HAND BOOK SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PEMBANGUNAN OLEH I. : DRA. LELI YULIFAR, M.Pd. Pengantar Kehidupan manusia dapat dikaji baik melalui Sosiologi maupun Antropologi. Hal ini menjadikan kedua disiplin ilmu tersebut susah untuk dipisahkan. Banyak para ahli Sosiologi merangkap menjadi antropolog, dan sebaliknya. Kendati demikian, kajian Antropologi yang berhubungan langsung dengan Sosiologi, hanya yang berkenaan dengan Antropologi budaya saja. Dalam hal ini, khusus kajian yang berkenaan dengan aspek manusia sebagai mahluk sosial budaya, yang diidentifikasi bahwa manusia memiliki perilaku sosial yang melembaga. Antropologi Budaya berobjekan manusia sebagai mahluk sosial, yang hidup dalam kelompok masyarakat pendukung dan pengembang kebudayaan di dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pembangunan sebagai konsep politik, ekonomi dan sosial di dalam mengarahkan proses perubahan yang diinginkan suatu bangsa akan melibatkan semua pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Abad ke-21 ditandai dengan pesatnya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, sebagai akibat perkembangan Teknologi Informasi. Implikasinya, di dalam upaya perubahan yang direncanakan, yang dikenal dengan istilah Pembangunan, masalah-masalah sosial budaya, sosial ekonomi dan sosial politik tersebut akan melebur dalam satu telaah yang berada dalam ranah Sosiologi dan Antropologi. Masalah pembangunan tidak hanya merujuk kepada aspek kwalitas, tetapi juga kwantitas. Isu-isu tentang pemerataan, perubahan sosial, potensi konflik, disintegrasi, pembangunan fisik dan spiritual dalam kerangka multikultural dalam ruang global tampak menjadi semakin krusial untuk dijadikan bahan diskusi.Untuk memperkuat pemikiran para mahasiswa dalam menganalisis implikasi pembangunan sebuah Negara, termasuk Indonesia, perkuliahan dimulai dengan membahas berbagai teori pembangunan, yang akan digunakan dalam membedah permasalahan kasus-kasus pembangunan sebagai implikasi dari perubahan yang terencana tersebut. 1 Tulisan ini berisikan beberapa telaah terhadap teori-teori pembangunan dan implikasinya, yang juga merupakan pengembangan dari silabus dan hand out perkuliahan Sosiologi dan Antropologi Pembangunan. dimaksudkan untuk membantu para mahasiswa, Tujuan penulisan terutama dalam mengikuti perkuliahan tatap muka di kelas, melalui gambaran mengenai content perkuliahan, sehingga melalui tulisan ini diharapkan dapat memotivasi mereka untuk mencari dan mengembangkan pokok-pokok pikiran ini lebih mendalam dan lebih luas lagi. Lebih lanjut lagi, upaya pengayaan yang dilakukan mereka tersebut diharapkan dapat dengan aktif berperan serta dalam melakukan analisis dan sintesis terhadap materi-materi diskusi yang berkenaan dengan implikasi pembangunan sebagai sebuah upaya terencana tersebut. Materi yang didiskusikan tersebut dilakukan pada paruh semester terakhir perkuliahan ini. II. Definisi Pembangunan dan Tiga Golongan Kebutuhan Dasar Pertumbuhan dan perkembangan umat manusia mendorong Sosiologi dan Antropologi melakukan pengkajian dan analisis setiap fenomena yang terdapat di dalamnya yang akhirnya membentuk tema-tema tersendiri sebagai spesialisasi dari ilmuilmu yang bersangkutan. Sosiologi dan Antropologi (budaya) mempelajari manusia yang berkenaan dengan individu, masyarakat, ataupun pranata sosial seperti keluarga, agama dan politik (Gurniwan, 1999 : 33). Kedua disiplin ilmu ini, beserta ilmu-ilmu sosial lainnya berupaya untuk mencoba menjawab setiap masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia, termasuk bagaimana mereka melakukan suatu perubahan, khususnya yang dilakukan dengan sengaja dan terencana. Setiap upaya perubahan yang direncanakan, disebut pembangunan (Kartasasmita, 1996). Di sisi lain, pembangunan tersebut akan menimbulkan perubahan. Karena itu, antara pembangunan dan perubahan akan merupakan dua unsur yang saling berkaitan erat. Sementara itu, berbicara tentang tujuan pembangunan, Otto Soemarwoto (2001), mengatakan bahwa pembangunan bertujuan untuk menaikan tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat, yang di dalamnya mengandung makna untuk meningkatkan mutu hidup rakyat. Karena mutu hidup dapat diartikan sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar. Pembangunan menurut Sumarwoto dapat diartikan sebagai usaha untuk 2 memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang esensial, yang terdiri dari tiga bagian. Pertama, kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati. Kedua, kehidupan dasar untuk untuk kelangsungan kehidupan yang manusiawi dan yang ketiga adalah kebutuhan akan derajat kebebasan untuk memilih. Parsudi Suparlan dalam tulisannnya tentang Antropologi Pembangunan, sebagai penghormatan kepada Koentjaraningrat (1997) mendefinisikan pembangunan sebagai serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentukbentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah caracara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya pembangunan tersebut. Program-program tersebut di antaranya meliputi programprogram pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi , yang mencakup program-program peningkatan kesejahteraan hidup atau mutu, senada dengan Sumarwoto di atas, tentang basic need yang pada gilirannya akan menjadi basic drive setiap individu. Menurut Sumarwoto (2001), pembagian kebutuhan dasar di atas dibagi secara khierarkis berturut-turut dari atas ke bawah, sehingga menjadi tiga golongan. Kelangsungan hidup yang manusiawi dan derajat kebebasan memilih hanyalah mungkin apabila kelangsungan kehidupan hayati telah terpenuhi dan terjamin. Oleh karena itu, kelangsungan kehidupan hayati adalah hal yang paling pokok dan mempunyai bobot yang paling tinggi di antara ketiga golongan kebutuhan dasar. Pada saat kebutuhan dasar yang pertama ini telah terpenuhi, orang sering tidak merasakan adanya kebutuhan dasar pada tahap ini. Akan tetapi, jika karena suatu hal, kebutuhan dasar yang pertama ini tidak terpenuhi, orang akan berusaha mendapatkannya, sampai-sampai bersedia untuk mengorbankan kebutuhan dasar yang lainnya. Misalnya, seseorang tersesat di di padang alang-alang yang luas dan kehabisan air, akan bersedia untuk memberikan pakaiannya, rumahnya dan apa saja kepada orang yang dapat memberikan air kepada dirinya. Batas antara kebutuhan dasar golongan pertama dan kedua tidaklah jelas, melainkan merupakan sebuah daerah peralihan. Dalam daerah peralihan ini kebutuhan dasar 3 dapatlah dikategorikan sebagai kebutuhan dasar untuk kelangsungan kehidupan hayati, maupun sebagai kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup yang manusiawi. A. Kebutuhan Dasar Untuk Kelangsungan Hidup Hayati Mahluk hidup selalu berusaha untuk selalu menjaga kelangsungan hidupnya, tidak saja secara individu tetapi juga sebagai jenis. Kelangsungan hidup sebagai jenis bahkan memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan individual. Sehingga kita akan Menjumpai kelakuan altruism, yaitu pengorbanan diri untuk mempertahankan kelangsungan hidup jenis. Pada manusia, altruism ini dapat terlihat antara lain dalam peperangan. Misalnya para pejuang kita dalam berperang melawan Belanda telah membentuk pasukan berani mati. Mereka bersedia mengorbankan diri demi menyelamatkan pasukan lain atau demi rakyat. Para penerbang Jepang kamikaze telah mengorbankan jiwanya untuk keselamatan Negara dan kaisarnya. Banyak Negara memiliki tradisi untuk menawarkan kepada anggota tentaranya untuk secara sukarela mengerjakan suatu pekerjaan perang yang sangat berbahaya yang mungkin sekali akan menyebabkan kematian. Untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup secara hayati, manusia haruslah mendapatkan air, udara dan pangan dalam kwantitas dan kwalitas tertentu. Kebutuhan dasar ini bersifat mutlak. Kemudian, ia harus terhindar dari serangan organism berbahaya, pathogen, parasit, dan vector penyakit. Di samping itu, manusia harus dapat mempunyai keturunan untuk menjaga kelangsungan hidup jenisnya. B. Kebutuhan Dasar untuk Kelangsungan Hidup yang Manusiawi Berbeda dengan mahluk hidup yang lain, manusia tidak cukup sekedar hidup secara hayati, melainkan karena kebudayaannya ia harus ia harus hidup secara manusiawi. Misalnya, pangan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, melainkan harus disajikan dalam rasa, warna dan bentuk yang menarik. Sebenarnya manusia dapat hidup dengan tumbuhan dan daging yang mentah, tetapi itu tidaklah manusiawi. Di dalam kondisi iklim di Indonesia, manusia juga dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya tanpa pakaian dan rumah, tetapi itupun tidak manusiawi. Jadi jelaslah bahwa sifat manusiawi itu merupakan juga unsure penting dalam mutu lingkungan. 4 Kebutuhan dasar untuk hidup yang manusiawi sebagian bersifat materil dan sebagian lagi non-materiil. Bentuk Non-materil berkembang sangat kuat dan menonjol berkembang pada manusia sehingga berbeda dari hewan. Pada awal perkembangan budayanya, manusia mengembangkan pranata yang mengatur kehidupan sosial kelompok manusia. Pada hewan, sebenarnya ada semacam pranata, tetapi pengaturan pada manusia lebih maju dan lebih tinggi, karena masyarakat manusia lebih kompleks daripada ‘masyarakat’ hewan serta memiliki kemampuan otak yang lebih besar dari pada hewan. Pada masyarakat manusia berikutnya berkembang ranah hukum, sebagai cermin dari hakekat dan martabat tentang dirinya sebagai pribadi dalam berhubungan dengan manusia lain, juga bagaimana dalam hubungannya dengan alam, dan tuhan yang tercermin di dalam kehidupan beragama. Kehidupan dasar yang manusiawi tercermin juga dari kebutuhan manusia akan seni, berbudaya, berfilsafat, pendidikan, pakaian, rumah dan energi (misalnya api). C. Kebutuhan Dasar untuk Memilih Kemampuan memilih merupakan sifat hakiki mahluk untuk dpat mempertahankan kelangsungan hidupnya, baik pada tumbuhan, hewan dan manusia. Akar tumbuhan dapat memilih unsur mana yang diserap banyak dan mana yang diserap sedikit. Kemampuan memilih ini memungkinkan kita untuk menggunakan tumbuhan sebagai indikator adanya zat tertentu di dalam tanah. Hewan juga memilih apa yang dimakannya. Kambing memiliki pilihan yang lebih luas disbanding hama wereng yang hanya menyukai padi. Pada manusia kemampuan memilih berkembang melampaui tujuan mempertahankan hidup hayatinya, yakni melalui ekspresi hasil budi dan dayanya yang dikenal dengan istilah kebudayaan. Mulai dari jenis makanan yang beraneka ragam, pakaian yang bermode, arsitektur rumah/bangunan, aneka seni dan sebagainya. Keanekaragaman ini mengindikasikan bahwa manusia memiliki kesempatan yang banyak untuk memilih. Memilih merupakan hal yang essensial dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, menjadi bagian dari kebutuhan dasar, terutama untuk memenuhi kelangsungan hidupnya yang manusiawi. Keanekaragaman pilihan ini harus dipelihara, karena akan menjamin atau paling tidak mengurangi kemungkinan tertutupnya pilihan kita di masa 5 yang akan datang. Kesempatan memilih itu meliputi keputusan menentukan nasib dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Mereka dapat memilih bidang-bidang pekerjaan atau predikatnya sesuai dengan bakat dan minat serta kondisi-kondisi lainnya. Misalnya, pilihan-pilihan untuk menjadi seorang pendidik, insinyur sipil, dokter, paramedis, akuntan, dll. III. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable development) Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep yang dideklarasikan pada penyelenggaraan Earth summit 1992 di Rio De Janeiro. Penggagas konsep ini berasal dari World Commission on Environment and development (Asosiasi SYLFF, 2006). Selain semakin disadarinya bahwa keterkaitan lingkungan hidup dengan permasalahan ekonomi dan sosial, juga kesadaran bahwa analisis dan pemecahan permasalahan serta implementasi pembangunan merupakan upaya yang tidak terputus. Oleh karena itu, berbagai disiplin ilmu semakin berkembang dan digunakan sebagai pendekatan multi dan interdisipliner. Dalam kerangka ‘sustsainable development’, Ginanjar Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila ekonomi rakyat berkembang. Posisi penting pengembangan ekonomi rakyat bagi pembangunan yang berkelanjutan menunjukkan adanya keterpaduan antara pemerataan dan pertumbuhan. Pendapat ini merujuk pada konsep pembangunan yang dititikberatkan pada bidang ekonomi. Padahal, aspek politik dan sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perubahan perekonomian. Sehingga, setiap perubahan yang direncanakan, yang disebut pembangunan pada dasarnya merupakan unsur yang tidak terpisahkan antara ketiga aspek tersebut. Di sinilah kajian Sosiologi dan Antropologi akan berperan, sehingga pembangunan akan dirasakan sebagai konsep yang tidak melulu menekankan pada pembangunan ekonomi, baik dalam telaah maupun implikasinya. Aspek lingkungan Sosial-budaya dan ekonomi memang sangatlah penting untuk kesinambungan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan dilakukan oleh dan untuk manusia yang hidup di dalam kondisi sosial budaya dan kondisi ekonomi tertentu. Faktor ekonomi perlu mendapat perhatian, karena pembangunan tidak akan dapat 6 berkelanjutan apabila ekonomi tidak mendukungnya. Kendati demikian, kerap kali faktor sosial budaya diabaikan. Begitu pentingnya faktor sosial budaya untuk diperhatikan, berikut ini terdapat beberapa kasus yang dicatat sejarah, yang memperlihatkan kedua faktor tersebut berkonstelasi dengan kondisi pembangunan. Di antaranya disebabkan karena faktor sosial budaya yang tidak mendukung atau kontra produktif terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Contohnya, pembangunan yang dilakukan di bawah kepemimpinan Syah Iran tidak berkelanjutan karena tidak didukung oleh kondisi sosial budaya, yang membawa kemaharajaan ini kepada situasi hancur dan ambruk. Atau, Ketidakserasian suku Tamil dan Singalese membuat pembangunan di Srilangka yang tadinya berkecenderungan positif, terancam ambruk karena faktor sosial/politik tersebut. Oleh karena itu, sangatlah jelas pentingnya faktor sosial budaya dijadikan fokus perhatian, sama pentingnya dengan bidang ekonomi. IV. Teori-Teori yang Digunakan Dalam Menganalisis Pembangunan Untuk memahami manusia beserta seluruh fenomena di dalam kehidupannya dapat dilakukan melalui kegiatan menganalisis bagaimana sekelompok manusia berupaya membangun bangsanya, melalui penggunaan teori-teori. Di dalam menganalisis fenomena sosial tersebut tidak cukup dengan hanya menggunakan satu teori, tetapi bisa bersifat multi atau interdisipliner. Pemilihan teori didasarkan pada pertimbangan kesesuaian dengan kebutuhan (need. Contohnya, untuk mengetahui kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, maka teori-teori ilmu sosial yang dipilih. Teori ilmu sosial didefinisikan sebagai seperangkat andaian mengenai masyarakat, fenomena sosial dan tingkah laku manusia (Gurniwan, 1999). Sedangkan fungsi Teori menurut Zamroni dalam Gurniwan (1999) ialah untuk : 1. Sistemisasi pengetahuan 2. Eksplanasi, prediksi, kontrol sosial dan 3. Mengembangkan hipotesis. Sehubungan dengan penjelasan tentang arti dan peran teori tersebut di atas, berikut ini akan dipilihkan 3 teori yang cukup populer digunakan dalam menganalisis 7 pembangunan. Teori tersebut terdiri dari Teori modernisasi, Teori Dependensi (Ketergantungan) dan Teori Sistem Dunia. Berikut ini disajikan uraian ketiga teori pembangunan tersebut sebagai hasil kajian Alvin Y. So dan Suwarsono dalam Bukunya tentang Perubahan Sosial dan Pembangunan (2006, ed. Revisi). A. Teori Modernisasi Klasik Modernisasi sebagai proses transformasi yang sistemik , dilakukan secara immanent (terus-menerus) dan cenderung menekankan pada faktor yang berasal dari dalam (internal resources). Untuk mencapai kondisi modern, teori modernisasi klasik mensyaratkan bahwa seluruh nila-nilai tradisional harus diganti oleh seperangkat struktur yang modern. Karena itu, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilainilai tradisional dan modern adalah hal yang saling bertentangan. Dalam arti, jika modernisasi ingin dicapai, maka nilai-nilai tradsional harus dirombak total alias dilenyapkan! Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir seluruh aspek perilaku sosial, termasuk industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi dan sentralisasi pada satu tempat yang mengakibatkan terjadinya pengelompokan, sehingga modernisasi bercirikan keteraturan dan tidak dalam kondisi yang terpisah-pisah. Awal modernisasi dicatat oleh peristiwa sejarah yang monumental, yakni beberapa temuan teknologi yang melandasi industrialisasi pada berbagai bidang kehidupan masyarakat Eropa yang kemudian dikenal dengan peristiwa Revolusi Industri. Kemudian disusul dengan munculnya Revolusi Perancis yang mengusung nilai-nilai demokratis sebagai bentuk perlawanan terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki kelompok feodal. Perkembangan selanjutnya, modernisasi melanda juga segmen kehidupan yang lain, seperti munculnya kemajuan berbagai ilmu pengetahuan yang diikuti perkembangan teknologi. Perobahan ini harus diimbangi oleh sikap mental dan proses adaptasi, sehingga tidak dianggap sebagai orang yang ketinggalan jaman atau ‘mabuk’ modernisasi. Menurut Alvin Y. So dan Suwarsono (2001) yang mengutif pendapat para tokoh Amerika Serikat, Teori Modernisasi lahir sebagai produk 3 peristiwa penting, yakni : 8 1. Munculnya AS sebagai kekuatan dominan sejak pelaksanaan Marshal Plan untuk membangun kembali Eropa Barat sebagai akibat kekalahan dalam PD II. Sementara, Negara-negara Eropa lainnya, seprti Inggris, Perancis, dan Jerman justru semakin melemah. 2. Pada saat hampir bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni Soviet berhasil memperluas pengaruhnya keropa Timur, bahkan ke Asia (Cina dan Korea di antaranya. Secara tidak langsung kondisi ini membuat AS ingin membendung pengaruh Komunis, dengan cara berusaha memperluas pengaruh politkinya pada belahan dunia yang lain. 3. Lahirnya Negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan daerah jajahan Eropa . Negara-negara ini secara serempak mencari model-model pembangunan ekonominya dalam usaha mempercepat pencapaian kemerdekaan politiknya. Oleh karena itu, pasca Perang Dunia ke-2 ditandai dengan besarnya perhatian para ilmuwan AS kepada Negara-negara Dunia ketiga yang mendapat dukungan dari pemerintah AS, dan organisasi swasta . Satu generasi baru ilmuwan, ilmuwan politik, ekonomi dan para ahli Sosiologi, Psikologi, Antropologi serta ahli kependudukan menghasilkan karya-karya disertasi dan monografi tentang Dunia ketiga. Satu aliran pemikiran antar disiplin yang tergabung dalam ajaran modernisasi terbentuk dalam tahun 1950-an. Sehingga, karya kajian modernisasi merupakan ‘industri yang tumbuh segar ‘ sampai pertengahan tahun 1960-an. Karya kajian modernisasi dikategorikan sebagai suatu aliran pemikiran atau a school of thouhht. Teori modernisasi memiliki paling tidak dua warisan pemikiran, yakni pewarisan pemikiran struktur fungsionalisme dan pola pikir teori evolusi. Menurut Teori evolusi, perubahan sosial pada dasarnya merupakan gerakan yang linear, searah, progresif dan perlahan-lahan yang akan membawa masyarakat primitif kepada tahapan yang lebih maju, dan membuat ‘wajah’ masyarakat yang beragam menjadi memiliki bentuk dan struktur yang seragam. 9 Salah seorang penganut teori modernisasi, Levy mempercayai bahwa seiring dengan perkembangan waktu, di antara kita akan saling mirip satu sama lain, karena teori modernisasi mengatakan bahwa semakin modern tahapan yang dilalui, maka akan semakin serupa bentuk dan karakter masyarakat yang terlibat dalam perubahan ini. Berdasar pada premis itu, maka teori Rostow memiliki gerakan seperti yang digambarkan teori evolusi : Bergerak dari tatanan masyarakat primitif/sederhana ke masyarakat yang lebih maju atau kompleks. Teori fungsionalisme merupakan pemikiran Talcott Parsons, yang memandang manusia ibarat organ tubuh manusia, sehingga masyarakat manusia pun bisa dipelajari sebagaimana sebuah organ. Tidak mengherankan jika Parson memiliki pandangan ini mengingat latar belakangnya sebagai ilmuwan Biologi. Parsons memandang bahwa sebagaimana halnya tubuh manusia, masyarakat memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya dalam kaitan yang sistemik, memiliki fungsi pokok dan keseimbangan dinamis-statsioner (homeostatic equilibrium). Parson, dengan menganalogkan tubuh manusia, menggunakan konsep sistem untuk menggambarkan koordinasi harmonis antar kelembagaan yang ada pada masyarakat. Fungsi pokok (fungsional imperative) diimaksudkan untuk menggambarkan 4 macam tugas utama yang harus dilakukan agar masyarakat tidak mati. Keempat hal tersebut dikenal dalam istilah AGIL (Adaptation to the environment, goal attainment, integration, and latency). Lembaga ekonomi sebagai pelaksana adaptasi lingkungan, pemerintah berfungsi untuk pencapaian tujuan umum, lembaga hukum dan agama menjalankan fungsi integrasi, dan keluarga serta lembaga pendidikan berfungsi untuk usaha pemeliharaan. Masyarakat selalu mengalami perubahan yang teratur. Perubahan sosial pada sebuah lembaga akan mengakibatkan perubahan pada lembaga yang lain untuk mencapai keseimbangan baru. Di sinilah peran-peran homeostatic equilibrium dibutuhkan. Dalam menjelaskan perbedaan masyarakat tradisional dan modern, Talcott Parsons merumuskan konsep faktor kebakukan dan pengukur (pattern variables), yang menjadi alat utama untuk memahami hubungan sosial yang langgeng, berulang dan mewujud dalam sistem kebudayaan. Masyarakat tradisional cenderung memilliki 10 hubungan ‘kecintaan’ yang bersifap pribadi dan emosional. Sedangkan masyarakat modern memiliki hubungan ‘kenetralan’, yaitu hubungan kerja yang tidak langsung, tidak mempribadi dan berjarak. Selanjutnya Parsons merumuskan hubungan “ kekhususan dan universal” (particularistic dan universalistic). Masyarakat tradisional cenderung