PROFIL ENERGI LISTRIK TERBARUKAN MELALUI TEKNOLOGI

advertisement
PROFIL ENERGI LISTRIK TERBARUKAN MELALUI
TEKNOLOGI MICROBIAL FUEL CELL DARI
BEBERAPA SUBSTRAT POTENSIAL
TESIS
OLEH:
ALWAHAB
G2L1 15 005
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
PROFIL ENERGI LISTRIK TERBARUKAN MELALUI
TEKNOLOGI MICROBIAL FUEL CELL DARI
BEBERAPA SUBSTRAT POTENSIAL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Master Sains pada Progran Studi Kimia
Program Pascasarjana Universitas Halu Oleo
OLEH:
ALWAHAB
G2L1 15 005
PROGRAM STUDI KIMIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
: Alwahab
Nomor Induk Mahasiswa : G2L1 15 005
Program Studi
: Kimia
Program Pendidikan
: Pascasarjana
Universitas
: Halu Oleo
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambialihan
tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran
saya sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau atau dapat dibuktikan Tesis ini hasil
jiblakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai
peraturan yang berlaku.
,
iii
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh
Alhamdulillahirabbil’aalamiin, puji dan syukur penulis panjatkan atas
kehadirat Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas
limpahan
rahmat,
karunia
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penelitian yang berjudul “Profil Energi Listrik Terbarukan
Melalui Teknologi Microbial Fuel Cell Dari Beberapa Substrat Potensial”.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad
S.A.W. beserta keluarga dan para sahabatnya sebagai pembawa kebenaran
sepanjang zaman dan menjadi panutan terbaik bagi umat manusia serta
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sampai saat ini dapat
dinikmati oleh seluruh manusia di penjuru dunia.
Proses penulisan tugas akhir ini merupakan sebuah pengalaman yang
sangat berharga. Pengalaman yang tidak hanya memberikan tantangan dalam
segi keilmuan tetapi juga sarat ujian mental dan fisik dalam menuju proses
pendewasaan. Sebuah proses eksplorasi yang tidak pernah berhenti yang
mungkin akan sangat berat jika tidak ada pihak-pihak yang bersedia meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk membantu memberikan bimbingan, arahan,
dukungan serta motivasi kepada penulis.
Melalui kesempatan ini dengan segala bakti penulis haturkan terima kasih
yang tak terhingga kepada orang tua penulis ibunda Wa Umi dan ayahanda La
Kiama atas segala doa, restu, semangat, bimbingan, arahan dan nasehat yang
v
memberikan kedamaian hati serta ketabahan dalam mendidik, membesarkan dan
menitipkan harapan besar penulis. Terimakasih banyak dan permohonan maaf
penulis sampaikan dengan penuh rasa hormat dan bakti kepada ayah dan ibu
karena berkat itu semua segala macam tantangan dan rintangan dalam proses
penyelesaian tugas akhir ini dapat dihadapi. Semoga menjadi amal jariyah kepada
keduanya dan Allah S.W.T. selalu melindungi dan melimpahkan rahmat-Nya
kepadanya.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. rer. nat. H.
Ahmad Zaeni, M.Si. selaku pembimbing pertama dan bapak La Ode Ahmad,
S.Si., M.Si., Ph.D. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama
mengikuti perkuliahan maupun dalam proses penyelesaian tugas akhir ini.
Semoga Allah S.W.T. membalas kebaikan beliau dengan balasan yang terbaik.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis
haturkan kepada :
1. Rektor Universitas Halu Oleo.
2. Direktur pascasarjana Universitas Halu Oleo.
3. Ketua program studi kimia pascasarjana Universitas Halu Oleo.
4. Kepala laboratorium kimia Universitas Halu Oleo.
5. Prof. Dr. H. Muh. Nurdin, M.Sc., Dr. Alimin, S.Si., M.Si. dan Prof. Dr. I.
Sahidin, S.Pd., M.Si., selaku dewan penguji yang telah banyak memberikan
ide dan saran bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
vi
6. Seluruh dosen program studi pascasarjana kimia yang telah membagikan ilmu
dan pengetahuannya yang begitu berarti bagi penulis.
7. Kepada Dr. Prima Endang Susilowati, M.Si. atas ilmu, arahan dan saran
terhadap isolasi dan identifikasi mikroba selama melakukan penelitian.
8. Ibu Hafni, ibu Muli dan pak Rahmad selaku Analis Laboratorium Kimia dan
Biologi untuk semua pelayanan dan fasilitas yang telah diberikan selama
penulis melakukan penelitian.
9. Teman seperjuangan Agung Yodha, Edihar, Herdin, Yoga, Kak Irma, Pak
Sukidi, Kak Rahayana, Kahar, Salni, Sapril, Pithy, Akifah, Aswan atas rasa
kekeluargaan yang terjalin erat selama ini.
10. Empat adikku, Ademarsal, S.Si., Dian Yustika Rini, Lening Tias dan Sri
Muning, terima kasih atas dukungannya baik itu dalam bentuk materi maupun
moril.
11. Kepada seluruh keluarga penulis atas dukungan dan bantuan baik materi
maupun moril sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan sebagaimana
mestinya.
12. Laode Abdul Kadir, S.Si., M.Si., Sarlan, S.Si., Feri Ichsan Susilo, Sigit
Tonggo Pribadi, S.Si., Diva Ardiyanti, S.Si., Novianti Rasmin, S.Si., Fitri
Wahyunita, S.Si., Iwan Kurniawan Martono, S.Si. dan Dewi Astriyanti,
S.Farm., Apt. terimaksih atas bantuan dan saran pada penulis dalam
pengerjaan penelitian.
13. Rekan-rekan mahasiswa pascakimia ’013, ’014 dan ’016 yang namanya tidak
dapat penulis tuliskan satu persatu atas bantuannya kepada penulis.
vii
14. Seluruh pihak yang telah membantu melancarkan penelitian dan penulisan ini
yang tidak tersebutkan namanya ucapan terima kasih tak terhingga dari penlis.
Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak dan apabila masih terdapat kesalahan dalam tulisan ini,
sudilah kiranya memberikan koreksi untuk lebih baiknya tulisan ini. Semoga Allah S.W.T. memberi taufik kepada kita semua untuk mencintai ilmu yang bermanfaat dan memberikan ridho balasan yang sebaik-baiknya. Aamiin.
Kendari, 21 Juni 2017
Penulis
viii
ABSTRAK
ALWAHAB (G2L1 15 005). Profil Energi Listrik Terbarukan Melalui Teknologi
Microbial Fuel Cell Dari Beberapa Substrat Potensial. Dibimbing oleh AHMAD
ZAENI sebagai pembimbing I dan LA ODE AHMAD sebagai pembimbing II.
Studi pemanfaatan bahan organik yang terkandung dalam beberapa substrat
potensial sebagai sumber energi listrik alternatif melalui teknologi MFC telah
dilakukan. Microbial fuel cell (MFC) adalah salah satu bentuk teknologi yang
dapat mengubah bahan organik kompleks dalam sedimen maupun dari air limbah
untuk menghasilkan elektron sebagai sumber energi melalui proses metabolisme
mikroba. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik beberapa
substrat potensial, mengetahui kinerja MFC menggunakan substrat potensial
dengan menggunakan elektrolit KMnO4 dan aerator, mengetahui pengaruh dengan
menambah luas permukaan elektroda grafit sheet dalam kinerja MFC, mengetahui
perubahan karakteristik substrat potensial dan mengetahui karakteristik bakteri
MFC dari substrat potensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik
sedimen laut Teluk Kendari yang meliputi kadar bahan organik berupa C-organik
sebesar 4,23%, nitrogen total 1,08%, dan rasio C/N 3,92 sedangkan sedimen
Rawa Aopa sebesar 2,42%, nirogen total 0,81% dan rasio C/N 2,99. Karakteristik
air lindi diperoleh C-organik sebesar 3,18%, nitrogen total 1,01% dan rasio C/N
3,15 sedangkan kotoran sapi sebesar C-organik sebesar 3,60%, nitrogen total
1,13% dan rasio C/N 3,19. Sistem SMFC sedimen laut Teluk Kendari
menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,404 V
sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 1,628 V. Sistem SMFC sedimen Rawa
Aopa menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,354 V
sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 0,622 V. Sistem MFC air lindi
menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,474 V
sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 1,554 V. Sistem MFC kotoran sapi
menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,374 V
sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 0,835 V. Hasil karakterisasi substrat
MFC menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan bahan organik substrat.
Kandungan bahan organik sedimen laut Teluk Kendari setelah pemakaian SMFC
yaitu C-organik menjadi sebesar 4,06%, nitrogen total 0,97% dan rasio C/N 4,19.
Kandungan bahan organik sedimen Rawa Aopa setelah pemakaian SMFC yaitu
C-organik menjadi sebesar 1,85%, nitrogen total 0,79% dan rasio C/N 2,34.
Kandungan bahan organik air lindi setelah pemakaian MFC yaitu C-organik
menjadi sebesar 2,48%, nitrogen total 0,93% dan rasio C/N 2,67. Kandungan
bahan organik kotoran sapi setelah pemakaian MFC yaitu C-organik menjadi
sebesar 2,70%, nitrogen total 0,99% dan rasio C/N 2,72. Karakteristik bakteri
MFC yang berasal dari sedimen laut Teluk Kendari, sedimen Rawa Aopa, air lindi
dan kotoran sapi semua besar bersifat Gram positif dan semua berbentuk basil
(batang).
Kata kunci: bahan organik, sedimen, air limbah, MFC
ix
ABSTRACT
ALWAHAB (G2L1 15 005). A Profile of Renewed Electrical Energy through
Microbial Fuel Cell Technology from Several Potential Subtrates. Supervised by
AHMAD ZAENI as Supervisor and LA ODE AHMAD as Co-supervisor.
A study of the utilization of organic materials contents in several potential
substrates as a source of alternative electricity through MFC technology has been
conducted. Microbial fuel cell (MFC) is a form of technology that can change
complex organic materials within sediments or waste water to generate electron
and becomes a source of energy through metabolism of microbes. The aims of this
study are to determine the characteristics of several potential subtrates, to
determine the performance of MFC with potential subtrates by using KMnO4
electrilyte and aerator, to determine the effect of expanding the surface areas of
graphite sheet electrode on the performance of MFC and to determine change in
the characteristics of MFC bacteria from potential substrates. Results show that
the characteristics of marine sediments of Kendari Bay are as follows C-organic is
4,23%, total of nitrogen 1,08% and C/N ratio 3,92, whereas the sediments of
Rawa Aopa is 2,42%, total of nitrogen 0,81% dan C/N ratio 2,99. The
characteristics of alkali water are as follows C-organic is 3,18%, total of nitrogen
is 1,01% and C/N ratio 3,15 whereas cow dungs have 3,60% of C-organic,, 1,13%
of nitrogen total and 3,19 of C/N ratio. The SMFC system of marine sediments in
Kendari Bay using aerator can generate 0,404 V of electric power whereas the use
of KMnO4 generates 1,628 V. The SMFC system of sediment in Rawa Aopa
using aerator can generate 0,354 V electric power, where KMnO4 can generate
0,622 V. The MFC system alkalis water using aerator can generate 0,474 V
electric power whereas KMnO4 can generate 1,554 V. The MFC system with cow
dungs using aerator can generate 0,374 V electric power whereas KMnO4 can
generate 0,835 V. Results of analyzing the characteristics of MFCsubstrate
showed that there is a decrease in the content of organic substrate. The
characteristics of organic materials of marine sediments in Kendari Bay after the
use of SMFC are C-organic increases to 4,06%, nitrogen totas is 0,97% and C/N
ratio is 4,19. The characteristics of organic materials of marine sediments in Rawa
Aopa after the use of SMFC are C-organic increased to 1,85%, nitrogen total
0,79% and C/N ratio 2,34. The characteristics of organic materials of marine
sediments in alkali water after the use of SMFC are C-organic increases to 2,48%,
nitrogen total 0,93% and C/N ratio 2,67. The contents of organic materials in
marine sediments in cow dungs after the use of SMFC are C-organic increases to
2,70%, nitrogen total 0,99% and C/N ratio 2,72. The characteristic of MFC
bacteria in the marine sediment of Kendari Bay, Rawa Aopa, alkali water and cow
dung is positive Gram and all comes in basil (stems).
Keyword: organic material, sediments, waste water, MFC.
x
x
DAFTAR ISI
TESIS
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
i
HALAMAN PENGESAHAN
Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR
iv
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Rumusan Masalah
6
1.3. Tujuan
7
1.4. Manfaat
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1. Energi
8
2.1.1. Macam-Macam Sumber Energi
2.1.2. Sumber-Sumber Energi
8
10
2.2. Fuel Cell
12
2.3. Microbial Fuel Cell (MFC)
16
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Microbial Fuel Cell (MFC)18
2.5. Sediment Microbial Fuel Cell (SMFC)
19
2.6. Bakteri MFC
21
xi
2.7. Desain Konfigurasi MFC
25
2.8. Limbah dan Sedimen Potensial
27
2.8.1. Limbah Air Lindi
27
2.8.2. Limbah Kotoran Sapi
28
2.8.3. Sedimen Laut Teluk Kendari
31
2.8.4. Sedimen Rawa Aopa
32
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
35
3.1. Kerangka Pemikiran
35
3.2. Hipotesis
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
37
4.1. Jenis Penelitian
37
4.2. Desain Penelitian
37
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
37
4.4. Variabel Penelitian
37
4.4.1. Variabel Bebas
37
4.4.2. Variabel Terikat
38
4.4.3. Variabel Terkendali
38
4.5. Alat dan Bahan
38
4.5.1. Alat
38
4.5.2. Bahan
39
4.6. Metode Penelitian
39
4.6.1. Karakterisasi Air Limbah dan Sedimen Potensial
40
4.6.2. Pembuatan Reaktor MFC
46
4.6.3. Pengukuran Arus dan Potensial Listrik MFC
47
4.6.4. Isolasi, Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri MFC
48
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
50
5.1. Karakteristik Substrat Sebelum Penggunaan MFC
50
5.1.1. Karakteristik Sedimen Rawa Aopa dan Sedimen Laut Teluk Kendari50
xii
5.1.2. Karakteristik Air Lindi dan Kotoran Sapi
5.2. Energi Listrik yang Dihasilkan MFC
54
57
5.2.1. Energi Listrik yang Dihasilkan Sedimen Laut Teluk Kendari
57
5.2.2. Energi Listrik yang Dihasilkan Sedimen Rawa Aopa
66
5.2.3. Energi Listrik yang Dihasilkan Air Lindi
69
5.2.4. Energi Listrik yang Dihasilkan Kotoran Sapi
75
5.3. Karakteristik Substrat Setelah Penggunaan MFC
79
5.3.1. Karakteristik Sedimen Rawa Aopa dan Sedimen Laut Teluk Kendari79
5.3.2. Karakteristik Air Lindi dan Kotoran Sapi
5.4. Karakteristik Bakteri MFC
81
85
5.4.1. Karakteristik Bakteri Sedimen Laut Teluk Kendari
85
5.4.2. Karakteristik Bakteri Sedimen Rawa Aopa
87
5.4.3. Karakteristik Bakteri Air Lindi
88
5.4.4. Karakteristik Bakteri Kotoran Sapi
90
BAB VI
PENUTUP
92
6.1. Kesimpulan
92
6.2. Saran
93
DAFTAR PUSTAKA
94
LAMPIRAN
105
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Teks
Halaman
Jenis fuel cell dan karakterisitiknya
Bakteri yang biasa digunakan dalam MFC
Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari dan Sedimen Rawa Aopa
Karakteristik air lindi dan kotoran sapi
Karakteristik substrat sedimen laut Teluk Kendari dan sedimen Rawa
Aopa sebelum dan setelah penggunaan SMFC
Perbedaan karakteristik substrat air lindi dan kotoran sapi sebelum dan
sesudah MFC
Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
sedimen laut Teluk kendari
Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
sedimen Rawa Aopa
14
23
50
55
79
82
85
87
Karakteristik bakteri MFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram air
lindi
88
Karakteristik bakteri MFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
90
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Skema konfigurasi fuel cell
Skema konfigurasi MFC
Representasi sistem SMFC
Desain reaktor MFC konvensional bentuk “H”
Desain reaktor MFC satu kompartemen
SCMFC dengan anoda brush dan katoda flat
MFC dengan mode fed-batch
MFC sistem 2 kamar (dual chamber)
9.
Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan SMFC sedimen laut Teluk Kendari
Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kendari
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Halaman
Perbandingan tegangan dan arus listrik yang dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kenadari
Perbandingan tegangan dan hambatan yang dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kenadari
Perbandingan arus dan hambatan yang dihasilkan SMFC sedimen
laut Teluk Kenadari
Perbandingan daya dan kerapatan daya yang dihasilkan SMFC
SMFC sedimen laut Teluk Kenadari
Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan SMFC sedimen Rawa Aopa
Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan SMFC
Rawa Aopa
Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan MFC air lindi
Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan MFC air
lindi
Perbandingan tegangan dan arus listrik yang dihasilkan MFC air
lindi
Perbandingan tegangan dan hambatan yang dihasilkan MFC air
lindi
xv
13
17
21
26
26
26
27
46
58
61
63
64
64
65
66
68
70
71
72
73
21.
22.
23.
24.
Perbandingan arus dan hambatan yang dihasilkan MFC air lindi
Perbandingan daya dan kerapatan daya yang dihasilkan MFC air
lindi
Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan MFC kotoran sapi
Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan MFC
xvi
73
74
77
78
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Teks
Halaman
1.
Gambaran Umum Alur Penelitian
105
2.
Prosedur Pembuatan Reagen
106
3.
Diagram Alir penetapan kadar air
107
4.
Diagram Alir Penetapan C-organik cara Spektrofotometer
108
5.
Diagram Alir Penetapan N-total cara Spektrofotometer
109
6.
Diagram Alir Pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand)
111
7.
Diagram Alir Pengukuran BOD (Biological Oxygen Demand)
112
8.
Diagram Alir Pengukuran pH
113
9.
Diagram Alir Pengukuran Daya Hantar Listrik (DHL)
114
10.
Diagram Alir Isolasi, karakterisasi, dan Identifikasi Bakteri MFC
115
11.
Perhitungan Faktor Kadar Air (fk)
117
12.
Perhitungan Kadar C-organik
119
13.
Perhitungan Kadar N-total
122
14.
Data pengukuran pH
125
15.
Data pengukuran daya hantar listrik
126
16.
Data pengukuran tegangan dan arus listrik
127
17.
Dokumentasi penelitian
163
xvii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/Singkatan
Arti dan Keterangan
C
Karbon
cm
centi meter
DHL
Daya Hantar Listrik
e-
elektron
g
gram
H+
proton
L
liter
M
molar
m
meter
MFC
Microbial Fuel Cell
mg/L
mili gram per liter
mL
mili liter
mS
mili siemens
mV
mili volt
mW/m2
mili watt per meter kuadrat
N
normal
pH
power of hydrogen (derajat keasaman)
ppm
part per million
xviii
SMFC
Sediment Microbial Fuel Cell
V
volt
°C
derajat celsius
Ω
ohm
%
persen
xix
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Energi senantiasa memainkan peranan penting bagi kelangsungan hidup
manusia terutama dalam perkembangan peradaban dan perekonomian modern
dunia. Pada masa kini, kebutuhan energi secara global sebagian besar bergantung
pada bahan bakar fosil yang memiliki dampak negatif yang serius bagi lingkungan
dikarenakan peningkatan emisi gas karbondioksida (Angenent et.al., 2014).
Kebutuhan akan energi terutama dalam bentuk energi listrik meningkat seiring
dengan bertambahnya populasi dan meningkatnya kondisi kehidupan umat
manusia, terutama dalam segi transportasi, industri dan rumah tangga (Kristin,
2012).
Berdasarkan perkiraan Badan Perwakilan Energi Internasional, diramalkan
terjadi peningkatan dalam pemakaian energi global pada tahun 2030 dengan 70%
peningkatan kebutuhan tersebut berasal dari negara-negara berkembang (Putranto,
2011). Di Indonesia, kebutuhan akan energi listrik diperkirakan terus bertambah
sekitar 4,6% setiap tahunnya. Angka ini diduga menjadi tiga kali lipat pada tahun
2030 mendatang. Kondisi ini diperpuruk oleh keterbatasan cadangan energi dari
bahan bakar fosil yang semakin menipis seiring dengan penggunaan energi
tersebut yang semakin bertambah. Indonesia hanya memiliki minyak sekitar 3,7
milyar barrel, dimana persediaan ini dapat diperkirakan akan habis dalam 24
tahun. Jika hal ini tidak diiringi oleh upaya untuk meningkatkan produksi energi,
1
2
maka ada risiko bahwa Indonesia akan mengalami suatu krisis energi (Arbianti et
al., 2013).
Kecemasan akan krisis energi dan keprihatinan akan dampak penggunaan
bahan bakar fosil terhadap lingkungan global memunculkan minat yang besar
untuk mencari dan menghasilkan sumber energi alternatif yang bersih dan
berkelanjutan (sustainable energy). Microbial fuel cell (MFC) yang menghasilkan
energi listrik dari suatu biomassa menggunakan bakteri merupakan contoh
teknologi yang menyediakan energi berkelanjutan dan memiliki prospek untuk
dikembangkan. Teknologi ini cukup menarik banyak perhatian saat ini dimana
teknologi ini menggunakan biokatalis untuk mengonversi energi kimia dari suatu
bahan bakar yang terdegradasi menjadi energi listrik (Penev et al., 2008). MFC
mengonversi energi kimia yang terkandung dalam bahan organik maupun
anorganik menjadi energi listrik melalui aktivitas katalitik (metabolisme)
mikroorganisme anaerob (Schroder, 2008).
MFC telah diteliti secara intensif dalam beberapa tahun terakhir karena
menawarkan solusi berkelanjutan serta sejalan dengan pengendalian polusi dan
produksi energi (Li et al., 2016). Beberapa studi yang menguji kinerja MFC
dalam menghasilkan energi listrik telah dilakukan seperti penelitian mengenai
pengaruh temperatur dan media anoda pada produksi energi listrik dalam MFC
(Tao et al., 2016) serta penelitian yang dilakukan untuk mengoptimalkan MFC
dalam menghasilkan energi listrik dengan mempelajari pengaruh konfigurasi
reaktor MFC, tipe elektrolit yang digunakan dan tipe material elektroda yang
digunakan (Islam et al., 2016). Berbagai jenis mikroba juga telah digunakan
3
dalam MFC baik yang berupa kultur tunggal maupun kultur campuran
(konsorsium), diantaranya Shewanella putrefaciens (Tender et al., 2002),
Aeromonas hydrophila (Pham et al., 2003), Geobacter sulfurreducens (Lovely,
2006), Rhodopseudomonas palustris (Zhang et al., 2011), Enterobacter cloacae
(Rezaei et al., 2009), Escherichia coli (Purwati et al., 2014), Lactobacillus
bulgaricus (Arbianti et al., 2013) serta Shewanella oneidensis dan kultur
campuran dari air limbah (Purwono, 2015).
Substrat adalah faktor penting dalam produksi energi listrik yang efisien
dari suatu MFC. Pada dasarnya, berbagai bentuk bahan organik dapat digunakan
sebagai substrat MFC, mulai dari bahan organik sederhana seperti glukosa (Liu
dan Logan, 2004), pati (Min dan Logan, 2004), asam lemak (Liu et al., 2005)
serta asam amino dan protein (Logan et al., 2005) hingga bahan organik kompleks
yang terdapat dalam air limbah (Zhao et al,. 2016). Air limbah yang kaya akan
bahan organik biodegradabel merupakan kandidat ideal dan sudah menjadi isu
yang hangat sebagai sumber energi berkelanjutan dalam produksi energi listrik
melalui MFC di antaranya dapat diperoleh dari kotoran ternak sapi dan air lindi.
Selain limbah organik, substrat MFC yang potensial juga terkandung dalam
sedimen baik sedimen laut maupun sedimen rawa.
Limbah kotoran ternak memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai
substrat dalam teknologi MFC karena masih memiliki kandungan senyawa
organik yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan limbah cair biogas dari
kotoran ternak sapi sebagai substrat MFC, nilai voltase masih lebih tinggi
Berdasarkan hasil penelitian Alwahab (2015), sistem MFC dua kamar dengan
4
substrat limbah cair biogas dapat menghasilkan tegangan listrik maksimum
dengan puncak produksi pada hari ke-1 yaitu sebesar 1302,2 mV, sistem MFC dua
kamar menggunakan elektrolit KMnO4 dapat menghasilkan tegangan listrik
maksimum dengan puncak produksi pada hari ke-1 yaitu sebesar 1804,3 mV dan
arus listrik maksimum sebesar 0,01 mA sedangkan untuk sistem MFC dua kamar
menggunakan elektrolit K2Cr2O7 dapat menghasilkan tegangan listrik maksimum
dengan puncak produksi hari ke-1 sebesar 1675,8 mV dan arus listrik maksimum
dengan produksi hari ke-2 sebesar 0,99 mA.
Air lindi merupakan limbah cair yang terbentuk pada tumpukan sampah
organik. Air lindi memiliki banyak kandungan senyawa organik maupun
anorganik serta sejumlah bakteri patogen (Fahrudin, 1989). Oleh karena itu, jika
tidak dilakukan penanganan yang tepat dapat mencemari lingkungan sekitar.
Telah dilaporkan pula bahwa air lindi dapat digunakan sebagai substrat MFC
untuk menghasilkan energi listrik tanpa penambahan zat kimia maupun inokulum.
Air lindi yang dipakai sebagai substrat MFC dapat mengalami penurunan nilai
COD dan BOD (Damiano, 2009). Hijir (2016) melaporkan bahwa air lindi yang
dijadikan substrat MFC yang disusun secara seri menghasilkan tegangan
maksimum dan kuat arus masing-masing 6460 mV dan 0,528 mA untuk MFCKMnO4 serta 5440 mV dan 0,351 mA untuk MFC-K2Cr2O7. Susunan paralel
MFC menghasilkan tegangan dan kuat arus masing-masing 1053 mV dan 2 mA
untuk MFC-KMnO4 serta 954 mV dan 2,06 mA untuk MFC-K2Cr2O7.
Berdasarkan laporan ini menunjukkan bahwa air lindi sangat berpotensi
5
dikembangkan lebih jauh sebagai substrat MFC dengan mengoptimasi elektroda
untuk meningkatkan voltase dan arus listrik yang dihasilkan dari kinerja MFC.
Penggunaan sedimen sebagai substrat merupakan suatu terobosan teknologi
MFC yang dikenal dengan nama sediment microbial fuel cell (SMFC), dimana
Reimers et al. (2001) pertama kali mendemonstrasikan bahwa komunitas mikroba
yang secara alami terdapat dalam sedimen laut dapat menghasilkan energi listrik.
Selain itu, kandungan bahan organik yang cukup besar pada sedimen laut
menjadikan umur penggunaan sedimen sebagai substrat MFC akan sangat lama
(Shantaram et al., 2005).
