BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan tugas

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggunaan
tugas
kelompok
semakin
populer
dalam
dunia
perkuliahan. Tugas kelompok telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pembelajaran, baik untuk dosen maupun mahasiswa. Kurikulum
Perguruan Tinggi (KPT) sekarang ini juga menerapkan tugas kelompok
sebagai bentuk tugas yang diberikan pada mahasiswa. Universitas Sumatera
Utara sendiri menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dimana
salah satu model pembelajaran dari kurikulum ini adalah diskusi kelompok
kecil (small group discussion). Dalam diskusi kelompok kecil ini mahasiswa
peserta kuliah diminta membuat kelompok kecil (5 sampai 10 orang) untuk
mendiskusikan bahan yang diberikan oleh dosen atau bahan yang diperoleh
sendiri oleh anggota kelompok tersebut (Dikti, 2014). Melalui aktivitas
kelompok kecil, mahasiswa akan belajar untuk hal-hal seperti menjadi
pendengar yang baik, bekerja sama untuk tugas bersama, memberikan dan
menerima umpan balik yang konstruktif, menghormati perbedaan pendapat,
mendukung pendapat dengan bukti, dan menghargai sudut pandang yang
bervariasi seperti gender, budaya, dan lain-lain (Dikti, 2014). Berdasarkan
hasil wawancara peneliti terhadap mahasiswa dari beberapa fakultas di
Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa tugas kelompok memang
sering diberikan pada mahasiswa. Mahasiswa dari fakultas Psikologi
1
Universitas Sumatera Utara
2
mengaku bahwa dalam satu semester perkuliahan yang biasanya diisi dengan
6-7 mata kuliah, tugas kelompok akan diberikan paling tidak pada 5 mata
kuliah. Begitu juga dengan mahasiswa dari fakultas Agribisnis, mereka
menyatakan paling tidak ada 3 mata kuliah yang memberikan tugas kelompok
dalam satu semester. Mereka menyadari tugas kelompok memang kadang
sulit dilakukan karena harus mengatur waktu untuk mengerjakan tugas
bersama-sama, tetapi tugas kelompok juga membantu mereka dalam
mengerjakan tugas yang sulit
Beberapa penelitian berikut mengungkapkan manfaat dari tugas
kelompok. Menurut Heller, Keith, dan Anderson (1991) tugas kelompok
dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk menyelesaikan masalah.
Sedangkan Webb (1995) tugas kelompok dapat membuat seseorang
mempelajari ilmu dan kemampuan baru, dan belajar bekerja sama dengan
orang lain untuk memaksimalkan performansi dan output dari kelompok.
Tugas kelompok juga bisa meningkatkan performansi seseorang dimana
menurut Allport (1920, dalam Hogg, 2011) efek dari kelompok pada
performansi
seseorang adalah
social facilitation, yaitu peningkatan
performansi yang disebabkan oleh kehadiran orang lain.
Hasil penelitian-penelitian tersebut tentu mengungkapkan bahwa tugas
kelompok memiliki banyak manfaat bagi seorang mahasiswa. Tetapi
kenyataan tentu tidak selalu seperti apa yang kita inginkan, sering kali terjadi
hambatan dalam mengerjakan tugas kelompok. Sebuah konflik yang
dibiarkan terjadi dalam kelompok bisa menghambat kerja suatu kelompok
Universitas Sumatera Utara
3
(Hitchcock & Anderson, 1997). Konflik-konflik dalam tugas kelompok bisa
disebabkan oleh berbagai hal, seperti kehadiran anggota kelompok, atau
keaktifan dan kontribusi anggota kelompok. Kehadiran seseorang tidak selalu
meningkatkan performansi mahasiswa. Penelitian oleh Ingham, Levinger,
Graves, dan Peckham (1974) menemukan bahwa performansi seseorang akan
menurun saat anggota kelompok bertambah. Individu juga menurunkan
usahanya saat bekerja dalam kelompok dibandingkan usahanya saat bekerja
sendirian (Latane, Williams, & Harkins, 1979). Kurangnya kontribusi dan
usaha yang diberikan oleh anggota kelompok juga bisa menimbulkan masalah
dalam pengerjaan tugas kelompok, mereka seakan mengandalkan anggota
kelompok yang lain untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya dikerjakan
oleh semua anggota kelompok. Tugas kelompok yang seharusnya mengajak
mahasiswa untuk aktif justru menjadi hal yang menghambat mahasiswa.
Penelitian oleh Ingham dkk (1974) dan Latane dkk (1979) menyatakan bahwa
performansi seseorang bisa berkurang saat bekerja dalam kelompok.
Fenomena ini lebih dikenal dengan istilah social loafing, dan sampai
sekarang ini, social loafing menjadi salah satu masalah utama yang
menghambat keefektifan tugas berbasis kelompok.
