Analisis Pemanfaatan Pinjaman Dalam Negeri Untuk

advertisement
Ringkasan
ANALISIS PEMANFAATAN PINJAMAN DALAM NEGERI
UNTUK MEMBIAYAI KEGIATAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Direktorat Perencanaan dan Pengembangan Pendanaan Pembangunan
Abstraksi
Pemanfaatan Pinjaman Dalam Negeri (PDN) sampai saat ini masih terbatas pada kegiatan
yang difokuskan pada peningkatan infrastruktur dan industri di bidang pertahanan dan
keamanan. Oleh karena itu, diperlukan suatu telaahan mengenai pemanfaatan potensi PDN
untuk diperluas pemanfaatannya dalam mendukung pembangunan infrastruktur secara umum
dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan yang ada.
Kajian ini menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan data sekunder dan data
primer. Metoda pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka (desk study),
sedangkan data primer dilakukan dengan diskusi Tim Penyusun Rekomendasi Kebijakan
(TPRK), Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion/FGD), studi lapangan,
wawancara, dan seminar (workshop).
Cakupan analisis yang dilakukan meliputi: (i) tinjauan regulasi dan kebijakan yang terkait
dengan PDN dalam RPJMN 2010-2014, Peraturan Pemerintah No 54 Tanun 2008, dan
Permen PPN No 1 Tahun 2009, (ii) analisis potensi, kapasitas dan tantangan perbankan
BUMN dalam mendukung kegiatan PDN, (iii) identifikasi karakteristik kegiatan infrastruktur
yang dapat dibiayai PDN serta gambaran kesiapan Kementerian/Lembaga dalam
melaksanakan kegiatan PDN.
Kajian ini merekomendasikan bahwa potensi dan kapasitas pendanaan perbankan BUMN
masih memungkinkan untuk mendukung kegiatan PDN sehingga perlu ditindaklanjuti oleh
pemerintah dengan melakukan penyempurnaan dan penyiapan perencanaan PDN yang lebih
baik. Namun demikinan, pemanfaatan potensi perbankan dalam membiayai kegiatan PDN
perlu dilakukan secara bertahap dan terukur untuk menghindari potensi crowding out effect
dan permasalahan likuiditas perbankan karena adanya funding mismatch antara sumber
pendanaan. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan sosialisasi PDN kepada institusi yang
terlibat dalam PDN serta melakukan upaya penguatan koordinasi antara pihak-pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan PDN.
I.
Latar Belakang
Untuk mencapai visi pembangunan nasional tahun 2005-2025 yakni Indonesia yang mandiri,
maju, adil, dan makmur, pemerintah menetapkan strategi untuk melaksanakan visi tersebut
yang dijabarkan secara bertahap dalam periode lima tahunan atau RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional).
Dalam melaksanakan sebelas program prioritas, pemerintah melakukan optimalisasi
pendanaan pembangunan baik sumber pendanaan yang berasal dari pemerintah (APBN)
1
maupun swasta (non- APBN). Sampai saat ini pajak masih merupakan sumber penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbesar, namun demikian masih
diperlukan sumber pembiayaan lain untuk mencapai seluruh sasaran pembangunan. Untuk itu
diperlukan sumber pembiayaan lain, baik melalui pembiayaan luar negeri seperti Pinjaman
Luar Negeri maupun pembiayaan domestik seperti penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)
dan Pinjaman Dalam Negeri (PDN).
PDN merupakan sumber pembiayaan pemerintah dalam bentuk pinjaman yang berasal dari
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Perusahaan Daerah.
Pemanfaatan PDN dilaksanakan dalam rangka meningkatkan industri dalam negeri dan
mengurangi ketergantungan dari pinjaman luar negeri. Sejauh ini pembiayaan pemerintah yang
bersumber dari PDN masih terbatas pemanfaatannya. Periode 2010-2014 pemanfaatan PDN
diutamakan untuk membiayai kegiatan Kementerian/Lembaga (K/L) tertentu dalam rangka
pemberdayaan industri dalam negeri melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini dilakukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan
pembiayaan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) dan alat utama Polri (Alut Polri). Oleh
karena itu pemanfaatan PDN perlu diperluas bukan hanya untuk Kementerian Pertahanan dan
Keamanan, namun juga untuk Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya.
Sesuai dengan PP 54 Tahun 2008 dan Permen PPN No 1 Tahun 2009, sumber PDN dapat
berasal dari Pemerintah Daerah, BUMN, dan Perusahaan Daerah, sedangkan ruang lingkup
pemanfaatan PDN ditujukan untuk Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, dan
Perusahaan Daerah untuk kegiatan investasi dan pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu,
sebagai upaya optimalisasi pelaksanaan PDN, perlu dilakukan kajian pemanfaatan PDN untuk
membiayai kegiatan infrastruktur secara luas dengan memanfaatkan sumber pendanaan yang
berasal dari perbankan BUMN.
II.
Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah melakukan analisis optimalisasi pemanfaatan PDN yang
bersumber dari perbankan BUMN untuk membiayai pembangunan nasional di bidang
infrastruktur secara lebih luas yang tidak terbatas pada kegiatan yang berkaitan dengan bidang
pertahanan dan keamanan (alutsista).
III. Metodologi
3.1 Sumber Data
Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder.
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam kajian ini merupakan data yang diperoleh langsung
dari narasumber, yakni melalui diskusi/seminar, FGD, kuisioner, dan wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam kajian ini merupakan data yang diperoleh melalui metoda
kepustakaan berupa studi literatur mengenai pemanfaatan pinjaman dalam negeri,
peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah saat ini, kondisi perbankan
nasional, dukungan industri dalam negeri dalam menyokong kegiatan infrastruktur.
