I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian mengenai Keterkaitan Fenomena Erosi Pantai, Peran Ekosistem Hutan Bakau, dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem di Pesisir Kalimantan Barat menitik beratkan pada tiga fokus kajian 1) peran pemecah gelombang terhadap rehabilitasi pantai dan ekosistem hutan bakau Kalimantan Barat, Indonesia; 2) Kondisi Ekosistem Hutan Bakau pasca konstruksi bangunan pemecah gelombang: kondisi penanaman Rhizophora spp. dan kolonisasi Avicennia marina; dan 3) Partisipasi Masyarakat terhadap Pemanfaatan dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam Pesisir Kalimantan Barat (Studi Kasus Erosi Pantai Kalimantan Barat). Besarnya dana yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah Kalimantan Barat (Kalbar) guna merehabilitasi daerah pantai telah melatarbelakangi penelitian ini. Rehabilitasi pantai tersebut berwujud konstruksi pemecah gelombang (breakwaters) dan penanaman spesies bakau (Rhizophora spp.). Erosi pantai – Erosi pantai dan kerusakan ekosistem hutan bakau merupakan bencana lingkungan yang mempengaruhi kehidupan sosial – ekonomi masyarakat pesisir Kalimantan Barat. Kerusakan pantai dan ekosistem hutan bakau terjadi akibat laju abrasi sekitar 20 m/tahun atau setara 6.100 ha pertahun (Akbar dkk. 2008). Kerusakan ekosistem hutan bakau seperti di Kalbar ini sudah umum terjadi pada ekosistem hutan bakau di berbagai negara tropis lainnya, baik akibat pembuatan jalan raya, perluasan permukiman, maupun perluasan lahan pertanian (Ewel dkk.1998; Sathirathai dan Barbier 2001; Thampanya dkk. 2006; Walters dkk. 2008). Lebih dari itu, ekstensifikasi tambak udang intensif turut merusak 50% ekosistem hutan bakau (Blasco dkk.1996; Rönnback 1999), sehingga degradasi hutan bakau diprediksi mampu memperparah terjadinya erosi pantai di Kalbar. Kerusakan ekosistem hutan bakau – Kerusakan ekosistem hutan bakau Kalimantan Barat (Kalbar) disebabkan karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa dan 1 2 permukiman pada tahun 1950an. Menurut Djohan (2012), zona ekosistem hutan bakau dari perairan ke arah darat dipilah menjadi zona hilir (lower zone), zona tengah (middle zone), dan zona hulu (upper zone). Berdasarkan zonasi tersebut, alih fungsi lahan di pantai Kalbar terjadi pada zona hulu (upper zone) dan zona hulu atas (upper – upper zone). Pada tahun 1980an terjadi lagi alih fungsi lahan lebih ekstensif menjadi tambak udang intensif pada zona tengah (middle zone) ekosistem hutan bakau Kalbar. Konstruksi ekstensifikasi tambak udang ini turut memperparah erosi pantai Kalbar. Alih fungsi lahan untuk berbagai peruntukan tersebut telah menyebabkan kerusakan hampir sepanjang 60 km garis pantai (Balai Wilayah Sungai Kalimantan 1 2011). Partisipasi masyarakat – Sebagaimana telah diuraikan dimuka, bahwa kerusakan lingkungan pantai telah mempengaruhi kehidupan sosial – ekonomi masyarakat Kalimantan Barat. Kerusakan lingkungan pesisir ini juga akibat persebaran penduduk yang tidak merata, dimana pembangunan lebih terkonsentrasi di wilayah pesisir. Hal ini tentunya mempengaruhi besarnya tekanan dan ketidak-merataan pembangunan di Kalbar yang berdampak pada kesenjangan taraf hidup masyarakat khususnya petani-nelayan yang semakin rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat disebabkan hilangnya permukiman dan lahan pertanian, disamping sulitnya memperoleh hasil perikanan akibat kerusakan hutan bakau (Akbar dkk. 2008). Perkiraan nilai jasa perikanan pantai di Kalbar yang didukung oleh ekosistem Bakau menyumbang pendapatan masyarakat sebesar 30 ribu US$ /ha/tahun (Akbar 2005). Pemerintah, melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU), bersama masyarakat telah berusaha mengatasi erosi pantai Kalimantan Barat. Usaha tersebut dengan mengkonstruksi pemecah gelombang dan menanam pohon Rhizophora spp. Adanya bangunan pemecah gelombang itu untuk melindungi pantai, serta memberi kesempatan pertumbuhan tanaman semai 3 Rhizophora spp. Tidak banyak informasi penanaman Rhizophora spp. untuk merehabilitasi pantai di Kalbar. Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Lokasi terletak di utara garis khatulistiwa; dari Utara – Selatan: Pantai Teluk Suak (Kabupaten Bengkayang) – Pantai Sengkubang (Kabupaten Pontianak). 4 Informasi penanaman bakau tersebut dilakukan pada tahun 2002 di pantai Mempawah (Teluk Penibung); serta tahun 2010 di Penibung, Sengkubang (Teluk Penibung), Kelapa Empat (Teluk Sungai Duri), dan Karimunting (Teluk Karimunting). Adanya bangunan pemecah gelombang tersegmentasi berdampak negatif terjadinya erosi pantai di sebagian lokasi terutama di pantai yang berada di belakang celah antar bangunan pemecah gelombang, dan lokasi lain yang tidak terlindung bangunan pemecah gelombang. Namun demikian, keberadaan bangunan pemecah gelombang menyebabkan terbentuknya lahan baru (newly form land) di belakang bangunan pemecah gelombang ke arah darat. Pada lahan baru tersebut dilakukan penanaman Rhizophora spp (Akbar dkk. 2011). 1.2. Masalah Penelitian Erosi pantai – Erosi pantai di Kalimantan Barat terjadi hampir empat dasawarsa terakhir, telah mengakibatkan abrasi pantai yang sangat parah. Abrasi pantai ini hingga mencapai 60 km dengan laju bervariasi hingga 20 meter vertikal garis pantai pertahun (Balai Wilayah Sungai Kalimantan 1 2011; Akbar dkk. 2008). Ada lima kabupaten/ kota pesisir di Kalbar mengalami erosi pantai yang parah terutama Sambas, Singkawang, Bengkayang, dan Mempawah (Balai Wilayah Sungai Kalimantan I 2010). Secara ekonomi, erosi pantai telah merusak jaringan jalan raya sebagai urat nadi perekonomian antara Pontianak – Sambas, disamping juga menghilangkan permukiman dan lahan pertanian masyarakat. Kondisi abrasi pantai ini turut memperparah kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir Kalbar (Akbar dkk. 2008). Secara ekologi, tingginya laju abrasi dapat merusak hutan bakau yang masih tersisa di pantai (Blasco dkk. 1996). Alih fungsi lahan – Aktifitas alih fungsi lahan di ekosistem hutan bakau; menjadi perkebunan kelapa, permukiman, serta tambak udang; telah memperparah erosi pantai Kalimantan Barat (Akbar dkk. 2008). Pembuatan saluran parit (drainase) untuk mengeringkan lahan perkebunan kelapa tersebut telah mengakibatkan kerusakan 5 karakteristik ekosistem hutan bakau, sehingga kerusakan itu turut menghilangkan jasa perlindungan alami pantai terhadap erosi di Kalbar. Kerusakan hutan bakau tersebut dipicu pesatnya reklamasi bakau menjadi perkebunan kelapa dan permukiman sejak tahun 1950an. Perkebunan kelapa telah membentuk kanal – kanal yang menurunkan muka air tanah sehingga merusak ekosistem rawa bakau. Kerusakan ekosistem bakau semakin meningkat karena konstruksi tambak udang intensif di awal 1980an. Laju erosi pantai yang melebihi kemampuan hutan bakau merehabilitasi secara alami menyebabkan kerusakan vegetasi bakau yang masih tersisa di Kalbar. Laju erosi pantai ini merupakan proses feedback (umpan balik) dari kerusakan ekosistem bakau. Laju kerusakan ekosistem bakau di Kalbar akibat antropogenik dan erosi pantai ditaksir 6.100 hektar pertahun. Kerusakan ekosistem bakau pantai mengakibatkan hilangnya valuasi ekologi bakau sebagai pelindung pantai dari erosi sebesar 6,7 juta US$ ha-1 (Akbar dkk. 2008). Akbar dkk. (2008) menambahkan bahwa pada daerah tererosi tidak akan dijumpai lagi zona bakau dominan di pantai Kalbar; dari arah pantai ke darat yaitu api – api (Avicennia marina), api – api hitam (A. officinalis), tumu (Bruguiera gymnorrhiza), bakau jangkar (Rhizophora apiculata), bogem atau kedabu (Sonneratia ovata), buta – buta (Excoecaria agallocha) dan nipah (Nypa fruticans). Penanaman bakau (Rhizophora spp.) merupakan respon pemerintah dan masyarakat guna merehabilitasi daerah tererosi. Hasil survey lapangan tahun 2011 (Akbar dkk. 2011) menunjukkan bahwa penanaman