Social loafing adalah kecenderungan seseorang untuk mengurangi
usahanya saat bekerja dalam kelompok dibandingkan saat bekerja secara
individual (Karau & Williams, 1993). Social loafing bisa terjadi dalam bentuk
tugas apapun, mulai dari kegiatan olahraga seperti lari (Høigaard, Tofteland,
& Ommundsen, 2006), lomba panah (Heize & Brunel, 2003), dan kegiatan
Universitas Sumatera Utara
4
yang membutuhkan usaha kognitif seperti menilai ujian (Petty, Harkins,
Williams, & Latane, 1977). Piezon dan Ferree (2008) menemukan bahwa
social loafing muncul tidak hanya pada kelompok yang mengerjakan tugas
secara langsung, loafing juga terjadi pada kelompok online.
Social loafing tidak hanya berdampak pada individu yang melakukan
loafing. Anggota kelompok lain juga mengalami kerugian dari social loafing.
Social loafing bisa memunculkan iri hati dalam kelompok dan menurunkan
potensi dan kohesivitas sebuah kelompok dan berpengaruh pada perfomansi,
kehadiran dan kepuasan kelompok (Duffy & Shaw, 2000). Kerugian dari
loafing juga pasti dirasakan oleh pelaku loafing, karena perilakunya tidak
hanya menurunkan performansi anggota kelompok tetapi juga performansi
dirinya sendiri, seperti penelitian yang dilakukan oleh Zahra (2015) yang
menyatakan bahwa prestasi akademis yang rendah berasosiasi dengan
kecenderungan social loafing yang tinggi. Hampir semua mahasiswa pernah
merasakan kerugian dari social loafing. Seperti yang dinyatakan oleh AS (22
tahun).
“...iya, aku kadang kesal kalau tugas kelompok, mending kalau
semua kerja, ini nanti cuma 2 orang aja, yang lain entah kemana,
nanti dibilangin tersinggung, dibiarin ga kerja, bagus kerja
sendiri...”
(Komunikasi personal, April 2016)
Banyak faktor yang menjadi penyebab dari social loafing. Menurut
Latane, Williams, dan Harkins (1979) ada 3 hal yang menjadi penyebab
social loafing, antara lain proses atribusi yang salah, tujuan kelompok yang
submaksimal (dibawah kapasitas maksimum seseorang), dan hasil input
Universitas Sumatera Utara
5
maupun output seseorang yang tidak begitu berbeda bila berada dalam
kelompok. Latane dkk (1979) juga menambahkan jumlah anggota dalam
kelompok akan berpengaruh pada usaha seseorang, dimana semakin banyak
anggota dalam suatu kelompok, maka usaha individu semakin menurun.
Evaluasi kelompok juga menjadi penyebab dari social loafing, penelitian oleh
Harkins dan Szymanski (1989) membuktikan bahwa seseorang akan
cenderung melakukan social loafing bila tidak ada evaluasi dari kelompok.
Faktor lain adalah kohesivitas kelompok, dimana individu dalam kelompok
yang tidak kompak lebih cenderung melakukan social loafing (Høigaard,
Tofteland, & Ommundsen, 1981). Distributive justice kelompok yang tidak
sama rata juga menjadi alasan seseorang melakukan loafing (Piezon & Feree,
2008). Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab social loafing antara lain
kelelahan (Claudia & Gaillard, 1999), dan budaya individualis-kolektivis.
Earley (1989) dan Wagner (1995) sama-sama menyatakan bahwa orang yang
individualis akan lebih cenderung melakukan social loafing dibandingkan
orang dari budaya kolektivis.
Terdapat juga perbedaan gender pada social loafing. Penelitian oleh
Karau dan Williams (1993) dan Kugihara (1999) sama-sama mengungkapkan
bahwa pria lebih cenderung melakukan social loafing dibandingkan wanita.
Hal ini terjadi karena pria cenderung menurunkan usahanya saat mengerjakan
tugas yang kolektif sedangkan wanita tidak karena wanita lebih berorientasi
pada kelompok dibandingkan pria.
Universitas Sumatera Utara
6
Beberapa peneliti berargumentasi bahwa faktor individual memiliki
andil
pada
diri
individu
dalam
melakukan
loafing,
seperti
low-
conscientiousness (Tan & Tan, 2008), low-need-for-cognition (Smith, Kerr,
Markus, & Stasson, 2001), self-belief superior, dimana individu yang merasa
dirinya lebih baik dari orang lain cenderung melakukan loafing dibandingkan
individu yang merasa dirinya biasa-biasa saja (Charbonnier, Huguert, Brauer,
& Monteil, 1998), tidak bisa melakukan self-evaluation (Szymanski &
Harkins, 1987), dan memiliki motivasi berprestasi yang rendah (Hart, Karau,
Stasson, & Kerr, 2004).