berhubungan dengan anggota masyarakat dari satu kelompok tertentu, sehingga menjadi ada perasaan kebersamaan, memikul tanggung jawab bersama-sama. Sementara masyarakat modern, berhubungan satu sama lain dalam batas norma-norma universal,tidak terikat tanggung jawab kelompok dan kekhususan. Masyarakat tradisional biasanya lebih terikat oleh kewajiban-kewajiban kekeluargaan, komunitas dan kesukuan ( orientasi kolektif). Sedangkan masyarat modern lebih bersifat individualistik (orientasi pada diri sendiri/ self orientasi). Kemudian, masyarakat tradisional menurut Parsons lebih melihat pentingnya status warisan dan bawaan (ascription), sedangkan masyarakat modern lebih memperhatikan pencapaian prestasi (achievement), dalam situasi yang penuh persaingan dan sangat ketat. Pada masyarakat tradisional, belum terdapat rumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan ( functionally diffused) yang akan menyebabkan ketidakefisienan. Sebaliknya, pada masyarakat modern telah terjadi perumusan yang jelas tentang fungsi-fungsi kelembagaan (functionally specific). Berikut ini disajikan perbedaan antara masyarakat tradisional dan modern yang diidentifikasi Talcott Parssons sebagai pattern variables dalam bentuk tabel Unsur Kecintaan dan kenetralan Kekhususa n dan universal Pandangan terhadap diri Status warisan dan prestasi Fungsifungsi kelembaga an Masyarakat Tradisional Hubungan kecintaan yang mempribadi dan emosional Terikat tanggung jawab kelompok, yang memikul beban bersama-sama. Berorientasi kolektif Masyarakat Modern Kenetralan dengan hubungan kerja yang tidak langsung, tidak mempribadi dan berjarak Lebih tidak terikat tanggung jawab terhadap kelompok, mengusung nilai-nilai universal Berorientasi pada dirisendiri/self orientation Memandang penting status warisan dan bawaan Memperhatikan prestasi (achievement) dalam persaingan yang ketat Belum merumuskan fungsifungsi kelembagaan secara jelas (functionally diffused) Sudah merumuskan tugas-tugas masing-masing kelembagaan secara jelas (functionally specific) 11 Uraian di atas dimaksudkan agar kita lebih mudah dalam memahami teori modernisasi sehubungan dengan beragamnya pola pikir dan rumitnya dalam mengidentifikasi ciri-ciri pokok teori modernisasi. Selanjutnya akan dibahas 3 pemikiran yang berasal dari 3 latar belakang disiplin yang berbeda (Sosiologi, Ekonomi dan Politik) yang mencoba menjelaskan jalannya modernisasi di Negara Dunia Ketiga yang berorientasi kepada Teori Modernisasi Klasik. 1. Diferensiasi Struktural dari Smelser (Sosiolog) Di dalam menjawab pertanyaan yang dirumuskannya, Smelser menggunakan konsep bagaimana modernisasi bisa terjadi, perbedaan antara masyarakat tradisional dan modern bagaimana prospek modernisasi di Negara Dunia Ketiga, dan apa akibat lanjut dari proses modernisasi. Menurut Smelser, proses modernisasi akan selalu melibatkan diferensiasi struktural.Ketidakteruran struktur masyarakat yang menjalankan berbagai fungsi sekaligus akan dibagi ke dalam sub struktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Bangunan baru tersebut sebagai satu kesatuan yang terdiri dari berbagai sub struktur yang menjalankan keseluruhan fungsi yang dilakukan oleh bangunan struktur lama. Setelah terdapat diferensiasi struktural, pelaksanaan fungsi akan dapat dijalankan secara lebih efisien. Sebagai contoh, keluarga tradisional memiliki struktur yang tidak teratur dan rumit. Di dalam satu atap berdiam banyak keluarga yang terdiri dari beberapa generasi. Di Indonesia dicontohkan model keluarga yang mendiami rumah gadang di daerah Padang (Sumbar). Keluarga tradisional tidak hanya bertanggung jawab terhadap beban penerusan keturunan dan penanggungan emosi bersama, tetapi juga bertanggung jawab terhadap produktifitas kerja (ladang pertanian bersama), pendidikan (proses sosialisasi), kesejahteraan (perawatan terhadap orang tua yang berusia lanjut), dan pendidikan agama (pemujaan terhadap arwah orang tua). 12 Dalam masyarakat modern, keluarga memiliki struktur yang lebih sederhana, lebih kecil karena hanya terdiri dari keluarga inti (batih). Di sini sudah terjadi diferensiasi strukural, sehingga banyak fungsi dari lembaga keluaraga tradisional tidak dilakukan. Sebagai contoh, lembaga perekonomian telah berfungsi sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap produktifitas kerja, lembaga pendidikan berfungsi untuk pewarisan nilai dan pengajaran, pemerintah memiliki fungsi untuk kesejahteraan dll. Diambilalihnya fungsi-fungsi yang tadinya dilakukan keluarga tradisional, oleh lembaga khusus menjadikan keluarga modern lebih produktif dibanding keluarga tradisional. Setiap perubahan akan menimbulkan akibat. Sebagai contoh, sebagai akibat diferensiasi struktural akan mengakibatkan persoalan baru, yang berhubungan dengan masalah integrasi.Dihadapkan pada masalah ini, smelser menyarankan untuk membentuk semacam lembaga khusus yang menjembatani dan mengkoordinasikan kegiatan dan kebutuhan masyarakat yang telah terdiferensiasi. Misalnya, lembaga semacam Depnaker yang akan menghubungkan para pencari kerja dengan lembaga ekonomi (dunia kerja) baik swasta maupun negeri. Bahwa masalah integrasi bukan masalah sederhana, diakui Smelser karena terdapat beberapa variable yang saling mempengaruhi. Misalnya, konflik nilai antara lembaga penghubung dengan pencari kerja yang masing memiliki orientasi kepada nilai warisan bawaan, akan berbenturan dengan lembaga penghubung yang menganut netralitas dan prestasi. Kondisi ini akan menimbulkan angka pengangguran yang berikutnya akan menimbulkan akibat-akibat lain yang lebih rumit. Memang masalah integrasi tidak akan dapat diatasi secara total, sebab terdapatnya ketidaseimbangan antara perkembanngan pembangunan dan kelembagaan kemasyarakatan yang diperlukan. Jika dibiarkan, menurut Smelser, kondisi ini akan menimbulkan kerusuhan sosial. Berbagai kekacauan bisa terjadi, seperti agitasi politik damai sampai kekerasan di dalam kerusuhan. Dapat dicontohkan, efek samping modernisasi di Negara Dunia ketiga dalam pembangunan masyarakat desa akan memunculkan petani miskin lahan yang tersisihkan sebagai akibat cepatnya perubahan dan mobilitas vertikal. Kita semua tau, bahwa kemiskinan merupakan ladang yang subur untuk komunisme. Menyimak analisis Smelser, 13 memperlihatkan sebuah kerangka teori yang dibangun sebagai upaya mengamati proses modernisasi di negara Dunia ketiga berikut beberapa efek samping dan alternatif pemecahannya, atau untuk mengurangi dan menekan efek perubahan yang negatif. 2. Tahapan Pertumbuhan Ekonomi dari Rostow Dalam karya klasiknya yang berjudul The Stages of Economic Growth, W.W. Rostow menyatakan terdapat 5 tahapan pembangunan ekonomi, yakni : a. Masyarakat Tradisional b. Prakondisi tinggal landas c. Tahapan tinggal landas d. Kematangan pertumbuhan e. Konsumsi massa tinggi Analisis Rostow terhadap pembangunan ekonomi di Dunia ketiga diawali dengan identifikasi terhadap kondisi masyarakat tradisional yang dipandang hanya sedikit mengalami perubahan sosial atau bahkan sama sekali mandeg. Perlahan- lahan,mengalami perubahan dengan mulai tumbuhnya para usahawan, perluasan pasar, dan pembangunan industri. Ini artinya memasuki tahap prakondisi, sebagai tahap untuk memasuki lepas landas. Seiring dengan itu, kesejahteraan dan kesehatan meningkat sehingga tingkat kematian menjadi kecil . Keadaan ini tidak mendukung ke arah momentum mempertahankan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan (self-sustained economic growth), karena beban jumlah penduduk yang banyak malah menyerap habis surplus pendapatan ekonomi. Untuk itu, Rostow menyarankan agar Negara Dunia ketiga memiliki struktur ekonomi tertentu, yakni mampu memobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumber daya alamnya sehingga mampu mencapai tingkat investasi produktif sampai sebesar 10 % dari pendapatan nasionalnya. Jika tidak, maka pertumbuhan penduduk tidak akan dapat diimbangi. Tetapi menjadi sebuah pertanyaan bagi negara Dunia Ketiga, tentang perolehan sumber daya investasi. Rostow menyarankan beberapa hal. Pertama, pemindahan sumber dana secara radikal, atau melalui kebijakan pungutan pajak seperti yang 14 dilakukan Jepang pada jaman Meiji. Di Rusia, terjadi penyitaan hak atas tanah dari tuan tanah, sehingga terjadi pemindahan investasi ke perkotaan. Kedua, dana investasi yang berasal dari lembaga keuangan seperti perbankan, pasar uang dan modal atau obligasi pemerintah yang dibuat untuk memindahkan dana nasional yang terpendam untuk kegiatan yang produktif.Ketiga, Perolehan dari perdagangan internasional. Pendapatan devisa dari kegiatan ekspor bisa dipergunakan untuk membayar tenaga asing dan teknologinya. Keempat. Dana investasi yang diperoleh dari investasi modal asing untuk ditanamkan misalnya untuk pembangunan prasarana atau pembukaan tambang dan sektor produktif lainnya. Jika pertumbuhan ekonomi telah otonom, menurut Rostow akan terbuka kesempatan kerja, meningkatnya pendapatan nasional, peningkatan kesempatan konsumen dan terbentuknya pasar domestik yang tangguh. Ini adalah kondisi puncak tahapan yang oleh Rostow disebut ‘masyarakat dengan konsumsi massa tinggi!’ Memperhatikan saran Rostow tentang perolehan dana investasi produktif, melalui investasi langsung moda asing, sebagai faktor yang dijadikan alasan Amerika Serikat untuk ‘membantu’ Negara Dunia ketiga di dalam mencapai kondisi lepas landas, dengan cara meminjamkan dana investasi dan mengirim ratusan bahkan ribuan para ahli, dengan alas an untuk membangun prasarana dan sarana industri. Pinjaman ini tentu sarat dengan prasarat yang diketahui pada akhirnya Negara Dunia ketiga tetap berada dalam kondisi yang stagnan, dan malahan menjadi Negara yang penuh ketergantungan kepada Negara pemberi pinjaman modal tersebut 3.Telaah Coleman Terhadap Pembangunan Politik di Dunia ketiga Modernisasi politik menurut Coleman merujuk kepada diferensiasi struktur politik dan sekularisasi budaya politik yang mengarah kepada ethos keadilan yang bertujuan akhir ke arah penguatan kapasitas sistem politik. Pokok-pokok pikiran Coleman paling tidak terdiri dari 3 hal yang terdiri dari : a. Diferensiasi politik sebagai kecenderungan dominan sejarah perkembangan sistem politik modern. Jika berhasil, diferensiasi politik akan dengan tegas menghasilkan perbedaan antar fungsi masing-masing lembaga secara tegas, yang akan mengakibatkan semakin kompleksnya struktur politik, sementara pada saat 15 bersamaan diferensiasi politik akan melahirkan situasi yang saling terkait dan saling ketergantungan di antara lembaga tersebut secara sehat dan berkesinambungan. Contoh pembedaan dan pemisahan tersebut ialah : norma-norma hukum yang universal dengan agama, pemisahan antara fungsi administratif pemerintahan dan persaingan kepemimpinan politik untuk mencapai kedudukan dan pemerintahan. b. Prinsip kesamaan dan keadilan merupakan etos masyarakat modern. Misalnya, prinsip keadilan dalam distribusi (bidang ekonomi), kemantapan dan meratanya pelaksanaan norma-norma hukum universal di dalam kerangka hubungan politik antara pemerintah dan rakyat. Proses keadilan dalam kesempatan memperoleh promosi jabatan dalam administrasi dan politik yang berdasar pada prestasi. Kemudian, prinsip keadilan dalam penumbuhkembangan angka partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik atau keadilan dalam berpartisipasi. c. Modernisasi harus dilihat sebagai usaha progresif dalam penguatan kapasitas sistem politik. Contohnya, menguatnya kekuatan politik suatu komunitas,menunjukkan semakin kuatnya agregasi kepentingan politik dan sebagai tanda pelembagaan organisasi politik untuk menyalurkan tuntutan politik baru; Contoh lainnya, terdapatnya kemantapan pelaksanaan keputusan politik dan daya penetrasi pemerintah pusat yang kuat. Sebagaimana Smelser, Coleman mengingatkan akibat yang ditimbulkan oleh upaya diferensiasi ini. Diferensiasi politk memungkinkan terjadinnya ketegangan dan keter pecahbelahan sistem politik, sehingga perlu kesiapan yang matang dalam menghadapi masalah-masalah tersebut, manakala dunia ketiga akan melanjutkan proses modernisasinya. Berikut ini beberapa kemungkinan terjadinya dampak negatif dari proses modernisasi dalam sistem politik menurut Coleman : a.1. Krisis identitas nasional dalam masa perlaihan dari menuju masyarakat primordial masyarakat modern, a.2. Krisis legitimasi pemerintah pusat terhadap daerah-daerah. 