pohon bakau banyak mengalami kegagalan karena kesalahan: penentuan lokasi tanam, pemilihan spesies dan sistem penanaman. Hasil survei juga mengamati kemampuan merehabilitasi alami bakau yang didominasi spesies Api – api (Avicennia marina) di lokasi tersedimentasi (newly formed land), sedangkan spesies bakau pantai yang umumnya digunakan untuk penanaman adalah bakau (Rhizophora spp.). Faktor yang diduga mempengaruhi ketidak-berhasilan upaya rehabilitasi pantai adalah kurangnya 6 pengetahuan tentang dasar ekologi bakau oleh masyarakat dan instansi terkait: Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), dan Dinas Kehutanan (Dinhut); serta kebijakan pemerintah yang tidak terintegrasi dalam pengelolaan daerah pesisir. Kurangnya pengetahuan dan ketidak-integrasian kebijakan dalam pengelolaan daerah pantai seperti ini terjadi pula di Filipina (Primavera dan Esteban 2008). Kehadiran ekosistem bakau diyakini oleh para ahli berperanan melindungi pantai dan permukiman dari erosi, badai, dan tsunami (Blasco dkk. 1996; Ewel dkk. 1998; Rönnbäck 1999; Sathirathai dan Barbier 2001; Mazda dkk. 2006; Thampanya dkk. 2006; Walters dkk. 2008). Ekosistem hutan bakau juga berfungsi untuk menjaga kualitas air, mendukung perikanan di ekosistem pesisir dan lepas pantai (Rönnbäck 1999; Walters dkk. 2008), serta sumber bahan makanan, bahan bangunan, bahan bakar, dan bahan obat – obatan (Ewel dkk. 1998; Walters dkk. 2008). Partisipasi masyarakat – Ketidak merataan penduduk di pesisir Kalimantan Barat mengakibatkan daerah pesisir mengalami tekanan pembangunan yang lebih besar daripada di daerah daratan. Disamping itu, beragamnya etnis masyarakat yang bermukim di pesisir Kalimantan Barat turut memperkaya budaya masyarakat setempat, baik dalam aspek mata pencaharian, pengetahuan, persepsi, maupun strategi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Etnis masyarakat yang bermukim di pesisir Kalimantan Barat adalah Melayu, Bugis, Cina, Banjar, Jawa, dan Dayak; yang saling berasimilasi. Keberagaman masyarakat ini mempengaruhi pola variasi pemanfaatan sumber daya alam pesisir yang berdampak pada kelestarian lingkungannya. Disamping keberagaman masyarakat, adanya potensi konflik kepentingan diantara instansi terkait turut berperanan besar mempengaruhi degradasi lingkungan pantai serta keberlanjutan program rehabilitasi kawasan pesisir. Instansi pemerintah yang berkompeten terhadap perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan daerah pesisir seperti Dinas Pekerjaan 7 Umum (DPU), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kehutanan (Dinhut), dan Badan Pertanahan Nasional. Adanya konflik kepentingan akan mengakibatkan pengelolaan daerah pesisir tidak berjalan optimal. Penelitian ini dilakukan di tiga teluk pesisir Kalbar yaitu Karimunting, Sei Duri, dan Penibung (Gambar 1). Berdasarkan keberadaan pulau yang melindungi pantainya, lokasi kajian dibagi menjadi teluk yang terlindungi pulau: Lemukutan, Penatah Besar, Penatah Kecil, Kabung, Tempurung, dan Semesak yaitu teluk Karimunting. Sebaliknya, teluk Penibung dan teluk Sei Duri merupakan teluk yang tidak terlindungi oleh gugusan pulau. Kondisi morfologi pantai yang landai dengan jenis tanah dominan OGH (organosol, gley, humus) dan aluvial, serta bertekstur lempung debuan. Kondisi teluk dipengaruhi oleh gelombang dan arus Laut Cina Selatan, serta aliran sungai besar yang bermuara ke laut, seperti sungai: Kapuas, Peniti Besar, Pinyuh, Mempawah, Duri, dan Raya. Banyaknya suplai air tawar, pasang surut teratur, dan iklim tropis basah di daerah khatulistiwa menyebabkan salinitas air di perairan pantai Laut Cina Selatan berkisar 29 – 35 ppt . Beraneka ragamnya spesies hutan bakau di Kalbar didukung oleh pantai yang landai, pasang surut yang teratur, terjadinya sedimentasi yang membentuk dataran lumpur (mudflat), suplai air tawar yang teratur, dan kondisi iklim tropis basah yang memiliki curah hujan yang tinggi (Akbar dkk. 2008). Berdasarkan permasalahan erosi pantai, alih fungsi lahan, dan partisipasi masyarakat di atas, maka penelitian ini mempertanyakan: Erosi pantai – 1) Bagaimana kondisi oseanografi di lokasi kajian: kecepatan dan arah angin; kuat dan tipe gelombang; pola dan kecepatan arus; dan pola pasang surut? 