Sedimen laut Teluk Kendari memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai
substrat dalam teknologi SMFC. Hal ini didasari oleh kondisi fisik kawasan Teluk
Kendari dengan karakteristik yang unik yaitu menyerupai suatu estuaria
(Apriyanto, 2007). Adanya aliran air tawar yang terjadi secara terus menerus dari
hulu sungai dan adanya proses gerakan air akibat pasang surut yang mengangkut
mineral-mineral, bahan organik dan sedimen merupakan penunjang produktifitas
perairan di wilayah estuaria (Supriadi, 2001). Robby (2013) melaporkan bahwa
sistem SMFC tunggal dengan substrat sedimen laut Teluk Kendari dapat
menghasilkan tegangan listrik dengan puncak produksi pada hari ke-22 yaitu
sebesar 163,6 mV untuk stasiun 1 (berjarak ±20 meter dari pantai sekitar pasar
pelelangan ikan Teluk Kendari) sedangkan stasiun 2 (berjarak ±7 meter dari
pinggir pantai di muara Teluk Kendari) mencapai puncak produksi pada hari ke-8
sebesar 438 mV dan stasiun 3 (berjarak ± 10 meter dari pantai sekitar pelabuhan
pertamina) mencapai puncak produksi pada hari pertama sebesar 94,9 mV. Sistem
SMFC berganda menghasilkan tegangan listrik dengan puncak produksi pada hari
6
ke-26 yaitu sebesar 1,807 V untuk SB1 (SMFC berganda 1) dan 2,174 V untuk
SB2 (SMFC berganda 2). Data laporan ini menunjukkan bahwa sistem SMFC
tanpa adanya penambahan elektrolit di katoda dapat menghasilkan sumber
tegangan yang menjanjikan sebab dilihat dari besarnya voltase yang dihasilkan
melebihi voltase yang dihasilkan baterai biasa.
Rawa Aopa merupakan daerah depresi yang terletak di antara Pegunungan
Mendoke, Motaha dan Makaleleo. Kondisinya selalu tergenang sepanjang tahun
karena menjadi muara beberapa sungai yang ada. Akibat adanya pertemuan muara
sungai ini menyebabkan Rawa Aopa memiliki kandungan senyawa organik hasil
dari endapan yang berasal dari berbagai sungai yang mengalir menuju Rawa Aopa
(Amhir, 2010). Sedimen yang banyak mengandung senyawa organik sangat
potensial dijadikan substrat MFC sebab kinerja MFC akibat dari kinerja mikroba
dalam menguraikan senyawa organik.
Dalam penelitian ini, kami akan melakukan optimasi kinerja elektroda dan
menguji kinerja sistem MFC memanfaatkan limbah potensial yang berasal limbah
organik kotoran ternak sapi dan air lindi serta sedimen rawa dan sedimen laut
sebagai substrat dalam MFC dengan menggunakan elektrolit KMnO4 dan aerator.
Optimasi yang dimaksud adalah dengan menambah luas permukaan elektroda
grafit sheet yang akan meningkatkan jumlah bakteri yang menempel pada
permukaan elektroda sehingga arus dan voltase yang dihasikan semakin besar.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana karakteristik limbah cair dan sedimen potensial ?
7
2. Bagaimana kinerja MFC menggunakan limbah cair dan sedimen potensial
dengan menggunakan elektrolit KMnO4 dan aerator ?
3. Bagaimana pengaruh dengan menambah luas permukaan elektroda grafit sheet
dalam kinerja MFC ?
4. Bagaimana perubahan karakteristik limbah cair dan sedimen potensial ?
5. Bagaimana karakteristik bakteri MFC dari limbah cair dan sedimen potensial ?
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah
1. Mengetahui karakteristik limbah cair dan sedimen potensial.
2. Mengetahui kinerja MFC menggunakan limbah cair dan sedimen potensial
dengan menggunakan elektrolit KMnO4 dan aerator.
3. Mengetahui pengaruh dengan menambah luas permukaan elektroda grafit
sheet dalam kinerja MFC.
4. Mengetahui perubahan karakteristik limbah cair dan sedimen potensial.
5. Mengetahui karakteristik bakteri MFC dari limbah cair dan sedimen potensial.
1.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini antara lain
1. Memberikan contoh solusi masalah penaganan pencemaran limbah cair dan
sedimen.
2. Memberikan contoh sumber energi alternatif berkelanjutan.
3. Sebagai bahan rujukan untuk pengembangan penelitian bidang energi terbarukan menggunakan limbah cair dan sedimen.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Energi
2.1.1. Macam-Macam Sumber Energi
Energi adalah ukuran dari kesanggupan benda tersebut untuk melakukan
suatu usaha. Energi berasal dari bahasa Yunani yaitu energia yang berarti
kemampuan untuk melakukan usaha. Energi merupakan besaran yang kekal,
artinya energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan tetapi dapat diubah dari
suatu bentuk satu kebentuk yang lain namun tidak merubah jumlah atau besar
energi secara keseluruhan. Energi dalam pengertian sehari-hari merupakan
kemampuan untuk melakukan gerak, jika suatu objek mampu untuk melakukan
gerakan maka objek tersebut dikatakan mempunyai energi (Mateo, 2012).
Menurut ilmu fisika, terdapat berbagai macam bentuk energi diantaranya
1. Energi Kinetik
Energi kinetik adalah energi dari suatu benda yang dimiliki karena
pengaruh gerakannya. Misalnya, ketika seseorang yang sedang berlari, maka posisi orang tersebut akan berubah setiap detiknya. Perubahan posisi ini menunjukkan bahwa orang itu memiliki energi (Mulyana, 2014).
2. Energi Potensial
Energi potensial adalah energi yang dimiliki suatu benda akibat adanya
pengaruh tempat atau kedudukan dari benda tersebut. Energi potensial disebut
juga dengan energi diam karena benda yang dalam keaadaan diam dapat memiliki
energi. Jika benda tersebut bergerak, maka benda itu mengalami perubahan energi
8
9
potensial menjadi energi gerak. Energi potensial memiliki beberapa bentuk
diantaranya energi potensial gravitasi, energi potensial pegas dan lain-lain (Dewan
Energi Nasional, 2014).
3. Energi Panas
Energi panas adalah energi yang muncul saat terjadinya perubahan suhu
benda dan menjalar dari bagian yang panas ke bagian yang dingin. Energi ini
dapat dideteksi dengan indera peraba dan termometer (Mulyana, 2014).
4. Energi Kimia
Energi kimia adalah energi yang tersimpan secara kimiawi. Misalnya, makanan yang kita makan menghasilkan energi kimia yang sangat bermanfaat bagi
tubuh. Minyak bumi mengandung energi kimia yang sangat bermanfaat untuk bahan bakar. Baik energi kimia dalam makanan maupun energi kimia dalam minyak
bumi berasal dari energi matahari (Dewan Energi Nasional, 2014)..
5. Energi Nuklir
Energi nuklir adalah energi yang tersimpan dalam atom. Energi keluar
ketika terjadi proses reaksi nuklir. Energi ini diperoleh dari hasil reaksi inti, yaitu
reaksi yang terjadi pada inti atom dimana partikel-partikel berenergi tinggi bertumbukkan dengan inti atom tersebut sehingga terbentuklah inti baru yang berbeda dengan inti semula (Dewan Energi Nasional, 2014)..
6. Energi Listrik
Energi listrik adalah energi yang ditimbulkan oleh benda yang bermuatan
listrik. Muatan listrik yang diam (statis) menimbulkan energi potensial listrik
10
sedangkan muatan listrik yang bergerak (dinamis) menimbulkan arus listrik dan
energi magnet (Mulyana, 2014).
2.1.2. Sumber-Sumber Energi
1. Sumber Energi Tak Terbaharui
Sumber energi tak terbaharui (nonrenewable) didefinisikan sebagai sumber energi yang tidak dapat diisi atau dibuat kembali oleh alam dalam waktu yang
singkat. Sumber energi tak terbaharui diantaranya
a. Minyak Bumi
Minyak bumi adalah zat cair licin dan mudah terbakar yang terjadi sebagian besar karena hidrokarbon. Menurut teori, minyak bumi berasal dari sisa-sisa
binatang kecil dan tumbuhan yang hidup di laut jutaan tahun yang lalu yang mengendap dan mendapat tekanan dari lempengan bumi sehingga secara alami, larut
dan berubah menjadi minyak bumi (Mateo, 2012).
b. Batubara
Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari material organik
(organoclastic sedimentary rock) yang memiliki kandungan utama berupa karbon,
hidrogen dan oksigen. Batubara ini merupakan hasil akumulasi tumbuhan dan
material organik pada suatu lingkungan pengendapan tertentu (Mateo, 2012).
Batubara yang kita kenal dibentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terkubur
di dasar rawa selama jutaan tahun yang lalu. Pertama, sisa-sisa tumbuhan berubah
menjadi bahan yang padat disebut gambut. Akibat tekanan dan pemanasan dari
lapisan bagian atas, sisa-sisa tumbuhan tersebut berubah menjadi batubara
(Nurracman, 2013).
11
2. Energi Alternatif (Sumber Energi Terbaharui)
Sumber energi terbaharui (renewable) didefinisikan sebagai sumber energi
yang dapat dengan cepat diisi kembali oleh alam. Berikut ini adalah yang termasuk sumber energi terbaharui
a. Matahari
Energi matahari diperoleh dari cahaya panas yang merupakan komponen
dari panas matahari. Selain memanaskan air, energi ini juga bisa diubah menjadi
listrik. Secara global, matahari menyediakan 10.000 kali energi bumi yang dapat
dimanfaatkan siapapun secara gratis dan merupakan salah satu sumber energi
alternatif yang potensial untuk dikelola dan dikembangkan lebih lanjut, terutama
bagi negara-negara tropis seperti Indonesia (Nurracman, 2013).
b. Angin
Energi angin adalah energi yang dihasilkan oleh udara yang berhembus di
permukaan bumi. Energi angin dapat diubah menjadi energi mekanik untuk
menghasilkan usaha. Karena angin tidak menimbulkan polusi, maka banyak negara-negara membangun turbin angin sebagai sumber tenaga listrik tambahan
(METI, 2011).
c. Panas Bumi
Energi panas bumi adalah energi panas yang berasal dari dalam bumi. Energi panas ini dihasilkan di dalam inti bumi yang ditimbulkan oleh peristiwa peluruhan partikel-partikel radioaktif di dalam batuan. Inti bumi terbentuk dari
magma yang mengalir menembus berbagai lapisan batuan di bawah tanah. Saat
mencapai reservoir air bawah tanah, terbentuklah air panas bertekanan tinggi yang
12
keluar ke permukaan bumi melalui celah atau retakan di kulit bumi, maka timbul
sumber air panas yang biasa disebut uap panas (Mateo, 2012).
d. Biomassa
Biomassa merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui karena tumbuh-tumbuhan dapat kita tanam setiap saat. Dari berbagai macam bahan bakar biomassa, kayu merupakan kebutuhan yang sangat banyak digunakan, seperti pada
rumah tangga dan pada ketel uap. Membakar biomassa bukan cara satu-satunya
untuk menghasilkan energi karena biomassa dapat juga dikonversi ke bentuk energi lain diantaranya gas metana atau etanol dan biosolar (METI, 2011).
2.2. Fuel Cell
Fuel cell sebanding dengan suatu sel elektrolitik atau baterai, dimana
bahan kimia (bahan bakar dan oksidan) dioksidasi atau direduksi secara
elektrokimia untuk menghasilkan energi listrik. Fuel cell mengandung dua
elektroda (anoda dan katoda) yang keduanya dipisahkan oleh suatu elektrolit,
seperti suatu jembatan garam atau membran (Zou et al., 2016). Elektrolit
menghalangi pencampuran langsung bahan bakar dan oksidan serta membolehkan
konduksi muatan ionik antara elektroda-elektroda dan transpor reaktan terlarut
pada elektroda (Holland et al., 2007). Menurut Arsov dan Georgievski (2009),
porositas suatu elektroda menambah bidang elektroda yang aktif ratusan bahkan
ribuan kali, dimana fakta ini sangat penting karena reaksi elektrokimia
berlangsung pada permukaan elektroda.
Secara teori, berbagai zat yang dapat teroksidasi secara kimia pada laju
yang cukup di anoda fuel cell dapat digunakan sebagai bahan bakar. Dalam
13
pengertian yang sama, berbagai zat yang dapat direduksi di katoda pada laju yang
cukup dapat digunakan sebagai oksidan (Holland et al., 2007). Pada praktiknya,
hidrogen merupakan bahan bakar terbaik untuk kebanyakan aplikasi fuel cell
(Blomen dan Mugerwa, 1993). Representasi skema konfigurasi fuel cell dengan
reaktan/produk berupa gas dan arah hantaran ion yang mengalir melalui sel dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema konfigurasi fuel cell (Larminie dan Dicks, 2003)
Pada fuel cell hidrogen/oksigen, bahan bakar yang dimasukkan di anoda
adalah hidrogen dan oksidan yang dimasukkan pada katoda adalah oksigen. Di
anoda, hidrogen akan dioksidasi menjadi proton dan elektron. Elektron yang
dihasilkan di katoda akan mengalir menuju anoda melalui suatu sirkuit dan akan
menghasilkan arus listrik, sedangkan proton akan bergerak melalui elektrolit
menuju katoda. Di katoda, oksigen akan bergabung dengan proton dan mengambil
elektron dari sirkuit untuk menghasilkan air sebagai hasil samping tunggal dari
14
reaksi (Larminie dan Dicks, 2003). Reaksi elektrokimia dasar fuel cell
ditunjukkan sebagai berikut (Balkin, 2002).
Anoda
: H2 → 2H+ + 2e-
Katoda : 2H+ + 2e- + ½ O2 → H2O
H2 + ½ O2 → H2O + panas + energi listrik
(1)
Saat ini, berbagai jenis fuel cell telah diteliti dan dikembangkan yang
secara umum diklasifikasikan berdasarkan elektrolit yang digunakan yang dapat
dilihat pada Tabel 1. Potensial dari suatu sel yang beroperasi umumnya sekitar
0,7-0,8 V dan biasanya terlalu kecil untuk aplikasi secara praktik karena daya
terbatas yang tersedia dari suatu sel tunggal (Milcarek et. al, 2016). Oleh karena
itu, untuk menggunakan fuel cell sebagai sumber energi secara praktik, sejumlah
fuel cell tunggal harus dihubungkan secara seri untuk memperoleh keluaran
voltase yang lebih besar (Shimura et. al, 2016).
Tabel 1. Jenis fuel cell dan karakterisitiknya (Holland et al., 2007)
Tipe Fuel cell
Alkaline (AFC)
Polymer Electrolyte Membran
(PEMFC)
Phosphoric Acid (PAFC)
Molten Carbonat (MCFC)
Solid Oxide (SOFC)
Elektrolit
Suhu Operasi (°C)
KOH
Membran pertukaran ion
Asam fosfat
Alkali karbonat
Oksida logam
50-250
50-100
200
600
500-1000
Fuel cell merupakan teknologi yang mengonversi energi kimia secara
langsung menghasilkan energi listrik sehingga diperoleh energi bersih dengan
menghilangkan emisi dari polutan kimia. Inilah keuntungan fuel cell yang berbeda
15
dengan teknologi berbasis pembakaran bahan bakar fosil yang tidak efisien karena
proses konversi energi terjadi secara tidak langsung melalui berbagai tahapan
untuk menghasilkan energi listrik (Fletcher et. al., 2016). Keuntungan yang lain
dari fuel cell dibandingkan dengan mesin berbasis pembakaran yaitu bahwa
efisiensi fuel cell tidak ditentukan dari ukuran alat, sehingga daya dengan efisiensi
tinggi untuk alat elektronik portable dapat terwujud, sedangkan mesin berbasis
pembakaran dengan skala kecil hanya dapat mencapai efisiensi sistem 10-15%
(Mench et al., 2001).
Fleksibilitas tinggi dari fuel cell menjadikan teknologi ini dapat digunakan
dalam berbagai aplikasi dari kebutuhan daya dengan ruang lingkup yang luas. Hal
ini merupakan keunggulan khas fuel cell dan aplikasi potensial fuel cell
melingkupi sistem beberapa watt hingga megawatt. Aplikasi fuel cell dapat
diklasifikasikan menjadi aplikasi mobile atau stationary. Aplikasi mobile terutama
melingkupi sistem transportasi dan peralatan elektronik portable, sedangkan
aplikasi stationary terutama melingkupi sistem gabungan panas dan daya untuk
keperluan pemukiman dan komersial (Holland et al., 2007).
Secara umum, mayoritas fuel cell menggunakan oksigen sebagai oksidan
di katoda. Meski banyaknya keuntungan dari keberadaan oksidan ini, suatu
kinetika yang lambat dari reaksi reduksi oksigen (RRO) menunjukkan kemacetan
kinerja yang berat terutama dalam fuel cell temperatur rendah. Elektrokatalis
standar dari RRO untuk fuel cell temperatur rendah adalah platinum, sekalipun
harganya yang tinggi telah memicu pencarian intensif untuk bahan katalis
alternatif. Kelemahan lebih lanjut dari platinum sebagai katalis RRO adalah
16
berdasarkan pada kekuatan sebenarnya kemampuannya untuk bertindak sebagai
oksidan maupun sebagai katalis reduksi. Dengan begitu, perembesan bahan bakar
dari anoda melalui membran pemisah menuju kompartemen katoda (saling-silang
bahan bakar) mengarah pada pembentukan potensial campuran dan aliran arus
internal menyebabkan suatu depolarisasi elektroda bahkan pada sirkuit terbuka.
Proses saling-silang antara kompartemen anoda dan katoda adalah faktor penting
yang membatasi efisiensi dan kinerja fuel cell (Wang et al., 2016).
2.3. Microbial Fuel Cell (MFC)
Microbial fuel cell (MFC) yang menggunakan bakteri untuk menghasilkan
energi listrik dari bahan organik dan anorganik adalah suatu teknologi alternatif
yang prospektif (Arbiyanti et al., 2013). MFC merupakan alat elektrokimia yang
mengonversi energi kimia yang terkandung dalam bahan organik maupun
anorganik menjadi energi listrik melalui bantuan aktivitas katalitik (metabolisme)
dari organisme anaerob (Schroder, 2008). Prinsip MFC didasarkan oleh fakta
bahwa setiap aktivitas metabolisme yang dilakukan mikroba umumnya
melibatkan pelepasan elektron bebas ke medium (Madigan et al., 1997).
Suatu MFC (Gambar 2) biasanya terdiri dari dua ruang, dimana ruang
yang satu anaerob (anoda) dan ruang yang lain aerob (katoda). Kompartemen
anoda berisikan substrat organik yang dimetabolisme oleh mikroba untuk
pertumbuhan dan produksi energi selagi menghasilkan elektron dan proton yang
ditransfer ke elektroda. Katoda berisikan akseptor elektron potensial tinggi untuk
melengkapi sirkuit MFC. Suatu akseptor elektron yang ideal seharusnya adalah
senyawa yang sustainable tanpa efek toksik. Oksigen berlaku sebagai akseptor
17
elektron yang ideal karena tanpa efek toksik dan lebih disukai sebagai reagen
pengoksidasi yang sederhana dalam operasi MFC (Modi et. al., 2016).
Gambar 2. Skema konfigurasi MFC
Media standar dengan akseptor elektron yang cocok seperti ferrisianida
dapat juga digunakan untuk meningkatkan rapat daya sistem MFC (Montpart et.
al., 2016). Selain ferrisianida, penggunaan permanganat sebagai elektrolit di
katoda juga telah dilakukan yang menunjukkan peningkatan energi listrik yang
lebih besar dibandingkan penggunaan ferrisianida (Arbianti et al., 2013).
Ada beberapa mekanisme transfer elektron dari bakteri menuju elektroda,
yaitu transfer elektron menggunakan mediator eksternal seperti tionin dan neutral
red serta transfer elektron tanpa menggunakan mediator yang dilakukan secara
langsung dari dinding bakteri ke anoda, menggunakan mediator yang dihasilkan
oleh bakteri (Rabaey dan Verstraete, 2005). Bakteri yang memerlukan suatu
mediator tidak memiliki protein luar yang aktif secara elektrokimia untuk
18
mentransfer elektron ke anoda. MFC yang tidak menggunakan mediator masih
memerlukan karbohidrat untuk berjalan, baik yang menggunakan bakteri kultur
tunggal atau tidak (Motoyama et. al., 2016). Persamaan 2 menggambarkan reaksi
umum yang terjadi dalam sistem MFC, dalam kasus substrat berupa glukosa
(Angenent et al., 2004).
Anoda
:
Katoda :
(2)
MFC
tanpa
mediator
memiliki
keuntungan
dibandingkan
MFC
menggunakan mediator, yaitu dalam hal biaya serta ketiadaan mediator beracun
yang tidak diinginkan. Sejumlah penulis telah melakukan penelitian-penelitian
menggunakan MFC tanpa mediator. Sistem MFC yang berhasil telah dibangun
tanpa membran selektrif yang mahal, kultur campuran (konsorsium) telah berhasil
dimanfaatkan dalam sejumlah MFC, dan yang paling akhir, energi listrik telah
dihasilkan menggunakan sumber-sumber energi kompleks yang melingkupi air
limbah (Motoyama et. al., 2016).
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Microbial Fuel Cell (MFC)
Berbagai jenis substrat telah digunakan dalam MFC, mulai dari bahan
organik sederhana (glukosa) hingga limbah rumah tangga. Tiap-tiap jenis substrat
memiliki komposisi kimia, kekuatan ion, pH dan jenis bakteri yang berbeda. Jenis
mikroorganisme yang terlibat juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan yang
dibutuhkan,
jenis
substrat
yang
didegradasi
dan
kemampuan
dalam
menghantarkan elektron. Menurut Liu et al. (2005), faktor-faktor yang
19
berpengaruh terhadap kinerja MFC adalah kecepatan degradasi substrat,
kecepatan transfer elektron dari bakteri ke anoda dan transfer proton dalam
larutan. Chauduri dan Lovley (2003) menyatakan bahwa kinerja MFC dapat
dipengaruhi oleh aktivitas mikroba dan substrat yang digunakan. Selain itu,
kinerja MFC ini dapat juga dipengaruhi oleh suhu, karena berkaitan langsung
dengan kinetik bakteri, kecepatan reaksi oksigen yang dikatalis oleh Pt pada
katoda dan kecepatan transfer proton melalui larutan (Liu et al. 2005).
Liu et al. 2005 menyatakan juga bahwa faktor lain yang mempengaruhi
kinerja MFC adalah komponen penyusunnya, seperti elektroda (anoda dan katoda)
dan membran penukar proton serta kelengkapan membran (Chauduri dan Lovley
2003). Jenis bahan dan struktur anoda berdampak pada penempelan mikroba,
transfer elektron dan pada beberapa kasus oksidasi substrat. Bahan yang biasa
digunakan sebagai anoda adalah karbon (carbon cloth atau graphite felt) karena
stabil terhadap kultur mikroba, memiliki konduktivitas yang tinggi dan luas
permukaan yang besar (Du dan Li, 2016). Hal ini yang menyebabkan perlunya
dilakukan modifikasi karbon grafit dengan menambah luas permukaanya (Pham et
al. 2004) sehingga dengan luas permukaan yang besar mikroba semakin banyak
yang menempel pada permukaan elektroda dan energi listrik yang dihasilkan akan
semakin besar.
2.5. Sediment Microbial Fuel Cell (SMFC)
Penggunaan sedimen sebagai substrat merupakan suatu terobosan teknologi
MFC yang dikenal dengan nama sediment microbial fuel cell (SMFC), dimana
Reimers et al. (2001) pertama kali mendemonstrasikan bahwa komunitas mikroba
20
terdapat secara alami dalam sedimen yang dapat menghasilkan listrik. SMFC
terdiri dari suatu anoda nonkorosif dan konduktif seperti batang grafit yang
ditanam dalam suatu sedimen yang bersifat anaerob dan katoda yang
mengambang dalam badan air yang bersifat aerob di atas anoda yang saling
dihubungkan satu sama lain (Reimers et al., 2001).
SMFC menghasilkan energi dari beda potensial listrik yang terjadi melalui
proses oksidasi bahan organik yang terdapat dalam sedimen menghasilkan
elektron yang ditransfer ke anoda dan reduksi oksigen pada badan air dengan
menerima elektron dari katoda. Suatu membran penukar kation menjadi tidak
esensial dalam SMFC karena pengurangan gradien oksigen di atas kedalaman dari
badan air dan sedimen menghasilkan perbedaan potensial yang esensial secara
alami (Abazarian et al., 2016).
Pada sistem SMFC Gambar 3, bahan organik kompleks yang terkandung
dalam sedimen dipecah oleh berbagai enzim hidrolitik dan mikroorganisme
fermentatif seperti Geobacteraceae menjadi asetat dan pendonor elektron yang
lain yang dioksidasi menjadi karbon dioksida dengan mentransfer elektron ke
anoda (Ewing et al, 2016). Proses yang terjadi pada sistem SMFC ini
menghasilkan energi listrik pada tingkatan yang cukup untuk menjalankan
beberapa alat kelautan (Reimerset al., 2001; Tender et al., 2002).
21
Gambar 3. Representasi sistem SMFC (Lovley, 2006)
Produksi listrik SMFC selain ditentukan oleh aktivitas mikroorganisme
yang mendegradasi bahan organik kompleks dalam sedimen juga ditentukan oleh
jenis katalis pada katoda, bahan yang digunakan pada elektroda dan jarak kedua
elektroda (Ye et al. 2016). Selain itu, fakta menunjukkan bahwa SMFC yang
menggunakan air laut dapat menghasilkan energi yang lebih besar dibandingkan
dengan SMFC yang menggunakan air tawar, di mana air laut meningkatkan
proses reduksi yang terjadi di katoda (Bergel et al., 2005). Selain itu, proton yang
dihantarkan melalui air laut dapat menghasilkan kerapatan daya hingga 28
mW/m2, sehingga salinitas air laut memiliki peran penting pada sistem SMFC
karena memberikan konduktivitas yang baik pada elektroda (Logan, 2008).
2.6. Bakteri MFC
Mikroorganisme memainkan peranan penting dalam biokonversi anaerob
dari suatu substrat menjadi energi. Dalam sistem MFC, tergantung pada
22
konfigurasi sistem serta maksud aplikasi yang dituju, katalis mikroba dapat
berupa kultur tunggal dan kultur campuran. Telah dilakukan beberapa penelitian
yang menjalankan sistem MFC dengan kultur tunggal di antaranya menggunakan
Shewanella putrefaciens, Pseudomonas aeruginosa, Geobacter sp., serta
Rhodoferax ferrireducens (Pham et al., 2006). MFC juga telah dijalankan pada
temperatur tinggi menggunakan bakteri termofilik seperti Bacillus licheniformis
atau Bacillus thermoglucosidasius (Chauduri dan Lovley, 2003).
Biasanya kultur campuran mikroba digunakan untuk pemecahan substrat
secara anaerob dimana kultur campuran kompleks membolehkan pemanfaatan
substrat kasar. Namun, ada beberapa desain MFC regular yang menyelidiki
kecenderungan metabolisme dari spesies mikroba tunggal untuk menghasilkan
energi listrik (Rabaey dan Verstraete, 2005). Sumber-sumber yang kaya
kandungan bahan organik (sedimen laut, tanah, air limbah dan lumpur aktif)
adalah sumber yang kaya
akan mikroba yang dapat digunakan dalam unit
katalitik MFC ( S a m s u d e e n et. al. 2016). Bakteri yang digunakan
dalam MFC dengan/tanpa mediator telah dipelajari secara intensif dan dapat
dilihat pada Tabel 2 (Du dan Li, 2016).
