Pembangkit Listrik Tenaga Matahari

advertisement
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Topik
Substansi
Tujuan Pembelajaran
Waktu
Modul
Ajar 6
: Pemanfaatan Energi Matahari
: Teori dasar pemanfaatan energi matahari
(Ketersediaan sumber energi matahari, formula dasar
pemanfaatan sumber energi matahari,
peralatan/instalasi pemanfataan sumber energi
matahari)
: Dapat:
(1) menjelaskan substansi topik
(2) menemukan potensi peningkatan pemanfaatan
energi matahari di lapangan
: 2 x 50 menit
6.1. Ketersediaan dan Sifat
Cahaya dapat dipandang memiliki partikel-partikel yang disebut foton.
Setiap foton tersebut mempunyai energi yang dinyatakan sebagai
Ef = hf = h
c
λ
(6.1)
Dimana
h
= konstanta Plank = 6,626 x 10-34 J.s = 4,1136 x 10-15 eV.s
f
= frekuensi cahaya dalam hertz
c
= kecepatan cahaya = 2,998 x 108 m/s, dan
λ
= panjang gelombang cahaya dalam m.
Artinya cahaya dipandang mempunyai dua sifat: sebagai energi yang
ditransfer secara diskret dalam bentuk foton dan sebagai gelombang yang
mempunyai frekuensi serta panjang.
Jika dicermati lebih rinci, maka akan diketahui bahwa gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari berada dalam daerah sinar
gamma (orde panjang gelombang 10-16 m) hingga gelombang radio (orde panjang
gelombang 102 m). Namun, hanya spektrum yang dibatasi oleh daerah ultra ungu
Modul Ajar 6 – halaman 1
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
dan infra merah lah yang mampu menembus lapisan atmosfer dan mencapai
permukaan bumi.
Gambar 6.1. Rentang Panjang Gelombang Elektromagnetik
Lapisan atmosfer yang menyelubungi bumi, daratan dan lautan menyerap
radiasi matahari dan membuat permukaan bumi mempunyai suhu rerata 15°C
sehingga bisa didiami oleh mahluk hidup. Tanpa matahari, tidak akan muncul
kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Tiap tahunnya, permukaan bumi
menyerap radiasi matahari hingga 795.000 trilyun kWh energi (Staab, 2001).
Pada kondisi langit bersih, radiasi cahaya matahari yang mengenai
permukaan bumi akan mencapai nilai maksimal jika matahari berada tepat tegak
lurus dan sinar matahari menempuh lintasan terpendek.
Lintasan ini biasa disebut sebagai Air Mass (AM) yang harus ditembus oleh
cahaya matahari untuk mencapai permukaan bumi. Nilai lintasan tersebut diwakili
oleh persamaan sebagai berikut
AM = 1/cosΦ
(6.2)
Jika sudut Φ = 0o, maka nilai AM = 1, yang biasa ditulis sebagai AM1.
Kondisi AM2 terjadi pada Φ = 60o. Jika Φ = 48,2o nilai AM akan mencapai 1,5
(AM1,5). Kondisi AM1,5 ini ditetapkan sebagai standar kinerja sel surya.
Sementara itu AM0 berlaku di luar angkasa, dimana intensitas matahari mencapai
1350 W/m2.
Modul Ajar 6 – halaman 2
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
6.2. Garis Besar Cara Pemanfaatan
Pada dasarnya, banyak macam energi berasal dari matahari. Angin
ditimbulkan oleh perbedaan suhu dan kemudian tekanan udara yang dibangkitkan
oleh matahari. Tenaga air merupakan bagian takterpisahkan dari siklus hidrologi
yang juga dibangkitkan oleh matahari. Tenaga biomassa, contoh berikutnya, jelas
tidak mungkin bisa lepas dari matahari yang membangkitkan mekanisme
fotosintesa. Bab ini hanya akan membahas pemanfaatan energi yang didapat dari
pemanasan matahari secara langsung.
Secara garis besar energi yang disediakan matahari secara langsung dapat
dimanfaatkan dalam bentuk panas (energi termal) dan sebagai listrik (fotovoltaik).
Dengan sel fotovoltaik, sinar matahari yang mengenai sel tersebut diubah
langsung menjadi listrik. Sementara itu, untuk memanfaatkan energi termal, sinar
matahari yang datang dikonsentrasikan dan ditangkap panasnya. Panas tersebut
dipakai untuk meningkatkan suhu fluida kerja yang dipakai. Fluida dipanaskan
sampai pada tingkat suhu yang sangat tinggi untuk mendapatkan uap yang
kemudian dipakai guna membangkitkan listrik.
Terdapat pula pengelompokan yang membagi pemanfaatan energi matahari
menjadi dua golongan: pemanfaatan secara pasif dan pemanfaatan secara aktif.