16 a.3. Ketidakmampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan secara efisien keputusan politiknya ke seluruh pelosok. a.5. Krisis rendahnya, yang disebabkan tidak adanya lembaga penghubung dan penyalur suara rakyat terhadap pemerintah. a.6. Krisis integrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan dan a.7. Krisis ekonomi serta pemerataan hasilnya yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Menyimak berbagai tesis dari ketiga ahli yang berbeda latar belakang disiplin ilmu tersebut, dapat disimpulkan bahwa masing-masing disiplin memiliki kekhasan di dalam mengidentifikasi masalah-masalah pokok modernisasi dan dalam memberikan jalan ke luarnya. Sosiolog menitikberatkan pada diferensiasi struktural, ekonom memberikan tekanan pada pentingnya investasi produktif. Sedangkan ahli politik memperhatikan kebutuhan penguatan pada kapasitas sistem politik. Telah diungkapkan bahwa teori modernisasi dibentuk secara historis oleh dua teori yaitu teori Evolusi dan Struktur fungsional. Sehubungan dengan itu,dalam implikasinya terhadap pembangunan, kedua teori tersebut telah memberikan ciri-ciri teori modernisasi berikut : 1. Memiliki gerakan yang searah dan linear. 2. Menuju kepada proses homogenisasi. 3. Kecenderungan ke arah proses Eropanisasi atau Amerikanisasi (Barat). 4. Proses yang tidak beregerak mundur (regresif). 5. Bergerak maju (progresif). 6. Memerlukan waktu yang panjang (lama). Di samping itu, kedua teori tersebut memperlihatkan hal berikut di dalam pengkajian pembangunan, yakni : Cenderung mengkaji persoalan Dunia ketiga secara abstrak dan bertendensi untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan umum dalam pola (model) yang dibakukan. Sementara itu, faktor kesejarahan Negara setempat diabaikan. Sebagai sebuah kekuatan yang bukan hanya sebat as akademis, teori modernisasi dirumuskan dalam konteks sejarah perubahan 17 kekuatan kepemimpinan dan kekuatan dunia setelah Amerika serikat mengambil alih kekuatan pasca PD II. Oleh karena itu, dengan menggunakan unit analisis batasan sebuah Negara, teori modernisasi memberikan rumusan kebijakan pembangunan dengan implikasinya sebagai berikut : 1. Secara implisit membantu pembenaran hubungan kekuatan yang bertolak-belakang antara masyarakat tradisional dan modern. Amerika dan Negara-negara Eropa Barat mewakili Negara-negara modern (maju), sedangkan Negara-negara Dunia ke-3 sebagai Negara dalam kelompok tradisional (Negara terbelakang). Oleh karena itu, Negaranegara Dunia ketiga perlu menjadikan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat Sebagai panutan dan model di dalam melakukan proses pembangunan negaranya. 2. Komunisme dipandang teori modernisasi sebagai ancaman terhadap pembangunan Negara Dunia ketiga, dan disarankan selain harus meninggalkan nilai-nilai tradisional, juga harus melembagakan demokrasi politik. 3. Teori Modernisasi memberikan legitimasi terhadap perlunya bantuan asing, sebagai pemenuhan investasi produktif untuk membangun negaranya. Untuk pengenalan nilainilai modern, maka amerika Serikat dan Negara maju lainnya berbondong-bondong memberikan ‘bantuan’ tersebut berupa pinjaman dana dan tenaga ahli, bahkan mesinmesin produksi. Sebelumnya telah diungkapkan 3 pemikiran dari Smelser, Rostow dan Coleman tentang teori modernisasi ditinjau ari 3 disiplin ilmu (sosiologi, ekonomi dan politik). Kajian- kajian dari beragam ahli disiplin Ilmu sosial yang lainpun ikut memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan serta implikasi dari teori modernisasi. Kajian yang berupa penelitian tersebut dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan yang berkenaan dengan faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap modernisasi di Negara Dunia Ketiga serta dampak dari modernisasi tersebut. Penelitian yang dimaksudkan di antaranya dicontohkan thesisnya David McClelland yang menghubungkan antara kebutuhan berprestasi (need for achievement) dengan pembangunan ekonomi. Menurut McClelland, yang bertanggung jawab terhadap proses modernisasi Negara-negara berkembang adalah kaum wiraswastawan domestik, bukanlah para politikus atau para penasihat ahli dari Negara maju. Implikasinya, bahwa 18 para penentu kebijakan jangan membatas investasi hanya untuk pembangunan prasarana dan sarana ekonomi, tetapi juga harus melakukan investasi pada pengembangan sumber daya manusia. Sehubungan dengan motivasi berprestasi, Herman Soewardi mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki karsa yang lemah. Sementara itu, Robert N. Bellah melihat adanya peranan agama Tokugawa pada pembangunan ekonomi Jepang. Lipset mengkaji tentang kemungkinan pembangunan ekononomi terhadap proses demokratisasi di Negara Dunia Ketiga. Kemudian, Inkeles melihat akibat modernisaasi terhadap perilaku seseorang. Berikut ini adalah ciri-ciri manusia modern menurut Inkeles : 1. Terbuka terhadap pengalaman baru. 2. Memiliki sikap yang independen terhadap otoritas tradisional, seperti kepada orang tua,kepala suku (etnis) dan raja. 3. Percaya kepada ilmu pengetahuan dan keyakinan dapat menguasai alam. 4. Memiliki orientasi mobilitas, ambisi hidup yang tinggi, dan memiliki keinginan untuk memperoleh jenjang pekerjaan. 5. Memiliki rencana jangka panjang. 6. Aktif dalam arena politik, melibatkan diri dalam organisasi kekeluargaan dan urusan masyarakat lokal. a. Kritik Terhadap Teori Modernisasi Klasik Bagi kelompok yang bersebrangan dengan pendukung teori modernisasi, seperti pendukung Neo-Marxisme, melihat bahwa para pengusung teori modernisasi sebenarnya merupakan upaya Amerika dan negara Barat di dalam melakukan upaya ke arah Neokolonialisme yang dikemas secara ilmiah. Perhatian teori modernisasi pada hal-hal internal yang lebih melihat negara Dunia Ketiga dari sisi internal (nilai tradisional, kurangnya investasi produktif dll), sehingga mengabaikan unsur eksternal seperti ketidakseimbangan nilai tukar, perusahaan mulinasional, fenomena neokolonialisme. Pada saat ini, budaya Barat sangat mendominasi Negara Dunia Ketiga. 19 B. Teori Modernisasi Baru Akhir tahun 1970-an, perdebatan antara berbagai perspektif pokok pembangunan mulai mereda. Pada saat ini muncul pandangan dari pengusung teori modernisasi Baru yang merupakan revisi terhadap berbagai asumsi dasar teori modernisasi klasik. Hasil kajian baru teori modernisasi tersebut telah menemukan beberapa wilayah kajian yang baru pula. Perbedaan utama dari teori Modernisasi Klasik adalah terletak pada hal-hal berikut : 1. Pada teori Modernisasi Baru, aspek yang berkenaan dengan tradisi tidak dipandang sebagai penghambat pembangunan. Malahan dipandang sebagai faktor positif. Sehingga tidak mempertentangkan dengan tajam antara nilainilai tradisional dan modern. 2. Tidak lagi menjadikan Negara-negara Barat sebagai satu-satunya model dan arah pembangunan. Hal ini disebabkan secara metodologis lebih memperhatikan hal-hal yang nyata dibanding sebelumnya yang lebih abstrak dan tipologis. Faktor kesejarahan sangat dipertimbangkan di dalam menjelaskan pola perkembangan Negara tertentu. 3. Lebih memperhatikan faktor internasional yang dianggap mempengaruhi pembangunan di Dunia Ketiga, di samping lebih memperhatikan faktor konflik kelas, dominasi ideologi dan peranan agama. Perbedaan paradigma tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian yang antara lain dilakukan oleh Wong yang mengkaji tentang kekuatan yang luarbiasa dari nilai-nilai tradisional China terhadap kewiraswastaan, yang akan berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi. Wong menguji dengan cermat tentang pengaruh pranata keluarga terhadap berbagai organisasi badan usaha milik etnis China di Hongkong. Faktor yang diamati adalah tentang ideologi dan praktek manajamen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan pemilikan keluarga. Di dalam teori modernisasi klasik, nilai-nilai tradisional China diakui sangat dahsyat dan menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi, 20 menghalangi proses tumbuhnya berpikir rasional dan merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal. Dalam penelitian Wong, thesis tentang nilai-nilai tradisional yang kontra produktif terhadap upaya pembangunan ekonomi tersebut berhasil dijawab dengan sebuah bukti riil, justru metafora pranata keluarga telah cukup memberikan alasan untuk legalitas hubungan antara patron (tuan/pemilik) dengan Klien (pekerja). Secara ekonomis, hubungan paternalisme yang penuh dengan kebajikan itu telah membantu para usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo. Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja atau mengundurkan diri. Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya. Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar perusahaan. Karena , di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap, terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu yang rendah. Untuk segi investasi, wong menemukan bahwa pada tahun 1978, permodalan perusahaan kecil dimiliki oleh individual atau keluarga mereka dalam kisaran 60%. Model pemilikan keluarga ini sangat membantu keberhasilan usaha etnis Cina dI Hongkong. Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga, kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat. 21 Oleh karena itu, berdasar temuannya tersebut, Wong menyebutkan tiga karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Pertama, konsentrasi yang sangat tinggi dalam dalam proses pengambilan keputusan, kendati dalam saat yang sama terdapat rendahnya derajat usaha untuk memmformalkan struktur organisasi. Kedua, Otonomi dihargai sangat tinggi dan lebih menyukai bekerja secara mandiri dalam bentuk hubungan kerja yang paternalistik, pengawasan yang ketat dengan delegasi wewenang yang sekecil mungkin. Sejalan dengan pendapat Wong, Dove mengatakan bahwa unsur tradisional sangat terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik. Sehingga,bagi Dove nilai-nilai tradisional tidak identik dengan keterbelakangan dan sebagai penghambat kemajuan sosial ekonomi, malahan dalam konteks tertentu, budaya tradisional dipandang memberikan kontribusi terhadap proses pembangunan. Melalui kajian antropologis, Dove dan kawan-kawan mencoba melihat interaksi antara kebijakan pembangunan nasional Indonesia dengan berbagai budaya lokal yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sangat tidak beralasan jika terdapat upaya ke arah devaluasi, depresiasi bahkan pengeliminasian terhadap budaya lokal, yang ironisnya banyak dilakukan oleh para ilmuwan Sosial lokal. Di samping itu, terdapat fenomena di mana para peneliti sosial lokal kerap dihadapkan pada kondisi lapangan yang membuat mereka tidak dapat melakukan penelitian secara akurat. Hambatan dari iklim penelitian dari para birokrat telah melahirkan hasil-hasil penelitian ‘pesanan’ atau sebaliknya, sama sekali tidak dapat langsung mengamati objek penelitian. Menurut Dove dkk. ‘agama-agama’ kecil yang dipandang inferior dibanding agamaagama superior sebenarnya secara empiris telah memiliki ajaran yang cukup memadai tentang tradisi, adat, dan ilmu pengetahuan (Contoh kepercayaan tradisional di Wana Sulawesi Tengah dan Samin di Jawa Tengah). Bahkan, untuk penganut Samin, agama mereka dalam hal ilmu pengetahuan memiliki keunggulan dalam pengetahuan tentang pengobatan dan penyakit. Dalam hal mata pencaharian (ekonomi), sistem berladang yang berpindah-pindah seperti petani di Bima (Sumbawa) atau Punan di Kalimantan, menurut peneliti justru sangat mendukung terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Ketika para pendukung budaya local tersebut dihadapkan pada nilai-nilai modern, sesungguhnya 22 mereka tidak serta-merta meninggalkan budaya nenek moyangnya. Oleh karena itu, perubahan sosial yang terjadi karena faktor eksternal tidak secara keseluruhan mengubah faktor internal (budaya lokal) mereka. Sementara itu, Davis berpendapat bahwa agama rakyat dan agama lainnya akan dapat tetap hidup berdampingan (damai dan konflik) dengan pranata ekonomi dan sosial modern, dan atau mungkin juga terus bekerja sama dengan pranata masyarakat modern, baik untuk kepentingan masing-masing atau untuk kepentingan keduanya. Pada tahun 1960-an, Lipset mengungkapkan bahwa terdapat keterkaitan positif antara pembangunan ekonomi dan demokrasi. Diasumsikan, bahwa semakin maju sebuah negara secara ekonomis, semakin besar peluang yang dimilikinya untuk menegakkan tatanan politik yang demokratis. Namun, tahun 1970-an, banyak pemerintahan yang demokratis tumbang membuat para penganut teori modernisasi merasa pesimis terhadap masa depan demokrasi politik di Dunia Ketiga. Tetapi, pada tahun 1980-an, ketika pembangunan demokrasi di Dunia Ketiga, bangkit lagi, terdapat kecenderungan untuk mengkaji masa transisi bangkitnya pembangunan demokrasi. Akhirnya, dapat disimpulkan Modernisasi Baru dalam koreksinya terhadap Teori Modernisasi Klasik adalah bahwa pentingnya kembali kepada peran-peran nilai tradisional dan kembali kepada analisis sejarah. Melalui analisis sejarah, akan lebih memberikan perhatian kepada keunikan dari setiap kasus untuk menjelaskan dan mendukung keabsahan teori. Kemudian, menghindari penyajian analisa dan pernyataan yang simplisistik, dan hanya mengandalkan analisa pada satu variable. Tetapi harus mengamati keseluruhan fenomena secara simultan, dari berbagai pranata sosial (sosial, budaya, agama dan politik), berbagai arah pembangunan, serta interaksi internal dan eksternal. C.Teori Dependensi Klasik Teori dependensi muncul untuk pertama kali di Amerika Latin. Teori ini berbeda dengan teori modernisasi yang melihat permasalahan pembangunan dari sudut kepentingan Amerika Serikat. Teori ini menyatakan bahwa keterbelakangan Dunia Ketiga sebagai fokus perhatian. Sehingga, teori ini lebih dipandang sebagai teori yang lebih berpihak kepada suara Negara Dunia Ketiga. 23 Teori ini dilatarbelakangi oleh kegagalan program KEPPBAL (Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Amerika Latin/United Nation Economic Commission for Latin America/ECCLA), dalam menerapkan proses industrialisasi melalui program Industrialisasi Substitusi Import (ISI). Melalui program ini diharapkan dapat memberikan keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, sekaligus pemerataan pembangunan hasil pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, yang diharapkan dapat memberikan daya dorong terhadap pembangunan politik yang demokratis. Peristiwa kritisnya teori Marxis Ortodox di Amerika Latin, yang tidak lagi meyakini bahwa tahapan revolusi ‘borjuis’ diawali oleh revolusi sosialis ‘proletar’. Peristiwa di Cina dan Kuba (1949 dan 1950-an) membuktikan bahwa revolusi bisa terjadi tanpa harus melalui tahapan-tahapan tersebut. Oleh karena itu, negara-negara di Amerika Latin dapat langsung menuju ke Revolusi sosialis.Teori ini dengan cepat menyebar ke belahan Amerika Utara pada akhir tahun 1960-an yang dipopulerkan oleh Andre Gunder Frank melalui tulisannya di Monthly Review. Menurut perspektif dependensi, pemerintah kolonial didirikan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas negara jajahan, sehingga kelancaran pengambilan bahan mentah ke negara mereka terjamin lancar, begitu juga dalam hal pengiriman barang-barang yang diproduksi negara kolonial ke negara pinggiran (Negara Dunia Ketiga) tidak terdapat hambatan.Sebagai negara metropolis, dunia Barat (Eropa dan Amerika), memposisikan negara Dunia Ketiga sebagai negara pinggiran (satelit) yang memiliki ketergantungan kepada mereka. Oleh karena itu, tidak pernah mereka memiliki tujuan untuk membangun negara pinggiran. Di dalam prakteknya, pemerintah kolonial kerap kali melakukan kekerasan untuk menciptakan situasi kondusif negara jajahan, bahkan sejarah mencatat bagaimana Spanyol memusnahkan penduduk Aztecs di Amerika Latin, eksploitasi kasar para pemodal Inggris di India dan deindustrialisasi negara ini, dengan mengangkut bahan mentah (katun), membanjiri India dengan barang-barang produksi Inggris, aturan tarif impor, menghancurkan sektor agraria dll. 24 Menurut Paul Baran, kebijaksanaan ekonomi pemerintah kolonial Inggris di India membuat segala pranata ekonomi India runtuh yang mengakibatkan hancurnya seluruh pranata sosial negara tersebut.Di dalam teori depensi Klasik, Kolonialisme dinyatakan sebagai variable utama di dalam membentuk keterbelakangan negara-negara jajahan. Atas dasar pokok perhatian pada keterbelakangan dan ketergantungan Negara Dunia Ketiga inilah yang membedakan teori Dependensi Klasik dengan teori modernisasi yang pada hakekatnya merupakan bentuk dari neokolonialisme di Negara Dunia Ketiga, termasuk di Asia Timur. a. Tumbuhnya Imperialisme di Asia Timur Lansberg menganalisis bahwa pembangunan di Negara Dunia Ketiga tidak berhasil oleh upaya yang oleh Dunia Barat diklaim sebagai pendamping atau penolong. Karena banyaknya faktor yang berkenaan dengan hal-hal berikut : 1. Lemahnya dasar-dasar pengembangan industri, dan adanya paksaan terhadap Negara Dunia Ketiga untuk mebelanjakan devisa yang besar untuk mengimpor barang konsumsi. 2. Devisa yang dibelanjakan tersebut diambil dari penjualan ekspor produk primer seperti gula, teh, kopi, karet ,rotan, coklat dll yang sangat rentan terhadap flutuasi harga pasar dengan kendali harga dari negara-negara maju. 3. Defisit dari devisa membuat negara dunia Ketiga dalam mengumpulkan devisa membuat negara pinggiran tersebut terjebak hutang luar negeri yang membuat mudahnya dominasi asing di dalam negaranya. Oleh karena itu, kebijakan orientasi ekspor (IOE) di Korea, Taiwan, Singapura, dan Hongkong diidentifikasi Lansberg menjadikan negara-negara di kawasan Asia Timur ini berada dalam posisi negara yang industri yang tergantung, untuk menyebut kata lain dari industri yang tidak mandiri. Menurut Lansberg, kendati IOE ‘membantu’ tumbuhnya industri dan ketersediaan lapangan kerja di negara-negara Dunia Ketiga, tetapi strategi IOE tidak menumbuhkan terjadinya akumulasi modal pembangunan ekonomi yang mandiri dan tangguh. Kondisi ini mendorong agar kebijakan ISI (Industri Substitusi Import) Negara Dunia Ketiga dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap ekspor primer.Melalui ISI juga diharapkan agar 25 negara-negara berkembang tidak mengimport lagi barang-barang konsumsi, karena kebijakan ISI akan menjamin ketersediaan barang-barang jenis ini di samping akan mempercepat pertumbuhan industri dalam negeri. Namun demikian, pada awal 1960-an, kebijakan ISi dipandang mengalami kegagalan yang menurut Lansberg disebabkan karena : 1. Kondisi penduduk Negara Dunia Ketiga masih miskin, membuat sempitnya pasar domestik. Berkembang produk dalam negeri hanya diserap sebagian kecil penduduk kota yang lebih menyerap produk barang mewah dan barang konsumsi tahan lama. 2. Borjuis domestik tidak cukup memiliki modal dan teknologi untuk memulai proses industrialisasi yang direncanakan.Akibatnya, bergantung pada pemodal asing, yang menimbulkan dominasi asing. 3. Pengurangan atau penghentian terhadap barang konsumsi import disertai dengan besarnya modal asing dan teknologi yang harus dibayar dengan devisa. Oleh karena itu, terdapat ketidakseimbangan dalam neraca perdagangan yang lebih memperlihatkan surplus untuk negara maju. b. Analisis Ketergantungan dalam Pembangunan Sosial ekonomi Indonesia Analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan dilakukan oleh Sritua Arief dan Adi Sasono pada thun 1980-an. Kajian dimulai dengan analisis sejarah yang mengamati warisan Kolonial Belanda, yakni bangunan struktural sejak dilakukannya tanam paksa. Tumbuh suburnya kemiskinan dan keterbelakangan di Indonesia diwariskan dari sistem ini. Pendapatan eksport Belanda yang besar diperoleh melalui tanam paksa. Pada saat ini terjadi pengalihan surplus ekonomi Indonesia ke Belanda dalam jumlah sangat besar. Di samping itu, tanam paksa telah membantu memperbanyak ‘kaum proletariat desa’, sementara petani yang berkecukupan semakin sedikit. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa telah terjadi kerjasama antara pemerintah kolonial Belanda dengan kaum feodal lokal. Kaum feodal (aritrokrat) memperoleh keuntungan walaupun masih sangat jauh lebih kecil dengan yang diterima kaum kolonial. Sayangnya, kajian kesejarahan ini meloncat langsung pada fase kemerdekaan, yakni sekitar 1966 sd 1970-an. Sehingga pada jaman kolonial Jepang bahkan pada 26 jaman Orde Lama (Pemerintahan Soekarno), tidak terdapat analilis pembangunan sosial-ekonomi. Analisis kedua peneliti terhadap pembangunan Orde Baru pada periode tahun 1970 sd 1976-an adalah sebagai berikut : 1. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Rakyat miskin terutama di pedesaan tidak menikmati pertumbuhan ekonomi, Industri kecil di pedesaan hancur, peluang pekerjaan di sektor pertanian yang berkurang tidak diimbangi oleh kesempatan bekerja di perkotaan. 2. Tingkat pengangguran yang tinggi dengan percepatan yang tinggi juga. Teknologi padat modal tidak seimbang dalam menyerap tenaga kerja, sementara sektor pertanian semakin sempit dalam menampung tenaga kerja produktif.Tenaga kerja yang tidak memiliki pilihan akhirnya lebih memilih bekerja pada sektor jasa. 3. Industrialisasi di Indonesia tergolong kepada industrialisasi ekstraversi. ISI memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap modal dan teknologi asing. Sehingga nyatalah ketergantungan negara kita kepada negara asing. 4. Kondisi pada point c. menyebabkan bangsa kita memiliki ketergantungan keuangan dari luar negeri. Pinjaman ataupun investasi dari luar digunakan untuk membiayai resources gap atau foreign exchange gap, yaitu membiayai surplus import dalam perkiraan neraca pembayaran yang sedang berjalan. 5. Sekalipun Indonesia pada tahun 1985 an menacapai swasembada pangan, tetapi analisis pembangunan sosial-ekonomi dengan menggunakan teori ketergantungan telah memperlihatkan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan di Indonesia telah mewujud sebagai negara bekas jajahan dan sebuah negara dengan banyak unsur yang tidak egalitarian. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa ketergantungan pembangunan berasal dari luar, sehingga sulit dijangkau dan dikendalikan oleh negara yang bergantung serta mengakibatkan keterbelakangan pembangunan ekonomi. Secara tegas dan rinci, teori dependensi menguraikan akibat buruk dari kolonialisme dan pembagian kerja internasional. Ketidakseimbangan hubungan internasional akan mengakibatkan ketergantungan dan keterbelakangan Dunia Ketiga tidak terselesaikan. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini, teori dependensi mengajukan usul yang radikal : melakukan revolusi sosialis! 27 Teori dependensi kemunculannya didorong juga sebagai upaya mengkritisi para pendukung teori modernisasi dan pengusung kebijakan modernisasi, yang dianggap sebagai pembenaran ilmiah terhadap ideologi Barat dalam mengeksploitasi negara Dunia Ketiga. Para pendukung teori modernisasi menjawabnya dengan keras, bahwa pendukung teori dependensi sebenarnya bukan merupakan karya ilmiah, tetapi propaganda politik mendukung ideologi yang Ketidakmampuan teori dependensi dalam bertarung revolusioner Marxisme. pada ranah ilmiah membuat mereka lari ke hal-hal yang bersifat retorika. Kritik lainnya terhadap teori dependensi dari pendukung teori modernisasi adalah bahwa teori dependensi bersifat abstrak, analisis ketergantungan yang seragam, tidak ada pendekatan sejarah yang membedakan keunikan tiap negara, sehingga tidak dapat menunjukan faktor-faktor yang khas dari arah pembangunan dari negara yang berbeda. Situasi ketergantungan dilihat sebagai fenomena global (faktor eksternal), sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat nasional (faktor internal).Kemudian, tidak semua negara-negara yang bergantung menjadi terbelakang. Contohnya Korea Selatan yang bergantung kepada Jepang, mencapai pembangunan ekonominya pada pasca PD II, begitu juga yang terjadi di Kanada. D. Teori Dependensi Baru Dalam menjawab kritik terhadap teori dependensi, para pendukung teori tersebut mengemukakan beberapa tesis sebagai hasil telaah, yang kemudian dikenal dengan teori Dependensi Baru. Jawaban tersebut disajikan berturut-turut mulai dari tanggapan dari Cardoso, Penellitian Gold, Studi Koo, dan penelitian Mohtar Mas’oed. 1. Tanggapan Cardoso a. Cardoso menyebutnya sebagai metode historis structural, karena menggunakan analisis sejarah dalam ilmu-ilmu sosial. Istilah ketergantungan digunakan Cardoso sebagai alat analisis untuk menjelaskan situasi konkrit di Dunia Ketiga. Berbeda dengan dependensi klasik yang menganggap keterbelakangan sebagai analisis yang selalu digunakan untuk menjelaskan semua keterbelakangan di Dunia Ketiga. b. Cardoso member perhatian yang cukup terhadap faktor internal (nasional) di samping faktor eksternal (global). Dalam Dependensi klasik hanya fokus pada faktor 28 eksternal (bahwa semua keterbelakangan dan ketergantungan berasal dari luar/kolonoalis).Tesisnya, bahwa kekuatan eksternal akan mewujud menjadi kekuatan internal melalui perilaku sosial dan kelas sosial yang dominan yang akan memaksakan ketercapaian tujuan dan dominasi asing. c. Cardoso melihat situasi ketergantungan sebagai proses yang memiliki berbagai kemungkinan akhir yang terbuka. Sementara, teori dependensi klasik menekankan kepastian ketergantungan struktural. Oleh karena itu, Cardoso masih melihat dengan jelas bahwa Negara Dunia Ketiga masih memiliki peluang untuk apa yang dia sebut sebagai situasi pembangunan yang bergantung (associated-dependen depelovment). Oleh karena itu, sekaligus untuk menjawab situasi yang terjadi di Korea Selatan dan Kanada, bahkan di negara-negara Asia lainnya yang kemudian mencapai pembangunan ekonominya dengan melepaskan diri dari ketergantungan yang dominan dari negara metropolis, seperti Cina, Hongkong, Malaysia,Taiwan dan yang paling mutakhir adalah Vietnam! Tentang penggunaan modal asing, bagi negara-negara yang bergantung, menurut Cardoso bahwa dalam batas-batas tertentu, bersesuaian dengan kemakmuran negaranegara pinggiran. Dalam arti, perusahaan multinasional (investor asing) diasumsikan membantu proses pembangunan negara-negara pinggiran.Hal ini dilihat dari aspek bahwa perusahaan multi nasional lebih berorientasi kepada usaha produksi dan penjualan barang-barang produksi untuk kepentingan domestik. Kendati demikian, Cardoso tidak setuju terhadap tesis teori modernisasi, bahwa kondisi ini akan membawa Negara Dunia Ketiga pada proses kemandirian, karena ongkos sosialnya dan biaya pembangunan terlalu tinggi. Di samping itu, Cardoso mencoba mengaitkan antara dinamika politik di negara bergantung melalui penelitiannya di Brazilia. Menurutnya, terdapat 3 macam kekuatan politik : negara birokratis- teknokratis militer , perubahan multi nasional dan borjuis lokal. 2. Penelitian Gold Gold meneliti Taiwan menggunakan konsep dependensi dengan menguji dan menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik di Taiwan. Peneliti ini tidak mengabaikan kondisi Taiwan yg pada awalnaya adalah negara pinggiran, yang kemudian dinyatakan sebagai sebuah ‘keajaiban’ dalam pembangunan politik dan ekonomi di negara tersebut. Meskipun pola pendekatannya mengadopsi pemikiran 29 Cardoso dalam metodologi pengkajian pembangunan di Amerika latin, tetapi peneliti ini Menyatakan bahwa metodologi tersebut tidak harus terikat oleh wilayah geografis. Gold pada awalnya melihat bahwa arah pembangunan Taiwan terdapat kemiripan dengan Amerika latin seperti hasil penelitan Cardoso.Gold mengungkapkan tesis tentang kondisi Taiwan sebagai sebuah negara yang bercirikan ketergantungan yang dinamis. Hali ini mengingat bagaimana negara tersebut menilai kebutuhan dan kemampuan masyarakatnya dan menghubungkannya dengan sistem ekonomi dunia dengan cara tertentu yang telah mereka persiapkan, dan berhasil dengan baik mencapai tujuan pembangunan ekonominya. Strategi yang dilakukan Taiwan ialah dengan melakukan pendalaman industrialisasi ( deepening industrialization), yakni kebijaksanaan yang secara horizontal berusaha untuk melakukan semua perbaikan semua aspek program industrialisasi untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi, sementara itu, secara vertikal dilakukan integrasi industri. Sejak 1978 sampai dengan 1981, negara menyusun Rencana Pembangunan Enam Tahun.Penekanan berada pada pembangunan industri besar dan padat modal, seperti industri petro kimia dan baja dan melakukan modernisasi pada pembangunan Proyek 10 Besar.Pada tahun 1980-an, mereka mulai mementingkan pembangunan industri strategis yang bersifat teknologi maju seperti industri komputer, telekomunikasi dan robot. Kemudian mereka berkeinginan untuk membentuk zona ekonomi yang padat teknologi maju dan industri informasi. 3. Studi Koo Koo mencoba melihat pembangunan Korea Selatan dalam konteks terus menerus antara negara, kelas sosial, dan sistem dunia. Pembahasannya ditujukan pada pengaruh kumulatif dari ketiga faktor tersebut secara bersamaan. a. Korea terintegrasi dalam tatanan ekonomi kapitalis dunia sejak invansi Jepang pada akhir abad ke-19.Tahun 1910-1945 Korea menjadi jajahan Jepang. Sejak itu struktur ekonominya tidak terlepaskan dari pembagian kerja regional yang mengacu kepada kepentingan ekonomi Jepang. Integrasi Korea Selatan dalam sistem ekonomi dunia dimulai dari integrasi politik, baru setelah itu secara perlahan-lahan terlibat sepenuhnya dalam jaringan sistem ekonomi kapitalis dunia. Pada tahun 1950-an, Korea mencapai integrasi dalam ekonomi. Keberhasilan Korea Selatan ini sulit 30 dimiliki oleh negara Dunia Ketiga lainnya. Menurut Koo, perubahan ekonomi Korea terjadi karena melalui interaksi variable internal, yakni melalui struktur kelas sosial dan negara.Hal ini disebabkan faktor berikut : Kolonialisme Jepang memiliki pengaruh yang kuat terhadap struktur kelas di Korea Selatan. Pengambilan surplus ekonomi Korea Selatan, Jepang menekankan pada peranan birokrat negara dibanding dengan para pemilik modal. Dengan demikian, pada masa kolonial ini, peran negara sangat kuat, sementara peran tuan tanah melemah. Peran petani di desa semakin kuat setelah pembagian 70 % tanah yang tersedia dibagikan terhadap para petani pedesaan sekitar tahun 1948 sampai dengan 1959.Faktor inilah yang menjadikan pembangunan negara tersebut terjadi dengan dinamis. 4. Penelitian Mas’oed Dengan menggunakan konsep NBO yang dikembangkan oleh O’Donell dan menggabungkannya dengan konsep korporetisme, Mas’oed mencoba menjawab pertanyaan pokok sebagai berikut : pertama, Mengapa sistem politik otoriter lahir kembali pada periode 1966-1971? Kedua, Apa karakteristik sistem politik yang otoriter? a. Lahirnya kembali politik otoriter di Indonesia pada periode ini menurut Mas’oed disebabkan terjadinya krisis politik dan ekonomi pada pertengahan tahun 1960-an. Struktur politik sebelumnya cenderung memberikan kekuasaan yang berlebihan pada kekuasaan. Pada masa ini Orde Baru ingin dengan cepat memperoleh legitimasi politiknya atas pengaruh penguasa (Soekarno) sebelumnya, sementara itu, kondisi ekonomi negara hampir runtuh. b. Koalisi intern Orde Baru memaksa untuk segera melaksanakan restrukturisasi ekonomi secara radikal. Orde Baru lebih memilih untuk memberikan peluang yang besar terhadap modal domestik dan internasional untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi yang ternyata harus dibayar dengan mahal. c. Orientasi ekonomi ke luar (eksternal) yang dirumuskan Orde Baru pada akhir 1960-an sampai dengan 1970-an, telah mendesak pemerintah untuk melaksanakan NBO (Negara Birokratik Militer), menjadikan bangunan politik 31 demokratis yang didengungkan sejak awal hanya harapan yang tidak realistik kalau tidak ingin disebut sebagai khalayan. Berbeda dengan O’ donnell, pendalaman industrialisasi di Indonesia, kebijaksanaan vertikal di Indonesia belum terjadi. Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia, faktor krisis politik lebih bertanggung jawab terhadap lahirnya pemerintah yang otoriter dari Orde Baru dibanding variable ekonomi. Hal ini berdasarkan pengamatan bahwa : pemerintah Orde Baru hampir berada di bawah kendali militer secara organisatoris yang bekerjasama dengan teknokrat sipil. Kemudian, modal swasta yangb besar (para konglomerat) memiliki hubungan khusus dengan negara dan modal internasional yang berperan ekonomis sangat besar. Di samping itu, hampir seluruh kebijakan pembangunan yang dilahirkan, sejak proses perencanaan sampai dengan evaluasi hampir sepenuhnya berada di tangan para birokrat dan para teknokrat. Demobilisasi massa dilakukan pemerintah Orde baru secara terencana dalam kebijaksanaan masa mengambang, dan melakukan politik represif pada mereka yang dianggap menentang pemerintah. Satu hal yang menjadi ciri khas di Indonesia adalah besarnya otonomi kantor kepresidenan, sehingga wewenang yang begitu luas berada di Sekretariat Negara. Kondisi-kondisi ini menyebabkan Mas’oed menyebutnya sebagai ‘super birokrasi’. Secara keseluruhan, teori dependensi baru ini terlihat lebih dapat mengakomodasi permasalahan pembangunan di Negara Dunia Ketiga dibanding teori Dependensi Klasik. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan lahirnya beberapa kategori ilmiah yang baru yang tidak ada dalam teori sebelumnya, yakni tentang pembangunan yang bergantung, negara Birokratik Otoriter, Aliansi Tiga Kelompok, dan Pembangunan yang Dinamis. E. Teori sistem Dunia (Teori sistem Kapitalis Dunia) Kelahiran teori sistem dunia dilatarbelakangi oleh situasi pertentangan di antara pendukung teori modernisasi dan dependensi, yang lahir sebagai wawasan alternatif pada tahun 1970-an. Tokohnya yang bernama Immanuel Wallerstein muncul dengan gagasan baru yang radikal, dengan menunjuk bahwa banyak peristiwa sejarah yang di dalam Tatanan Ekonomi Kapitalis Dunia (TEKD) tidak dapat dijelaskan oleh kedua perspektif 32 pembangunan yang telah mapan tersebut secara memuaskan, khususnya oleh teori dependensi yang klasik maupun yang baru. Hal ini mengingat hal-hal berikut : a. Negara-negara di Asia Timur (Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, dan singapura) terus mencapi pertumbuhan ekonomi tinggi. Sulit untuk mengaitkan bahwa ini sebagai hasil kerja para imperialis, pembangunan yang bergantung, atau ketergantungan yang dinamis, karena industri di kawasan ini secara nyata menjadi sebuah tantangan bagi Amerika serikat. b. Krisis di berbagai negara sosialis, yakni perpecahan Republik Rakyat China dan Uni soviet. Kegagalan Revolusi Kebudayaan, stagnasi ekonomi di negara-negara sosialis, perkembangan yang evolutif dan mulainya negara sosialis menerima investasi modal asing yang kavitalistik. Fenomena tersebut menandai kegagalan Marxisme revolusioner dan revolusi Marxisme. c. Munculnya krisis di Amerika Serikat, Perang Vietnam, Krisis Watergate, embargo minyak tahun 1975, inflasi ekonomi Amerika pada akhir 1070-an, kebijaksanaan perdagangan dan investasi produktif, defisit anggaran belanja pemerintah, defisit neraca pembayaran yang makin meluas pada tahun 1980-an menandai hancurnya hegemony politik ekonomi Amerika. Dari tiga teori pembangunan, hanya teori sistem dunia yang secara jelas menggunakan dunia sebagai alat analisa. Dengan demikian, pendekatan ini akan dapat menguji dinamika global yang sebelumnya tidak diperhatikan oleh teori dependensi dan modernisasi. Dengan berdasar pada asumsi bahwa semua proses perekonomian terjadi dalam kerangka sistem ekonomi- kapitalis dunia, Wallerstein berpendapat bahwa pembangunan atau keterbelakangan dari suatu wilayah geografis tertentu tidak dapat dianalisis tanpa meletakan wilayah geografis tersebut dalama konteks irama siklus dan kecenderungan perputaran ekonomi dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain perspektif system dunia lebih memperhatikan dinamika global dunia di luar batas wilayah kenegaraan. Dalam upayanya untuk menguji ulang dinamika global dunia, perspektif ini memakai perangkat metode penelitian khas untuk mengamati siklus jangka panjang. Dalam pelaksanaannya serta untuk mendapatkan hasil yang cermat dari dinamika jangka panjang system ekonomi-kapitalis dunia, perspektif ini menuntut disediakannya satu perangkat data baru. 33 Dalam setiap hasil penelitian teori sistem dunia telah dan akan selalu menggunakan pendekatan analisa sejarah jangka panjang. Teori ini tidak mengamati gejala sosial untuk untuk jangka waktu satu atau dua dekade, tetapi lebih memberikan keseluruhan perhatiannya dalam menganalisa kecenderungan putaran dan siklus jangka panjang bola dunia yang biasanya berlangsung lebih dari satu abad. Sebagai contoh, hasil karya Bergesen dan Schoenberg telah menguji gelombang panjang kolonialisme yang mencakup daftar dan jumlah negara yang dijajah, baik mulai maupun berakhirnya sebagai daerah jajahan yang berkisar antara tahun 1415 sampai dengan 1969. Teori sistem dunia telah memberikan sumbangan yang bermakna dalam merumuskan agenda penelitian yang baru yakni untuk menguji gerak putar dunia. Kemudian, teori ini juga menegaskan untuk selalu mengamati jangka panjang dari setiap gejala sosial skala global. Dalam penelitiannya, wallerstein menguji bagaimana pasang surut ekonomi kapitalis dunia pada abad ke 17 M bertanggung jawab terhadap tumbuh kembangnya tiga wilayah politik ekonomi dunia, yang terdiri dari sentral, semi pinggiran dan pinggiran, sejalan dengan Bergesen dan Schoenberg yang mengamati bagaimana karakteristik sistem ekonomi dunia yang tercermin dalam penyebaran dan pemusatan kekuasaan di wilayah sentralnya mempengaruhi timbulnya akibat sistemik dari kolonisasi dan dekolonisasi di wilayah negara pinggiran. Pada tahun 1970-an para pengkritik teori sistem dunia mengatakan bahwa perspektif sistem dunia telah menyajikan seolah-olah sistem dunia itu sesuatu yang riil dan materiil, sementara di sisi lain, perspektif sistem dunia telah meninggalkan spesifikasi sejarah perkembangan tingkat nasional. Di samping itu, perspektif ini dipandang terlalu menonjolkan analisa stratifikasi dengan meninggalkan analisa kelas. V. Hubungan Konsep Membangun dengan Kebudayaan A. Konstelasi Antara Kebudayaan, Pembangunan dalam Masyarakat Sederhana, transisional dan Masyarakat Modern Masyarakat atau Society diartikan sebagai orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan (Selo Sumarjan,1974). Sedangkan Koentjaraningrat (1994), masyarakat merujuk pada kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut satu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas yang 34 sama, Sementara itu, Ralph Linton mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama dalam waktu yang relatif lama dan mampu membuat keteraturan dalam kehidupan bersama dan menganggap mereka sebagai satu kesatuan. Melalui definisi tersebut di atas, diketahui bahwa masyarakat bercirikan aspekaspek : Terdiri dari dua orang atau lebih yang hidup bersama, bergaul dalam waktu yang relatif lama, kesadaran setiap anggota sebagai satu kesatuan, dan membangun sebuah kebudayaan yang membuat keteraturan dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, antara masyarakat dan kebudayaan memiliki keterikaitan sangat erat, seperti dua sisi mata uang yang saling bersisian, karena kebudayaan merupakan produk dari aktifitas cipta, rasa, dan karya manusia. Sedangkan isi kebudayaan meliputi beberapa sistem nilai, yakni peralatan (teknologi), ekonomi, organisasi, ilmu pengetahuan, kesenian, kepercayaan, dan sistem bahasa. Nilai-nilai budaya yang perlu dimiliki oleh seluruh bangsa dan seluruh lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa yang akan datang. Nilai budaya ini akan menjadikan pendorong di dalam merencanakan dan menata masa depan misalnya melakukan akumulasi modal. Kemudian, nilai budaya yang berhasrat untuk mengeksplorasi llingkungan dan kekuatan alam. Nilai budaya ini akan mendorong manusia untuk melakukan inovasi, di antaranya inovasi dalam bidang teknologi. Misalnya, pada saat ini teknologi informasi telah membawa seluruh bangsa di dunia ini seperti tanpa sekat, yang dikenal dengan era global! Kondisi ini menimbulkan suasana kompetitif dalam berbagai segmen. Oleh karena itu, inovasi dalam berbagai aspek mutlak dilakukan jika ingin tetap eksis dalam tataran globalisasi. Berdasar struktur sosial dan kebudayaan, masyarakat bisa diidentifikasi ke dalam tahapan tradisional, transisi dan modern. Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang tertutup dan padu monopolitik. Padu monopolitik dimaksudkan sebagai masyarakat yang di dalamnya terdapat seperangkat pemikiran dan nilai-nilai dari suatu bidang kehidupan yang meresapi, mengatur, menguasai dan menyatukan semua bidang-bidang kebudayaan yang ada. Kemudian, pandangan dan nilai-nilai dari bidang aliran kepercayaan animistis menguasai seluruh kegiatan dan pengalaman serta pengetahuan mereka. 35 Ke dalam kelompok masyarakat tradisional yang juga disebut masyarakat berkebudayaan pra-industri dimasukan kelompok masyarakat primitif (sederhana), yang memiliki ciri-ciri dalam pemenuhan kehidupan hanya untuk memenuhi kebutuhan seharihari, sehingga rendah dalam aspek produksi. Kalaupun memproduksi barang hanya terbatas untuk melengkapi kebutuhan sendiri, dengan berbahan baku yang tersedia dari alam. Kehidupannya mengandalkan dari upaya berburu, mengumpulkan makanan atau menangkap ikan. Mereka berjumlah terbatas, jarang berhubungan dengan masyarakat lain dan terisolasi. Kemudian, Mereka belum memiliki spesialisasi pekerjaan, sehingga tidak banyak terjadi difrensiasi sosial yang tegas dan relatif homogen. Solidaritas mekanik, seperti gotong royong menjadi ciri yang sangat menonjol dalam kelompok ini. Masyarakat desa di daerah peradaban lama sudah berorientasi pada pertanian, mereka lebih maju dibanding masyarakat sederhana. Kelompok ini merupakan peralihan (transisi) ke dalam bentuk masyarakat agraris, sehingga telah terdapat diferensiasi sosial walau masih dalam kerangka mata pencaharian agraris.Selanjutnya, terdapat masyarakat desa yang walaupun masih memiliki ciri kehidupan gemeinschaft (paguyuban), dengan ikatan tradisi sebagai norma dan kebiasaan, tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, dan pengaruh dari daya tarik kota membuat mereka berada paada masyarakat transisi dengan memilih melakukan urbanisasi. Kelompok masyarakat perkotaan mewakili kelompok masyarakat yang dikatakan berkebudayaan modern (kekinian). Kelompok ini berorientasi pada sektor industri dan jasa, sehingga dimasukan sebagai masyarakat industri. Sudah terjadi diferensiasi sosial yang beragam. Pilihan-pilihan bidang pekerjaan yang beragam, seperti buruh atau karyawan, pekerja kantoran, bidang hukum, pendidikan, perbankan, wirausaha dll. Hal ini akan melahirkan stratifikasi sosial yang kompleks.Tentang variable pembeda antara masyarakat tradisional dan modern bandingkan dengan pendapat Talcott Parson dan Smelser yang telah diuraikan sebelumnya! Selo Sumarjan (Soekanto, 1984), membagi masyarakat ke dalam tahapan berikut : 1. Masyarakat Sederhana (Bersahaja). 