MEMORI KASASI PERKARA PERDATA (Studi di Pengadilan Negeri Selong) MASYHUR Dosen Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani Selong, Lombok Timur [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang langsung mengenai memori kasasi perkara perdata. Kekurangan syarat formal sebuah memori kasasi yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang, menyebabkan permohonan kasasi tidak dapat diterima atau dengan kata lain, sebelum memori kasasi ditinjau pula secara yuridis, untu menyatakan diterima tidaknya permohonan kasasi tersebut, serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan kasasi dan cara penggulangannya. Data penelitian ini dikumpulkan melalui data kepustkaan, yaitu data yang diperoleh dari membaca bukubuku literature ataupun lainnya yang dapat memberikan informasi yang bersifat teoritis dan data lapangan, yaitu data yang diperoleh di daerah studi/penelitian yang dalam hal ini di Pengadilan Negeri Selong. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksudkan dicatat dalam buku dapat diterima. Kata kunci: memori kasasi, perkara perdata ABSTRACT This research was conducted to obtain a direct image of the cassation civil cases. Disadvantages formal terms of a cassation which do not qualify as defined by the Act, causing the appeal can not be accepted in other words, before the cassation terms also legally, untu states received whether or not the appeal, as well as obstacles anything encountered in the implementation of the appeal and how penggulangannya. The research data was collected through kepustkaan the data, ie data obtained from reading books or other literature that can provide information that is both theoretical and field data, namely data obtained in the study / research in this case in the District Court Selong. In this study it was found that the filing of the appeal applicant shall submit cassation also containing reasons, within 14 (fourteen) days after the request is recorded in the book that meant unacceptable. Keywords: cassation, civil cases PENDAHULUAN Dalam pengajuan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasanalasannya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku : daftar (pasal 47 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan sebelum itu menurut pasal 115 ayat (1). (2) Undang-undang Mahkamah Agung Republik Indonesia diisyaratkan juga bahwa permohonan pemeriksaan kasasi harus disertai risalah atau memori kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi, jika hal ini dilakukan maka permohonan kasasi dianggap tidak syah. Memori kasasi berisi alasan-alasan yang menyatakan bahwa judex facti telah melakukan perbuatan, baik berupa putusan maupun perbuatan lain yang bertentangan dengan hukum. Alasanalasan melakukan peradilan kasasi diletakkan atas tiga, yaitu : 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 3 Tahun 2016 3. Lalai menemui syarat-syarat diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian ini dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Dalam suasana masyarakat pencari keadilan yang dihadapi oleh Lembaga Peradilan sering terjadi pro dan kontra terhadap putusan tersebut. Di satu pihak kelompok orang merasa dikalahkan oleh putusan pengadilan akan menyatakan bahwa putusan Hakim itu tidak benar dan tidak adil sebaliknya yang merasa dimenangkan akan menyatakan putusan ini luar biasa dan adil, sekalipun putusan Hakim belum atau tidak mencerminkan kebenaran dan keadilan. Akibat adanya kontradiksi terhadap putusan pengadilan itu menurut para pihak yang berperkara terutama bagi pihak yang dikalahkan merasa tidak puas dengan putusan tersebut lalu mengupayakan upaya hukum banding atau kasasi. Meskipun kelompok orang (yang tidak puas) telah menyadari bahwa dasar hukum perkara yang tidak kuat dan tidak mungkin lagi diadakan pemeriksaan kembali putusan itu ke tingkat peradilan selanjutnya karena memang putusan tingkat pertama maupun tingkat banding sesungguhnya sudah mencerminkan kebenaran dan keadilan, maupun kelompok orang yang tidak puas (kelompok orang yang hanya kasasi saja masih juga berkeinginan keras untuk mengajukan upaya kasasi terhadap putusan pengadilan yang bersangkutan dengan maksud hanya ingin memperjuangkan proses pengadilan agar obyek sengketa itu tetap dapat dinikmati lebih lama lagi). Buktinya banyak perkara yang akhirnya kasasinya dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima (Neit Onvankelijk Veklaard) oleh Mahkamah Agung, karena memang tidak memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang. Akibat dari asal kasasi tersebut maka ditempuhlah kekurangankekurangan dalam suatu berkas perkara kasasi yang begitu saja diterima oleh Pengadilan Tinggi Pertama ke Mahkamah Agung antara lain : 1. Permohonan kasasi yang terlambat akan diajukan dari tenggang waktu yang sudah ditetapkan oleh Undangundang. 