Pemanfaatan secara pasif dilakukan dengan mengaplikasikan rancangan yang
tepat
pada
suatu
infrastruktur,
misalnya
bangunan,
agar
bisa
memanfaatkan/mengatasi panas matahari. Misalnya pada daerah dengan empat
musim, pemanfaatan secara pasif ditujukan untuk mengumpulkan panas matahari
pada saat musim dingin dan memblokirnya pada saat musim panas. Sementara itu
pemanfaatan secara aktif dengan memusatkan sinar matahari untuk mendapatkan
panas tinggi, misalnya dengan cermin cekung. Aplikasi sel surya juga masuk
dalam golongan ini. Di dalam buku ini, pemanfaatan energi matahari secara aktif
dimasukkan dalam pembahasan solar thermal.
Berkat sifat modulernya, fotovoltaik dapat dimanfaatkan dalam ragam yang
sangat luas, mulai dari ukuran kurang 1 watt hingga sekian megawatt. Fotovoltaik
dapat beroperasi dengan terintegrasi dengan jaringan listrik, misalnya, PLN atau
Modul Ajar 6 – halaman 3
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
tanpa tersambung dalam jaringan (stand-alone). Sementara itu, untuk solar
thermal, aplikasi bisa berukuran kilowatt (dengan parabolic dish) hingga ukuran
megawatt (parabolic trough dan menara surya). Gambar 6.1 memperlihatkan
rentang daerah aplikasi sistem fotovoltaik dan solar thermal berdasar kapasitas
terpasang dan intensitas sinar matahari.
Gambar 6.2. Rentang daerah operasional sistem fotovoltaik dan solar thermal
(sumber: Quashning dan Muriel, 2001)
6.3. Solar Thermal
6.3.1. Prinsip Kerja
Metode untuk mengkonsentrasikan energi matahari, yang bisa disebut
sebagai konsentrator sinar matahari (concentrating solar powerplant atau solarthermal powerplant) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok: 1) parabolic
trough, 2) menara surya, dan 3) parabolic dish (lihat, misalnya Kaygusuz, 2011
dan Sharma, 2011). Ketiganya tersebut masuk dalam kelompok pemanfaatan
energi matahari secara aktif. Selain ketiga cara pemanfaatan secara aktif tersebut,
Modul Ajar 6 – halaman 4
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
masih terdapat pula alternatif pemanfaatan secara pasif, yang akan diuraikan
kemudian.
Teknologi ini pada dasarnya membangkitkan energi listrik dengan cara
sama dengan di pembangkit listrik konvensional berbasis energi fosil. Namun
demikian teknologi ini mendapat pasok energi dengan cara memusatkan sinar
matahari. Biasanya sejumlah cermin memusatkan sinar matahari tersebut ke suatu
garis tunggal atau titik. Pemusatan tersebut menimbulkan panas yang kemudian
dimanfaatkan untuk membangkitkan uap atau gas bersuhu dan bertekanan tinggi
guna menggerakkan turbin.
Teknologi ini juga bisa diintegrasikan dengan teknologi pembangkit listrik
lainnya (misal energi fosil maupun energi terbarukan). Sinar matahari yang
terkonsentrasikan tersebut bisa dimanfaatkan untuk memanaskan air guna
produksi uap dalam pembangkit listrik lain. Produksi uap dari teknologi berbasis
matahari ini juga bisa ditambahkan ke sistem pasok uap pembangkit lain. Sebagai
contoh, dalam teknologi pembangkit Integrated Solar Combined Cycle (ISCC),
konsentrator sinar matahari dikombinasikan
dengan teknologi
gas-fired
combined-cycle plants (Lenzen, 2009).
6.3.2. Penggolongan
6.3.2.1. Parabolic Trough
Teknologi parabolic trough memakai cermin lengkung panjang yang
memusatkan sinar matahari ke pipa di garis pusatnya (focal line). Di dalam pipa
tersebut mengalir fluida kerja, seperti synthetic thermal oil. Cermin tersebut dapat
bergerak terhadap satu sumbunya mengikuti gerak matahari karena dilengkapi
dengan tracker. Sebagai alternatif, bukan cerminnya yang digerakkan, melainkan
pipa fluida kerjanya yang digerakkan mengikuti matahari. Fluida tersebut
dipanaskan (bisa hingga 400°C) dan kemudian dialirkan ke penukar panas (heat
exchanger) untuk memproduksi uap superheated guna menggerakkan turbin uap
(Lenzen, 2009).
Modul Ajar 6 – halaman 5
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Gambar 6.3. Parabolic Trough (sumber: www.bls.gov dan ec.europa.eu)
6.3.2.2. Menara Surya
Menara surya mewakili istilah solar tower atau yang dikenal juga sebagai
central receiver. Teknologi ini disusun oleh ratusan atau bahkan ribuan cermin
(heliostat)
mengelilingi
sebuah
menara.
Cermin-cermin
tersebut
mengkonsentrasikan sinar matahari ke puncak menara untuk memanaskan fluida
kerja yang ditempatkan pada puncak tersebut. Tiap cermin dilengkapi dengan
tracker (menjadi suatu individually tracking mirror) agar bisa menyesuaikan
perubahan posisi terhadap matahari.
