FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SCABIES PADA NELAYAN DI DESA WERU KECAMATAN PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN Cahya Pawika Ratri, Indriati Paskarini Departemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Email: [email protected] ABSTRACT Scabies is a contagious disease that is thought to occur because of poor sanitation. The disease is more common in high-density residential is also a lack of clean water. The purpose of this study was to analyze the factors - factors related to the incidence of scabies in the fishing village of Lamongan Weru. The experiment was conducted with cross-sectional design with a quantitative approach. The study was conducted by means of interviews of 90 respondents. Sampling was done by random sampling system, in a way to record all the fishermen in the village Weru. Sampling using simple random sampling. The research was conducted by interview and clinical examination. The independent variables are individual characteristics, employment and personal hygiene. While the dependent variable is the disease scabies. To determine respondents infected scabies physical examination. Of the 90 survey respondents found 21 people tested positive for scabies, scabies 37 and 32 other've never scabies. To find a strong relationship between the independent and dependent variables using the Spearman correlation test. Correlation test results show no relationship between knowledge and personal hygiene with the incidence of scabies. As for age, length of employment and length of service is not associated with the incidence of scabies. The conclusion that can be drawn is knowledge and personal hygiene have been associated with the incidence of scabies in the fishing village of the District Weru Paciran Lamongan. It is recommended for fishermen to pay more attention to personal hygiene. Keywords : scabies, fishermen, personal hygiene, knowledge ABSTRAK Scabies merupakan penyakit menular yang diperkirakan terjadi karena sanitasi yang buruk. Penyakit ini banyak terjadi pada kepadatan hunian yang tinggi juga kurangnya air bersih. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian scabies pada nelayan di Desa Weru Kabupaten Lamongan. Penelitian dilaksanakan dengan rancangan cross sectional dengan melakukan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara kepada 90 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan sistem random sampling, dengan cara mendata semua nelayan di desa weru. Penarikan sampel menggunakan simple random sampling. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawanacara dan pemeriksaan klinik. Variabel bebas penelitian adalah karakteristik individu, pekerjaan dan higiene perorangan. Sedangkan Variabel terikat adalah penyakit scabies. Untuk menentukan responden terinfeksi penyakit scabies dilakukan pemeriksaan fisik. Dari 90 responden penelitian ditemukan 21 orang positif terkena scabies, 37 pernah scabies dan 32 lainnya tidak pernah scabies. Untuk mengetahui kuat hubungan antara variabel bebas dan terikat dengan menggunakan uji korelasi spearman. Hasil Uji korelasi menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dan higiene perorangan dengan kejadian scabies. Sedangkan umur, lama kerja dan masa kerja tidak berhubungan dengan kejadian scabies. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah pengetahuan dan higiene perorangan mempunyai hubungan terhadap kejadian scabies pada nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Untuk itu disarankan bagi nelayan untuk lebih memperhatikan higiene perorangan. Kata Kunci : scabies, nelayan, higiene perorangan, pengetahuan 132 133 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara maritim dan tercatat sebagai Negara kepulauan dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 buah yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 5,8 juta km2 dengan zona Ekonomi Eksklusif seluas 2.78 juta km2. Ada sekitar 60 juta Penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan penyumbang sekitar 22 persen dari pendapatan bruto nasional (Martiana dan Lestari, 2006) Menurut ILO dan WHO kesehatan kerja adalah aspek atau unsur kesehatan yang erat bertalian dengan lingkungan kerja dan pekerjaan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan tenaga kerja. Tujuan dari kesehatan kerja sendiri adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi – tingginya baik jasmani, rohani maupun sosial untuk semua lapangan pekerjaan, mencegah timbulnya gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi kerja, melindungi tenaga kerja dari bahaya kesehatan yang timbul akibat pekerjaan, dan menempatkan tenaga kerja pada suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan kondisi fisik atau faal tubuh dan mental psikologis tenaga kerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2009) Kesehatan dan keselamatan kerja ini merupakan hak bagi pekerja yang berada dalam sektor formal maupun sektor informal, begitupun bagi nelayan. Nelayan sangat rentan sekali terhadap penyakit akibat kerja. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan nelayan tentang kesehatan dan keselamatan kerja. Ada banyak jenis nelayan menurut lamanya waktu melaut, ada nelayan harian, mingguan dan juga bulanan. Kurangnya pengetahuan nelayan tentang higiene sanitasi pada saat melaut menyebabkan banyaknya nelayan yang terkena penyakit akibat kerja. Penyakit akibat kerja itu sendiri merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaannya atau lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja diatur oleh Permenaker No. 1/MEN/1981 tentang kewajiban melapor PAK. Berbagai penyakit dan kecelakaan dapat terjadi pada nelayan dan penyelam tradisional, hasil penelitian Depkes RI tahun 2006 di Pulau Bungin, Nusa Tenggara Barat ditemukan 57,5% nelayan penyelam menderita nyeri persendian dan 11,3% menderita gangguan pendengaran ringan sampai ketulian. Di Kepulauan Seribu, 41,37% nelayan penyelam menderita barotrauma atau perdarahan akibat tubuh mendapat tekanan yang berubah secara tiba-tiba pada beberapa organ/jaringan. Serta 6,91% penyelam menderita kelainan dekompresi yang di sebabkan tidak tercukupinya gas nitrogen akibat penurunan tekanan yang mendadak, sehingga menimbulkan gejala sakit pada persendian, susunan syaraf, saluran pencernaan, jantung, paru dan kulit. Masalah kesehatan lainnya berkaitan dengan budaya dan gaya hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan dan perilaku hidup tidak menjaga kebersihan, makanan tidak cukup gizi, merokok, minum-minuman beralkohol, bergadang serta masalah sosial dan ekonomi nelayan (Kemenkes RI, 2012). Salah satu penyakit akibat kerja terbesar adalah dermatosis. Presentase dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 60 -50 %, maka dari itu penyakit ini pada tempatnya mendapatkan perhatian yang proporsional (Suma’mur, 2009). Selain prevalensi yang tinggi, dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat di lengan, tangan dan jari yang sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga berpengaruh terhadap produktivitas kerjanya. Penyakit scabies ini merupakan salah satu penyakit infeksi kulit (dermatitis kontak) dan juga penyakit akibat kerja yang dapat ditimbulkan oleh buruknya sanitasi nelayan. Perahu nelayan seringkali sebagian besar tidak dilengkapi dengan air Cahya P. Ratri dan Indriati Paskarini, Faktor Yang Berhubungan Dengan… 134 bersih yang cukup. Hal ini menyebabkan para nelayan tersebut sesudah makan, buang air besar maupun kecil atau setelah bekerja mereka tidak mencuci anggota tubuhnya dengan bersih. Kejadian yang seperti ini dapat mengakibatkan timbulnya penyakit scabies. Scabies adalah penyakit menular yang disebabkan melalui kutu Sarcoptes scabiei var hominis. Penularan penyakit ini akibat dari kontak langsung. Penyakit ini merupakan penyakit yang endemi pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras maupun golongan dan pada semua umur. Faktor yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit ini adalah higiene yang jelek, seksual promiskuistas, kemiskinan, demografi, diagnosis yang salah, ekologi dan derajat sensitasi individual (harahap, 2000). Di desa Weru kecamatan Paciran Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pengelola hasil tangkapan nelayan. Penduduk di desa ini sangat padat. Menurut data dari puskesmas pembantu di desa weru kejadian scabies ini menempati peringkat ke 4 sepanjang tahun 2011 dan 2012. Scabies ini merupakan penyakir kulit yang dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita, seprei, baju, dan hubungan seksual. Scabies juga dapat terjadi jika kekurangan air bersih. Kebutuhan air bersih pada manusia sangat banyak selain untuk minum juga untuk membersihkan diri. Selama nelayan melaut mereka terkadang memakai air laut untuk membersihkan dirinya. Hal ini yang dapat memicu terjadinya penyakit scabies dikalangan nelayan. Tujuan dari penelitian ini adalah enganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian scabies pada nelayan di Desa Weru Kabupaten Lamongan. METODE Berdasarkan cara pengambilan data, maka penelitian ini bersifat observasional, karena data diperoleh melalui pengamatan dan tidak dilakukan perlakuan terhadap objek penelitian selama penelitian berlangsung. Berdasarkan waktu penelitian, maka penelitian ini bersifat cross sectional, karena