OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI TERKAIT

advertisement
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA:
PATOFISIOLOGI TERKAIT PENYAKIT
KARDIOVASKULER
REFERAT
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Minat Utama: Ilmu Penyakit Saraf
Oleh :
M. Iccha Kertawari B
S 551108004
PPDS I ILMU PENYAKIT SARAF
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
2015
ii
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI
TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER
REFERAT
Disusun oleh :
M. Iccha Kertawari B
S 551108004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Jabatan
Nama
Pembimbing I
Indriany Widhowati, dr., Sp.S
Tandatangan
Tanggal
--------------
Juli 2015
NIP. 19510613 198311 2 001
Telah dinyatakan memenuhi syarat
Pada tanggal :………………
Mengetahui
Ketua Program Studi PPDS I Ilmu Penyakit Saraf
FK UNS/RSDM Surakarta
Dr. Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S(K)
NIP. 19680707 200312 2 001
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan rahmat yang diberikan, sehingga
penulis dapat menyelesaian referat dengan OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI
TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER.
Referat ini disusun sebagai untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) I Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Terselesaikannya referat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah member kemudahan dalam melaksanakan Program Pendidikan Dokter Spesialis I
IP. Saraf
2. Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si, selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan mengijinkan untuk menjalani
pendidikan PPDS I IP. Saraf.
3. Endang Agustinar, dr., M.Kes., selaku Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta beserta
jajaran Direksi yang telah mengijinkan untuk menjalani pendidikan PPDS I IP. Saraf.
4. Prof. Dr. Suroto, dr. Sp.S(K), FAAN, selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK
UNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis untuk
kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf.
5. Dr. Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi PPDS I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNS/RS dr. Moewardi yang telah memberikan kemudahan penulis
dalam melaksanakan pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf.
6. Indriyani, dr., Sp.S, selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberi
pengarahan dalam penyusunan referat ini dan memberikan kemudahan
menjalani
pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Saraf.
7. Seluruh Staf Pengajar Ilmu Penyakit Saraf FK UNS/ RSUD Dr Moewardi Surakarta.
Prof. Dr. dr. Suroto, Sp.S(K), FAAN, Prof. Dr. dr. OS Hartanto, Sp.S(K), dr. Risono,
Sp.S(K), dr. Suratno, Sp.S(K), dr. Agus Soedomo, Sp.S(K), dr. Sutedjo, Sp.S(K), Dr. dr.
iv
Diah KM, Sp.S(K), dr. Subandi, Sp.S.FINS, dr. Rivan D, Sp.S, M.Kes dan dr. Pepi B,
Sp.S yang telah memberi dorongan, bimbingan dan bantuan dalam segala bentuk
sehingga penulis bisa menyelesaikan penyusunan referat.
8. Keempat orangtua yang terhormat dan terkasih, Bp. Drs. Tjandra Boentoro, S.H, M.Kn,
Bp. Srijono, Ibu Henny Ayrianawati, dan Ibu Martha Nurmaningtyas, S.Kp.Ns yang telah
memberikan dorongan baik moril materil dalam menjalani pendidikan PPDS I IP.Saraf.
9. Suami tercinta, Johan Ade Putra Wijaya, SS, MM, yang selalu memberikan doa,
semangat, keceriaan, inspirasi dan dorongan baik moril materil dalam menjalani
pendidikan PPDS I IP.Saraf. Adik – adik: dr. D. Prathita Acchedya B, dr. Fredy Danan
Sanjaya, Yosef Sri Bima, S.H, yang selalu memberikan doa, semangat dalam menjalani
pendidikan PPDS I IP.Saraf.
10. Seluruh teman sejawat Residen Penyakit Saraf terutama teman seangkatan dr. Igor
Hermando, dr. Fadhilah, dr. Indah Aprilia R dan adik-adik
tingkat yang telah
memberikan dukungan kepada penulis baik dalam penelitian ini maupun selama
menjalani pendidikan
11. Mbak Pip, Mbak Wiwik , Mas Purwanto selaku seketariat bagian Ilmu Penyakit Saraf
yang selalu memberikan bantuan pada penulis selama menjalani pendidikan PPDS I IP.
Saraf selama ini.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat maupun menjalani
pendidikan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran dari
pembaca kami harapkan sehingga lebih sempurna
Surakarta,
Juli 2015
Penulis
M. Iccha Kertawari B
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................
iii
DAFTAR ISI.................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.........................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................
xi
ABSTRAK.....................................................................................................
xv
ABSTRACT.....................................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................
1
A. Latar belakang masalah......................................................................
1
B. Rumusan masalah...............................................................................
2
C. Tujuan referat.....................................................................................
2
D. Manfaat referat...................................................................................
2
BAB II OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA………………………………….
3
A. Definisi dan Kalsifikasi......................................................................
3
B. Epidemologi................................................................................. .....
4
C. Etiologi dan faktor resiko...................................................................
7
D. Anatomi dan Patofisiologi..................................................................
9
1. Anatomi saluran pernafasan bagian atas......................................
9
2.
Sifat statis dan dinamis saluran nafas faringeal normal..............
11
3. Otot – otot faring..........................................................................
17
4. Perbedaan anatomi saluran nafas atas statis pada pasien sleep
apnea............................................................................................
24
5. Perubahan fisiologis dinamik pada struktur saluran nafas bagian
atas....................................................................................
30
6. Neurotransmiter dan neuromodulator yang mempengaruhi
motoneuron saluran nafas atas.....................................................
31
7. Hubungan faktor anatomi dan neurologi pada penutupan saluran
nafas faringeal selama tidur: model sistematik................
39
vi
E. OSA dan penyakit kardiovaskuler......................................................
42
1. Efek akut dari apnea tidur pada sistem kardiovaskuler................
42
2. Patofisiologi OSA terkait penyakit kardiovaskuler......................
44
3. Hubungan OSA dengan penyakit kardiovaskuler........................
50
F. Diagnosis...................................................................................... .....
59
1. Anamnesis...................................................................... ............
59
2. Pemeriksaan fisik.........................................................................
62
3. Pemeriksaan penunjang...............................................................
66
G. Penatalaksanaan...........................................................................
72
BAB III KESIMPULAN................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
84
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Ilustrasi beberapa contoh orang dengan faktor resiko terkena
OSA…………………………………………………………………………... 9
Gambar 2.2. A. MRI midsagital pada orang normal memperlihatkan empat
regio saluran nafas atas: nasofaring. B. Diagram yang menunjukkan saluran
nafas atas midsagittal, jaringan lunak, dan struktur tulang…………………..
10
Gambar 2.3. MRI axial pada orang normal di regio retropalatal (gambar
kiri), MRI midsagital
pada orang normal
menggambarkan regio
midretropalatal (RP) dan midretroglossal (RG) (gambar tengah dan kanan)...
11
Gambar 2.4. Pembukaan rahang menghasilkan pergeseran posterior dan
kaudal dari tuberkel genial mandibula, dan membuat tulang hyoid
melayang……………………………………………………………………...
13
Gambar 2.5. Kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana
tracheal tug pada saluran nafas atas melindungi patensi saluran nafas atas...
14
Gambar 2.6. A. Diagram skematik anatomi saluran napas atas. B. Diagram
skematik otot saluran napas bagian atas……………………………………..
18
Gambar 2.7. Saluran nafas atas pada OSA: bergantung pada patensi otototot dilator saluran nafas atas. MRI sagital (kiri) dan koronal (kanan) dari
pasien dengan OSA………………………………………………………….
20
Gambar 2.8. Area saluran nafas dalam kondisi pasif (yaitu, tidak ada
aktivasi otot) dapat ditingkatkan dengan menaikkan tekanan transmural
(Ptm)…………………………………………………………………………..
21
Gambar 2.9. Keseimbangan kekuatan yang menopang patensi saluran napas
atas…………………………………………………………………………...
21
Gambar 2.10. A. MRI midsagital dari subjek normal (kiri) dan pasien
dengan sleep apnea (kanan). B. MRI aksial di area retropalatal dari subjek
normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan)………………………
25
Gambar 2.11. Kontrol neurokimia motoneuron saluran nafas atas………
32
Gambar 2.12. Model skema menjelaskan patensi jalan napas faring,
viii
menunjukkan aktivitas otot saluran napas bagian atas (UA) dan tekanan
saluran napas pada kedua sisi titik tumpu yang mewakili sifat mekanik
intrinsik dari saluran napas bagian atas pasif……………………………….
40
Gambar 2.13. Campuran (tipe sentral dan obstruktif) sleep apneas
menstimulasi eksitasi simpatis dan peningkatan tekanan darah secara
transien………………………………………………………………………
42
Gambar 2.14. Dugaan mekanisme OSA yang mengaktifkan sistem nervus
simpatis, menginisiasi kaskase dalam penyakit kardiovaskuler. CNS, central
nervous system; RAAS, renin-angiotensin-aldosterone system……
49
Gambar 2.15. Gambaran sistematik hubungan dua arah yang berpotensi
pada obstructive dan central sleep apnea sleep (OSA dan CSA), dan heart
failure (HF)………………………………………………………………….
53
Gambar 2.16. Potensi hubungan obstructive sleep apnea (OSA) dan
sindroma metabolik. OSA dihubungkan dengan 3 dari 5 kelainan mayor
yang berhubungan dengan sindroma metabolik yaitu, hipertensi, resistensi
insulin dan pro inflamasi / stress oksidatif………………………………….
56
Gambar 2.17. Jalur perubahan fisiologis dari hipoksia intermiten dan
fragmentasi tidur yang mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan
jalur klasik (putih) atau lipotosik (abu – abu)……………….
58
Gambar 2.18. Algoritma untuk menginvestigasi dengkuran………………..
60
Gambar 2.19. Alur evaluasi kecurigaan adanya OSA………………………
61
Gambar 2.20. Klasifikasi Mallampati (kiri), klasifikasi tonsil (kanan)……..
63
Gambar 2.21. Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea……...
68
Gambar 2.22. Perbandingan dari apnea sentral (kotak) dan apnea obstruktif
(lingkaran)…………………………………………………………………
68
Gambar 2.23. (A). Pasien OSA berat dilakukan pengukuran bioelektrik (tiga
saluran) menunjukkan bahwa pasien tertidur tidak dalam diantara periode
arousal terkait dengan aktivasi elektromiogram submental (EMG). (B).
Pasien obstructive sleep hypopnea. Sebuah elektromiogram submental
(EMG) menunjukkan ledakan ritmis dari otot-otot inspirasi faring………...
Gambar 2.24. Sebuah rekaman 2 menit tidur menunjukkan 4 hipopnea
69
ix
(panah tebal) dan desaturasi oksigen terkait (panah merah)………………..
70
Gambar 2.25. Algoritma untuk pengelolaan mendengkur…………………
72
Gambar 2.26. Generator CPAP (atas) dan 3 tipe masker, masker nasal (kiri
bawah), masker oronasal (tengah) dan nasal ‘pillows………………………
76
Gambar 2.27. Gambar diatas adalah contoh Mandibular repositioning
devices (kiri), Tongue retaining devices (kanan)…………………………...
80
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Faktor – faktor terkait etiologi OSA…………………………….
7
Tabel 2.2. Faktor resiko spesifik dan non spesifik terkait OSA…………….
