ANALISIS PENGARUH ASSET TANGIBILITY TERHADAP

advertisement
ANALISIS PENGARUH ASSET TANGIBILITY TERHADAP LEVERAGE
DAN DEBT MATURITY DI EMERGING MARKETS
(Studi Empiris pada Perusahaan Non Finansial dan Non Utilitas di Negara Indonesia,
Filipina, Malaysia dan Thailand Periode 2002– 2011)
Isely Azani, Ririen Setiati Riyanti
Program S1 Reguler,
Departemen Manajemen,
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh asset tangibility terhadap leverage
dan debt maturity di emerging markets dengan menggunakan metode regresi data panel.
Selain itu, penelitian ini juga melakukan pemisahan sampel berdasarkan kondisi
institusional yang terkait dengan collateral. Hasil studi menunjukan bahwa pada
perusahaan non finansial dan non utilitas di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand
pada tahun 2002-2011, asset tangibility memiliki pengaruh terhadap leverage dan debt
maturity. Studi ini juga menemukan bahwa pengaruh asset tangibility terhadap leverage
berbeda pada setiap kelompok negara, seperti pada negara dengan peraturan collateral
lebih sederhana, hubungan antara variabel tersebut lebih kuat. Hal ini juga berlaku pada
pengaruh asset tangibility terhadap debt maturity.
Kata kunci: Leverage, Debt Maturity, Asset Tangibility, Collateral, Emerging Markets.
ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of asset tangibility towards leverage and debt
maturity in emerging markets by using panel data regression. In addition, this study also
split the sample based on institutional environment in each country related to collateral.
This study finds that in non financial and non utilities firms in Indonesia, Malaysia,
Philippines, and Thailand in 2002-2011, asset tangibility affects leverage and debt
maturity. This study also finds that the impact of asset tangibility towards leverage varies
across countries, such that in countries with fewer restrictions on collateral, the
relationship between these variables is much tighter. This also applies to the impact of
asset tangibility towards debt maturity.
Key word: Leverage, Debt Maturity, Asset Tangibility Ccollateral, Emerging Markets. Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
1. Latar Belakang Penelitian
Myers (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada teori umum mengenai
pemilihan kombinasi debt dan equity, namun ada beberapa teori kondisional yang dapat
digunakan sebagai pertimbangan keputusan struktur modal perusahaan. Modigliani dan
Miller's (1958) mengatakan bahwa utang memiliki prior claim terhadap aset dan pendapatan
perusahaan sehingga cost of debt selalu lebih kecil daripada cost of equity. Selain itu,
penggunaan utang memberikan keuntungan bagi perusahaan berupa tax shield dimana akan
ada pengurangan pajak yang dihasilkan dari penggunaan utang. Trade off theory menyatakan
perusahaan mencari tingkat debt yang menyeimbangkan tax advantages dari penambahan
debt terhadap biaya kemungkinan terjadinya financial distress, yang memprediksi moderate
borrowing dari perusahaan yang membayar pajak (Myers, 2001). Pecking order theory
mengatakan bahwa perusahaan akan meminjam, dibanding menerbitkan equity, ketika
internal cash flow tidak cukup untuk mendanai capital expenditures (Myers, 2001).
Namun, adanya biaya yang ditimbulkan dari kemungkinan bankruptcy dan financial
distress dapat mengurangi insentif perusahaan untuk menggunakan pembiayaan utang
(Megginson, 1997). Financial distress mengacu pada biaya yang ditimbulkan dari
kemungkinan bangkrut ataupun reorganisasi, dan juga agency costs yang meningkat ketika
creditworthiness atau kemampuaan perusahaan untuk membayar utang diragukan.
Kebangkrutan merupakan hasil dari kegagalan ekonomi dan penurunan pada nilai perusahaan
yang akan menurunkan kemakmuran dari shareholders. Semakin tinggi pembiayaan utang
yang dimiliki perusahaan membuat meningkatnya kemungkinan perusahaan menjadi bangkrut
karena tidak mampu membayar sehingga biaya kebangkrutan meningkat (Myers, 2001).
Dari hasil penelitian Benmelech dan Bergman (2009) ditemukan bahwa kemampuan
perusahaan untuk menyediakan collateral dalam menjamin utangnya dapat menurunkan biaya
dari pendanaan eksternal dan meningkatkan kapasitas utang. Hal ini dikarenakan keberadaan
collateral memungkinkan kreditur untuk mengembalikan, setidaknya sebagian, pinjaman
yang diberikan kepada debitur. Kemampuan untuk mengambil alih dan menjual collateral
ketika debitur tidak dapat melakukan pembayaran atas utangnya seperti yang dijanjikan dapat
mengurangi kerugian kreditur atas kegagalan dalam membayar kewajiban (default).
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Shleifer dan Vishny (1992) menyatakan bahwa bentuk collateral yang utama
digunakan adalah aset tetap berwujud (fixed tangible asset). Hal ini dikarenakan aset tetap
berwujud dapat memberikan jaminan yang lebih tinggi dibandingkan aset tidak berwujud.
Alasan lain adalah fixed tangible asset dapat mengurangi biaya financial distress karena
cenderung memiliki nilai likuidasi yang tinggi saat kebangkrutan. Sehingga jumlah aset tetap
berwujud, yang diharapkan memiliki nilai likuidasi aset yang tinggi saat bangkrut, akan
meningkatkan tingkat utang perusahaan, Bukti empiris dapat dilihat pada penelitian Campello
dan Giambona (2010), Rajan dan Zingales (1995), Hall (2012). Namun, penelitian-penelitian
tersebut belum ada yang mencoba mengukur pengaruh jumlah aset tetap berwujud terhadap
tingkat utang perusahaan untuk perusahaan yang berada pada negara emerging market di
ASEAN.