23
Tabel 2. Bakteri yang biasa digunakan dalam MFC
Bakteri
Actinobacillus succinogenes
Erwinia dissolven
Proteus mirabilis
Pseudomonas aeruginosa
Shewanella oneidensis
Streptococcus lactis
Aeromonas hydrophila
Geobacter metallireducens
G. sulfurreducens
Rhodoferax ferrireducens
Shewanella putrefacien
Klebsiella pneumonia
Mode Operasi
Butuh mediator exogenous
MFC berbasis mediator
Berbasis mediator
Dengan mediator exogenous
Dengan mediator exogenous
Dengan mediator
MFC tanpa mediator
MFC tanpa mediator
MFC tanpa mediator
MFC tanpa mediator
MFC tanpa mediator, mediator exogenous
meningkatkan produksi energi listrik
Berbasis mediator
Bakteri pereduksi logam seperti famili Geobacteraceae dan genus
Shewanella adalah spesies yang paling banyak digunakan dalam jenis MFC tanpa
mediator. Bakteri ini dapat mereduksi banyak substrat seperti Fe (III) (Lovely,
2006). Dalam suatu studi oleh Bond dan Lovely (2006), ditunjukkan bahwa
Geobacter sulfurreducens memberi peningkatan aktivitas elektron hingga 3000
kali dibandingkan dengan bakteri lain seperti Shewanella putrefaciens. Rapat daya
yang tinggi biasanya terkait dengan komunitas yang didominasi oleh beragam
spesies Geobacter. Beberapa studi menunjukkan bahwa produksi arus oleh
Geobacter sulfurreducens secara positif berhubungan dengan biomassa.
Ditunjukkan juga menggunakan cyclic voltammetery (CV) bahwa sitokrom yang
ditampakkan berdasarkan pada puncak utama dalam CV, berubah dengan
potensial yang diatur, mengusulkan bahwa G. sulfurreducens mengatur sendiri
24
jalur transpor elektron ekstra selulernya untuk menyesuaikan dengan potensial
anoda (Paitier et al., 2016).
Bioelektrokatalisis pada MFC kultur tunggal mengacu hanya pada
aktivitas dari satu kultur bakteri sedangkan MFC yang beroperasi dengan kultur
campuran ditentukan oleh interaksi dari keseluruhan komunitas mikroba yang
disebut dengan konsorsium yang aktif secara elektrokimia. Konsorsium mikroba
yang aktif secara elektrokimia umumnya banyak terdapat pada sedimen (laut dan
danau) maupun lumpur aktif dari rancangan pengolahan limbah (Pham et al.,
2006).
MFC yang beroperasi menggunakan kultur campuran baru-baru ini pada
hakekatnya mencapai rapat daya yang lebih besar daripada MFC dengan kultur
tunggal. Akan tetapi dalam uji terbaru, MFC menunjukkan produksi daya yang
tinggi menggunakan suatu kultur tunggal tetapi untuk alat yang sama tersebut
tidak diuji menggunakan kultur campuran yang sesuai iklim dan selnya tumbuh
secara eksternal pada alat. Dipercaya bahwa banyak jenis bakteri baru yang akan
ditemukan yang mampu untuk transfer elektron anodophilic (transfer elektron
pada suatu anoda) atau bahkan transfer elektron interspesies (elektron ditransfer
antara bakteri dalam berbagai bentuk). Energi bersih dapat dihasilkan dengan
menggunakan MFC untuk pengolahan limbah. Keuntungan menggunakan MFC
untuk pengolahan limbah melingkupi bersih, aman, kinerja yang tenang, emisi
rendah, efisiensi tinggi dan pembangkitan energi listrik secara langsung (Xu et al.,
2016).
25
MFC
telah dibuat menggunakan berbagai
material
dan sedang
dikembangkan dalam berbagai macam konfigurasi. Sistem ini telah dioperasikan
di bawah berbagai kondisi yang meliputi perbedaan suhu, pH, akseptor elektron,
luas permukaan elektroda, ukuran reaktor dan waktu operasi (Logan et al., 2006).
Adapun berbagai kajian terakhir MFC dilakukan terhadap elektroda (Cheng et al.,
2006a), membran (Cheng et al., 2006b), desain reaktor MFC (Liu dan Logan
2004), jenis bakteri dan substrat yang digunakan (Lu et al., 2009, Moon et al.,
2006) serta kajian dari variasi parameter yang digunakan dalam MFC (Liu et al.,
2005).
2.7. Desain Konfigurasi MFC
Desain konfigurasi MFC yang murah dan secara luas digunakan adalah
MFC dua kompartemen yang dibuat secara tradisional dalam bentuk “H” (Gambar
3) yang biasanya mengandung dua botol yang terhubung oleh suatu pipa berisikan
suatu separator yang biasanya adalah membran penukar kation (cation exchange
membran/CEM) seperti nafion atau ultrex atau dapat berupa suatu jembatan
garam sederhana. Kunci dari desain ini adalah untuk memilih membran yang
membolehkan proton untuk lewat di antara kompartemen (CEM juga disebut
proton exchange membran/PEM) tetapi secara optimal tidak untuk substrat atau
elektron akseptor di kompartemen katoda (biasanya oksigen) (Noori et al., 2016).
Di bawah ini adalah beberapa jenis desain MFC (konvensional hingga terbaru).
26
(MFC konvensional dengan gas N2)
(MFC dengan air limbah pada anoda)
Gambar 4. Desain reaktor MFC konvensional bentuk “H”
(Single Chamber MFC (SCMFC))
(SCMFC berisi air limbah)
Gambar 5. Desain reaktor MFC satu kompartemen
Gambar 6. SCMFC dengan anoda brush dan katoda flat (Logan et al., 2007)
27
Gambar 7. MFC dengan mode fed-batch (Liu dan Logan, 2004)
2.8. Limbah dan Sedimen Potensial
2.8.1. Limbah Air Lindi
Lindi adalah cairan yang dihasilkan dari hasil proses dekomposisi biologis
sampah yang telah membusuk. Air lindi terjadi karena keluarnya cairan dari
timbunan sampah, baik dari resapan air hujan maupun kandungan air pada sampah
itu sendiri. Air lindi pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah salah satu
permasalahan yaitu cemaran bau dan serangga yang sangat mengganggu
kehidupan masyarakat (Susanto et. al., 2004). Air lindi dihasilkan pada TPA yang
menggunakan teknologi Sanitary Landfill.
Sanitary landfill adalah sistem pengelolaan sampah yang mengembangkan
lahan cekungan dengan syarat tertentu, antara lain jenis dan porositas tanah.
Tentunya harus memenuhi desain teknis tertentu sehingga sampah yang
dimasukkan ke tanah tidak mencemari tanah dan air tanah. Pada metode sanitary
landfill dasar TPA dilapisi bahan kedap air dan diberi saluran untuk cairan hasil
28
pembusukan sampah (Putra, 2004). Namun bila tidak segera ditangani, landfill
yang dipenuhi air lindi dapat mencemari air tanah dan air permukaan
(Tchobanoglous et. al., 1993).
Karakter air lindi sangat bervariasi, tergantung dari proses yang terjadi di
dalam landfill yang meliputi proses fisik, kimia dan biologis. Faktor yang
mempengaruhi proses yang terjadi di landfill antara lain jenis sampah, lokasi,
hidrogeologi dan sistem pengoperasian. Faktor tersebut sangat bervariasi pada tiap
tempat pembuangan. Selain itu, aktivitas biologis serta proses yang terjadi pada
timbunan sampah juga bervariasi. Oleh karena itu, akan mempengaruhi pula
produk dekomposisi seperti kualitas dan kuantitas air lindi serta gas. Contohnya,
TPA yang banyak menimbun sampah organik, maka karakter air lindi yang
dihasilkan akan mengandung zat organik tinggi dan disertai bau (Ali, 2011).
Selain itu, air lindi mengandung sejumlah bakteri patogen dan parasit seperti kutu
air (Sarcoptes sp) (Susanto et. al., 2004).
Telah diketahui air lindi dapat diproses menjadi gas bio, pupuk cair atau
starter mikroba. Air lindi mempunyai potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik karena mengandung berbagai macam bahan organik seperti nitrat,
mineral dan mikroorganisme. Jumlah air lindi yang dihasilkan oleh sampah
tergolong rendah, tetapi dapat mencemari air tanah jika tidak ditangani dengan
benar (Ali, 2011).
2.8.2. Limbah Kotoran Sapi
Kotoran sapi adalah limbah hasil pencernaan sapi dan memiliki warna yang
bervariasi dari kehijauan hingga kehitaman, tergantung makanan yang dimakan
29
sapi. Setelah terpapar udara, warna dari kotoran sapi cenderung menjadi gelap.
Kotoran sapi biasanya digunakan sebagai pupuk kandang. Diberbagai tempat di
dunia, kotoran sapi yang dikeringkan digunakan sebagai bahan bakar. Kotoran
sapi juga digunakan untuk menghasilkan biogas untuk dibakar dan menghasilkan
listrik dan panas. Biogas memiliki kandungan gas metana dan telah digunakan
secara luas diberbagai pedesaan di India dan Pakistan sebagai sumber energi
terbarukan. Di Afrika Tengah, masyarakat suku Maasai membakar kotoran sapi di
dalam rumah untuk menangkal nyamuk. Di tempat dingin, kotoran sapi dijadikan
bahan insulasi termal. Kotoran sapi juga merupakan salah satu pilihan bahan baku
pembuatan bahan bangunan setara dengan bata (Erliza, 2008).
Kotoran sapi menjadi habitat bagi berbagai jenis organisme yang
memecahkan kandungan nutrisi yang ada di dalamnya untuk didaur ulang dan
disatukan dengan molekul tanah. Di tempat di mana sapi belum berdiam pada
waktu yang lama, organisme pendegradasi kotoran sapi belum banyak sehingga
keberadaan kotoran sapi dapat menjadi sarang tumbuhnya organisme merugikan.
Di Australia, kumbang kotoran harus didatangkan dari luar untuk membantu
mendaur ulang kotoran sapi dilahan penggembalaan hewan (Matarirano, 1994).
Sektor peternakan di Indonesia sebagian besar merupakan usaha peternakan
rakyat berskala kecil yang berada pada lingkungan perdesaan dan biasanya
teknologi yang dipergunakan masih sederhana atau tradisional. Menurut
Adimihardjai et. al., (2000), usaha peternakan di Indonesia didominasi oleh usaha
rakyat dengan menggunakan cara tradisional masih merupakan usaha sampingan
serta lebih menjadi tabungan dan salah satu indikator status sosial. Pengembangan
30
sektor tersebut sekarang ini diarahkan tidak hanya terkait dengan pemenuhan
pangan namun juga berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan. Intensifikasi
usaha peternakan telah mencapai efisiensi produksi tetapi juga perlu melihat isu
lingkungan yang menjadi perhatian baik di negara maju dan berkembang.
Dampak dari sektor ini pada pencemaran lingkungan (amonia, gas rumah kaca
dan patogen), mengevaluasi risiko kesehatan terkait dan menilai potensi peranan
sistem pengolahan limbah dalam pelemahan isu-isu lingkungan dan kesehatan
(Matarirano, 1994). Menurut Erliza (2008), perlakuan terhadap kotoran ternak
telah menjadi isu yang memprihatinkan di banyak peternakan, keberhasilan
pemrosesan ini sangat tergantung keterlibatan petani, teknologi dan harga pupuk.
Lebih lanjut menurut Adimihardjai et. al., (2000), produksi peternakan intensif
akan memberikan sumbangan bagi tingkat pencemaran lingkungan, termasuk
pembuangan pada tanah dan air permukaan serta emisi ke atmosfer. Di daerah
dengan kepadatan ternak tinggi diperlukan teknologi pengurangan amonia dan
proses perlakuan pupuk kandang yang menghasilkan produk-produk yang
bersaing untuk mengganti penggunaan pupuk kimia dan (sebagian) memperbaiki
siklus hara lagi.
Selain amonia, aplikasi pengolahan udara juga dapat mengurangi emisi
lingkungan bau dan partikel (debu) (Anonim, 1993). Air larian (air permukaan)
yang berasal dari kandang atau hasil penyiramannya membanjiri lahan sekitarnya
dan
mengakibatkan pencemaran terhadap
badan
air. Selain itu juga,
mengakibatkan pencemaran udara karena hasil penguraian bahan organik limbah
ternak yang dibuang dengan cara hanya ditumpuk dan menggunung di suatu
31
tempat tanpa penanganan yang benar dapat menghasilkan gas yang berbau dan
berbahaya bagi kesehatan manusia (Dariah dan Rahman, 1989). Perlunya menjaga
kebersihan kandang, kebersihan sapi dan kebersihan peralatan yang dipergunakan
untuk pemeliharaan termasuk menjaga kebersihan petugas karena kebersihan
kandang akan mempengaruhi jumlah bakteri ((Erliza, 2008) dan pada akhirnya
akan mempengaruhi kondisi dan kesehatan ternak serta produktivitas ternak.
Menurut Adimihardjai et. al., (2000), dampak lingkungan dari usaha peternakan
dapat berupa pencemaran tanah, air dan udara yang berpotensi mengganggu
kesehatan ternak itu sendiri dan manusia. Usaha peternakan sapi di Indonesia
sampai saat ini masih mementingkan produktivitas ternak dan belum
mempertimbangkan aspek lingkungan atau dampak kegiatan terhadap lingkungan
(Kadir,
2002).
Wahyuningsih
(2010),
mengatakan
bahwa
peternakan
berkelanjutan tidak hanya memperhatikan kelangsungan hidup ternak dan
produksinya namun juga penanganan limbah yang dapat mencemari lingkungan
khususnya di daerah dengan kepadatan ternak yang tinggi. Akibat pengelolaan
ternak yang tidak memperhatikan lingkungan, banyak usaha peternakan yang
tidak berhasil dikarenakan timbulnya kerugian yang disebabkan oleh limbah yang
tidak dikelola dengan benar (Benit et. al. 2010).
2.8.3. Sedimen Laut Teluk Kendari
Sedimen terbentuk dari erosi bebatuan seperti granit atau basal yang
menjadi partikel-partikel yang kemudian digerakkan oleh udara, air maupun es.
Sedimen dapat juga terbentuk dari akumulasi jasad-jasad organisme yang telah
mati. Oleh karena itu, sedimen dapat terdiri dari partikel-partikel yang berupa
32
mineral maupun fosil yang dapat ditemukan di dasar laut (Jones and Bartlett
Publishers, 2012).
Sedimen laut merupakan salah satu sumber daya kelautan yang
menyimpan berbagai kekayaan alam. Hasil analisis memperlihatkan bahwa secara
umum sedimen laut dunia menempati 70% dari total wilayah bumi dan memiliki
peran yang sangat penting terhadap siklus karbon dan nutrien mahluk hidup dan
kehidupan di muka bumi (Rochelle et al.,1994). Sedimen laut merupakan
reservoir dari karbon organik yang besar dalam skala global (Toffin et al., 2004).
Reimers et al. (2001) menyatakan bahwa sedimen pada dasar benua (<1000 m)
mengandung 2-3 % karbon organik (bobot kering). Reimers et al., (2001) juga
menyatakan bahwa bahan organik, HS-, dan Fe2+ yang terdapat dalam sedimen
laut merupakan sumber energi dalam pembangkit listrik dan oksigen pereduksi
yang diperoleh dalam bentuk air atau H2O2.
Sedimen laut Teluk Kendari terbentuk melalui proses gerakan air akibat
pasang surut yang mengangkut bahan sedimen dari sungai ke Teluk. Hasil analisis
yang dilakukan oleh Salnuddin (2005) menunjukkan bahwa secara umum sedimen
dasar permukaan perairan Teluk Kendari merupakan sedimen halus dengan
kategori pasir sangat halus dengan diameter partikel rata-rata 0,998 mm. Karakter
sedimen dasar permukaan ini secara visual didominasi lumpur kasar, dimana
warna sedimen tergantung pada lokasi sekitarnya (Salnuddin, 2005).
2.8.4. Sedimen Rawa Aopa
Sedimentasi adalah peristiwa pengendapan material batuan yang telah
diangkut oleh tenaga air atau angin. Pada saat pengikisan terjadi, air membawa
33
batuan mengalir ke sungai, danau dan akhirnya sampai di laut. Pada saat kekuatan
pengangkutannya berkurang atau habis, batuan diendapkan di daerah aliran air.
Karena itu, pengendapan ini bisa terjadi di sungai, danau dan di laut. Batuan hasil
pelapukan secara berangsur diangkut ke tempat lain oleh tenaga air, angin dan
gletser (es yang mengalir secara lambat). Air mengalir di permukaan tanah atau
sungai membawa batuan halus baik terapung, melayang atau digeser di dasar
sungai menuju tempat yang lebih rendah. Hembusan angin juga bisa mengangkat
debu, pasir, bahkan bahan material yang lebih besar. Makin kuat hembusan itu,
makin besar pula daya angkutnya. Di padang pasir misalnya, timbunan pasir yang
luas dapat dihembuskan angin dan berpindah ke tempat lain sedangkan gletser,
walaupun lambat gerakannya, tetapi memiliki daya angkut besar ( Qalbi et. al.,
2012).
Dijelaskan oleh Greenberg (1985), sedimen sebagai kumpulan partikelpartikel organik dan anorganik yang terakumulasi secara luas dan bentuknya tak
beraturan. Sedimen Rawa Aopa merupakan daerah depresi yang terletak di antara
Pegunungan Mendoke, Motaha dan Makaleleo. Kondisinya selalu tergenang
sepanjang tahun karena menjadi muara beberapa sungai yang ada. Kondisi fisik
Rawa Aopa dicirikan oleh kondisi vegetasi yang didominasi oleh kelas herba rawa
yang hidup pada lapisan gambut dengan ketebalan < 4 m. Lapisan gambut ini
kondisinya relatif masih utuh dan baik dimana keberadaannya terlindungi oleh
tutupan tumbuhan air yang mencegah terjadinya pengeringan gambut. Aliran air
berwarna gelap karena membawa koloid tumbuhan sedangkan pH air rendah
sebagaimana tanah gambut pada umumnya. Tanah gambut di Rawa Aopa
34
diperkirakan telah berumur cukup tua dan membentuk puncak suksesi ekosistem.
Hasil penelitian Hermanto (2010) menunjukkan bahwa pemberian sedimen yang
bersifat asam dapat meningkatkan pertumbuhan populasi bakteri pereduksi sulfat
(BPS). Perlakuan sedimen bakau diharapkan dapat mengatasi pencemaran rawa
dengan indikasi adanya kenaikan pH yang menandakan bahwa populasi bakteri
pereduksi sulfat meningkat dan menekan pertumbuhan bakteri Thiobacillus
ferroxidans yang tumbuh optimal pada kondisi lingkungan yang asam (Nur Qalbi
et al, 2012).
35
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran
Microbial fuel cell (MFC) merupakan salah satu teknologi untuk
menghasilkan energi listrik dari biomassa yang menggunakan bantuan
metabolisme bakteri. Aliran listrik didapatkan dari elektron yang berasal dari
proses metabolisme bakteri. Bakteri mampu melakukan degradasi bahan organik
maupun anorganik untuk menghasilkan energi (Prihantoro dan Zulaika, 2015).
Bahan organik maupun anorganik yang dapat digunakan sebagai sumber energi
sebagai substrat MFC dapat berasal dari sedimen yang pernah dilakukan oleh
Fitrinaldi (2011) dan Robby (2013) maupun yang berasal dari limbah yang pernah
dilakukan oleh (Prihantoro dan Zulaika, 2015) dan (Hijir, 2016). Sedimen adalah
material atau pecahan dari batuan, mineral dan material organik yang mengendap
di dalam air maupun yang dikumpulkan di dasar sungai atau laut oleh pembawa
atau perantara alami lainnya sedangkan limbah adalah buangan yang dihasilkan
dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik.
Sedimen maupun limbah merupakan material yang memilki kandungan
bahan organik maupun anorganik yang tinggi sehingga dengan bantuan
metabolime mikroba dapat menghasilkan proton dan elektron. Energi listrik
terjadi karena adanya elektron yang bergerak. Elektron yang dimetaboliseme oleh
bakteri tanpa ditempatkan katoda dan anoda akan tetap diam begitu saja sehingga
tidak termanfaatkan. Dengan adanya katoda dan anoda, elektron dapat mengalir
dari anoda ke katoda sehingga dapat menghasilkan energi.
35
36
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penggunaan sedimen
maupun limbah sebagai sumber penghasil energi listrik melalui teknologi MFC
guna mengatasi akan dampak ketergantungan energi terhadap penggunaan minyak
bumi dan fosil sebagai sumber energi. Penelitian ini dimulai dengan karakterisasi
sampel guna melihat kandungan bahan organiknya, pengukuran tegangan dan arus
listrik yang dihasilkan serta identifikasi mikroba yang berperan sebagai sumber
penghasil energi.
3.2. Hipotesis
Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, sedimen maupun
limbah dapat dijadikan sebagai sumber energi terbarukan dengan melihat
kandungan bahan organik yang terdapat di dalam sedimen maupun limbah dan
dapat diharapkan menjadi menjadi sumber energi alternatif untuk mengatasi
ketergantungan energi terhadap bahan bakar minyak dan fosil.
37
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan melihat
ada atau tidaknya tegangan serta arus listrik sistem MFC dan penelitian kuantitatif
dengan melihat besar tegangan dan arus yang dihasilkan sistem MFC. Pendekatan
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan luas permukaan
elektroda grafit sheet terhadap besar energi listrik yang dihasilkan.
4.2. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental method.
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2017 di Laboratorium
Kimia Anorganik dan Biokimia, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Halu Oleo,
Kendari, Sulawesi Tenggara.
4.4. Variabel Penelitian
4.4.1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi reaksi. Variabel bebas
pada penelitian ini adalah:
1. Variasi substrat bertujuan untuk mengetahui substrat yang dapat menghasilkan
energi listrik yang besar.
37
38
2. Variasi zat oksidator bertujuan untuk mengetahui zat oksidator yang tepat untuk menghasilkan energi listrik yang besar.
4.4.2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang tergantung pada variabel bebas.
Variabel yang terikat pada penelitian ini adalah karakterisasi substrat dan
karakterisasi bakteri substrat.
4.4.3. Variabel Terkendali
Variabel terkendali adalah variabel yang dibuat tetap sehingga tidak
menyebabkan terjadinya perubahan pada variabel terikat. Variabel terkendali pada
penelitian ini adalah konsentrasi zat oksidator.
4.5. Alat dan Bahan
4.5.1. Alat
Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pembuatan reaktor MFC
diantaranya toples, kabel N.Y.A ETERNA (1 x 2,5 mm), grafit sheet dan selang
water pass. Peralatan
yang digunakan dalam pengukuran arus dan potensial
listrik MFC adalah multimeter. Peralatan yang digunakan untuk karakterisasi
sedimen dan air limbah meliputi pH meter, konduktometer, autoklaf, eksikator,
botol gelap, penjepit, alat-alat gelas seperti labu takar, erlenmeyer, gelas ukur,
spektrofotometar UV-Vis, oven dan pipet ukur.
39
4.5.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi air limbah dan
sedimen potensial, akuades, ferro ammonium sulfat (p.a.), indikator ferroin (p.a.),
NaCl (p.a.), KMnO4 (p.a.), K2Cr2O7 (p.a.), larutan standar C dari glukosa, larutan
standar N dari amonium sulfat, H2SO4 (p.a.), NaCl (p.a.), NH4Cl (p.a.), KH2PO4
(p.a.), MgSO4.7H2O (p.a.), NaHCO3 (p.a.) dan KCl (p.a.), larutan Sangga Tartrat,
larutan Na-fenat, NaOCl dan larutan buffer phosfat pH 7,0,
4.6. Metode Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap
pertama adalah pengambilan sampel limbah potensial air lindi yang diambil dari
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Puuwatu dan limbah kotoran sapi yang diambil
dari peternakan sapi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Puuwatu serta
pengambilan sedimen potensial teluk Kendari yang diambil dari kawasan
perairam teluk Kendari dan sedimen Rawa Aopa yang diambil di kawasan hutan
lindung Rawa Aopa Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Tahap kedua adalah
karakterisasi air limbah potensial yang meliputi pengukuran C-organik,
pengukuran N-total, pengukuran pH, konduktivitas, serta BOD dan COD air
limbah serta karakterisasi sedimen potesial yang meliputi pengukuran kadar air,
pengukuran C-organik, pengukuran N-total, pengukuran pH, konduktivitas. Tahap
ketiga adalah pembuatan reaktor MFC di mana optimasi dilakukan untuk
mendapatkan energi listrik yang maksimum yaitu meliputi pembuatan reaktor
yang berdasarkan pada penggunaan elektroda grafit sheet yang diperbesar luas
40
permukaannya, penggunaan jembatan garam dan penggunaan reaktor paralel.
Tahap keempat adalah pengukuran arus dan potensial listrik yang dihasilkan MFC
dengan menggunakan multimeter. Tahap kelima adalah karakterisasi air limbah
dan sedimen potensial yang sudah digunakan sebagai substrat MFC. Tahap
keenam adalah isolasi dan karakterisasi bakteri yang terdapat dalam limbah dan
sedimen potensial.
4.6.1. Karakterisasi Air Limbah dan Sedimen Potensial
4.6.1.1. Karakterisasi Air Limbah potensial
Karakterisasi air limbah potensial meliputi pengukuran C-organik,
pengukuran N-total, pengukuran pH, konduktivitas, BOD dan COD air limbah.
4.6.1.1.1. Pengukuran C-organik (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel diambil sebanyak 0,5 g, dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
Selanjutnya ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok. Ditambahkan 7,5 mL
H2SO4 pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30 menit. Diencerkan dengan
akuades hingga 100 mL. Keesokan harinya diukur serapan larutan jernih dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding
dibuat standar 0, 250, 500 dan 1000 ppm C dari glukosa dengan memipet 0, 5, 10
dan 20 mL larutan standar 5000 ppm C dari glukosa ke dalam labu ukur 100 mL
dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan sampel. Kemudian dibuat kurva
standar C dari glukosa dan nilai serapan sampel ditransformasikan pada
persamaan garis kurva standar C dari glukosa dan dilakukan perhitungan.
41
Kadar C-organik (%) = [kurva]
Vekstrak
1000-1 (100
Vsampel-1) x fk
(3)
Keterangan:
[kurva] = kadar sampel yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko
100
= konversi ke %
fk
= faktor koreksi kadar air
4.6.1.1.2. Pengukuran N-total (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel diambil sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas kimia.
Selanjutnya ditambahkan 1 g campuran selenium dan 3 mL asam sulfat pekat,
didestruksi hingga suhu 350
(3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih
dan didapat ekstrak jernih (sekitar 4 jam). Tabung diangkat, didinginkan dan
kemudian ekstrak diencerkan dengan akuades hingga tepat 50 mL. Dikocok
sampai homogen dan dibiarkan semalam agar partikel mengendap. Ekstrak
digunakan untuk pengukuran nitrogen dengan cara spektrofotometer.
Ekstrak sampel dipipet ke dalam tabung reaksi masing-masing 2 mL. Sebagai
pembanding dibuat deret standar 0, 250, 500 dan 1000 ppm N dari amonium sulfat
dengan memipet 0, 5, 10 dan 20 mL larutan standar 5000 ppm N dari amonium
sulfat ke dalam labu ukur 100 mL dengan perlakuan yang sama dengan
pengerjaan sampel. Ditambahkan berturut-turut larutan Sangga Tartrat dan Na-fenat
masing-masing sebanyak 4 ml, dikocok dan dibiarkan 10 menit. Ditambahkan 4 ml
NaOCl 5%, dikocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
636 nm setelah 10 menit sejak pemberian pereaksi ini.