8
Tabel 2.3. Faktor – faktor mekanik yang mempengaruhi saluran nafas
faringeal……………………………………………………………………... 12
Tabel 2.4. Dampak obstructive sleep apnea pada sistem kardiovaskuler…... 50
xi
DAFTAR SINGKATAN
5-HT
5-Hidroksitriptamin
5-HT1A
5-hidroksitriptamin 1A
5-HT1AR
5-hidroksitriptamin reseptor 1A
5-HT2
5-hidroksitriptamin 2
5-HT2A
5-hidroksitriptamin 2A
5-HT3
5-hidroksitriptamin 3
5-HT4R
5-hidroksitriptamin reseptor 4
5-HT7
5-hidroksitriptamin 7
5-HTR
5-Hidroksitriptamin reseptor
8-OH DPAT
8-hydroxy-2-(di-n-proplylamino)tetralin
A
adenosinergik
AASM
American Academy of Sleep Medicine
ACE
Angiotensin Converting Enzyme
ACh
Acetylcholine
AF
Atrial Fibrilation
AHI
Apnea-hypopnea index
AMPA
α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-asam propionik isoksasol
ANC
Average Neck Circumferencial
xii
ANG II
Angiotensin II
APOE
Apolipropotein E
ATP
Adenosin Tri Phosphate
BIMU8
N-[(1R,5S)-8-methyl-8-azabicyclo[3.2.1]oct-3-yl]-2-oxo-3-(propan-2-yl)2,3-dihydro-1H-benzimidazole-1-carboxamide hydrochloride
BiPAP
Bi-level Positive Airway Pressure
BMI
Body Mass Index
CAD
Coronary Artery Disease
CIH
Chronic Induced Hypoxia
CNS
Central Nervous System
CO2
Carbon dioxside
CPAP
Continnous Positive Airway Pressure
CRP
C-reactive Protein
CSA
Central Sleep Apnea
CT
computed Tomography
CVD
Cardiovascular Dissease
EDS
Exessive Daytime Sleppiness
EKG
Elektrokardiogram
EMG
Elektromiografi
EOG
Electrookulogram
E-selectin
Endhotelial-selectin
xiii
FDA
Food and Drug Administration
GABA
Gamma-aminobutyric acid
GDNF
Gen Glial Cell Line-Derived Neurothropic Factor
GLU
glutamatnergik
GLY
glisinergik
H2O
Hydrogen Dioksida
HCRT
hipokretinergik
HF
Heart Failure
HPA
Hipotalamus Pituitari Adrenal
HRT
Hormone Replacement Therapy
HTR2A
5-Hidroksitriptamin reseptor 2A
HTR2C
5-Hidroksitriptamin reseptor 2C
ICAM-1
Intracellular Adhesion Molecule-1
IGF-1
Insuline-like Growth Factor-1
IL-18
Interleukin 18
IL-1β
Interleukin 1β
IL-6
Interleukin 6
IMT
Indek Masa Tubuh
KA
kainate
LAUP
Lasser-assisted uvuloplasty
LV
Left Ventricle
xiv
MIC
Microfon
MMP-9
Matrix Metaloproteinase 9
MRI
Magnetic Resonance Imaging
mRNA
Messenger Ribonucleid Acid
MSLT
Multipel Sleep Latency Test
NAPDH
Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
NK-1
Neurokinin 1
Nk-B
Natural Killer Cell-B
NMDA
N-metil-δ-aspartat
NO
Nitric Oxide
NREM
Non Rapid Eye Movement
OA
Oral Appliance
OSA
Obstructive Sleep Apnea
P2X2
purigenik
PaCO2
Pressure of Carbon dioxside in arterial blood
PAI-1
Plasminogen aktivator-1
PaO2
Pressure of Oxygen in arterial blood
PAP
Positive Airway Pressure
PCP
Primary Care Physician
Pcrit
Pressure Critis
Peso
Pressure esophagus
xv
PFT
Pulmonary Function Test
PIT
Pressure Intrathorasic
PL
Pressure Lumen
Pmus
Pressure Muscle
PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
P-SAP
Preoperative Sleep Apnea Prediction
PSG
Polisomnografi
Ptm
Pressure Transmural
RAAS
Renin Angiotensin Aldosterone System
RDI
Respiratory Disturbance Index
REM
Rapid Eye Movement
RERA
Respiratory Effort Related Arousal
RESP abdm
Respiration abdomen
RFA
Radiofrequency Ablation
RG
Retroglosal
ROS
Reactive Oxygen Species
RP
Retropalatal
SaO2
Saturation Oxygen
SDB
Sleep Disorders-Breathing
SHHS
Sleep Heart Health Study
SNA
Symphatetic Nerve Activity
xvi
SS
Sleep Specialist
TMJ
Temporomandibular join
TNF
Tumor Necrosis Factor
TRH
Thyrotropin-releasing Hormone
UA
Upper Airway
UPPP
Uvulopalatopharyngoplasty
VCAM-1
Vascular Cell Adhesion-1
xvii
ABSTRAK
M. Iccha Kertawari B. S551108004. 2015. OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI
TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER. Referat. Pembimbing: Indriany Widhowati, dr.,
Sp.S. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf / RSUD. Dr. Moewardi,
Universitas Sebelas Maret Surakarta
OSA merupakan penyakit gangguan tidur yang ditandai oleh tersumbatnya sebagian atau seluruh
saluran napas yang menyebabkan apnea dan hipopnea pada saat tidur. Apnea dan hiponea akan
diikuti desaturasi oksigen dan biasanya diakhiri dengan arousal singkat. Patofisiologi OSA
dipengaruhi adanya faktor anatomis, saluran nafas yang kolaps, penurunan kompensasi tonik
motor neuron otot dilator saat tidur menyebabkan kolapsnya saluran nafas faringeal, hal ini juga
melibatkan neurotransmitter dan neuromodulator telah teridentifikasi yang memiliki kontribusi
pada regulasi neurokemikal dari aktifitas motoneuron dan patensi saluran nafas. OSA yang
terjadi secara berkepanjangan mengakibatkan peningkatan resiko kejadian kardiovaskuler,
seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, aritmia, gagal jantung, stroke, diabetes mellitus dan
sindroma metabolik. Beberapa mekanisme yang mendasari kejadian kardiovaskular adalah
terjadinya hipoksia intermiten yang merangsang kemoreseptor, peningkatan aktifitas simpatis,
peningkatan resistensi vaskuler, reaksi inflamasi, stress oksidatif, disfungsi endotel. Resistensi
insulin dihubungkan dengan adanya peningkatan katekolamin, aksis hipotalamus-pituitariadrenal dan kortisol. Manajemen OSA yang baik dapat menurunkan resiko kejadian
kardiovaskuler, termasuk kejadian stroke, continuous positive airway pressure merupakan
pilihan utama.
Kata kunci: OSA – patofisiologi – penyakit kardiovaskuler
xviii
ABSTRACT
M. Iccha Kertawari B. S551108004. 2015. OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA: PATOFISIOLOGI
TERKAIT PENYAKIT KARDIOVASKULER. Referat. Supervisor: Indriany Widhowati, dr.,
Sp.S. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf / RSUD. Dr. Moewardi,
Universitas Sebelas Maret Surakarta
OSA is a sleep disorder characterized by blockage of some or all of the airways that causes
apnea and hypopnea during sleep. Apnea and oxygen desaturation followed hyponea and usually
ends with a brief arousal. The pathophysiology of OSA influenced their anatomical factors,
airway collapse, decline in motor neuron compensation tonic dilator muscles during sleep
causing the collapse of the pharyngeal airway, these also involves neurotransmitters and
neuromodulators have been identified that have contributed to the regulation of the activity of
motoneuron neurochemical and airway patency. OSA occurs in prolonged lead to increased risk
of cardiovascular events, such as hypertension, coronary heart disease, arrhythmias, heart
failure stroke, diabetes mellitus and metabolic syndrome. Several mechanisms underlying
cardiovascular events is intermittent hypoxia that stimulates chemoreceptor, increased
sympathetic nerve activity, increased vascular resistance, inflammatory reactions, oxidative
stress, endothelial dysfunction. Insulin resistance is associated with an increase in
catecholamine, the hypothalamic-pituitary-adrenal and cortisol. Proper OSA management can
reduce the risk of cardiovascular events, including stroke event, continuous positive airway
pressure is the main option.
Key words: OSA – pathophysiology – cardiovascular disseases
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bentuk gangguan nafas terkait
tidur yang paling sering terjadi. Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang dewasa di
Amerika mengalami obstruktif sleep apneu. OSA lebih sering terjadi pada laki-laki dengan
perbandingan sekitar 24% pria dan 9% wanita atau sekitar 1 dari 25 pria paruh baya yang
menderita OSA dan 1 dari 50 wanita paruh baya.1
Selama beberapa dekade terakhir, OSA muncul sebagai suatu faktor penyebab
potensial beberapa penyakit kardiovaskuler. Kondisi ini mencakup antara lain hipertensi,
penyakit arteri koroner, infark miokard, gagal jantung, hipertensi pulmonal dan stroke.2,3,4
Hipotesis mengatakan bahwa hubungan OSA dan penyakit kardiovaskuler adalah komplek
dan interaksi keduanya dipengaruhi oleh beragam faktor resiko metabolik yang sebagian
besar mekanismenya masih tidak diketahui dengan pasti.5 Selain itu keadaan hipersomnolen
pada siang hari menyebabkan pasien OSA kehilangan kewaspadaan yang dapat berakibat
pada gangguan sosial, kecelakanan kerja dan kecelakaan lalu lintas.3
Sleep apnea terjadi pada 5% sampai 10% dari populasi umum, terlepas dari ras dan
etnis sedangkan, pada pasien dengan penyakit kardiovaskular (CVD), prevalensi berkisar
antara 47% sampai 83%. Tiap pengamatan epidemiologi memunculkan beberapa
pertanyaan penting dan belum terselesaikan, yaitu apakah OSA merupakan faktor resiko
predisposisi individu untuk berkembang, dari waktu ke waktu menyebabkan hipertensi,
penyakit arteri koroner, stroke, atau gagal jantung atau sebaliknya, dapatkah mekanisme
terlibat dengan CVD, seperti aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensinaldosteron, dengan konsekuensi termasuk retensi natrium ginjal, berkontribusi untuk
perkembangan atau eksaserbasi sleep apnea.6 Untungnya, sejumlah penelitian mengenai
terapi menyebutkan bahwa OSA merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi namun
banyak pasien menolak atau malas dikarenakan terapi yang tidak praktis dan masih banyak
yang tidak terdiagnosa.7
2
Melihat tingginya peningkatan resiko kardiovaskuler dan serebrovaskuler akibat dari
OSA, maka pada makalah ini dibahas mengenai OSA dari definisi, gejala klinis, diagnosis,
patofisiologi maupun penatalaksanaan yang mungkin dapat menambah wawasan mengenai
OSA, khususnya berfokus membantu praktisi kesehatan dalam memahami patofisiologi
OSA yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler.
B. Rumusan masalah
Bagaimana patofisiologi Obstructive Sleep Apnea terkait dengan kejadian penyakit
kardiovaskuler ?
C. Tujuan referat
1. Tujuan umum
Mengetahui definisi, gejala klinis, diagnosis, patofisiologi maupun penatalaksanaan
Obstructive Sleep Apnea.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui patofisiologi terjadinya Obstructive Sleep Apnea
b. Memberikan pemahaman patofisiologi terkait penyakit kardiovaskuler
D. Manfaat referat
1. Manfaat bidang akademik
a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu penyakit saraf tentang patofisiologi
Obstructive Sleep Apnea terkait patofisiologi terjadinya penyakit kardiovaskuler.
b. Memberikan pertimbangan arah penelitian di masa depan terkait hubungan
Obstructive Sleep Apnea dan kejadian penyakit kardiovaskuler.
2. Manfaat bidang pelayanan
Memperbaiki manajemen Obstructive Sleep Apnea secara tepat sehingga dapat
menurunkan kejadian penyakit kardiovaskuler.
3
BAB II
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA
A. Definisi dan Klasifikasi
Obstructive Sleep Apnea Syndrome merupakan salah satu Sleep Related Breathing
Disorders menurut International Classification of Sleep Disorders edisi ke 3, selain OSA
yang termasuk Sleep Related Breathing Disorders adalah Central Sleep Apnea Syndromes,
Sleep Related Hypoventilation Disorders dan Sleep Related Hypoxemia Disorders. Banyak
pasien dapat memenuhi kriteria lebih dari satu jenis penyakit. Terutama banyak pasien
menderita OSA dan Central Sleep Apnea.3,8
OSA merupakan penyakit gangguan tidur yang ditandai oleh tersumbatnya sebagian
atau seluruh saluran napas yang menyebabkan apnea dan hipopnea pada saat tidur. Apnea
dan hiponea akan diikuti desaturasi oksigen dan biasanya diakhiri dengan arousal singkat.
Kejadian apnea atau hipopnea berlangsung sedikitnya 10 detik, berulang dan dapat
mencapai 20 – 60 kali per jam3,8,9, sebagian besar apnea atau hipopnea lamanya 10-30 detik
tetapi kadang-kadang bisa berlanjut sampai satu menit atau lebih. Apnea adalah henti napas
selama 10 detik atau lebih, bisa berupa apnea sentral atau apnea obstruktif. Hiponea adalah
sumbatan parsial saluran napas atas yang disertai pengurangan aliran udara 30-50% dan
desaturasi oksigen minimal 3% diikuti arousal selama minimal 10 detik. Kejadian apnea
atau hipopnea biasanya durasinya lebih lama dan desaturasi oksigen lebih berat pada tidur
stadium REM dan posisi telentang.5,8,9
Menurut American Academy of Sleep Medicine (2014) secara klinis OSA
didefinisikan sebagai berulangnya mengantuk berlebihan disiang hari, mendengkur, saksi
mata yang melihat adanya gangguan nafas, terbangun karena terengah – engah atau tersedak
yang terjadi paling sedikit 5 kejadian osbtruksi nafas (apnea, hiponea atau usaha nafas saat
bangun) per jam selama tidur. Adanya > 15 kali kejadian obstruksi nafas per jam selama
tidur tanpa disertai gejala klinis terkait sudah cukup untuk mendiagnosa OSA, terkait
adanya hubungan tingkat obstruksi. Pada OSA yang terjadi adalah penghentian airan udara
namun usaha napas tetap ada, sedangkan henti napas sentral (CSA) adalah penghentian
aliran udara dan usaha napas secara bersamaan.2,5
4
B. Epidemologi
Pillar dan Lavie (2011) dalam Handbook of Clinical Neurology mengatakan sejarah
prevalensi OSA berbeda – beda, yaitu (1) studi Lavie tahun 1983 setidaknya 1% dari
populasi orang dewasa laki-laki sehat mungkin memiliki OSA namun pada saat itu sindrom
didefinisikan sebagai temuan pada laboratorium tidur adanya 10 apnea per jam tidur
dikombinasikan dengan keluhan subjektif dari kantuk di siang hari yang berlebihan atau
gangguan tidur di malam hari. Dari catatan, pentingnya hipopnea, yaitu hambatan sebagian
saluran udara, tidak diakui pada waktu itu, yang mungkin mengakibatkan prevalensi jauh
lebih rendah dari perkiraan sebenarnya dari sindrom ini, (2). Studi Franceschi et al. (1982),
berdasarkan studi dari semua pasien yang dirawat selama 1 tahun ke rumah sakit di Italia
melaporkan prevalensi 1% dari sleep apnea, (3) Studi Neven et al. (1998) menginvestigasi
prevalensi apnea tidur pada populasi umum di Belanda didapatkan prevalensi sebesar 0,9%.
