II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN TEH Tanaman teh (Camellia sinensis) merupakan tanaman perdu yang bercabangcabang dan berbatang bulat. Daun teh berbentuk jorong dengan tepi bergerigi. Helaian daunnya berwarna hijau serta mengkilap. Bunga teh berwarna putih yang berada di ketiak daun dengan aroma harum. Buahnya berbentuk bulat. Pada saat masih muda buah berwarna hijau lalu berubah coklat saat sudah masak (Marsito, 2004). (a) (b) Gambar 1. (a) Pucuk daun teh (Anonim,2010); (b) Teh hijau kering (Anonim, 2010) Tanaman teh umumnya ditanam di perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada ketinggian 200 - 2.300 m dpl. Ada dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu var. assamica yang berasal dari Assam dan var. sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica daunnya agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul. Bila tidak dipangkas, pohon teh akan tumbuh kecil ramping setinggi 5 - 10 m, dengan bentuk tajuk seperti kerucut. Batang tanaman teh tegak, berkayu, bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berambut halus. Daun teh berupa daun tunggal, bertangkai pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan menyirip, panjang 6 - 18 cm, lebar 2 - 6 cm, warnanya hijau dan permukaan mengilap. Bunga di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu, berkelamin dua, garis tengah 3 - 4 cm, warnanya putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning dan harum. Buahnya buah kotak, berdinding tebal, pecah menurut ruang, masih muda hijau setelah tua cokelat kehitaman. Biji keras, 1 - 3. Pucuk dan daun muda yang digunakan untuk pembuatan minuman teh. Perbanyakan dengan biji, stek, sambungan atau cangkokan (Liestyartie, 1986). Komposisi kimia teh terdiri dari kafein, tanin, protein, gula dan minyak atsiri yang terbentuk setelah fermentasi dan menghasilkan aroma. Daun teh mengandung beberapa zat kimia yang dapat digolongkan menjadi empat golongan. Keempat golongan tersebut adalah substansi fenol (katekin, flavanol), bukan fenol (karbohidrat, pektin, alkaloid, protein, asam amino, klorofil dan asam organik), senyawa aromatis dan enzim (Johnson dan Paterson, 1974). Teh dapat dibedakan menjadi tiga kategori utama berdasarkan cara pengolahannya, yaitu teh hijau (tidak mengalami fermentasi), teh oolong, (semi fermentasi) dan teh hitam (fermentasi penuh). Teh hijau dibuat dengan cara menginaktivasi enzim oksidase atau fenolase yang ada dalam pucuk daun teh segar dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap panas, sehingga oksidasi enzimatis terhadap katekin dapat dicegah. Teh hitam dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin teh. Sementara teh oolong dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses rolling, penggulungan daun, dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi (Hartoyo, 2003). Teh sebagian besar mengandung ikatan biokimia yang disebut polifenol termasuk di dalamnya flavonoid. Subkelas flavonoid yang banyak terdapat dalam teh adalah flavanols dan flavonols. Senyawa polifenol akan mengalami perubahan kimia menjadi beberapa senyawa turunan asam-asam galat dan katekin. Turunan asam galat yang terpenting adalah senyawa tanin. Senyawa ini sangat berperan penting di dalam penentuan mutu teh hitam dan teh hijau, karena hasil oksidasi tanin akan membentuk “briskness”, “strength”, dan warna seduhan teh (Eden, 1976). Polifenol sangat menentukan mutu teh, karena selama ekstraksi senyawa polifenol akan berubah menjadi senyawa yang menghasilkan warna, rasa, dan aroma yang dikehendaki. Hasil utama oksidasi polifenol akan memberikan warna yang khas pada seduhan teh. Polifenol akan teroksidasi menjadi teaflavin dan tearubigin, mempengaruhi karakteristik seduhan teh meliputi warna, rasa dan aroma. Teaflavin berpengaruh pada kejernihan dan memberikan warna kuning cerah pada seduhan teh, sedangkan tearubigin memberikan warna coklat tua pada seduhan tersebut (Nasution dan Tjiptadi, 1975). Kadar tanin teh perlu diketahui karena merupakan salah satu faktor penentu mutu minuman teh. Dalam bentuk aslinya tanin terlibat proses pencoklatan pada tanaman dan memberikan rasa sepat pada minuman teh. Tanin berwarna kehijauan hingga tidak berwarna. Daya larut tanin dalam air sangat baik, dan tanin tahan terhadap pemanasan. Semakin tinggi kadar tanin maka rasanya