42
Kadar N-total (%) = [kurva]
Vekstrak
1000-1 (100
Vsampel-1) x fk
(4)
Keterangan:
[kurva] = kadar sampel yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret n
standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko
100
= konversi ke %
fk
= faktor koreksi kadar air
4.6.1.1.3. Pengukuran pH (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel air limbah dimasukkan dua buah botol kocok masing-masing
sebanyak 10 g, ditambahkan 50 mL akuades ke botol yang satu (pH H2O) dan 50
mL KCl 1 M ke dalam botol lainnya (pH KCl). Dikocok dengan mesin pengocok
selama 30 menit. Diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan
larutan buffer phosfat pH 7,0.
4.6.1.1.4. Pengukuran Konduktivitas (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam botol kocok dan ditambahkan
50 mL akuades. Dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Diukur daya
hantar listrik dengan konduktometer sel platina yang telah dikalibrasi
menggunakan larutan baku NaCl dan dibaca setelah angka konstan. Setiap akan
melakukan kalibrasi dan mengukur sampel, elektroda dicuci dan dikeringkan
dengan tisu.
4.6.1.1.5. Pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand) (Sulaeman et.al.,
2005)
Sampel limbah cair diambil sebanyak 0,5 gr dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,025 N. Selanjutnya, ditambahkan H2SO4
43
pekat sebanyak 7,5 mL dan didiamkan selama kurang lebih 15 menit di dalam ruang asam. Setelah itu, ditambahkan 3 tetes indikator ferroin dan dititrasi dengan
menggunakan larutan ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. Titrasi
dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau terang menjadi merah terang.
Selain itu, dilakukan juga titrasi terhadap blanko. Penentuan COD dilakukan
dengan menggunakan rumus:
(
)
(5)
Keterangan :
B
= Volume titrasi blanko (mL)
S
= Volume titrasi sampel (mL)
N
= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2
V
= Volume sampel yang digunakan (mL)
4.6.1.1.6. Pengukuran BOD (Biologycal Oxygen Demand) (Sulaeman et.al.,
2005)
Sampel limbah cair diambil sebanyak 0,5 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diencerkan menggunakan akuades dengan faktor pengenceran
15 dan 20 kali. Setelah itu, limbah cair tersebut diaerasi selama 10 menit. Setelah
10 menit, dipisahkan limbah cair pada dua botol BOD, satu untuk inkubasi dan
botol lainnya untuk mengukur DO (Disolved Oxygen) pada larutan limbah cair.
Limbah cair yang diinkubasi menggunakan botol BOD tidak boleh terdapat
gelembung udara dalam botol BOD tersebut. Limbah cair kemudian diinkubasi
selama lima hari di tempat gelap pada suhu 20 0C. Setelah lima hari dilakukan
pengukuran DO pada limbah cair yang telah diinkubasi. Nilai BOD dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut
44
(6)
Keterangan:
D1 = Nilai DO sampel sebelum inkubasi
D2 = Nilai DO sampel setelah inkubasi
P
= Volume pengenceran
4.6.1.2. Karakterisasi Sedimen potensial
4.6.1.2.1. Pengukuran Kadar Air (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel ditimbang sebanyak 10 g dalam pinggan aluminium yang telah
diketahui bobotnya. Dikeringkan dalam oven pada suhu 105
selama 3 jam.
Diangkat pinggan dengan penjepit dan dimasukkan ke dalam eksikator. Setelah
sampel dingin kemudian ditimbang. Bobot yang hilang adalah bobot air.
Perhitungan:
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) x 100
Faktor koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
(7)
4.6.1.2.2. Pengukuran C-organik (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel diambil sebanyak 0,5 g, dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
Selanjutnya ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok. Ditambahkan 7,5 mL
H2SO4 pekat, dikocok lalu didiamkan selama 30 menit. Diencerkan dengan
akuades hingga 100 mL. Keesokan harinya diukur serapan larutan jernih dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding
dibuat standar 0, 250, 500 dan 1000 ppm C dari glukosa dengan memipet 0, 5, 10
dan 20 mL larutan standar 5000 ppm C dari glukosa ke dalam labu ukur 100 mL
dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan sampel. Kemudian dibuat kurva
45
standar C dari glukosa dan nilai serapan sampel ditransformasikan pada
persamaan garis kurva standar C dari glukosa dan dilakukan perhitungan seperti
pada persamaan (3).
4.6.1.2.3. Pengukuran N-total (Sulaeman et.al., 2005)
Sampel diambil sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam gelas kimia.
Selanjutnya ditambahkan 1 g campuran selenium dan 3 mL asam sulfat pekat,
didestruksi hingga suhu 350
(3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih
dan didapat ekstrak jernih (sekitar 4 jam). Tabung diangkat, didinginkan dan
kemudian ekstrak diencerkan dengan akuades hingga tepat 50 mL. Dikocok
sampai homogen dan dibiarkan semalam agar partikel mengendap. Ekstrak
digunakan untuk pengukuran nitrogen dengan cara spektrofotometer.
Ekstrak sampel dipipet ke dalam tabung reaksi masing-masing 2 mL. Sebagai
pembanding dibuat deret standar 0, 250, 500 dan 1000 ppm N dari amonium sulfat
dengan memipet 0, 5, 10 dan 20 mL larutan standar 5000 ppm N dari amonium
sulfat ke dalam labu ukur 100 mL dengan perlakuan yang sama dengan
pengerjaan sampel. Ditambahkan berturut-turut larutan Sangga Tartrat dan Na-fenat
masing-masing sebanyak 4 ml, dikocok dan dibiarkan 10 menit. Ditambahkan 4 ml
NaOCl 5%, dikocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
636 nm setelah 10 menit sejak pemberian pereaksi ini seperti pada persamaan (4).
4.6.1.2.4. Pengukuran pH (Sulaeman, et.al., 2005)
Sampel sedimen dimasukkan dua buah botol kocok masing-masing
sebanyak 10 g, ditambahkan 50 mL akuades ke botol yang satu (pH H2O) dan 50
46
mL KCl 1 M ke dalam botol lainnya (pH KCl). Dikocok dengan mesin pengocok
selama 30 menit. Diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan
larutan bufer posfat pH 7,0.
4.6.1.2.5. Pengukuran Konduktivitas (Sulaeman, et.al., 2005)
Sampel sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam botol kocok dan ditambahkan
50 mL akuades. Dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Diukur daya
hantar listrik dengan konduktometer sel platina yang telah dikalibrasi
menggunakan larutan baku NaCl dan dibaca setelah angka konstan. Setiap akan
melakukan kalibrasi dan mengukur sampel, elektroda dicuci dan dikeringkan
dengan tisu.
4.6.2. Pembuatan Reaktor MFC
Konfigurasi reaktor MFC terdiri dari dua kompartemen (ruang anoda dan
katoda) dengan volume reaktor 500 mL masing-masing dihubungkan dengan
jembatan garam. Susunan rangkaian dapat dilihat pada gambar berikut.
Limba dan
Sedimen
Anoda
Aerator
dan
Oksidator
Katoda
Gambar 8. MFC sistem 2 kamar (dual chamber)
47
Energi listrik sistem MFC yang diukur dalam penelitian adalah berupa
beda potensial listrik (tegangan) dan arus listrik. Tahap awal dilakukan
pengukuran selama 24 jam yang dicatat tiap 3 jam. Pengukuran dilakukan sesaat
setelah pemasangan yang bertujuan untuk melihat tegangan sirkuit terbuka (open
circuit voltage) maksimal yang merupakan faktor yang mempengaruhi suatu MFC
dalam memproduksi energi (Fitrinaldi, 2011). Besaran kuat arus MFC juga diukur
selain tegangan listrik.
Pengukuran energi listrik dari MFC dilakukan dengan mengukur masingmasing sel tunggal diukur tegangan dan arus listriknya kemudian sel-sel tunggal
dihubungkan secara paralel lalu diukur tegangan dan arus listriknya. Pada
rangkaian paralel, tegangan di setiap komponen adalah sama dan kuat arus
totalnya merupakan jumlah dari setiap arus yang diberikan (Anonim, 2016).
4.6.3. Pengukuran Arus dan Potensial Listrik MFC
Kompartemen anoda diisi dengan limbah dan sedimen potensial yang
berisikan konsorsium mikroba sedangkan pada kompartemen katoda diisi dengan
elektrolit KMnO4 dan aerator untuk persediaan oksigen. MFC. Penelitian ini dioperasikan dalam durasi bervariasi di mana energi listrik sistem MFC berupa arus
dan potensial listrik diukur menggunakan multimeter dengan pengukuran dilakukan tiap 1 hari sehingga dapat terlihat fase eksponensial konsorsium mikroba
yang bekerja dalam sistem MFC. Sistem MFC dioptimasi dengan menghubungkan dua sel tunggal secara paralel untuk meningkatkan perolehan energi listrik
pada MFC (Oh dan Logan, 2007). Selanjutnya, dihitung besar hambatan sistem
MFC berdasarkan persamaan
48
( )
(8)
dimana I (mA) adalah arus dan V (V) adalah voltase.
Rapat daya sistem MFC (mW/m2) adalah daya yang dihasilkan tiap satuan
luas elektroda yang dihitung menggunakan persamaan
(
)
(9)
dimana I (mA) adalah arus, V (V) adalah voltase, dan A (m2) adalah luas permukaan elektroda.
4.6.4. Isolasi, Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri MFC
Tahapan isolasi bakteri terdiri dari beberapa langkah yaitu persiapan
media cair dan media padat, inokulasi bakteri dan isolasi bakteri. Media kultur
pengkayaan (enrichment) yang digunakan adalah media APW (Alkaline Peptone
Water) yang telah dimodifikasi (Holmes et al., 2004). Tiap liter media APW
modifikasi mengandung 20 g NaCl; 0,77 g KCl; 0,25 g NH4Cl; 0,1 g KH2PO4; 0,2
g MgSO4.7H2O; dan 2,0 g NaHCO3. Media kultur kemudian dituang pada tabung
bersumbat karet dan diautoklaf pada suhu 121 °C. Media padat yang digunakan
untuk isolasi bakteri ialah media APW modifikasi yang ditambahkan agar murni
(2%, wt/vol).
Inokulasi bakteri pada MFC dilakukan dengan cara mengambil cuplikan
air limbah dan sedimen sebanyak 1 mL dan memasukkannya ke dalam media cair.
Setelah itu, dilakukan inkubasi bakteri selama 3 hari pada suhu ruang dalam
kondisi gelap. Selanjutnya, dilakukan pengenceran dan penumbuhan bakteri pada
media APW padat. Koloni bakteri yang tumbuh selanjutnya dipindahkan/diisolasi
dengan metode cawan gores menggunakan ose ke media biakan yang
49
komposisinya sama seperti media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri
sehingga diperoleh koloni bakteri tunggal (Firmansyah et al., 2010). Karakterisasi
terhadap isolat bakteri bertujuan untuk mengetahui sifat morfologi dan
fisiologinya. Sifat morfologi yang diamati meliputi morfologi koloni dan
morfologi sel yang terdiri dari bentuk sel dan pewarnaan Gram.
50
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Substrat Sebelum Penggunaan MFC
5.1.1. Karakteristik Sedimen Rawa Aopa dan Sedimen Laut Teluk Kendari
Sedimen laut Teluk Kendari merupakan tanah lumpur berwarna kehitaman
sedangkan sedimen Rawa Aopa merupakan tanah lumpur berwarna coklat
kekuningan dengan karakteristik berupa kadar air, jumlah karbon (C) organik dan
jumlah nitrogen (N) total, nilai pH (H2O dan KCl) serta nilai daya hantar listrik
yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari dan Sedimen Rawa Aopa
4
3
Hong
et al.
(2010)
1,7 ±
0,2
SLTK
2
SRA
Roby S.
(2013)
Kadar Air (%)
43,24
42,31
37,08
C (%)
4,23
2,42
2,78
N (%)
1,08
0,81
1,21
-
C/N
3,92
2,10
2,29
DHL (mS)
11,56
6,74
9,2
pH (H2O)
7,38
7,08
7,09
pH (KCl)
7,45
7,02
7,25
4,73 ±
0,008
6,61 ±
0,03
-
Parameter Uji
1
5
Riyanto
et al.
(2011)
2,19 ±
0,44
0,19 ±
0,06
12
6,4 ± 1,46
7,7 ± 0,35
7,3 ± 0,14
Keterangan:
1. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari
2. Karakteristik sedimen Rawa Aopa
3. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari berdasarkan hasil penelitian Roby
Sudarman (2013)
4. Karakteristik sedimen Sungai Gongji, Korea berdasarkan hasil penelitian
Hong et al. (2010)
5. Karakteristik sedimen laut Teluk Jakarta berdasarkan hasil penelitian Riyanto
dkk. (2011)
50
51
Karbon organik adalah unsur utama bahan organik di dalam tanah sedimen
yang merupakan representasi bahan organik tanah sedimen yang merupakan hasil
perombakan dan penyusunan yang dilakukan jasad renik tanah sedimen.
Mikroorganisme memegang peranan penting dalam daur molekul melalui
kemampuannya dalam mendekomposisi dan memineralisasi bahan-bahan organik
(Trihadingrum, 1995). Pengukuran C-organik didasarkan pada karbon sebagai
senyawa organik akan mereduksi Cr6+ yang berwarna jingga menjadi Cr3+ yang
berwarna hijau dalam suasana asam. Intensitas warna hijau yang terbentuk setara
dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 561 nm.
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kandungan C-organik dalam
sedimen laut Teluk Kendari relatif besar bila dibandingkan dengan sedimen pada
ekosistem terbuka. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa
kandungan karbon organik pada ekosistem terbuka seperti sedimen laut Teluk
Jakarta (Riyanto et al., 2011) dan sungai (Hong et al., 2010) umumnya relatif
lebih rendah dibandingkan pada ekosistem tertutup, seperti danau (Hong et al.,
2008; Hong et al., 2009). Hasil penelitian ini, diketahui bahwa kandungan Corganik sedimen laut Teluk Kendari relatif besar bila dibandingkan dengan
sedimen laut Teluk Jakarta (Riyanto et al., 2011) dan sungai Gongji (Hong et al.,
2010), dimana hasil ini menyerupai hasil analisis C-organik yang terkandung pada
sedimen pada ekosistem tertutup.
Kandungan C-organik pada ekosistem tertutup seperti danau yang relatif
besar bila dibandingkan dengan ekosistem terbuka seperti laut dan sungai
52
berkaitan dengan akumulasi bahan organik pada sedimen yang sangat dipengaruhi
oleh jumlah materi organik yang masuk, laju pengendapan pada sedimen dan
kecepatan degradasi bahan organik (Killops dan Killops, 2005). Sedimen laut
Teluk Kendari memiliki kandungan C-organik yang besar yang menyerupai danau
kemungkinan disebabkan oleh kondisi fisik kawasan Teluk Kendari yang juga
relatif tertutup menyerupai suatu estuaria (Apriyanto, 2007). Adanya aliran air
tawar yang terjadi secara terus menerus dari hulu sungai dan adanya proses
gerakan air akibat pasang surut yang mengangkut mineral-mineral, bahan organik,
dan sedimen merupakan penunjang produktifitas perairan di wilayah estuaria
(Supriadi, 2001).
Begitupun dengan kandungan C-organik sedimen Rawa Aopa, dimana
hasil ini juga menyerupai hasil analisis C-organik yang terkandung pada sedimen
pada ekosistem tertutup. Dilihat dari posisinya, Rawa Aopa juga menyerupai
danau sehingga aliran sungai dari hulu ke hilir yang terus menerus menyebabkan
kandungan C-organik yang besar akibat dari endapan air sungai yang bermuara ke
Rawa Aopa. Selain menyerupai ekosistem tertutup, Rawa Aopa juga merupakan
tempat pertemuan beberapa sungai yang menyebabkan jumlah material organik
yang masuk, laju pengendapan pada sedimen dan kecepatan degradasi bahan
organik semakin besar (Killops dan Killops, 2005).
Hasil penelitian ini, kandugan C-organik sedimen laut Teluk Kendari lebih
besar dibandingkan dengan sedimen Rawa Aopa walaupun memiliki kemiripan
menyerupai ekosistem tertutup seperti danau. Hal ini dimungkinkan karena
pengambilan sampel sedimen laut Teluk Kendari berada didekat pelelangan ikan
53
yang merupakan tempat aktivitas sebagian besar masyarakat kota Kendari
sehingga limbah organik yang dihasilkan sedimen dari tempat tersebut semakin
besar pula. Berbeda dengan pengambilan sampel sedimen Rawa Aopa, masih jauh
dari pemukiman warga sehingga kontaminan limbah organik tidak begitu besar.
Walaupun demikian, baik sedimen laut Teluk Kendari maupun sedimen Rawa
Aopa masih mengandung bahan organik yang relatif besar yang sangat berperan
dalam proses metabolisme mikroba yang diduga akan berdampak pada kinerja
SMFC yang ada.
Besar nitrogen total merupakan salah satu parameter dalam mengetahui
substrat sediment microbial fuel cell (SMFC) dan rasio C/N merupakan suatu cara
mudah untuk mengetahui laju proses dekomposisi (Firmansyah, 2011).
Berdasarkan tabel 3, besar nilai C/N sedimen laut Teluk Kendari dan Rawa Aopa
berturut-turut 3,92 dan 2,10. Nilai rasio C/N yang lebih kecil dari 15
menunjukkan bahwa dalam sedimen terjadi proses mineralisasi N. Mineralisasi N
adalah proses perubahan N-organik menjadi N-anorganik oleh mikroba
dekomposer. Apabila rasio C/N lebih besar dari 30 berarti terjadi immobilisasi N,
dan jika berada diantara 15-30 berarti mineralisasi seimbang dengan immobilisasi.
Proses mineralisasi dan immobilisasi N dalam tanah sangat ditentukan oleh
aktivitas mikroorganisme tanah baik jamur, bakteri dan sebagainya (Firmansyah,
2011).
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa pH rata-rata sedimen laut Teluk
Kendari dan sedimen Rawa Aopa berkisar 6-8. Penentuan pH didasarkan pada
kemampuan untuk mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam limbah. Pada
54
kisaran pH 6-8 unsur hara tersedia dalam jumlah yang cukup banyak (optimal),
karena bakteri yang bertindak sebagai dekomposer, juga mampu hidup optimal
pada kisaran pH tersebut. Jika pH kurang dari 6,0 maka ketersediaan unsur hara
(fosfor, kalium,belerang, kalsium, magnesium) menurun dengan cepat sedangkan
pH limbah lebih besar dari 8,0 akan menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi,
mangan, borium, tembaga dan seng ketersediaannya relatif jadi sedikit
(Firmansyah, 2011).
Konduktivitas listrik adalah ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk
menghantarkan arus listrik. Konduktivitas sedimen laut Teluk Kendari maupun
sedimen Rawa Aopa yang terukur adalah 11,56 mS dan 6,74 mS. Perbedaan nilai
konduktivitas antara sedimen laut Teluk Kendari dengan sedimen Rawa Aopa
disebabkan oleh kandungan mineral dan ion pada air laut lebih tinggi
dibandingkan dengan sedimen Rawa Aopa. Perbedaan konduktivitas ini akan
menyebabkan perbedaan nilai SMFC yang dihasilkan antara kedua sedimen
tersebut. Walaupun terjadi perbedaan nilai konduktivitas tetap akan mampu
memberikan konduktivitas yang baik pada elektroda sehingga cukup berperan
pada sistem SMFC.
5.1.2. Karakteristik Air Lindi dan Kotoran Sapi
Air lindi merupakan merupakan cairan yang berwarna kehitaman
sedangkan kotoran sapi merupakan kotoran yang berwarna hitam coklat
kekuningan dengan karakteristik berupa jumlah karbon (C) organik, jumlah
nitrogen (N) total, besar COD, besar BOD, nilai pH (H2O dan KCl) serta nilai
daya hantar listrik yang dapat dilihat pada Tabel 4.
55
Tabel 4. Karakteristik air lindi dan kotoran sapi
3
1
Parameter Uji
C (%)
N (%)
C/N
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
DHL (mS)
pH (H2O)
pH (KCl)
AL
3,18
1,01
3,15
4210
860
11,56
7,38
7,45
2
KS
3,60
1,13
3,19
36870
24580
6,74
7,08
7,02
M. Hijir
(2016)
6,19
3,91
1,58
6766
5800
36,9
7,83
-
4
Alwahab
(2015)
2,92
2,01
1,45
1001,92
805,54
6,00
7,24
6,87
Keterangan:
1. Karakteristik air lindi
2. Karakteristik kotoran sapi
3. Karakteristik air lindi berdasarkan hasil penelitian M. Hijir (2016)
4. Karakteristik air limbah biogas berdasarkan hasil penelitian Alwahab (2015)
Kadar C-organik merupakan representasi jumlah karbon organik yang ada
dalam air limbah sedangkan kadar N-total merupakan representasi jumlah N yang
terikat sebagai senyawa organik. Rasio C-organik terhadap N-total atau C/N dapat
menjadi acuan untuk mengetahui laju proses dekomposisi. Berdasarkan tabel 4,
nilai C-organik air lindi maupun kotoran sapi cukup besar berturut-turut 3,18 dan
3,60 sedangkan nilai N-total berturut-turut 1,01 dan 1,13 sehingg didapatkan nilai
rasio C/N berturut-turut sebesar 3,15 dan 3,19. Berdasarkan nilai rasio C/N yang
didapatkan lebih kecil dari 15 menunjukkan bahwa dalam sampel limbah air
lindih maupun kotoran sapi terjadi proses mineralisasi N. Mineralisasi N adalah
proses perubahan N-organik menjadi N-anorganik oleh mikroba dekomposer.
(Firmansyah, 2011).
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan agar limbah organik yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui
56
reaksi kimia. Limbah organik akan dioksidasi oleh kalium dikromat sebagai
sumber oksigen manjadi gas CO2 dan H2O dan ion kromat. Biological Oxygen
Demand (BOD) adalah banyaknya oksigen yang diserap oleh suatu sampel limbah
cair akibat adanya mikroorganisme selama periode waktu tertentu. Kedua
pengukuran COD maupun BOD sangat mendukung dalam substrat MFC.
Semakin besar nilai COD maupun BOD semakin besar energi listrik yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan semakin besar kandungan senyawa organik limbah
air lindi dan kotoran sapi maka semakin banyak ion yang dihasilkan akibat dari
penguraian senyawa organik oleh mikroba. Elektron inilah yang menjadi sumber
energi listrik yang mengalir dari anoda ke katoda.
Derajat keasaman merupakan ukuran kandungan ion proton dalam suatu
medium. Nilai pH umumnya digunakan sebagai acuan untuk mengetahui sifat
asam atau basa. Berdasarkan Tabel 4, nilai pH air lindi dan kotoran sapi masih
disekitaran 6-8 dimana pH tersebut merupakan nilai kisaran pH yang
dimungkinkan tumbuhnya dengan baik kebanyakan bakteri pada umumnya
walaupun ada sebagian bakteri yang tumbuh pada pH dibawah 6 atau di atas 8
(Hermawan et al., 2014). Sebenarnya nilai pH suatu limbah cair baik limbah air
lindi maupun kotoran sapi dapat bervariasi dari waktu ke waktu tergantung tahap
degradasi yang telah berlangsung dalam limbah cair.
Nilai Daya Hantar Listrik (DHL) sampel air lindi dan kotoran sapi dapat
dikategorikan sebagai ukuran konduktivitas larutan. DHL adalah kemampuan air
untuk menghantarkan arus listrik yang disebabkan adanya garam-garam terlarut
yang dapat terionisasi serta nilainya dipengaruhi oleh jenis ion, valensi dan
57
konsentrasi. Nilai ini berhubungan dengan pergerakan suatu ion di dalam larutan
ion yang mudah bergerak dan mempunyai daya hantar listrik yang besar (Effendi,
2003). Sehah dan Cahyono (2009), air lindi
dan kotoran sapi diindikasikan
banyak mengandung senyawa asam, basa dan garam yang terlarut sehingga akan
terpecah menjadi ion positif dan negatif yang dapat meningkatkan DHL.
Berdasarkan pengukuran didapatkan nilai konduktivitas 11,56 mS dan 6,74 mS
dimana nilai ini akan mampu memberikan konduktivitas yang baik pada elektroda
sehingga cukup berperan pada sistem MFC.
5.2. Energi Listrik yang Dihasilkan MFC
5.2.1. Energi Listrik yang Dihasilkan Sedimen Laut Teluk Kendari
Energi listrik yang dihasilkan dari sedimen yang disebut dengan sediment
microbial fuel cell (SMFC) adalah hasil dekomposisi mikroba senyawa organik
maupun anorganik yang terkandung dalam sedimen sehingga menghasilkan
elektron sebagai sumber energi listrik. Metode penelitian ini, dilakukan
pengukuran terlebih dahulu tegangan open circuits selama selama 24 jam yaitu
hingga sistem mengalami kondisi steady state (kondisi tetap), agar diperoleh
waktu yang diperlukan setiap sistem SMFC untuk mencapai keadaan stabil dan
tegangan open circuits maksimal tiap sistem SMFC. Hasil pengukuran tegangan
open circuits sistem SMFC dari sedimen laut Teluk Kendari dapat dilihat pada
gambar 9.
58
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
1
0,3
3
0,2
2
4
0,1
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Gambar 9.
Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan SMFC sedimen laut Teluk Kendari
Keterangan:
1. Tegangan open circuit SMFC tunggal sedimen Teluk Kendari menggunakan
aerator
2. Tegangan open circuit SMFC tunggal sedimen Teluk Kendari menggunakan
KMnO4
3. Tegangan open circuit SMFC berganda sedimen Teluk Kendari menggunakan
aerator
4. Tegangan open circuit SMFC berganda sedimen Teluk Kendari menggunakan
KMnO4
Berdasarkan hasil pengamatan tegangan open circuits yang terlihat pada
Gambar 9, menunjukkan bahwa tegangan yang dihasilkan oleh keempat sistem
SMFC mengalami kenaikan yang selanjutnya kurva cenderung menghasilkan
garis datar. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan konsorsium mikroba yang
melakukan aktivitas metabolisme pada anoda SMFC. Telah diketahui bahwa
pertumbuhan mikroba terjadi dalam empat fase yang digambarkan dalam kurva
pertumbuhan yaitu fase lambat (lag phase), fase eksponensial/logaritma
(exponential phase), fase stasioner/tetap (stationary phase) dan fase kematian
(death phase) (Dwiari, 2008).
59
Fase lambat merupakan fase adaptasi dan pertumbuhan awal dimana
mikroba baru menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru dan
perkembangbiakan sel mikroba belum terjadi secara signifikan. Ciri fase lambat
adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan
ukuran sel. Lama fase lambat tergantung pada kondisi dan jumlah awal
mikroorganisme dan media pertumbuhan (Pratiwi, 2008).
Kondisi steady state (kondisi tetap) merupakan kondisi dimana tidak terjadi
perubahan tegangan yang signifikan dihasilkan oleh sistem SMFC. Berdasarkan
hasil pengamatan yang terlihat pada Gambar 9, kestabilan tegangan (kondisi
tetap) tidak membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk tiap sistem SMFC.