Perkiraan tinggi berkisar mulai 1,3 - 4,7% yang dilaporkan dalam studi yang menghitung
baik apnea dan hipopnea.10
Studi epidemiologi di Amerika Serikat pada 1990-an berdasarkan populasi umum
atau kohort berbasis komunitas yang terdiri dari terutama orang kulit putih dengan usia
antara 30-60 tahun memperkirakan prevalensi dari OSA (didefinisikan dengan AHI ≥ 5)
sebesar 24 % laki-laki dan 9 % wanita namun, ketika keluhan excessive daytime sleepiness
(EDS) diambil, 4 % laki-laki dan 2 % wanita memiliki OSA.10,11 Studi Komisi Nasional
Gangguan Tidur memperkirakan bahwa sleep disorder breathing minimal (Respiratory
Disturbance Index / RDI > 5) menyerang 7-18 juta orang di Amerika Serikat dan bahwa
kasus-kasus yang relatif berat (RDI> 15) menyerang 1,8 – 4 juta orang. Prevalensi OSA
pada populasi non-Amerika hanya telah dipelajari pada pria dan telah ditemukan paling
kecil 0,3% (Inggris) dan paling tinggi 20-25% (Israel dan Australia). Prevalensi OSA pada
pria Australia diperkirakan 3% .12
Penelitian terbaru sesudah ledakan epidemi obesitas pada negara-negara industri telah
mengubah hasil ini. Insidensi OSA pada orang kulit putih dipengaruhi oleh epidemik
obesitas mencapai kira-kira 8%. Penelitian pada kelompok etnis lain juga tersedia. Di Hong
Kong prevalensi pada akhir 1990-an dilaporkan sama dengan yang terlihat pada orang kulit
putih (4,1 % laki-laki paruh baya dan 2,1 % wanita). Penelitian pada etnis Cina di Singapura
menyatakan perkiraan prevalensi sebesar 15 %, dan prevalensi yang dilaporkan sebesar 7,5
5
% pada laki-laki urban India usia pertengahan, 4,5 % pada laki-laki Korea dan 3,2 % pada
wanita Korea usia pertengahan, sedangkan di Malaysia 8,8 % pada laki-laki dan 5,1 % pada
wanita.11
Studi terdahulu oleh Kim (2004) dan Villaneuva (2005) yang menganalisa hubungan
OSA dengan berbagai kelompok etnis memberikan hasil yang tidak jelas, yaitu apakah
peningkatan prevalensi di kelompok etnis tertentu merupakan hasil langsung dari genetik
atau dari karakteristik terkait etnis yang berhubungan dengan fenotip tubuh, seperti struktur
jalan nafas atas atau obesitas.12 Individu Afrika Amerika tampaknya lebih cenderung
mengalami SDB daripada orang kulit putih. Peningkatan kecenderungan ini bervariasi
sesuai dengan umur. Pasien Cina dengan OSA memiliki saluran udara bagian atas yang
relatif retrognatia dibandingkan dengan kulit putih. Orang Asia dikenal memiliki basis
tengkorak yang lebih pendek dan fleksura basis kranial yang lebih datar, peningkatan resiko
OSA, dengan BMI dan lingkar leher kurang lebih sama namun, obesitas memainkan peran
yang lebih menonjol dalam predisposisi OSA pada kulit putih daripada pada orang Cina.
Populasi lainnya yang mungkin meningkatan resiko meliputi Amerika Meksiko dan
Kepulauan Pasifik.12
Rasio Laki-laki-terhadap-perempuan dalam studi berbasis masyarakat adalah 2-3:1.
Pola androgenik distribusi lemak tubuh (pengendapan di punggung, termasuk daerah leher)
merupakan predisposisi OSA pada laki-laki. Tiga studi epidemiologi luas telah
menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada wanita tampaknya meningkat setelah
menopause. Dalam studi ini, perempuan yang sedang dalam terapi hormone replacement
theraphy (HRT) memiliki prevalensi yang sama dengan wanita premenopause. Wanita
pascamenopause 3 kali lipat cenderung memiliki OSA moderat sampai berat dibandingkan
dengan wanita premenopause. Wanita yang menjalani HRT setengah lebih cenderung
mengalami OSA dibandingkan dengan wanita postmenopause yang tidak menjalani HRT.12
Prevalensi OSA meningkat seiring dengan pertambahan usia11, prevalensi gangguan
pernapasan saat tidur pada orang tua diperkirakan sekitar 30%.10 Penuaan adalah suatu
pertimbangan penting dari resiko OSA. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali lipat pada orang
yang lebih tua (> 65 tahun) dibandingkan dengan individu yang berusia 30-64 tahun,
dengan tingkat perkiraan setinggi 65% dalam sampel komunitas orang tua berusia lebih dari
65 tahun.Setelah usia 65 tahun, tidak ada perbedaan relatif yang tercatat dalam kejadian
6
OSA, satu penjelasan untuk terjadinya plateau adalah peningkatan relatif kematian pada
orang berusia lebih dari 65 tahun.12
Prevalensi sesungguhnya dari OSA sulit diketahui, karena sebagian besar penderita
OSA tidak menjalani pemeriksaan polisomnografi sehingga tetap tidak terdiagnosa.
Beberapa studi berbasis populasi memperkirakan bahwa 1 dari 5 dewasa usia menengah
dengan indek massa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA, dimana 1 dari 20-nya
adalah asimptomatik. Kelainan ini juga terdapat lebih dari 40% pada mereka yang
mempunyai IMT diatas 30, dan umumnya pada individu dengan IMT 40. Selain itu
hubungan erat OSA dengan kelainan metabolik multipel termasuk diantaranya obesitas
abdominal, diabetes, dislipidemia, dan terutama sindrom metabolik sudah lama diketahui.2,9
Obesitas mungkin juga berkontribusi pada peningkatan prevalensi OSA. Lebih lanjut,
teknik yang digunakan untuk menghitung prevalensi mungkin berperan dalam kesenjangan
dalam penelitian. Penelitian di Sao Paulo dari 2007-2008 mengamati pasien dengan
obesitas, dan ditemukan prevalensi OSA sebesar 15%. Prevalensi OSA selanjutnya
merupakan variabel tergantung pada lokasi geografis, umur dan derajat obesitas juga
berkontribusi pada prevalensi. Lebih lanjut, obesitas trunkus atau sentral dikaitkan dengan
aktivitas adiposit yang abnormal, menyebabkan sekresi bermacam-macam peptida yang
menyebabkan sindroma metabolik.11 Pasien obese memiliki resiko lebih tinggi terkena
OSA, berkisar dari 50-98% pada obese yang tidak sehat.10
Prevalensi OSA pada asma lebih besar dibanding pada populasi umum dan
berhubungan dengan IMT dan lingkar leher.13 Beberapa studi lain menemukan adanya
prevalensi gangguan pernapasan saat tidur jauh lebih tinggi pada populasi tertentu yang
beresiko tinggi, misalnya pada pasien hipotiroidisme, diabetes melitus, gastroesofageal
refluk, gagal ginjal dan akromegali. Pada populasi dengan penyakit kardiovaskular,
prevalensi telah ditemukan meningkat secara substansial, terutama pada pasien dengan
hipertensi, penyakit arteri koroner dan stroke stroke.10 Prevalensi kejadian OSA dengan
diabetes mellitus dan sindroma metabolik sebesar 73-86%, OSA dengan hipertensi sekitar
40 – 60%, pada hipertensi refrakter meningkat sampai 71%, OSA dengan miokard infark
73%, OSA dengan kardiomiopati
hipertrofi 83%, OSA dengan gagal jantung dan
penurunan fungsi ventrikel 69%, OSA dengan atrial fibrilasi 30 – 75%, OSA dengan
penyakit kelainan katup jantung 72% .9,14
7
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Etiologi OSA melibatkan baik faktor struktural dan nonstruktural, termasuk faktor genetik
12
Faktor struktural
1. Faktor yang berhubungan
dengan
anatomi
tulang
kraniofasial
yang
mempengaruhi pasien dengan
OSA terhadap kolapsnya faring
saat tidur:
 Variasi anatomi bawaan
(elongasi wajah, kompresi
wajah posterior)
 Retrognatia dan
mikrognatia
 Hipoplasia mandibula
 Bentuk kepala
Brachysefalik - Terkait
peningkatan AHI pada kulit
putih tetapi tidak pada
Afrika Amerika.
 Displacement inferior hyoid
 Hipertrofi adenotonsillar,
terutama pada anak-anak
dan dewasa muda
 Sindrom Pierre Robin
 Down syndrome
 Sindrom Marfan
 Sindrom Prader-Willi
 Palatum dengan lengkungan
tinggi (terutama pada
wanita)
2. Faktor
struktural
yang
berhubungan dengan obstruksi
hidung meliputi polip, deviasi
septum, tumor, trauma, dan
stenosis.
3. Faktor
struktural
yang
berhubungan dengan obstruksi
retropalatal
meliputi
(1)
palatum dan uvula letak
memanjang, dan posterior dan
(2) hipertrofi tonsil dan
adenoid
4. Faktor
struktural
yang
berhubungan dengan obstruksi
retroglossal
meliputi
makroglossia dan tumor.
Faktor non struktural
1. Faktor non struktural pada OSA:
 Kegemukan (obesitas)
 Distribusi lemak sentral
 Jenis kelamin laki-laki
 Usia
 Kondisi pascamenopause
 Penggunaan alcohol
 Penggunaan obat penenang
 Merokok
 Kebiasaan mendengkur
dengan EDS
 Posisi tidur terlentang
 Tidur rapid-eye movement
(REM)
2. Kondisi lain terkait OSA:
 Hipotiroidisme
dikaitkan dengan macroglossia
dan peningkatan massa
jaringan lunak di daerah
faring.
 Sindrom neurologis
sindrom postpolio, distrofi
otot, dan sindrom kegagalan
otonom seperti sindrom ShyDrager
 Stroke
 Akromegali
 Paparan lingkungan, meliputi
asap, iritasi lingkungan atau
alergen, dan alkohol dan obatobat sedatif hipnotik.
Faktor genetik
1. Keluarga
dengan
OSA
memiliki resiko 2 – 4x
dibanding subjek normal.
2. Studi Larkin et al. (2010)
mengungkapkan gen glial
cell
line-derived
neurotrophic faktor (GDNF)
Alel A, Alel G dan CRP (Creactive protein) beresiko
meningkatkan resiko OSA
pada orang Amerika-Eropa
sedangkan pada AfrikaAmerika selain gen GDNF
alel A, adanya mutasi pada
reseptor serotonin 2a juga
berdampak
peningkatan
OSA.
8
Tabel 2.1. Faktor – faktor terkait etiologi OSA12
Sedangkan Pillar dan Lavie (2011) membagi berdasarkan faktor resiko spesifik dan non
spesifik berkaitan dengan OSA.10
Faktor resiko spesifik
1. Anatomi saluran napas sempit
(misal: pembesaran lidah dan / atau langit-langit
lunak, peningkatan jaringan lemak dinding
lateral, perpindahan inferior dari tulang hyoid,
tulang rahang yang lebih pendek, elongasi
wajah, perpindahan inferior dari mandibula, dll)
2. Obesitas
Mekanisme yang terakhir ini menekankan
pentingnya obesitas sentral dibandingkan
dengan obesitas perifer, karena perutlah yang
lebih mempengaruhi ukuran jalan napas atas
daripada paha
3. Jenis Kelamin
Rasio laki-laki untuk perempuan di antara
pasien OSA sebesar 8: 1 pada populasi klinis
tidur, dan sekitar 2-3: 1 dalam sampel berbasis
masyarakat. Alasan untuk efek gender pada
OSA tetap kurang dipahami tapi bisa jadi akibat
hasil
dari
kombinasi
berbagai
faktor
patofisiologi, seperti perbedaan dalam distribusi
lemak tubuh (atau perbedaan anatomi jalan
nafas atas berkaitan dengan gender lainnya),
kontrol ventilasi, fisiologi aktivasi otot dilator
faring saluran napas, dan perbedaan hormonal.