Selain itu, Djankov et al. (2008) menyatakan bahwa institusi secara umum dianggap memiliki
kinerja yang belum baik, terutama pada negara-negara berkembang. Terdapat variasi yang
cukup besar antara negara-negara dalam hal waktu, biaya, dan efisiensi dalam menegakan
kontrak utang (debt enforcement). Oleh karena itu, pada negara-negara berkembang
perusahaan cenderung menghindari mekanisme debt enforcement yang melibatkan
pengawasan pengadilan yang rinci dan panjang. Penyitaan dapat menjadi prosedur di luar
pengadilan sepenuhnya, namun kondisi peraturan yang berbeda di setiap negara,
menyebabkan terdapat pula negara-negara dalam hal penyitaan harus melalui proses
pengadilan.
Hall (2012) melakukan penelitian lebih dalam mengenai peran collateral dengan melihat
pengaruh asset tangibility terhadap leverage dan debt maturity perusahaan. Penelitian ini
menggunakan sampel negara-negara emerging markets di Eropa. Untuk melihat bagaimana
kemampuan kreditur dalam mendapatkan haknya, yaitu pengalihan aset dari debitur, Hall
(2012) juga meneliti bagaimana pengaruh dari institutional environment yang terkait dengan
regulasi mengenai mekanisme collateral di masing-masing negara. Hall (2012) menemukan
bahwa institutional environment di setiap negara dapat mempengaruhi hubungan antara asset
tangibility dengan leverage melalui peraturan collateral yang berlaku di negara masingmasing. Hal yang sama juga berlaku untuk hubungan antara asset tangibility dengan debt
maturity dimana terlihat bahwa ketika regulasi memfasilitasi mekanisme collateral yang
mendorong kreditur untuk memberikan pinjaman, maka debt maturity perusahaan akan lebih
panjang. Haselmann (2010) juga menyatakan bahwa fungsi utama dari regulasi adalah
memberdayakan kreditur untuk menegakkan kontrak mereka. Semakin baik regulasi dalam
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
mengatur mekanisme penegakan kontrak kreditur maka juga akan menurunkan cost of debt
akibat dari peningkatan creditworthiness.
Penelitian yang dilakukan Hall (2012) menjadi dasar penelitian ini yang dilakukan
dengan objek penelitian perusahaan-perusahaan publik pada negara Indonesia, Filipina,
Malaysia, dan Thailand (ASEAN-4). Penelitian ini berusaha melihat apakah terdapat
pengaruh antara asset tangibility terhadap leverage dan debt maturity pada perusahaanperusahaan tersebut pada tahun 2002 hingga 2009. Penelitian ini juga ingin melihat
bagaimana peran institutional environment, baik dalam hubungan antara asset tangibility
dengan leverage, maupun hubungan antara asset tangibility dengan debt maturity.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Determinan Struktur Modal
Keputusan struktur modal menjadi keputusan yang sangat penting terkait dengan
pengaruhnya terhadap laba dan nilai perusahaan ke depannya. Kebijakan struktur modal
perusahaan dapat memengaruhi tingkat pengembalian dan risiko yang dimiliki perusahaan
(Gitman,2003). Struktur modal perusahaan dapat dicerminkan dengan leverage ratio, dimana
semakin tinggi leverage ratio maka akan semakin besar proporsi penggunaan utang dalam
pendanaan perusahaan.
Para peneliti beberapa dekade terakhir sudah memperdebatkan mengenai faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi keputusan struktur modal perusahaan ini. Pada penelitian ini
akan lebih berfokus untuk membahas lebih dalam mengenai pengaruh salah satu faktor
struktur modal, yaitu asset tangibility.
Asset tangibility didefinisikan sebagai seberapa besar jumlah aset tetap berwujud
(fixed tangible asset) yang dimiliki perusahaan. Sesuai framework Jensen dan Meckling
(1976), fixed tangible assets mudah untuk dijadikan collateral, sehingga perusahaan dengan
banyak fixed tangible asset akan memiliki agency cost of debt yang rendah dan penggunaan
utang menjadi lebih tinggi.
Rajan dan Zingales (1995) dalam penelitiannya pada perusahaan non keuangan di
negara-negara G-7 juga menemukan bahwa asset tangibility berpengaruh positif terhadap
leverage
perusahaan. Perusahaan dengan jumlah aset tetap berwujud yang tinggi akan
mengurangi agency cost dalam utang sehingga risiko dari perusahaan tersebut menurun.
Pendekatan melalui agency cost ini menyatakan bahwa semakin besar proporsi aset tetap
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
berwujud (fixed tangible asset) yang dimiliki akan mendorong perusahaan mendapatkan
pinjaman yang lebih besar dan tingkat utang (leverage) akan meningkat. Dengan semakin
banyaknya aset berwujud yang dimiliki, maka perusahaan akan memiliki financial distress
cost yang lebih rendah sehingga hal tersebut menurunkan cost of debt. Booth et al. (2001)
juga menemukan hubungan positif tersebut pada negara-negara emerging market.
Shleifer dan Vishny (1992) menyatakan bahwa jumlah aset tetap berwujud yang
diharapkan memiliki nilai likuidasi aset yang tinggi saat bangkrut, akan meningkatkan tingkat
utang perusahaan (bukti empiris pada penelitian Campello dan Giambona, 2010; Rajan dan
Zingales, 1995; Hall 2012). Hal dikarenakan aset tetap berwujud (fixed tangible asset) dapat
memberikan jaminan yang lebih tinggi dibandingkan aset tidak berwujud. Alasan lain adalah
fixed tangible asset dapat mengurangi biaya financial distress karena cenderung memiliki
nilai likuidasi yang tinggi saat kebangkrutan. Argumen tersebut sejalan dengan static trade off
theory yang diungkapkan oleh Myers dan Mjluf (1984).
