bph dan trans uretra resection prostate

advertisement
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH DAN TRANS URETRA RESECTION PROSTATE
DI RUANG GBST RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Stase Keperawatan Medikal Bedah
Tahap Profesi Program Studi Ilmu Keperawatan FK UGM
Disusun Oleh:
SANTO TRI WAHYUDI
06/194809/EIK/00530
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UGM
YOGYAKARTA
2009
1
BPH DAN TRANS URETRA RESECTION PROSTATE
PENGERTIAN
Benign Prostatic Hyperplasia adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh
karena
hiperplasia
beberapa
atau
semua
komponen
prostat
meliputi
jaringan
kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika
ETIOLOGI
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benign Prostatic Hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign
Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1.
Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostatmengalami hiperplasia.
2.
Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan terjadinya
hyperplasia stroma.
3.
Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4.
Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5.
Teori stem cell
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari uretra
posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian
distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut
2
sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah
kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya
kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram.
Prostat terdiri dari :
•
•
•
Jaringan Kelenjar →
50 - 70 %
Jaringan Stroma (penyangga)
Kapsul/Musculer
30 - 50 %
Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung enzym yang berfungsi
untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi (penggumpalan) di dalam testis
yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme otot-otot di sekitar prostat akan
bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel–sel sperma yang dibuat di dalam
testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan yang dihasilkan meliputi 10–30% dari
ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah
keradangan (prostatitis). Kelainan yang lain sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor)
baik jinak maupun ganas, tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi
lebih berperanan pada terjadinya gangguan aliran kencing. Kelainanyang disebut
belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-laki usia lanjut.
PATOFISIOLOGI
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika
prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra
prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan
intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor
dan buli-buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang
terus-menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah
atau Lower Urinary Tract Symptom/LUTS (Basuki, 2000 : 76).
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor berhasil
dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada fase ini
disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan
kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta
lamanya kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine
di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah
3
kompensasi ini dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga
tidak jarang disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi
adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini
disebut sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah
inkontinensia urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan,
sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup
menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan
otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi urine yang kronis dapat
mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal.
Proses Miksi
Fase pengisian
Pves :
Pup
< 20 cm H2O
: 60 – 100 cm H2O
Fase ekspulsi :
Isi blader 200 – 300 ml
Mulai terangsang ingin kencing
Reseptor Strecth
Syaraf Otonom PS S2 - 4
Tonus Bladder 60 – 120 cm H2O (ingin kencing)
Up membuka, sp. Eks masih menutup
4
BPH
P up meningkat
Kontraksi Detrusor meningkat
Hipertropi
P Ves > P up
P Ves < P up
Fase Kompensata
Fase Decompensata
Kualitas miksi masih baik
Retensio Urine
TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b.
Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c.
Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d.
Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e.
Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a.
Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b.
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c.
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
5
Derajat Benigna Prostat Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1.
Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1–2 cm, sisa urine
kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat + 20 gram.
2.
Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas
masih teraba, sisa urine 50–100 cc dan beratnya + 20–40 gram.
3.
Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine
lebih 100 cc, penonjolan prostat 3–4 cm, dan beratnya 40 gram.
4.
Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit keginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
PENATALAKSANAAN
Terapi Medikamentosa Pada Benigne Prostat Hyperplasia
Terapi ini diindikasikan pada Benigne Prostat Hyperplasia dengan keluhan ringan, sedang
dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi pembedahan, tetapi masih terdapat kontra
indikasi atau belum “well motivated”. Obat yang digunakan berasal dari Fitoterapi,
Golongan Supressor Androgen dan Golongan Alfa Bloker.
a.
Fito Terapi
a)
Hypoxis rosperi (rumput)
b) Serenoa repens (palem)
c)
b.
Curcubita pepo (waluh )
Pemberian obat Golongan Supressor Androgen/anti androgen :
a)
Inhibitor 5 alfa reduktase
b) Anti androgen
c)
c.
Analog LHRH
Pemberian obat Golongan Alfa Bloker/obat penurun tekanan diuretraprostatika : Prazosin, Alfulosin, Doxazonsin, Terazosin
Pembedahan
1.
Trans Uretral Reseksi Prostat
: 90-95 %
2.