2
3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam kajian ini dilakukan dengan cara :
a. Studi literatur
Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan pemahaman akan regulasi terkait dengan
PDN, kondisi PDN saat ini, potensi dan kapasitas perbankan BUMN, dan literatur lain
terkait dengan kegiatan PDN;
b. Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan narasumber yang kompeten
guna membahas berbagai alternatif rumusan kebijakan, diantaranya dengan akademisi,
pejabat terkait, perbankan, dan industri dalam negeri;
c. Wawancara mendalam (in-depth interview)
Metode wawancara dilaksanakan untuk menggali informasi yang lebih detail dan
mendalam dari output yang diinginkan. Format wawancara mendalam disiapkan
dengan mengacu pada poin-point pertanyaan yang membutuhkan pendalaman,
verifikasi, dan pendapat dari responden. Tujuan dari wawancara mendalam adalah
menggali potensi pemanfaatan PDN untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan
pendanaan kegiatan infrastruktur di daerah;
d. Diskusi TPRK
Diskusi dengan Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan (TPRK) dilakukan untuk
membahas perkembangan kajian serta merumuskan kajian;
e. Workshop
Workshop dilakukan untuk mendapatkan masukan mengenai optimalisasi PDN untuk
kegiatan infrastruktur secara luas, yang mencakup: pendanaan PDN melalui perbankan
BUMN, kesiapan Kementerian/Lembaga dalam menjalankan PDN dan identifikasi
kapasitas industri dalam negeri dalam mendukung infrastruktur.
IV. Hasil Kajian dan Analisis
Bedasarkan PP Nomor 54 Tahun 2008, PDN digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu
K/L, Pemda, dan BUMN. Dalam PP tersebut juga menyebutkan bahwa sumber pendanaan
PDN berasal dari Pemda, BUMN, dan Perusahaan Daerah. Kondisi saat ini sebagaimana
tertuang dalam Rencana Kegiatan Pinjaman Dalam Negeri (RKPDN), PDN bersumber dari
perbankan yang pemanfaatannya diuatanakan untuk membiayai kegiatan K/L untuk bidang
pertahanan dan keamanan, yakni pemenuhan alat utama sistem pertahanan dan keamanan.
PDN dilakukan atas dasar kebutuhan pembiayaan yang semakin meningkat dan mendorong
pemberdayaan BUMN strategis. Upaya peningkatan kapasitas PDN perlu ditingkatkan untuk
membiayai kegiatan pemerintah lainnya dalam mendukung kegiatan pembangunan nasional
RPJMN, yang salah satunya kegiatan infrastruktur. Sesuai dengan ruang lingkup kajian dalam
Bab I, Analisis Pemanfaatan PDN mencakup: (i) tinjauan regulasi dan kebijakan PDN, (ii)
identifikasi sumber dan potensi PDN, dan (iii) identifikasi kapasitas industri dalam negeri, dan
(iv) identifikasi karakteristik kegiatan PDN di bidang infrastruktur dan kesiapan
Kementerian/Lembaga dalam mengelola kegiatan PDN.
4.1 Identifikasi Sumber dan Potensi Perbankan dalam Membiayai Kegiatan PDN
3
4.3.1
Gambaran Umum Perbankan Nasional
Bank dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 didefisinikan sebagai badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan perbankan adalah segala sesuatu
yang menyangkut bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan di Indonesia berfungsi sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat yang bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah peningkatan taraf hidup
rakyat banyak1.
Perbankan di Indonesia berdasarkan sifat kegiatannya dibagi menjadi dua kelompok,
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Secara umum, Bank Umum
mempunyai kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat yang berbentuk
tabungan dan giro, memberikan kredit kepada masyarakat, serta menjalankan lalu lintas
pembayaran. Sedangkan BPR, mempunyai wewenang yang lebih sempit dibandingkan
bank umum, yaitu melakukan kegiatan seperti yang dilakukan bank umum namun tidak
dapat mengeluarkan giro dan terlibat dalam lalu lintas pembayaran. Saat ini, Indonesia
memiliki 120 bank umum yang diantaranya terdapat Bank Pemerintah atau yang biasa
disebut Bank BUMN. Bank BUMN tersebut adalah PT. Bank Mandiri, PT. Bank Rakyat
Indonesia (BRI), PT. Bank Negara Indonesia (BNI), dan PT. Bank Tabungan Negara
(BTN).
4.3.2
Kemampuan Bank BUMN dalam Memberikan Pinjaman Dalam Negeri
Bank BUMN di Indonesia mempuyai kapasitas pendanaan yang cukup tinggi dengan nilai
aset yang mencapai lebih dari 30 persen dari total aset Perbankan Nasional. Secara
nominal, total aset perbankan BUMN per September 2012 mencapai Rp. 1.388 triliun.
Kapasitas yang besar tersebut sangat berpotensi sebagai sumber pembiayaan untuk
kegiatan PDN. Namun terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut mengenai
peluang Perbankan BUMN dalam membiayai PDN dari sisi regulasi, kegiatan usaha
Perbankan BUMN dan kinerja Perbankan BUMN.
4.1.2.1 Peraturan Kredit Perbankan
Peraturan Perbankan saat ini telah mampu memberikan insentif dan kelonggaran
dalam memberikan pembiayaan pada kegiatan pembangunan pemerintah, antara
lain:
a. Surat Edaran Bank Indonesia No.13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 perihal
Pedoman Perhitungan Aset Terimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko
dengan Menggunakan Pendekatan Standar
Resiko kredit adalah risiko kerugian akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko kredit mencakup risiko kredit
1
Institusi Perbankan Indonesia, Bank Indonesia.
4
akibat kegagalan debitur, Risiko kredit akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty credit risk) dan risiko kredit akibat kegagalan setelmen
(settlement risk). Bobot risiko pemberian pinjaman/kredit bagi pemerintah pusat
Republik Indonesia, Bank Indonesia, serta badan-badan dan lembaga-lembaga
pemerintah lainnya yang seluruh dana operasionalnya dari APBN digolongkan
pada kategori portofolio “Tagihan Kepada Pemerintah” baik berbentuk rupiah
maupun valuta asing dengan bobot resiko “0” persen.
b. Peraturan Bank Indonesia No.8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit (BMPK)
BMPK adalah upaya BI dalam rangka mengurangi potensi kegagalan bank
sebagai akibat dari konsentrasi penyediaan dana yang menyebabkan bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melakukan penyebaran
dan diversifikasi portofolio penyediaan dana terutama pembatasan penyediaan
dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait sebesar
persentase tertentu dari modal bank. Dalam peraturan BI tersebut, Bank
dilarang untuk memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran
batas maksimum pemberian kredit. Selain itu, bank wajib menerapkan
manajemen risiko kredit yang lebih prudent kepada pihak terkait maupun
peminjam atau kelompok peminjam yang memiliki eksposur besar (large
exposure). Peraturan tersebut mengatur tentang penyediaan dana kepada
pemerintah pusat atau daerah yang dijamin oleh pemerintah Indonesia
dikecualikan dari perhitungan BMPK sedangkan penyediaan dana kepada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk tujuan pembangunan ditetapkan
maksimum 30% dari modal maksimum dan BMPK unutk non BUMN
maksimal 20% untuk individu/korporasi dan maksimal 25% untuk
grup/kelompok.