pengumpulan data dilakukan sekaligus pada saat itu juga. Jika ditinjau berdasarkan jenisnya, desain penelitian ini adalah penelitian analitik karena bertujuan untuk menganalisis hubungan anatara variabel bebas dan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik uji korelasi Spearman dan penelitian ini untuk menentukan adakah pengaruhnya antara faktor – faktor tersebut dengan kejadian scabies dan faktor resikonya bagi responden. Penelitian ini termasuk penelitian lapangan karena peneliti mengamati langsung di lapangan. Populasi penelitian ini adalah pekerja nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Di desa Weru ini para nelayan membentuk perkumpulan yang disebut paguyuban nelayan. Di desa ini terdapat 6 paguyuban nelayan. Jumlah nelayan di Desa Weru ini ada 1466. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah nelayan desa weru kecamatan paciran dengan menggunakan sistem random sampling. Cara pengambilan sampel dari penelitian ini adalah simple random sampling. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 90 nelayan di desa Weru kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. Lokasi penelitian di Desa Weru tepatnya dipaguyuban nelayan dan penelitian ini dilaksanakan bulan November 2013 sampai April 2014. Variabel yang digunakan dalam penelitian adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas meliputi faktor karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan pengetahuan), faktor pekerjaan (lama kerja, masa kerja dan alat pelindung diri) dan faktor Higiene Perorangan (mandi, mencuci tangan, mengganti pakaian dan persediaan air bersih)Variabel bebas dari penelitian ini adalah kejadian scabies di desa Weru kecamatan Paciran. 135 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kuisioner yang nantinya akan diisi oleh responden (nelayan) dengan cara wawancara. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya penyakit scabies yang bekerjasama dengan instansi kesehatan terkait. Sedangkan data sekunder digunakan untuk mengetahui gambaran umum masyarakat desa Weru yang dilihat dari profil desa Weru dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Data hasil wawancara dan observasi disajikan dalam bentuk tabel tabulasi silang dan di analisis dengan uji korelasi spearman . HASIL Gambaran Umum Tempat Penelitian Weru adalah salah satu desa bagian dari kecamatan Paciran kabupaten Lamongan yang terletak di bagian utara (pantura) propinsi Jawa Timur, Indonesia. Desa weru merupakan salah satu sentra perikanan dari kabupaten Lamongan, karena di daerah ini hampir 90 % penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Desa Weru juga merupakan tempat pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan untuk wilayah desa Weru dan sekitarnya. Di desa ini juga dijadikan tempat pangkalan dari nelayan dari desa lain yaitu desa paloh, desa warulor, dan desa sidokumpul sehingga sering disebut sebagai weru komplek. Di desa Weru terdapat 6 paguyuban yang jaraknya tidak terlalu jauh antar paguyuban. Di Paguyuban ini biasanya nelayan berkumpul untuk membuat jaring, memperbaiki kapal, memperbaiki mesin kapal, dan memperbaiki jaring yang rusak. Nelayan di desa ini juga mempunyai hari libur yaitu pada hari Jumat, pada hari itu digunakan nelayan untuk memperbaiki alat tangkap mereka. Pada hari jumat mereka selalu berkumpul di paguyuban dan masing – masing paguyuban mempunyai ketua. Nama dari paguyuban mereka ada pa disesuaikan nama ketua paguyuban pada saat itu. Rata – rata nelayan di daerah ini meruapakan nelayan harian. Mereka berangkat jam 3 malam dan kembali pada jam 1 siang. Perahu responden merupakan perahu tradisional yang rata – rata berukuran 4 m x 10 m dengan muatan 3 – 2 ABK. Nelayan di desa ini berlayar kurang lebih sejauh 12 mil dalam sekali melaut. Letak geografis desa Weru berada pada pesisir pantai utara dan merupakan wilayah perbatasan dengan kabupaten Gresik. Dengan batas desa sebelah utara laut jawa. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Campurejo Kecamatan Panceng Kabupaten Gresik. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Sidokumpul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Kemudian sebelah timur berbatasan dengan desa Sidokumpul Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Distribusi Faktor Karakteristik Individu pada Nelayan di Desa Weru Hasil penelitian menunujukkan bahwa umur responden paling muda adalah 19 tahun dan yang paling tua adalah 70 tahun. Semua responden berjenis kelamin laki – laki. pendidikan nelayan rata – rata adalah tamatan sekolah dasar dan sebagian lagi adalah tamatan SMP dan SMA. Ada juga nelayan yang tidak menempuh pendidikan yaitu sebanyak 3 orang. Pada 90 sampel nelayan yang terambil tidak ada yang sampai pada perguruan tinggi. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan pada nelayan di Desa Weru Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa dari 90 responden, 52 orang mempunyai pengetahuan tentang scabies dalam kategori cukup. Sedangkan 38 responden lainnya termasuk berpengetahuan baik. Dalam hasil analisis wawancara tidak ada responden dengan pengetahuan yang kurang. Cahya P. Ratri dan Indriati Paskarini, Faktor Yang Berhubungan Dengan… 136 Distribusi Faktor Pekerjaan pada Nelayan di Desa Weru Dari 90 sampel yang terambil, semua nelayan bekerja kurang dari satu hari dan rata – rata melaut selama kurang dari 12 jam. Mereka berangkat pada pukul 3 pagi dan pulang sekitar pukul 1 siang. Nelayan di desa weru juga mempunyai hari libur kerja yaitu pada hari Jumat. Distribusi frekuensi masa kerja, paling banyak mempunyai lama kerja lebih dari 5 tahun yaitu sebesar 87 nelayan. Paling sedikit yaitu nelayan yang mempunyai lama kerja 5 tahun dan yang kurang dari 5 tahun hanya 2 orang saja. Penggunaan APD untuk APD sarung tangan, banyak nelayan yang tidak menggunakan sarung tangan saat melaut yaitu sebanyak 46 orang nelayan. Rata – rata sarung tangan yang dipakai oleh nelayan adalah sarung tangan dengan bahan kain. Sedangkan untuk APD sepatu atau sandal nelayan banyak yang tidak menggunakannya saat melaut yaitu sebanyak 55 orang. APD perlindungan kepala (topi) banyak nelayan yang menggunakan APD Topi yaitu sebanyak 85 orang nelayan. Nelayan juga banyak yang tidak menggunakan APD masker, dari 90 responden hanya 16 orang yang selalu menggunakan masker saat melaut. Hampir separuh dari responden nelayan menggunakan pakaian kerja saat melaut yaitu 46 responden sedangkan 44 responden lainnya nya tidak selalu menggunakan pakaian kerja saat melaut. Nelayan yang menggunakan pelampung saat melaut hanya 15 orang saja sangat sedikit jika dibandingkan dengan nelayan yang tidak menggunakan pelampung saat melaut yaitu sebesar 72 responden. Hampir separuh dari total sampel menggunakan yang menggunakan APD jas hujan yaitu sebesar 42 orang, sedangkan 22 orang kadang – kadang saja dan 26 orang lainnya selalu membawa jas hujan saat melaut. Distribusi Faktor Higiene pada Nelayan di Desa Weru Hasil perhitungan skor higiene perorangan dari 90 responden, 21 orang mempunyai status higiene perorangan yang kurang, 33 orang mempunyai status higiene perorangan yang cukup, dan 36 orang lainnya mempunyai status higiene yang baik. Kejadian Scabies di desa Weru Kejadian penyakit scabies didiagnosis oleh tenaga medis puskesmas Weru melalui pemeriksaan fisik pada Nelayan di Desa Weru Kabupaten Lamongan yang selanjutnya mendapatkan pengobatan. Dimana pemeriksaan fisik ini dengan cara melihat adanya bengkak, gelembung halus pada kulit, rasa gatal dan panas pada malam hari, kulit berbintik kemerahan dan terbentuk terowongan berwarna putih keabu – abu. Dari hasil pemeriksaan klinis didapatkan 21 orang positif terkena scabies, 37 pernah mengalami penyakit scabies dan 32 lainnya tidak pernah mengalami penyakit scabies. Gambar 1. Scabies pada nelayan Kejadian Scabies Menurut Umur Hasil pemeriksaan scabies yang dilakukan menunjukkan nelayan yang terbanyak menderita scabies akibat pekerjaannya terdapat pada nelayan yang berumur lebih dari 20 - 40 tahun beda tipis dengan nelayan yang berumur lebih dari 40 tahun. 137 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 Distribusi frekuensi responden kejadian scabies berdasarkan kelompok umur pada nelayan di desa Weru Kabupaten Lamongan tahun 2014 pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Distribusi kejadian scabies nelayan di Desa Weru kabupaten Lamongan menurut umur, tahun 2014 Umur <20 tahun 20 – 40 tahun >40 tahun Kejadian Scabies Pernah Tidak scabies scabies Scabies N (%) N (%) N (%) Jumlah N% - - 1 (100) 1 (100) 11 (26) 12 (28) 20 (46) 43 (100) 10 (22) 25 (54) 11 (24) 46 (100) Hasil perhitungan menggunakan koefesien korelasi Spearman yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian scabies dengan umur responden karena nilai koefisien (0,225) menunjukkan lebih dari α (α = 0,01) Kejadian Scabies Menurut Tingkat Pendidikan Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan nelayan yang terbanyak menderita scabies menurut tingkat pendidikan terdapat pada nelayan yang berpendidikan SD Tabel 2. Distribusi kejadian scabies nelayan di Desa Weru kabupaten Lamongan menurut tingkat pendidikan, tahun 2014 Kejadian Scabies Tingkat Pendidikan Jumlah N (%) Pernah scabies N (%) Tidak Scabies N (%) N (%) scabies Tidak Tamat SD SD 1(33) 2(67) - 3 (100) 10 (24) 19 (45) 13 (31) 42 (100) SMP 4 (16) 13 (52) 8 (32) 25 (100) SMA 6 (30) 3 (15) 11 (55) 20 (100) Hasil perhitungan menggunakan koefesien korelasi spearman yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit scabies dengan tingkat pendidikan karena nilai koefesien (koefisien 0,114) melebihi nilai dari α (α = 0,01) Kejadian Scabies Menurut Pengetahuan Hasil Penelitian yang dilakukan menunjukkan nelayan yang terbanyak menderita scabies menurut pengetahuan terdapat pada nelayan yang memiliki pengetahuan cukup. Untuk data lebih jelasnya akan disajikan pada tabel 5.9 berikut ini. Tabel 3. Distribusi kejadian scabies nelayan di Desa Weru kabupaten Lamongan menurut pengetahuan, tahun 2014 Kejadian Scabies Penget ahuan Scabies Jumlah Cukup N (%) 18 (35) Pernah Scabies N (%) 20 (38) Tidak Scabies N (%) 14 (27) N (%) 52 (100) Baik 3(8) 17 (45) 18 (47) 38 (100) Hasil perhitungan menggunakan koefisien korelasi spearman menunjukkan ada hubungan yang signifikan (koefisien 0,004) antara pengetahuan dengan kejadian scabies dengan kekuatan hubungan yang tergolong lemah (korelasi 0,301). Kejadian Scabies Menurut Lama Kerja Semua nelayan di Desa Weru Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan mempunyai lama kerja yang sama yaitu kurang dari 1 hari (24 jam). Rata – rata nelayan melaut sehari 10 jam. Dalam satu minggu 6 hari hari nelayan melaut jadi total dalam satu minggu nelayan bekerja selama 60 jam. Lama kerja tidak bisa di uji dengan uji spearman karena semua nelayan lama kerjanya sama. Kejadian Scabies Menurut Masa Kerja Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan nelayan yang terbanyak menderita scabies menurut masa kerja Cahya P. Ratri dan Indriati Paskarini, Faktor Yang Berhubungan Dengan… 138 terdapat pada nelayan yang memiliki Masa kerja yang lebih dari 5 tahun. Untuk data lebih jelasnya akan disajikan pada tabel 4 berikut ini : Tabel 4. Distribusi kejadian scabies nelayan di Desa Weru kabupaten Lamongan menurut masa kerja, tahun 2014 Masa Kerja <5 tahun 5 tahun >5 tahun Kejadian Scabies Scabie Pernah Tidak s scabies Scabies N(%) N (%) N (%) 1 (50) 1 (50) 1 (100) 20 (23) 36 (41) 31 (36) penyakit scabies dengan perorangan (korelasi 0,521). Rekapitulasi Hubungan antar Variabel Hasil rekapitulasi penelitian hubungan antara variabel bebas (umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, masa kerja dan higiene perorangan) dan variabel terikat (Kejadian scabies) disajikan pada tabel 6. Jumlah N (%) 2 (100) 1 (100) 87 (100) Tabel 6. Rekapitulasi Hubungan antar Variabel Variabel Bebas Umur Hasil perhitungan menggunakan koefesien korelasi spearman yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyakit scabies dengan masa kerja dikarenakan nilai koefisien (koefisien 0,701) lebih dari α (α=0,01). Kejadian Scabies Menurut Higiene Perorangan Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan nelayan yang terbanyak menderita scabies menurut higiene perorangan terdapat pada nelayan yang memiliki higiene perorangan kurang. Untuk data lebih jelasnya akan disajikan pada tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Distribusi kejadian scabies nelayan di Desa Weru kabupaten Lamongan menurut higiene perorangan, tahun 2014 Kejadian Scabies Higiene Peroran gan Scabies Kurang higiene Jumlah N (%) Pernah Scabies N (%) Tidak Scabies N (%) N (%) 16 (76) 4 (19) 1 (5) 21 (100) Cukup 4 (12) 16 (48) 13 (40) 33 (100) Baik 1 (3) 17 (47) 18 (50) 36 (100) Hasil perhitungan menggunakan koefesien korelasi spearman yang menunjukkan ada hubungan yang signifikan (koefisien 0,000) dengan kekuatan hubungan yang kuat antara Tingkat Pendidikan Pengetahuan Masa Kerja Higiene Perorangan Variabel Terikat Kejadian scabies Kejadian scabies Kejadian scabies Kejadian scabies Kejadian scabies Uji Statistik P Spearman 0,225 Spearman 0,114 Spearman 0,004 Signifikan Spearman 0,701 Tidak signifikan Spearman 0,000 Signifikan Keterangan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Dari tabel 6 menunjukkan bahwa variabel bebas pengetahuan dan higiene perorangan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian scabies PEMBAHASAN Kejadian Scabies Pada Nelayan Hasil Penelitian yang dilakukan pada 90 responden nelayan di Desa Weru menunjukkan adanya kejadian scabies sebesar 23% positif scabies, 41 % pernah mengalami scabies dan 36 % tidak scabies. Hasil perhitungan menggunakan koefisien korelasi spearman faktor pengetahuan dan higiene perorangan mempunyai hubungan dengan kejadian scabies. Dilihat dari faktor pengetahuan banyak nelayan yang tidak tahu cara penularan dan pencegahan scabies itu sendiri. Sedangkan dilihat dari faktor higiene perorangan 21 orang higiene yang kurang. Responden kurang higiene pada saat mencuci tangan, penggunaan handuk handuk yang bergantian dengan anggota keluarganya, penggunaan sabun cuci tangan. 