Pada sistem SMFC ini, sistem mencapai kondisi tetap pada waktu pengukuran
memasuki waktu 18 jam. Tidak jauh berbeda dengan penelitian Robby (2013),
kondisi tetap terjadi pada waktu 20 jam tetapi berbeda signifikan dengan
penelitian Fitrinaldi (2011) kondisi tetap terjadi pada 14,33 jam.
Perbedaan masing-masing sistem SMFC dalam mencapai kondisi tetap
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang melakukan proses metabolisme bahan
organik juga berbeda. Menurut Fitrinaldi (2011), hal tersebut diduga karena
adanya perbedaan komposisi bahan organik pada bagian anoda yang memberikan
efek signifikan bagi pertumbuhan bakteri. Adapun tegangan open circuits
maksimal yang dihasilkan sistem SMFC dalam penelitian ini yaitu sebesar 522
mV untuk sistem SMFC menggunakan kalium permanganat masih lebih rendah
jika dibandingan dengan Voc maksimal yang dihasilkan oleh MFC E. coli dalam
60
penelitian yang dilakukan oleh Fitrinaldi (2011) yang menghasilkan 889 mV dan
yang dilakukan Robby (2013) yaitu 635 mV dengan sistem satu kamar.
Besar tegangan open circuits pada penelitian ini juga berbeda antara sel
tunggal dan sel berganda yang menggunakan aerator serta sel tunggal dan sel
bergandayang menggunakan kalium permanganat. Besar tegangan open circuits
untuk MFC tunggal menguunakan aerator dan kalium permanganat berturut-turut
sebesar 0,078 V dan 0,091 V sedangkan untuk MFC berganda menggunakan
aerator dan kalium permanganat berturut-turut sebesar 0,268 V dan 0,522 V.
Perbedaan ini disebabkan oleh kemampuan oksidator kalium permanganat lebih
besar dibandingkan dengan aerator. Selain itu, jumlah sel juga menentukan
besarnya tegangan karena semakin banyak selnya semakin besar pula kandungan
C-organiknya sehingga mengakibatkan tegangannya semakin besar.
Tahap selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengukuran
tegangan listrik yang dihasilkan SMFC per hari dengan lama pengukuran
berdasarkan pada pola kecenderungan perubahan potensial listrik yang dihasilkan
dari penguraian bahan organik oleh mikroorganisme pada sedimen SMFC
(Holmes et al., 2004). Lama pengukuran dalam penelitian ini dilakukan 18 hari
yang menggunakan aerator dan 31 hari menggunakan kalium permanganat.
Perbedaan lama pengukuran tersebut didasarkan atas berapa lama bertahan
tegangan yang dihasilkan setiap sistem SMFC sampai tegangan yang dihasilkan
mendekati nol. Hasil pengukuran tegangan listrik sistem SMFC sedimen laut
Teluk Kendari dapat dilihar pada gambar 10.
61
1,8
1,6
Voltase (V)
1,4
1,2
1
1
0,8
2
0,6
3
0,4
4
0,2
0
0
5
10
15
20
25
30
35
Waktu (hari)
Gambar 10. Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kendari
Keterangan:
1. Tegangan
aerator
2. Tegangan
aerator
3. Tegangan
KMnO4
4. Tegangan
KMnO4
listrik MFC tunggal sedimen laut Teluk Kendari menggunakan
listrik MFC berganda sedimen laut Teluk Kendari menggunakan
listrik MFC tunggal sedimen laut Teluk Kendari menggunakan
listrik MFC berganda sedimen laut Teluk Kendari menggunakan
Berdasarkan Gambar 10, produksi tegangan listrik yang dihasilkan sistem
SMFC menggunakan kalium permanganat untuk 5 sel yang dirangkaikan secara
paralel lebih besar dan mencapai puncak pada hari ke-14 yaitu sebesar 1,628 V
sedangkan untuk SMFC menggunakan aeraor untuk 4 sel mencapai puncak pada
hari ke-9 sebesar 0,404 V. Hasil pengukuran SMFC untuk 1 sel menggunakan
elektrolit kalium permanganat mencapai puncak sebesar 0,653 V sedangkan
menggunakan aerator sebesar 0,178 V. Hal ini bisa terjadi saat jumlah mikroba
yang melakukan proses metabolisme menghasilkan elektron dan proton pada
SMFC mencapai jumlah maksimum. Adapun penurunan tegangan listrik
62
menjelang akhir pengukuran disebabkan bahan organik yang terdapat pada anoda
telah berkurang dimana transfer massa pada pembentukan sedimen merupakan
faktor pembatas dalam produksi energi menggunakan SMFC (Reimers et al.,
2001).
Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan sistem SMFC menggunakan
elektrolit kalium permanganat lebih besar nilai tegangan listrik diandingkan
dengan menggunakan aerator baik dengan pengukuran sel tunggal maupun
dengan pengukuran sel berganda. Hal ini disebabkan kemampuan oksidator
kalium permanganat lebih besar dibandingkan dengan aerator. Selain itu, sistem
MFC berganda menghasilkan tegangan listrik yang lebih besar. Hal ini serupa
dengan hasil yang diperoleh Oh dan Logan (2007) yang menggabungkan MFC
tunggal dan berhasil meningkatkan tegangan dari dua sel gabungan. Menurut
Arsov dan Georgievski (2009), untuk menggunakan fuel cell sebagai sumber
energi secara praktik, sejumlah fuel cell tunggal harus dihubungkan secara
berturutan (bergabung) untuk memperoleh keluaran tegangan yang lebih besar.
Berdasarkan penelitian Robby (2013), hasil pengukuran yang dirangkaikan
secara berganda tanpa menggunakan elektrolit sebanyak 10 sel didapatkan nilai
tegangan listrik sebesar 1,807 V. Jika dilihat dari hasil pengukuran menggunakan
elektrolit kalium permanganat mengalami peningkatan dibandingkan tanpa
menggunakan elektrolit. Selain itu, optimasi dengan menambah luas permukaan
elektroda juga mempengaruhi besar nilai SMFC yang dihasilkan. Pengukuran
tanpa menggunakan elektrolit dan tanpa penambahan luas permukaan elektroda
tidak didapatkan nilai arus listrik sedangkan dengan optimasi dan penggunaan
63
elektrolit arus listrik SMFC sebesar 5,0 µA dan terus bertahan hingga 2,1 µA
selama 5 hari. Hubungan antara tegangan listrik dan arus listrik SMFC dapat
dilihat pada Gambar 11.
6
Arus (µA)
5
4
3
2
1
0
0
0,5
1
1,5
2
Tegangan (V)
Gambar 11. Perbandingan tegangan dan arus listrik yang dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kendari
Berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa tegangan berbanding
lurus dengan arus yang dihasilkan dalam sistem MFC. Data ini juga menunjukkan
bahwa dengan penambahan luas permukaan elektroda dapat meningkatkan kinerja
SMFC. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang pernah dilakukan Ewing et al.
(2016) dan Ye et al. (2016)
yang melaporkan bahwa penambahan luas
permukaan elektroda serta penambahan elektrolit dikatoda dapat meningkatkan
arus dan tegangan listrik SMFC. Semakin luas permukaan semakin banyak bakteri
yang menempel pada permukaan elektoda dan semakin banyak elektron yang
dihasilkan dan ditangkap elektroda untuk untuk dialirkan sehingga dapat
menghasilkan energi listrik yang besar.
64
Kecilnya arus listrik yang didapatkan dari sistem SMFC diakibatkan karena
besarnya hambatan yang terjadi dalam rangkaian sistem SMFC. Hal ini terlihat
seperti pada Gambar 12 dan 13.
700
Hambatan (Ώ)
600
500
400
300
200
100
0
0
0,5
1
1,5
2
Tegangan (V)
Gambar 12. Perbandingan tegangan dan hambatan yang
dihasilkan SMFC
sedimen laut Teluk Kendari
700
Hambatan (Ώ)
600
500
400
300
200
100
0
0
1
2
3
4
5
6
Arus (µA)
Gambar 13. Perbandingan arus dan hambatan yang dihasilkan SMFC sedimen
laut Teluk Kendari
65
Berdasarkan Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa semakin besar
hambatan yang diperoleh semakin kecil tegangan dan arus yang dihasilkan dari
sistem SMFC. Hasil perhitungan menunjukkan hambatan terkecil didapatkan
325,6 Ω. Nilai hambatan ini masih terlalu besar sehingga arus yang didapatkan
dalam sistem SMFC masih kecil.
Power Density (mW/A2)
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
2
4
6
8
10
Daya (mW)
Gambar 14. Perbandingan daya dan kerapatan daya yang dihasilkan SMFC
SMFC sedimen laut Teluk Kenadari
Jika dilihat dari kerapatan daya juga masih sangat kecil sehingga
menyebabkan arus dan tegangan yang dihasilkan sistem MFC masih kecil. Besar
kecilnya kerapatan daya sangat dipengaruhi arus dan tegangan yang dihasilkan
sistem MFC.
Sedimen laut Teluk Kendari memiliki prospek yang menjanjikan untuk
menghasilkan energi listrik melalui teknologi SMFC. Hal ini dibuktikan dengan
besarnya tegangan listrik yang dihasilkan sebesar 1,628 V melebihi tegangan
listrik baterai biasa yang memiliki tegangan listrik sekitar 1,5 V. Faktor yang
66
mendukung besaranya energi yang dihasilkan adalah besarnya kandungan
senyawa organik yang terkandung di dalam sedimen laut Teluk Kendari sebesar
4,23% untuk C-organik dan 1,08% untuk nitrogrn total.
5.2.2. Energi Listrik yang Dihasilkan Sedimen Rawa Aopa
Pengukuran energi listrik sedimen Rawa Aopa diawali dengan dengan
pengukuran tegangan open circuit guna mencapai keadaan stabil. Tidak berbeda
dengan sedimen laut Teluk Kendari tegangan open circuit sedimen Rawa Aopa
terjadi kondisi stabil pada saat 24 jam. Hasil pengukuran tegangan open circuit
sedimen Rawa Aopa dapat dilihat pada Gambar 15.
0,25
Voltase (V)
0,2
0,15
1
3
0,1
2
0,05
4
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (hari)
Gambar 15. Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits
dihasilkan SMFC sedimen Rawa Aopa
Keterangan:
1. Tegangan open circuit MFC tunggal sedimen Rawa Aopa
aerator
2. Tegangan open circuit MFC tunggal sedimen Rawa Aopa
KMnO4r
3. Tegangan open circuit MFC berganda sedimen Rawa Aopa
aerator
4. Tegangan open circuit MFC berganda sedimen Rawa Aopa
KMnO4
voltage) yang
menggunakan
menggunakan
menggunakan
menggunakan
67
Berdasarkan Gambar 15, hasil pengukuran sistem SMFC menggunakan
aerator untuk satu sel tegangan open circuit terjadi pada 51 mV sedangkan
menggunakan aerator untuk empat sel teradi pada 111 mV. Sistem MFC dengan
menggunakan elektrolit KMnO4 untuk satu sel, tegangan open circuit terjadi pada
101 mV sedangkan dengan menggunakan elektrolit KMnO4 untuk lima sel
tegangan open circuit terjadi pada 224 mV.
Hasil pengukuran besar tegangan open circuit sedimen Rawa Aopa
berbeda dengan hasil pengukuran tegangan open circuit sedimen Teluk Kendari
dimana sedimen laut Teluk Kendari memiliki nilai tegangan open circuit yang
lebih besar. Perbedaan ini diakibatkan oleh perbedaan besar kandungan bahan
organik pada setiap sedimen yang berbeda-beda. Selanjutnya, perbedaan jenis
bakteri serta proses metabolismenya dalam setiap sedimen juga berbeda-beda
Fitrinaldi, 2011). Berdasarkan hasil pengukuran membuktikan bahwa sedimen
laut Teluk Kendari memiliki kandungan C-organik sebesar 4,23% sedangkan
sedimen Rawa Aopa hanya memiliki kandungan C-organik sekitar 2,42%. Selain
itu, didalam sedimen laut Teluk Kendari terdapat 4 isolat bakteri sedangkan
didalam sedimen Rawa Aopa hanya terdapat 2 isolat bakteri. Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan jumlah komponen bakteri yang terdapat dalam setiap sedimen
mempengaruhi besar tegangan open circuit yang dihasilkan dalam setiap sedimen.
Setelah dilakukan pengukuran tegangan open circuit, selanjutnya
dilakukan pengukuran tegangan listrik yang dihasilkan setiap SMFC. Tegangan
listrik yang dihasilkan oleh sistem SMFC sedimen Rawa Aopa dapat dilihat pada
Gambar 16.
68
0,7
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
1
0,3
2
3
0,2
4
0,1
0
0
5
10
15
20
25
Waktu (hari)
Gambar 16. Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan SMFC
sedimen Rawa Aopa
Keterangan:
1. Tegangan listrik MFC tunggal sedimen Rawa Aopa menggunakan aerator
2. Tegangan listrik MFC berganda sedimen Rawa Aopa menggunakan aerator
3. Tegangan listrik MFC tunggal sedimen Rawa Aopa menggunakan KMnO4
4. Tegangan listrik MFC berganda sedimen Rawa Aopa menggunakan KMnO4
Berdasarkan Gambar 16, pengukuran tegangan (voltase) MFC mengalami
kenaikan sampai pada waktu tertentu kemudian mengalami penurunan. Hasil
pengukuran SMFC menggunakan aerator untuk satu sel, tegangan maksimun
yang dihasilkan adalah sebesar 0,157 V sedangkan tegangan maksimun yang
dihasilkan sistem SMFC untuk empat sel adalah sebesar 0,354 V dan tegangan
maksimum yang dihasilkan untuk sistem MFC menggunakan KMnO4 untuk satu
sel sebesar 0,227 V serta sistem MFC menggunakan KMnO4 untuk satu sel
sebesar 0,622 V.
Kemampuan menghasilkan energi listrik sedimen Rawa Aopa masih lebih
kecil diandingkan dengan sedimen laut Teluk Kendari. Hal tersebut diakibatkan
karena kandungan bahan organik sedimen Rawa Aopa lebih kecil dibandingkan
69
sedimen laut teluk Kendari (Tabel 3). Selain itu, Reimers et al. (2001) juga
menyatakan bahan organik, HS- dan Fe2+ yang terdapat dalam sedimen laut
merupakan sumber energi dalam pembangkit listrik dan oksigen pereduksi yang
diperoleh dalam bentuk air atau H2O2.
5.2.3. Energi Listrik yang Dihasilkan Air Lindi
MFC yang dihasilkan dari air lindi dibuat dengan sisten MFC tunggal dan
sistem MFC ganda. MFC tunggal merupakan unit terkecil sistem MFC. MFC
ganda merupakan gabungan dari beberapa unit MFC tunggal. Penggabungan unitunit MFC tunggal dilakukan untuk meningkatkan output tegangan maupun kuat
arus MFC. Pada dasarnya, masing-masing MFC tunggal memiliki potensial listrik
sehingga jika digabungkan membentuk sistem MFC akan diperoleh performa
MFC yang lebih besar. MFC ganda terbagi menjadi dua kategori yaitu MFC seri
dan MFC paralel. Susunan seri dapat meningkatkan output tegangan MFC atau
dengan kata lain tegangan yang dihasilkan MFC seri merupakan resultan dari
masing-masing tegangan MFC tunggal, namun kuat arus yang dihasilkan tidak
meningkat. Sebaliknya MFC paralel dapat meningkatkan output kuat arus MFC
namun tegangannya relatif tetap (tidak meningkat) (Aelterman et al., 2006).
Penelitian ini, MFC dirangkaikan secara paralel guna meningkatkan output kuat
arus MFC untuk mengatasi penelitian (Robby,2013), (Alwahab,2015) dan (Hijir
2016) yang terkendala kuat arus yang didapatkan dalam sistem MFC masih terlalu
kecil bahkan tidak terdeteksi sama sekali.
Pengukuran tegangan listrik sistem MFC didahului dengan pengukuran
tegangan open circuit agar pengukuran mengalami kondisi tetap. Penentuan
70
kondisi steady state penting dilakukan karena lama waktu yang diperlukan untuk
mencapai kondisi ini dapat dianggap sebagai waktu yang diperlukan bakteri dalam
sampel untuk membentuk lapisan biofilm pada anoda (Hisham et al., 2013).
Secara umum bakteri dapat hidup secara bebas (planktonik) atau menempel pada
suatu permukaan (biofilm). Umumnya biofilm melekat secara irreversible pada
suatu permukaan dan terbungkus dalam matriks Extracellular Polymeric
Substances (EPS) yang dihasilkan oleh mikroba (Donlan dan Costeron, 2002). Sel
biofilm mampu menggunakan energi untuk membentuk eksopolisakarida yang
dibutuhkan sebagai nutrisi (Watnick dan Kolter, 2000).
0,8
0,7
Voltase (V)
0,6
0,5
1
0,4
3
0,3
2
0,2
4
0,1
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Gambar 17. Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan MFC air lindi
Keterangan:
1. Tegangan open circuit MFC tunggal air lindi menggunakan aerator
2. Tegangan open circuit MFC tunggal air lindi menggunakan KMnO4
3. Tegangan open circuit MFC berganda air lindi menggunakan aerator
4. Tegangan open circuit MFC berganda air lindi menggunakan KMnO4
Hasil pengukuran sistem MFC menggunakan aerator untuk satu sel
tegangan open circuit terjadi pada 0,166 V sedangkan menggunakan aerator untuk
71
empat sel terjadi pada 0,343 V. Sistem MFC dengan menggunakan elektrolit
KMnO4 untuk satu sel, tegangan open circuit terjadi pada 0,287 V sedangkan
dengan menggunakan elektrolit KMnO4 untuk lima sel tegangan open circuit
terjadi pada 0,687 V.
1,8
1,6
Voltase (V)
1,4
1,2
1
1
0,8
2
0,6
3
0,4
4
0,2
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Gambar 18. Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan MFC air
lindi
Keterangan:
1. Tegangan listrik MFC tunggal air lindi menggunakan aerator
2. Tegangan listrik MFC berganda air lindi menggunakan aerator
3. Tegangan listrik MFC tunggal air lindi menggunakan KMnO4
4. Tegangan listrik MFC berganda air lindi menggunakan KMnO4
Berdasarkan Gambar 18, pengukuran tegangan (voltase) MFC mengalami
kenaikan sampai pada waktu tertentu kemudian mengalami penurunan Hasil
pengukuran sistem MFC menggunakan aerator untuk satu sel tegangan
maksimum terjadi pada 0,287 V sedangkan menggunakan aerator untuk empat sel
teradi pada 0,474 V. Sistem MFC dengan menggunakan elektrolit KMnO4 untuk
satu sel, tegangan maksimum terjadi pada 0,511 V sedangkan dengan
72
menggunakan elektrolit KMnO4 untuk lima sel tegangan maksimum terjadi pada
1,554 V.
Selain pengukuran tegangan listrik, juga dilakukan pengukuran arus yang
dihasilkan sistem MFC air lindi. Nilai pengukuran arus yang dihasilkan dapat
dilihat pada 19.
6
Arus (µA)
5
4
3
2
1
0
0
0,5
1
1,5
2
Tegangan (V)
Gambar 19. Perbandingan tegangan dan arus listrik yang dihasilkan MFC air
lindi
Berdasarkan gambar 19, dapat dilihat bahwa besar arus yang didapatkan
berbanding lurus dengan tegangan yang dihasilkan sistem MFC. Nilai arus
maksimum yang didapatkan adalah 4,9 µA. Jika dilihat dari besar arus yang
didapatkan menujukkan bahwa masih terlalu kecil dibandingkan dengan arus yang
dihasilkan baterai yang juga memiliki nilai tegangan yang hampir mirip dengan
tegangan yang dihasilkan sistem MFC air lindi. Hal ini disebabkan masih terlalu
besarnya hambatan yang terdapat dalam rangkaian sistem MFC. Besar hambatan
sistem MFC dapat dilihat pada gambar 20 dan 21.
73
450
400
Hambatan (Ώ)
350
300
250
200
150
100
50
0
0
0,5
1
1,5
2
Tegangan (V)
Gambar 20. Perbandingan tegangan dan hambatan yang dihasilkan MFC air
lindi
450
400
Hambatan (Ώ)
350
300
250
200
150
100
50
0
0
1
2
3
4
5
6
Arus (µA)
Gambar 21. Perbandingan arus dan hambatan yang dihasilkan MFC air lindi
Berdasarkan gambar 20 dan 21 menunjukkan bahwa semakin besar
hambatan semakin kecil tegangan dan arus yang dihasilkan. Hambatan terkecil
yang didapatkan dalam sistem MFC ini adalah sebesar 310,48 Ω sehingga perlu
dikaji lagi penelitian lanjutan untuk menurunkan besarnya hambatan untuk
74
mendapatkan arus listrik yang besar. Hal ini dapat juga dilihat kerapatan daya
yang dihasilkan seperti pada gambar 22.
Kekuatan Daya mW/A2)
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
2
4
6
8
10
Daya (mW)
Gambar 22. Perbandingan daya dan kerapatan daya yang dihasilkan MFC air
lindi
Berdasarkan Gambar 22, kerapatan daya yang dihasilkan sistem MFC juga
realtif kecil. Kerapatan daya yang kecil merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kecilnya arus yang didapatkan dari sistem MFC.
Jika dilihat dari sistem MFC yang dihasilkan air lindi memilki potensi
yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi alternatif. Hal ini dapat dilihat
dengan besarnya tegangan listrik yang dihasilkan sebesar 1,554 V setara dengan
dengan listrik yang dihasilkan oleh baterai biasa. Faktor yang mendukung
besarnya energi listrik yang dihasilkan adalah dalam air lindi mengandung
sejumlah bakteri patogen dan parasit seperti kutu air (Sarcoptes sp) (Susanto et
al., 2004).
75
5.2.4. Energi Listrik yang Dihasilkan Kotoran Sapi
Sebelum dilakukan pengukuran tegangan MFC dilakukan terlebih dahulu
tegangan open circuit. Tegangan open circuit merupakan tegangan yang
dihasilkan hingga sistem mengalami kondisi steady state (kondisi tetap), agar
diperoleh waktu yang diperlukan setiap sistem MFC untuk mencapai keadaan
stabil. Selain itu, dalam tahap pertama pengukuran MFC diperlukan adaptasi awal
pembetukan biofilm oleh bakteri pada anoda (Hisham et al., 2013). Aparna dan
Yadaf (2008) memaparkan bahwa pembentukan biofilm pada anoda berlangsung
dalam 5 (lima) tahapan yaitu perlekatan sel, multiplikasi sel, maturasi I, maturasi
II dan dispersi. Tahap pertama dimulai dengan perlekatan sel mikroba planktonik
pada permukaan substrat. Pada tahap ini bakteri melekat ke substrat (anoda) yang
selanjutnya akan mengalami pembelahan secara logaritmik. Pada tahap kedua
bakteri
mengalami multiplikasi sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk
berkomunikasi secara internal. Substansi Extracellular Polymeric Substances
(EPS) mulai dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. EPS kemudian akan
menjerat nutrien dan bakteri planktonik. Agregat sel terbentuk sedangkan
motilitas sel menjadi semakin menurun sejalan dengan semakin progresifnya
lapisan agregat. Tahap ketiga dikenal dengan istilah maturasi I. Selama tahap
maturasi I, biofilm terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan koloni. Semakin
lama biofilm semakin berkembang dengan pertambahan ukuran dan perubahan
bentuk. Pada tahap ini, ketebalan biofilm lebih dari 10 µm. Tahap keempat
dikenal dengan istilah maturasi II. Pada tahap ini ketebalan biofilm telah melebihi
100 µm. Kondisi biofilm semakin matang sehingga pertumbuhan biofilm semakin
76
melambat untuk kemudian memasuki tahap dispersi. Tahap kelima adalah dispersi
yaitu sejumlah sel bakteri terlepas dari biofilm kembali ke bentuk sel planktonik.
Pada tahap awal pembentukan biofilm pertumbuhan bakteri berlangsung
secara logaritmik dan memanfaatkan senyawa organik sebagai nutrien untuk
menghasilkan EPS. Proses metabolisme yang dilakukan bakteri akan melepaskan
sejumlah elektron dan diterima oleh anoda, sehingga muncul beda potensial
(tegangan) (Ghoreyshi et al., 2011). Oleh karena itu, pada awal waktu
pengoperasian MFC laju kenaikan tegangan berlangsung cepat. Pada tahap
berikutnya laju kenaikan tegangan akan melambat seiring dengan semakin
tebalnya lapisan biofilm. Melambatnya laju kenaikan tegangan disebabkan
transfer elektron ke anoda yang semakin kurang efisien akibat kondisi biofilm
yang semakin tebal. Semakin menebalnya biofilm juga menjadikan mikroba yang
membentuk lapisan biofilm pada bagian paling bawah (paling dekat ke substrat)
akan kekurangan nutrien serta terjadi akumulasi material-material toksik sehingga
pada tahap maturasi akhir akan terjadi proses yang disebut quorum sensing.
Quorum sensing adalah proses mengeluarkan sinyal kimia yang dilakukan bakteri
untuk meregulasi struktur biofilm agar lebih matang dan tersedia lebih banyak
pori untuk suplai nutrisi (Gunardi, 2007).
Pada penelitian ini, pengukuran tegangan open circuit dilakukan selama 24
jam dalam selang waktu 3 jam. Pengukuran dilakukan dalam 24 jam karena telah
mencapai stabil pada waktu tersebut.
77
0,45
0,4
Voltase (V)
0,35
0,3
0,25
1
0,2
3
0,15
4
0,1
4
0,05
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Gambar 23. Perbandingan waktu dan tegangan (open circuits voltage) yang
dihasilkan MFC kotoran sapi
Keterangan:
1. Tegangan open circuit MFC tunggal kotoran sapi menggunakan aerator
2. Tegangan open circuit MFC tunggal kotoran sapi menggunakan KMnO4
3. Tegangan open circuit MFC berganda kotoran sapi menggunakan aerator
4. Tegangan open circuit MFC berganda kotoran sapi menggunakan KMnO4
Berdasarkan Gambar 23 tegangan open circuit yang dihasilkan oleh sistem
MFC mengalami kenaikan yang selanjutnya kurva cenderung menghasilkan garis
datar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat 24 jam tegangan limbah
kororan sapi tidak terjadi perubahan yang signifikan dan dapat dikatakan bahwa
telah terjadi steady state (kondisi tetap).
Hasil pengukuran sistem MFC menggunakan aerator untuk satu sel
tegangan open circuit terjadi pada 54 mV sedangkan menggunakan aerator untuk
empat sel teradi pada 211 mV. Sistem MFC dengan menggunakan elektrolit
KMnO4 untuk satu sel, tegangan open circuit terjadi pada 168 mV sedangkan
dengan menggunakan elektrolit KMnO4 untuk lima sel tegangan open circuit
terjadi pada 424 mV.
78
Hasil pengukuran tegangan open circuit ini berbeda dengan penelitian
yang telah dilakukan Alwahab (2015) yang menyatakan bahwa tegangan open
circuit untuk limbah cair biogas yang juga berasal dari kotoran sapi dimana
tegangan open circuit terjadi pada waktu 20 jam. Perbedaan ini diakibatkan oleh
pertumbuhan bakteri yang melakukan proses metabolisme bahan organik juga
berbeda. Kotoran sapi masih memiliki kandungan organik lebih tinggi
dibandingkan limbah cair biogas karena kandungan senyawa organik limbah cair
biogas telah digunakan bakteri untuk dipecah menjadi gas metana.