4.1.2.2 Kegiatan Usaha Perbankan BUMN
Kegiatan usaha perbankan dapat dilihat dari berbagai sumber dana yang diperoleh
untuk menjalankan usahanya dan jenis penyaluran dana yang dilakukan bank.
Dalam tabel berikut dapat dilihat kegiatan usaha Perbankan BUMN dari tahun
2006 sampai September 2012:
Tabel 1. Kegiatan Usaha Perbankan BUMN (dalam Miliar Rupiah)
Indikator
Penyaluran Dana
a. Kredit
b. Antar Bank
c. Penempatan di BI
d. Surat Berharga
e. Penyertaan
f.
Tagihan Lainnya
Sumber Dana
2006
287.910
47.679
101.745
11.093
2.872
10.331
2007
2008
356.151
41.287
151.828
29.617
1.922
10.372
470.665
62.023
114.991
28.742
1.842
14.258
2009
2010
544.870
99.401
135.860
35.425
2.000
13.796
642.718
72.226
202.565
43.648
2.261
13.820
2011
776.833
69.082
270.822
54.241
2.874
21.595
Sep 2012
888.985
56.709
171.400
186.315
6.294
43.891
5
a. DPK
480.394
571.008
669.827 783.384 898.405
b. Kewajiban kpd BI
6.493
5.881
5.446
4.409
4.222
c. Antar Bank
33.422
41.998
52.023
45.539
32.571
d. Surat Berharga
9.379
9.259
5.631
5.043
5.813
e. Pinjaman yang Diterima
6.750
6.714
3.880
15.886
18.096
f.
Kewajiban Lainnya
5.366
7.578
7.174
7.324
6.873
g. Setoran Jaminan
1.645
2.391
2.838
3.401
2.341
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia edisi September 2012, Bank Indonesia.
1.039.257
4.034
61.386
6.085
12.453
10.376
2.615
1.060.300
1.594
34.823
11.869
34.567
21.272
2.390
Apabila dilihat dalam tabel tersebut, secara nominal terjadi peningkatan yang
cukup signifikan baik dari sumber dananya maupun penyaluran dana yang
dilakukan oleh Perbankan BUMN. Dalam kurun waktu 2006 sampai dengan Bulan
September 2012 Dana Pihak Ketiga (DPK) dan Kredit mengalami peningkatan
hampir 3 kali lipat. Apabila dilihat lebih detail lagi, menurut catatan Bank
Indonesia sebagian besar DPK berasal dari Tabungan dan Deposito dalam bentuk
rupiah. Tabungan dan deposito memiliki likuiditas yang tinggi dan memiliki
jangka waktu simpanan yang lebih pendek. Secara alami, hal ini merupakan suatu
kendala apabila dana ini akan dipergunakan dalan jangka panjang, seperti
pembangunan infrastruktur dalam kerangka Pinjaman Dalam Negeri. Namun
demikian, pengelolaan portofolio dan manajemen perbankan yang tepat,
memungkinkan pembiayaan jangka panjang melalui sumber pendanaan DPK tetap
dapat dilakukan, seperti alokasi kredit jangka pendek dan jangka panjang yang
tepat dengan mempertimbangkan likuiditas perbankan, memperpanjang jangka
waktu deposito yang ditawarkan dengan imbal balik yang menarik, dan
peningkatan loyalitas nasabah. Di sisi lain, sumber dana jangka panjang seperti
surat berharga di Perbankan BUMN masih sangat kecil proporsinya.
Dalam hal penyaluran dana, perbankan BUMN melakukan aktivitas usahanya
sebagian besar disalurkan dalam bentuk kredit yang mencapai sekitar 70 persen
dari total dana yang disalurkan. Berdasarkan penggunaannya, kredit dapat
disalurkan sebagai kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi.
Perkembangan kredit perbankan BUMN dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Kredit Perbankan BUMN Berdasarkan Jenis Penggunaan
(dalam Miliar Rupiah)
Sektor Ekonomi
1.
2.
Total Modal Kerja
Total Investasi
3.
Total Konsumsi
2006
2007
2008
2009
2010
148.675
62.928
188.052
73.733
249.782
96.237
269.867
118.994
333.006
113.896
407.101
135.196
76.307
94.366
124.646
156.009
195.816
234.535
Total
287.910 356.151 470.665 544.870 642.718
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia edisi September 2012, Bank Indonesia.
2011
776.833
Sep 2012
461.110
160.698
267.177
888.985
Dapat kita lihat dalam tabel bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011,
kredit modal kerja memiliki proporsi yang paling besar diantara pemberian kredit
jenis yang lain. Hal yang menarik dalam perkembangan kredit tersebut adalah
6
peningkatan kredit untuk konsumsi yang mengalami kenaikan yang signifikan dari
sekitar Rp 76 triliun pada tahun 2006 menjadi sekitar Rp 235 triliun di tahun 2011.
Sebaliknya dalam kasus kredit investasi hanya mengalami kenaikan yang moderat
dari Rp 63 triliun menjadi sekitar Rp 135 triliun di tahun 2011. Secara kualitas,
penyaluran kredit untuk sektor konsumsi dinilai kurang produktif meskipun
memberikan dapat tidak langsung terhadap perekonomian melalu meningkatnya
permintaan akan barang atau jasa yang dihasilkan dari dunia usaha. Terdapat
dampak negatif apabila terjadi over kredit konsumsi yang mengakibatkan beban
debitor semakin tinggi dalam membayar pinjaman karena kegiatan produktif yang
dihasilkan tidak mampu menutup dana pinjaman yang telah dibelanjakan.