Asset tangibility secara umum diukur dari proporsi nilai buku dari aset tetap berwujud
(fixed tangible asset) terhadap nilai buku total aset. Dengan ukuran tersebut peneliti
berekspektasi akan terdapat pengaruh positif antara asset tangibility dengan leverage dan debt
maturity pada penelitian ini seiring dengan penelitian Jensen dan Meckling (1976), Rajan dan
Zingales (1995), Fan et al. (2008), Compello dan Giambona (2010), dan Hall (2012).
2.2 Institutional Environment
Literatur empiris mengenai keuangan perusahaan telah menunjukan bahwa keputusankeputusan keuangan mengacu pada proxy dari agency problem dan asymmetric information,
seperti ketersediaan collateral (Titman dan Wessels, 1998; Barclay dan Smith, 1995).
Besarnya ketidaksempurnaan pasar ini bergantung pada ekeftivitas dari sistem legal dan
keuangan di setiap negara karena sistem ini berbeda antar negara (Giannetti, 2003).
Pada negara-negara di emerging market, kreditur dalam memberikan pinjaman harus
menilai tidak hanya kualitas kredit debitur tetapi juga risiko akibat hukum atau istitusi yang
lemah dari negara-negara tersebut. Dampak dari hak kreditur (creditor rights) terhadap
pinjaman bervarisasi tergantung dari karakteristik debitur. Sebagai contoh, pinjaman yang
lebih aman bila dijamin dengan collateral seiring dengan meningkatnya hak kreditur (creditor
rights) dan hubungan ini akan lebih kuat ketika perusahaan memiliki aset tetap berwujud
(fixed tangible asset) lebih banyak (Qian dan Stragan, 2007).
Konsisten dengan penelitian La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer and Vishny
(1997,1998) yang lebih dikenal dengan LLSV, Qian dan Strahan (2007) menemukan bahwa
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
dengan adanya perlindungan legal terhadap creditor rights akan meningkatkan ketersediaan
utang. Mereka juga menemukan bahwa creditor rights lebih memiliki pengaruh terhadap
jatuh tempo utang (debt maturity) pada perusahaan yang memiliki “hard asset”, yaitu
property, plant, dan equipment.
Kreditur dapat lebih mengontrol risiko debitur jika mereka memiliki kemampuan
untuk menyita aset yang dijadikan collateral, atau diberikan hak untuk mengambil alih aset
tersebut jika terjadi default untuk menutupi utang debitur. Kreditur memiliki bargaining
power ketika mereka mempunyai kemampuan untuk memaksa pembayaran dan biaya
menegakkan kontrak dapat diukur dengan variabel hukum dan institusional. Untuk tujuan ini,
literatur hukum dan keuangan telah mencoba untuk membentuk hubungan antara variabel
hukum dan institusional dengan variabel keuangan. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer and
Vishny (1997,1998) membedakan sistem hukum berdasarkan asal hukum tersebut, yaitu
Inggris, Prancis, Jerman, dan Skandinavia. Mereka menemukan bahwa negara-negara dengan
English common-law dan French civil-law memiliki perbedaan yang cukup eksterm. Negara
yang peraturan hukumnya mengacu pada English common-law memiliki perlindungan legal
yang paling kuat, baik bagi shareholders maupun kreditur, sedangkan negara yang hukumnya
mengacu pada French civil-law memiliki perlindungan hukum yang paling lemah.
Argumen berbeda diungkapkan oleh Haselmann et al. (2010) yang dalam
penelitiannya lebih melihat dari sisi kreditur, dimana selama ini masalah penting yang
biasanya terlewatkan adalah perlindungan apakah yang sebenarnya diinginkan oleh para
kreditur. Oleh karena itu, Haselmann et al. (2010) meneliti komponen hal kreditur (creditor
rights) yang sangat penting untuk pasokan kredit. Secara khusus, dalam penelitiannya
Haselmann et al. (2010) membedakan antara aturan-aturan hukum yang dirancang untuk
melindungi klaim kreditur diluar kebangkrutan, yang kemudian disebut sebagai Collateral
Law, dan upaya penegakan hukum bersama bila terjadi kebangkutan (collective enforcement),
yang kemudian disebut sebagai Bankruptcy Law. Haselmann et al. (2010) menyatakan bahwa
Collateral Law lebih penting dibandingkan dengan Bangkrupcy Law. Hal ini berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yang dalam pengukurannya menggunakan collective
enforcement (LLSV index) sebagai proxy dari creditor rights. Lebih lanjut, Haselmann et al.
(2010) menemukan bahwa efektivitas Bankruptcy Law adalah tergantung pada Collateral
Law, yaitu adanya peraturan mengenai collateral yang kuat sangat penting untuk keberhasilan
dalam pelaksanaan Bankruptcy Law. Oleh karena itu, kemampuan untuk menjaminkan aset
menjadi hal yang penting dalam menentukan pasokan kredit dalam ekonomi. Variabel
collateral yang selama ini kurang banyak dibahas dalam penelitian empiris memiliki
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
peranann penting khususnya pada negara-negara emerging economy dimana pada negaranegara ini adanya information asymetries menjadi perhatian lebih besar dibandingkan dengan
negara-negara pada developed economy.