Gambar 6.4. Menara Surya (sumber: wisions.net)
Modul Ajar 6 – halaman 6
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Teknologi ini memanfaatkan suatu media transfer panas. Media tersebut
menyerap radiasi matahari yang telah terkonsentrasi dan kemudian merubahnya
menjadi energi panas untuk memproduksi uap superheated yang dibutuhkan
dalam operasional turbin. Ada beberapa macam media yang bisa dipakai,
misalnya air, udara, molten salts dan sodium cair. Jika dipakai media transfer
panas berupa gas atau udara bertekanan yang dipanasi hingga sekitar 1,000°C atau
lebih, media ini bisa berperan seperti pengganti gas alam untuk menggerakkan
turbin gas. Ini bisa diintegrasikan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap
(Lenzen, 2009).
Gambar 6.5. Skema komponen dasar menara surya (Wright dan Hearps, 2010)
6.3.2.3. Parabolic Dish
Teknologi parabolic dish memakai cermin parabola yang memusatkan sinar
matahari datang ke suatu penerima yang dipasang di titik fokus cermin tersebut.
Panas yang diterima receiver di titik fokus cermin bisa mencapai 750°C. Cermin
Modul Ajar 6 – halaman 7
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
ini bisa dioperasikan secara individual untuk mengaktifkan mesin piston kecil,
mesin Stirling engine atau turbin mikro yang dipasang pada receiver di titik fokus.
Cermin ini bisa pula dioperasikan terintegrasi bersama sejumlah cermin untuk
memanaskan fluida kerja guna menggerakkan turbin. Tracker dipasang agar
cermin ini bisa bergerak dalam dua sumbunya untuk menyesuaikan pada
perubahan posisinya terhadap matahari (Lenzen, 2009).
\
Gambar 6.6. Parabolic Dish (www.mpoweruk.com dan www.brighthub.com)
6.4. Sel Surya
6.4.1. Prinsip Kerja
Sel surya mampu memproduksi listrik secara langsung, tanpa melalui
tahapan konversi energi perantara, semisal energi termal ke energi mekanik.
Listrik tersebut dihasilkan melalui proses yang tanpa polusi suara dan udara.
Modul Ajar 6 – halaman 8
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Satu contoh sel surya adalah material yang dibuat dengan menggabungkan
lempeng sangat tipis yang terbuat dari kristal silikon. Sifat awal silikon adalah
isolator yang baik karena tidak memiliki elektron bebas. Silikon mempunyai
elektron dengan jumlah 14 dimana empat diantaranya merupakan elektron yang
berada di orbit terluar. Dengan penanganan khusus yang dikenal sebagai proses
“dopping”, kemurnian silikon diganggu dengan menambahkan suatu unsur
tertentu (disebut pula sebagai atom pengotor) sehingga sifatnya berubah.
Di sini perlu diingat bahwa pada atom yang elektronnya terletak pada
beberapa lapis orbit, elektron yang terletak di orbit terdalam membutuhkan
tambahan energi terbanyak untuk mampu mengatasi tarikan inti agar menjadi
elektron bebas. Elektron-elektron di orbit terluarlah yang akan berinteraksi dengan
atom-atom tetangga. Orbit terluar ini disebut pula pita valensi (valensi band).
Elektron yang terletak di orbit terluar ini disebut pula sebagai elektron valensi.
Kembali pada proses dopping. Ada dua jenis atom pengotor yang dapat
dilibatkan dalam proses ini: atom pengotor dengan 3 elektron valensi (misal
boron, gallium, dan indium) dan atom dengan 5 elektron valensi (misal antimony,
arsen, dan fosfor). Jika ke dalam silikon ditambahkan sedikit boron maka jumlah
elektron akan menjadi lebih kecil ketimbang jumlahnya pada silikon murni
sehingga akan muncul “lobang” dalam kristal tersebut. Dengan cara ini akan
dihasilkan semikonduktor jenis p (positif). Lobang-lobang yang muncul berfungsi
selayaknya muatan positip. Sebaliknya, jika fosfor yang ditambahkan ke dalam
silikon, akan muncul kelebihan elektron di dalam kristal. Dari metode ini akan
didapatkan semikonduktor jenis n (negatif).
Jika dua semikonduktor yang berlainan jenis ini digabung, maka terbentuk
sambungan p-n. Kelebihan elektron di semikonduktor n akan mampu berpindah
tempat ke semikonduktor p, dan sebaliknya kelebihan lobang di semikonduktor p
akan berpindah tempat ke semikonduktor n. Sambungan p-n tersebut tidak
berwujud sebagai garis yang secara tegas memisahkan sifat semikonduktor n dan
p. Sambungan tersebut berwujud sebagai daerah dimana perbedaan sifat antara
semikonduktor n dan p akan muncul secara gradual. Daerah sambungan tersebut
disebut sebagai depletion region. Di bagian daerah tersebut yang elektronnya
Modul Ajar 6 – halaman 9
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
berpindah untuk bergabung dengan lobang di sisi semikonduktor p menjadi
bermuatan positif. Sebaliknya di bagian yang lobangnya bergerak ke sisi
semikonduktor n menjadi bermuatan negatif.