Perbankan diharapkan dapat melakukan ekspansi kredit untuk digunakan sebagai
modal kerja maupun investasi yang secara langsung berkontribusi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, apabila alokasi kerdit diberikan pada kegiatan PDN yang
memiliki kegiatan yang bersifat investasi, hal ini akan meningkatkan kualitas
kredit perbankan yang diberikan dengan meningkatnya proporsi kredit investasi
yang diberikan.
Tabel 3. Kredit Bank Persero Bedasarkan Sektor Ekonomi
(dalam Miliar Rupiah)
2006
2007
25.993
2. Pertambangan
3. Perindustrian
1. Pertanian,
Perburuan
dan Sarana Pertanian
4. Listrik, gas dan Air
5. Konstruksi
6.Perdagangan,
dan hotel
restoran,
7.Pengangkutan,
pergudangan,
komunikasi
2009
2010
2011
Sep
2012
31.275
38.451
47.095
49.474
66.319
79.622
4.961
11.288
15.473
18.124
26.462
35.009
33.078
72.736
74.594
98.878
94.201
94.975
5.221
4.762
12.702
15.175
17.816
20.762
37.726
13.966
17.325
23.178
25.792
20.541
27.728
36.837
62.439
86.775
103.680
131.454
114.607
8.113
13.857
22.880
28.517
27.076
33.704
38.091
12.604
16.340
25.356
23.227
24.761
38.442
47.246
4.429
4.371
3.345
3.772
9.341
14.327
12.359
77.450
95.564
126.723
157.513
257.664
109.948 133.233
134.335 165.922
dan
8. Jasa Dunia Usaha
9.Jasa Sosial Masyarakat
10. Lain-lain
2008
296.259 304.750
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia edisi September 2012, Bank Indonesia.
7
Tabel 4.4 diatas menjelaskan kredit bank persero berdasarkan sektor ekonomi.
Penyaluran kredit terbesar adalah pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta
sektor industri. Besarnya penyaluran pada sektor ini dikarenakan memiliki resiko
lebih kecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya serta memiliki potensi imbal
balik yang tinggi dalam jangka pendek. Penyaluran dana perbankan pada sektor
konstruksi dan pembangunan fasilitas energi listrik, gas dan air masih kecil
proporsinya, hal ini dikarenakan pada sektor tersebut lebih bersifat jangka panjang
sehingga perbankan memiliki permasalahan mismatch antara sumber pendanaan
jangka pendek dengan alokasi penyaluran kredit pada sektor yang jangka panjang.
4.1.2.3 Kinerja Perbankan BUMN
Kinerja perbankan BUMN sebagai lembaga intermediary dapat dilihat dari beberapa
indikator diantaranya adalah; (i) indikator kecukupan modal yang ditunjukkan dalam
rasio kecukupan modal (Capital Adequate Ratio/CAR), (ii) Indikator rentabilitas
yang menunjukkan tingkat profitabilitas perbankan yang dapat dilihat dari Return On
Asset (ROA) dan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO),
dan (iii) tingkat likuiditas yang salah satunya dapat dilihat dari indikator Loan to
Deposit Ratio (LDR):
Tabel 4. Kinerja Bank Persero (BUMN)
(Dalam Miliar Rupiah)
Indikator
CAR* (%)
• Modal
• ATMR
Rentabilitas
2010
5,36
32.854
83.075
2011
15,04
132.854
883.075
Sep 2012
16.61
163.076
981.974
ROA (%)
2,22
2,76
2,72
2,71
3,08
- Laba
12.776
17.887
19.979
23.258
30.003
- total aset
574.323
647.872 734.720
858.353
975.505
• BOPO (%)
97,05
90,68
89,92
92,35
88,23
- Biaya
72.383
67.776
77.148
94.645
105.127
Operasional
- Pendapatan
74.585
74.745
85.799
102.480
119.152
Operasional
Likuiditas
• LDR (%)
59,93
62,37
70,27
69,55
71,54
- Kredit
287.910
356.151 470.665
544.870
642.718
- Dana Pihak
480.394
571.008 669.827
783.384
898.405
Ketiga
*) Mulai Tahun 2010, perhitungan CAR memasukkan Risiko Operasional
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia edisi September 2012, Bank Indonesia
3,60
41.513
1.153.494
91,94
134.247
3.71
49.159
1.326.552
71.27
87.688
146.022
123.033
74,75
776.833
1.039.257
83.84
888.985
1.060.300
•
2006
21,20
62.577
295.153
2007
17,85
67.263
376.844
2008
14,31
68.757
480.330
2009
13,81
101.472
660.561
CAR Perbankan BUMN sejak tahun 2006 sampai dengan Bulan September 2012
memiliki rasio jauh di atas 8 persen, bahkan hampir semuanya di atas 14 persen,
kecuali untuk tahun 2009. Tingginya nilai CAR ini mengindikasikan bahwa
8
perbankan BUMN memiliki kemampuan untuk menutup risiko atau kerugian
akibat dari aktivitas yang dilakukan. Selain itu, besarnya nilai CAR ini
menunjukkan bahwa bobot aset yang berisiko (ATMR) yang dimiliki perbankan
BUMN masih relatif kecil dan terkendali. Apabila perbankan BUMN melakukan
pemberian pinjaman kepada pemerintah dalam bentuk PDN, maka nilai CAR ini
tidak terpengaruh, karena sesuai dengan aturan Bank Indonesia bahwa pinjaman
kepada Pemerintah tidak diperhitungkan dalam ATMR, sehingga nilai ATMR
tidak berubah dan nilai CAR juga tidak berubah dengan asumsi faktor lain tetap.
Kinerja pebankan BUMN dalam hal rentabilitas untuk mendapatkan profit dari
aktivitasnya terlihat semakin membaik dalam kurun waktu tahun 2006 sampai
dengan September 2012, laba yang dihasilkan dari total aset yang dimiliki
meningkat dari 2,2 persen menjadi 3,71 persen. Di sisi lain, BOPO yang
menunjukkan bahwa efisiensi dan efektivitas aktivitas perbankan BUMN masih
berada pada kisaran 90 persen dalam kurun waktu 2011 sampai dengan 2006,
namun peningkatan efisiensi dan efektivitas operasional perbankan BUMN cukup
signifikan di tahun 2012 dengan penurunan BOPO hingga mencapai 71,27 persen
pada Bulan September 2012.