Setelah terjadi kondisi stabil, selanjutnya dilakukan pengukuran tegangan
listrik yang dihasilkan sistem MFC. Pengukuran tegangan listrik MFC dari limbah
kotoran sapi dilakukan selama 10 hari menggunakan aerator dan 17 hari
menggunakan elektrolit KMnO4. Hasil tegangan listrik yang dihasilkan sistem
MFC dapat dilihat pada gambar 24.
0,9
0,8
Voltase (V)
0,7
0,6
0,5
1
0,4
2
0,3
3
0,2
4
0,1
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Gambar 24. Perbandingan waktu dan tegangan listrik yang dihasilkan MFC
kotoran sapi
79
Keterangan:
1. Tegangan listrik MFC tunggal kotoran sapi menggunakan aerator
2. Tegangan listrik MFC berganda kotoran sapi menggunakan KMnO4
3. Tegangan listrik MFC tunggal kotoran sapi menggunakan aerator
4. Tegangan listrik MFC berganda kotoran sapi menggunakan KMnO4
Berdasarkan Gambar 24 pengukuran tegangan (voltase) MFC mengalami
kenaikan sampai pada waktu tertentu kemudian mengalami penurunan. Hasil
pengukuran SMFC menggunakan aerator untuk satu sel, tegangan maksimun
yang dihasilkan adalah sebesar 0,117 V sedangkan tegangan maksimun yang
dihasilkan sistem SMFC untuk empat sel adalah sebesar 0,374 Vdan tegangan
maksimum yang dihasilkan untuk sistem MFC menggunakan KMnO4 untuk satu
sel sebesar 0,411 V serta sistem MFC menggunakan KMnO4 untuk satu sel
sebesar 0,835 V.
5.3. Karakteristik Substrat Setelah Penggunaan MFC
5.3.1. Karakteristik Sedimen Rawa Aopa dan Sedimen Laut Teluk Kendari
Substrat sedimen setelah digunakan dalam SMFC secara visual mengalami
perubahan warna baik sedimen laut Teluk Kendari maupun sedimen Rawa Aopa
yaitu dari warna kehitaman menjadi coklat dan dari warna hitam coklat
kekuningan menjadi coklat kekuningan. Warna hitam umumnya diduga
mengindikasikan jumlah bahan organik pada sedimen lebih tinggi dibandingkan
dengan sedimen yang berwarna coklat (Voroney, 2007).
Adapun karakteristik substrat sedimen juga mengalami perubahan setelah
digunakan dalam sistem SMFC. Hal ini seperti yang terlihat dari hasil uji
karakterisasi sedimen sebelum dan setelah penggunaan SMFC pada Tabel 5.
80
Tabel 5. Karakteristik substrat sedimen sebelum dan setelah penggunaan SMFC
Sebelum penggunaan SMFC
Parameter
Uji
4
SRW
Roby
(2013)
Riyanto
et al.
(2011)
-
3
1
SLK
2
Setelah penggunaan SMFC
4
3
SRW
Roby
(2013)
42,65
42,29
31,62
4,06
1,85
2,68
0,97
0,79
1,07
4,19
2,34
2,52
1
SLK
2
Kadar Air
(%)
43,24
42,31
37,08
C (%)
4,23
2,42
2,78
N (%)
1,08
0,81
1,21
C/N
3,92
2,10
2,29
2,19 ±
0,44
0,19 ±
0,06
12
DHL (mS)
11,56
6,74
9,2
6,4 ± 1,46
15,78
7,7
20,6
pH (H2O)
7,38
7,08
7,09
7,7 ± 0,35
7,86
7,21
7,38
pH (KCl)
7,45
7,02
7,25
7,3 ± 0,14
8,10
7,22
7,66
Riyanto
et al.
(2011)
1,88 ±
0,40
0,15 ±
0,03
12
7,42 ±
1,94
8,15 ±
0,07
7,85 ±
0,07
Keterangan :
1. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari
2. Karakteristik sedimen Rawa Aopa
3. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari berdasarkan penelitian Roby S.
(2013)
4. Karakteristik sedimen laut Teluk Jakarta berdasarkan hasil penelitian Riyanto
et al. (2011)
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa jumlah bahan organik pada sedimen
mengalami penurunan setelah digunakan sebagai substrat SMFC yang
perubahannya meliputi penurunan kadar karbon dan nitrogen yang sesuai dengan
pola produksi tegangan listrik yang dihasilkan. Penurunan bahan organik pada
sedimen terjadi akibat aktivitas mikroba yang mengurai bahan organik dalam
sedimen tersebut (Tender et al., 2002). Kandungan bahan organik sedimen laut
Teluk Kendari sebelum digunakan dalam sistem SMFC yaitu karbon organik
sebesar 4,23% dan setelah digunakan dalam sistem SMFC mengalami penurunan
81
sebesar 4,02% sehingga menjadi sebesar 4,06%. Adapun kandungan nitrogen total
sedimen laut Teluk Kendari sebelum digunakan dalam sistem SMFC sebesar
1,08% dan setelah digunakan dalam sistem SMFC mengalami penurunan sebesar
10,19% sehingga menjadi sebesar 0,97%. Begitupun dengan sedimen Rawa Aopa
sebelum digunakan dalam sistem SMFC yaitu karbon organik sebesar 2,42% dan
setelah digunakan dalam sistem SMFC mengalami penurunan sebesar 23,55%
sehingga menjadi sebesar 1,85%. Adapun kandungan nitrogen total sedimen
Rawa Aopa sebelum digunakan dalam sistem SMFC sebesar 0,81% dan setelah
digunakan dalam sistem SMFC mengalami penurunan sebesar 2,47% sehingga
menjadi sebesar 0,79%.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian ini, nilai pH sedimen laut Teluk
Kendari maupun sedimen Rawa Aopa meningkat setelah digunakan dalam sistem
SMFC yang hal ini menunjukkan kecepatan transfer proton (H+) dari sedimen ke
ke katoda (elektrolit) lebih cepat dibandingkan pembentukan proton pada
sedimen. Nilai konduktivitas dalam penelitian ini juga baik sedimen laut Teluk
Kendari maupun sedimen Rawa Aopa mengalami peningkatan. Peningkatan nilai
konduktivitas disebabkan setelah digunakan dalam sistem SMFC sedimen yang
mengandung senyawa organik terpolarisasi menjadi ion-ion seperti seperti asam
butirat, propionat dan asetat. Ion-ion ini yang menjadi faktor penentu
meningkatnya nilai konduktivitas sedimen setelah digunakan dalam sistem MFC.
5.3.2. Karakteristik Air Lindi dan Kotoran Sapi
Substrat limbah air lindi dan kotoran sapi setelah penggunaan MFC secara
visual mengalami perubahan warna yaitu dari kehitaman berubah menjadi warna
82
kecokelatan serta dari hitam coklat kekuningan menjadi coklat kekuningan.
Karakteristik substrat limbah air lindi dan kotoran sapi juga mengalami perubahan
setelah digunakan dalam sistem MFC. Hal ini seperti yang terlihat dari hasil uji
karakterisasi limbah air lindi dan kotoran sapi sebelum dan setelah penggunaan
MFC pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan karakteristik substrat air lindi dan kotoran sapi sebelum dan
sesudah MFC
Sebelum penggunaan SMFC
Parameter
Uji
3
1
AL
2
KS
M. Hijir
(2013)
4
Alwahab
(2015)
Setelah penggunaan SMFC
3
1
AL
2
KS
M. Hijir
(2013)
4
Alwahab
(2015)
C (%)
3,18
3,60
6,19
2,92
2,48
2,70
2,68
N (%)
1,01
1,13
3,91
2,01
0,93
0,99
1,07
C/N
3,15
3,19
1,58
1,45
2,67
2,72
2,52
1,88 ±
0,40
0,15 ±
0,03
12
COD
(mg/L)
4210
36870
6766
1001,92
1680
25690
3270
500,96
BOD
(mg/L)
860
24580
5800
805,54
370
12760
400
300,23
DHL (mS) 11,56
6,74
36,9
6,00
13,53
10,76
2,06
pH (H2O)
7,38
7,08
7,83
7,24
8,07
8,11
7,38
pH (KCl)
7,45
7,02
-
6,87
7,53
7,34
7,66
Keterangan:
1. Karakteristik air lindi
2. Karakteristik kotoran sapi
3. Karakteristik air lindi berdasarkan hasil penelitian M. Hijir (2016)
4. Karakteristik air limbah biogas berdasarkan hasil penelitian Alwahab (2015)
7,42 ±
1,94
8,15 ±
0,07
7,85 ±
0,07
83
Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa jumlah bahan organik pada limbah air
lindi dan kotoran sapi mengalami penurunan setelah digunakan sebagai substrat
MFC. Perubahan meliputi penurunan kadar karbon, nitrogen total, COD dan BOD
yang sesuai dengan pola produksi tegangan listrik yang dihasilkan. Kandungan
bahan organik limbah air lindi sebelum digunakan dalam sistem MFC yaitu
karbon organik sebesar 3,18% dan setelah digunakan dalam sistem MFC
mengalami penurunan sebesar 22,01% sehingga menjadi sebesar 2,48%
sedangkan kandungan bahan organik limbah kotoran sapi sebelum digunakan
dalam sistem MFC yaitu karbon organik sebesar 3,60% dan setelah digunakan
dalam sistem MFC mengalami penurunan sebesar 25,00% sehingga menjadi
sebesar 2,70%. Adapun kandungan nitrogen total limbah air lindi sebelum
digunakan dalam sistem MFC sebesar 1,01% dan setelah digunakan dalam sistem
MFC mengalami penurunan sebesar 1,98% sehingga menjadi sebesar 0,99%
sedangkan kandungan nitrogen total limbah air lindi sebelum digunakan dalam
sistem MFC sebesar 1,13% dan setelah digunakan dalam sistem MFC mengalami
penurunan sebesar 5,31% sehingga menjadi sebesar 1,07%
Kadar COD air lindi sebelum digunakan dalam sistem MFC sebesar 4210
mg/L dan setelah digunakan sistem MFC mengalami penurunan menjadi 1680
mg/L atau sekitar 60,10% sedangkan kadar COD kotoran sapi sebelum digunakan
dalam sistem MFC sebesar 36870 mg/L dan setelah digunakan sistem MFC
mengalami penurunan menjadi 25690 mg/L atau sekitar 30,32%. Kadar BOD air
lindi yang diperoleh sebelum digunakan dalam sistem MFC adalah sebesar 860
mg/L berubah menjadi 370 mg/L atau sekitar 54,32% sedangkan kadar BOD
84
kotoran sapi yang diperoleh sebelum digunakan dalam sistem MFC adalah
sebesar 24580 mg/L berubah menjadi 12760 mg/L atau sekitar 48,08%.
Selanjutnya dalam penelitian ini, diperoleh nilai pH limbah air lindi dan
kotoran sapi meningkat setelah digunakan dalam sistem MFC. Peningkatan nilai
pH ini terjadi karena proses dekomposisi bahan organik (karbohidrat, protein dan
lemak) oleh mikroba akan menghasilkan ion H+ (proton) (Hermawan et al., 2014).
Sebenarnya nilai pH suatu limbah cair dapat bervariasi dari waktu ke waktu
tergantung tahap degradasi yang telah berlangsung dalam limbah cair.
Paramita et al. (2012) menuliskan bahwa peningkatan pH terjadi pada
tahap awal degradasi yakni hidrolisis senyawa organik seperti karbohidrat
menjadi glukosa. Setelah itu, terjadi proses asidogenesis dan asitogenesis yang
menyebabkan penurunan nilai pH akibat dihasilkannya asam-asam organik seperti
asam butirat, propionat dan asetat. Selanjutnya nilai pH cenderung mengalami
peningkatan karena asam organik diuraikan menjadi gas metana dan karbon
dioksida. Peningkatan nilai pH limbah air lindi dan kotoran sapi kemungkinan
karena sebagian besar senyawa organik yang didekomposisi telah memasuki tahap
produksi gas metana.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga, diperoleh nilai daya hantar listrik
(DHL) meningkat setelah penggunaan sistem MFC. Nilai DHL berhubungan
dengan pergerakan suatu ion di dalam larutan ion yang mudah bergerak dan
mempunyai daya hantar listrik yang besar (Effendi, 2003). Sehah dan Cahyono
(2009), air lindi dan kotoran diindikasikan banyak mengandung senyawa asam,
85
basa dan garam yang terlarut sehingga akan terpecah menjadi ion positif dan
negatif yang dapat meningkatkan DHL.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa DHL air lindi dan kotoran
sapi bergantung pada keberadaan garam-garam yang terionisasi, jenis dan
konsentrasinya. Berdasarkan laporan Balai Laboratorium Kesehatan Surabaya
(2005) jenis ion yang terdapat pada air lindi di antaranya NO3- (nitrit), NO2(nitrat), PO43- (fosfat), SO42- (sulfat), dan lain-lain (Ali, 2011). Menurut Sururi et.
al. (2014), peningkatan DHL terjadi akibat terlepasnya kation dan anion yang
mengendap dalam kondisi basa. Selain itu, perubahan nilai DHL juga dapat
disebabkan oleh aktivitas bakteri yang mempengaruhi konsentrasi ion tertentu
dalam air lindi dan kotoran sapi misalnya ion NH4+ (ammonium) yang mengalami
proses nitrifikasi membentuk nitrit dan nitrat dengan adanya bakteri Nitrosomonas
dan Nitrobacter (Effendi, 2003).
5.4. Karakteristik Bakteri MFC
5.4.1. Karakteristik Bakteri Sedimen Laut Teluk Kendari
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh 4 koloni bakteri yang dapat
ditumbuhkan di laboratorium, yaitu isolat SL1, SL2, SL3 dan S4. Keempat koloni
bakteri yang tumbuh tersebut selanjutnya dikarakterisasi dan diidentifikasi
berdasarkan pewarnaan Gram dan melihat bentuk koloninya (Lawalata, 2012).
Pewarnaan Gram bertujuan untuk mengetahui karakteristik morfologi bakteri
serta membedakan antara bakteri yang bersifat Gram positif dengan bakteri Gram
negatif. Adapun karakteristik morfologi isolat bakteri SMFC dapat dilihat pada
Tabel 7.
86
Tabel 7. Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
sedimen laut Teluk kendari
Jenis
Isolat
SL1
SL1
SL1
SL1
Bentuk Sel
Basil
Basil
Basil
Basil
Pewarnaan
Gram
Positif
positif
positif
positif
Berdasarkan data karakteristik morfologi isolat bakteri SMFC yang terlihat
pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa bakteri SMFC yang berasal dari Teluk
Kendari semua bersifat Gram positif dan selnya berbentuk batang. Hasil
identifikasi isolat bakteri menunjukkan semua isolat diduga termasuk bakteri
genus Pseudomonas sp. karena berbentuk basil dan umumnya kebanyakan
tumbuh di bawah atmosfer udara (oksigen 21%). Bakteri genus Pseudomonas sp.
ini bersifat aerobik atau mikroaerofilik
Pseudomonas merupakan bakteri yang selnya berbentuk batang lurus atau
kadangkala sedikit melengkung dengan diameter sel 0,5-1,0 μm. Bakteri ini
terdistribusi secara luas di alam dimana sebagian alurnya merupakan bakteri laut
atau air asin yang memerlukan sedikitnya 0,1 % NaCl atau lebih sehingga bakteri
ini dapat juga ditemukan pada sedimen laut. Sebagian besar spesies Pseudomonas
tidak mampu tumbuh di bawah kondisi asam (pH 4,5). Motilitas bakteri ini terjadi
melalui satu atau beberapa flagella polar dan pada beberapa spesies, flagella
lateral mungkin terbentuk (Holt et al., 1994).
Pseudomonas termasuk bakteri aerobik yang tipe metabolismenya secara
respirasi dengan oksigen sebagai terminal akseptor elektron. Dalam beberapa
87
kasus nitrat dapat digunakan sebagai pengganti akseptor elektron yang
memungkinkan pertumbuhan terjadi secara anaerob (Holt et al., 1994).
5.4.2. Karakteristik Bakteri Sedimen Rawa Aopa
Isolasi dan karakterisasi bakteri dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri
yang mampu mendegradasi senyawa organik maupun anorganik dalam sedimen
Rawa Aopa. Isolasi bakteri pada penelitian ini menggunakan media Alkaline
Pepton Water (APW) dengan pengenceran 10-3 sedangkan karakterisasi bakteri
yang dilakukan adalah dengan melihat bentuk sel dan pewarnaan Gram. Adapun
bentuk sel dan pewarnan Gram isolat bakteri sedimen Rawa Aopa dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
sedimen Rawa Aopa
Jenis
Isolat
SR1
SR2
Bentuk Sel
Basil
Basil
Pewarnaan
Gram
Positif
Positif
Hasil isolasi bakteri sedimen Rawa Aopa hanya didapatkan 2 koloni. Hal
ini menunjukkan bahwa bakteri yang bekerja pada sistem SMFC Rawa Aopa
terdapat dua jenis bakteri. Berdasarkan data karakteristik morfologi kedua isolat
bakteri sedimen Rawa Aopa dapat diketahui bahwa bakteri sedimen Rawa Aopa
bersifat Gram positif dan selnya berbentuk basil. Bakteri Gram positif ditandai
dengan terbentuknya warna biru/ungu pada sel bakteri ketika dilihat dibawah
mikroskop. Hal ini disebabkan oleh kandungan lipidnya yang lebih rendah
dibandingkan bakteri Gram negatif, sehingga sel bakteri lebih mudah terdehidrasi
88
oleh alkohol. Disamping itu lapisan peptidoglikan pada bakteri Gram negatif juga
lebih tipis dibandingkan peptidoglikan pada bakteri Gram positif (Pelczar dan
Chan, 2005).
Berdasarkan bentuk koloni dan pewarnaan Gram, isolat bakteri ini diduga
merupakan anggota dari genus Methanosarcina dan genus Methanospirillum.
Bakteri ini termasuk salah satu golongan Archaebacteria dan bersifat termofilik,
sesuai dengan nama golongannya Archaebacteria merupakan mikroorganisme
yang tahan hidup di daerah ektrim seperti perairan dengan kadar garam rendah.
Bakteri genus Methanosarcina dan genus Methanospirillum bersifat anaerob
obligat dan semuanya ada di lingkungan air tawar yang anaerob seperti sedimen
(Benito et al., 2010).
5.4.3. Karakteristik Bakteri Air Lindi
Bakteri merupakan konstituen penting terkait kinerja MFC menghasilkan
energi listrik. MFC dapat dioperasikan dengan menggunakan kultur bakteri
tertentu maupun memanfaatkan secara langsung bakteri dalam limbah organik.
Hasil uji pewarnaan Gram bakteri substrat MFC menunjukkan terdapat 2 jenis
bakteri pada sampel air lindi, yakni bakteri dengan keduanya berbentuk basil dan
Gram positif.
Tabel 9. Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
air lindi
Jenis
Isolat
AL1
AL2
Bentuk Sel
Basil
Basil
Pewarnaan
Gram
Positif
Positif
89
Secara umum bakteri yang berperan dalam menghasilkan energi listrik
pada teknologi MFC dengan sampel limbah organik (bukan substrat artifisial)
akan memiliki jenis yang beragam. Hal ini karena dalam limbah organik terdapat
bermacam bakteri yang bekerja secara berkesinambungan dalam mendegradasi
senyawa-senyawa organik. Pemanfaatan secara langsung kultur campuran bakteri
yang terdapat pada limbah organik sebagai substrat MFC lebih praktis dan lebih
ekonomis dibanding penggunaan kultur murni (Fatemi et al., 2012). Selain itu,
kultur campuran dalam limbah organik dapat mengandung jenis bakteri
elektrogenik yang dapat mentransfer elektron hasil metabolisme ke anoda, di
samping bakteri non-elektrogenik. Hasil penelitian Zhang et al. (2011)
menunjukkan beberapa jenis bakteri yang terdapat pada air lindi antara lain
Protobacteria, Firmicutes, Thermotoge, Spircheates, dan Bacteroidetes. Di lain
pihak, Franks dan Nevin (2010) dalam review MFC menuliskan bahwa kultur
Firmicutes dan Proteobacteria memiliki kemampuan berinteraksi dengan anoda
untuk menghasilkan arus listrik.
Bakteri mengkatabolisis senyawa-senyawa organik seperti glukosa
(Chenet et al., 2001), asetat atau air limbah (Habermann dan Pommer, 1991).
Katabolisme merupakan reaksi penguraian atau pemecahan senyawa organik
menjadi senyawa yang lebih sederhana untuk menghasilkan energi. Energi yang
dihasilkan digunakan untuk berbagai macam keperluan bakteri termasuk dalam
pembentukan biofilm. Sumadi dan Marianti (2007) menuliskan bahwa secara
umum proses katabolisme senyawa organik terdiri atas 4 tahap yaitu glikolisis,
dekarboksilasi oksidatif, siklus kreb atau siklus asam sitrat, dan rantai transfer
90
elektron. Tahapan transfer elektron berlangsung pada membran dalam
mitokondria dengan melibatkan enzim NADH dehidrogenase seperti sitokrom.
Zielke (2005) menuliskan mekanisme transfer elektron secara langsung dari
bakteri ke elektroda (anoda) diperkirakan melalui enzim respirasi misalnya
sitokrom.
5.4.4. Karakteristik Bakteri Kotoran Sapi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam limbah kotoran
sapi diperoleh 2 koloni bakteri yang dapat ditumbuhkan di laboratorium, yaitu
isolat KS1 dan KS2. Kedua koloni bakteri yang tumbuh tersebut selanjutnya
dikarakterisasi dan diidentifikasi berdasarkan uji pewarnaan Gram.
Tabel 10. Karakteristik bakteri SMFC berdasarkan bentuk dan pewarnaan Gram
kotoran sapi
Jenis
Isolat
KS1
KS2
Bentuk Sel
Basil
Basil
Pewarnaan
Gram
Positif
Positif
Berdasarkan data dari tabel 10 kedua isolat bakteri dari kotoran sapi
diketahui bahwa semua bersifat Gram positif dan dan selnya berbentuk batang
(basil). Hal ini diduga bahwa jenis bakteri yang berasosiasi di dalam kotoran sapi
adalah sama. Namun demikian dibutuhkan pengujian lanjutan untuk mengetahui
jenis mikroba pada masing-masing isolat.
Menurut Sugi et al. (2009), kehidupan bakteri di dalam kotoran sapi
sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu dan pH. Kondisi suhu yang terlalu tinggi
menyebabkan bakteri di dalam kotoran sapi akan mati dan suhu yang terlalu
91
rendah menyebabkan bakteri akan dolmen sehingga menyebabkan tegangan dan
arus listrik yang dihasilkan dalam sistem MFC tidak maksimal. Kondisi pH yang
lebih rendah atau lebih tinggi dari pH normal akan menyebabkan laju anaerobik
akan menurun. Derajat keasaman yang lebih rendah menyebabkan tidak
seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap bakteri asam sehingga dapat
menggagalkan proses pencernaan anaerobik.
Secara umum bakteri yang terdapat di dalam kotoran sapi mempunyai sifat
yang heterotrop, yaitu bakteri yang memerlukan sumber karbon dalam bentuk
senyawa organik. Hal ini diduga karena di dalam kotoran sapi terdapat bahan
organik yang cukup besar. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Alice (1997)
bahwa separuh bahan organik ditemukan
kembali dalam kotoran yang
dikeluarkan. Selanjutnya dapat diterangkan bahwa didalam kotoran sapi telah
diidentifikasi bakteri yang termasuk golongan Enterobacteriacea (Citrobacter,
Enterobacter dan E. coli) beberapa species ini bersifat patogenik dan dapat
menyebabkan penyakit gastroenteritis (Utami dan Pramono, 1987).
92
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Karakteristik sedimen laut Teluk Kendari yang meliputi kadar bahan organik
berupa C-organik sebesar 4,23%, nitrogen total 1,08%, dan rasio C/N 3,92 sedangkan sedimen Rawa Aopa sebesar 2,42%, nirogen total 0,81% dan rasio
C/N 1,21. Karakteristik air lindi diperoleh C-organik sebesar 3,18%, nitrogen
total 1,01% dan rasio C/N 3,15 sedangkan kotoran sapi sebesar C-organik
sebesar 3,60%, nitrogen total 1,13% dan rasio C/N 3,19.
2. Sistem SMFC sedimen laut Teluk Kendari menggunakan aerator dapat
menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,404 V sedangkan menggunakan
KMnO4 sebesar 1,628 V dan arus listrik sebesar 5,0 µA. Sistem SMFC sedimen Rawa Aopa menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik
sebesar 0,354 V sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 0,622 V. Sistem
MFC air lindi menggunakan aerator dapat menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,474 V sedangkan menggunakan KMnO4 sebesar 1,554 V dan arus listrik
sebesar 4,9 µA. Sistem MFC kotoran sapi menggunakan aerator dapat
menghasilkan tegangan listrik sebesar 0,374 V sedangkan menggunakan
KMnO4 sebesar 0,835 V.
3. Penembahan luas permukaan elektroda grafit sheet dapat meningkatkan
kinerja MFC. Hal ini dapat dilihat dengan besarnya arus listrik yang
92
93
dihasilkan sedimen laut teluk Kendari sebesar 5,0 µA dan bertahan hingga 5
hari dan besarnya arus listrik yang dihasilkan dari air lindi sebesar 4,9 µA
selama 7 hari.
4. Hasil karakterisasi substrat MFC menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan bahan organik substrat. Kandungan bahan organik sedimen laut Teluk
Kendari setelah pemakaian SMFC yaitu C-organik menjadi sebesar 4,06%, nitrogen total 0,97% dan rasio C/N 4,19. Kandungan bahan organik sedimen
Rawa Aopa setelah pemakaian SMFC yaitu C-organik menjadi sebesar 1,85%,
nitrogen total 0,79% dan rasio C/N 2,34. Kandungan bahan organik air lindi
setelah pemakaian MFC yaitu C-organik menjadi sebesar 2,48%, nitrogen total 0,93% dan rasio C/N 2,67. Kandungan bahan organik kotoran sapi setelah
pemakaian MFC yaitu C-organik menjadi sebesar 2,70%, nitrogen total 0,99%
dan rasio C/N 2,72.
5. Karakteristik bakteri MFC yang berasal dari sedimen laut Teluk Kendari, sedimen Rawa Aopa, air lindi dan kotoran sapi semua besar bersifat Gram positif
dan semua berbentuk basil (batang).
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan pemurnian bakteri dan uji lanjut untuk dapat memberikan
dugaan terhadap spesies mikroba MFC. Selain itu perlu kajian lebih lanjut tentang mikroba yang dapat menghasilkan muatan listrik secara kontinu dan
2. Perlu pengujian elektroda lain dengan menambah luas permukaannya
sehingga akan didapat tegangan dan arus listrik yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi alternatif.
94
DAFTAR PUSTAKA
Abazarian, E., Gheshlaghi, R. dan Mahdavi, M.A., 2016, The Effect of Number
and Configuration of Sediment Microbial Fuel Cells on Their Performance
In An Open Channel Architecture, Journal of Power Sources, 325 39-744.