2) Bagaimana laju dan distribusi erosi serta sedimentasi secara temporal dan spasial di lokasi kajian? 3) Bagaimana pengaruh drainase terhadap erosi - sedimentasi? 4) Bagaimana pengaruh bangunan pemecah gelombang terhadap drainase di lokasi kajian? 5) Bagaimana 8 bangunan pemecah gelombang dapat menangkap sedimen? 6) Apakah terjadi newly formed land di daerah yang ada bangunan pemecah gelombang ? Kondisi hutan bakau – 7) Bagaimana kondisi ekosistem hutan bakau di lokasi kajian? 8) Berapa dalam jeluk parit yang dibuat ketika mengalih fungsikan lahan ekosistem hutan bakau menjadi kebun kelapa? 9) Bagaimana kolonisasi hutan bakau di daerah sedimentasi bangunan pemecah gelombang? 10) Bagaimana pengaruh bangunan pemecah gelombang terhadap pertumbuhan hutan bakau, baik yang yang ditanam dalam usaha rehabilitasi hutan bakau maupun rekolonisasi alami? 11) Bagaimana kondisi fisiko-kimia sedimen dan tanah, yang meliputi tekstur, permeabilitas, berat volume, pH, salinitas, dan unsur hara (bahan organik, NH4+, PO4-3, SO4-2, NO3-, dan Fe+2), di lokasi kajian? Partisipasi masyarakat – 12) Bagaimana pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap erosi pantai dan kerusakan ekosistem hutan bakau? 13)Bagaimana usaha pemerintah pasca-konstruksi bangunan pemecah gelombang dalam merehabilitasi daerah pesisir? 14) Bagaimana respon masyarakat terhadap konstruksi bangunan pemecah gelombang saat ini? 15) Bagaimana respon masyakarat terhadap pertumbuhan hutan bakau alami? 16) Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap upaya rehabilitasi daerah pesisir? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan karena belum banyak kajian yang mengungkap pengaruh konstruksi bangunan pemecah gelombang, rehabilitasi ekosistem hutan bakau, dan peranserta masyarakat yang saling bersinergis dalam melindungi pantai di Indonesia. Secara khusus, penelitian ini bertujuan: Erosi pantai – 1) menganalisis kondisi morfologi pantai, serta pengaruh kecepatan angin dan faktor musim terhadap pola: arus, gelombang, dan pasang surut di lokasi kajian; 2) mengevaluasi pengaruh bangunan pemecah gelombang terhadap perubahan garis pantai, pola erosi dan sedimentasi pantai secara temporal dan spasial; 3) mengevaluasi pengaruh 9 bangunan pemecah gelombang terhadap kondisi vegetasi bakau dan proses terjadinya kolonisasi alami di hutan bakau. Kondisi hutan bakau – 4) mengidentifikasikan kekayaan spesies yang hadir di lokasi kajian; 5) mengevaluasi kemelimpahan spesies hutan bakau baik yang mengkolonisasi maupun yang ditanam; 6) mengidentifikasikan asal sumber benih vegetasi bakau di lokasi kajian; 7) menganalisis pengaruh kondisi fisika-kimia substrat tanah, meliputi tekstur, unsur hara (bahan organik, NH4+, PO4-3, SO4-2, NO3-, dan Fe+2, pH dan salinitas) terhadap vegetasi bakau; 8) menganalisis pengaruh kualitas air dan udara terhadap vegetasi bakau; 9) menganalisis dinamika ekosistem hutan bakau pasca bangunan pemecah gelombang secara temporal. Partisipasi masyarakat – 10) mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat; 11) mengidentifikasi kondisi demografi masyarakat; 12) menganalisis aktivitas masyarakat penyebab kerusakan ekosistem pantai; 13) menganalisis adaptasi masyarakat sebagai respon menghadapi kerusakan ekosistem pantai. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini memberi informasi penting bagi pengambil kebijakan sebagai model pengelolaan sumberdaya pesisir khususnya di Kalimantan Barat, serta umumnya di berbagai negara tropis yang memiliki permasalahan dan tipe ekosistem pantai serupa. Penelitian ini juga berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya manajemen dan konservasi sumberdaya alam pesisir. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai erosi pantai, kondisi ekosistem hutan bakau dan kehidupan masyarakat pesisir, bukan merupakan hal yang baru. Secara umum, kajian tersebut lebih menekankan pada aspek peran ekologi dan ekonomi lingkungan biofisik pesisir serta dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat. Kajian yang ada lebih menekankan pada kuantitas keanekaragaman, potensi, pemanfaatan, faktor penyebab kerusakan, dan pengaruh 10 ekosistem bakau pantai terhadap pendapatan masyarakat setempat. Berdasarkan lokasi dan cakupannya, penelitian terdahulu relatif sempit menurut beberapa aspek kajian. Penelitian dalam disertasi ini lebih mengkaji pengelolaan yang terintegrasi dan komprehensif antara kejadian erosi pantai, kerusakan ekosistem hutan bakau, upaya rehabilitasi daerah pesisir, dan respon masyarakat pesisir. Kajian peneliti lain dari dalam dan luar negeri mengenai kerusakan lingkungan pantai dan respon manusia dipaparkan pada Tabel 1. Ciri keaslian penelitian tentang keterkaitan erosi pantai, kondisi ekosistem hutan bakau, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem pesisir adalah ruang lingkup metode dan analisis kajian lebih kompleks, komprehensif dan terintegrasi daripada kajian yang pernah ada. Penelitian ini merupakan kajian terintegrasi antara prediksi kejadian erosi pantai, tingkat keberhasilan penanaman bakau dan kolonisasi alami vegetasi bakau di lahan yang mengalami erosi pantai, pengaruh konstruksi pemecah gelombang terhadap perbaikan lingkungan biofisik, serta respon masyarakat terhadap bangunan pemecah gelombang, upaya pencegahan kerusakan bakau, dan berbagai strategi adaptif masyarakat dalam mengelola ekosistem pantai berbakau guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Penelitian ini berupaya mendapatkan solusi yang baik, tepat dan bijaksana dalam pemanfataan sumberdaya alam pesisir dan tekanan sosial ekonomi masyarakat, sehingga masyarakat pantai dapat sejahtera dengan mengkonservasi ekosistem pesisir. Tabel 1.1. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan erosi, kerusakan hutan bakau, dan masyarakat pesisir. No. 1. 2. 3. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Penelitian Ghazali (2006). Menggambarkan Coastal Erosion sejarah upaya and Reclamation in reklamasi dan Malaysia. pengendalian erosi di Malaysia. Mencari solusi permasalahan erosi pantai dan usaha reklamasi tersebut. Metode Penelitian Metode survey dan historikal data sekunder Moberg & Mengkaji peranan Ronnback (2003). teknologi dalam Ecosystem menggantikan fungsi Services of The jasa lingkungan alami. Tropical Mengkaji fungsi Seascape: restorasi ekosistem, Interactions, yang berguna bagi Substitutions and manusia dan mampu restoration. menjadi sistem penanggulangan gangguan lingkungan pada masa depan. Barbier (2006). Mengkaji motivasi Natural Barriers to masyarakat menanam Natural Disasters: bakau di Thailand Replanting Bakaus Mengkaji kesuksesan after The Tsunami penanaman bakau Mengidentifikasikan insentif atas partisipasi masyarakat lokal dalam penanaman bakau. Metode survey dan historikal data sekunder Metode survey dan historikal data sekunder Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini Erosi dan reklamasi pantai Malaysia menjadi issu utama pengelolaan pesisir ketika lahan pertanian mulai tererosi sejak tahun 1980an Hampir 30% pantai di Malaysia mengalami erosi yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Pengendalian erosi pantai baru dilakukan ketika erosi telah mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. sejak tahun 1982, Upaya pengendalian erosi pantai dengan revetment, breakwaters, dan penambahan material dengan panjang 80 km. Pemerintah berperanan penting dalam pembuatan kebijakan pengelolaan pesisir yang mengatur reklamasi lahan. Penggunaan teknologi