Kinerja perbankan BUMN dari sisi likuiditas ditunjukkan dengan besarnya rasio
loan to deposit ratio (LDR) yang menunjukkan rasio kredit yang diberikan kepada
pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada Bank
lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito
dalam rupiah dan valuta asing. Sesuai peraturan bank indonesia nomor 12 tahun
2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam
Rupiah dan Valuta Asing bahwa Bank Indonesia menetapkan LDR Target bawah
sebesar 78 persen dan LDR Target atas sebesar 100 persen.
Dari kinerja perbankan BUMN sejak tahun 2006 sampai dengan September 2012,
LDR perbankan BUMN secara rata-rata masih di bawah LDR target yang
ditetapkan Bank Indonesia, kecuali LDR per bulan September 2012. Oleh karena
itu, perlu perbankan BUMN perlu meningkatkan LDR-nya terutama dalam
meningkatkan fungsi intermediary untuk meningkatkan perekonomian nasional.
Apabila dilihat dari gap LDR perbankan BUMN dengan LDR target atas, maka
masih terdapat gap sekitar 20 persen dari total dana pihak ketiga yang berpotensi
untuk disalurkan yaitu hampir mencapai Rp.200 triliun. Dalam hal ini, terlihat
bahwa potensi dana untuk kegiatan Pemerintah dalam rangka PDN masih cukup
tersedia.
4.3.3
Terms and Condition
Pinjaman kepada pemerintah memiliki beberapa perbedanaan dengan pinjaman yang
diberikan pada sektor swasta, hal inilah yang mempengaruhi term and condition yang
diberikan perbankan BUMN kepada pemerintah. Kredit kepada pemerintah melalui PDN
dinilai sebagai kredit tanpa risiko pengembalian (zero refinancing risk) karena
pembayaran dijamin oleh pemerintah. Sesuai dengan prinsip pemberian kredit yang
menyatakan bahwa semakin kecil kredit maka semakin kecil bunga yang dibebankan
9
kepada kreditur. Oleh karena itu, pemberian kredit bagi pemerintah melalui PDN akan
dikenakan biaya dan bunga yang lebih rendah dibawah tingkat bunga yang diberikan pada
entitas bisnis (swasta) walaupun masih tergolong sebagai kredit komersial.
Selain itu, kegiatan PDN menggunakan mata uang rupiah dalam pembiayaannya sehingga
dapat menjadi nilai tambah dalam kegiatan PDN karena dengan menggunakan mata uang
rupiah akan mengurangi risiko nilai tukar. Hal ini menjadi lebih penting apabila belanja
PDN diarahkan pada produk dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri.
4.3.4
Tantangan Pemanfaatan Dana Perbankan bagi Kegiatan PDN
Beberapa data terkait dengan aset, kegiatan usaha dan kinerja perbankan BUMN
menunjukkan bahwa terdapat kapasitas dan potensi yang cukup besar dalam perbankan
BUMN dalam mendukung kegiatan PDN. Namun demikian terdapat beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian dalam penyaluran dana perbankan tersebut bagi kegiatan PDN,
yaitu:
a. Adanya potensi crowding out effect apabila kredit yang diserap Pemerintah terlalu
besar, karena jumlah dana yang dialokasikan kepada sektor swasta akan semakin kecil.
Implikasi dari semakin kecilnya supply dana ke pihak swasta akan meningkatkan cost
of borrowing bagi sektor swasta sehingga akan menyebabkan menurunnya investasi
swasta yang pada akhirnya akan memperlambat perekonomian.
b. Sebagian sumber dana perbankan BUMN bersumber dari dana pihak ketiga (DPK)
yang mempunyai sifat jangka pendek seperti tabungan dan deposito, sedangkan
kegiatan PDN merupakan kegiatan yang diarahkan pada sektor infrastruktur yang
memiliki jangka waktu yang panjang. Adanya potensi mismatch pendanaan dalam
penyaluran dana ini perlu direspon dengan kebijakan portofolio perbankan khususnya
dalam pemberian kredit dengan memberikan proporsi yang tepat antara kredit jangka
panjang dengan kredit jangka pendek untuk menjaga likuiditas perbankan tetap dalam
keadaan aman.
c. Dari sisi jumlah dana yang tersedia untuk kegiatan PDN, perbankan akan melakukan
diversifikasi dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan faktor risiko, imbal
balik dan faktor lainnya, sehingga secara alami jumlah kredit yang dapat disalurkan
kepada Pemerintah tidak akan sebesar dengan dana perbankan yang tersedia atau siap
disalurkan.
Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan dan potensi permasalahan yang ada
tersebut di atas, maka penyaluran dana perbankan BUMN dalam membiayai kegiatan PDN
perlu dilakukan dengan hati-hati (prudent) untuk menghindari potensi dampak negatif yang
ditimbulkan.