semakin sepat atau pahit, dan semakin rendah kadar tanin maka penampakan produk akan menjadi kurang menarik (Nasution dan Tjiptadi, 1975). B. TEH HIJAU Teh hijau adalah pucuk dan daun muda tanaman teh (Camellia sinesis) yang telah diolah tanpa melalui proses fermentasi khusus (SNI 01-3945-1995). Pengolahan teh hijau merupakan serangkaian proses fisik dan mekanis tanpa proses oksidasi enzimatis (fermentasi) terhadap pucuk teh dengan menggunakan sistem panning. Tidak diharapkannya proses fermentasi bertujuan untuk mempertahankan kandungan di dalam daun teh segar yang baru dipetik. Hal inilah yang membuat produk teh hijau lebih banyak memiliki nilai nutrisi dan kesehatan bila dibandingkan dengan teh hitam. Senyawa penting yang memberikan manfaat pada teh hijau adalah senyawa polifenol atau catechin, beberapa jenis vitamin dan unsur mikro, seperti mangan (Mn) (Arifin, 1994). Menurut Arifin (1994), proses pengolahan teh hijau secara umum antara lain : 1. Proses Pelayuan. Proses pelayuan dapat dilakukan dengan melewatkan daun tersebut pada silinder panas ± sekitar 5 menit (sistem panning) atau dilewatkan beberapa saat pada uap panas bertekanan tinggi (sistem steaming). Proses pelayuan ini bertujuan untuk mematikan aktivitas enzim polifenol oksidase, menurunkan kadar air menjadi sekitar 60 - 70 % dan memudahkan pucuk untuk menggulung pada proses penggulungan. 2. Proses Penggulungan daun. Proses penggulungan daun bertujuan untuk membentuk daun teh menjadi gulungan-gulungan kecil dan untuk mengeluarkan cairan sel agar menempel di permukaan daun. 3. Proses Pengeringan. Proses pengeringan pertama akan menurunkan kadar air menjadi 30 - 35 % dan akan memperpekat cairan sel. Proses ini dilakukan pada suhu sekitar 110 - 135° C selama ± 30 menit. Proses pengeringan kedua akan memperbaiki bentuk gulungan daun, suhu yang dipergunakan berkisar antara 70 - 95° C dengan waktu sekitar 60 90 menit. Produk teh hijau yang dihasilkan mempunyai kadar air 4 - 6 %. 4. Proses sortasi. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan teh hijau dengan berbagai kualitas mutu, yaitu Peko (daun pucuk), Jikeng (daun bawah/tua), Bubuk/kempiring (remukan daun), dan Tulang. C. PENGEMASAN Pengemasan dapat memperlambat kerusakan produk, memperpanjang umur simpan, dan menjaga atau meningkatkan kualitas dan keamanan pangan. Pengemasan juga dapat melindungi produk dari tiga pengaruh luar, yaitu kimia, biologis, dan fisik. Perlindungan kimia mengurangi perubahan komposisi yang cepat oleh pengaruh lingkungan, seperti terpapar gas (oksigen), uap air, dan cahaya (cahaya tampak, infra merah atau ultraviolet). Perlindungan biologis mampu menahan mikroorganisme (patogen dan agen pembusuk), serangga, hewan pengerat, dan hewan lainnya. Perlindungan fisik menjaga produk dari bahaya mekanik dan menghindari goncangan dan getaran selama pendistribusian (Marsh dan Bugusu, 2007). Kemasan merupakan wadah yang berfungsi sebagai pelindung produk, yang telah dilengkapi dengan tulisan, label, dan keterangan-keterangan sebagai sarana komunikasi dan promosi, serta sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi produsen dan konsumen. Kemudahan bagi produsen seperti kemudahan dalam penanganan, penyimpanan, dan pemasaran, sedangkan untuk konsumen kemudahan dalam memperoleh produk, membawa dan menyimpan produk (Syarief dan Halid, 1991). Tujuan utama pengemasan makanan yaitu mengawetkan makanan, mempertahankan mutu, menarik selera pandang konsumen, memberikan kemudahan penyimpanan dan distribusi, kemudahan dalam penggunaan produk, serta yang lebih penting lagi yaitu dapat menekan kontaminasi dari udara dan tanah. Kontaminasi yang dimaksud adalah kontaminasi oleh mikroba pembusuk maupun mikroba yang dapat membahayakan kesehatan konsumen (Buerau, 1996) Syarief et al. (1989), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kerusakan bahan pangan sehubungan dengan kemasan yang digunakan dapat dibagi menjadi dua golongan. Faktor pertama yaitu sifat alamiah produk yang tidak dapat dicegah hanya dengan pengemasan seperti perubahan kimia, fisik, serta perubahan mikrobiologis produk. Faktor yang kedua adalah faktor lingkungan yang secara garis besar dapat dikontrol dengan pengemasan, kerusakan ini dapat berupa kerusakan mekanis, perubahan kadar air, absorbsi oksigen, serta penambahan dan kehilangan flavour. Bahan kemasan