Dalam suatu semikonduktor, pada awalnya elektron-elektron yang
mempunyai kemampuan untuk membangkitkan arus listrik terletak pada pita
valensi, yang memiliki tingkat energi rendah. Agar bisa membangkitkan arus
listrik, elektron-elektron tersebut mesti lompat berpindah ke pita konduksi
(conduction band). Antara pita valensi dan konduksi terdapat daerah yang dikenal
sebagai forbidden gap. Di daerah antara tersebut terdapat energi yang disebut
band-gap energy yang harus bisa diatasi oleh elektron-elektron. Band-gap energy
tersebut merupakan beda energi yang dimiliki oleh elektron di pita valensi dengan
yang dimiliki oleh elektron di pita konduksi. Selisih energi tersebut dinyatakan
dalam electron volt (eV) dan besarnya bervariasi antara satu material ke material
yang lain. Logam, yang merupakan penghantar listrik yang baik, mempunyai
banyak elektron dalam pita konduksi-nya. Sebaliknya bahan-bahan insolator
(band-gap energy > 3 eV), yang tidak mampu menghantarkan listrik, tidak
mempunyai elektron dalam pita tersebut.
Gambar 6.7. Efek fotovoltaik dalam semikonduktor
(www.intechopen.com dan solarpowerplanetearth.com)
Modul Ajar 6 – halaman 10
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Jika foton yang energinya lebih besar dibanding dengan band-gap energy
mengenai elektron dari semikonduktor n, maka elektron tersebut akan mampu
lepas dari pita valensi lompat ke pita konduksi. Di sel surya yang memanfaatkan
sambungan p-n, elektron bebas dari semikonduktor n yang telah berada di pita
konduksi tersebut dapat bergerak langsung ke arah semikonduktor p. Namun
demikian, muatan negatif di depletion zone sisi semikonduktor p menghalangi
elektron bebas tersebut. Jika sisi n dihubungkan dengan sisi p melalui sirkuit
eksternal, maka lewat sirkuit tersebut elektron bebas dapat mengalir dari sisi n
bergabung dengan lobang di sisi p. Terjadilah aliran listrik dalam sirkuit eksternal
tersebut.
Gambar 6.8. Konstruksi dasar sel surya dengan sirkuit eksternal (eco2solar.co.uk)
6.4.2. Karakter Listrik Sel Surya
Karakter listrik sel surya dapat ditinjau dari lima hal, yaitu
1. Hubungan antara arus dan tegangan listrik
2. Hubungan antara daya dan tegangan listrik
3. Pengaruh intensitas cahaya terhadap keluaran sel surya
4. Pengaruh suhu sel surya terhadap keluarannya
5. Pengaruh sudut insolasi terhadap keluaran sel surya
6. Energi harian yang dihasilkan sel surya
Modul Ajar 6 – halaman 11
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
6.4.2.1. Hubungan antara arus dan tegangan listrik
Hubungan antara arus dan tegangan listrik diekspresikan oleh kurva I – V.
Sel surya akan menghasilkan tegangan listrik DC jika dikenai oleh sinar matahari.
Sel surya yang tidak dihubungkan dengan beban melalui sirkuit eksternal pun
akan menghasilkan tegangan listrik. Tegangan listrik terukur yang dihasilkan
tersebut dikenal dengan nama tegangan sirkuit terbuka (open circuit voltage - Voc).
Dalam kondisi ini tidak ada arus listrik yang muncul (I = 0). Jika kutub + dan – sel
surya dihubungpendekkan, akan terdeteksi munculnya arus, yang disebut arus
sirkuit pendek (short circuit current – Isc). Dalam kondisi ini tidak timbul
tegangan listrik. Variabel Voc dan Isc merupakan dua titik ekstrem yang akan
dihubungkan oleh sebuah garis lengkung; kurva I - V. Kurva ini didapat dari titiktitik yang menggambarkan kondisi operasi terukur ketika sebuah sel surya yang
dihubungkan dengan sirkuit eksternal (yang disambungkan misalnya dengan
lampu, TV, atau lainnya) dikenai sinar matahari.
Gambar 6.9. Contoh kurva I – V (Zahoransky, 2004)
Modul Ajar 6 – halaman 12
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
6.4.2.2. Hubungan antara daya dan tegangan listrik
Karakteristik listrik sel surya yang kedua adalah hubungan antara arus dan
tegangan listrik, yang diekspresikan oleh kurva P – V. Kurva ini diperoleh dari
kurva I – V, dengan nilai variabel daya listrik P didapatkan dengan mengalikan
nilai variabel arus dan tegangan listrik. Dengan kurva P – V dapat dengan mudah
dikenali titik Maximum Power Point (MPP) yang mewakili kondisi ketika suatu
sel surya menghasilkan daya listrik terbesar. Kondisi ini biasa terjadi pada nilai
sekitar 0,85 – 0,95 Isc dan 0,75 – 0,9 Voc (Zahoransky, 2004).