2. Permohonan kasasi sudah diajukan sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, namun tidak disertai dengan memori/risalah kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi tersebut. 3. Permohonan kasasi yang disertai memori kasasi yang dicap jempol, tetapi tidak disahkan oleh instansi yang berwenang. 4. Permohonan kasi yang diajukan oleh seorang kuasa, tetapi dalam surat kuasanya tidak disebutkan secara khusus bahwa ia dikuasakan untuk mengajukan kasasi. METODE Pendekatan Masalah Penulis/penyususn dalam cara pendekatan masalah akan melakukan secara yuridis normatif yaitu penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku beserta peraturan pelaksanaannya serta bagaimana penerapannya terhadap masyarakat, dan dengan menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang relevan dengan obyek yang terjadi. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dipergunakan yaitu : a. Data Kepustakaan Yaitu, data yang diperoleh dari membaca buku-buku literature ataupun lainnya yang dapat memberikan informasi yang bersifat teoritis. Data Kepustakaan sebagai data skunder dari sudut kekuatan mengikatnya dibagi 2 jenis yaitu : 1. bahan hukum primer, sebagai bahanbahan hukum yang merupakan hukumhukum formal yaitu UU No. 14 tahun 1970, UU No. 14 tahun 1985, Kitab Undang-undang Acara perdata (KUHAP). 2. Bahan hukum skunder, sebagai bahan hukum yang bersifat melengkapi atau menjelaskan hukum primer berupa dokumen-dokumen resmi, majalah hukum dan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Masyhur| 90 Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 3 Tahun 2016 b. Data Lapangan Yaitu, data yang diperoleh di daerah studi/penelitian yang dalam hal ini di Pengadilan Negeri Selong. Sesuai dengan sumber di atas, maka jenis data yang dipergunakan adalah : 1. Data Primer, berupa data lapangan yang diperoleh melalui jawabanjawaban serta keterangan-keterangan atau informasi yang diberikan yaitu Hakim dan Pnitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Selong. 2. Data skunder, berupa bahan-bahan yang bersangkutan dengan memori kasasi seperti Pengadilan Negeri, dokumen-dokumen resmi, serta berkas perkara yang diputus oleh Hakim mengenai memori kasasi perkara perdata sesuai dengan data primer di atas, dalam hal ini karena sudah tentu dan jumlahnya terbatas maka tidak dipergunakan metode sampling. Teknik Pengumpulan Data 1. Penelitian lapangan (Field Reseach) dengan maksud memperoleh data yang valid dengan kegiatan-kegiatan: obsevasi, wawancara, dan quisioner. 2. Penelitian kepustakaan, yaitu dengan cara membaca literatur-literatur. Analisis Data Setelah data-data terkumpul, maka hal yang paling penting adalah pengolahan data, karena tidak ada artinya bila data-data tersebut tidak diolah atau dianalisa dari bahan kepustakaan tadi, kemudian diadakan analisa secara kualitatif, dengan maksud untuk memperoleh pemecahan masalah secara akurat, kualitatif deskriptif digunakan untuk menguraikan masalah-masalah berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari lapangan dan data lapangan yang merupakan obyek dalam pembahasan ini. PEMBAHASAN Alasan-alasan Kasasi dan Prosedurnya 1. Tidak Berwenang atau Melampaui Batas Wewenang Mengenai tidak berwewenangnya atau melampaui batas wewenang adalah salah satu untuk menempuh upaya kasasi, disamping alasan-alasan lain menurut peraturan yang berlaku. Yang dimaksud dengn wewenang adalah kewenangan mengadili dalam Hukum Acara Perdata, kewenangan itu menyangkut wewenang nisbi (Pasal 159 R Bg / 133 HIR) dan wewenang mutlak (pasal 160 R Bg / 034 HIR). Menurut pasal 159 R Bg/133 HIR ditegaskan bahwa “jika Tergugat dipanggil menghadap Pengadilan Negeri sedangkan menurut ketentuan pasal 