yang diperlukan sebaiknya memiliki berbagai fungsi dasar. Fungsi bahan kemasan antara lain adalah sebagai wadah yang dapat menjaga produk tetap bersih serta dapat melindungi produk dari kotoran dan kontaminan lainnya. Selain itu bahan kemasan juga harus efisien, ekonomis, dan mudah dalam penanganannya, baik dalam proses distribusi maupun penyimpanan. Bahan kemasan juga harus memiliki ukuran, bentuk, bobot yang sesuai dengan standar yang ada, serta mudah dibentuk dan dicetak. Fungsi lain yang harus dimiliki bahan kemasan yaitu harus dapat menunjukkan identitas, informasi dan dapat menunjang penampilan produk (Syarief et al. 1989). Plastik merupakan bahan pengemas yang berkembang pesat pada saat ini. Plastik digunakan untuk mengemas berbagai macam jenis makanan. Jenis plastik bermacam-macam. Jenis plastik tersebut dapat dibedakan berdasarkan senyawasenyawa penyusunnya. Plastik memiliki berbagai keunggulan yakni fleksibel (dapat mengikuti bentuk produk), transparan (tembus pandang), tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif, dan harga relatif murah. Di samping memiliki beberapa kelebihan dari bahan kemasan lainnya, plastik juga memiliki kelemahan yakni, tidak tahan panas, dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer), sehingga mengandung resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (non-biodegradable) (Latief, 2000). Polipropilen (PP) memiliki sifat lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen dengan daya tembus uap air yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Plastik tipis yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik (Buckle, 1985). Polipropilen memiliki densitas rendah (900 kg m-3) dan mempunyai titik lunak yang lebih tinggi dari polietilen (140-150C), transmisi uap air yang rendah, bukan penahan gas yang baik, penahan minyak dan bahan kimiawi yang baik, penahan gesek yang baik dan stabil pada suhu yang tinggi. Permukaan yang halus dan jernih membuat polipropilen baik untuk pencetakan tulisan berisi informasi produk. Polipropilen bersifat hidrofob, tahan korosi dan dibuat dari bahan baku yang murah serta mudah diperoleh. PP mempunyai sifat tidak bereaksi dengan bahan, dapat mengurangi kontak antara bahan dan oksigen, tidak menimbulkan racun dan mampu melindungi bahan dari kontaminan karena memiliki gugus CH3 pada rantai percabangannya (Robertson, 1993). Alumunium merupakan bahan kemasan yang juga banyak digunakan. Alumunium tidak memiliki ketahanan terhadap oksigen sehingga pada lapisan atas sering dilapisi dengan alumunium oksida, Al2O3. Namun, ada berbagai macam gas, uap dan cairan yang agresif yang dapat merusak lapisan tersebut. Misalnya air kontak dengan logam berat (Syarief et al., 1989). Keuntungan utama penggunaan alumunium dibandingkan dengan bahan kemasan lain adalah sifat absolut kedap terhadap cahaya dan gas. Kelemahan utama adalah tingginya kebutuhan energi pada saat produksi, dimana telah diupayakan menguranginya dengan menggunakan kembali bahan-bahan kemasan alumunium (Syarief et al., 1989). Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0,15 mm. Foil mempunyai sifat thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Ketebalan dari alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat alufo yang tipis dapat diperbaiki dengan member lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief et al., 1989). D. UMUR SIMPAN Floros dan Ganasekharan (1993) menyatakan, umur simpan sebagai waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu penyimpanan untuk sampai pada satu level atau tingkatan mutu degradasi tertentu. Ketidaksesuaian umur simpan akan menimbulkan ketidakpuasan dan keluhan dari konsumen. Ketidakpuasan tersebut akan menimbulkan kesan yang buruk terhadap penerimaan produk tersebut di masyarakat atau bahkan lebih buruk lagi akan menimbulkan malnutrisi dan penyakit. Oleh karena itu, produsen makanan harus memberikan perhatian besar terhadap penentuan umur simpan ini (Robertson, 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan adalah : a. Jenis dan karakteristik produk pangan Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama dibanding produk segar Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami ketengikan, sedangkan produk yang mengandung protein dan gula berpotensi mengalami reaksi Maillard (warna coklat) b. Jenis dan karakteristik