Gambar 6.10. Contoh kurva I – V (Zahoransky, 2004)
6.4.2.3. Pengaruh intensitas cahaya terhadap keluaran sel surya
Kurva I – V yang khas untuk setiap sel surya dan biasa tertera pada
spesifikasi teknis sel tersebut berlaku ketika cahaya matahari mencapai intensitas
1000 W/m2 (= 100 MW/ cm2) dalam kondisi STC. Kurva tersebut akan berubah
jika intensitas matahari yang mengenai sel surya berubah. Bentuk kurva akan
relatif, hanya nilai besaran arus listrik pada setiap titik pada kurva yang naik turun
seiring dengan naik turunnya intensitas matahari.
Dari uraian dan gambar di atas dapat diketahui bahwa sel surya tetap terus
menghasilkan listrik, selemah apapun sinar matahari yang mengenainya. Tentu
Modul Ajar 6 – halaman 13
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
saja besar listrik yang listrik yang dihasilkan tersebut sebanding dengan kuat sinar
matahari. Fluktuasi tersebut tidak berlaku untuk tegangan listrik yang dihasilkan
oleh sel surya, yang besarnya bisa dikatakan praktis konstan.
Gambar 6.11. Pengaruh intensitas matahari terhadap kurva I – V
(Zahoransky, 2004)
6.4.2.4. Pengaruh suhu sel surya terhadap keluarannya
Suhu memberi pengaruh cukup signifikan terhadap kinerja sel surya. Gambar 6.12
memperlihatkan kenaikan suhu yang menurunkan kinerja sel surya.
Gambar 6.12. Pengaruh suhu sel surya terhadap kurva I – V (Zahoransky, 2004)
Modul Ajar 6 – halaman 14
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
6.4.3. Efisiensi
Di sini efisiensi didefinisikan sebagai ratio daya listrik yang dihasilkan sel
surya terhadap daya sinar matahari yang mengenai sel surya. Tingkat efisiensi
tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, yang secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua: faktor sifat bahan dan faktor teknologi pembuatan
sel surya.
Tabel 6.1. Berbagai Teknologi Sel Surya
Wafer-type
Wafer-type
Efisiensi maks di
lab (%)
24
19
Efisiensi modul
komersial (%)
13-15
12-14
Wafer-type
17
(8-11)
Thin-film
9
a-Si
Thin-film
13
6-9
CIGS
Thin-film
18
(8-11)
CdTe
Thin-film
16
(7-10)
Thin-film
11
Teknologi
Simbol
Sifat
Single crystal silicon
Multi-crystalline silicon
Crystalline silicon films
on ceramics
Crystalline silicon films
on glass
Amorphous silicon
(including silicongermanium tandems)
Copper-indium/
gallium-diselenide
Cadmium telluride
Organic cells (including
dyesensitised titanium
dioxide cells)
sc-Si
mc-Si
f-Si
High-efficiency tandem
cells
III-V
High-efficiency
III-V
Wafer-type
and thinfilm
Wafer-type
and thinfilm
30
33 (tandem)
28 (single)
Catatan: Angka di dalam kurung mewakili efisiensi pilot production pada produk komersial
perdana (sumber: UNDP, 2000)
Sebuah elektron milik suatu atom logam bisa menangkap foton dan
menyerap energi darinya. Hanya foton dengan energi yang sesuai yang betul-betul
bermanfaat untuk pembangkitan listrik. Jika energi yang didapat dari foton
tersebut lebih besar dibandingkan binding energy satu elektron suatu logam, maka
elektron tersebut akan melepaskan diri. Hal ini dapat terjadi jika frekuensi cahaya
Modul Ajar 6 – halaman 15
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
yang mengenai cukup tinggi atau panjang gelombangnya cukup rendah. Ingat
bahwa panjang gelombang berbanding terbalik dengan frekuensi.
Foton yang memiliki energi lebih kecil ketimbang band-gap energy tidak
akan mampu membuat elektron di pita valensi melompat ke pita konduksi. Dalam
kondisi ini energi akan “terbuang“. Sebaliknya, foton dengan energi yang lebih
besar dibanding band-gap energy akan melontarkan elektron ke pita konduksi.
Namun demikian, kelebihan energi (selisih antara energi foton dengan band-gap
energy) akan menjadi energi panas. Sementara itu, tidak seluruh foton dapat
diserap; sebagian darinya dipantulkan. Dari ketidaksesuaian ini saja (energi foton
lebih besar atau lebih kecil dari binding energy) efisiensi sel surya berkurang
hingga di bawah 50% (Bubenzer dan Luther, 2003).
Penurunan efisiensi terjadi pula akibat refleksi matahari pada permukaan sel
surya. Penurunan ini bisa direduksi dengan anti reflection (AR) coating.
Jika band-gap energy material sel surya yang dipilih bisa sesuai dengan
spektrum cahaya matahari yang mengenainya, maka akan didapat efisiensi yang
tinggi. Jika sinar matahari yang mengenai sel surya sebagian besar berada dalam
wilayah cahaya kuning-hijau yang berenergi sekitar 1,5 eV, misalnya, maka bahan
sel surya yang paling cocok adalah material yang mempunyai band-gap energy
sekitar 1,5 eV (lihat tabel 3.).