139 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 Penggunaan APD pada saat bekerja juga kurang dikarenakan banyak nelayan yang beranggapan APD yang digunakan dapat memberatkan proses pekerjaannya. Sarung tangan yang responden gunakan merupakan sarung tangan yang terbuat dari kain. Hal ini akan membuat penyakit scabies semakin memburuk karena sarung tangan ini lebih mudah basah. Responden berasumsi bahwa lebih nyaman menarik jaring atau pengkait kapal menggunakan sarung tangan kain dari pada sarung tangan yang terbuat dari kain. Banyak nelayan yang tidak menggunakan alas kaki pada saat bekerja. Hal ini juga bias mengakibatkan resiko terkontaminasi penyakit scabies atau jika sudah terkena scabies akan semakin memperparah. Dilihat dari observasi higiene nelayan sabun yang mereka bawa pada saat cuci tangan bukan sabun khusus cuci tangan tetapi sabun colek yang biasa digunakan mencuci baju atau mencuci piring. Nelayan yang melaut disaat suhu mulai panas yaitu sekitar pagi sampai siang sering melepas pakaian dikarenakan panas sehingga akan lebih mudah anggota kapal yang lain terkontaminasi dengan scabies jika salah satu anggota kapal lainnya telah terinfeksi penyakit scabies. Kepemilikan hewan juga berpengaruh pada kejadian scabies. Dari hasil wawancara sebesar 10 % nelayan mempunyai hewan peliharaan berupa kambing. Kemungkinan mereka tertular dikarenakan kontak langsung dengan kambing yang teridentifikasi terkena penyakit scabies. Kejadian Scabies Menurut Umur Hasil penelitian menunjukkan responden dengan umur 20 – 40 terdapat 11 nelayan yang terkena scabies dengan persentase 26 % tidak jauh beda dengan responden yang berusia lebih dari 40 tahun yaitu sebanyak 10 orang dengan persentase 22 %. Hasil dari korelasi spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan kejadian scabies. Namun hal ini sesuai tidak sesuai dengan Noor (2008) yang mengatakan umur mempunyai hubungan dengan besarnya resiko terhadap penyakit tertentu dan sifat resistensi pada berbagai kelompok umur tertentu. Dengan demikian maka dapat di mengerti bahwa adanya perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut umur sangat mempunyai kemaknaan (pengaruh) yang berhubungan dengan adanya perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut umur, adanya perbedaan dalam proses kejadian patogenesis, maupun adanya perbedaan pengalaman terhadap penyakit tertentu. Tetapi hasil ini sesuai dengan Harahap (2000) yang menyatakan bahwa penyakit scabies dapat mengenai semua ras dan golongan diseluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden sama pada pria dan wanita. Pawening (2009) juga menyatakan bahwa manusia terinfeksi oleh tungau Sacrcoptes Scabei tanpa memandang umur, ras atau jenis kelamin dan tidak mengenal status sosial dan ekonomi, tetapi higiene perorangan yang buruk dapat meningkatkan infeksi. Kejadian Scabies Menurut Tingkat Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak mengalami scabies adalah responden dengan tamatan SD yaitu 10 responden dengan persentase 24 %. Hal ini tidak sesuai dengan Notoatmojo (2003) bahwa semakin tinggi pendidikan normal yang dicapai, maka semakin baik pula proses pemahaman seseorang dalam menerima sebauah informasi baru. Tetapi dari hasil korelasi spearman menjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian scabies dengan tingkat pendidikan. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan berpengaruh pada pola hidup dan kerangka berpikir seseorang, tetapi pengetahuan seseorang bisa di dapatkan Cahya P. Ratri dan Indriati Paskarini, Faktor Yang Berhubungan Dengan… 140 diluat pendidikan formal (informal) bisa dari kegiatan penyuuhan kesehatan atau informasi dari orang ke orang. Kecenderungan ini menimbulkan kasus scabies di tempat ini lebih besar daripada di tempat lain. Kejadian Scabies Menurut Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan responden dengan scabies terbanyak terdapat pada responden dengan kriteria pengetahuan yang cukup yaitu 18 orang responden dengan persentase 35%. Di variabel pengetahuan tidak ada responden dengan kategori pengetahuan yang kurang. Dari hasil korelasi spearman menunjukkan ada hubungan yang lemah antara pngetahuan dengan kejadian scabies (korelasi 0,31) Pengetahuan inilah yang nantinya akan menjadikan responden melakukan pencegahan dan tindakan yang tepat untuk penyakit scabies. Rata – rata nelayan tidak tahu tentang cara penularan penyakit scabies. Dan kenyataannya banyak juga yang tidak langsung melakukan pengobatan pada penyakit ini dikarenakan penyakit ini merupakan penyakit biasa dan responden ini semuanya adalah laki – laki sehingga banyak yang tidak jarang melakukan pengobatan pada pelayanan kesehatan terdekat. Hal ini juga dikarenakan pada saat puskesmas pembantu buka yaitu pada pukul 08.00 sampai 12.00 sedangkan pada saat itu nelayan sedang melaut. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahmawati (2010) yang menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang kurang baik mempunyai resiko terhadap penyakit scabies sebesar 2,338 kali (95 % CI : 1,091 –5,009) dibandingkan dengan pengetahuan kesehatan lingkungan yang baik. Penelitian ini juga sesuai dengan Santosa (2002) penderita scabies timbul pada pengetahuan yang kurang tentang personal higiene, selain itu dilihat dari lingkungan yang kurang bersih, ketersediaan air yang kurag jumlahnya, serta sanitasi lingkungan yang kurang, begitu pula dengan perilaku ibu sehingga perawatan pada anak kurang. Kejadian Scabies Menurut Lama Kerja Semua responden bekerja kurang dari 1 hari yaitu 24 jam. Rata – rata mereka merupakan nelayan harian. Responden berangkat pada pukul 03.00 dan kembali pada pukul 13.00. tetapi hal ini melebihi jam kerja yang ditetapkan oleh undang undang No. 13 th.2003 pasal 77 ayat 1 point a yaitu 40 jam 6 hari dalam seminggu sedangkan responden rata rata dalam seminggu bekerja 60 jam sehingga mereka terlalu lama terpapar dengan resiko terkena scabies akibat higiene yang kurang baik pada saat melaut dan kurangnya membawa air bersih. Kejadian Scabies Menurut Masa Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 90 responden terdapat 20 orang yang terkena scabies dengan persentase 23 % memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Hasil dari korelasi spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang siginifikan antara scabies dengan masa kerja. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang mempengaruhinya, karena tidak sepenuhnya orang yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun juga terkena scabies (Setyaji, 2012). Ada beberapa faktor yang berpengaruh seperti penggunaan APD dan higiene perorangan yang baik. Kejadian Scabies Menurut Higiene Perorangan Hasil penelitian menunjukkan responden dengan scabies terbanyak terdapat pada kategori responden dengan kategori higiene sanitasi kurang yaitu sebesar 16 orang dengan persentase 76%. Hasil dari korelasi spearman menunjukkan bahwa kejadian scabies dengan higiene sanitasi mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,521. 141 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 Penilaian perorangan berdasarkan frekuensi mandi selama melaut, tidak melaut, mencuci tangan, mencuci rambut, mencuci tangan, berganti pakaian dan membawa air bersih saat melaut sebagian besar responden yang terkena scabies mempunyai sanitasi yang kurang. Banyaknya resoponden yang terkena scabies dikarenakan higiene sanitasi yang kurang. Salah satunya adalah penggunaan handuk secara bergantian dengan anggota keluarganya. Kenyataanya mereka banyak menggunakan handuk secara bergantian dengan istri atau anak. Banyak responden yang menganggap hal itu sudah biasa. Persediaan air bersih responden pada saat melaut juga kurang. Responden rata rata hanya membawa air bersih 1 galon yang berisi 19 liter yaitu digunakan untuk minum, cuci muka pada saat panas dan wudlu. Sedikit yang menggunakan untuk cuci tangan. 1 galon itu sendiri dimanfaatkan oleh seluruh ABK. Pada kenyataannya sebagian dari nelayan yang mandi pada saat melaut menggunakan air laut hanya sekedar membersihkan diri tanpa menggunakan sabun. Salah satu penilaian higiene perorangan adalah cuci tangan, kebiasaan cuci tangan ini harusnya dapat mengurangi prevalensi penyakit scabies. Hanya saja masih banyak responden yang hanya cuci tangan dengan air bersih tanpa menggunakan sabun. Akan tetapi scabies juga terjadi pada responden yang sudah mencuci tangan dengan menggunakan sabun, mungkin disebabkan karena kesalahan dalam mencuci tangan yaitu kurang bersih. Pemilihan jenis sabun juga sangat mempengaruhi kebersihan saat mencuci tangan, hasil dari wawancara dan observasi banyak nelayan yang menggunakan sabun cuci colek (cuci pakaian) sebagai sabun cuci tangan. Mencuci rambut merupakan aktivitas yang biasanya dilakukan beriringan pada saat mandi. Mencuci rambut sebaiknya menggunakan shampoo, karena shampoo itu berfungsi untuk membersihkan rambut dari kotoran atau bakteri. Penggunaan shampoo paling baik 3 kali selama seminggu. Dari hasil wawancara responden 68% telah mencuci rambut lebih dari dua kali selama seminggu. Mengganti pakaian sangatlah berpengaruh terhadap resiko terkena scabies karena kutu scabies bisa bertransmisi pada