membutuhkan bahan bakar fosil, biaya dan pemeliharaan mahal. Program restorasi tidak fokus pada proses skala luas, seperti keterkaitan faktor biofisik, dan biogeokimia pada ekosistem bentang laut. Jasa lingkungan alami tidak dapat digantikan dengan teknologi. Program restorasi, substitusi, dan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa pengetahuan yang luas tentang dnamika, multifungsi, dan keterkaitan antar ekosistem. Fokus Kajian: tambahan kajian vegetasi dan adaptasi masyarakat yang berintegrasi dengan kajian erosi pantai Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, vegetasi dan responden Perlu pengembangan kelembagaan dan kebijakan yang baru bagi semua penduduk pesisir untuk meningkatkan efisiensi kesuksesan rehabilitasi dan pengelolaan bakau sebagai pemecah gelombang Masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk berpartisipasi menanam bakau. Kegagalan rehabilitasi bakau karena ketidakjelasan program kerja rehabilitasi bakau dan insentif pemanfaatan hasil ekosistem, seperti insentif: pemanfaatan kayu, lahan pertambakan, dan hasil ekosistem lainnya. Fokus kajian: ada tambahan kajian fisiko kimia ekosistem pantai yang berintegrasi dengan kajian vegetasi dan perilaku masyarakat pantai Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, vegetasi dan responden Fokus kajian: ada tambahan kajian fisiko kimia ekosistem pantai yang berintegrasi dengan kajian vegetasi dan perilaku masyarakat pantai Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, vegetasi dan responden 11 No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Penelitian Primavera & Mengevaluasi Esteban (2008). kesuksesan program A Review of Bakau rehabilitasi ekosistem Rehabilitation in bakau berdasarkan the Philippines: faktor biofisik dan Successes, institusional Failures and Mengkaji upaya Future Prospects. rehabilitasi bakau di Filipina secara temporal Menjelaskan dampak rehabilitasi bakau. Merekomendasikan upaya pengelolaan ekosistem bakau yang tepat dalam membangun budidaya perikanan tambak yang ramah lingkungan dan berkelanjutan Metode Penelitian Metode survey dan historikal data sekunder 5. Ritohardoyo Mengungkap (2011). keragaman dan Strategi keberhasilan strategi Peningkatan yang diterapkan rumah Pendapatan tangga dalam Penduduk meningkatkan Perdesaan sekitar pendapatan Ekosistem Bakau (Kasus Kecamatan Kampung Laut Kabupaten Cilacap). metode survey dengan wawancara 6. Ritohardoyo & Ardi Umum : mengkaji (2011). persepsi dan partisipasi masyarakat dalam Arahan Kebijakan pemanfaatan, Pengelolaan pencegahan kerusakan Metode survey dengan wawancara Analisis 4. Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini Kerusakan bakau lebih dari 50% disebabkan tambak perikanan. Terjadi perubahan pola rehabilitasi bakau, yang mulanya inisiatif masyarakat lokal (bottom up) menjadi dominansi arahan pemerintah dan LSM dengan dana berlimpah. Perubahan pola program rehabiitasi oleh pemerintah mengakibatkan biaya kegiatan lebih mahal dengan tingkat kesuksesan lebih rendah daripada hasil rehabilitasi bakau oleh swadaya masyarakat. Faktor teknis penyebab kegagalan rehabilitasi bakau adalah ketidaktepatan pemilihan lokasi penanaman dan spesies yang ditanam. Rehabilitasi bakau oleh masyarakat memiliki tingkat kesuksesan yang lebih baik karena penggunakan pengetahuan lokal masyarakat dalam penanaman bakau. Merekomendasikan strategi pengelolaan budidaya perikanan tambak tradisional di lahan bakau dengan perbandingan setiap 1 ha lahan tambak harus mengkonservasi empat hektar lahan bakau. Fokus kajian: ada tambahan kajian fisiko kimia ekosistem pantai yang berintegrasi dengan kajian vegetasi dan perilaku masyarakat pantai menanam bakau Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, vegetasi dan responden Jumlah dan ragam strategi rumah tangga berkaitan erat dengan kondisi biofisik daerah serta dipengaruhi oleh status sosial ekonomi rumah tangga. Banyaknya