4.2 Identifikasi Kapasitas Industri Dalam Negeri Pendukung Kegiatan Infrastruktur
Sesuai tujuan sektor industri jangka menengah dalam rangka mendukung pengembangan
infrastruktur, pemerintah berupaya mengembangkan kluster industri prioritas yang salah
satunya adalah industri material dasar, besi dan semen sebagai penmasok material utama
dalam pembangunan infrastruktur. Kemampuan produksi material dasar, besi dan semen
nasional untuk memenuhi kebutuhan material pembangunan infrastruktur
10
a. Tingkat Produksi dan Konsumsi Semen dalam Infrastuktur
Tabel 5. Kapasitas Produksi Semen Per Tahun2
Nama Perusahaan
PT. Semen Andalas Indonesia
PT. Semen Padang
PT. Semen Baturaja
PT. Indocement Tunggal Perkasa, TBK
PT. Holcim Indonesia, TBK
PT. Semen Gresik, TBK
PT. Semen Tonasa
PT. Semen Bosowa Maros
PT. Semen Kupang
Total Kapasitas per Tahun
Kapasitas Produksi Semen per Tahun (juta ton)
2011
1.6
6.3
1.2
21.1
8.7
9.7
4.6
3.0
0.6
57
2012
1.6
6.4
1.4
21.1
8.7
11.3
6.5
3.0
0.6
61
2013
1.6
6.6
1.54
21.1
8.7
13.1
7.1
5.5
0.6
66
2014
3.2
8.2
2.64
23.1
10.7
13.1
7.1
5.5
0.6
74
2015
3.2
9.3
2.74
23.1
10.7
13.1
7.1
5.5
0.6
75
Tabel diatas menjelaskan kapasitas produksi semen nasional tahun 2011-2015. Produsen
semen terbesar Indonesia adalah PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk yang memproduksi
rata-rata 22 juta ton per tahun. Untuk total produksi semen yang dihasilkan seluruh produsen
semen nasional meningkat setiap tahunnya, yakni pada tahun 2012 total produksi sebesar 61
juta ton dan pada tahun 2015 produksi semen meningkat menjadi 75 juta ton.
Menurut data Sistem Informasi Sumber Daya Informasi Kementerian Pekerjaan Umum,
bahwa realisasi konsumsi semen nasional pada tahun 2011 mencapai 48 Juta Ton. Konsumsi
ini masih di bawah kapasitas produksi semen nasional pada tahun yang sama. Dalam hal ini
terdapat gap antara kapasitas produksi dan konsumsi semen pada tahun 2011 sekitar 27 Juta
Ton. Adanya gap ini dapat dimanfaatkan dalam mencukupi kebutuhan semen dalam
pembangunan infrastruktur dalam MP3EI yang diperkirakan akan menyerap semen sejumlah
12 juta ton hingga 16 juta ton per tahun. Berdasarkan data-data tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa tingginya kapasitas produksi semen nasional mampu dimanfaatkan untuk
kegiatan-kegiatan infrastruktur dalam kerangka PDN maupun kegiatan infrastruktur lainnya.
b. Tingkat Produksi dan Konsumsi Baja dalam Infrastuktur
Baja merupakan salah satu industri unggulan yang diproteksi pemerintah dalam rangka
penyediaan infrastruktur3. Baja merupakan barang subsitusi dari bahan material kayu yang
saat ini tingkat konsumsi baja semakin meningkat akibat dari merebaknya isu global yang
menyebabkan penebangan hutan sehingga kayu sebagai bahan baku menjadi terbatas dan
harga kayu yang relatif lebih mahal daripada baja.
2
Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi, Badan Pembinaan Kontrsuksi, Kementerian Pekerjaan Umum,
diunduh dalam http://pusbinsdi.net/main.php?page=produksi#, pada 14 Juni 2012, pukul 15:50 WIB
3
Selengkapnya
Lihat,
Pemerintah
akan
Proteksi
Industri
Nasional,
diakses
di,
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/8241/Pemerintah-Akan-Proteksi-Industri-Baja-Nasional,
pada
Selasa, 5 Juni 2012, Pukul 12.58 WIB
11
Tabel 6. Perbandingan Konsumsi, per-kapita/tahun, produksi Baja Nasional Periode
2000-2009
Sumber: Worldsteel Association, 2010.
Apabila dilihat dalam tabel tersebut di atas, maka terlihat bahwa produksi baja nasional tidak
mampu mencukupi jumlah konsumsi baja nasional, sehingga implikasi dari kondisi ini adalah
masih tingginya nilai impor baja untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan nasional.
Kebutuhan ini diperlukan untuk mensuplai industri pengolah baja untuk menjadi produk yang
siap digunakan dalam mendukung pembangunan infrastruktur. Profil terkait dengan produksi
industri pengolahan baja dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 7. Kapasitas Produksi Olahan Baja Nasional 2004-2009 (juta Ton)
Sumber: IISIA (2011)
Produksi industri pengolahan dapat menghasilkan baja olahan yang jauh lebih besar daripada
industri baja kasar. Sehingga dapat diketahui bahwa mayoritas (hampir 80%) industri baja
olahan dipasok dari baja kasar yang diimpor dari luar negeri. Di sisi lain, konsumsi baja
olahan masih berada di bawah produksi baja olahan nasional, hal ini dapat diimplikasikan
bahwa konsumsi baja olahan nasional masih rendah dan masih dapat dipenuhi melalui
industri baja olahan nasional, dan industri baja olahan nasional mampu mengalokasikan hasil
produksinya untuk pasar ekspor.
Tabel 4.9 Kapasitas Konsumsi Olahan Baja Nasional 2004-2009 (juta ton)
Sumber: IISIA (2011)
12
Dengan melihat profil produksi dan konsumsi baja, baik baja kasar maupun baja olahan, maka
secara umum industri baja nasional masih tergantung dari produk impor. Oleh karena itu,
apabila kegiatan infrastruktur dikembangkan pada sektor yang membutuhkan pasokan baja,
maka perlu dipertimbangkan bahwa perlu adanya upaya dan insentif untuk pembangunan
industri baja nasional. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka ketergantungan impor baja akan
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan infrastruktur kita.
c. Tingkat Produksi dan Konsumsi Aspal dalam Infrastuktur
Produksi dan konsumsi aspal nasional saat ini mengalami ketimpangan. Sesuai pernyataan
Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, bahwa “pada 2011
produksi aspal nasional hanya sekitar 600 ribu ton, sementara konsumsi mencapai 1,2 juta ton.
Kebutuhan aspal tahun ini pun dia memperkirakan meningkat hingga 1,5 juta ton dengan total
suplai sekitar 930 ribu ton”4. Melihat kondisi ini, maka pembangunan infrastruktur jalan masih
mengandalkan pasokan aspal impor, oleh kerana itu diperlukan terobosan baru bagi
peningkatan produksi aspal nasional atau pencarian alternatif pengganti aspal untuk
pembangunan jalan. Salah satu alternatif yang paling memungkinkan adalah pemberdayaan
aspal buton (asbuton) yang memiliki potensi sumber tambang yang melimpah di Sulawesi
Tenggara. Menurut data Dinas ESDM Sulawesi Tenggara, cadangan terukur deposit Asbuton
sekitar 650 juta ton. Panambangannya relatif mudah, karena terletak hanya 1,5 meter di bawah
tanah. Oleh karena itu, pengembangan infrastruktur ke depan, khususnya pembangunan jalan,
seharusnya mampu bersinergi dengan rencana pengembangan Asbuton, sehingga rencana
pembangunan jalan didesain untuk dapat menggunakan Asbuton sebagai bahan utamanya.
