qur’an menghendaki tumbuhnya masyarakat muslim (yang
bersaksi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak membuat sekutu-sekutu dan
thaghut), yang didukung oleh orang-orang mukmin, yaitu yang mengeksternalisasikan
kemuslimannya dengan amal shaleh dan perbuatan kebaktian (al-birr), yaitu suatu
masyarakat yang memiliki tanggungjawab sosial dalam perbuatan cinta kasih. (QS. AlMa’un(107): 1-7), yang menganjurkan nilai-nilai yang baik (al-khayr), menganjurkan
cara-cara yang susila (al-ma’ruf) dan mencegah cara-cara yang amoral (al-mungkar).16
Ilmu Pengetahuan dan Dinamika Sosial
Umar Shihab dalam bukunya Kontekstualitas Al-Qur’an menyatakan bahwa orang
yang “melihat” (QS.Al-An’am(6): 50) (orang yang berilmu) adalah mereka yang selalu
bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan sosial-kemasyarakatan dengan
metode berpikir yang lebih objektif, rasional, dan moderat. Orang yang berilmu
adalah mereka yang senantiasa berpikir kreatif dalam meneliti dan menelaah kejadiankejadian alam dan seisinya. Yang mana berpikir kreatif itu merupakan perintah alQur’an terhadap manusia. Karena dengan kreativitas berpikir dan berilmu
pengetahuan, seseorang itu menjadi terangkat derajatnya dari manusia kebanyakan.17
Dinamika sosial dewasa ini, misalnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang begitu dinamis, mau tidak mau menuntut respons yang sama dari al-Qur’an.
Karena itu, melalui noktah-noktah ajaran-Nya, umat Islam berkewajiban memberikan
motivasi untuk membangkitkan etos kerja produktif pada umat manusia dalam
memahami al-Qur’an, agar kitab suci ini selalu aktual dan relevan dengan konteks
zamannya.18
Implikasi Pendidikan Qur’ani Terhadap Hubungan Sosial Masyarakat:
Sebuah Analisis
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya Muhammad saw yang
berisikan pedoman untuk dijadikan petunjuk, baik pada masyarakat yang hidup di
masa turunnya maupun pada masyarakat sesudahnya, hingga akhir zaman. Namun,
perlu diingat bahwa al-Qur’an tidak diturunkan dalam masyarakat yang hampa nilai,
15M.
Quraish Shihab, Membumukan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), h. 246.
Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an, (Cet. 2; Jakarta Selatan: Paramadina, 2002), h.115.
17Umar Shihab, op.cit., h. 44.
18Ibid., h. 45.
16Dawam
8
melainkan masyarakat yang sudah sarat dengan nilai-nilai kultural dan sosialnya
masing-masing.19
Dalam hal ini, al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam yang banyak memberikan
petunjuk-petunjuk, arahan, dan anjuran-anjuran, serta kebijaksanaan-kebijaksanaan
Nabi Muhammad saw (sebagai utusan Allah) yang bersumber dari wahyu Allah, telah
mampu mengubah segi-segi negatif yang terdapat pada adat-istiadat masyarakat
jahiliyah dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga pada akhirnya generasi mereka
itu berubah (menuju kepada hal yang lebih baik) dan dinilai sebagai generasi yang
paling baik.
Perubahan-perubahan tersebut dapat terlaksana disebabkan oleh pemahaman
dan penghayatan mereka terhadap al-Qur’an, serta kemampuannya memanfaatkan
dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah dan masyarakat, yang keduanya
(nilai-nilai dan hukum masyarakat) dijelaskan secara gamblang dalam al-Qur’an.
Kemudian untuk mengetahui nilai-nilai dan hukum-hukum masyarakat yang
terkandung di dalam al-Qur’an tersebut diperlukan adanya pendidikan Qur’ani, yakni
pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai dan kandungan al-Qur’an. Karena
hanya melalui pendidikan qur’ani-lah manusia dapat mengetahui, memahami,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Allah melalui Rasulnya.
Oleh karena hal tersebut, maka pendidikan qur’ani menjadi sangat penting untuk
diberikan kepada peserta didik. Karena dengan diberikannya pendidikan qur’ani,
peserta didik akan dapat mengetahui nilai-nilai dan kandungan al-Qur’an yang terkait
dengan kehidupan manusia, baik ketika di dunia maupun ketika di akhirat kelak.
Dengan begitu, peserta didik tersebut akan dapat mengamalkan nilai-nilai qur’ani
yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal itu akan dapat dicapai dan diwujudkan dengan
menggunakan metode-metode qur’ani yang telah disebutkan di atas.
Hanya dengan pendidikan qur’ani-lah manusia akan dapat malaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai makhluk Allah. Dan juga dapat mengetahui dan berupaya agar
bisa membawa bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Itulah gambaran dari urgensi
pendidikan qur’ani dalam kehidupan manusia. Dan pada akhirnya akan dapat
mewujudkan dan melahirkan generasi-generasi penerus yang sesuai dengan yang telah
digambarkan oleh al-Qur’an dan sesuai dengan yang diharapkan oleh kebanyakan
manusia. Inilah letak tujuan akhir dari adanya proses pendidikan.
Penutup
Dari beberapa uraian di atas, dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan qur’ani merupakan pendidikan yang didalamnya diajarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam al-Qur’an (baik berupa nilai akidah, moral, akhlaq,
muamalah dan lain sebagainya), yang mana hal itu bertujuan agar peserta didik
dapat berprilaku dan berbuat dalam melakukan segala hal dalam kehidupannya
sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Umar Shihab, op.cit., h. 38.
19
9
2. Di dalam al-Qur’an, banyak terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang prinsip,
hukum, dan etika hubungan bermasyarakat, maka ia memang sangat pantas untuk
dijadikan pedoman atau patokan dalam hubungan sosial kemasyarakatan.
3. Etika-etika tersebut akan dapat membentuk hukum-hukum kemasyarakatan yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Dan salah satu hukum kemasyarakatan yang
digambarkan oleh al-Qur’an adalah hukum tentang terjadinya perubahan
(perubahan dalam arti sikap dan mental), baik berubah dalam arti sebagian atau
dalam seluruh aspek dan teori bermasyarakat, yang dalam hal ini harus dimulai
dari diri sendiri.
4. Peran atau implikasi dari adanya pendidikan qur’ani adalah sebagai bekal dan
acuan untuk bisa mewujudkan masyarakat yang berperilaku sesuai dengan nilainilai dan ajaran al-Qur’an sesuai dengan peran al-Qur’an, ialah sebagai cahaya atau
petunjuk bagi manusia dan juga sebagai kitab pedidikan (kitab yang menjelaskan
tentang nilai-nilai, komponen, dan tujuan pendidikan).
10
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Raharjo, Dawam. Ensklopedi Al-Qur’an, cet. 2; Jakarta Selatan: Paramadina, 2002
Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2003.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah Volume-13, Jakarta: Lentera Hati, 2004.
-------. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qur’an Karim, Cet. 72; Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2002.
11
Download