Faktor resiko non spesifik
1. Beberapa
patologi
endokrinologi:
hipotiroidisme, akromegali, dan diabetes.
OSA dapat menyebabkan diabetes
dengan meningkatkan resistensi insulin,
di sisi lain, diabetes dapat menyebabkan
perubahan dalam sistem kontrol ventilasi
sentral yang dapat menyebabkan
pernapasan periodik selain itu.
2. Penggunaan zat dan obat-obatan yang
melemahkan aktivasi otot dilator saluran
nafas atas, meliputi alkohol, depresan
sistem saraf pusat seperti benzodiazepin
dan barbiturat.
3. Penyakit neuromuskuler
seperti miopati, distrofi otot, cedera
tulang
belakang,
dan
gangguan
neuromuskuler
lain
mengubah
keseimbangan antara tekanan kolaps dan
stabilisasi dari saluran nafas
4. Beberapa penyakit tertentu yang,
berdampingan dengan sleep apnea,
memperburuk beratnya OSA yaitu
PPOK, asma, dan gagal ginjal.
4. Usia
Studi Malhotra et al. (2006) mengungkapkan
bahwa orang tua memiliki respon otot dilator
faring yang lebih buruk terhadap rangsangan
tekanan negatif daripada subyek yang lebih
muda.
5. Faktor genetik
Tabel 2.2. Faktor resiko spesifik dan non spesifik terkait OSA10
Studi Teodorescu, et al. (2015) mendapatkan bahwa terdapat hubungan signifikan
asma dan onset baru OSA hal ini dikarenakan pada pasien asma didapatkan kolaps pada
area farringeal sehingga menganggu patensi saluran nafas, beberapa mekanisme yang
9
mungkin berpengaruh antara lain, tekanan negatif intralumen saat inspirasi akibat kolapsnya
saluran nafas, kekakuan pada saluran nafas faringeal yang diakibatkan berkurangnya tarikan
trakea, adanya fragmentasi tidur yang dapat mempengaruhi kolapsnya saluran nafas, proses
inflamasi yang bersifat sistemik dari asma serta pengunaan steroid dalam jangka panjang
yang dapat memicu penumpukan lemak dan miopati.15
C
A
B
D
E
Gambar 2.1. Ilustrasi beberapa contoh orang dengan faktor resiko terkena OSA. (A). obesitas,
(B). hipoplasia maxilla, (C). maloklusi dari gigi, (D). hipertrofi tonsil, (E). leher pendek, usia
tua16
D. Anatomi dan Patofisiologi
1. Anatomi Saluran Pernafasan Bagian Atas
Saluran nafas atas terbagi menjadi tiga region yaitu, nasofaring, yang merupakan
batas posterior dari turbinat nasal hingga palatum durum; orofaring, terbagi ke dalam
region retropalatal (batas posterior dari palatum durum hingga batas kaudal dari palatum
molle) dan region retroglossal (batas kaudal dari palatum molle hingga dasar epiglottis);
dan hipofaring, yang merupakan dasar lidah dan epiglotis hingga laring (Gambar 2.2).
Kebanyakan pasien dengan OSA bermanifestasi pada penyempitan dan penutupan
saluran nafas atas selama tidur pada regio retropalatal, regio retroglossal, atau
keduanya.17
10
Gambar 2.2. A. MRI midsagital pada orang normal memperlihatkan empat regio saluran nafas
atas: nasofaring, yang mana dibatasi turbinate nasal hingga palatum durum; retropalatal (RP)
orofaring, melebar dari palatum durum hingga kaudal palatum molle; regio retroglossal (RG)
dari kaudal palatum molle hingga dasar epiglotis; dan hipofaring, yang mana dibatasi dasar lidah
hingga faring. B. Diagram ini menunjukkan saluran nafas atas midsagital, jaringan lunak, dan
struktur tulang.17
Untuk mengevaluasi penutupan saluran nafas pada pasien dengan OSA, penting
untuk mengetahui bagaimana perubahan struktur dinding faring pada ukuran salurannya.
Dinding anterior dari orofaring dibentuk oleh palatum molle dan lidah, dinding posterior
dari orofaring disusun oleh otot polos konstriktor superior, medial dan inferior. Dinding
orofaring lateral dibentuk oleh beberapa struktur yang berbeda termasuk otot-otot
orofaringeal (hipoglossus, stiloglossus, stilohyoid, stilofaringeus, palafaringeus,
palatoglossus, dan konstriktor faringeal superior, tengah, dan inferior), jaringan limfoid
(tonsil palatina), dan jaringan adiposa. Keseluruhan struktur ikatan ramus mandibular
membentuk dinding faringeal lateral terlihat pada Gambar 2.3.17
11
Gambar 2.3. MRI axial pada orang normal di regio retropalatal (gambar kiri), MRI midsagital
pada orang normal menggambarkan regio midretropalatal (RP) dan midretroglossal (RG)
(gambar tengah dan kanan).17
2. Sifat Statis dan Dinamis dari Saluran Nafas Faringeal Normal
Kemampuan mekanik saluran nafas faringeal berada di bawah kondisi pasif yaitu,
ketiadaan aktivitas otot faringeal-dapat digambarkan dalam hal hubungan antara luas
penampang saluran nafas (A) dan tekanan transmural (Ptm), dimana tekanan transmural
adalah pengurangan antara tekanan intralumen (PL) dan tekanan jaringan (Pti).
Peningkatan tekanan transmural, dapat disebabkan oleh tekanan intralumen yang lebih
positif atau tekanan jaringan yang lebih negatif, mennggelembungkan dan memperbesar
area saluran nafas. Sebaliknya, penurunan tekanan transmural, dapat disebabkan oleh
tekanan intralumen yang lebih negatif atau tekanan jaringan yang lebih positif,
mempersempit saluran.17
Karakteristik mekanik pada regio tertentu dari faring pasif terungkap pada
pembuktian hubungan tekanan transmural dengan luas penampang area intralumen.
Hubungan ini disebut sebagai tube law dan menggambarkan ketergantungan dari luas
penampang pada tekanan transmural. Banyak faktor mekanik (Tabel 2.3) mempengaruhi
saluran nafas atas untuk membuka secara penuh, menyempit, atau menutup. Faktorfaktor ini diklasifikasikan menjadi statis dan dinamis, berinteraksi dengan tube law dari
faring untuk menilai luas penampang saluran nafas.17
12
Faktor Statis
Gaya adesif permukaan
Posisi leher dan rahang
Tracheal tug (Tarikan trachea)
Gravitasi
Faktor Dinamik
Upstream resistance pada saluran udara nasal
Efek Bernoulli
Dynamic compliance
Tabel 2.3. Faktor – faktor mekanik yang mempengaruhi saluran nafas faringeal17
Berikut adalah penjelasan mengenai beberapa faktor mekanik yang mempengaruhi
saluran nafas faringeal17:
a. Faktor statis yang mempengaruhi sifat dari saluran nafas faringeal normal
Gaya adesif permukaan
Studi dan observasi klinis pada hewan yang dianestesi mengindikasikan bahwa gaya
adesif permukaan melawan permukaan lumen berkontribusi pada patensi dan
penutupan jalan nafas. Selama hidung bernafas dengan mulut tertutup, gaya adesif
permukaan membantu menjaga palatum molle dan dasar lidah serta mendorong
kontak lidah dengan mukosa cavum oris. Saat membuka mulut mukosa lidah dan
palatum molle terbebas satu sama lain dan memungkinkan struktur yang bergerak
bebas ini untuk pindah ke arah posterior dan membahayakan saluran nafas faringeal.
Gaya adesif permukaan juga dapat membuat restorasi dari patensi jalan nafas lebih
sulit dan mungkin menjelaskan mengapa tekanan diperlukan untuk membuka jalan
nafas yang telah tertutup (tekanan pembuka) lebih besar daripada tekanan penutup.
Walaupun gaya adesif permukaan merupakan penentu penting patensi jalan nafas,
pengurangan pada gaya ini dengan memberikan surfaktan pada mukosa saluran
nafas atas menghasilkan pengurangan sederhana secara relatif pada kolapsnya
saluran nafas selama tidur.
Posisi rahang dan leher
Studi mengindikasikan bahwa fleksi leher di bawah kondisi pasif cenderung akan
menutup jalan nafas, dan ekstensi leher bekerja untuk membukanya. Region
retropalatal dan retroglossal dari jalan nafas faringeal menyempit ketika leher fleksi.
Posisi rahang juga dapat mengubah ukuran saluran pernafasan atas. Membuka
13
rahang sedikit dapat menambah ukuran faring dengan menyediakan ruang lebih pada
cavum oris untuk lidah. Hal ini penting khususnya jika lidah relatif besar terhadap
cavum oris. Namun demikian, pembukaan rahang yang progresif menyebabkan
perpindahan posterior tuberkel genial dari mandibula (Gambar 2.4). Perpindahan
posterior dari tuberkel genial dari mandibula dengan membuka mulut menyebabkan
lidah dan apparatus hyoid berpindah secara posterior, dan demikian mempersempit
jalan nafas faringeal.17
Gambar 2.4. Pembukaan rahang menghasilkan pergeseran posterior dan kaudal dari
tuberkel genial mandibula, dan membuat tulang hyoid melayang. Sebagai hasilnya,
struktur dinding faring anterior seperti lidah dan epiglottis pindah pada jalur posterior,
menurunkan ukuran saluran nafas faring. Fleksi leher memiliki efek yang sama pada
hyoid, lidah, dan epiglottis bahkan tanpa perubahan hubungan antara mandibula dan
maxilla.17
Tracheal tug/ tarikan trakea
Menambah volume paru-paru dianggap sebagai menambah luas penampang
faringeal, mengurangi tekanan penutupan, dan kekakuan saluran nafas atas. Aksi ini
dapat diberikan melalui gaya aksial dari trakea, disebut tracheal tug. Penambahan
volume paru-paru menyebabkan pergeseran kaudal dari trakea intratorakal, pada
gilirannya, memberikan gaya langsung ke arah kaudal pada saluran nafas atas.
Tekanan aksial pasif yang dihasilkan pada dinding faring cenderung membuka
faring. Di sini setidaknya terdapat empat mekanisme yang mana traksi kaudal dari
jalan nafas atas dapat memperbaiki patensi jalan nafas (Gambar 2.5). Jika saluran
nafas bagian atas ditarik ke arah dada, lipatan dapat dikurangi pada dinding laring
14
dan orofaring. Kedua, peregangan membuat kaku saluran nafas bagian atas dan
membuatnya lebih tahan terhadap kolaps. Pergeseran kaudal dari struktur lemak dan
struktur lainnya yang mengelilingi faring dapat mengurangi kompresi ekstrinsik dari
jalan nafas. Akhirnya, traksi kaudal dapat memperbaiki patensi jalan nafas melalui
efek mekaniknya terhadap apparatus hyoid.
G
a
m
b
a
r
2
.
5. Kemungkinan mekanisme yang dapat menjelaskan bagaimana tracheal tug pada
saluran nafas atas melindungi patensi saluran nafas atas.17
Gravitasi
Gravitasi juga memiliki pengaruh yang penting pada patensi jalan nafas faringeal
dan hal tersebut umum terjadi pada pasien dengan OSA untuk memiliki index
apnea-hipopnea lebih besar pada posisi supinasi daripada posisi nonsupinasi. Ketika
pasien pada posisi supinasi, gravitasi dapat membantu mempersempit jalan nafas
faringeal dengan menarik lidah dan palatum molle pada jalur posterior.17
b. Sifat dinamis dari saluran nafas faringeal normal
Saluran nafas bagian atas telah dicontohkan memiliki sifat seperti resistor Starling.
Resistor Starling menggambarkan sebuah tabung yang sangat mudah dilipat dan
memiliki penyesuaian yang tak terbatas (lebih tidak kaku) pada satu tekanan
transmural dan penyesuaian yang rendah (lebih kaku) pada tekanan transmural yang
berada di atas dan di bawah tekanan ini. Tabung sudah benar-benar ditutup pada satu
tekanan luminal dan benar-benar terbuka pada tekanan luminal yang lebih tinggi.