Selain beberapa potensi industri tersebut di atas, masih terdapat beberapa industri nasional
yang lain sebagai pendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia baik yang bergerak
dalam sektor penyediaan bahan baku (raw material), pengadaan barang atau peralatan (seperti
sarana transportasi), dan juga sebagai penyedia jasa konstruksi.
4.3 Karakteristik dan Kesiapan
Kementerian/Lembaga
4.3.1
PDN
dalam
Kegiatan
Infrastruktur
oleh
Karakteristik Kegiatan Infrastruktur yang layak/siap dibiayai melalui PDN
Karakteristik kegiatan PDN telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun
2008 dan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2009. Pengaturan
tersebut diperlakukan berbeda untuk masing-masing pelaksana kegiatan, yaitu
Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan BUMN. Namun, sesuai dengan ruang
lingkup kajian, maka analisis karakteristik kegiatan difokuskan pada kegiatan yang
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga. Sesuai peraturan tersebut, kegiatan PDN yang
dapat diusulkan oleh Kementerian/Lembaga adalah mencakup:
4
Christina Natalie Sihite, Indonesia Finance Today, 2012. Diuduh pada tanggal 6 Desember 2012 di
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21401/Kalangan-Industri-Diminta-Jamin-Pasokan-Bahan-Bakuuntuk-Konstruksi
13
a. Pembangunan Infrastruktur
Kegiatan PDN hanya terbatas pada pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur)
meliputi pembangunan sarana dan prasarana jalan, jembatan, pelabuhan laut, bandar
udara, dan pembangkit listrik yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
b. Kegiatan dalam rangka pemberdayaan industri dalam negeri
Ketentuan ini memberikan indikasi bahwa kegiatan yang dilakukan melalui PDN oleh
Kementerian/Lembaga harus memberikan manfaat bagi pemberdayaan industri dalam
negeri (nasional) untuk menjadi lebih maju dan lebih besar. Untuk melakukan
“pemberdayaan” industri dalam negeri, dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:
i. Pendekatan yang pertama adalah melakukan kegiatan dengan melibatkan industri
dalam negeri secara langsung dalam kegiatan/proyek PDN.
ii. Pendekatan yang kedua adalah menggunakan produk-produk dalam negeri
sebagai pemasok barang/jasa dalam pelaksanaan proyek.
iii. Selanjutnya terdapat satu pendekatan pemberdayaan yang sifatnya tidak
langsung, yaitu melakukan proyek pembangunan infrastruktur yang dapat
mendorong pemanfaatan produk/jasa dalam negeri apabila proyek tersebut sudah
selesai. Dalam hal ini, proyek tersebut mampu memberikan multiplier effect bagi
meningkatnya permintaan produk/jasa yang dihasilkan oleh industri dalam negeri
dengan adanya pembangunan infrastruktur tersebut.
4.3.2
Kesiapan Kementerian/Lembaga
Dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan Pinjaman Dalam Negeri (PDN),
Kementerian/Lembaga mempunyai peran sebagai pengusul, penanggung jawab dan
pelaksana kegiatan PDN. Secara lebih detail beberapa peran Kementerian/Lembaga
dapat dijabarkan dalam beberapa tahap sebagai berikut:
a. Tahap pengajuan usulan: dalam proses ini beberapa hal yang harus disiapkan oleh
Kementerian/Lembaga adalah penyiapan dokumen usulan (Daftar Isian Pengusulan
Rencana Kegiatan, Kerangka Acuan Kerja, dan Dokumen Studi Kelayakan
Kegiatan), selain itu Kementerian/Lembaga juga harus mulai melakukan koordinasi
dengan pihak yang terkait dalam rencana proyek tersebut.
b. Tahap peningkatan kesiapan: setelah usulan dinyatakan layak untuk dilaksanakan,
maka Kementerian/Lembaga harus melakukan penyiapan lanjutan seperti; rencana
pengadaan barang/jasa, rencana pembebasan lahan dan permukiman kembali,
pembentukan organisasi yang akan terlibat dalam pelaksanaan proyek, dan
penyiapan dokumen-dokumen rencana pelaksanaan kegiatan.
c. Tahap Pelaksanaan Kegiatan: Kementerian/lembaga melakukan koordinasi atas
pelaksanaan kegiatan baik yang dilakukan dengan instansi pemerintah terkait, pihak
ketiga, maupun dengan mitra pembangunan. Untuk menjamin kegiatan dapat
berjalan dengan baik, maka Kementerian/Lembaga harus melakukan pemantauan
dan evaluasi secara internal. Selanjutnya, Kementerian/Lembaga menyusun laporan
atas pelaksanaan kegiatan baik dari sisi penyerapan anggaran maupun pelaksanaan
fisik proyek.
14
Secara umum proses PDN hampir sama dengan proses pengadaan Pinjaman Luar
Negeri, karena peraturan mengenai PDN juga disusun dengan melakukan pendekatan
pada peraturan Pinjaman Luar Negeri. Oleh karena itu, pengalaman
Kementerian/Lembaga dalam melakukan proyek yang dibiayai dari Pinjaman Luar
Negeri menjadi penting dan menentukan kesiapan dalam melakukan proyek yang
dibiayai dari PDN. Sebagian besar Kementerian/Lembaga yang mempunyai tugas dan
fungsi dalam pengembangan infrastruktur telah mempunyai pengalaman dalam
pelaksanaan proyek yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa Kementerian/Lembaga telah memiliki kesiapan dalam melakukan
PDN untuk membiayai kegiatan infrastruktur dan melakukan peran sebagai pengusul,
penanggung jawab dan pelaksana kegiatan.