Tabel 6.2. Band Gap Berbagai Material (Goswami dkk., 2000)
Material
Si
SiC
CdAs2
CdTe
CdSe
CdS
CdSnO4
GaAs
GaP
Band gap
(eV)
1,11
2,60
1,00
1,44
1,74
2,42
2,90
1,40
2,24
Material
Cu2S
CuO
Cu2Se
CuInS2
CuInSe2
CuInTe2
InP
In2Te3
In2O3
Band gap
(eV)
1,80
2,00
1,40
1,50
1,01
0,90
1,27
1,20
2,80
Material
Zn2P2
ZnTe
ZnSe
AIP
AlSb
As2Se3
Sb2Se3
Ge
Se
Band gap
(eV)
1,60
2,20
2,60
2,43
1,63
1,60
1,20
0,67
1,60
Untuk mendapatkan sel surya dengan efisiensi lebih tinggi dari sel yang
memakai sambungan tunggal p-n tersedia alternatif lain, yaitu multi sambungan
Modul Ajar 6 – halaman 16
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
(multi-junction). Sel disusun dengan material yang mempunyai band-gap energy
lebih tinggi di posisi di atas. Contoh di gambar 3. a. mengilustrasikan multi
sambungan yang tersusun dari material A (yang dirancang secara optimal
memanfaatkan sinar energi matahari dengan panjang gelombang  A ) dan material
B (dirancang untuk sinar matahari dengan panjang gelombang  B ). Sinar matahari
dengan panjang gelombang  A yang mengenai material A sel surya akan
membangkitkan energi yang diwakili oleh daerah arsir A. Sinar matahari dengan
panjang gelombang lebih besar dari  A akan diteruskan ke material B dan
menghasilkan energi yang diwakili oleh daerah arsir B. Total energi listrik yang
dihasilkan oleh sel surya multi sambungan akan lebih besar dibanding yang
dihasilkan sel dengan sambungan tunggal. Artinya, sel surya multi sambungan
akan mempunyai efisiensi lebih tinggi, dan makin tinggi jika sambungannya
makin banyak.
Gambar 6.13. Ilustrasi multi sambungan (Yastrebova dkk., 2007)
6.4.4. Komponen Dasar
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa komponen dasar yang diperlukan
dalam pemanfaatan energi matahari dengan memanfaatkan fenomena fotovoltaik
adalah: Sel surya, Batterey, Inverter, dan Controller.
Modul Ajar 6 – halaman 17
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Gambar 6.14.. Komponen dasar sistem sel surya
6.4.4.1 Sel Surya
Susunan Sel Surya
Ketersediaan arus listrik ditentukan antara lain ditentukan oleh luas sel
surya. Pada dasarnya sel surya dapat dimanfaatkan dalam berbagai ukuran. Dalam
ukuran kecil sel surya dapat dimanfaatkan dalam jam tangan, misalnya.
Satu lempeng sel surya silikon mampu memproduksi sekitar 0,5 volt listrik.
Kemampuan sel tunggal tersebut terlalu kecil untuk menghasilkan listrik guna
menggerakkan aplikasi tertentu, misalnya sebuah rangkaian yang melibatkan
sistem penyimpanan dengan batterey yang membutuhkan listrik 12 volt. Oleh
sebab itu sejumlah sel, biasanya 36 buah, digabungkan menjadi sebuah modul (=
panel). Dalam praktek, rangkaian sel surya yang membentuk modul tersebut
mempunyai efisiensi lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi sel surya
tunggal. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh refleksi akibat lapisan kaca dan
rugi-rugi tahanan dalam sambungan antar sel.
Pemilihan antara sambungan seri dan pararel antar sel surya ditentukan oleh
kebutuhan listrik yang ada, yaitu pada sisi besaran tegangan dan arus.
Modul Ajar 6 – halaman 18
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Sambungan seri
Sambungan paralel
Modul
Ajar 6
Sambungan seri – paralel
Gambar 6.15. Jenis sambungan antar sel surya (Hanus, 2003)
Sama dengan penggabungan sejumlah sel surya tunggal, sesuai kebutuhan
sejumlah modul dapat disambung secara pararel untuk mendapatkan arus yang
lebih besar dan secara seri untuk mendapatkan tegangan yang lebih besar.
Gabungan sejumlah modul akan membentuk sebuah panel dan gabungan sejumlah
panel akan menyusun sebuh array.
Gambar 6.16. Susunan sel surya (www.samlexsolar.com)
6.4.4.2. Batterey
Batterey dipakai untuk menyimpan listrik yang akan dipakai ketika sinar
matahari kurang (misalnya hari mendung) atau tidak ada (misalnya malam).
Modul Ajar 6 – halaman 19
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Salah satu besaran yang mewakili karakter suatu batterey adalah depth of
discharge (DoD). Besaran ini menyatakan besarnya kapasitas batterey yang
diambil selama batterey dimanfaatkan. Kapasitas batterey biasa dinyatakan dalam
Ampere jam (Ah).
Sebagai contoh, sebuah batterey dengan voltage 12 V dan kapasitas 100 Ah
dapat menyimpan 12 V x 100 Ah = 1200 Wh. Jika DoD-nya adalah 75%, maka
energi yang dapat dimanfaatkan adalah 900 Wh, dengan kapasitas yang tersisa
sebesar 300 Wh / 12 V = 25 Ah. Jika sebuah alat membutuhkan energy 300 Wh,
maka batterey tersebut dapat memasok alat itu selama tiga jam terus-menerus.
