kesimpulan

advertisement
BAB IV
KESIMPULAN
Dari apa yang sudah diuraikan dengan panjang lebar dalam penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa tindakan radikal dalam konteks kesusastraan bersifat
representatif dalam artian bahwa di dalam suatu karya sastra terdapat contoh-contoh
yang menggambarkan bagaimana tindakan radikal dapat diaplikasikan. Tindakan
radikal sendiri merupakan tindakan yang berada pada domain eksternal tatanan
Simbolik, sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan radikal merupakan tindakan
yang nyata (Real) yang bermula dari sebuah emanasi momen kekosongan. Dengan
begitu, karya sastra mampu menghadirkan contoh tindakan radikal seperti yang
selalu Žižek contohkan dalam buku-bukunya.
Akan tetapi, hal yang paradoks kemudian hadir ketika teori Žižek mengenai
tindakan radikal tersebut diaplikasikan pada konteks kepengarangan seperti pada
kasus Aravind Adiga dengan novel The White Tiger. Dalam konteks kepengarangan
Adiga tersebut, ketika Adiga mencoba untuk mensubjektifikasikan dirinya ke dalam
karyanya, tindakan radikal justru mengalami kekenduran dan bahkan pelencengan
dari otentisitas yang dimilikinya. Hal yang kemudian menjadi sangat potensial adalah
bahwa pada proses penciptaan suatu karya sastra, seorang pengarang akan selalu
terlibat dalam tatanan Simbolik, sehingga dia secara tidak langsung juga akan selalu
terlibat dalam hal-hal yang bersifat ideologis. Dengan kata lain, pengarang yang
menghadirkan tindakan radikal sebagai suatu bentuk kritik terhadap suatu tatanan
tertentu, pada dasarnya berpotensi untuk menjadikan yang Real menjadi yang
Simbolik, atau menjadikan tindakan radikal sebagai tujuan lain, bukan sebagai
322
323
tindakan yang otentis dan hal ini juga dikarenakan bahwa seorang pengarang
menjadikan tindakan radikal dalam karyanya ‘hanya’ sebagai suatu pengalaman
untuk melakukan tindakan radikal tanpa harus melakukan tindakan radikal
sebenarnya, sehingga tindakan radikal di sini justru menjadi suatu alat yang
memediasi bagaimana kenikmatan untuk mengkritisi suatu tatanan melalui karya
sastra.
Dengan melihat hal tersebut, maka hal yang pantas untuk dikatakan di sini
adalah bahwa kenikmatan tersebut tentu bersumber dari suatu dimensi—semacam
skema yang membuat subyek tetap mampu untuk berhasrat meskipun panggilan the
Big Other tidak terjawab atau menghadapi horor dari yang Real—dan hal ini sangat
menjelaskan bagaimana fantasi ideologis bekerja. Fantasi ideologis dalam konteks
kepengarangan berada pada tatanan yang mendahului hasrat pengarang untuk
mengkritisi, sehingga horor untuk melakukan tindakan radikal dapat dinikmati tanpa
harus melakukannya melalui karya sastra. Hal ini juga yang menjelaskan sifat
ideologis dalam karya sastra; ideologi adalah suatu upaya untuk menutupi ambiguitas
the Big Other yang tidak terjawab, sehingga membutuhkan penanda-penanda untuk
menangkap ekor-ekor tersebut. Oleh karena itu, bagi Žižek, yang ideologis bukan
hanya melibatkan sistem yang agung mengenai gagasan mulia, melainkan juga
praktik-praktik partikular yang juga selalu bersifat ideologis karena subjek akan
selalu berusaha untuk mereduksi the Big Other yang berada melampaui mereka dan
menghindari yang Real yang hadir di hadapan subjek. Dengan kata lain, karya sastra
adalah gambaran fantasi ideologis pengarang yang menciptakan suatu bentuk
penjahitan terhadap the Big Other atau penutupan terhadap yang Real dan inilah
324
yang membuat karya sastra bukan tindakan radikal karena pengarang bertindak untuk
menjawab panggilan the Big Other daripada melakukan tindakan yang nyata.
Penjelasan mengenai usaha untuk mengkritisi yang ditawarkan oleh pengarang
seperti Adiga juga sebenarnya merupakan kamuflase dan hal tersebut merupakan
cara bagaimana ideologi bekerja dalam diri pengarang. Persoalan ini dapat dilihat
dari bagaimana pengarang menjadikan kritik tersebut justru sebagai sebuah alat
legitimasi, sebuah kampanye sosial-personal, atau sebuah gerakan militan simbolis
melalui karya yang menggambarkan bagaimana sinisme bekerja pada diri pengarang.
Sinisme di sini terkait pada bagaimana pengarang berusaha untuk mengkritisi suatu
tatanan namun dia sendiri tidak ingin terlibat di dalamnya dan masih melalukan
sesuatu yang dia kritisi. Dengan kata lain, Adiga membuka suatu kebohongan namun
dia juga akan menutupi kejujuran yang dia miliki.
Secara singkat, kesimpulan yang paling penting untuk dilihat di sini adalah
bahwa dengan menggunakan tindakan radikal sebagai alat untuk mengkritisi, maka
seorang pengarang akan mendapatkan sebuah kenikmatan ideologis tanpa harus
terjebak dalam realitas yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan menjadikan
tindakan radikal sebagai objek kenikmatan ideologis, maka karya sastra akan
terkubur statusnya menjadi sebuah komoditas yang berupa tulisan dan para
pengarang sinis seperti Adiga menguasai waralaba yang berupa kritik sosial, ide
filosofis, serta wacana kritis. Hal ini ditunjang oleh fakta bahwa masyarakat pada
saat ini, seperti yang dikatakan Žižek, adalah masyarakat yang sinis; mereka
mengetahui suatu gejala namun mereka masih melakukannya dan justru menjadikan
gejala tersebut sebagai suatu bagian dari kenikmatan untuk mendapatkan pengalaman
melakukannya.
Download