ragam strategi peningkatan pendapatan penduduk berbanding terbalik dengan status sosial ekonominya, dimana semakin rendah tingkat sosial ekonomi rumah tangga, maka semakin beragam strategi dalam peningkatan pendapatannya. Besar rerata peningkatan pendapatan rumah tangga dipengaruhi oleh sosial ekonomi rumah dan ragam strategi yang dilakukan oleh rumah tangga. Banyaknya keragaman strategi peningkatan pendapatan masyarakat belum mampu mencukupi kebutuhan hidup minimum rumah tangga Hampir separuh penduduk memiliki pengetahuan sedang dan persepsi negatif tentang manfaat, kerusakan akibat pemanfaatan, dan perlunya pencegahan kerusakan ekosistem bakau. Persepsi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan bakau. Fokus kajian: ada tambahan kajian fisiko kimia ekosistem pantai dan kajian vegetasi yang berintegrasi dengan strategi adaptasi masyarakat pantai Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, dan vegetasi Fokus kajian: ada tambahan kajian fisiko kimia ekosistem pantai dan kajian vegetasi berdasarkan data pengukuran lapangan, yang berintegrasi 12 No. 7. Peneliti dan Judul Penelitian Ekosistem Bakau: Kasus Pesisir Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Tujuan Penelitian ekosistem hutan bakau dan mencari alternatif arahan pengelolaan ekosistem bakau dari aspek sosial ekonomi masyarakat. Shilong Luo, Feng Mengkaji berbagai Cai, Huijian Liu, macam pendekatan Gang Lei, penanggulangan abrasi Hongshuai Qi, pantai dan menemukan Xianze Su.(2015) solusi yang tepat untuk penanggulangan Adaptive tersebut measures adopted for risk reduction of coastal erosion in the People's Republic of China. Metode Penelitian data teknik tabulasi frekuensi, tabulasi silang, dan uji kai kuadrat dilengkapi uji koefisien kontengen si Review pustaka Laporan proyek Studi lapangan Hasil Penelitian Keaslian penelitian ini Partisipasi masyarakat memanfaatkan dan mencegah kerusakan tergolong sedang yang dipengaruhi oleh status sosial ekonomi. Perbedaan tingkat status sosial ekonomi, pengetahuan, dan persepsi terhadap bakau diikuti perbedaan tingkat partisipasi masyarakat melestarikan bakau. Kebijakan pemerintah setempat mengelola magrove ditanggapi negatif oleh masyarakat karena tidak adanya kejelasan dan ketegasannya. Pemerintah harus menyusun rencana pengelolaan ekosistem hutan bakau terpadu dan disosialisasikan kepada masyarakat. dengan perilaku masyarakat pantai mengelola ekosistem hutan bakau Jenis ekosistem hutan bakaunya berbeda: antara riverine mangrove dengan fringe mangrove Jenis data: data pengukuran lapangan lebih dominan khususnya variabel sedimen, dan vegetasi Cina memiliki dinding pantai sepanjang 13.830 km, groin dan pemecah gelombang dibangun di pantai berlumpur reklamasi telah menghasilkan 12.000 km2 lahan baru untuk lokasi pantai sejak 1940. sebelum tahun 1960an, mengatasi erosi pantai dengan bangunan pengaman pantai sebagian besar erosi pantai terjadi secara intensif di daerah pemukiman sebagian besar pantai berpasir di cina mengalami erosi dan degradasi hutan bakau membuat pantai rentan tererosi banyak pemimpin di cina berusaha untuk mengurangi dampak erosi pantai sejak 100 tahun yang lalu. dinding pantai dan revetment sangat efektif untuk menghentikan erosi pantai skala lokal, namun upaya ini hampir pasti mengubah besaran transport sedimen sepanjang pantai, dan hasilnya adalah erosi yang parah reklamasi merupakan salah satu penyelesaian yang potensial akibat meningkatnya lahan baru untuk kehidupan dan perkembangannya. permintaan sangat meningkat beberapa saat ini karena meningkatnya perekonomian daearah pesisir. Cara mengatasi non sruktural: penambahan material di pantai, penerapan zona penyangga, dan vegetasi metode: kajian biogeokimia ekosistem pantai (erosi pantai dan ekosistem hutan bakau) lebih ditekankan dengan pengambilan data lapangan, serta respon masyarakat dalam menghadapi bencana kerusakan pantai tersebut. 13