Djankov et al. (2008) juga menyatakan bahwa institusi yang bertanggung jawab bila
terjadi kepailitan secara umum dianggap memiliki kinerja yang belum baik, terutama pada
negara-negara berkembang. Terdapat variasi yang cukup besar antara negara-negara dalam
hal waktu, biaya, dan efisiensi dalam menegakan kontrak utang (debt enforcement). Djankov
et al. (2008) menemukan bahwa pada 14 negara dimana semuanya merupakan negara kaya,
insolvensi membutuhkan waktu kurang dari satu tahun, tapi dalam sembilan negara lain
dimana sebagian besar merupakan negara miskin, dibutuhkan lebih dari 5 tahun dalam
penyelesaian kasus insolvensi. Berdasarkan penelitiannya, Djankov et al. (2008)
menyimpulkan bahwa debt enfocement di setiap negara dinilai masih tidak efisien.
Ketidakefisienan ini berasal dari tingginya biaya administrasi dan lamanya penundaan proses
dari institusi yang terkait. Oleh karena itu, pada negara-negara berkembang perusahaan
cenderung menghindari mekanisme debt enforcement yang melibatkan pengawasan
pengadilan yang rinci dan panjang. Mekanisme yang lebih sederhana, seperti penyitaan tanpa
pengawasan atau pengawasan terbatas dari pengadilan, cenderung lebih diinginkan oleh para
kreditur. Penyitaan merupakan prosedur debt enforcement yang bertujuan untuk memulihkan
uang utang kepada para secured creditor. Penyitaan dapat menjadi prosedur di luar
pengadilan sepenuhnya, di mana penerima mengarahkan perusahaan untuk penjualan aset.
Penunjukan pihak yang menjadi penerima tersebut dapat menjadi bagian dari kontrak utang
yang telah disusun sebelumnya. Namun dikarenakan kondisi peraturan yang berbeda di setiap
negara, terdapat pula negara-negara dalam hal penyitaan harus melalui proses pengadilan.
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa terdapat dua kelompok negara berdasarkan
kemampuan kreditur untuk mengambil alih aset tanpa melalui proses pengadilan, yaitu
kelompok negara Indonesia-Filipina dan kelompok negara Thailand-Malaysia. Pada
kelompok negara Indonesia-Filipina pada peraturan institusionalnya kreditur memiliki hak
untuk menjual collateral sendiri tanpa harus melalui proses pengadilan setelah mendapatkan
izin dari pihak yang berwenang. Hal ini sejalan dengan penelitian La Porta et al. (1998) yang
mengatakan bahwa negara yang hukumnya mengacu pada French Civil Law merupakan
negara-negara yang sistem hukumnya lemah. Sedangkan pada kelompok negara MalaysiaThailand yang peraturan hukumnya mengacu pada English Common Law sudah memiliki
sistem hukum tersendiri dimana aset tetap berwujud yang dijadikan collateral dalam proses
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
likuidasinya harus melalui proses pengadilan atau dengan kata lain kreditur tidak memiliki
hak untuk menjual aset tetap berwujud yang dijadikan collateral sendiri. Penelitian ini akan
mengacu pada penelitian Djankov et al. (2008) yang menyatakan bahwa mekanisme yang
lebih sederhana cenderung lebih diinginkan oleh para kreditur, maka diharapkan negara
dengan peraturan collateral seperti Indonesia-Filipina akan lebih mendukung penggunaan
aset tetap berwujud sebagai collateral. Tabel 1 Institutional Environment negara ASEAN-4
`Institutional Environment
Negara
Kemampuan
untuk
mengambil
alih aset tanpa
melalui proses
pengadilan
Indonesia
Ya
Buku II Hukum
Perdata Indonesia
Pasal 1150, 1155,
1162, 1178
French Civil
Law
Filipina
Ya
Buku IV Hukum
Perdata Filipina
Pasal 2126, 2132,
2112
French Civil
Law
Thailand
Tidak
Hukum Perdata dan
Dagang Thailand
Pasal 728, 764,
765
English
Common Law
Malaysia
Tidak
Hukum Perdata
Malaysia
No. 67 Pasal 4
dan No. 360,
English
Common Law
Peraturan mengenai Collateral
Legal Origin
Sumber : La Porta, R., Lopez-De-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R. (1998), Law and Policy Reform ADB Vol.
II Edisi 2000, olahan penulis (2013)
3. Metodologi Penelitian
Sampel penelitian ini adalah perusahaan non finansial dan non utilitas di negara
Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand (ASEAN 4) yang memiliki laporan keuangan
yang lengkap dan telah berdiri sejak awal tahun 2002 serta masih beroperasi hingga akhir
tahun 2011. Sampel penelitian tidak mengikutsertakan perusahaan finansial dan utilitas
karena adanya perbedaan format laporan keuangan.
Pada penelitian ini terdapat dua model yang merupakan replikasi yang disesuaikan dari
penelitian yang sudah dilakukan oleh Hall (2012), yang meliputi analisis terhadap pengaruh
asset tangibility terhadap leverage dan debt maturity. Dalam penelitian ini juga dilakukan
pemisahan sampel berdasarkan institutional environment untuk melihat pengaruh dari
perbedaan peraturan mengenai collateral di setiap kelompok negara. Oleh karena itu, pada
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
setiap model akan dilakukan tiga kali regresi dengan sampel seluruh unit observasi, sub unit
observasi 1 (Indonesia-Filipina), dan sub unit observasi 2 (Malaysia-Thailand).