pakaian penderita scabies. Sehingga dengan mengganti pakaian akan mengurangi infeksi lebih lanjut bagi penderita scabies dan juga untuk mengurangi resiko penularan penyakit ini. Semua nelayan telah membawa air bersih saat melaut tapi air bersih itu hamper sebagaian besar responden tidak digunakan untuk menjaga kebersihan diri, tapi digunakan untuk keperluan lain yaitu, wudlu, minum dan membersihkan alat mesin. Rata – rata nelayan hanya membawa air I galon saja dan digunakan untuk semua ABK. Tampak sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit scabies. Tungau Sarcoptes scabies akan lebih mudah menginfestasi individu dengan higiene perorangan jelek dan sebaliknya lebih sukar menginfestasi individu dengan higiene perorangan baik karena tungau dapat dihilangkan dengan mandi dan keramas teratur, pakaian dan handuk sering dicuci dan kebersihan alas tidur (Ma’rufi dkk, 2004). Penelitian juga dilakukan oleh Mellifera (2009) juga menunjukkan adanya hubungan antara higiene perorangan dengan penyakit scabies. Penelitian ini juga dilakukan oleh Cahyawati dkk (2010) faktor higiene perorangan berhubungan pada penyakit dermatitis pada nelayang yang bekerja di TPI Tanjungsari. Ada kecenderungan bahwa responden yang menderita dermatitis karena higiene perorangan yang buruk, sebaliknya responden yang tidak menderita dermatitis mempunyai higiene perorangan yang baik. Cahya P. Ratri dan Indriati Paskarini, Faktor Yang Berhubungan Dengan… 142 SIMPULAN Responden berusia 19 sampai 70 tahun. 51 % responden berusia diatas 40 tahun. Sebesar 47% tingkat pendidikan responden adalah tamatan SD. Pengetahuan responden terhadap penyakit scabies sebesar 58 % berpengetahuan baik, 42 % berpengetahuan cukup dan tidak ada responden yang berpengetahuan kurang. Sebagian besar responden (97%) mempunyai lama kerja lebih dari 5 tahun.dan eluruh responden merupakan nelayan harian dengan jam kerja rata rata 60 jam perminggu. Hasil perhitungan skor higiene perorangan sebesar 23 % mempunyai status higiene perorangan yang kurang, 37 % responden mempunyai status higiene perorangan yang cukup, dan 40 % responden lainnnya mempunyai status higiene yang baik. Sebesar 23 % eesponden positif terkena scabies, 41 % pernah mengalami scabies dan 36 % responden lainnya tidak pernah mengalami scabies. Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi spearman faktor pengetahuan dan higiene perorangan mempunyai hubungan dengan kejadian scabies. Ada hubungan pengetahuan dengan scabies dengan nilai korelasi 0,301 dan hubungan higiene perorangan dengan scabies dengan nilai korelasi 0,521 DAFTAR PUSTAKA Cahyawati, Imma Nur dan Irwan Budiono. 2010. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Pada Nelayan. Jurnal vol 134. Semarang Universtas Negeri Semarang. http://journal.unnes.ac.id/index.php/k emas (sitasi 1 mei 2014) Harahap, Mawarli. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates Kesehatan Republik Indonesia. 2012. PEMBINAAN KESEHATAN KERJA NELAYAN DI 8 KABUPATEN / KOTA PADA TAHUN 2012. http://www.gizikia.depkes.go.id/arch ives/5087 ( sitasi : 26 Mei 2014) Ma’Rufi, Isa.dkk. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Skabies. Jurnal Kesehatan Lingkungan.Vol 2 No 1, Surabaya. journal.lib.unair.ac.id (sitasi 1 mei 2014) Martiana dan Lestari.2006. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Jakarta:ECG Mellifera, A. 2009. Hubungan higiene perorangan santri dan sanitasi pondok pesantren dengan kejadian penyakit scabies. Skripsi. Surabaya : Universitas Airlangga Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakarta : PT Rineke Cipta Pawening, A. 2009. Perbedaan Angka Kejadian Skabies Antar Kelompok Santri Berdasar Lama Belajar di Pesantren. Skripsi. Semarang : Universitas negeri semarang Permenaker No. 1/MEN/1981 tentang kewajiban melapor PAK. Puskesmas Pembantu Tlogosadang.2012. Laporan Bulanan Puskesmas Pembantu, Tlogosadang, 2013. Laporan Bulanan Rahmawati N. 2009. Pengaruh pendidikan kesehatan tentang penyakit scabies terhadap perubahan sikap penderita dalam pencegahan penularan penyakit scabies pada santri di pondom pesantren Al – amin Palur Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Santosa. 2002. Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Kulit. Jakarta : Penebar Swadaya Setyaji. 2012. Hubungan Higiene Perorangan dengan Penyakit Dermatitis pada Nelayan di Desa Weru Kanupaten Lamongan. Skripsi. Surabaya : Universitas Airlangga 143 The Indonesian Journal of Occupational Safety , Health and Environment, Vol. 1, No. 1 Jan-April 2014: 132-143 Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Jakarta : Sagung Seto Undang – Undang No.13 Th.2003 tentang ketenagakerjaan