Adimihardja, A., I. Juarsah dan U. Kurnia, 2000, Pengaruh Pengunaan Berbagai
Jenis dan Takaran Pupuk Kandang Terhadap Produktivitas Tanah Ultisols
Terdegradasi di Desa Batin, Jambi, Seminar Nasional Sumber Daya
Tanah, Iklim dan Pupuk. Buku II. Lido-Bogor, 6-8 Des.1999, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Aelterman, P., Rabaey, K., Pham, H.T., Boon, N. dan Verstraete, W., 2006,
Continuous Electricity Generation at High Voltages and Currents using
Stacked Microbial Fuel Cells, Environ. Sci. Technol., 40(10), 3388-3394.
Ali, M., 2011, Rembesan Air Lindi (Leachate) Dampak pada Tanaman Pangan
dan Kesehatan, UPN, Surabaya.
Alice, 1997, Manure and Microbes: Public and Animal Health Problem.
Departement of Animal Science, Comell University, Ithaca, NY 14853, J.
Dairy Science, No 110.
Alwahab, 2015, Pemanfaatan Limbah Cair Biogas dari Kotoran Ternak sebagai
Sumber Energi Listrik Alternatif Melalui Teknologi Microbial Fuel Cell
(MFC), Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Amhir, A., 2010, Memburu Aroweli di Rawa Aopa. (othervisions.wordpress.com).
Angenent, L.T., Karim, K., Al-Dahhan, M., Wrenn, B.A. dan DomíguezEspinosa, R., 2004, Production of Bioenergy and Biochemicals from
Industrial and Agricultural Wastewater, Trends Biotechnol., 22(9), 477485.
Anonim, 1993, Urine-A Wasted, Renewable Natural Resource, Noragric,
Norwegia.
Apriyanto, H., 2007, Kebijakan Pengelolaan Teluk Berbasis Daerah Aliran Sungai
(Studi Kasus Teluk Kendari), Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 9(3),
149-155.
Arbianti, R., Utami, T.S., Hermansyah, H., Novitasari, D., Kristin, E. dan
Trisnawati, I., 2013, Performance Optimization of Microbial Fuel Cell
94
95
(MFC) Using Lactobacillus bulgaricus, Makara Seri Teknologi, 17(1), 3238.
Arsov, G.L. dan Georgievski, G., 2009, Preliminary Design of a PEM Fuel Cell
Simulator Based on Digitally Controlled DC-DC Buck Converter,
Electronics, 13 (1).
Balkin, A.R., 2002, Modeling a 500 W Electrolyte Membrane Fuel Cell,
University of Technology, Sydney.
Benito A.K.,Yuli Astuti Hidayati, Udju D Rusdi dan Eulis Tanti Marlina, 2010,
Deteksi Jumlah Bakteri Total dan Coliform pada Sludge dari Proses
Pembentukan Biogas Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda,
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan,Vol. XIII, No. 5.
Bergel, A., Feron, D. dan Mollica, A., 2005, Catalysis of Oxygen Reduction in
PEM Fuel Cell by Seawater Biofilm, Electrochemistry Communication, 7,
900-904.
Blomen, L. dan Mugerwa, M., 1993, Fuel Cell Systems, Plenum Press.
Chaudhuri, S.K. dan Lovley, D.R., 2003, Electricity generation by direct
oxidation of glucose in mediatorless microbial fuel cell, J. Nat.
Biotechnol., 21, 1229-1232.
Cheng, S., Liu, H. dan Logan, B.E., 2006a, Increased Performance of SingleChamber Microbial Fuel Cell Using an Improved Cathode Structure, J.
Electrochemistry Comunications, 8, 489-494.
Cheng, S., Liu, H. dan Logan, B.E., 2006b, Power Densities Using Different
Cathode Catalysis (Pt and CoTMPP) and Polymer Binders (Nation and
PTFE) in Single Chamber Microbial Fuel Cell, J. Environ. Science
Technology, 40, 364-369.
Damiano, L., 2009, Electricity Production from Management of Municipal Solid
Waste Leachate with Microbial Fuel Cell, Masters Thesis, University of
New Hampshire, Durham, NH.
Dariah, A. dan A. Rahman, 1989, Pengaruh Mulsa Hijauan Alley Cropping dan
Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung serta Beberapa
Sifat Fisik Tanah, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklima Dewan Energi
Nasional, Executive Reference Data National Energy Management.
96
Donlan, R. M. dan Costeron, J. W., 2002, Biofilm : Survival Mechanism of
Clinically Relevant Microorganism, Clin Microbial Rev, 15, 167-193.
Du, H. dan Li, F., 2016, Effects of Varying the Ratio of Cooked to Uncooked
Potato on the Microbial Fuel Cell Treatment of Common Potato Waste,
Science of the Total Environment 569–570 841–849.
Dwiari, S.R., 2008, Teknologi Pangan, Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.
Erliza, 2008, Teknologi Bioenergi, Agromedia, Jakarta.
Ewing, T., Ha, P.T. dan Beyenal H., 2016, Evaluation of Long-Term Performance
of Sediment Microbial Fuel Cells and The Role of Natural Resources,
Applied Energy xxx, xxx–xxx.
Fahrudin, 1989, Pengaruh Sampah di TPA Dago, Kota Madya Bandung terhadap
kualitas Air Tanah Bebas di Sekitarnya, Thesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Fatemi, S., Ghoreyshi, A. A., Najafpour, G. dan Rahimnejad, M., 2012,
Bioelectricity Generation in Mediatorless Microbial Fuel Cell :
Application of Pure and Mixed Cultures, Iranica Journal of Energy &
Environment, 3(2), 104-108.
Firmansyah, Y., 2011, Degradasi Bahan Organik dan Pemanfaatannya Sebagai
Penghasil Energi Listrik Pada Sedimen Tambak Udang Melalui Sediment
Microbial Fuel Cell, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fitrinaldi, 2011, Microbial Fuel Cell sebagai Energi Alternatif Menggunakan
Bakteri Escherichia coli, Artikel Penelitian hibah Pascasarjana Tahun
Anggaran 2011, Universitas Andalas, Padang.
Fletcher, T., Thring, R. dan Watkinson, M., 2016, An Energy Management
Strategy to Concurrently Optimise Fuel Consumption & PEM Fuel Cell
Lifetime In a Hybrid Vehicle, International Journal of Hydrogen Energy,
xxx 1 -13.
Ghoreyshi, A.A., Jafary, T., Najafpour, G.D., Haghparast, F., 2011, Effect of
Type and Concentration of Substrate on Power Generation In Dual
Chambered Microbial Fuel Cell. World Renewable Energy Congress.
97
Greenberg, A. E., P. R. Trussell and L. S. Clesceri, 1985, Standard Methods for
the Examination of Water and Wastewater, American Public Health
Association, Washington. Goswami dan Kreith, 2008, Energy Conversion,
CRC Press.
Gunardi, W.D., 2007, Peranan Biofilm dalam Kaitannya dengan Penyakit Infeksi,
Jurnal Kedokteran Meditek, 15(39), 1-9.
Habermann, W. dan Pommer, E.H. 1991, Biological Fuel Cells with Sulphide
Storage Capacity, Appl. Microbiol. Biotechnol., 35(1), 128-133.
Hermanto, W.K.M., 2010, Kandungan Bahan Organik Pada Sedimen Di Perairan
Teluk Buyat dan Sekitarnya, Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis, Vol.
VI-3.
Hermawan, K.G., Djaenudin, Sururi, M.R., 2014, Pengolahan Air Limbah Industri
Menggunakan Sistem Double Chamber Microbial Fuel Cell, Jurnal Online
Institut Teknologi Nasional, 2(1). 1-9.
Hijir, M., 2016, Produksi Biolistrik dari Air Lindi (Leachate) Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Puuwatu dengan Menggunakan Teknologi
Leachate Microbial Fuel Cell, Skripsi, Universitas Halu Oleo, Kendari.
Hisham, N.S.N., Zain, S.M., Jusoh, S., Anuar, N., Suja, F., Ismail, A. dan Basri,
N.E.A., 2013, Microbial Fuel Cell Using Different Types of Wastewater
for Electricity Generation and Simultaneously Removed Pollutant, Journal
of Engineering Science and Technology, 8(3), 316-325.
Holland, B.J., Zhu, J.G. dan Jamet, L., 2007, Fuel Cell Technology And
Application, Australasian Universities Power Engineering Conference
(AUPEC'01), 1, 390-395.
Holmes, D.E, Bond, D.R., O’Neil, R.A., Reimers, C.E., Tender, L.M. dan Lovley,
D.R., 2004, Microbial Community Associates with Electrodes Harvesting
Electricity from Variety of Aquatic Sediments, Microb. Ecol, 48, 178-190.
Holt, J.G., Krieg, N.K., Sneath, P.H.A., Staley, J.T. dan Williams, S.T., 1994,
Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Ninth Edition, Williams
& Wilkins, Maryland, USA.
Hong, S.W., Choi, Y.S., Chung, T.H., Song, J.H. dan Kim, H.S., 2009,
Assessment of Sediment Remediation Potential Using Microbial Fuel Cell,
Journal Engineering and Technology, 54, 683-689.
98
Hong, S.W., Kim, H.J., Choi, Y.S., dan Chung, T.H., 2008, Field experiments on
Bioelectricity Production from Lake Sediment Using Microbial Fuel Cell
Technology, Bull Korean Chem. Soc., 29, 2189-2194.
Hong, S.W., Kim, H.S., dan Chung, T.H., 2010, Alteration of Sediment Organic
Matter in Sediment Microbial Fuel Cells, Environ. Pollut., 158(1), 185191.
Islam, M.A., Woon, C.W., Ethiraj, B., Cheng, C.K., Yousuf, A. dan Khan,
Md.M.R., 2016, Ultrasound Driven Biofilm Removal for Stable Power
Generation in Microbial Fuel Cell, Energy & Fuels.
Jones
and
Bartlett
Publishers
(2012),
Marine
Sedimentation,
http://www.jbpub.com/oceanlink, Diakses 11 Oktober 2016.
Kadir, A., 2002, Energi, UI-Press, Jakarta.
Killops, S.D. dan Killops, V.J., 2005, An Introduction to organic Geochemistry 2
Edition, Malden: Wiley Blackwell, 408p.
Kristin, E., 2012, Produksi Energi Listrik Melalui Microbial Fuel Cell
Menggunakan Limbah Industri Tempe, Skripsi, Universitas Indonesia,
Depok.
Larminie, J. dan Dicks, A., 2003, Fuel Cell Systems Explained, Wiley.
Lawalata, H.J., 2012, Keanekaragaman Bakteri Asam Laktat Penghasil Anti
mikrobia selama Proses Fermentasi Bakasang, Disertasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Leddy, J. dan Fenton, J., 2005, Proton Exchange Membrane Fuel Cells for
Transportation Applications, The Electrochemical Society Interface, Fall,
21-23.
Li, M., Lv, K., Wu, S. dan Chen., S., 2016, Immobilization of Anodophilic
Biofilms for Use in Aerotolerant Bioanodes of Microbial Fuel Cells, ACS
Applied Materials & Interfaces.
Liu, H., Cheng, S. dan Logan, B.E., 2005, Power Generation in Fed-Batch
Microbial Fuel Fell as a Fungtion of Ionic Strenght, Temperature, and
Reactor Configuration, J. Environmental Science and Technology, 39,
5488-5493.
99
Liu, H. dan Logan, B.E., 2004, Electricity Generation Using an Air Chatode
Single-Chamber Microbial Fuel Cell in The Presence and Absence of
Proton Exchange Membrane, J. Environmental Science Technology, 38,
4040.
Liu, H., Ramnarayanan, R. dan Logan, B.E., 2004, Production of Electricity
During Wastewater Using a Single-Chamber Microbial Fuel Cell, J.
Environmental Science Technology, 38, 2281-2285.
Logan, B.E., Hamelers, B., Rozendal, R., Schroder, U., Keller, J., Freguia, S.,
Aelterman, P., Verstraete, W. dan Rabaey, K., 2006, Microbial Fuel Cells:
Methodology and Technology, Environmental Science & Technology,
40(17), 5181-5192.
Lovley, D.R., 2006, Microbial fuel cells: Novel Microbial Physiologies and
Engineering Approaches, Current Opinion in Biotechnology 2006, 17,
327-332.
Lu, N., Zhou, S., Zhuang, L., Zhang, J. dan Ni, J., 2009, Electricity Generation
from Starch Processing Wastewater Using Microbial Fuel Cell
Technology, J. Biochemical Engineering, 43, 246-251.
Madigan, Thomas, D., Michael, T.M., John, M.M., dan jack, P., 1997, Biology of
Microorganisms, 8th Edition, Prentice Hall International Inc, New Jersey.
Matarirano, L., 1994, Liquid Manure is Good Fertilizer. Developing Countries
Paket 34, Naskah 3 (Unpublished).
Mateo, J. R. S. C., 2012, Multi Criteria Analysis in The Renewable Energy
Industry, London, Springer.
Mench, M.M., Wang, C.Y. dan Thynell, S.T., 2001, An Introduction to Fuel Cells
and Related Transport Phenomena, International Journal of Transport
Phenomena, 3(3).
METI, 2013, FGD Energi Surya. Jakarta.
Milcarek, R.J., Garrett, M.J. dan Ahn, J., 2016, Micro-tubular Flame-assisted Fuel
Cell Stacks, International Journal of Hydrogen Energy, xxx (1-8).
Min, B. dan Logan, B.E., 2004, Continous Electricity Generation from Domestic
Wastewater and Organic Substrates In a Flat Plate Microbial Fuel Cell, J.
Environmental Science and Technology, 38, 5809-5814.
100
Modi, A., Singh, S. dan Verma, N., 2016, Improved Performance of A Single
Chamber Microbial Fuel Cell Using Nitrogen-Doped PolymermetalCarbon Nanocomposite-Based Air-Cathode, International Journal of
Hydrogen Energy, xxx 1-10.
Montpart, N., Baeza, M., Baeza, J.N. dan Guisasola, A., 2016, Low-Cost FuelCell Based Sensor of Hydrogen Production In Lab Scale Microbial
Electrolysis Cells, International Journal of Hydrogen Energy, xxx 1-8.
Moon, H., Chang, I.S. dan Kim, B.H., 2006, Continuous Electricity Production
from Artificial Wastewater Using a Mediator-Less Microbial Fuel Cell,
J.Bioresource Technology, 97, 621-627.
Motoyama, A., Ichihashi, O. dan Hirooka, Y., 2016, Measurement of pH
Distribution Near the Air-Cathode of A Single-Chamber Microbial Fuel
Cell Using Location Sensor-Equipped Microelectrodes, Electrochemistry
Communications, S1388-2481, 30197-7.
Mulyana, R. dan Dirjen EBTKE, 2014, Presentasi Pengembangan dan
Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Seminar
Nasional HAKTEKNAS ke-19, Jakarta.
Noori, Md.T., Jain, S.C., Ghangrekar, M.M. dan Mukherjee, C.K., 2016,
Biofouling Inhibition and Enhancing Performance of Microbial Fuel Cell
Using Silver Nano-Particles As Fungicide and Cathode Catalyst,
Bioresource Technology, S0960-8524, 31189-0.
Nurrachman, 2013, Pengembangan Energi Surya untuk PLTS di Indonesia.
APAMSI.
Oh, S.E. dan Logan, B.E., 2007, Voltage Reversal During Microbial Fuel Cell
Stack Operation, Journal of Power Sources, 167, 11–17.
Paitier, A., Godain, A., Lyon, D., Haddour, N., Vogel, T.M. dan Monier, J., 2016,
Microbial Fuel Cell Anodic Microbial Population Dynamics During MFC
Start-up, Biosensors and Bioelectronic, S0956-5663, 31134-4.
Paramita, P., Shovitri, M. dan Kuswytasari, N.D., 2012, Biodegradasi Limbah
Organik Pasar dengan Menggunakan Mikroorganisme Alami Tangki
Septik, Jurnal Sains dan Seni ITS, 1. 23-26.
Pelczar, M.J. dan Chan, E.C.S., 2005, Dasar-Dasar Mikrobiologi I, Terjemahan
Hadioetomo R.S., Imas T., Tjitrosomo S.S., Angka S.L., Universitas
Indonesia, Jakarta.
101
Penev, K., Pupkevich, V., Bagchehsaraee, B., Grawburg, N. dan Karamanev, D.,
2008, Biofuel Cells: State of The Art and Perspectives, Ecological
engineering and environment protection, 1, 74-81.
Pham, T.H., Rabaey, K., Aelterman, P., Clauwaert, P., De Schamphelaire, L.,
Boon, N. dan Verstraete, W., 2006, Microbial Fuel Cells in Relation to
Conventional Anaerobic Digestion Technology, Eng. Life Sci., 6(3), 285292.
Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, Erlangga, Jakarta.
Purwati, E., Latif, M., Purwanto, H. dan Oki. 2014. Inovasi Sumber Energi
Terbarukan dari Perancangan Prototipe Microbial Fuel Cell Tipe Seri,
Paralel, dan Seri-Paralel dengan Memanfaatkan Bakteri Escherichia Coli.
Inovasi Sumber Energi, 40(1), 132-141.
Purwono, Hermawan dan Hadiyanto. 2015. Penggunaan Teknologi Reaktor
Microbial Fuel Cells (MFCs) dalam Pengolahan Limbah Cair Industri
Tahu untuk Menghasilkan Energi Listrik. Jurnal Presipitasi, 12(2), 57-65.
Putra, Y. 2004. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga (Upaya Pendekatan dalam
Arsitektur). Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik USU, Medan.
Putranto, S. H., 2011, Saatnya Berfikir Ketahanan Energi Nasional. Journal of the
Indonesian Oil and Gas Community.
Qalbi, N., Fahruddin dan Abdullah, A., 2013, Pengaruh Pemberian Sedimen Bakau
dan Sedimen Rawa Terhadap Populasi Bakteri pada Air Asam Tambang,
Universitas Hasanudin, Makasar.
Rabaey, K. dan Verstraete, W., 2005, Microbial Fuel Cells: Novel Biotechnology
for Energy Generation,J. Trends Biotechnol., 23, 291-298.
Reimers, C.E., Tender, L.M., Fertig, S. dan Wong, W., 2001, Harvesting Energy
from The Marine Sediment-Water Interface, Environ. Sci. Technol., 35,
192-195.
Rezaei, F., Richard, T.L., Brennan, R.A. dan Logan, B.E., 2007, SubstrateEnhanced Microbial Fuel Cells for Improved Remote Power Generation
from Sediment-Based Systems, Environmental Science & Technology,
41(11), 4053-4058.
102
Riyanto, B., Nisa, R.M., Fitriani, I., 2011, Energi Listrik dari Sedimen Laut Teluk
Jakarta melalui Teknologi Microbial Fuel Cell, Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia, Volume XIV Nomor 1, 32-42.
Robby, S., 2013, Pemanfaatan Bahan Organik Yang Terkandung Dalam Sedimen
Laut Teluk Kendari Sebagai Sumber Energi Listrik Alternatif Melalui
Teknologi SMFC, Skripsi, FMIPA UHO, Kendari.
Rochelle, P.A., Cragg, B.A., Fry, J.C., Parkes, R.J. dan Weightman, A.J., 1994,
Effect of Sample Handling on Estimation of Bacterial Diversity in Marine
Sediments by16S rRNA Gene Sequence Analysis, J. FEMS Microbiol.
Ecol., 15, 215-226.
Rohan, D., Deepa, V., Rohan dan G., Satish, B., 2013, Bioelectricity production
from Microbial Fuel Using Escherichia coli (Glucose and Brewery Waste),
Int. Res. J. Biological Sci., 2(7), 50-54.
Salnuddin, 2005, Pertukaran dan Pengadukan Massa Air Kaitannya dengan
Transport Sedimen di Perairan Teluk Kendari, Tesis, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Samsudeen, N., Radhakrishnan, T.K. dan Matheswaran, M., 2016, Effect of
Isolated Bacterial Strains from Distillery Wastewater on Power Generation
In Microbial Fuel Cell, Process Biochemistry, S1359-5113, 30185-4.
Schroder, U., 2008, From Wastewater to Hydrogen: Biorefineries Based on
Microbial Fuel-Cell Technology, ChemSusChem, 1, 281-282.
Sehah dan Cahyono, 2009, Pengujian Daya Hantar Listrik Air Tanah di Sekitar
Tempat Pembuangan Akhir Gunung Tugel Kabupaten Banyumas
Menggunakan Prinsip Jembatan Wheatstone, Jurnal Molekul, 4(1), 39-41.
Shantaram, A., Beyenal, H., Raajan, R., Veluchamy, A. dan Lewandowski, Z.,
2005, Wireless Sensors Powered by Microbial Fuel Cells, J. Environ. Sci.
Technol., 39, 5037-5042.
Shimura, T., Jiao, Z. dan Shikazono, N., 2016, Dependence of Solid Oxide Fuel
Cell Electrode Microstructure Parameters on Focused Ion Beam-Scanning
Electron Microscopy Resolution, International Journal of Hydrogen
Energy, 41, 22373-22380
Subramanian, M., 2010, Fuel Cell, CH1002 Energy Management in Chemical
Industries.
103
Sugi R., Dyah P. dan Pujianto, 2009, Pemanfaatan Kotoran Ternak Sapi Sebagai
Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan Beserta Aspek Sosio
Kulturalnya, Inotek, Vol. 3, No. 2.
Sulaeman, Suparto, Eviati, 2005 Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah,
Tanaman, Air, dan Pupuk, Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian,
Bogor.
Sumadi dan Marianti, A., 2007, Biologi Sel, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Supriadi, I.H., 2001, Dinamika Estuaria Tropik, oseana, Volume XXVI Nomor
4, 1-11.
Sururi, M.R., Ainun, S., dan Krisna, A., 2014, Pengolahan Lindi dengan Proses
Oksidasi Lanjut Berbasis Ozon, Reaktor, 15(1), 20-26.
Susanto, J.P., Ganefati, S.P., Muryani, S. dan Istiqomah, S. H. 2004. Pengolahan
Lindi (Leactahe) dari TPA dengan Sistem Koagulasi. J. Tek. Ling-P3TLBPPT, 5(3), 167-173.
Utami dan Pramono, 1987, Diagnostika Penyakit Bacterial Pada Hewan.
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tao, Y., Liu, Q., Chen, J., Wang, B., Wang, Y., Liu, K., Li, M., Jiang, H., Lu, Z.
dan Wang., D., 2016, Hierarchically Three-Dimensional Nanofiber Based
Textile with High Conductivity and Biocompatibility As a Microbial Fuel
Cell Anode, Environ. Sci. Technol, 50, 7889−7895.
Tchobanoglous, G., Theisen, H., dan Vigil, S. 1993. Integrated Solid Waste
Management, Engineering Principles and Management Issues. Irwin
McGraw Hill, Boston, MA.
Tender, L.M., Reimers, C.E., Stecher, H.A., Holmes, D.E., Bond, D.R., Lowy,
D.A., Pilobello, K., Fertig, S.J. dan Lovley, D.R., 2002, Harnessing
Microbially Generated Power on The Seafloor, Natural Biotechnology, 20,
821-825.
Toffin, L., Websterb, G., Weightman, A.J, Fry, J.C. dan Prieur, D., 2004,
Molecular Monitoring of Culturable Bacteria from Deep-Sea Sediment of
the Nankai Trough, Leg 190 Ocean Drilling Program, FEMS Microbiology
Ecology, 48, 357–367.
Trihadiningrum, Y., 1995, Mikrobiologi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan
ITS, Surabaya.
104
Voroney, R.P., 2007, The Soil Habitat, di dalam: Paul E.A. (editor), Soil
Microbiologi, Ecology, and Biochemistry, Chennai: Elvesir Inc.
Wahyuningsih, 2005, Analisa Kelayakan Pengembangan Biogas Sebagai Energi
Alternatif Berbasis Individu dan Kelompok, Tesis Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Wang, H., Park, J.D. dan Ren, Z., 2012, Active Energy Harvesting from Microbial
Fuel Cells at the Maximum Power Point without Using Resistors, Environ.
Sci. Technol., XXXX, XXX, XXX−XXX.
Wang, X., Li, D., Mao, X., Yu, E.H., Scott, K., Zhang, E. dan Wang, D., 2016,
Anion Exchange Polymer Coated Graphite Granule Electrodes for
Improving the Performance of Anodes In Unbuffered Microbial Fuel
Cells, Journal of Power Sources 330 211-218.
Watnick, P. dan Kolter, R., 2000, Biofilm, City of Microbes, J. Bacteriol.,
182(10), 2675-2679.
Xu, J., Xu, Z., Zhou, Y. dan Ye, B., 2016, Lysine Malonylome May Affect the
Central Metabolism and Erythromycin Biosynthesis Pathway in
Saccharopolyspora erythraea, J. Proteome Res, XXXX, XXX,
XXX−XXX.
Ye, T., Song, N., Chen, M., Yan, Z. dan Jiang H., 2016, No Enhancement of
Cyanobacterial Bloom Biomass Decomposition by Sediment Microbial
Fuel Fell (SMFC) At Different Temperatures, Environmental Pollution,
218, 59-65.
Zhang, W., Yue, B., Wang, Q., Huang, Z., Huang, Q. dan Zhang, Z., 2011,
Bacterial community composition and abundance in leachate of semiaerobic and anaerobic landfill. Journal of Environmental Sciences, 23(11),
1770-1777.
Zhao, Q., Li, R., Min Ji dan Ren, Z., 2016, Organic Content Influences Sediment
Microbial Fuel Cell Performance and Community Structure, Bioresource
Technology, BITE 17025.
Zielke, E. A, 2005, Design of a Single Chamber Microbial Fuel Cell, Penn State
University.
Zou, M., Yang, F., Wen, K., Lv, W., Waqas, M. dan He, W., 2016, Ionic
Conductivity Evolution at Strained Crystal Interfaces in Solid Oxide Fuel
Cells (SOFCs), International Journal of Hydrogen Energy, xxx xxx-xxx.
105
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambaran Umum Alur Penelitian
Pengambilan Sampel Limbah dan
Sedimen
Karakterisasi
Sampel Limbah
dan Sedimen
Penyusunan MFC
dan Pengukuran
Potensial Listrik
Karakterisasi
Sampel Sedimen
Karakterisasi
Sampel Limbah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penetapan C-Organik
Penetapan N-Total
Penetapan COD
Penetapan BOD
Pengukuran pH
Pengukuran Daya
Hantar Listrik (DHL)
Karakterisasi
Substrat
MFC
1.
2.
3.
4.
5.
Analisis Kadar Air
Penetapan C-Organik
Penetapan N-Total
Pengukuran pH
Pengukuran Daya
Hantar Listrik (DHL)
Isolasi, Karakterisasi
dan Identifikasi
Bakteri MFC
106
Lampiran 2. Prosedur Pembuatan Reagen
1. Kalium Dikromat 1 N
Kalium dikromat sebanyak 4,9 g dilarutkan dengan 30 mL akuades dalam
gelas kimia, ditambahkan 5 mL asam sulfat pekat, dipanaskan hingga larut
sempurna, setelah dingin diencerkan dalam labu ukur 50 mL dengan akuades
sampai tanda garis.
2. Larutan Standar C dalam Glukosa 5000 ppm
Glukosa p.a. sebanyak 1,25 gram ke dalam labu ukur 100 mL.