3.1 Model Penelitian
Model Penelitian 1
(LTD/TA)j,i,t = α + β1TANG j,i,t + β2EFFTAX j,i,t + β3ROA j,i,t + β4SIZE j,i,t +
β5MB j,i,t + β6LNPCGDP i,t + β7GROWTH i,t + ε j,i,t
(3.1)
Model Penelitian 2
(LTD/TD)j,i,t = α + β1TANG j,i,t + β2EFFTAX j,i,t + β3ROA j,i,t + β4SIZE j,i,t +
β5MB j,i,t + β6LNPCGDP i,t + β7GROWTH i,t + β7SPREAD i,t + ε j,i,t
(3.2)
Keterangan :
•
(LTD/TA)j,i,t = tingkat leverage yang dimiliki perusahaan j di negara i pada tahun t
yang merupakan rasio dari long term debt terhadap total asset
•
(LTD/TD)j,i,t = debt maturity yang dimiliki perusahaan j di negara i pada tahun t
yang merupakan rasio dari long term debt terhadap total debt.
•
TANG j,i,t = asset tangibility perusahaan j di negara i pada tahun t yang merupakan
rasio dari net property, plant, dan equipment (Net PPE) terhadap total asset.
•
EFFTAX
j,i,t
= effective tax rate perusahaan j di negara i pada tahun t yang
merupakan rasio dari taxes terhadap EBIT-interest.
•
ROA j,i,t = return on asset perusahaan j di negara i pada tahun t yang menunjukan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit dengan menggunakan asset
yang dimilikinya.
•
SIZE
j,i,t
= ukuran perusahaan j pada negara i pada tahun t yang merupakan
logaritma natural dari total asset.
•
MB
j,i,t
= market to book ratio j pada negara i pada tahun t yang menunjukan
potensi pertumbuhan perusahaan.
•
LNPCGDP
i,t
= pembangunan ekonomi pada negara i tahun t yang merupakan
logaritma dari gross domestic product (GDP) per capita.
•
GROWTH i,t = tingkat pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) pada negara
i pada tahun t yang merupakan jumlah nilai tambah GDP dari tahun t-1 ke tahun t.
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
•
SPREAD
i,t
= term spread dari interest pada negara i pada tahun t yang
merupakan selisih anara long-term (lending) rate of interest dengan short-term
(deposit) rate of interest.
•
ε = error pada perusahaan j di negara i pada tahun t.
3.2. Hipotesis
•
Hipotesis 1
H1.1 :
Asset tangibility memiliki pengaruh positif signifikan terhadap tingkat
leverage perusahaan-perusahaan non finansial dan non utilitas di negara
kawasan ASEAN-4 pada tahun 2002-2011.
•
Hipotesis 2
H1.2 : Asset tangibility memiliki pengaruh positif signifikan terhadap tingkat debt
maturity perusahaan-perusahaan non finansial dan non utilitas di negara
kawasan ASEAN-4 pada tahun 2002-2011.
•
Hipotesis 3
H1.3 :
Pengaruh asset tangibility terhadap leverage berbeda terkait institutional
environment pada setiap kelompok negara ASEAN-4 periode 2002-2011.
•
Hipotesis 4
H1.4 :
Pengaruh asset tangibility terhadap debt maturity berbeda terkait
institutional environment pada setiap kelompok negara ASEAN-4 periode
2002-2011.
4. Analisis dan Pembahasan
Tabel 2 Hasil Regresi Model 1 All Unit
Variable
Hipotesis
Koefisien
t-statistik
TANG
+
0,067421
9,073526
0,0000
EFFTAX
-
-0,007674
-2,359598
0,0092
ROA
-
-0,007201
-1,718878
0,0429
LNTA
+
0,030809
13,708770
0,0000
MB
-
-0,000281
-0,880711
0,1893
LNPCGDP
+
-0,340781
-25,200730
0,0000
GROWTH
+
0,031992
3,379759
0,0004
R-squared
0,839763
Prob(F-statistic)
0,000000
Probabilitas
Sumber : Hasil Output Eviews 6 (2013)
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Dari hasil regresi tabel 2, terlihat adanya pengaruh yang signifikan dari variabel asset
tangibility terhadap leverage dengan koefisien 0,067421 yang berarti setiap peningkatan asset
tangibility sebesar 1 poin akan meningkatkan leverage sebesar 6,7%. Dengan demikian,
Hipotesis penelitian pertama pada penelitian ini yang menyatakan asset tangibility memiliki
pengaruh positif signifikan terhadap tingkat leverage perusahaan-perusahaan non finansial
dan non utilitas di negara kawasan ASEAN-4 dapat di terima. Dengan kata lain, semakin
besar jumlah aset tetap berwujud yang dimiliki perusahaan di negara ASEAN-4, maka akan
semakin tinggi leverage yang dimiliki. Hasil uji ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, seperti penelitian Fan et al (2008), Booth et al (2001), Rajan dan Zingales
(1995), Myers dan Majluf (1984), dan Jensen dan Meckling (1976) bahwa semakin tinggi
asset tangibility yang dimiliki perusahaan akan semakin tinggi pendanaan melalui utang
jangka panjang.
Pengaruh positif ini dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, aset tetap berwujud mudah
dinilai oleh pihak ekstrnal dan aset tetap berwujud dapat memberikan jaminan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan aset tidak berwujud. Shleifer dan Vishny (1992) dan Williamson
(1998) juga menyatakan bahwa jumlah aset tetap berwujud yang diharapkan memiliki nilai
likuidasi aset yang tinggi saat bangkrut. Selain itu, aset tetap berwujud juga lebih mudah
dijual ketika sewaktu-waktu perusahaaan mengalami krisis keuangan. Hal tersebut
mengakibatkan kreditur menjadi lebih mudah untuk memberikan pinjaman kepada
perusahaan yang memiliki asset tangibility yang lebih tinggi karena probabilitas risiko gagal
bayar menurun. Kedua, dari sisi perusahaan, sesuai framework Jensen dan Meckling (1976)
bahwa aset tetap berwujud mudah untuk dijadikan collateral sehingga perusahaan yang
memiliki banyak tangible asset akan memiliki cost of debt yang rendah. Perusahaan yang
memiliki banyak aset tetap berwujud menjadi lebih menyukai pendanaan melalui pinjaman
jangka panjang karena cost of debt yang rendah tersebut, dimana cost of debt akan menurun
karena turunnya probabilitas gagal bayar. Hal ini juga sejalan dengan static trade off theory
yang diungkapkan oleh Myers dan Majluf (1984) dimana aset tetap berwujud dapat
mengurangi biaya financial distress sehingga perusahaan dapat meningkatkan tingkat
utangnya dan mendapat keuntungan lebih banyak.
