Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi
berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat inewadahi berbagai kegiatan
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena
itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif.
Penataan ruang hams mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan yang
mencakup perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari deugan pertimbangan rasional
sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau
penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya ekologi
lingkungan dan beresiko mengalami bencana yang dapat muncul secara tak
terduga.
Seiring dengan perkembangan wilayah, pemanfaatan ruang cenderung
mengalami suatu perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia untuk
kepentingan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Nugroho dan
Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah
perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai
aktivitas ekonomi dan permukiman. Kesemuanya itu akan mengakibatkan
kompetisi pemanfaatan lal~an untuk usaha, permukiman, dan pembangunan
prasarana dan sarana publik.
Kabupaten Bandung adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Kota
Bandung yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Barat, sehingga perkembangan
Kota Bandung yang dapat dilihat dari jumlah penduduk, tarsf sosial ekonomi, tata
guna tanah, budaya, dan lain-lain juga akan mempengaruhi percepatan
perkembangan wilayah di Sabupaten Bandung dari sudut pandang yang sama.
Kondisi ini mempengaruhi minat pendatang untuk menetap dan mengadu nasib,
sehingga arus urbanisasi tak dapat dihindarkan, dan kebutuhan akan lahan pull
ineningkat yang berakibat pada perubahan penggunaan lahan yang pesat, yang
cenderung menyalahi tata ruang.
Sejauh ini, pemerintah daerah Kabupaten Bandung telah mencoba
mengakomodir kebutuhan penduduk maupun tuntutan pembangunan yang ada
sesuai dengan kemampuan daerahnya, diantaranya dengan tersusunnya Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang diharapkan dapat menjadi acuan
pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan. Dari RTRW yang dirancang sampai
tahun 2010 ini telah dialokasikan kawasan lindung seluas 84 462 hektar dan
kawasan budidaya seluas 227 013 hektar (Pemkab Bandung 2001).
Pada kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan pemanfaatan
mang kawasan lindung sebagai daerah budidaya, ditandai dengan aktivitas tegalan
(ladang) maupun penebangan liar di hutan lindung, adanya permukiman dan
industri di sckitar waduk, sempadan sungai, maupun di daerah resapan. Hal ini
dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yang
berlaku, tekanan ekonomi, ataupun lemahnya penegakan hukum terhadap
pelanggar aturan. Di Kabupaten Bandung, perubahan penggunaan lahan paling
tinggi terjadi di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung
seperti di Kecamatan Baleendah, Katapang, Pameungpeuk, dan Dayeuhkolot.
Peristiwa ini berkaitan dengan relokasi industri dari Kota Bandung ke Kabupaten
Bandung maupun timbulnya kawasan industri bam di Kabupaten Bandung
(LPPM ITB 2003). Selain itu kepindahan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung
dari Alun-Alun Kota Bandung ke Soreang (Kabupaten Bandung) pada tahun 1994
juga mendukung percepatan pembahan tata guna lahan. Perubahan ini tidak
terlepas juga dengan karakteristik wilayah di sekitar kecamatan-kecamatan
tersebut yang relatif datar sehingga memudahkan untuk dilakukan pembangunan,
dan dilewati oleh aliran sungai yang memudahkan aktivitas-aktivitas manusia
yang memerlukan air permukaan seperti permukiman dan industri.
Melihat kondisi fisik tersebu:, dapat dikatakan bahwa daerah-daerah
tersebut mempunyai potensi bahaya banjir dan sebenamya pembangunan di
daerah-daerah tersebut pun beresiko terhadap bencana banjir, selain itu
berubahnya daerah terbuka menjadi daerah terbangun, menyebabkan volume
aliran permukaan lneningkat dalanl siklus hidrologi. Lebih lagi daerah cekungan
yang dilalui oleh aliran Sungai Citarum (termasuk Sub DAS Citarum Hulu)
merupakan lokasi pertemuan anak-anak Sungai Citarum, yaitu Sungai
Cikapundung, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, dan Sungai Cirasea, sehingga
merupakan daerah yang potensial terhadap banjir karena tingginya debit sungai di
daerah pertemuan sungai tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Warlina (2000)
serta Hidayat dan Mulyana (2002), daerah-daerah tersebut mempakan daerah
yang berdrainase buruk dan berbakat banjir. Sedangkan penelitian Suherlan
(2000), melalui parameter curall hujan, lereng, tekstur tanah, dan penggunaan
lahan menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan-kecamatan yang terletak di
selatan Bandung dan dilalui oleh aliran Sungai Citarum termasuk daerah rentan
banjir. Pada saat debit air yang melintasi anak-anak Sungai Citarum melebihi
kapasitas salurannya, maka pada daerah pertemuan anak-anak sungai tersebut,
terjadi luapan air atau banjir, sehingga menimbulkan bencana bagi populasi dan
permukilnan pada daerah tersebut.
Permukiman identik dengan manusia dengan berbagai macam aktivitas,
sehingga perilaku masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan banjir.
Menumt Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa
Barat, sampah donestik yang dibuang masyarakat ke saluran air seperti sungai,
berkoniribusi besar terhadap penyumbatan saluran, pendangkalan sungai,
sehingga kapasitas tampung sungai menumn yang dapat mengakibatkan banjir
jika terjadi hujan yang sangat deras (Kompas 2005).