142 R Bg / 142 HIR, ia tidak perlu menghadap Pengadilan Negeri itu, maka ia dapat mengajukan tangkisan supaya Pengadilan Negeri itu menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya, dengan ketentuan bahwa tangkisan itu harus diajukan segera ada permulaan persidangan. Pernyataan ini tidak akan diperhatikan lagi, kalau Tergantung telah mengemukakan jawabannya atau pokok perkara. Wewenang nisbi masuk dalam subyek (orang) dan wewenang mutlak masuk dalam obyek (letak tanah sengketa, apakah berada dalam wilayah Lombok Timur atau Lombok Tengah). Tergugat baik tentang wewenang nisbi maupun wewenang mutlak harus diajukan dalam tangkisan/eksepsi putusan sela atau sekaligus di nyatakan tuntutan eksepsi tersebut diputus bersamaan dengan pokok perkara, eksepsi ini sendiri masih punya hukum lain, apabila pihak Tergugat tidak puas dengan eksepsi tersebut, yakni sampai ketingkat kasasi. Menurut Veegens arti perkataan melampaui kekuasaan mengadili sejak dulu tidak jelas. Dikatakan melampaui kekuasaan di lapangan dalam arti sempit terdapat apabila hakim bergerak di lapangan legislative dan eksekutif. Melampaui kekuasaan mengadili dalam arti luas terdapat dalam segala hal, dimana hakim bergerak diluar batas-batas yang diberikan oleh Undang-undang kepada hakim pada umumnya. Kriterium ini dijadikan ukuran untuk membedakan pengertian “tidak berwenang” dari melampaui kekuasaan mengadili. Masyhur| 91 Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 3 Tahun 2016 2. Salah Menerapkan Atau Melanggar Hukum Yang Berlaku Kasasi atas dasar melanggar hukum menduduki tempat pertama (dalam UMAI) dan utama dalam peradilan kasasi meskipun ditetapkan pada urutan lain (ketiga) dalam Undang-undang No. 13 tahun 1965. Sedangkan pasal 30 Undangundang No. 14 tahun 1989 alasan tentang tidak melaksanakan (melanggar) atau salah melaksanakan (menerapkan) peraturan melanggar hukum yang berlaku. Undang-undang atau hukum menyatakan kehendaknya dengan katakata kadang-kadang jelas, kadang-kadang tidak jelas. Suatu ketentuan Hukum jarang dapat diterapkan secara langsung sekalipun kata-katanya jelas. Menjadi tugas hakim nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 27 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970). Hakim harus dapat menterjemahkan perasaan hukum dan keadilan masyarakat. Hakim sendiri adalah putra zamannya, hakim agung putra terbaiknya. Dalam kaitannya dengan ketentuan perundang-undangan dan fungsi peradilan kasasi MA, pasal 26 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menentukan : 1. Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan erundang-undangan dari tingkat lebih rendah dari Undang-undang atas dasar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Putusan tentang tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Menurut Subyekti wewenang yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sahnya peraturan Perundang-undangan dari tingkat lebih rendah dari Undang-undang yang lazim disebut teotsingsrecht, ini hannya suatu cuplikan kecil (yang praktis tidak banyak artinya) dari keseluruhan wewenang (udicial power). 3. Lalai Memenuhi Syarat-syarat Wajib. Mahkamah Agung membatalkan perbuatan-perbuatan hakim apabila perbuatan-perbuatan itu melanggar hukum. Demikian juga apabila perbuata hakim itu tidak memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh Undang-undang yang mengancam kelalaian dengan perbuatan yang bersangkutan. Persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh Hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan tugas peradilan untuk menyataakan batalnya perbuatan hakim itu. Hannya perbuatan prosuil (processuele handeing) dari hakim tunduk pada pemeriksaan kasasi. Apabila batalnya putusan atau perbuatan hakim sebagai akibat kelalaian ditentukan oleh Undang-undang, maka terdapat kebatalan formal (formele niettifheid) atau (formele mulliieit). Putusan yang tidak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum adalah batal. Analisis Kasus di Pengadilan Negeri Dalam padal 47 ayat 1 undangundang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Repoblik Indonesia ditegaskan bahwa : “dalam pengajuan memori kasasi pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasanalasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah perohonan