Dari hasil regresi tabel 3, juga terlihat adanya pengaruh yang signifikan dari variabel
asset tangibility terhadap debt maturity dengan koefisien 0,1491 yang berarti setiap
peningkatan asset tangibility sebesar 1 poin akan meningkatkan debt maturity sebesar 0,1491
poin. Dengan demikian, Hipotesis penelitian kedua pada penelitian ini yang menyatakan asset
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
tangibility memiliki pengaruh positif signifikan terhadap tingkat debt maturity perusahaanperusahaan non finansial dan non utilitas di negara kawasan ASEAN-4 dapat di terima.
Dengan kata lain, semakin besar jumlah aset tetap berwujud yang dimiliki perusahaan
semakin panjang debt maturity yang dimiliki. Hasil uji ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, seperti penelitian Fan et al (2008) dan Hall dan Jorgensen (2008) bahwa semakin
tinggi asset tangibility yang dimiliki perusahaan akan semakin tinggi penggunaan utang
jangka panjang dibandingkan utang jangka pendek.
Tabel 3 Hasil Regresi Model 2 All Unit
Variable
Hipotesis
TANG
+
0,149141
15,48435
0,0000
EFFTAX
+
-0,003014
-0,740768
0,2295
ROA
-
0,133649
8,861095
0,0000
LNTA
+
0,047717
14,178510
0,0000
MB
-
-0,000130
-0,123879
0,4507
LNPCGDP
+
-0,291941
-13,702030
0,0000
GROWTH
-
0,001611
0,046231
0,4816
SPREAD
-
0,000099
0,105927
0,4578
R-squared
Prob(Fstatistic)
Koefisien
t-statistik
Probabilitas
0,947150
0,000000
Sumber : Hasil Output Eviews 6 (2013)
Dalam hasil regresi setelah dilakukan pemisahan sampel yaitu Sub Unit 1 (IndonesiaFilipina) dan Sub Unit 2 (Malaysia-Thailand) dimana asset tangibility memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap leverage seperti yang dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan
kondisi institusional di masing-masing sub unit penelitian dapat terlihat perbedaan besarnya
pengaruh asset tangibility perusahaan dari nilai koefisien masing-masing sub unit. Perbedaan
ini yang kemudian dapat menjawab hipotesis ketiga dalam penelitian ini, yaitu terdapat
perbedaan pengaruh asset tangibility terhadap leverage pada perusahaan di negara ASEAN-4.
Negara dengan kondisi institusional yang mendukung pelaksanaan pengalihan aset dari
debitur ke kreditur dengan peraturan yang mendukung dimana pengalihan aset dapat langsung
dilakukan tanpa melalui pengadilan, memiliki koefisien yang lebih tinggi, yaitu 0,151072
untuk Indonesia-Filipina dibandingkan dengan koefisien untuk Malaysia-Thailand yang hanya
0,040929. Hal ini berarti kenaikan 1 poin pada asset tangibility pada negara IndonesiaFilipina akan berdampak pada kenaikan leverage sebesar 0,151072 poin. Sedangkan pada
negara Malaysia-Thailand hanya meningkatkan leverage sebesar 0,040929 poin. Dari hal
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
tersebut dapat terlihat bahwa negara Indonesia-Filipina lebih mendorong efektivitas
penggunaan collateral yang dalam penelitian ini berupa aset tetap berwujud.
Tabel 3 Perbandingan Hasil Regresi Model 1 Pada Sub Unit 1 dan Sub Unit 2
Model 1 - Sub Unit 1
Koefisien
t-statistik
Probabilitas
Model 1 - Sub Unit 2
Koefisien t-statistik Probabilitas
Variable
Hipotesis
TANG
+
0,151072
11,91515
0,0000
0,040929
7,59391
0,0000
EFFTAX
-
-0,010528
-1,378001
0,0842
-0,005408
-1,98524
0,0236
ROA
-
-0,014352
-1,065281
0,1435
-0,013762
-3,03891
0,0012
LNTA
+
0,034111
12,63471
0,0000
0,026274
10,79071
0,0000
MB
-
-0,003183
-2,325474
0,0101
0,000588
0,930331
0,1762
LNPCGDP
+
-0,386204
-13,75284
0,0000
-0,289082
-16,64
0,0000
GROWTH
+
0,082225
1,429691
0,0765
0,034326
3,05936
0,0011
R-squared
Prob(F-statistic)
0,811024
0,000000
Sumber : Hasil Output Eviews 6 (2013)
0,838964
0,000000
Hasil serupa juga ditemukan pada hasil regresi untuk model 2 setalah terjadi pemisahan
sampel dimana berdasarkan kondisi institusional di masing-masing sub unit penelitian dapat
terlihat perbedaan besarnya pengaruh asset tangibility terhadap debt maturity perusahaan dari
nilai koefisien masing-masing sub unit. Perbedaan ini yang kemudian dapat menjawab tujuan
keempat dalam penelitian ini, yaitu pengaruh asset tangibility terhadap debt maturity pada
perusahaan di negara ASEAN-4 berbeda sesuai intstitutional environment pada negara
tersebut. Negara dengan kondisi institusional yang mendukung pelaksanaan pengalihan aset
dari debitur ke kreditur dengan peraturan yang mendukung dimana pengalihan aset dapat
langsung dilakukan tanpa melalui pengadilan, memiliki koefisien yang lebih tinggi, yaitu
0.375532 untuk Indonesia-Filipina dibandingkan dengan koefisien untuk Malaysia-Thailand
yang hanya 0.123895. Hal ini dapat diartikan kenaikan 1 poin pada asset tangibility pada
negara Indonesia-Filipina akan berdampak pada kenaikan debt maturity sebesar 0.375532
poin sedangkan pada negara Malaysia-Thailand hanya meningkatkan leverage sebesar
0.123895 poin. Dari hal tersebut kembali terlihat bahwa negara Indonesia-Filipina lebih
mendorong efektivitas penggunaan collateral yang dalam penelitian ini berupa aset tetap
berwujud.