Tabel 6.3. Kondisi Discharge Berbagai Jenis Batterey
Jenis Batterey
Automotive battery
Heavy-duty battery
Solar battery
High-quality battery
(sumber: Haars, 2002)
Max. discharge
30 - 50%
50 – 70%
60 – 80%
80%
Sejumlah batterey dapat dihubungkan satu dengan yang lainnya secara seri
maupun paralel. Hubungan seri dipilih untuk mendapatkan voltage yang lebih
tinggi, sedang paralel untuk meningkatkan total kapasitas.
6.4.4.3. Inverter
Listrik yang dihasilkan oleh PV dan yang disimpan oleh battery adalah
listrik DC. Sementara itu, pada banyak aplikasi dimana sistem PV akan
dimanfaatkan, misalnya pada rumah tangga, dibutuhkan listrik AC. Untuk
keadaan ini inverter dapat dimanfaatkan. Alat ini bertugas untuk merubah listrik
DC dengan tegangan rendah (12, 24, 32, 36, 48, 96, 120 volt) menjadi listrik AC
dengan tegangan yang lebih tinggi, semisal 110 atau 220 volt. Efisiensi inverter
ini berkisar antara 0,80 hingga 0,95.
Modul Ajar 6 – halaman 20
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Gelombang output inverter: gelombang kotak, modified sinus wave atau
pure sinus wave. Inverter yang digunakan adalah inverter dengan kapasitas
tergantung dari kapasitas daya modul surya dengan tegangan keluaran AC 220
Volt. Biasa dipakai untuk sistem dengan panel surya lebih dari 400 Wp.
6.4.4.4. Controller
Berfungsi untuk: a) Charging mode: Mengisi baterai (kapan baterai diisi,
menjaga pengisian kalau baterai penuh) dan b) Operation mode: Penggunaan
baterai ke beban (pelayanan baterai ke beban diputus kalau baterai sudah mulai
'kosong').
Artinya alat pengatur ini merupakan perangkat elektronik yang mengatur
aliran listrik dari modul surya ke baterai dan aliran listrik dari baterai ke peralatan
listrik inverter. Change-discharge controller melindungi baterai dari pengisian
berlebihan dan melindungi dari pengiriman muatan arus berlebihan ke input
terminal. Selain itu, BCR juga mempunyai beberapa indikator yang akan
memberikan kemudahan kepada pengguna PLTS dengan memberikan informasi
mengenai kondisi baterai sehingga pengguna PLTS dapat mengendalikan
konsumsi energi menurut ketersediaan listrik yang terdapat didalam baterai.
Dalam pemilihan BCR perlu diperhatikan bahwa: 1) arus maksimal input
(pengisian baterai) lebih rendah dibandingkan arus input maksimal BCR, 2) arus
output (ke beban) lebih rendah daripada arus output maksimal BCR, 3) tegangan
kerja sesuai dengan yang diinginkan pada sistem (12V, 24V atau 48V).
6.4.4.5. Skema Sambungan
Secara garis besar, pemanfaatan sel surya dapat dilakukan dalam tiga
skema: on-grid, off-grid (dikenal pula sebagai stand alone) dan hibrid. Dalam
skema on-grid, aplikasi PV dihubungkan pula dengan jaringan listrik lokal,
semisal PLN. Skema ini memanfaatkan inverter untuk merubah listrik DC yang
dihasilkan sel surya menjadi listrik AC yang sesuai dengan jaringan listrik lokal.
Modul Ajar 6 – halaman 21
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Selain itu dipakai pula instrumen lainnya yang bisa mengatasi ketidakstabilan
dalam koneksi jaringan.
Hubungan dengan jaringan lokal tidak dijumpai dalam cara off-grid. Skema
kedua ini biasanya memanfaatkan batterey untuk menyimpan listrik jika sewaktuwaktu diperlukan padahal produksi listrik oleh sel surya tidak lagi mencukupi atau
tidak lagi didapatkan (misalnya ketika malam hari). Dengan skema off-grid listrik
DC yang diproduksi sel surya dapat langsung dipakai atau juga diubah dulu
menjadi listrik AC.
Skema ketiga adalah hibrid dimana pemanfaatan sel surya digabungkan
dengan moda pembangkit listrik lain, semisal biomassa, turbin angin, atau diesel
untuk lebih menjamin stabilitas pasokan listrik. Skema hibrid ini bisa dilakukan
baik secara on-grid maupun off-grid.
Secara garis besar, perancangan sistem mengikuti langkah sebagai berikut
Tabel 6.4. Garis Besar Tahap Perancangan PLTS
Tahap
Penentuan
kebutuhan
energi
harian
(Wb
dalam
watt-jam)
Penentuan
kapasitas panel
surya (Pp)
Penentuan
kapasitas baterai
Keterangan
Diperlukan inventarisasi beban yang harus dilayani sistem. Ini
dilakukan dengan memperhitungkan seluruh jenis peralatan
listrik, daya yang diperlukan dan perkiraan waktu pemakaian
(jam) tiap harinya. Ditambahkan nilai cadangan sekitar 20%
antara lain untuk mengantisipasi loses, cuaca dan lainnya.