Perurnusan Masalah
Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung telah menimbulkan banyak
kerugian baik jiwa maupun harta benda. Pada tahun 2005, banjir terjadi pada
musim penghujan yaitu bulan Januari hingga Maret, dan telah menenggelamkan
lebih dari 18 000 rumah. Kegiatan industri d m jasa menjadi lumpuh dan
mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam (Kompas
2005). Banjir menyisakan pula masalah sekunder seperti penyakit menular,
kerawanan sosial, dan penurunan kesejahteraan .
Sebagai upaya pengendalian banjir, pemerintah daerah telah melakukan
berbagai cara, yaitu secara stmktural seperti pelurusan dan pengerukan saluran,
juga secara non struktural antara lain dengan penataan ruang yang bersumber dari
pengumpulan data dan informasi, baik data fisik geografis, maupun sosial
ekonomi (Pemkab Bandung 2001). Namun, tampaknya upaya fisik maupun
informasi-informasi yang telah dikompilasi baik dalam bentuk peta maupun data
lain sebagai dasar penataan ruang masih belum efektif, sehingga banjir tetap
tejadi dan membawa akibat yang tidak ringan. Selain itu, kondisi masyarakat
yang secara sosial, ekonomi, maupun budaya beluin menyadari bahaya banjir,
sehingga juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini. Tidak adanya tindakan
tegas dari aparat dalam menegaMcan aturan yang telah dibuat turut berkontribusi
terhadap masalah banjir. Selma ini penataan ruang Icabupaten Bandung seolaholah tidak menjadi jaminan bahwa wilayahnya akan terhindari dari problematika
banjir, karena banjir di Kabupaten Bandung selalu mengakibatkan kerugian fisik
maupun materil yang rutin setiap tahun, sehingga kejadian banjir bisa m e q a k a n
salah satu indikasi kurang berfimgsinya penataan ruang. Situasi seperti ini tentu
tidak dapat dibiarkan terus, tapi harus segera dicarikan solusi mitigasi untuk
mengurangi terjadinya bencana.
Akar permasalahan dalam ha1 ini antara lain kurangnya informasi kepada
pembuat keputusan sebagai dasar pengambilan kebijakan, khususnya untuk
perencanaan tata ruang. Menurut Departemen PU (20051, s e l m a ini sifat dan
resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting
dalam penataan ruang di berbagai daerah, termasuk beium lengkapnya data
kebencanaan untuk penataan ruang terutama peta bencana banjir dan peta resiko
(mikrozoning) banjir di berbagai daerah, sehingga mengakibatkan masalah banjir
menjadi bencana yang berulang dan tidak tertangani secara tuntas. Menurut
Abidin (2006), keterlambatan dalam memahami faktor-faktor banjir umumya
disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan
komprehensif dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyediaan peta
yang aktual dan valid merupakan salah satu ha1 yang per111 dilaksanakan untuk
dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan di pemerintahan
yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, inaka masalah-masalah yang
dapat dilumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung?
2. Bagaimanakah sebaran lokasi bahaya dan resiko banjir di Kabupaten
Bandung?
3. Bagaimanakah kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten
Bandung?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang?
5. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko banjir di
Kabupaten Bandung?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah maka
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini edalah untuk :
1. Menganalisis realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung.
2. Membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten Bandung.
3. Mengetahui kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten
Bandung.
4. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang.
5. Memberi masukan upayz penataan ruang dalam mengurangi resiko banjir di
Kabupaten Bandung.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
informasi bagi pihak pengambil keputusan di pemerintahan untuk menentukan
kebijakan dalam upaya mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung
Kerangka Pemikiran Penelitian
S e l m a ini pemerintah Kabupaten Bandung telah berusaha untuk
memajukan daerallnya melalui program-program berupa RTRW dan peraturanperaturan daerah. Namun, dalam penerapannya sering terjadi penyimpangan
karena berbagai kondisi seperti kurang akomodatifnya RTRW maupun kesadvan
masyarakat yang rendah. Hal ini dapat mempakan salah satu faktor pendorong
perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat pada penurunan kualitas lingkungan.
Berkurangnya daerah tangkapan air adalah salah satu bukti penulunan kualitas
lingkungan, dan ha1 ini berpotensi sebagai penyebab banjir yang dapat
mengakibatkan bencana. Banjir >ang terjadi di berbagai tempat aktivitas manusia
bisa merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang
akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani.
Penanganan masalah banjir ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena
seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap
banjir, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Keterbatasan
manusia dalam memahami karakteristik wilayahnya dari faktor-faktor penyebab
banjir salah satunya dapat dikarenakan kurang tersedianya informasi keruangan
yang valid. Sebagai langkah awal dalam upaya pengendalian banjir, diperlukan
wawasan dan pemahaman yang cukup terhadap karakteristik wilayah dan
masyarakat di daerahnya.
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada
diagram yang ditampilkan pada Gambar 1
Program Pembangunan
Wilayah Kabupaten
Bandung
I
RTRW
Kabupaten
Penegakan
hukum lemah
kurang lengkap
RTRW kurang
*
pemban,
masyarakat
Perubahan penggunaan lahan
(ekosistem terganggu)
Bencana Banjir
.L
r~nalisisdan ~enilaianbahava serta resikol
1
Kesimoulan I solusi
0
= tidak
diteliti
Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian.
Download