Pengaruh asset tangibility yang lebih kuat pada kelompok negara Indonesia-Filipina ini
dikarenakan berdasarkan aturan institusional di Indonesia-Filipna, kreditur memiliki hak
untuk menjual collateral sendiri tanpa harus melalui proses pengadilan ketika perusahaan
tidak mampu membayar utangnya. Mekanisme yang lebih sederhana ini cenderung lebih
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
diinginkan oleh para kreditur. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian Djankov et al.
(2008) yang menyatakan pada negara-negara berkembang perusahaan cenderung menghindari
mekanisme debt enforcement yang melibatkan pengawasan pengadilan yang rinci dan
panjang. Mekanisme yang lebih sederhana, seperti penyitaan tanpa pengawasan atau
pengawasan terbatas dari pengadilan, cenderung lebih diinginkan oleh para kreditur
Tabel 5 Perbandingan Hasil Regresi Model 2 Pada Sub Unit 1 dan Sub Unit 2
Variable
Hipotesis
Model 1 - Sub Unit 1
Koefisien
t-statistik
Probabilitas
Model 1 - Sub Unit 2
Koefisien
t-statistik Probabilitas
TANG
+
0,375532
8,046341
0,0000
0,123895
11,632940
0,0000
EFFTAX
+
-0,012022
-0,382774
0,3510
0,005038
0,794774
0,2134
ROA
-
0,210480
3,969798
0,0001
0,136851
7,499919
0,0000
LNTA
+
0,073647
9,880397
0,0000
0,039810
11,333550
0,0000
MB
-
-0,006353
-0,905897
0,1826
0,003287
1,891416
0,0293
LNPCGDP
+
-0,587788
-4,516436
0,0000
-0,211635
-6,978480
0,0000
GROWTH
-
0,158700
0,291815
0,3853
-0,017907
-0,732804
0,2319
SPREAD
-
0,004858
0,850693
0,1976
-0,002370
-3,496412
0,0003
R-squared
Prob(Fstatistic)
0,114175
0,000000
Sumber : Hasil Output Eviews 6, olahan peneliti (2013)
0,951416
0,000000
5. Kesimpulan
Pada sampel seluruh negara ASEAN-4, asset tangibility berpengaruh positf signifikan
terhadap leverage dan variabel kontrol penelitian seperti ukuran perusahaan dan pertumbuhan
GDP juga berpengaruh positif signifikan. Sedangkan variabel kontrol seperti effective tax
rate, return on asset, dan pembangunan ekonomi berpengaruh negatif signifikan terhadap
leverage. Pengaruh positif signifikan dari asset tangibility terhadap leverage pada penelitian
ini menunjukan bahwa semakin tinggi asset tangibility yang brarti perusahaan memiliki aset
tetap berwujud yang lebih banyak, meningkatkan utang jangka panjang perusahaan pada
negara ASEAN-4 berdasarkan peran aset tetap berwujud sebagai bentuk collateral yang
utama digunakan untuk mengakses pinjaman dari kreditur.
Asset tangibility juga berpengaruh positif signifikan terhadap debt maturity dengan
variabel kontrol return on asset dan ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan dan
pembangunan ekonomi berpengaruh negatif signifikan terhadap debt maturity. Pengaruh
positif signifikan ini semakin memperkuat peran dari aset tetap berwujud sebagai collateral
dalam meningkatkan penggunaan utang jangka pajang untuk pendanaan investasinya.
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Perusahaan yang lebih banyak memiliki aset tetap berwujud akan lebih menggunakan
pendanaan melalui utang jangka panjang dibandingkan pendanaan melalui utang jangka
pendek.
Pada penelitian ini terlihat bahwa pada hasil pengujian untuk menjawab peran
institutional environment, yaitu pada sampel sub observasi 1 (Indonesia-Filipina) dan sub
observasi 2 (Malaysia-Thailand) nilai koefisien asset tangibility terhadap leverage lebih besar
pada negara Indonesia-Filipina. Pada negara Indonesia-Filipina institutional environment
dinilai lebih dapat mendorong penggunaan collateral dikarenakan peraturan pada negara
tersebut lebih melingdungi hak kreditur dimana pada peraturan institusionalnya kreditur
memiliki hak untuk menjual collateral sendiri tanpa harus melalui proses pengadilan setelah
mendapatkan izin dari pihak yang berwenang. Sedangkan pada negara Malaysia-Thailand
yang peraturan hukumnya mengacu pada English Common Law yang sudah memiliki sistem
dimana aset tetap berwujud yang dijadikan collateral dalam proses likuidasinya harus melalui
proses pengadilan atau dengan kata lain kreditur tidak memiliki hak untuk menjual aset tetap
berwujud yang dijadikan collateral sendiri. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan
Djankov et al. (2008) dimana mekanisme yang lebih sederhana cenderung lebih diinginkan
oleh para kreditur.