Misal dalam laporan ini didapat Wb = 450 watt-jam per
harinya.
Langkah ini memperhatikan kerja optimal sel surya sepanjang
4 jam perharinya dan cadangan 20%.
Contoh:
Wb = 450 watt-jam
Pp (watt) = (Wb (watt-jam)/4 jam)/0,8
Pp = (450/4)/0,8 = 140,625 watt. Untuk kasus ini dapat dipakai
3 keping sel surya masing-masing 50 Wp
Contoh:
Wb = eff x b(Ah) x v
Dengan Wb = 450 watt-jam, eff = 0,8 (memperhitungkan
cadangan tambahan beban 20%) dan tegangan baterai 12v,
maka didapat
450 = 0,8.b.12
Modul Ajar 6 – halaman 22
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
b = 46,875 Ah
Artinya, untuk sistem ini diperlukan baterai kapasitas
penyimpanan minimal sebesar 46,875 Ah.
Jika dipilih shallow cycle battery (SCB) dengan DoD 20%,
maka kapasitas yang dibutuhkan adalah 46,875 Ah/20% =
234,375 Ah.
Jika dipilih deep cycle batterey (DCB) dengan DoD 50%, maka
kapasitas yang dibutuhkan adalah 46,875 Ah/50% = 93,75 Ah.
Penentuan
kapasitas BCR
Kapasitas yang dibutuhkan tersebut bisa dipenuhi oleh lebih
dari satu baterai dengan variasi kapasitas (dan juga jenis) yang
tersedia di pasar.
Contoh:
Dibutuhkan tiga keping panel 50 Wp dengan tegangan masingmasing panel 16 v (khas untuk tiap jenis/merk panel surya).
Untuk itu didapatkan arus 150 watt/16 v = 9,375 A (Im). Untuk
perhitungan arus input maksimal, dipakai angka keamanan
sekitar 50% sehingga didapatkan Im max = 1,5 x Im = 14,0625
A, dengan pembulatan menjadi 15 A.
Untuk contoh kasus ini bisa diambil kondisi yang biasa terjadi,
yaitu kebutuhan arus output maksimal (Ik max) lebih kecil atau
sama dengan arus input maksimal sehingga bisa dipakai BCR
dengan Im max = Ik max = 15 A.
Tugas Latihan 6
1.
Carilah data suatu lokasi di Indonesia. Berdasar data tersebut lakukan
identifikasi sederhana potensi pemanfaatan sumber energi matahari (nyatakan
sebisa mungkin potensi pemanfaatan tersebut dalam satuan kW dan kWh).
2.
Susunlah tahap pengembangan pemanfaatan energi matahari di lokasi yang
dipilih di nomor 1 di atas.
3.
Sajikan gambar layout instalasi pemanfaatan energi matahari yang bisa
dibangun di lokasi yang dipilih di nomor 1 di atas. Sebutkan nama dan fungsi
bagian-bagian penting dalam instalasi tersebut.
Modul Ajar 6 – halaman 23
Pengantar Teknologi Energi Terbarukan
Modul
Ajar 6
Daftar Pustaka - Materi Pengayaan
Bubenzer, A. and Luther, J. (eds.), 2003, Photovoltaics Guidebook for Decision Makers,
Springer, Berlin
Goswami, D.Y., Kreith, F., dan Kreider, J.F., 2000, Principles of Solar Engineering, ed. 2,
Taylor & Francis, Philadelphia
Haars, K., 2002, Electricity from sunlight, GTZ-Gate, Eschborn
Hanus, B., 2003, Spass & Spiel mit der Solartechnik, Franzis Verlag, Poing
Kaygusuz, K., 2011, Prospect of concentrating solar power in Turkey: The sustainable
future, Jour. Of Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15 (2011) 808–814
Lenzen, M., 2009, Current state of development of electricity-generating technologies,
The University of Sydney
Quaschning, V. dan Muriel, M.B., 2001, Solar Power – Photovoltaics or Solar Thermal
Power Plants?, Proc. Of VGB Congress Power Plants 2001, Brussels
Sharma, A., 2011, A comprehensive study of solar power in India and World, Jour. Of
Renewable and Sustainable Energy Reviews, No. 15 (2011), hlm. 1767–1776
Staab, J., 2001, Solare Energien; Realitaet und Aussichten, Shaker Verlag, Aachen
UNDP, 2000, Renewable Energy Technologies, World energy Assessment: Energy and
Challenges of Sustainability 2000, UNDP Report
Wright, M. dan Hearps, P., 2010, Australian Sustainable Energy: Zero Carbon Australia
Stationary Energy Plan, The University of Melbourne Energy Research Institute,
Carlton
Zahoransky, R.A., 2004, Energietechnik, 2. Auf., Vieweg & Sohn Verlag, Wiesbaden
Modul Ajar 6 – halaman 24
Download