Open Prostatectomy
: 5-10 %
BPH yang besar (50-100 gram) → Tidak habis direseksi dalam 1 jam.
Disertai Batu Buli Buli Besar (>2,5cm), multiple. Fasilitas TUR tak ada.
6
Indikasi Pembedahan BPH
 Retensi urine akut
 Retensi urine kronis
 Residual urine lebih dari 100 ml
 BPH dengan penyulit
 Hydroneprosis
 Terbentuknya Batu Buli
 Infeksi Saluran Kencing Berulang
 Hematuri berat/berulang
 Hernia/hemoroid
 Menurunnya Kualitas Hidup
 Retensio Urine
 Gangguan Fungsi Ginjal
 Terapi medikamentosa tak berhasil
 Sindroma prostatisme yang progresif
 Flow metri yang menunjukkan pola obstruktif
 Flow. Max kurang dari 10 ml
 Kurve berbentuk datar
 Waktu miksi memanjang
Kontra Indikasi
•
IMA
•
CVA akut
Tujuan :
•
Mengurangi gejala yang disertai dengan obstruksi leher buli-buli
•
Memperbaiki kualitas hidup.
Prostatektomi
Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan yang masing –
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
a. Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu
insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
7
Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa
komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode
yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat
bocor disekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman.
Keuntungan yang lain dari metode ini adalah secara teknis sederhana, memberika
area eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa,
pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung
kemih yang berkaitan.
b.
Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka.
Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh
bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah
penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta
ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat
tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau
cedera rectal dapat mungkin terjadi
dari cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif
terbatas.
c. Prostatektomi retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana
insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok
untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar
dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi
dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat
mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat
pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah
periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih
sedikit.
Insisi Prostat Transuretral (TUIP)
8
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini
diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gram/kurang) dan efektif
dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan
dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
TURP ( Trans Uretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung
10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter
yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum
maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan
tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi
digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah
dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars
prostatika (Anonim,FK UI,1995).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang
dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari
kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila
tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%).
Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan
timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
9
Periode Pre Operatif
Mengkaji kecemasan klien, mengoreksi miskonsepsi tentang pembedahan dan memberikan
informasi yang akurat pada klien
•
Type pembedahan
•
Jenis anesthesi → TUR – P, general / spina anesthesi
•
Cateter : folly cateter, Continuous Bladder Irigation (CBI).
Persiapan orerasi lainnya yaitu :
•
Pemeriksaan lab. Lengkap : DL, UL, RFT, LFT, pH, Gula darah, Elektrolit
•
Pemeriksaan EKG
•
Pemeriksaan Radiologi : BOF, IVP, USG, APG.
•
Pemeriksaan Uroflowmetri → Bagi penderita yang tidak memakai kateter.
•
Pemasangan infus dan puasa
•
Pencukuran rambut pubis dan lavemen.
•
Pemberian Anti Biotik
•
Surat Persetujuan Operasi (Informed Concern).
Periode Intra Operatif
Pengelolaan Keamanan:
a.
Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian.
b.
Mengatur posisi pasien
-
Posisi fungsional
-
Membuka daerah untuk operasi
-
Mempertahankan posisi selama prosedur.
c.
Memasang alat grounding
d.
Menyiapkan bantuan fisik
Pemantauan fisiologis
a.
Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan
10
b.
Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal.
c.
Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan
RR.)
Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar
a.
Menyiapkan bantuan emosional
b.
Melanjutkan observasi status emosional
c.
Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.
Manajemen Keperawatan
a.
Menyelamatkan keselamatan fisik pasien.
b.
Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali
c.
Mengelola dengan efektif sumber daya manusia.
Anggota Tim Fase intraoperatif
a. Tim bedah utama steril
-
Ahli bedah utama
-
Asisten ahli bedah
-
Perawat instrumentator.
b. Tim anestesi:
-
Ahli anestesi atau pelaksana anestesi
-
Circulating nurse
-
Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)
Tugas perawat instrumentator
a.
Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi.
b.
Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur
c.
Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah
d.
Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan
untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan
yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik,
ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan,
11
sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan
asuhan pasien yang optimal.
Tugas Perawat Circulating
Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi,
perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus
mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien.
Periode Pemulihan Pasca Anestesi
Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi
kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis.
Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif
terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan
dan fungsi lain.
Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase/periode pemulihan pasca
anrestesi adalah :
a.
Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi
sekunder terhadap intubasi.
b.
Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan
syaraf.
c.
Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap
anestesia
d.
Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang
operasi yang dingin.
Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit
perawatan adalah sbb. :
a.
Kemampuan memutar kepala
b.
Ekstubasi dengan jalan nafas bersih.
c.
Sadar, mudah terbangun.
d.
Tanda-tanda vital stabil
e.
Balutan kering dan utuh
12
f.
Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam.
g.
Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi.
h.
Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan.
Periode Post Operatif
Post operatif care pada dasarnya sama seperti pasien lainnya yaitu monitoring terhadap
respirasi, sirkulasi dan kesadaran pasien :
1.
Airway
: Bebaskan jalan fafas
Posisi kepala ekstensi
Breathing: Memberikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Observasi pernafasan
Cirkulasi : mengukur tensi, nadi, suhu tubuh, pernafasan, kesadaran dan produksi urine
pada fase awal (6jam) paska operasi harus dimonitor setiap jam dan harus dicatat.
Bila pada fase awal stabil, monitor/interval bisa 3 jam sekali
Bila tensi turun, nadi meningkat (kecil), produksi urine merah pekat harus
waspada terjadinya perdarahan → segera cek Hb dan lapor dokter.
Tensi meningkat dan nadi menurun (bradikardi), kadar natrium menurun,
gelisah atau delir harus waspada terjadinya syndroma TUR → segera
lapor dokter.
Bila produksi urine tidak keluar (menurun) dicari penyebabnya apakah
kateter buntu oleh bekuan darah → terjadi retensi urine dalam buli-buli
→ lapor dokter, spoling dengan PZ tetesan tergantung dari warna urine
yang keluar dari Urobag. Bila urine sudah jernih tetesan spoling hanya
maintennens/dilepas dan bila produksi urine masih merah spoling
diteruskan sampai urine jernih.
Bila perlu Analisa Gas Darah
Apakah terjadi kepucatan, kebiruan.
Cek lab : Hb, RFT, Na/K dan kultur urine.
2.
Pemberian Anti Biotika
 Antibiotika profilaksis, diberikan bila hasil kultur urine sebelum operasi steril.
Antibiotik hanya diberikan 1 X pre operasi + 3 – 4 jam sebelum operasi.
13
 Antibiotik terapeutik, diberikanpada pasien memakai dower kateter dari hasil
kultur urine positif. Lama pemberian + 2 minggu, mula-mula diberikan parenteral
diteruskan peroral. Setiap melepas kateter harus diberikan antibiotik profilaksis
untuk mencegah septicemia.
3.
Perawatan Kateter
Kateter uretra yang dipasang pada pasca operasi prostat yaitu folley kateter 3 lubang
(treeway catheter) ukuran 24 Fr.
Ketiga lubang tersebut gunanya :
1.
untuk mengisibalon, antara 30 – 40 ml cairan
2.
untuk melakukan irigasi/spoling
3.
untuk keluarnya cairan (urine dan cairan spoling).
Setelah 6 jam pertama sampai 24 jam kateter tadi biasanya ditraksi dengan
merekatkan ke salah satu paha pasien dengan tarikan berat beban antara 2 – 5 kg.
Paha ini tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
Paling lambat pagi harinya traksi harus dilepas dan fiksasi kateter dipindahkan ke
paha bagian proximal/ke arah inguinal agar tidak terjadi penekanan pada uretra bagian
penosskrotal. Guna dari traksi adalah untuk mencegah perdarahan dari prostat yang
diambil mengalir di dalam buli-buli, membeku dan menyumbat pada kateter.
Bila terlambat melepas kateter traksi, dikemudian hari terjadi stenosis leher buli-buli
karena mengalami ischemia.
Tujuan pemberian spoling/irigasi :
1.
Agar jalannya cairan dalam kateter tetap lancar.
2.
Mencegah pembuntuan karena bekuan darah menyumbat kateter
3.
Cairan yang digunakan spoling H2O / PZ
Kecepatan irigasi tergantung dari warna urine, bila urine merah spoling dipercepat
dan warna urine harus sering dilihat. Mobilisasi duduk dan berjalan urine tetap jernih,
maka spoling dapat dihentikan dan pipa spoling dilepas.