Nilai koefisien asset tangibility terhadap debt maturity juga memiliki nilai yang lebih
tinggi pada negara Indonesia-Filipina dimana institutional environment pada negara tersebut
dinilai lebih dapat mendorong penggunaan collateral dikarenakan peraturan pada negara
tersebut lebih melingdungi hak kreditur dimana pada peraturan institusionalnya kreditur
memiliki hak untuk menjual collateral sendiri tanpa harus melalui proses pengadilan setelah
mendapatkan izin dari pihak yang berwenang.
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan memperluas jumlah sampel yang mencakup
lebih banyak negara dan menggunakan lebih faktor-faktor lain yang memiliki kemungkinan
untuk mempengaruhi leverage dan debt maturity sehingga dapat lebih baik dalam
memberikan penjelasan. Selain itu, diharapkan penelitian selanjutnya dapat membahas lebih
mendalam mengenai peran dari institutional environment dalam mempengaruhi keputusan
pendanaan perusahaan.
6.
Referensi
Barclay, M.J., Smith, C.W. (1995). The maturity structure of corporate debt. Journal of
Finance, 50, 609–631.
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Barnea, A., Haugen, R. A., and Senbet, L. W. (1980). A rationale for debt maturity structure
and call provisions in the agency theoretic framework. Journal of Finance, 35, 122343.
Benmelech, E., and N. Bergman. (2009). Colateral Pricing. Journal of Financial Economics
91.3, 339-360.
Booth, L., Aivazian, V., Demirguc-Kunt, A., Maksimovic, V. (2001). Capital structures in
developing countries. Journal of Finance, 56, 87–130.
Campello, Murillo, and Giambona, Erasmo. (2011). Capital Structure and Redeployability of
Tangible Asset. Duisenberg school of finance-Tinbergen Institute Discussion Paper.
Demirguc-Kunt, A., Maksimovic, V. (1999). Institutions, financial markets and firm debt
maturity. Journal of Financial Economics, 54, 295–336.
Demirguc-Kunt, A., Levine, R. (1999). Bank-based and market-based financial systems:
Cross-country comparisons. Financial Structure and Economic Growth: A Crosscountry Comparison of Banks, Markets, and Development, MIT Press, Cambridge,
MA, pp. 81–140.
Djankov, S., Hart, O., McLiesh, S., Shleifer,A. (2008). Debt Enforcement around the World.
Journal of Political Economy, University of Chicago Press, vol. 116(6), pages 11051149.
Fan, J., Titman, S., Twite, G. (2008). An international comparison of capital structure and
debt maturity choices. Working Paper, <www.ssrn.com>.
Frank, M.Z., Goyal, V.K. (2007). Capital structure decisions: which factors are reliably
important?. Journal of Financial Management, 38, 1-37.
Giannetti, M. (2003). Do better institutions mitigate agency problems? Evidence from
corporate finance choices. Journal of Financial and Quantitative Analysis, 38, 185–
212.
Gitman, Lawrence J. (2003). Principal of manajerial finance (10th ed). San Fransisco:
Addison Wesley.
Gujarati, Damodar N. (2009). Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill.
Hall, T., Joergensen, F., (2008). Legal rights matter: evidence from panel data on creditor
protection and debt. International. Finance Review. v9.
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Haselmann, R., Pistor, K., Vig, V. (2010). How law affects lending. Review of Financial
Studies, 23 (2).
Harris, M., Raviv, A. (1991). The theory of capital structure. Journal of Finance 46, 297-355.
Jensen, M. (1986). Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers. American
Economic Review, 76, 323–339.
Jensen, Meckling. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency cost and
ownership structure. Journal of Financial Economics, 4, 305-360.
La Porta, R., Lopez-De-Silanes, F., Shleifer, A., Vishny, R. (1998). Law and finance. Journal
of Political Economy, 106, 1113-1155.
Law and Policy Reform at the ADB Vol. II 2000 Edition. Manila : Asian Development Bank.
Available at : http://www.adb.org/Work/Law-Devt/
Megginson, W.L. (1997). Corporate finance theory. Reading, MA: Addison-Wesley
Educational Publisher, Inc.
Modigliani, F., M.H. Miller. (1958). The costs of capital, corporate finance, and the theory of
investment. American Economic Review 48 (June): 261-297.
Myers, S.C. (1977). Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial Economics,
5, 147-75.
Myers, S.C. (2001). Capital structure. Journal of Economic Perspectives, 15, 81–102.
Myers, S.C., Majluf, N. (1984). Corporate financing and investment decisions when firms
have information that investors do not have. Journal of Financial Economics, 13, 187–
221.
Qian, J., Strahan, P., (2007). How laws and institutions shape financial contracts: the case of
bank loans. Journal of Finance, 62 (6), 2803–2934.
Rajan, R., Zingales, L. (1995). What do we know about capital structure? Some evidence
from international data. Journal of Finance, 50, 1421–1460.
Reichold, S., Ruiz-Arranz, M., Morales, A., and Le Borgne, E., (2008). International
Monetary Fund Country Report N0. 08/28. Washington, D.C.
Ross et al. (2003). Fundamental of Corporate Finance (8th ed). New York: McGraw-Hill
Companies, Inc
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Ross et al. (2008). Modern Financial Management (8th ed). New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Shleifer, Andrei and Vishny, Robert W. (1992). Liquidation Values and Debt Capacity : A
Market Equilibrium Aproach. Journal of Finance.
Titman, S., Wessels, R. (1988). The determinants of capital structure. Journal of Finance, 43,
1-19.
Analisis pengaruh..., Isely Azani, FE UI, 2013.
Download