Namun dalam PDN dipersyaratkan adanya kewajiban bagi suatu proyek untuk dapat
memberikan dampak positif bagi pengembangan industri dalam negeri. Hal ini akan
mempengaruhi seluruh proses pengadaan PDN, mulai dari pengajuan usulan sampai
dengan pelaksanaan. Kementerian/Lembaga mempunyai kewajiban untuk
mengakomodasi hal tersebut, sehingga dalam proses pengajuan usulan sampai dengan
pelaksanaan kegiatan dapat dipastikan bahwa proyek tersebut dapat memberikan
dampak bagi pengembangan industri dalam negeri. Kesiapan Kementerian/Lembaga
dalam melakukan identifikasi kegiatan yang tepat untuk pengembangan industri dalam
negeri dan/atau melakukan koordinasi dengan industri dalam negeri dalam
kontribusinya dalam pelaksanaan PDN. Selain itu, Kementerian/Lembaga juga dapat
melakukan analisis manfaat hasil proyek terhadap pengembangan industri dalam negeri.
V.
5.1
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang diambil dari kajian “Analisis Pengembangan Mekanisme
Pemanfaatan Pinjaman Dalam Negeri Untuk Kegiatan Pembangunan” adalah sebagai berikut :
a. Pinjaman Dalam Negeri merupakan salah satu sumber pendanaan pembangunan nasional
yang ditujukan untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan domestik dalam rangka
meningkatkan kemandirian pendanaan pembangunan yang berfungsi sebagai sumber
pembiayaan defisit dan salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas industri dalam
negeri.
b. Pinjaman Dalam Negeri yang telah dilaksanakan memberikan dampak bagi peningkatan
industri dalam negeri, khususnya industri di bidang pertahanan dan keamanan.
c. Pinjaman Dalam Negeri dapat diperluas pemanfaatannya tidak hanya terbatas untuk
membiayai pengadaan Alutsista-TNI dan Almatsus Polri. Perluasan pemanfaatan yang
paling memungkinkan adalah untuk membiayai kegiatan di bidang infrastruktur, karena
sejalan dengan regulasi yang ada tentang PDN dan adanya kebutuhan untuk
meningkatkan pembiayaan infrastruktur.
d. Perbankan BUMN memiliki kapasitas dan potensi yang cukup baik sebagai sumber
pembiayaan PDN dilihat dari aspek regulasi, jumlah aset, kegiatan usaha dan kinerja
15
e.
f.
perbankan BUMN. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi
seperti crowding out effect dan funding mismatch.
Kapasitas industri nasional dalam beberapa sektor sudah mampu berperan sebagai
pendukung pembangunan infrastruktur nasional, namun terdapat kluster industri nasional
yang masih mengandalkan bahan baku impor dalam produksinya.
Kementerian/Lembaga yang berpotensi menjalankan kegiatan PDN memiliki minat yang
tinggi dan kesiapan menjalankan kegiatan PDN, namun tata cara dan mekanisme PDN
masih belum tersosialisasikan kepada Kementerian/Lembaga secara menyeluruh.
5.2 Rekomendasi
Dari hasil analisis dalam kajian ini, beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk
peningkatan pemanfaatan pendanaan yang bersumber dari Pinjaman Dalam Negeri,
diantaranya:
a. Kapasitas pendanaan yang masih memungkinkan dan didukung oleh minat perbankan
BUMN dalam pembiayaan PDN, serta kemudahan regulasi perbankan terkait dengan
proyek Pemerintah perlu ditindaklanjuti oleh Kementerian PPN/Bappenas serta
Kementerian Keuangan dengan melakukan penyempurnaan dan menyiapkan perencanaan
PDN yang lebih baik dan mudah diterapkan dengan tetap menjaga transparansi dan
akuntabilitasnya.
b. Pemanfaatan potensi perbankan BUMN dalam membiayai kegiatan PDN secara lebih luas
perlu dilakukan secara bertahap dan terukur dengan melibatkan Bank Indonesia dalam
melakukan assestment terhadap penarikan Pinjaman Dalam Negeri. Hal ini dilakukan
untuk menghindari beberapa potensi crowding out effect dan permasalahan likuiditas
perbankan karena adanya funding mismatch antara sumber pendanaan perbankan yang
mayoritas jangka pendek dengan pembiayaan di sektor infrastruktur yang bersifat jangka
panjang.
c. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan PDN supaya berjalan dengan baik, perlu
dilakukan peningkatan pemahaman dan penguatan koordinasi institusi yang terlibat dalam
kegiatan PDN. Oleh karena itu Kementerian PPN/Bappenas serta Kementerian Keuangan
perlu melakukan sosialisasi terkait dengan :
 Penyebaran informasi mengenai PDN kepada instansi Pemerintah yang mempunyai
tugas dan fungsi dalam pengembangan infrastruktur.
 Penyebaran informasi PDN kepada industri dalam negeri yang mendukung
pembangunan infrastruktur di Indonesia.
 Penguatan koordinasi antara pihak yang terlibat dalam kegiatan yang dibiayai dari
PDN.
d. Hasil analisis dan rekomendasi Pinjaman Dalam Negeri ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan masukan dalam RPJMN 2015-2019 khususnya kebijakan pendanaan pembangunan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014. Jakarta
Bappenas. 2010. Rencana Kebutuhan Pinjaman Dalam Negeri (RKPDN) Tahun 2010-2014.
Jakarta
Bank Indonesia. 2012. Statistik Perbankan Indonesia edisi Februari 2012. Jakarta
DJPU-Kementerian Keuangan. 2012. Perkembangan Utang Negara (Pinjaman dan Surat
Berharga). Jakarta
. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 mengenai Tata Cara
Pengadaan dan Penerusan Pinjaman Dalam Negeri oleh Pemerintah
. Peraturan Menteri PPN/Ka Bappenas Nomor 1 Tahun 2009 mengenai Tata Cara
Perencanaan, Pengajuan, dan Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dengan Pinjaman Dalam
Negeri
. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 mengenai Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit
. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional
. Surat Edaran Bank Indonesia No.13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011 mengenai
Pedoman Perhitungan Aset Terimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk resiko dengan
menggunakan pendekatan standar
17
Download