Kateter dilepas pada hari kelima. Setelah kateter dilepas maka harus diperhatikan
miksi penderita. Bisa atau tidak, bila bisa berapa jumlahnya harus diukur dan dicatat
atau dilakukan uroflowmetri.
14
Sebab-sebab terjadinya retensio urine lagi setelah kateter dilepas :
1.
Terbentuknya bekuan darah
2.
Pengerokan prostat kurang bersih (pada TUR) sehingga masih terdapat obstruksi.
TUR – P
Setelah TUR – P klien dipasang tree way folley cateter dengan retensi balon 30 – 40
ml. Kateter di tarik untuk membantu hemostasis
Intruksikan klien untuk tidak mencoba mengosongkan bladder Otot bladder kontraksi
→ nyeri spasme
CBI (Continuous Bladder Irigation) dengan normal salin → mencegah obstruksi atau
komplikasi lain CBI – P. Folley cateter diangkat 2 – 3 hari berikutnya
Ketika kateter diangkat timbul keluhan : frekuensi, dribbling, kebocoran → normal
Post TUR – P : urine bercampur bekuan darah, tissue debris → meningkat → intake
cairan minimal 3000 ml/hari → membantu menurunkan disuria dan menjaga urine
tetap jernih.
OPEN PROSTATECTOMY
Resiko post operative bleeding pada 24 jam pertama oleh karena bladder spsme atau
pergerakan
Monitor out put urine tiap 2 jam dan tanda vital tiap 4 jam
Arterial bleeding → urine kemerahan (saos) + clotting
Venous bleeding → urine seperti anggur → traction kateter
Vetropubic prostatectomy
Observasi : drainage purulent, demam, nyeri meningkat → deep wound infection,
pelvic abcess
Suprapubic prostatectomy
 Perlu Continuous Bladder Irigation via suprapubic → klien diinstruksikan tetap
tidur sampai Continuous Bladder Irigation dihentikan
 Kateter uretra diangkat hari 3 – 4 post op
 Setelah kateter diangkat, kateter supra pubic di clamp dan klien disuruh miksi dan
dicek residual urine, jika residual urine ± 75 ml, kateter diangkat
15
DIAGNOSA KEPERAWATAN PRE OPERASI
1.
Retensio urine) berhubungan dengan obstruksi akibat pembesaran prostat/dekompresi
otot detrussor.
2.
Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa/distensi kandung kencing/kolik
renal/infeksi saluran kencing.
3.
Cemas berhubungan dengan rencana pembedahan dan kehilangan status kesehatan
serta penurunan kemampuan sexual
4.
Dysfungsi sexual berhubungan dengan obstrusi perkemihan.
5.
Kurang pengetahuan tentang sifat penyakit, tujuan tindakan yang diprogramkan dan
pemeriksaan diagnostik berhubungan dengan kurangnya informasi/terbatasnya
informasi/informasi yang keliru
6.
Gangguan pola tidur berhubungan dengan sering miksi pada malam hari
7.
Resiko injury dan resiko infeksi berhubungan dengan obstruksi perkemihan
8.
Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan Dower Cateter yang lama
DIAGNOSA KEPERAWATAN POST OPERASI
1.
PK: perdarahan berhubungan dengan tindakan bedah (reseksi).
2.
Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat reseksi
3.
Cemas berhubungan dengan proses penyakitnya yang masih dapat kambuh lagi.
4.
Retensi urine berhubungan dengan obstruksi saluran kateter oleh bekuan darah/klot.
5.
Resiko terjadinya kelebihan volume cairan berhubungan dengan adanya penyerapan
cairan irigasi yang berlebihan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Linda Jual. (1995). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djanalaeoni H. (1977). Aseptik dan Antiseptik. Volume 6. Ropanasuri.
Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume I
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Hardjowijoto S. Pemeriksaan Sistoskopi. Seksi/Program Studi Urologi Unair.
Hardjowijoto S. (1999) .Benigna Prostatic Hyperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan).Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Puruhito. (1989). Tata Kerja Kamar Operasi. Surabaya.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
Soesanto Wibowo, Puruhito, Setiono Basuki. Pedoman Teknik Operasi.
Sumartono, M., Gardjito, W., Hardjowijoto, S. (1983). Reseksi Transuretral Pada
Hyperplasia Benigna dari Kelenjar Prostat. Bagian ilmu bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
17
Download