Tekanan luminal di mana saluran udara beralih dari terbuka sepenuhnya menjadi
15
tertutup sepenuhnya (yaitu, titik penyesuaian tak terbatas) ditentukan oleh tekanan
ekstramural dan disebut sebagai tekanan kritis (Pcrit).17
Upstream resistence di dalam saluran udara nasal
Aliran udara inspirasi melalui hidung dihasilkan dari penurunan tekanan antara
nares dan nasofaring, sehingga menciptakan driving pressure. Driving pressure
untuk aliran udara inspirasi dihasilkan oleh penurunan sekunder tekanan nasofaring
akibat kontraksi aktif dari diafragma dan otot-otot pompa inspirasi lainnya. Hidung
memiliki ketahanan yang relatif tinggi dan pola aliran turbulen, karakteristik yang
ditingkatkan ketika jalan nafas hidung menyempit oleh kondisi seperti kemacetan
mukosa, polip hidung, dan hipertrofi konka. Faktor-faktor ini meningkatkan
resistensi saluran nafas hidung selama inspirasi. Peningkatan ini nonlinear relatif
terhadap aliran udara inspirasi sehingga saat aliran udara inspirasi meningkat,
terdapat ketidakproporsionalan tekanan intraluminal nasofaring menjadi lebih
negatif.17
Tekanan nasofaring secara efektif setara dengan tekanan intraluminal faring
jika resistensi dalam faring relatif rendah. Semua hal lain dianggap sama,
peningkatan resistensi hidung menghasilkan ayunan inspirasi lebih negatif pada
tekanan intraluminal faring dan akibatnya, sesuai tube law, penurunan luas
penampang faring. Luasnya penyempitan lumen tergantung pada komplians saluran
udara regional, yaitu, komplians relatif dari setiap segmen.17
Upstream resistence di dalam faring
Seperti halnya dengan resistensi hidung, resistensi tinggi dalam faring berhubungan
dengan tekanan intraluminal yang lebih negatif pada segmen yang lebih kaudal
selama inspirasi. Dengan kata lain, penyempitan di regio retropalatal dikaitkan
dengan penurunan lebih lanjut tekanan intraluminal selama inspirasi pada bagian
kaudal hingga regio retropalatal, sehingga meningkatkan kecenderungan penutupan
pada regio retroglossal dan hipofaring.17
Efek Bernoulli
Dua tipe fenomena fisik mendorong penurunan tekanan intraluminal seperti
gas mengalir melalui tabung, hilangnya energi karena digunakan untuk mengatasi
aspek resistensi-aliran dan efek Bernoulli (konversi energi dari statis menjadi kinetik
16
yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran udara ketika area luas
penampang saluran nafas menurun). Fenomena pertama berkaitan dengan upstreamresistance terhadap aliran udara. Setiap kali gas mengalir melewati resistensi, energi
potensial dihilangkan untuk mengatasi gesekan dan, akibatnya, tekanan intraluminal
menurun. Kedua fenomena berhubungan dengan percepatan gas karena gas tersebut
mengalir melalui segmen yang menyempit dari tabung. Kedua fenomena
berkontribusi mengurangi tekanan intraluminal faring selama inspirasi. Oleh karena
itu, keduanya cenderung mempersempit faring selama inspirasi.17
Karena tekanan pada faring harus berada di bawah tekanan saat pembukaan
jalan nafas (hidung atau mulut) untuk menghasilkan aliran udara inspirasi, hidung
atau bagian lain dari upstream resistance berkontribusi pada pengembangan tekanan
faring intraluminal negatif bahkan tanpa adanya batasan aliran inspirasi. Namun,
sekali saja terdapat pembatasan aliran inspirasi, rongga hidung yang relatif kaku
tidak berkontribusi dalam penurunan tekanan lebih lanjut pada seluruh segmen
lipatan. Sebaliknya, penyempitan progresif dari segmen faring awal menghasilkan
tekanan intraluminal inspirasi lebih negatif secara progresif bagian akhir dari lokasi
penyempitan, tanpa memperhatikan batasan aliran inspirasi, karena peningkatan
hilangnya energi viskositas pada regio yang menyempit. Jika area luas penampang
lumen faring menurun di beberapa regio, kecepatan aliran udara meningkat pada
regio ini. Peningkatan kecepatan aliran udara menunjukkan peningkatan energi
kinetik dari aliran udara dan, karenanya, penurunan tekanan distensi. Penurunan ini
memungkinkan penyempitan inspirasi lebih lanjut berdasarkan tube law dari
faring.17
Dynamic compliance
Selama inspirasi, penurunan tekanan intralumen pada setiap titik pada saluran nafas
atas berhubungan dengan komplians dinamis dari segmen saluran nafas atas, saluran
nafas atas menyempit sebagaimana terjadi penurunan tekanan intraluminal selama
inspirasi. Sejauh mana luas penampang faring menurun tergantung pada komplians
dinamis dari saluran nafas bagian atas. Sifat mekanik ini juga mempengaruhi
kemungkinan kolapsnya saluran nafas lebih lanjut. Secara khusus, penyempitan
selama inspirasi karena penurunan tekanan intraluminal dapat menurunkan area
17
secara signifikan yang mana, pada gilirannya, meningkatkan kecepatan gas yang
mengalir melalui segmen tersebut. Hal ini menyebabkan penurunan lebih lanjut
tekanan intraluminal karena konversi dari statis menjadi energi kinetik dengan
penurunan tekanan distensi. Penurunan tekanan luminal tersebut, pada gilirannya,
cenderung untuk lebih menurunkan area saluran nafas. Urutan ini menjelaskan
penyempitan dinamis saluran nafas bagian atas, yang biasanya diamati dalam
kondisi normal jika otot faring hipotonik. Pada ekspirasi awal (tekanan saluran nafas
positif karena rekoil dinding dada), peningkatan kaliber saluran nafas, dan menuju
akhir ekspirasi (penurunan tekanan saluran nafas positif dan inaktivasi otot-otot
dilator saluran nafas bagian atas), saluran nafas menyempit. Pasien dengan OSA
beresiko mengalami penutupan jalan nafas pada akhir ekspirasi dan inspirasi.17
Kontrol ventilasi
Perubahan dalam kontrol ventilasi juga dapat mempengaruhi saluran nafas atas dan
menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian atas. Pada manusia, oksigen arteri dan
kadar karbon dioksida dikontrol ketat oleh berbagai sistem umpan balik yang
melibatkan kemoreseptor, reseptor intrapulmoner dan aferen otot pernafasan. Karena
kontrol ventilasi adalah diatur oleh sistem umpan balik, sistem ini dapat menjadi
tidak stabil. Gangguan pada sistem umpan balik pernafasan umumnya ditandai
dengan peningkatan loop gain, yang dapat meningkatkan periodik pola pernafasan
dan beberapa orang terkait dengan obstruksi jalan nafas atas periodik.17
3. Otot-Otot Faring
a. Aktivasi otot-otot faring
Kebanyakan dari 20 atau lebih otot-otot skeletal di sekitar saluran nafas faring
diaktivati selama inspirasi, yang membantu mendilatasi saluran nafas dan membuat
kaku dinding saluran nafas. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.6, otot-otot
faring memiliki hubungan anatomis yang kompleks yang membantu meregulasi
posisi dari palatum molle, lidah, apparatus hyoid, dan dinding faring posterolateral.
Kontraksi otot-otot tertentu dalam kelompok ini dapat memiliki efek antagonis pada
saluran napas faring. Sebagai contoh, kontraksi dari otot palatini levator palatal,
bersama dengan konstriktor faringeal superior, menutup jalan napas retropalatal,
18
namun kontraksi otot-otot palatum lainnya, palatofaringeus dan glossofaringeus,
membuka jalan napas di regio retropalatal17
Gambar 2.6. A. Diagram skematik anatomi saluran napas atas. Tensor palatini
menggerakkan palatum molle ke arah ventral. Genioglossus bertindak untuk
menggeser lidah ke arah ventral. Co-aktivasi dari otot-otot di dinding faring anterior
seperti kerja geniohyoid dan sternohoid pada tulang hyoid untuk memindahkannya ke
arah ventral. B. Diagram skematik otot saluran napas bagian atas. Di antara banyak
otot saluran napas bagian atas yang melekat pada tulang hyoid yang mengambang
adalah genioglossus, geniohyoid, hyoglossus, konstriktor faring tengah, sternohyoid,
dan digastrik.17
Selain itu, otot-otot faring dapat memiliki efek yang berbeda ketika diaktifkan
secara bersama-sama dibanding ketika diaktifkan secara individual. Co-aktivasi
otot-otot hyoid adalah contoh yang baik dari fenomena ini (Gambar 2.6). Tulang
hyoid pada manusia, seperti pada mamalia lain, tidak menyambung dengan tulang
lainnya atau struktur tulang rawan. Posisi tulang hyoid ditentukan oleh otot yang
melengkapi struktur tulang. Otot-otot yang berinsersi pada hyoid termasuk
geniohyoid dan genioglossus. Kontraksi otot-otot ini menarik hyoid dalam arah
rostral dan anterior. Otot yang berasal dari sternum (sternohyoid) dan kartilago tiroid
(tirohyoid) juga bekerja pada hyoid dan menariknya ke arah kaudal. Dengan
kontraksi simultan dari keempat otot, kekuatan resultan vektor yang bekerja pada
hyoid pada arah kaudal dan anterior. Efek kombinasi ini menggerakkan dinding
faring anterior ke luar, dapat membuat kaku dinding faring lateral, dan
meningkatkan patensi jalan nafas. Contoh lain dari co-aktivasi otot-otot dan patensi
jalan napas bagian atas melibatkan lidah. Bukti menunjukkan bahwa aktivasi
19
simultan dari antagonistik dari protrudor dan retraktor lidah, seperti yang terjadi
pada kondisi hiperkapnia dan hipoksia, memiliki efek sinergis dalam meningkatkan
patensi jalan napas bagian atas.17
Kerja otot saluran napas bagian atas tidak hanya tergantung apakah otot-otot
lain yang aktif secara simultan tetapi juga pada karakteristik panjang-tekanan dan
kekuatan-kecepatan pada saat aktivasi. Misalnya, membuka mulut menurunkan
panjang otot genioglossus dan otot geniohyoid, yang dapat mempengaruhi kaliber
saluran napas bagian atas. Tidak hanya itu, fleksi leher mengubah posisi tulang
hyoid; mengubah hubungan anatomi berbagai otot yang bekerja pada struktur ini
dan menggeser vektor kekuatan mereka dalam arah yang lebih kaudal. Bukti lain
menunjukkan bahwa otot faring tertentu dapat memiliki efek mekanis yang berbeda
pada jalan napas tergantung pada ukuran jalan napas pada saat aktivasi otot.
Kemampuan yang diberikan otot untuk menghasilkan efek mekanik yang berbeda
mungkin karena perubahan orientasi serat otot diringi perubahan dalam ukuran dan
bentuk jalan napas. Selain itu, waktu aktivasi otot relatif terhadap fase respirasi
mungkin memainkan peran dalam menentukan efek mekanik dari setiap aktivasi.
Efek mekanik yang berbeda dari otot faring, tergantung pada kondisi saluran napas
pada saat aktivasi, mungkin membantu menjelaskan bagaimana otot faring dapat
berperan dalam fungsi yang berbeda seperti respirasi, penelanan, dan fonasi.7,17
Berbagai macam kelompok otot yang terlibat dalam patensi saluran nafas atas
pada individu yang secara anatomi rentan terhadap gangguan sleep obstructive
breathing. Karena orofaring sering dapat kolaps dari berbagai arah, banyak individu
dengan predisposisi mengalami kolaps saluran nafas atas saat tidur bergantung pada
kelompok otot yang berlawanan untuk bekerja pada satu kesatuan untuk mencegah
kolapsnya saluran nafas atas, seperti yang dijelaskan pada Gambar 2.7. Sehingga
penting untuk memahami kontrol neurokimia pada bermacam kelompok otot-otot
dilator dan bagaimana otot-otot tersebut berkerja bersamaan namun, saat ini,
penekanan penting telah diganti pada pemahaman kontrol neurokimia pada
genioglosus, atau otot lidah, dan saraf utamanya, hipoglosal.7
Genioglosus merupakan otot dilator saluran nafas atas yang paling besar dan
paling kuat. Namun, aktivasi otot geniglosus sendiri mungkin tidak cukup
20
mengurangi kolapsibilitas faring. Oleh karena itu, banyak studi neurokimia tentang
kontrol neurokimia hipoglosal yang ditampilkan di bawah akan diulang untuk
kelompok otot dilator yang lain dengan vektor yang berbeda. Kesimpulannya,
individu saluran nafas atas yang kolaps, kekuatan dilatasi yang penting dilakukan
oleh beberapa kelompok motoneuron ini: motor trigeminal (V), facialis (VII),
glosofaring (IX), motor vagus (X), dan hipoglosus (XII). Otot-otot yang mengatur
volume paru serta posisi leher dan rahang juga menyebabkan patensi saluran nafas
atas, sehingga motoneuron cervical ventral horn dapat mempengaruhi patensi
saluran nafas atas.7
Gambar 2.7. Saluran nafas atas pada OSA: bergantung pada patensi otot-otot dilator
saluran nafas atas. MRI sagital (kiri) dan koronal (kanan) dari pasien dengan OSA.
