BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Komunikasi
didefinisikan
sebagai
proses
penyampaian
pesan
dari
komunikator (pengirim) kepada komunikan (penerima) melalui saluran tertentu
baik secara langsung maupun tidak langsung dan menghasilkan sebuah efek atau
dampak.1
Komunikasi dan budaya merupakan dua elemen yang saling mempengaruhi.
Hubungan di antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Budaya bisa
mempegaruhi komunikasi dan sebaliknya komunikasi akan mempengaruhi
budaya. Budaya mampu mempengaruhi cara komunikasi seseorang mengenai
realitas. Sebaliknya, komunikasi akan membantu seseorang dalam mengkreasikan
realitas suatu budaya.2
Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yakni buddhayah yang memiliki arti
segala sesuatu yang berhubungan dengan akal dan budi manusia. Secara umum
budaya dapat diartikan sebagai cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok orang
yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
1
Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta, 2012, hal 5
http://komunikasi.us/index.php/course/perkembangan-teknologi-komunikasi/1539-dampak perkembangan teknologi-komunikasi-dan-informasi-media-komunikasi-dan-budaya diakses pada
tanggal 14 Maret 2015
2
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
Selo
Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi
mengungkapkan
bahwa
kebudayaan merupakan hasil karya cipta dan rasa masyarakat. Menurut seorang
arkeolog, R. Soekmono, budaya merupakan hasil usaha manusia berupa benda
maupun hasil buah pikiran manusia selama hidupnya. Sedangkan menurut Effat
al-Syarqawi yang mengartikan budaya berdasarkan sudut pandang Islam,
mengemukakan bahwa budaya merupakan khazanah sejarah suatu masyarakat
yang tercermin dalam kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bahwa
kehidupan harus memiliki tujuan dan makna rohaniah.3
Kebudayaan daerah merupakan suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri.
Contoh dari kebudayaan itu sendiri seperti rumah adat, kesenian, tarian, bahasa,
upacara adat, lagu, pakaian adat, seni sastra dan makanan. Jumlah suku bangsa
yang banyak di Indonesia, maka kebudayaan yang ada pun sangat beragam.
Sebagai contoh, Budaya Jawa merupakan budaya yang berasal dari Jawa dan
dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Provinsi Jawa Tengah, DIY dan Jawa
Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu budaya
Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa
mengutamakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan,
dalam kehidupan
sehari hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan.
Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga
di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatera dan Suriname.
3
http://www.duniapelajar.com/pengertian-budaya-menurut-para-ahli/ diakses pada tanggal 21
Maret 2015
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang paling
banyak diminati di luar negeri. Beberapa produk budaya Jawa yang diminati di
luar negeri adalah Wayang Kulit, Keris, Batik, Kebaya dan Gamelan. Di Malaysia
dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit. LSM Kampung
Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia
pertama yang menerima penghargaan seni dari Amerika Serikat tahun 2011.
Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di AS, Singapura dan Selandia Baru.
Gamelan Jawa rutin digelar di AS dan Eropa atas permintaan warga AS dan
Eropa. Sastra Jawa Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia
yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia. Menurut Guru Besar Arkeologi
Asia Tenggara National University of Singapore John N. Miksic jangkauan
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan Thailand yang
dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.