Survey yang dilakukan oleh Fini dan Yousefzadeh (2011) menemukan
bahwa siswa dengan locus of control eksternal memiliki motivasi berprestasi
yang rendah. Hal ini dikarenakan siswa dengan locus of control eksternal
menganggap nasib ataupun keberuntungan yang bertanggung jawab atas
perilaku mereka dan bukan karena tindakan mereka sendiri. Ogunyemi (2013)
juga mengungkapkan bahwa pengaruh dari intervensi atau program
pendidikan yang bertujuan untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada
siswa dapat dirusak oleh locus of control eksternal individu, karena locus of
control dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang etis pada siswa.
Locus of control menurut Rotter adalah keyakinan individu bahwa
sumber penguatan diri mereka tergantung dari tindakan mereka sendiri atau
dikendalikan oleh orang lain dan tekanan dari luar dirinya (dalam Schultz &
Schultz, 2009). Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa locus of control
memiliki pengaruh yang penting dalam cara kita bertindak dan berperilaku.
Universitas Sumatera Utara
7
Konsep locus of control sendiri terbagi dua, yaitu locus of control internal
dan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal
percaya bahwa setiap hal yang terjadi dalam hidup mereka tergantung dari
perilaku mereka sendiri. Mereka percaya bahwa mereka bisa mengendalikan
situasi yang mereka hadapi. Sedangkan individu dengan locus of control
eksternal percaya setiap hal yang terjadi dalam hidup mereka dikendalikan
oleh orang lain, nasib, atau keberuntungan (dalam Schultz & Schultz, 2009).
Individu dengan locus of control eksternal cenderung tidak akan
mengeluarkan usaha untuk mengubah sesuatu karena mereka percaya hidup
mereka sudah ditentukan hal yang tidak bisa mereka kendalikan seperti nasib.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa individu dengan locus of
control internal yang lebih tinggi cenderung enggan melakukan perilaku yang
tidak etis dan tidak adil (Suryaningrum, Hastuti, & Suhartini, 2012), tidak
melakukan moral disengagement (Cory, Reeves, & Martinez, 2015), lebih
cepat menyesuaikan diri dalam situasi baru (Leontopoulou, 2006; Bacanli,
2006, dalam Schultz & Schultz, 2009). Penelitian oleh Kader (2014) dan
Mathur (2014) sama-sama menyatakan bahwa siswa dengan locus of control
internal memiliki prestasi akademis yang lebih baik dari siswa dengan locus
of control eksternal, mereka juga lebih lama belajar, dan lebih sedikit cemas
dalam menghadapi tes.
Dari paparan di atas, dapat dilihat socialloafing disebabkan oleh
berbagai faktor, termasuk faktor individual seperti motivasi berprestasi (Hart,
Karau, Stasson, & Kerr, 2004). Rendah atau tingginya motivasi berprestasi
Universitas Sumatera Utara
8
seseorang bisa disebabkan oleh kecenderungan locus of control yang ada
pada diri mereka (Fini dan Yousefzadeh, 2011). Karena itu, penyebab
individu melakukan social loafing saat mengerjakan tugas kelompok bisa
disebabkan oleh kecenderungan locus of control individu. Dari uraian
tersebut, peneliti bermaksud untuk meneliti apakah ada hubungan antara
locus of control dengan social loafing.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di latar belakang, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana hubungan antaralocus of control dengan
social loafing mahasiswa pada tugas berbasis kelompok?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui arah hubungan antara
locus of control dengan social loafing mahasiswa pada tugas berbasis
kelompok.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan membawa dua manfaat, yaitu manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap
kemajuan dan perkembangan ilmu Psikologi, khususnya di bidang
Universitas Sumatera Utara
9
Psikologi Sosial yang yang berkaitan dengan locus of control dan social
loafing.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat :
a. Menjelaskan hubungan antara locus of control dan social loafing
kepada masyarakat secara umum.
b. Menjadi acuan atau informasi bagi para akademisi dan mahasiswa
tentang locus of control dan social loafing.
c. Membantu meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang social
loafing yang terjadi pada tugas berbasis kelompok.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian pada penelitian ini terdiri dari lima bab,
dimulai dari bab I sampai dengan bab V. Adapun sistematika penelitian pada
penelitian ini adalah :
1. BAB I – Pendahuluan
Bab ini
rumusan
berisi
penjelasan mengenai latar belakang masalah,
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian.
2. BAB II – Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan teori
dalam penelitian, antara lain teori locus of control dan teori social
Universitas Sumatera Utara
10
loafing. Dalam bab ini juga akan dikemukakan dinamika hubungan
locus of control dengan social loafing, serta hipotesa penelitian.
3. BAB III – Metode Penelitian
Bab ini berisi penjelasan mengenai identifikasi variabel penelitian,
definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode
dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur,
prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data.
4. BAB IV – Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian hasil penelitian, seperti gambaran umum dan
karakteristik
subjek
penelitian
dan
cara
analisa
data,
serta
interpretasi data dan pembahasan.
5. BAB V – Kesimpulan dan Saran
Bab
ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang disusun
berdasarkan analisa dan interpretasi data penelitian, yang juga
dilengkapi dengan saran-saran bagi peneliti lain berdasarkan hasil
penelitian yang telah diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
Download