36 Kelompok masyarakat ini masih sederhana dan serba tradisional, dengan perkembangan yang lambat dibanding kelompok masyarakat yang lain. Ciri lebih detailnya adalah sbb : 1.1. Hubungan yang erat dalam keluarga maupun masyarakat. 1.2. Organisasi sosial didasarkan pada adat istiadat yang berbentuk tradisi secara turun temurun. 1.3. Percaya adanya kekuatan ghaib yang mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi mereka sendiri tidak sanggup menghadapi kekuatan tersebut. 1.4. Tidak terdapat lembaga khusus yang mengatur bidang-bidang pendidikan, dalam masyarakat tetapi ketrampilan yang mereka miliki diperoleh melalui pendidikan di dalam keluarga (informal) dan masyarakat melalui praktek langsung (sedikit atau tanpa teori). Pengetahuan yang dipeorleh bukan melalui pengalaman empirik atau hasil eksperimen melainkan melalui pengalaman yang kebenaran secara umum diperoleh secara kebetulan. 1.5. Tingkat buta huruf yang tinggi, karena tidak ada pendidikan sekolah yang masuk kepada kehidupan mereka. 1.6. Hukum yang berlaku pada masyarakat dapat difahami dan dimengerti oleh anggotanya yang sudah dewasa. 1.7. Kegiatan perekonomian masyarakat sebagian besar di bidang produksi yang dikonsumsi untuk memilih kebutuhan sendiri atau sedikit yang dipasarkan. Harga barang-barang kebutuhan yang dihasilkan masyarakat memiliki nilai terbatas. 1.8. Kegiatan perekonomian dan sosial memerlukan kerjasama yang dilakukan oleh orang banyak dan secara tradisional dengan sistem gotong royong, hubungan kerjasama dengan sistem ini tanpa adanya hubungan buruh dengan majikan. 2. Masyarakat Madya Masyarakat yang berada pada tahap transisi, telah mengalami perkembangan dibandingkan dengan masyarakat sederhana, dengan ciri-ciri sebagai berikut : 2.1. Hubungan keluarga tetap kuat, tetapi hubungan antar anggota masyarakat sudah mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untung rugi atas dasar 37 kepentingan ekonomi. 2.2. Adat istiadat yang berlaku pada masyarakat masih dihormati, mulai terbuka terhadap pengaruh luar. 2.3. Timbulnya pemikiran rasional, menyebabkan kepercayaan terhadap kekuatan ghaib sudah mulai berkurang, tetapi kepercayaan akan muncul kembali apabila apabila lingkungannya. 2.4. Lembaga-lembaga pendidikan mulai muncul dengan adanya pendidikan dasar dan menengah, tetapi belum Nampak adanya pendidikan luar sekolah. 2.5. Mulai terdapatnya pendidikan sekolah menyebabkan tingkat buta huruf bergerak turun. 2.6. Hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis berdampingan dengan serasi. 2.7. Ekonomi yang berorientasi pasar mulai menambah persaingan di bidang produksi, hal ini mempengaruhi perbedaan struktur sosial di masyarakat, sehingga nilai uang memegang peranan penting 2.8. Gotong royong masih berlaku, tetapi di kalangan keluarga besar atau tetanggatetangga terdekat, sedangkan pembangunan prasarana dan sarana untuk kepentingan umum sudah berdasarkan upah. Nilai komersil sudah diperhitungkan. 3. Masyarakat pramodern-modern Kelompok masyarakat pramodern-modern, bercirikan : 3.1. Hubungan antar masyarakat didasarkan pada kepentingan pribadi dan kebutuhan-kebutuhan individu. 38 3.2. Hubungan antar masyarakat dilakukan secara terbuka dalam suasana saling mempengaruhi, kecuali dalaam menjaga rahasia hasil penemuan baru. 3.3. Masyarakat sangat percaya terhadap manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, karena sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. 3.4. Masyarakatnya terdiri dari berbagai profesi dan keahlian yang dapat ditingkatkan atau dipelajari melalui pendidikan luar sekolah atau sekolah kejuruan. 3.5. Tingkat pendidikan sekolah relatif tinggi dan merata. 3.6. Hukum yang berlaku di masyarakat adalah hukum tertulis yang sangat kompleks. 3.7. Ekonomi hamper seluruhnya berorientasi kepada pasar yang didasarkan kepada penggunaan uang dan alat pembayaran lain (kartu kredit, check, giro, dsb.). B. Ciri-ciri manusia Bermental Membangun, Unsur-unsur tradisional yang Mendukung Pembangunan serta Kendala Budaya yang Menghambat Pembangunan dan alternatif Solusinya Abad ke-21 ditandai sebagai abad teknologi informasi. Pesatnya perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah mengubah wajah dunia demikian cepat. Apa yang terjadi di belahan dunia lain dengan cepat sampai di seluruh pelosok bumi. Dihadapkan pada kondisi ini, diperlukan manusia-manusia Indonesia yang bermental membangun. Mentalitas membangun yang mengglobal diperlukan, karena kebudayaan nasional akan berhadapan langsung dengan peradaban dunia yang semakin canggih, kompetitif dan serba cepat. Salah satu mentalitas pembangunan yang diduga memiliki respon yang positif terhadap perubahan, dikenal dengan pengembangan mental melalui modernisasi. Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat menuju kepada mental pembangunan mungkin saja akan terdapat unsur budaya sebagai berikut : 1. Unsur-unsur budaya yang telah memenuhi syarat sebagai mental pembangunan. 2. Unsur-unsur yang menghambat pencapaian pembangunan secara optimal. 39 Oleh karena itu, untuk unsur yang pertama, kita perlu memelihara dan mengembangkan potensi tersebut sehingga keberlangsungan (sustainability) dalam pembangunan akan tercapai dengan mudah. Sedangkan poin yang kedua, diperlukan penyesuaian, kalau perlu diganti dengan nilai-nilai budaya yang sama sekali baru. Contohnya melalui pendidikan (yang sengaja dipelajari), dienkulturasi, didesiminasikan, ditransformaskan, atau pengadopsian yang sebanyak dan seluas mungkin kepada seluruh masyarakat. Koentjaraningrat (1985) mengungkapkan bahwa nilai budaya yang perlu dimiliki bangsa Indonesia adalah nilai budaya yang berorientasi ke depan, bukan mentalitas yang bersifat vertikal. Yakni terlampau berorientasi kepada atasan, senior, berkedudukan tinggi dan berharta. Oleh karena itu, seyogyanya, mentalitas yang membangun berorientasi ke arah achievement, dan berhasrat eksploratif untuk mempertinggi inovasi dan kreatifitas. Semangat gotong royong dalam masyarakat paguyuban yang juga terbawa ke kota oleh para urbanisan terkadang dianggap menghambat pembangunan karena ada unsur ketergantungan sosial, melemahkan semangat bekerja individu, hasil yang harus merata, melemahkan timbulnya gagasan dan keunggulan individu.Tetapi, bagi Wong, Dove dan Davis (Alvin, Y. so, 2000), melalui kajian-kajian yang melahirkan konsep familiisme (Wong), budaya lokal (Dove), dan teori barikade (Davis) yang masing-masing mengamati bagaimana pola kekerabatan di Hongkong menjadi kekuatan bisnis keluarga. Bagaimana kekuatan budaya lokal di Indonesia berinteraksi dengan kebijakan pembangunan nasional. Kemudian, Davis mengamati bagaimana pengaruh agama di Jepang terhadap pembangunan ekonominya sebagaimana weber mengamati etika Protestan Puritan yang sangat memperhatikan keselamatan jiwa telah memberikan jawaban etis bagi Eropa barat di dalam melahirkan satu embrio adanya kemampuan untuk mengatasi segala rintangan ekonomis, politis dan psikologis dalam berpacu mencapai status kapitalisme modern. VI. Penutup Sosiologi dan Antropologi (khususnya Antropologi Budaya) merupakan disiplin ilmu yang mencoba menelaah aktifitas manusia sebagai mahluk sosial 40 budaya yang diidentifikasi memiliki perilaku sosial yang melembaga. Salah satu perilaku sosial yang melembaga tersebut adalah bagaimana manusia berkelompok dan bermasyarakat, dengan melakukan perubahan-perubahan yang direncanakan, yang kemudian dikenal sebagai aktifitas pembangunan. Pembangunan sebagai konsep politik, ekonomi dan sosial di dalam mengarahkan proses perubahan yang diinginkan suatu bangsa akan melibatkan semua pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah pembangunan tidak hanya merujuk kepada aspek kwalitas, tetapi juga kwantitas.Oleh karena itu, perlu dikembangkan parameter atau ukuran-ukuran ketercapaian pembangunan dari dua aspek tersebut, sehingga hasilnya bisa dijadikan sebagai bahan untuk melakukan recovery ataupun revitalisasi dan bahkan merencanakan program-program pembangunan berikutnya. Di sinilah perlu dilibatkan berbagai sudut disiplin ilmu yang integratif. Melalui penelaahan terhadap berbagai teori dan studi yang selama ini dilakukan para ahli Ilmu-ilmu Sosial di dalam mengkaji permasalahan pembangunan, diharapkan kita dapat menganalisis bagaimana sebuah perubahan terencana dikembangkan di negara-negara Dunia Ketiga khususnya, antara lain dengan mengkaji teori modernisasi, dependensi dan sistem ekonomi dunia. Di dalam membedah permasalahan kasus-kasus pembangunan sebagai implikasi dari perubahan yang terencana tersebut, pemahaman terhadap kelompok masyarakat pendukung pembangunan menjadi poin yang penting untuk menjadi fokus perhatian kita. Karena sustainability (keberlangsungan) pembangunan berada pada kelompok manusia yang disebut masyarakat. Oleh karena itu, mengenali berbagai bentuk masyarakat, tahapan perkembangannya dengan segala potensi yang dimilikinya, akan membantu kita di dalam memahami bagaimana upaya pembangunan dilakukan oleh kelompok masyarakat pendukung pembangunan tersebut. 41 DAFTAR PUSTAKA Alvin Y. So, Suwarsono ,2000, Perubahan sosial dan Pembangunan, LP3S, Jakarta. Barlinti, Yeni Salma dkk (Ed.),2006, Sustainable Development, Beberapa Catatan Tambahan, Asosiasi SYLFF, Jakarta. Pasya, Gurniwan Kamil, 1999, Kapita Selekta Sosiologi dan antropologi, Buana Nusa, Bandung. -----------------------------,Awan Mutakin,2000,Masyarakat Indonesia Dalam Dinamika,Buana Nusa, Bandung Kartasasmita,(1976, Pembangunan untuk Rakyat, Cides, Jakarta. Koentjaraningrat, 1985, Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. ----------------------, 2004, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Laurer, Robert H, 1993, Perspektif tentang Perubahan sosial, Rineka Cipta, Jakarta.erty Mantra, Ida Bagoes , 2000, Demografi Umum, Pustaka Jaya, Jakarta. Sumarwoto, Otto, 2000, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta. Susanto, astrid S, 1995, Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta. Suparlan, Parsudi,1997, Pandangan Terhadap Antropologi dan Pembangunan dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 42 HAND BOOK SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PEMBANGUNAN SEJ 406 (2 SKS) Oleh Dra. Leli Yulifar, M.Pd. NIP.196412041990012002 Disusun Untuk Kebutuhan Internal Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah yang mengontrak Mata Kuliah Sosiologi dan antropologi Pembangunan JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL 2010 43