bahan kemasan Permeabilitas bahan kemasan terhadap kondisi lingkungan (uap air, cahaya, aroma, oksigen) c. Kondisi lingkungan Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan dan degradasi warna Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi (Anonim, 2009). Proses perkiraan umur simpan menurut Hine (1987), sangat tergantung pada tersedianya data mengenai : 1. Mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas 2. Unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk 3. Mutu produk dalam kemasan 4. Bentuk dan ukuran kemasan yang diinginkan 5. Mutu produk pada saat dikemas 6. Mutu minuman dari produk yang masih dapat diterima 7. Variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan 8. Resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan 9. Sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk. Deteriorasi merupakan penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya. Produk pangan mengalamin detoriorasi segera setelah diproduksi, dimana produk mulai bersentuhan dengan udara, oksigen, uap air, cahaya atau dengan adanya perubahan suhu. Waktu hingga produk mengalami tingkat deteriorasi tertentu, dimana terjadi perubahan yang mengakibatkan produk pangan tidak menyerupai tekstur aslinya seperti awal produksi disebut umur simpan (Arpah, 2001). Syarief et al. (1989) menambahkan, bahwa umur simpan merupakan parameter ketahanan produk selama proses penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain, sifat produk, ukuran dan sifat kemasan, serta suhu dan kelembaban. Menurut Arpah (2001), reaksi deteriorasi dapat menyebabkan perubahan terhadap produk diantaranya, perubahan flavour, warna, penampakan fisik serta nilai gizi. Beberapa produk pangan olahan sangat sensitif terhadap perubahan kadar air, misalnya produk rempah atau bumbu kering yang akan mengalami aglomerasi apabila kadar airnya meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya daya kohesi dan komprebilitas serta menurunnya densitas kamba. Menurut Labuza (1982), selain peningkatan kadar air, reaksi detoriorasi pada produk bumbu atau rempah dapat memicu hilangnya flavour, rasa dan warna produk, baik secara kimia maupun secara fisik. Oleh karena itu aroma, rasa, dan warna merupakan faktor penentu untuk menentukan umur simpan dari produk. Syarief dan Halid (1991) menjelaskan bahwa suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu dalam menduga kecepatan penurunan mutu selama penyimpanan perlu diperhitungkan faktor suhu. Dalam penyimpanan makanan, suhu ruangan penyimpanan berubah dari waktu ke waktu, keadaan suhu penyimpanan seperti ini dapat mempermudah pendugaan laju penurunan mutu makanan dengan persamaan Arrhenius. Penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode konvensional atau biasa disebut Extended Storage Studies (ESS), dimana penentuan umur simpan produk dilakukan dengan mengamati penurunan mutu produk yang disimpan pada kondisi normal sampai mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat akan tetapi memerlukan waktu analisa yang panjang dengan parameter mutu yang relatif banyak (Arpah, 2001). Menurut Arpah (2001), metode lain yang digunakan dalam menentukan umur simpan produk adalah dengan metode dipercepat atau biasa disebut Accelerated Storange Studies (ASS). Metode ini menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi deteriorasi produk pangan, sehingga membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat akan tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi. Pada metode ASS, produk disimpan pada kondisi lingkungan penyimpanan yang ekstrim, antara lain produk disimpan pada suhu atau kelembaban yang ekstrim, atau produk dapat pula disimpan dalam ruangan yang dialiri radiasi ataupun kombinasi dari beberapa perlakuan tersebut. Menurut Arpah (2001), metode ASS pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk pangan tertentu dengan menggunakan dua cara pendekatan. Cara yang pertama dengan menggunakan pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air sebagai kriteria kadaluarsa. Cara yang kedua yaitu dengan menggunakan pendekatan semi empiris dengan persamaan Arrhenius, yaitu : k = k0 e –E/RT dimana : k = konstanta laju reaksi pada temperatur T k0 = konstanta laju absolut E = energi aktivasi (J/mol) R = konstanta gas ideal (8.314 J. K-1. mol-1) T = suhu absolut (K) E = bilangan e (2.718)