Saluran nafas menyempit tetapi tetap paten saat wakefulness, sebagian besar karena
otot-otot dilator, dicontohkan dalam diagram di tengah dengan inervasi saraf kranial
mengalami parestesi. Tanda panah warna merah menunjukan resultan kekuatan
muskulus levator palatini dan tensor veli palatini saat mengangkat palatum mole
(uvula) dan dinding lateral. Karena faring dapat kolaps pada semua keadaan, berbagai
macam kelompok otot harus berkerja sama untuk menghindari kolaps pada faring.7
b. Faktor-faktor yang memodulasi aktivasi otot faring
Aktivasi otot-otot faring dapat mengubah mekanik karakteristik saluran napas
bagian atas. Efek aktivasi otot dilator faring pada tube law dari ditunjukkan pada
gambar 2.6. Dalam kondisi aktif, hubungan tekanan-area saluran nafas digeser ke
atas dan ke kiri. Pada setiap tekanan transmural yang diberikan, aktivasi otot
meningkatkan area saluran napas dan membuat kaku saluran napas, yaitu,
21
menurunkan komplians yang efektif. Efek aktivasi otot pada tube law diukur oleh
Pmus, tekanan efektif yang diberikan oleh aktivasi otot, setara dengan perubahan
tekanan transmural yang dibutuhkan untuk menghasilkan perubahan setara di area
saluran nafas pada kurva pasif (lihat Gambar 2.8). Dalam kondisi tertentu, otot
dilator faring menampilkan letusan aktivitas inspirasi diatas aktivitas tonik. Alkohol,
kurang tidur, anestesi, dan obat hipnotik-sedasi menekan aktivasi otot faring. Faktor
tambahan yang memodulasi pernafasan-terkait aktivitas motoneuron saluran napas
faring termasuk perubahan keadaan, umpan balik proprioseptif, dan mendorong
proses kimia (Gambar 2.9).17
Gambar 2.8. Area saluran nafas dalam kondisi pasif (yaitu, tidak ada aktivasi otot)
dapat ditingkatkan dengan menaikkan tekanan transmural (Ptm). Perubahan tersebut
terjadi dengan menaikan tekanan intraluminal positif, seperti dengan continuous
positive airway pressure (CPAP) nasal . Kontraksi dilator faring menggeser kurva
pasif ke atas dan ke kiri. Kontraksi otot meningkatkan Ptm, dan (P2 –P1) sekarang
menghasilkan Pmus (tekanan otot).17
22
Gambar 2.9. Keseimbangan kekuatan yang menopang patensi saluran napas atas.17
Perubahan keadaan
Mungkin bukti paling meyakinkan yang mendukung pentingnya keseluruhan
aktivitas neuromuskuler pada patensi saluran napas adalah bahwa apnea dan
hipopnea terjadi selama tidur. Modifikasi faktor neuromuskuler (misalnya,
penurunan aktivitas genioglossus) akibat tidur adalah fenomena fisiologis normal
dapat disimpulkan dari pengukuran resistensi supraglottik, resistensi aliran udara
membentang dari nares hingga regio di atas glotis pada subjek normal dimana
resistensi supraglotik meningkatkan empat kali lipat hingga lima kali lipat dengan
onset tidur (misalnya, dari 1 sampai 2 cm H2O / L /detik selama terjaga hingga 5
sampai 10 cm H2O /L /detik saat tidur). Resistensi saluran napas supraglotik secara
abnormal tinggi pada pasien dengan OSA selama terjaga dan meningkat lebih jauh
dengan onset tidur. Penurunan kaliber saluran napas atas yang terjadi dengan onset
tidur dijelaskan oleh penurunan tergantung-keadaan pada output saraf ke otot-otot
saluran napas atas, yang
menyebabkan penurunan Pmus pada satu atau lebih bagian di dalam saluran napas
faring. Rekaman EMG otot faring, seperti genioglossus dan tensor palatini,
mengkonfirmasi penurunan aktivitas otot faring selama transisi dari terjaga hingga
tidur. Penurunan output motor untuk otot faring terjadi pada tidur rapid eye
movement (REM). Dengan demikian, terdapat bukti bahwa output neuron otot
dilator faring menurun saat tidur.17
Modulasi sensori dari otot faring
Umpan balik neurosensorik dari toraks dan reseptor saluran napas bagian atas
dapat memodulasi output motorik ke otot faring. Selama tidur NREM dan anestesi
umum pada hewan, pengambilan kembali umpan balik secara fasik terkait nervus
vagal dengan oklusi trakea selama inspirasi menghasilkan augmentasi cukup besar
pada output motor ke banyak saluran napas bagian atas dan otot pemompa
inspiratori dinding dada. Adanya tekanan subatmosfir terisolasi, mulai dikenal pada
23
studi hewan tertrakeostomi didapatkan adanya pernapasan spontan saluran napas
bagian atas terkait aktivasi otot. Hal ini diyakini bahwa reseptor saluran napas atas
terletak superfisial pada dinding saluran napas terkait aktivasi refleks ini karena
tidak terjadi mengikuti pemberian anestesi topikal.17
Mayoritas respirasi saluran napas bagian atas-terkait jalur aferen berlokasi di
trakea atas dan laring dan dibawa oleh cabang internal nervus laring superior.
Informasi sensorik dari saluran napas bagian atas juga ditransmisikan oleh nervus
glossopharingeus dan nervus trigeminal. Kedua aferen sensorik intratoraks dan
saluran napas atas dapat juga mengurangi output motor ke otot-otot inspirator toraks,
sehingga meningkatkan tekanan intraluminal di bawah daerah obstruksi jalan napas.
Efek dari refleks ini pada saluran napas atas dan otot-otot pompa pernapasan dapat
mewakili mekanisme pertahanan yang kuat untuk mempertahankan patensi saluran
napas bagian atas selama tidur. Agaknya, aktivasi reflek neuron otot-otot faring oleh
saluran nafas bagian atas dan reseptor pada thorak akan diinisiasi oleh obstruksi
saluran napas bagian atas dan akan cenderung untuk mengompensasi obstruksi jalan
napas dengan mendilatasi dan membuat kaku faring, namun bukti menunjukkan
bahwa reflek terkait sistem saraf ini berguna melindungi patensi jalan napas atas
pada manusia.yang sedang tidur.17
Stres mekanik berulang pada struktur saluran napas faring dari episode
berulang apnea dan mengorok tampaknya memiliki konsekuensi neurosensorik.
Bukti menunjukkan bahwa ada kelainan saraf sensorik pada pasien dengan sleep
apnea dengan gangguan sensasi saluran napas atas, yang sebagian reversibel dengan
continuous positive airway pressure (CPAP). Selain itu, penelitian telah
menunjukkan pentingnya reflek jalan napas atas dapat meningkatkan kaliber saluran
napas bagian atas. Reflek ini diaktifkan oleh tekanan inspirasi negatif dan mungkin
dilemahkan oleh gangguan sensorik dari saluran napas bagian atas. Episode
berulang dari mendengkur dan getaran di malam hari juga diduga menyebabkan
neuropati lokal progresif. Baik abnormalitas sensori saluran napas bagian atas
maupun neuropati dapat menjelaskan perburukan progresif sleep apneu dari waktu
ke waktu.17
Stimuli kimia
24
Pernapasan terkait aktivitas otot faring fasik, yang dapat hilang selama pernapasan
yang tenang, biasanya muncul dalam kondisi hiperkapnia atau hipoksia. Dalam
kondisi peningkatan aktivitas kimia, sebagian besar otot faring menunjukkan
aktivitas inspirasi fasik yang mendilatasi dan membuat kaku jalan napas. Jalan
nafas bagian atas dan neuron motor frenikus berbeda dalam merespon hipokapnia.
Neuron motorik jalan nafas atas tampaknya memiliki ambang batas CO2 yang lebih
tinggi untuk aktivasi daripada otot pompa pernapasan. Dengan hiperventilasi pasif
pada hewan yang ditrakeostomi, divagotomi, dianestesi, aktivitas neuron motor jalan
napas atas fasik menghilang sebelum aktivitas frenikus. Ketika kadar CO2 dibiarkan
naik, aktivitas fasik pertama muncul kembali pada saraf frenikus. Transmisi yang
dihasilkan tekanan intratoraks subatmosferik saat inspirasi ke dalam jalan napas
faring, dengan tidak adanya aktivasi otot dilator faring yang simultan, meningkatkan
resiko penyempitan dan penutupan saluran napas faring. Dengan demikian,
perubahan putaran pada CO2 arteri disekitar ambang batas CO2 untuk aktivasi
neuron motorik jalan nafas bagian atas dapat menyebabkan ketidakseimbangan gaya
yang bekerja pada saluran napas faring .17
4. Perbedaan Anatomi Jalan Nafas Atas Statis pada Pasien Sleep Apnea
Kebanyakan penelitian telah menunjukkan bahwa luas penampang saluran napas
faring lebih kecil pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subjek normal,
penyempitan jalan nafas telah ditunjukkan terutama di regio retropalatal. Pengurangan
ukuran dari saluran napas faring pada pasien dengan OSA dibandingkan orang normal
secara sekunder menyebabkan pembesaran jaringan lunak sekitarnya atau pengurangan
atau perubahan struktur kraniofasial. Studi sefalometrik menunjukkan pengurangan
panjang mandibula (yaitu, retrognatia), tulang hyoid yang diposisikan inferior, dan
retroposisi maxilla pada pasien dengan OSA dibandingkan dengan subyek normal.
Pengurangan panjang mandibula, khususnya, telah terbukti menjadi faktor resiko
penting untuk obstructive sleep apneu. Selain perbedaan kraniofasial, pembesaran
struktur jaringan lunak saluran napas atas (lidah, dinding faring lateral, palatum molle,
bantalan lemak parafaringeal) juga telah ditunjukkan pada pasien dengan OSA
dibandingkan orang normal.17
25
Pencitraan dengan computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging
(MRI) telah menunjukkan kenaikan luas penampang dan dimensi palatum molle, lidah,
bantalan lemak parapharyngeal, dan dinding faring lateral pada pasien dengan OSA.
Gambar 2.10 menunjukkan penyempitan saluran napas bagian atas dan pemanjangan
palatum molle dan lidah pada pasien OSA serta menunjukkan penyempitan saluran
napas lateral pada pasien OSA dibandingkan dengan subjek yang normal. Regio
retropalatal adalah daerah primer yang paling umum mengalami penyempitan atau
penutupan selama tidur pada pasien dengan OSA, meskipun penyempitan saluran napas
atas juga bisa terjadi di regio retroglossal. Namun, sebagian besar pasien dengan OSA
memiliki lebih dari satu daerah penyempitan. Studi memeriksa perubahan terkait daerah
di saluran napas atas juga menunjukkan bahwa penyempitan saluran napas selama tidur
terjadi baik dalam dimensi lateral maupun anterior-posterior17
Gambar 2.10. A. MRI midsagital dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep
apnea (kanan). Saluran nafas bagian atas lebih kecil dan palatum molle lebih panjang
pada pasien dengan sleep apnea. Jumlah lemak subkutan (area putih di bagian belakang
leher) lebih besar pada apnea dibandingkan subjek yang normal. B. MRI aksial di area
retropalatal dari subjek normal (kiri) dan pasien dengan sleep apnea (kanan). Saluran
napas bagian atas lebih kecil (terutama menyempit dalam dimensi lateral) pada pasien
dan terdapat lemak subkutan lebih pada pasien dengan sleep apnea 17
26
Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa volume dinding faring lateral,
lidah, dan jaringan lunak total sekitar jalan nafas atas secara signifikan lebih besar pada
pasien OSA dibandingkan pada subyek normal setelah penyesuaian untuk co-variasi
termasuk jenis kelamin, usia, etnis, ukuran kraniofasial, dan lemak yang mengelilingi
saluran nafas bagian atas. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan volume
dinding faring lateral, lidah, dan jumlah jaringan lunak saluran napas bagian atas secara
signifikan meningkatkan resiko untuk OSA bahkan setelah penyesuaian untuk co-variasi
Beberapa penjelasan yang mungkin untuk pembesaran struktur jaringan lunak saluran
napas atas pada pasien OSA termasuk edema, berat badan, cedera otot, jenis kelamin,
dan faktor genetik:17
a. Edema
Tekanan negatif selama penutupan jalan napas atau trauma akibat peristiwa
apnea berulang dapat menyebabkan edema pada struktur jaringan lunak disekitar
saluran napas bagian atas. Edema ini bisa meningkatkan ukuran struktur jaringan
lunak. Palatum molle terutama beresiko untuk berkembangnya edema karena dapat
tertarik ke arah kaudal dan mudah trauma selama apnea, terjadi penurunan edema
dengan diikuti perawatan pasien ini dengan terapi CPAP. Pemetaan resonansi
magnetik kuantitatif juga menunjukkan bahwa ada edema yang lebih pada otot
genioglossus pasien OSA dibandingkan dengan subyek normal. Studi histologis juga
telah menunjukkan bahwa pasien dengan OSA edema meningkat pada uvula
dibandingkan normal subyek.17
Dukungan tambahan untuk keberadaan edema saluran napas atas adalah
observasi bahwa OSA umumnya terkait dengan kondisi yang mengakibatkan
overload cairan seperti gagal jantung kongestif dan gagal ginjal. Telah diusulkan
bahwa peningkatan tekanan vena sentral bisa meningkatkan edema dalam struktur
saluran napas bagian atas. Untuk mendukung hipotesis ini, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan tekanan positif tubuh bagian bawah dengan celana
anti-syok menyebabkan pergeseran cairan dari ekstremitas bawah, meningkatkan
tekanan vena sentral. Hal ini mengakibatkan peningkatan lingkar leher, resistensi
aliran udara faring, dan kolapsnya saluran nafas atas dan berkurangnya luas
penampang saluran napas bagian atas.17
27
b. Distribusi lemak dan berat badan
Obesitas diketahui menjadi faktor resiko penting untuk OSA. Meskipun
hubungan antara obesitas dan OSA tidak dipahami dengan baik, tampak bahwa
obesitas menurunkan ukuran jalan napas faring dan meningkatkan kolapsnya jalan
nafas. Peningkatan ukuran leher, substitusi lebih baik dari distribusi lemak saluran
napas atas daripada indeks massa tubuh (BMI), telah terbukti menjadi prediktor
yang sangat baik dari OSA. Studi pencitraan jalan napas bagian atas pada pasien
OSA dengan obesitas telah menunjukkan peningkatan jaringan adiposa subkutan
serta peningkatan jaringan adiposa sekitar jalan napas (terutama pembesaran
bantalan lemak lateral parafaringeal sehingga menggeser dinding lateral dan
mengurangi ukuran saluran napas bagian atas.17
Deposit lemak dalam lidah atau palatum molle mungkin juga menjadi penting
dalam meningkatkan ukuran struktur jaringan lunak dan mengurangi kaliber saluran
napas bagian atas. Lemak disimpan di uvula pada pasien dengan OSA, mendukung
hipotesis bahwa lemak disimpan di luar bantalan lemak parafaringeal mungkin
penting dalam patogenesis OSA. Sebuah studi otopsi volume lidah dan persentase
kandungan lemak menunjukkan bahwa persentase lemak di lidah meningkat dengan
peningkatan BMI. Hal ini juga menyatakan bahwa jumlah total lemak yang
mengelilingi saluran udara bagian atas mungkin lebih penting berkontribusi pada
pasien OSA daripada lemak yang terlokalisir dalam bagian anatomi tertentu. Tsuiki,
et al. (2008) memiliki hipotesis bahwa peningkatan volume jaringan lunak, termasuk
penumpukan lemak di ruang yang dibatasi oleh rami mandibula, meningkatkan
tekanan jaringan yang pada akhirnya akan mempersempit jalan napas.17
Selain deposit langsung lemak, berat badan bisa juga mengubah jaringan otot
yang mengelilingi saluran udara bagian atas karena tidak hanya meningkatkan
jumlah jaringan adiposa tetapi juga meningkatkan massa otot. Sekitar 25% dari
peningkatan berat badan pada pasien obesitas sekunder adalah jaringan lemak bebas.