Ditambahkan akuades hingga tepat 100 mL dan kocok hingga larutan homogen.
3. Larutan Standar N dalam Amonium Sulfat 5000 ppm
Serbuk (NH4)2SO4 p.a. sebanyak 0,47 gram (yang telah dikeringkan pada
100 0C selama 4 jam) dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL. Ditambahkan
akuades hingga tepat 100 mL dan kocok hingga larutan homogen.
107
Lampiran 3. Diagram Alir Penetapan Kadar Air
Sampel sedimen
- Ditimbang sebanyak 5 g dalam
pinggang aluminium yang telah
diketahui bobotnya
- Dikeringkan dalam oven pada suhu
105 0C selama 3 jam
- Diangkat pinggan dengan penjepit
dan dimasukan ke dalam eksikator
- Setelah sampel dingin kemudian
ditimbang
- Bobot yang hilang adalah bobot air
Kadar air (%)
108
Lampiran 4. Diagram Alir Penetapan C-organik cara Spektrofotometer
Sampel sedimen dan limbah
- Diambil 0,5 g lalu dimasukkan
kedalam erlenmeyer
- Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7
- Ditambahkan 7,5 mL H2SO4 pekat
- Dikocok lalu didiamkan selama 30
menit
- Diencerkan dengan akuades hingga
100 mL
- Keesokan harinya diukur serapan
larutan jernih dengan UV-Vis pada
panjang gelombang 561 nm
- Sebagai pembanding dibuat larutan 0,
250, 500 dan 1000 ppm C dalam
glukosa ke dalam labu takar 100 mL
dengan perlakuan yang sama dengan
pengerjaan sampel
- Dibuat kurva standar C dalam
glukosa dan nilai serapan sampel
- Ditransformasikan pada persamaan
garis kurva standar glukosa dan
dilakukan perhitungan
Kadar C-organik (%)
109
Lampiran 5. Diagram Alir Penetapan N-total cara Spektrofotometer
Sampel sedimen dan limbah
- Diambil 0,5 g lalu dimasukkan
kedalam tabung digest
- Ditambahkan 1 g campuran selen dan
3 mL asam sulfat pekat
- Didestruksi hingga suhu 350 0C (3-4
jam).
- Setelah didestruksi keluar uap putih
dan didapatkan ekstrak jernih
- Tabung diangkat lalu didinginkan
kemudian ekstrak diencerkan dengan
akuades hingga tepat 50 mL
- Dikocok sampai homogen dan
dibiarkan semalam agar partikel
mengendap
- Ekstrak akan digunakan untuk
pengukuran nitrogen dengan cara
spektrofotometer
Ekstrak sampel
110
Ekstrak sampel
- Dipipet ke dalam tabung reaksi
masing-masing 2 mL ekstrak dan
deret standar
- Ditambahkan berturut-turut larutan
Sangga Tartrat dan Na-fenat masingmasing sebanyak 4 mL
- Dikocok dan dibiarkan 10 menit
- Ditambahkan 4 mL NaOCl 5%
- Dikocok
dan
diukur
dengan
spektrofotometer
UV-Vis
pada
panjang gelombang 636 nm
- Dibuat kurva standar amonium sulfat
dan nilai serapan sampel
- Ditransformasikan pada persamaan
garis kurva standar amonium sulfat
dan dilakukan perhitungan
Kadar N-total (%)
111
Lampiran 6. Diagram Alir Pengukuran COD (Chemical Oxygen Demand)
Sampel limbah
-
-
-
Diambil 50 mL lalu dimasukkan kedalam
erlenmeyer
Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7
Ditambahkan 7,5 mL H2SO4 pekat
Didiamkan selama kurang lebih 15 menit di dalam
ruang asam
Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin dan dititrasi
dengan menggunakan larutan ferrous ammonium
sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N sampai terjadi
perubahan warna dari hijau terang menjadi merah
terang.
Dilakukan juga titrasi terhadap blanko
Nilai COD
112
Lampiran 7. Diagram Alir Pengukuran BOD (Biological Oxygen Demand)
Sampel limbah
- Dimasukkan 50 mL lalu dimasukkan
kedalam erlenmeyer
- Diencerkan dengan akuades dengan
faktor pengenceran 15 dan 20 kali
- Didiamkan selama kurang lebih 15
menit didalam ruang asam
- Diaerasi selama 10 menit
- Dipisahkan lalu diinkubasi selama 5
hari ditempat gelap dan boleh
terdapat gelembung udara pada suhu
20 0C
Nilai BOD (mg/L)
113
Lampiran 8. Diagram Alir Pengukuran pH
Sampel sedimen dan limbah
- Dimasukkan ke dalam dua buah botol
kocok masing-masing 10 g
- Ditambahkan 50 mL akuades ke
dalam botol yang satu (pH H2O) dan
50 mL KCl 1 M kedalam botol yang
satu (pH KCl)
- Dikocok dengan mesin pengocok
selama 30 menit
- Diukur dengan pH meter yang telah
dikalibrasi menggunakan larutan
buffer phosfat pH 7
Nilai DHL
114
Lampiran 9. Diagram Alir Pengukuran Daya Hantar Listrik (DHL)
Sampel sedimen dan limbah
- Dimasukkan 10 g lalu dimasukkan
kedalam
botol
kocok
dan
ditambahkan akuades
- Dikocok dengan mesin pengocok
selama 30 menit
- Diukur daya hantar listrik dengan
konduktometer sel platina yang telah
dikalibrasi menggunakan larutan
baku NaCl dan dibaca setelah konstan
Nilai DHL
115
Lampiran 10. Diagram Alir Isolasi, Karakterisasi dan Identifikasi Bakteri
MFC
1. Isolasi Bakteri
Sampel sedimen dan limbah
-
-
Dimasukkan sebanyak 1 mL ke dalam
tabung reaksi berisi 10 mL media cair alkaline peptone water (APW)
Diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari
pada suhu ruang dalam kondisi gelap
Kultur mikroba
pada media APW
Pengenceran 10-2
Pengenceran 10-3
-
Pengenceran 10-4
Diambil sebanyak 0,1 mL
Disebar pada media padat APW
Diinkubasi selama 48 jam pada suhu
ruang
Diamati koloni bakteri yang tumbuh
pada cawan petri
Bakteri tumbuh pada media padat APW
116
2. Pemurnian Bakteri
Bakteri pada media padat APW
-
Diambil 1 jenis koloni yang terpisah
dengan menggunakan ose
Digores pada media padat APW
yang baru
Diinkubasi selama 24 jam pada suhu
ruang
Koloni tunggal bakteri
3. Pewarnaan Gram
Isolat bakteri yang telah
diremajakan
-
-
-
Diambil sebanyak 1 ose dan dioles di
atas permukaan kaca objek
Diteteskan larutan Kristal violet pada
bagian olesan bakteri dan didiamkan
selama 1 menit
Dicuci dengan air dan dibiarkan
sampai kering
Diteteskan larutan iodium dan
didiamkan selama 2 menit
Dicuci dengan air dan dibiarkan
sampai kering
Diteteskan alkohol dan didiamkan
selama 30 detik
Diteteskan larutan safranin dan
didiamkan selama 30 detik
Dicuci dengan air dan dibiarkan
sampai kering
Diamati dibawah mikroskop
Penampakan bakteri
117
Lampiran 11. Perhitungan Faktor Kadar Air (fk)
Sampel
STK sebelum
MFC
STK sesudah
MFC
SRA sebelum
MFC
SRA sesudah
MFC
Bobot (g)
Kehilangan bobot (g)
10
4,324
10
4,265
10
4,231
10
4,229
- Kadar air substrat Sedimen Teluk Kendari sebelum MFC
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) × 100
= (4,324 g / 10 g) × 100
= 43,24%
Faktor koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
= 100 / (100 – 0,4324)
= 1,00434
- Kadar air substrat Sedimen Teluk Kendari sesudah MFC
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) × 100
= (4,265g / 10 g) × 100
= 42,65%
Faktor koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
= 100 / (100 0,4265)
= 1,00428
118
- Kadar air substrat Sedimen Rawa Aopa sebelum MFC
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) × 100
= (4,231 g / 10 g) × 100
= 42,31%
Faktor koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
= 100 / (100 – 0,4231)
= 1,00425
- Kadar air substrat Sedimen Rawa Aopa sesudah MFC
Kadar Air (%) = (kehilangan bobot / bobot contoh) × 100
= (4,229g / 10 g) × 100
= 42,29%
Faktor koreksi kadar air (fk) = 100 / (100 – kadar air)
= 100 / (100 – 0,4229)
= 1,00424
119
Lampiran 12. Perhitungan Kadar C-organik
-
Pembuatan Kurva Standar C dari Glukosa
[C dari Glukosa] (ppm)
Serapan
0
250
500
1000
0
0,124
0,624
1,132
Kurva Standar C dari Glukosa
1,4
1,2
y = 0,0012x - 0,0517
R² = 0,9703
Serapan
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
-0,2
-
0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi (ppm)
Serapan substrat MFC
Substrat
STK
SRA
KS
AL
Serapan
Sebelum MFC
0,201
0,093
0,164
0,139
Serapan Sesudah
MFC
0,191
0,059
0,110
0.097
- Kadar C-organik sampel Sedimen Teluk Kendari sebelum MFC
y = 0,0012x – 0,0517; Serapan STK = 0,201 maka:
y + 0,0517 = 0,0012x ↔
0,201 + 0,0517 = 0,0012x
1200
120
↔
0,253 = 0,0012x
↔
x=
↔
x = 210,58 ppm
Kadar C-organik (%) = ppm kurva
mg sampel-1)
100
= ppm kurva
10
10
1L
(100
fk
= ppm kurva
= 210,58
1000 mL-1
mL ekstrak
1000-1
500-1
500-1
100
500-1
fk
fk
1,00434
= 4,23%
- Kadar C-organik sampel Air Lindi sebelum MFC
y = 0,0012x – 0,0517; Serapan STK = 0,139 maka:
y + 0,0517 = 0,0012x ↔
0,139 + 0,0517 = 0,0012x
↔
0,191 = 0,0012x
↔
x=
↔
x = 158,92 ppm
Kadar C-organik (%) = ppm kurva
mL ekstrak
1000 mL-1
mg sampel-1)
= ppm kurva
100
1000-1 100
500-1
1L
(100
121
= ppm kurva
= 158,92
10
10
500-1
500-1
= 3,18%
Sampel
Kadar C-organik (%)
Sedimen Teluk Kendari
(sebelum MFC)
Sedimen Teluk Kendari
(sesudah MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sebelum MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sesudah MFC)
Air Lindi (sebelum
MFC)
Air Lindi (sesudah
MFC)
Kotoran Sapi (sebelum
MFC)
Kotoran Sapi (sesudah
MFC)
4,23
4,06
2,42
1,85
3,18
2,48
3,60
2,70
122
Lampiran 13. Perhitungan Kadar N-total
-
Pembuatan Kurva Standar N dari Amonium Sulfat
[N dari Amonium
Sulfat] (ppm)
0
250
500
1000
Serapan
0
0,137
0,624
1,113
Kurva Standar N dari Amonium Sulfat
1,2
y = 0,0012x - 0,043
R² = 0,9721
1
Serapan
0,8
0,6
0,4
0,2
0
-0,2
-
0
200
400
600
800
1000
1200
Konsentrasi (ppm)
Serapan substrat MFC
Substrat
Serapan
Sebelum MFC
Serapan Sesudah
MFC
STK
0,086
0,073
SRA
0,073
0,054
KS
0,054
0,051
AL
0,051
0,078
- Kadar N-total sampel Ssedimen Teluk Kendari sebelum MFC
y = 0,0012x – 0,043; Serapan STK = 0,086 maka:
123
y + 0,043 = 0,0012x ↔
0,086 + 0,043 = 0,0012x
↔
0,253 = 0,0012x
↔
x=
↔
x = 107,50 ppm
Kadar N-total (%) = ppm kurva
sampel-1)
1L
(100
mg
(100
mg
fk
1000-1
= ppm kurva
50
= ppm kurva
5
= 107,50
500-1
5
1000 mL-1
mL ekstrak
500-1
100
500-1
fk
fk
1,00434
= 1,08%
- Kadar N-total sampel Air Lindi sebelum MFC
y = 0,0012x – 0,043; Serapan STK = 0,051 maka:
y + 0,043 = 0,0012x ↔
0,051 + 0,043 = 0,0012x
↔
0,121 = 0,0012x
↔
x=
↔
x = 100,83 ppm
Kadar N-total (%) = ppm kurva
sampel-1)
mL ekstrak
fk
1000 mL-1
1L
124
1000-1
= ppm kurva
50
= ppm kurva
5
= 100,83
500-1
5
500-1
100
500-1
fk
1,00434
= 1,01%
Sampel
Kadar N-total (%)
Sedimen Teluk Kendari
(sebelum MFC)
Sedimen Teluk Kendari
(sesudah MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sebelum MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sesudah MFC)
Air Lindi (sebelum
MFC)
Air Lindi (sesudah
MFC)
Kotoran Sapi (sebelum
MFC)
Kotoran Sapi (sesudah
MFC)
1,08
0,97
0,81
0,79
1,01
0,93
1,13
0,99
fk
125
Lampiran 14. Data Pengukuran pH
Sampel
Nilai pH (H2O)
Nilai pH (KCl)
Sedimen Teluk Kendari
(sebelum MFC)
Sedimen Teluk Kendari
(sesudah MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sebelum MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sesudah MFC)
Air Lindi (sebelum
MFC)
Air Lindi (sesudah
MFC)
Kotoran Sapi (sebelum
MFC)
Kotoran Sapi (sesudah
MFC)
7,38
7,45
7,86
8,10
7,08
7,02
7,21
7,22
6,78
6,96
7,34
7,53
7,43
7,46
8,07
8,11
126
Lampiran 15. Data Pengukuran Konduktivitas
Sampel
Nilai DHL (mS)
Sedimen Teluk Kendari
(sebelum MFC)
Sedimen Teluk Kendari
(sesudah MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sebelum MFC)
Sedimen Rawa Aopa
(sesudah MFC)
Air Lindi (sebelum
MFC)
Air Lindi (sesudah
MFC)
Kotoran Sapi (sebelum
MFC)
Kotoran Sapi (sesudah
MFC)
11,56
15,78
6,74
7,70
8,97
13,53
8,31
10,76
127
Lampiran 16. Data Pengukuran Tegangan dan Arus Listrik
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan
Aerator MFC Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,047
2
3
0,047
3
6
0,054
4
9
0,051
5
12
0,069
6
15
0,070
7
18
0,079
8
21
0,077
9
24
0,078
0,09
0,08
Voltase (V)
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
128
Data Tegangan Listrik Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan Aerator
MFC Tunggal
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,047
2
2
0,078
3
3
0,089
4
4
0,125
5
5
0,138
6
6
0,142
7
7
0,139
8
8
0,168
9
9
0,178
10
10
0,177
11
11
0,165
12
12
0,132
13
13
0,148
14
14
0,121
15
15
0,069
16
16
0,043
17
17
0,021
18
18
0,010
129
0,2
0,18
Voltase (V)
0,16
0,14
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan
Aerator MFC Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,117
2
3
0,128
3
6
0,161
4
9
0,197
5
12
0,206
6
15
0,256
7
18
0,299
8
21
0,268
9
24
0,268
Voltase (V)
130
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan Aerator
MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,117
2
2
0,268
3
3
0,298
4
4
0,343
5
5
0,299
6
6
0,335
7
7
0,358
8
8
0,367
9
9
0,404
10
10
0,401
11
11
0,367
12
12
0,324
13
13
0,258
14
14
0,259
15
15
0,116
16
16
0,089
17
17
0,045
18
18
0,036
131
0,45
0,4
Voltase (V)
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan
KMnO4 MFC Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,062
2
3
0,068
3
6
0,079
4
9
0,077
5
12
0,080
6
15
0,081
7
18
0,089
8
21
0,093
9
24
0,091
132
0,1
0,09
Voltase (V)
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan KMnO4
MFC Tunggal
No
.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,062
2
2
0,091
3
3
0,098
4
4
0,109
5
5
0,237
6
6
0,231
7
7
0,303
8
8
0,388
9
9
0,410
10
10
0,473
11
11
0,517
12
12
0,567
13
13
0,621
14
14
0,653
15
15
0,626
133
16
16
0,513
17
17
0,576
18
18
0,501
19
19
0,432
20
20
0,456
21
21
0,406
22
22
0,387
23
23
0,354
24
24
0,302
25
25
0,298
26
26
0,267
27
27
0,139
28
28
0,101
29
29
0,067
30
30
0,013
31
31
0,009
0,7
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
25
30
35
134
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan
KMnO4 MFC Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,227
2
3
0,304
3
6
0,301
4
9
0,347
5
12
0,399
6
15
0,434
7
18
0,499
8
21
0,524
9
24
0,522
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
135
Data Tegangan Listrik Sedimen Laut Teluk Kendari Menggunakan KMnO4
MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
Arus
(µA)
1
1
0,227
-
2
2
0,522
-
3
3
0,557
-
4
4
0,529
-
5
5
0,828
-
6
6
1,045
-
7
7
1,387
-
8
8
1,488
-
9
9
1,457
-
10
10
1,577
-
11
11
1,604
-
12
12
1,598
-
13
13
1,612
4,2
14
14
1,628
5,0
15
15
1,609
3,8
16
16
1,432
3,3
17
17
1,246
2,1
18
18
1,106
-
19
19
1,087
-
20
20
1,043
-
21
21
1,044
-
22
22
1,033
-
23
23
0,971
-
24
24
0,876
-
25
25
0,543
-
26
26
0,442
-
136
27
27
0,447
-
28
28
0,212
-
29
29
0,226
-
30
30
0,034
-
31
31
0,012
-
Voltase (V)
2
1,5
1
0,5
0
0
5
10
15
20
25
30
35
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Rawa Aopa Menggunakan Aerator
MFC Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,025
2
3
0,028
3
6
0,038
4
9
0,029
5
12
0,041
6
15
0,051
7
18
0,050
8
21
0,052
9
24
0,051
137
0,06
Voltase (V)
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Sedimen Rawa Aopa Menggunakan Aerator MFC
Tunggal
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,025
2
2
0,051
3
3
0,057
4
4
0,089
5
5
0,098
6
6
0,101
7
7
0,128
8
8
0,122
9
9
0,157
10
10
0,137
138
11
11
0,095
12
12
0,055
13
13
0,043
14
14
0,042
15
15
0,022
16
16
0,017
0,18
0,16
Voltase (V)
0,14
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Rawa Aopa Menggunakan Aerator
MFC Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,099
2
3
0,098
3
6
0,101
4
9
0,109
139
5
12
0,104
6
15
0,108
7
18
0,109
8
21
0,112
9
24
0,111
0,114
0,112
Voltase (V)
0,11
0,108
0,106
0,104
0,102
0,1
0,098
0,096
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Sedimen Rawa Aopa Menggunakan Aerator MFC
Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,099
2
2
0,111
3
3
0,157
4
4
0,198
5
5
0,176
6
6
0,254
140
7
7
0,279
8
8
0,304
9
9
0,354
10
10
0,344
11
11
0,297
12
12
0,201
13
13
0,112
14
14
0,124
15
15
0,057
16
16
0,011
0,4
0,35
Voltase (V)
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
Waktu (hari)
15
20
141
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Rawa Aopa Menggunakan KMnO4
MFC Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,051
2
3
0,068
3
6
0,079
4
9
0,089
5
12
0,087
6
15
0,091
7
18
0,100
8
21
0,102
9
24
0,101
0,12
Voltase (V)
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
142
Data Tegangan Listrik Sedimen Rawa Aopa Menggunakan KMnO4 MFC
Tunggal
No
.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,051
2
2
0,101
3
3
0,107
4
4
0,111
5
5
0,115
6
6
0,114
7
7
0,145
8
8
0,169
9
9
0,198
10
10
0,213
11
11
0,217
12
12
0,227
13
13
0,221
14
14
0,197
15
15
0,176
16
16
0,123
17
17
0,097
18
18
0,052
19
19
0,021
20
20
0,010
21
21
0,004
143
0,25
Voltase (V)
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
25
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Sedimen Rawa Aopa Menggunakan KMnO4
MFC Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,125
2
3
0,164
3
6
0,190
4
9
0,209
5
12
0,219
6
15
0,217
7
18
0,223
8
21
0,224
9
24
0,224
144
0,25
Voltase (V)
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (hari)
Data Tegangan Listrik Sedimen Rawa Aopa Menggunakan KMnO4 MFC
Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,125
2
2
0,224
3
3
0,257
4
4
0,389
5
5
0,328
6
6
0,498
7
7
0,476
8
8
0,488
9
9
0,513
10
10
0,582
11
11
0,619
12
12
0,622
145
13
13
0,608
14
14
0,542
15
15
0,422
16
16
0,423
17
17
0,374
18
18
0,231
19
19
0,102
20
20
0,012
21
21
0,012
0,7
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
5
10
15
Waktu (hari)
20
25
146
Data Tegangan Open Circuit Air Lindi Menggunakan Aerator MFC
Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,083
2
3
0,098
3
6
0,132
4
9
0,146
5
12
0,153
6
15
0,150
7
18
0,167
8
21
0,166
9
24
0,165
0,18
0,16
Voltase (V)
0,14
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
147
Data Tegangan Listrik Air Lindi Menggunakan Aerator MFC Tunggal
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,083
2
2
0,165
3
3
0,197
4
4
0,254
5
5
0,255
6
6
0,287
7
7
0,202
8
8
0,156
9
9
0,102
10
10
0,055
11
11
0,008
12
12
0,004
0,35
0,3
Voltase (V)
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
2
4
6
8
Waktu (hari)
10
12
14
148
Data Tegangan Open Circuit Air Lindi Menggunakan Aerator MFC
Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,198
2
3
0,203
3
6
0,267
4
9
0,280
5
12
0,279
6
15
0,295
7
18
0,322
8
21
0,335
9
24
0,343
0,4
0,35
Voltase (V)
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
149
Data Tegangan Listrik Air Lindi Menggunakan Aerator MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,198
2
2
0,343
3
3
0,342
4
4
0,367
5
5
0,366
6
6
0,474
7
7
0,365
8
8
0,314
9
9
0,263
10
10
0,128
11
11
0,011
12
12
0,006
0,5
0,45
Voltase (V)
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
2
4
6
8
Waktu (hari)
10
12
14
150
Data Tegangan Open Circuit Air Lindi Menggunakan KMnO4 MFC
Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,119
2
3
0,203
3
6
0,243
4
9
0,254
5
12
0,246
6
15
0,276
7
18
0,268
8
21
0,287
9
24
0,287
0,35
0,3
Voltase (V)
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
Waktu (jam)
20
25
30
151
Data Tegangan Listrik Air Lindi Menggunakan KMnO4 MFC Tunggal
No
.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,119
2
2
0,287
3
3
0,288
4
4
0,289
5
5
0,279
6
6
0,304
7
7
0,367
8
8
0,356
9
9
0,412
10
10
0,511
11
11
0,501
12
12
0,476
13
13
0,345
14
14
0,276
15
15
0,198
16
16
0,105
17
17
0,034
18
`18
0,009
19
19
0,001
152
0,6
Voltase (V)
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Air Lindi Menggunakan KMnO4 MFC
Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,427
2
3
0,478
3
6
0,486
4
9
0,546
5
12
0,590
6
15
0,647
7
18
0,678
8
21
0,686
9
24
0,687
153
Voltase (V)
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Air Lindi Menggunakan KMnO4 MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,427
-
2
2
0,687
-
3
3
0,959
-
4
4
1,165
-
5
5
1,475
-
6
6
1,345
-
7
7
1,406
-
8
8
1,498
4,3
9
9
1,525
4,6
10
10
1,554
4,9
11
11
1,553
4,7
12
12
1,304
4,2
13
13
1,137
3,2
14
14
0,965
2,5
15
15
0,687
-
16
16
0,323
-
17
17
0,109
-
18
18
0.112
-
19
19
0,034
-
154
1,8
1,6
Voltase (V)
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Kotoran Sapi Menggunakan Aerator MFC
Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,035
2
3
0,038
3
6
0,038
4
9
0,039
5
12
0,042
6
15
0,040
7
18
0,047
8
21
0,053
9
24
0,054
155
0,06
Voltase (V)
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Kotoran Sapi Menggunakan Aerator MFC Tunggal
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,035
2
2
0,054
3
3
0,067
4
4
0,117
5
5
0,108
6
6
0,071
7
7
0,039
8
8
0,021
9
9
0,010
10
10
0,007
156
0,14
0,12
Voltase (V)
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
2
4
6
8
10
12
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Kotoran Sapi Menggunakan Aerator MFC
Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,157
2
3
0,168
3
6
0,171
4
9
0,179
5
12
0,174
6
15
0,188
7
18
0,199
8
21
0,212
9
24
0,211
157
0,25
Voltase (V)
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Kotoran Sapi Menggunakan Aerator MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,157
2
2
0,211
3
3
0,297
4
4
0,374
5
5
0,276
6
6
0,254
7
7
0,179
8
8
0,104
9
9
0,054
10
10
0,008
158
0,4
0,35
Voltase (V)
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
2
4
6
8
10
12
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Kotoran Sapi Menggunakan KMnO4 MFC
Tunggal
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,091
2
3
0,108
3
6
0,109
4
9
0,129
5
12
0,137
6
15
0,131
7
18
0,141
8
21
0,157
9
24
0,168
159
0,18
0,16
Voltase (V)
0,14
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Kotoran Sapi Menggunakan KMnO4 MFC Tunggal
No
.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,091
2
2
0,168
3
3
0,179
4
4
0,189
5
5
0,237
6
6
0,291
7
7
0,301
8
8
0,387
9
9
0,411
10
10
0,373
11
11
0,317
12
12
0,257
13
13
0,121
14
14
0,097
15
15
0,026
16
16
0,013
17
17
0,003
160
0,45
0,4
Voltase (V)
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
Waktu (hari)
Data Tegangan Open Circuit Kotoran Sapi Menggunakan KMnO4 MFC
Berganda
No.
Waktu (jam)
Tegangan
(V)
1
0
0,325
2
3
0,364
3
6
0,345
4
9
0,375
5
12
0,396
6
15
0,417
7
18
0,423
8
21
0,424
9
24
0,424
Voltase (V)
161
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (jam)
Data Tegangan Listrik Kotoran Sapi Menggunakan KMnO4 MFC Berganda
No.
Waktu (hari)
Tegangan
(V)
1
1
0,325
2
2
0,424
3
3
0,457
4
4
0,529
5
5
0,528
6
6
0,645
7
7
0,676
8
8
0,788
9
9
0,835
10
10
0,782
11
11
0,619
12
12
0,622
13
13
0,408
14
14
0,342
15
15
0,122
16
16
0,023
17
17
0,009
162
0,9
0,8
Voltase (V)
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
0
5
10
Waktu (hari)
15
20
163
Lampiran 17. Dokumentasi Penelitian
Gambar rangkaian sistem MFC
Gambar hasil pengukuran arus sistem MFC
164
Gambar hasil pengukuran tegangan listrik sistem MFC
Gambar hasil isolasi pewarnaan Gram bakteri SMC sedimen laut Teluk Kendari
165
Gamabar isolasi dan pewarnaan Gram bakteri sedimen Rawa Aopa
Gamabar isolasi dan pewarnaan Gram bakteri air lindi
Gamabar isolasi dan pewarnaan Gram bakteri kotoran sapi
Download