dimaksud dicatat dalam buku daftar”. Pernyataan permohonan kasasi oleh Panitra Pengadilan Negeri dibuatkan Akta Pernayataan Permohonan Kasasi dan identitasnya, menyatakan antara siapa melawan siapa, dictum putusan Pengadilan Tinggi serta membubuhkan tanda tangan pemohon didalam akte tersebut. Perhitungan sejak kapan dilakukan memori kasasi itu, terdapat persepsi yang berbeda, orang/pemohon kasasi ada yang memperhitungkan satu hari setelah permintaan kasasi, atau ada juga yang menghitung sejak hari itu juga sampai empat belas hari kemudian termasuk harihari libur dalam rentang waktu empat belas hari tersebut. Misalkan memori Masyhur| 92 Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 3 Tahun 2016 kasasi dimaksudkan pada hari senin tanggal 4 April 2007 sehingga perhitungan berakhirnya kasasi jatuh pada hari Minggu 17 april 2007, sehingga apabila memasukkan memori kasasi pada hari senin tanggal 17 april 2007, maka memori kasasi tersebut telah terlambat. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Permohonan pemerintah dalam tingkat kasasi ternyata tidak semata-mata asal kasasi saja. 2. Setiap permohonan kasasi wajib memperhitungkan rentang waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitaan isi putusan banding untuk permohonan kasasi. 3. Pemohon kasasi/alasan-alasan keberatan kasasi secara formal terpengaruh oleh waktu mengajukan permohonan kasasi. 4. Setiap pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi/alasan-alasan keberatan kasasi dengan mempertimbangkan rentang waktu 14 (empat belas) hari sejak menyatakan kasasi. 5. Baik terhadap terlambat menyatakan kasasi maupun terlambat memasukkan memori, mahkamah agung sebagai perdilan tingkat kasasi akan menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima. 6. Memori kasasi/asalan-alasan keberatan kasasi dapat dibuat secara tertulis oleh pemohon kasasi atau oleh kuasanya yang sah atau secara lisan dengan cara dibuatkan catatan-catatan oleh panitera pengadilan negeri. 7. Alasan-alasan kasasi ditunjukkan langsung pada mahkamah agung melalui pengadilan setempat yang memeriksa perkara tersebut. 8. Mahkamah agung mengambil suatu putusan tidak terikat sepenuhnya pada memori kasasi/alasan-alasan keberatan kasasi akan tetapi dapat memutus lain berdasarkan pasal 52 undang-undang no. 14 tahun 1985. Saran Kepada setiap pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi/alasanalasan keberatan kasasi dan disampaikan tepat pada waktunya dengan memuat alasan-alasan sebagaimana bunyi pasal 30 undang-undang no. 14 tahun 1985, dengan maksud tidak asal kasasi saja sehingga berkas perkara pemohon kasasi dapat diputus berdasarkan azas mudah, cepat dan biaya ringan dan agar berkas perkara kasasi tidak menumpuk di mahkamah agung. DAFTAR PUSTAKA Agus Santoso, 2002, Mengapa Putusan Bebas Tidak Boleh Dikasasi, Dalam: Harian Media Indonesia, Selasa 10 September. Barda Nawawi Arief (II), 2007, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Semarang: Penerbit: Universitas Diponegoro. Barda Nawawi Arief (IV), 2008, Perbandingan Hukum Pidana, Edisi 2-7. Jakarta: Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada, Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit: Rajawali Pers, Jakarta. Hamzah Andi (I), 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Hari Sasangka dan Lili Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Cetakan 1, Penerbit: Mandar Maju, Bandung Harun M. Husein, 1992, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit LaksBang PRESSindo. Leden Marpaung (I), 1995, Putusan Masyhur| 93 Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 3 Tahun 2016 Bebas Masalah dan Pemecahannya, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Leden Marpaung (II), 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri, Upaya Hukum dan Eksekusi), Bagian Kedua, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit: Sinar Grafika. Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit PT. Alumni. Yahya Harahap, M, (I), 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan Kelima. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. http://www.austlii.edu.au/au/journals/SydL awRw/2009/5.html http://www.fact-index.com/c/co/ courdecassation.html http://www.justice.gouv.fr/anglais/minister/ enm.htm#INFO Masyhur| 94