Untuk mendukung ini, telah terbukti adalah persentase otot yang lebih besar pada
lidah pasien dengan OSA dibandingkan dengan subyek normal. Tidak diketahui
secara pasti massa otot yang meningkat ini apakah merupakan konsekuensi dari
apnea itu sendiri atau berhubungan dengan obesitas. Meskipun demikian, data
28
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan berat badan mungkin predisposisi OSA
akibat peningkatan ukuran struktur jaringan lunak otot disekitar saluran napas
bagian atas selain deposit langsung lemak di bantalan lemak parafaringeal. Jadi
meskipun obesitas telah terbukti menjadi faktor resiko penting untuk OSA, efek
khusus dari berat badan pada struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas tidak
sepenuhnya dipahami.17
c. Miopati jalan nafas bagian Atas
Pasien OSA memiliki miopati primer yang memberikan kontribusi pada pembesaran
struktur jaringan lunak saluran napas bagian atas. OSA diperkirakan terkait dengan
perubahan sifat kontraktil otot saluran napas bagian atas. Beberapa penelitian telah
menunjukkan peningkatan serat fast-twitch tipe II pada otot genioglossus pasien
OSA. Serat tipe II lebih mungkin mengalami kelelahan daripada serat tipe I oleh
karena itu, otot saluran udara bagian atas pada pasien OSA akan lebih rentan
mengalami kelelahan daripada subyek normal. Perubahan otot saluran napas bagian
atas pada pasien OSA mungkin fenomena primer atau sekunder yaitu, konsekuensi
daripada penyebab apnea. 17
d. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat memiliki efek penting pada ukuran struktur jaringan lunak
napas atas. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ukuran faring lebih kecil
pada wanita dibandingkan pada pria. Selain itu, lingkar leher lebih kecil pada wanita
dibandingkan pria, sehingga telah dihipotesiskan bahwa ukuran struktur jaringan
lunak saluran nafas atas juga lebih kecil pada wanita daripada pria.
Pada pria, lemak disimpan terutama di tubuh bagian atas dan badan, sedangkan
pada wanita itu disimpan terutama di ekstremitas bagian bawah. Terkait gender
terdapat perbedaan distribusi lemak secara keseluruhan yang menunjukkan bahwa
ukuran bantalan lemak parapharyngeal lateral mungkin lebih besar pada pria
daripada wanita. Studi Malhotra, et al. (2002) tidak menemukan signifikansi
perbedaan ukuran bantalan lemak faring lateral terkait gender namun mungkin
memiliki efek penting pada ukuran struktur jaringan lunak jalan nafas bagian atas
yang lain.
e. Faktor Genetik
29
Faktor genetik memainkan peran penting dalam menentukan ukuran struktur
jaringan lunak saluran napas bagian atas. Makroglosia telah terbukti menjadi faktor
resiko untuk OSA pada pasien dengan trisomi 21. Kelainan anatomi kraniofasial
berhubungan kuat dengan kejadian OSA, dimana elemen struktur kraniofasial dan
jaringan lunak yang mungkin diwariskan pada pasien OSA.17
Genetika molekuler OSA telah mulai diteliti menggunakan pendekatan gen
kandidat dan penjaringan seluruh genom. Penelitian gen kandidat membandingkan
frekuensi varian genetik untuk dihubungkan dengan kerentanan terhadap penyakit
dalam kelompok dengan pengidap OSA atau tanpa OSA. Gen kandidat yang telah
diperiksa dalam hubungannya dengan OSA pada manusia termasuk gen untuk
apolipoprotein E (APOE), angiotensin converting enzyme (ACE), jalur serotonergik
dan jalur leptin.18
Apolipoprotein E
Cleveland Family Study (2006) melaporkan bukti adanya hubungan dengan AHI di
dekat lokus APOE pada kromosom 19 tetapi genotip APOE tidak menjelaskan
temuan hubungan dan tidak terkait dengan status OSA. Temuan ini menunjukkan
kerentanan lokus OSA bukanlah terkait dengan APOE, tetapi dengan lokus lain yang
ada di dekatnya. Gen kandidat lain di area ini merupakan hypoxia inducible factor 3,
yang memainkan peranan dalam penginderaan oksigen.18
Angiotensin II converting enzyme
Angiotensin II, salah satu vasokonstriktor penting, juga tampaknya memodulasi
aktivitas aferen dari kemoreseptor badan karotid sehingga mempengaruhi dorongan
ventilasi. Kadar angiotensin II diregulasi oleh aksi ACE yang dikodekan oleh gen
ACE. Studi Patel et al. (2007) menggunakan data dari Wisconsin Sleep Cohort dan
Cleveland Family Study tidak menunjukkan adanya asosiasi antara genotip ACE dan
OSA, tetapi menunjukkan hubungan variasi hipertensi dengan tingkatan OSA dan
delesi alel ACE mungkin melindungi melawan hipertensi pada pasien OSA.18
Jalur serotonergik
Reseptor serotonin (5-hidroksitriptanmin [5-HT]) ditemukan pada badan karotid dan
neuron hipoglosus, termasuk pada batang otak di dekat pusat kendali pernapasan
yang penting untuk kemoresepsi. Polimorfisme pada tiga gen—SLC6A4
30
(mengodekan protein transporter serotonin yang membersihkan serotonin dari
rongga sinapsis), HTR2A (mengodekan reseptor 5-HT2A dan HTR2C (mengodekan
reseptor 5-HT2C)—masing-masing telah diselidiki atas hubungannya dengan OSA
namun keseluruhan hanya signifikan lemah dan masih berbeda antar studi.18
Pensinyalan leptin
Studi Tanskersley, et al. (1999) pada hewan menunjukkan bahwa leptin, suatu
hormon yang berasal dari adiposa yang mempengaruhi regulasi selera makan dan
pengeluaran energi, tidak hanya mempengaruhi berat badan tetapi juga memiliki
efek yang penting atas dorongan ventilasi. Efek stimulasi leptin atas respon ventilasi
hiperkapnik tampaknya diperantarai lewat melanokortin, yang diproduksi dari
prekursor poliprotein, proopiomelanokortin. Cleveland Family Study (2006)
melaporkan adanya hubungan area pada kromosom 2p yang ditempati oleh lokus
proopiomelanokortin, suatu area yang dilaporkan berhubungan erat dengan kadar
leptin serum. Jalur hipotalamik dan pituitari yang terlibat dalam pensinyalan leptin
mungkin berperan penting dalam mempengaruhi kendali ventilasi termasuk fenotip
obesitas yang relevan dengan OSA.18
5. Perubahan Fisiologis Dinamik pada Struktur Saluran Nafas Bagian Atas
Pemeriksaan sifat dinamis saluran nafas atas juga diperlukan untuk benar-benar
memahami
patogenesis
gangguan
pernapasan
terkait
tidur.
CT,
MRI,
dan
nasofaringoskopi telah digunakan untuk menguji perubahan dinamis kaliber saluran
napas bagian atas dan struktur jaringan lunak sekitarnya selama siklus pernapasan. CT
eleketron telah digunakan untuk menunjukkan bahwa perubahan ukuran saluran napas
atas selama empat tahap yang berbeda dari siklus pernapasan pada orang normal dan
pada pasien OSA. Selama inspirasi awal (tahap 1) ada peningkatan kecil pada ukuran
saluran napas bagian atas, tapi selama sebagian besar dari inspirasi (tahap 2) kaliber
saluran napas bagian atas masih relatif konstan. Temuan bahwa kaliber saluran napas
bagian atas relatif konstan selama inspirasi saat terjaga menunjukkan keseimbangan
antara kerja otot dilator saluran napas bagian atas untuk mempertahankan ukuran jalan
napas dan tekanan intraluminal negatif, yang menyebabkan penurunan ukuran jalan
31
napas. Selama ekspirasi awal, kaliber saluran napas bagian atas meningkat (tahap 3)
secara sekunder terhadap tekanan intraluminal positif (otot-otot dilator saluran napas
bagian atas tidak aktif selama ekspirasi), kaliber saluran napas atas adalah terbesar pada
ekspirasi awal.17
Telah dihipotesiskan bahwa akhir ekspirasi adalah waktu yang rentan untuk
penyempitan atau kolapsnya saluran napas bagian atas karena tidak adanya fase
aktivitas otot dilator saluran napas bagian atas (tahap 1 dan 2, selama inspirasi) maupun
tekanan positif intraluminal (fase 3, ekspirasi awal dan fase 4, akhir ekspirasi) selama
fase siklus pernapasan. Dalam investigasi tersebut, daerah faring adalah terkecil pada
akhir ekspirasi. Temuan bahwa kaliber saluran napas atas terkecil pada akhir ekspirasi
mungkin memiliki implikasi penting berkaitan dengan waktu tidur yang diakibatkan
oleh penutupan saluran napas atas. Apnea dan hipopnea selama tidur terjadi selama
inspirasi terjadi secara sekunder akibat tekanan intraluminal negatif yang dihasilkan
oleh kontraksi dinding dada. Namun, studi yang meneliti resistensi saluran napas telah
menunjukkan bahwa penutupan saluran napas pada pasien dengan OSA dapat terjadi
baik selama ekspirasi maupun inspirasi sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran
napas bagian atas rentan terhadap kolaps pada akhir ekspirasi selain kolaps pada saat
inspirasi.17
6. Neurotransmiter dan Neuromodulator yang Mempengaruhi Motoneuron Saluran Nafas
Atas
Beberapa neurotransmiter klasik dan sekelompok neurmodulator (neurokimia yang
memodulasi aktivitas neurotransmiter) menunjukkan efek langsung (dalam nukleus
motor) pada aktivitas motorneuron faring. Neurotransmiter klasik dengan efek langsung
pada nukleus motorik saluran nafas atas adalah glutamat, glisin, dan GABA. Sejumlah
neuromodulator berkembang baik pada efek pre dan post sinaps motoneuron saluran
nafas atas dan saat ini seperti asetilkolin (baik efek nikotinik dan muskarinik), adenosin,
ATP, nitrit oksida, norepinefrin, orexin, serotonin, substansi P, thyrophin-releasing
hormone (TRH), vasopressin dan saat ini, diperkirakan hanya fraksi reseptor protein G
berpasangan pada central nervous system (CNS) telah diketahui (lihat Gambar 2.11
32
untuk gambaran kunci subtipe reseptor eksitator dan inhibitor pada nukleus motor
dilator saluran nafas atas.7
Gambar 2.11. Kontrol neurokimia motoneuron saluran nafas atas. Neurokimia eksitatorik
dan inhibitorik presinaptik dan postsinaptik mempengaruhi aktivitas motoneuron saluran
nafas atas. Sejumlah subtipe reseptor eksitatorik (hijau) dan inhibitorik (merah) telah
diketahui melalui penelitian molekuler, protein, dan fisiologi. Ketika pengurangan tonus
noradrenergik dapat menyebabkan penurunan aktivitas otot dilator saat non-REM tidur,
sumber dari penurunan tonus motor saat REM tidur belum dapat dijelaskan. Banyak dari
subtipe reseptor yang telah dikenali dapat dijadikan sasaran secara farmakologi, tapi tidak
ada satupun yang spesifik terhadap otot-otot dilator faring dan efek samping yang
signifikan termasuk wakefulness telah diantisipasi selama aktivasi eksitatorik. M2,
muskarinik; α, adrenergik; 5HT, serotonin; P2X2, purigenik; GLY, glisinergik; HCRT,
hipokretinergik/orexinergik; GLU, glutamatergik; A, adenosinergik; GABA, asam γaminobutirat.7
Neurotransmiter: glutamat, glisin, dan GABA
Waktu yang tepat untuk koordinasi dari perilaku kompleks yang cepat, seperti
menelan, berbicara, atau pelebaran saluran nafas atas sebelum inspirasi dan
menghasilkan
tekanan
negatif
intraluminal,
memanfaatkan
onset
cepat
atau
berimbangnya neurotransmiter eksitatorik, glutamat, dan neurotransmiter inhibitor,
GABA dan glisin. Reseptor untuk neurotransmiter eksitatorik primer berupa α-amino-3hidroksi-5-metil-4-asam propionik isoksasol (AMPA), kainite (KA), dan N-metil-δ-
33
aspartat (NMDA). Subtipe reseptor spesifik tuntuk setiap kelompok reseptor glutamat
telah dikenali pada motoneuron batang otak. Tapi, peranan relatif untuk setiap subtipe
reseptor pada motoneuron eksitatorik dan premotoneuron baru saja diteliti. Beberapa
dari subtipe reseptor ini secara cepat dapat didesensitisasi dengan aktivasi terus menerus dan/atau perubahan redoks, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut
dalam mempelajari peristiwa apnea sepanjang malam. Sebagai tambahan terdapat aksi
cepat glutamat pada reseptor inotropik, glutamat sebagai neuromodulator eksitatorik
pada jalur reseptor metabotropik.7
GABA dan glisin merupakan neurotransmiter inhibitor primer yang berkerja
pada motoneuron, dan GABAa fungsional serta reseptor glisin terbukti pada banyak
motoneuron dilator saluran nafas atas. Glisin berperan penting pada atonia postural
REM tidur, tetapi peranan GABA dan glisin pada atonia motoneuron hipoglosal masih
kontroversial. Morrison, et al. (2003) meneliti kontribusi relatif GABA dan glisin pada
otot genioglosus yang menyebabkan tidur spontan pada tikus dewasa pada injeksi
kronik
nukleus
hipoglosus.