Bahkan banyak negara di dunia terutama Amerika dan Eropa menyebut Jawa
identik kopi. Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa
menjadi beberapa tingkat yaitu Ngoko, Madya, Krama. Ada yang berpendapat
budaya Jawa identik feodal dan sinkretik. Pendapat itu kurang tepat karena
budaya feodal ada di semua negara termasuk Eropa. Budaya Jawa menghargai
semua agama dan pluralitas sehingga dinilai sinkretik oleh budaya tertentu yang
hanya mengakui satu agama tertentu dan sektarian. Suku Jawa sendiri merupakan
suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Suku Jawa banyak bermukim di Lampung,
Jakarta, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Banten dan Kalimantan Timur.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Cirebon, dan Kota Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Suku
Osing, Orang Samin, Suku Tengger, dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada pula
yang berada di negara Suriname, Amerika Selatan karena pada masa kolonial
Belanda suku ini dibawa sebagai pekerja dan kini suku Jawa di sana dikenal
sebagai Jawa Suriname.4
Latar belakang kebudayaan suatu kelompok akan mempengaruhi bagaimana
kelompok tersebut menyampaikan simbol atau lambang yang berisi pesan ketika
mereka melakukan interaksi sosial didalam kelompok tersebut atau dengan
masyarakat sekitarnya. Simbol atau lambang tersebut banyak kita temukan di
lingkungan yang ada di sekitar kita, tentunya simbol atau lambang tersebut
memiliki arti yang sangat kuat agar pesan-pesan yang di utarakan dapat di
tersampaikan dengan baik, sehingga bagi yang mengerti akan simbol atau
lambang itu bisa mengerti dan memahami sepenuhnya apa yang sebenarnya di
sajikan atau disampaikan. Simbol sendiri merupakan gambar, bentuk atau benda
yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Simbol dapat
digunakan untuk keperluan apa saja, misalnya ilmu pengetahuan, kehidupan sosial
juga keagamaan.5
Di zaman yang sudah modern saat ini, ternyata masih saja terdapat suatu adat
istiadat seperti halnya yang ada di Jawa ini yang masih berkembang dan terjadi.
Ini merupakan suatu hal yang tidak pernah hilang. Adat istiadat tersebut melekat
4
5
https://id.m.wikipedia.org/wiki/budaya-jawa diakses pada tanggal 1 Juni 2016
https://id.m.wikipedia.org/wiki/simbol / diakses pada tanggal 1 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
kuat di Pulau Jawa, mereka sangat percaya akan keyakinan para leluhurnya
bahkan mereka beranggapan jika tidak menghormati dan menjalankan adat yang
berlaku, nantinya akan terjadi suatu hal-hal yang tidak diinginkan oleh mereka.
Tentunya yang di lakukan oleh mereka semua tidak menyimpang dari ajaran
agama. Mereka melakukan ini hanya untuk menghormati para leluhur atas apa
yang telah di lakukan pada masa lalu. Biasanya setiap syukuran, mereka juga
mengirimkan doa-doa dan sesajen. Bentuk sesajen yang di buat adalah semua
makanan yang di masak untuk syukuran dihidangkan terlebih dahulu untuk
leluhur ditambah dengan kopi, kembang tujuh rupa dan rokok. Biasanya
disesuaikan dengan kebutuhan dan acara yang di lakukan, sesepuh akan
memberitahukan adat yang seperti apa dan bagaimana yang harus diselenggarakan
oleh masyarakat sekitar.
Dalam melaksanakan suatu tradisi biasanya terdapat makanan yang
digunakan sebagai sesaji. Ditinjau dari segi gastronomi praktis, beberapa makanan
khas Indonesia dikaitkan dengan perayaan tertentu seperti perayaan agama.
Contohnya pada saat hari raya Lebaran yang dirayakan oleh umat Muslim
masakan yang umum disajikan adalah ketupat. Sementara, disaat “Selamatan”
yaitu tradisi bedoa sebelum kegiatan tertentu seperti pernikahan atau membangun
rumah masakan yang umum disajikan adalah tumpeng atau nasi kuning.6
Seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di
Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali yang menghasilkan
beberapa buku penting tentang Indonesia. Geertz mencoba mengelaborasi
6
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Gastronomi diakses pada tanggal 2 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan
secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Analisis Geertz tentang
kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di
ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna. Geertz
tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda
bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang detail
dan sistematis tentang masyarakat non-Barat. Kaitannya dengan pemilihan kota “
Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya. “Mojokuto” dipilih untuk memberikan
kontras terhadap kecenderungan tradisi antropologi Amerika, karena kota kecil itu
mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama
sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Diakui “Mojokuto”
merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan. Dalam
upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di
Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya
yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan
Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di
pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar),
Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota). Namun demikian,
ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa
itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas. Menurut Geertz, tiga tipe
kebudayaan yaitu abangan, santri, dan priyayi merupakan cerminan organisasi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan
penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan
keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga
terdapat lima jenis mata pencaharian utama yaitu petani, pedagang kecil, pekerja
tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur- yang
kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan
darimana tipologi ini dihasilkan.7
Masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran Islam mulai
berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran mubaligh – mubaligh dan peran
Walisongo di Jawa. Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah
Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di wilayah penting pantai utara pulau Jawa,
yaitu di Surabaya – Gresik – Lamongan di Jawa Timur, Demak – Kudus – Muria
di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo terdiri atas sembilan
orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga.
Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan
para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya
terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintah.
Kiprah Walisongo sangat mempengaruhi budaya di Nusantara. Mereka
melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana. Mereka tidak menentang
kebiasaan – kebiasaan lama masyarakat, justru menjadikannya sebagai sarana
7
http://banyubeningku.blogspot.co.id/2011/04/clifford -geertz-dan-agama-jawa-abangan.html
diakses pada tanggal 1 Juni 2016
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
dalam dakwah mereka. Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media
dakwah adalah wayang. Pementasan wayang konon sudah ada di bumi Nusantara
semenjak 1500 tahun yang lalu. Pada mulanya sebelum Walisongo mengunakan
media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi
Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat
digemari masyarakat. Sempat terjadi perdebatan di antara Walisongo dan
masyarakat karena adanya unsur – unsur yang bertentangan dengan aqidah.
Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan
ajaran Islam. Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan
pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam
mengembangkan wayang. Wayang sebagai media penyebaran Islam. Selain
menggunakan wayang, para Wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai
bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang
keislaman berbahasa Jawa, gamelan dan lakon Islam. Sunan Kalijaga adalah salah
satu Walisongo yang terkenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya
dan kesenian lokal. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan,
grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat
kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga. Para Walisongo juga membangun pusat-pusat penyebaran
agama Islam berupa pesantren. Dengan adanya pesantren-pesantren ini
penyebaran Islam di tanah Jawa berlangsung dengan cepat. Selanjutnya dari
pusat-pusat kegiatan sosial ini berkembang lahan-lahan pertanian dan perikanan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
termasuk juga aktivitas politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Proses
akulturasi antara Islam dan budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang
dikenal dengan lokal genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan
seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat
dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain lokal genius memiliki karakteristik
antara lain mampu bertahan terhadap budaya luar, mempunyai kemampuan
mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsur budaya luar ke dalam budaya asli, dan memiliki kemampuan
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam
sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak hilang begitu saja dengan
kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan
mendapat
warna-warna
Islam.
Perkembangan
ini
kemudian
melahirkan
“akulturasi budaya”, antara budaya lokal dan Islam. Budaya-budaya lokal yang
kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan
1000 hari) di kalangan suku Jawa, tingkeban (nujuh bulan). Dalam bidang seni,
juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang
merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India.
Proses
Islamisasi
tidak
menghapuskan
kesenian
ini,
melainkan
justru
memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam didalamnya.tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam
masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraftaraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya
lokal. Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu
tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur
lokal. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian
juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai ambang masuk masjid
di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun tampak sangat jelas di
kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian bangunan Tiamah
dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis, Lucazs Cardeel, dan pendirian
menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban
Cut. Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam abad
Banten, Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten
sendiri dilengkapi dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton
yang bercorak Islam di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta.
Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan
perdagangan internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota
tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampunganperkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk
orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya. Dalam bidang kerukunan,
Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama
terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain. Misalnya
dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan
Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa
Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama
lain pada masa itu, juga dapat disaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara,
terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara
telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya
sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan. Aspek akulturasi budaya lokal
dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda adalah dalam bidang seni
vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering dibacakan jenis cirita
(wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi dari si tokoh.
Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya lokal pra-Islam
kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang
mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk
kini biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya
memperingati kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran
lainnnya seperti kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan,
selesai panen padi dan peringatan hari-hari besar nasional. Akulturasi Islam
dengan budaya-budaya lokal nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa didapati
juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Makasar,
Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara
seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.8
Filosofi adat budaya Babad Dalan sendiri yaitu membersihkan diri kita
sendiri dimana kita menjalankan kehidupan, menjalankan tujuan kita kepada sang
Pencipta harus bersih dalam artian budi pekerti kita. Semua itu memberikan
gambaran bahwa dalam hidup dan kehidupannya, manusia tidak lepas dari
upacara. Prosesi upacara itu sendiri, selain melibatkan aspek budaya, atau nilai
dan norma, terselip pula nilai-nilai spiritual di dalamnya.9
Sebagai rasa syukur terhadap para leluhur diharapkan nantinya Desa ini akan
makmur dan sejahtera. Makmur dalam artian hasil melimpah sehingga akan
menambah perekonomian warga tersebut dan menghasilkan kesejahteraan di desa
tersebut.
Di masyarakat tradisional, upacara adat masih memiliki peran yang penting
dalam sistem hidupnya. Upacara ini, nampaknya telah menjadi bagian dari sistem
kebudayaan masyarakat tradisional. Pada dasarnya, fungsi upacara tradisional itu
difungsikan untuk tiga kategori tujuan. Pertama, upacara tradisional difungsikan
sebagai fungsi spiritual, lalu yang kedua sebagai fungsi sosial dan yang ketiga
sebagai fungsi pariwisata.10
Penulis tertarik mengambil judul mengenai simbol-simbol ini karena banyak
dari kita atau masyarakat yang belum mengetahui mengenai makna dibalik simbol
8
supersekar.blogspot.co.id/2015/05/peranan-walisongo diakses pada tanggal 2 Juni 2016
Momon Sudarma, Antropologi Untuk Komunikas,. Mitra Wacana Media, Jakarta, 2014, hal 158
10
Ibid hal 159
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
itu semua. Mereka hanya mengetahui simbol saja tanpa mengetahui arti yang
sebenarnya dari simbol tersebut. Selain itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian karena untuk mengangkat tradisi yang ada di Desa Giring serta tradisi
yang ada di desa ini sangat berbeda dengan tradisi yang ada pada umumnya
dimana dalam tradisi ini terdapat suatu ciri khas yaitu dengan menyajikan
namanya mong beserta ingkung ( ayam yang diolah secara utuh ).
Representasi dalam penelitian ini digunakan sebagai penggambaran atau
perwakilan dari sebuah simbol dalam tradisi ini. Dalam penelitian ini terdapat
sebuah simbol yang menjadi ciri khas di dalam tradisi tersebut, dan simbol yang
terdapat dalam penelitian ini merupakan sebuah perwakilan dari tradisi yang ada
di desa ini.
Upacara adat Babad Dalan ini harus terus dilestarikan karena merupakan
suatu tradisi dan adat yang mana ini merupakan suatu rasa untuk menghormati
para leluhur dan mengenang asal-usul Desa Giring. Selain itu budaya ini dapat
ditampilkan di media penyiaran seperti televisi yang dapat menambah
pengetahuan bagi semua orang terutama para generasi muda agar lebih mengenal
dan mencintai terhadap budayanya sendiri.
Keanekaragaman adat istiadat ini tentunya memberikan banyak pembelajaran
khususnya bagi para generasi muda untuk mengetahui dan memahami tradisi yang
ada di Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
1.2 Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka fokus penelitian dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana simbol-simbol budaya pada Upacara Babad
Dalan dalam merepresentasikan filosofis adat Jawa ?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis simbol-simbol
budaya pada Upacara Babad Dalan dalam merepresentasikan filosofis adat Jawa .
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang Ilmu Komunikasi
dan dapat menjadi referensi bagi para mahasiswa guna melakukan penelitian
lebih lanjut lagi mengenai budaya. Penelitian ini juga diharapkan
menyumbangkan kajian budaya dan sebagai sarana edukasi bagi mahasiswa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Adat istiadat tetap terjaga sehingga tidak hilang begitu saja.
b. Melestarikan dan menyebarkan nilai yang terkandung dalam upacara adat
ini.
c. Dengan diadakannya upacara adat atau selametan kita dapat menjaga
hubungan baik masyarakat dan lintas generasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download