Antagonis
dari
kedua
neurotransmiter
inhibitor
meningkatkan aktivitas neuron dasar tetapi tidak menunjukkan peningkatan khusus pada
REM tidur, hal ini menunjukkan tidak ada neurotransmiter yang berefek signifikan pada
atonia otot genioglosus pada REM tidur spontan. Pada studi klinis, ada penelitian
tentang efek strychnine (antagonis glisin) pada aktivitas otot genioglosus dan tensor
veli palatini pada pasien OSA. Pada kasus ini, strychnine meningkatkan aktivitas tensor
veli palatini dan juga meningkatkan aktivitas genioglosus terkait dengan tekanan
oksigen arteri. Beberapa jam tidur (dengan efek obat maksimum), apnea diakhiri dan
usaha ventilatorik berangsur-angsur teratur. Sehingga glisin tidak memilikki efek
signifikan pada supresi respiratorik terkait tidur pada hewan tanpa saluran nafas yang
kolaps, tetapi pada manusia OSA, peran dari glisinergik pada sleep-related supression
pada tonus otot mungkin sebagai target farmakologi pada sleep apnea memerlukan
penelitian lebih lanjut. Dapat digambarkan bahwa reseptor glisinergik pada motoneuron
saluran nafas atas dapat diubah dengan terapi gen pada otot-otot faring tanpa
mengganggu fungsi faring yang lain.7
Neuromodulator
34
Serotonin. Serotonin merupakan modulator terkuat aktivitas motoneuronal dan
mungkin perannya dapat teridentifikasi dengan baik pada aktivitas motoneuron saluran
nafas atas. Aktivitas neuron yang menjalankan neuromodulator ini di otak memiliki
kadar tertinggi dalam wakefulness, kadarnya dikurangi pada NREM tidur, dan neuronneuron ini reaktif dorman pada REM tidur. Leszek Kubin (1992) berhipotesis bahwa
pengurangan aktivitas otot-otot dilator saluran nafas atas mungkin akibat penurunan
sleep-state dependent dalam proses pengiriman serotonin pada motoneuron dilator. Pada
kucing yang telah divagotomisasi dan dideserebrasi, terdapat tonus serotonergik
endogen pada motoneuron hipoglosus. Richard Horner (2005) menyatakan aktivitas
serotonergik intrinsik yang signifikan pada nukleus hipoglosus tikus yang dianestesi dan
divagotomisasi tapi juga ditemukan sedikit eksitasi serotonergik intrinsik pada tikus
yang sadar. Vagotomi meningkatkan tonus serotonergik pada nukleus hipoglosal dan
aktivitas genioglosus; sebaliknya, pada tikus dewasa dengan vagi yang intak, ada sedikit
tonus serotonergik. Sehingga hewan tanpa obstruksi saat tidur tidak memilikki 5HT
endogen yang menyebabkan tonus motoneuronal saluran nafas atas berkurang,
sedangkan kemampuan 5-HT eksogen untuk memperbesar aktivitas saraf atau otot
saluran nafas atas.7
Terapi serotonergik untuk OSA, penting untuk mengetahui dimana aktivasi dari
bermacam subtipe reseptor 5-HT dapat berdampak pada usaha ventilasi otot-otot saluran
nafas atas dan ventilasi secara keseluruhan. 5-HT juga memilikki efek langsung pada
premotoneuron medula. Aktivasi subtipe reseptor 5-HT2 dengan aplikasi iontoforetik
dari α-metil-5-HT mendepolarisasi neuron ekspiratori dan post inspiratori medula, yang
mengakibatkan penurunan aliran potasium postsinaps yang persisten. Pemberian
sistemik dari agonis 5-HT1A, 8-OH DPAT, meningkatkan usaha respiratori, sementara
ventilasi dapat ditekan oleh obat antagonis 5-HT1A dan efek ini dimediasi secara sentral.
Seperti 5-HT2A, aktivasi 5-HT1A mengakibatkan wakefulness. Sehingga agonis 5-HT1A
dapat berguna dengan supresi anestesi dan analgetik dari ventilasi tetapi mungkin akan
mengganggu tidur jika diberikan pada pasien sleep apnea. Daerah pre-Botzinger
mengandung neuron untuk generator pola pernafasan pada mamalia, dan di daerah ini,
5-HT dapat mempengaruhi usaha ventilatorik. Dalam generator ritme respiratorik ini, 5HT1AR merupakan 5-HTR predominan.7
35
Agonis 5-HT1AR yang digunakan secara langsung pada neuron ritme respiratorik
menekan apnea dan menyebabkan pola perpanjangan beban inspirasi. Pola pernafasan
ini dapat terjadi pada keadaan overdosis barbiturat, dan agonis 5-HT1AR, seperti
buspiron, agonis 5-HT1AR parsial, dapat mengubah apnea terinduksi obat namun, agonis
parsial ini tidak mengubah supresi respiratorik terinduksi narkotik pada manusia.
Blokade farmakologi dari 5-HT4R dalam daerah pre-Botzinger juga mempengaruhi
ventilasi secara langsung. Antagonis selektif 5-HT4R, CB113808, menginduksi apnea
sentral ketika dinjeksikan ke dalam daerah pre-Botzinger, sementara agonis selektif,
BIMU8, meningkatkan usaha respiratorik dan yang lebih penting dapat mengubah apnea
terinduksi narkotik tanpa menghilangkan efek analgesik dari narkotik. Sehingga agonis
5-HT4R dapat berguna dalam mengatur supresi ventilatorik terinduksi opioid, tetapi juga
dapat memilikki potensi untuk supresi ventilatorik terinduksi sedatif dan terinduksi
tidur. Subtipe 5-HTR ketiga dengan aktivtas di daerah pre-Botzinger yang
mempengaruhi pernafasan abnormal adalah 5-HT2AR yang berperan pada postischemic
gasping dan perbaikan usaha ventilatorik yang tertekan, sehingga aktivasi 5HT2AR dapat
meningkatan tonus dilator saluran nafas atas, agonis 5-HT2AR mungkin tidak aman dan
dapat diterima.7
Efek 5-HT1A pada ventilasi ada pada beberapa daerah tambahan dalam sistem
saraf pusat (SSP). Di hipotalamus, ada efek 5-HT1A sebagai respon ventilatorik terhadap
hipoksia. Di sini, aktivasi 5-HT1AR menghambat peningkatan respon ventilasi terhadap
hipoksia. Efek ini juga diamati dengan senyawa 5-HT7. Aktivasi 5-HTR pada nukleus
traktus solitarius pada tikus meningkatkan frekuensi ventilatorik. Lebih lanjut aktivasi
5-HT1A pada neuron respiratorik ventral, yang digambarkan diatas, ada juga efek
eksitatorik dari aktivasi 5-HT1AR pada motor dorsal nukleus vagal. Khususnya,
pemberian agonis 5-HT1A, 8-OH DPAT pada nukleus motor dorsal meningkatkan
ventilasi tanpa mengubah aktivitas motoneuronal saluran nafas atas.7
Agen serotonergik mempunyai efek ventilatorik signifikan dalam SSP, 5-HT yang
digunakan pada nodus ganglion menekan respirasi dan menyebabkan apnea. Pemberian
antagonis 5-HT3, ondansentron, pada tikus normal menurunkan jumlah central sleep
apneic, dan efek ini jelas merupakan efek perifer, yang konsisten dengan aktivasi nodus
ganglion. Pemberian oral antagonis 5-HT3 pada anjing bulldog menurunkan jumlah
36
sleep-disordered breathing pada REM tidur, tanpa mempengaruhi NREM tidur. Oleh
karena itu, antagonis 5-HT3 mungkin efektif dalam mengurangi REM tidur pada
beberapa pasien dengan OSA dengan rasa kantuk namun uji coba kllinis terbaru pada
pasien OSA tidak melihat secara keseluruhan efek ondansentron.7
Noepinefrin. Norepinefrin memiliki sejumlah kemiripan dengan 5-HT sebagai
neuromodulator dari fungsi motoneuronal dan juga memiliki sejumlah perbedaan.
Seperti 5-HT, norepinefrin memilikki efek eksitatorik pada fungsi nervus hipoglosus
ketika diteruskan ke nukleus hipoglossus, dan seperti 5-HT, neuron noradrenergik
menunjukkan penurunan firing rates pada NREM tidur dan relatif dorman pada REM
tidur. Motoneuron hipoglossus diinervasi oleh kelompok noradrenergik A7, yang
menunjukkan stadium ketergantungan yang sama. Sebaliknya efek minimal 5-HT
endogen pada nukleus hipoglosus hewan yang ditidurkan secara spontan, norepinefrin
endogen mengakibatkan tonus genioglosus saat terjaga dan saat NREM tidur.
Mikroinjeksi antagonis noradrenergik ke dalam nukleus hipoglosus menurunkan
aktivitas otot genioglosus sebanyak 25-50%, yang mendukung tonus noradrenergik
intrinsik pada nukleus motor hipoglosus pada saat bangun dan NREM tidur. Sebaliknya,
saat REM tidur, antagonis noradrenergik tidak berefek, yang menunjukkan bahwa saat
REM tidur, ada sedikit tonus adrenergik di nukleus hipoglosus. Lebih lanjut,
norepinefrin berefek pada beberapa reflek penting saluran nafas atas, sementara 5-HT
tidak teramati. Tonus β-adrenergik berefek pada respon motoneuronal baik kemorefleks
atau refleks trigeminal dan reflek nervus laringeal superior. Apakah tonus noradrenegik
pada nukleus motor dilator saluran nafas atas berefek pada refleks tekanan negatif
pernafasan harus diperiksa, dan pemeriksaan ini harus mencakup, tidak hanya pada
hipoglosus, tetapi juga respon motorik nervus trigeminal dan fasialis. Satu-satunya
subtipe mRNA yang diekspresikan pada motoneuron hipoglosus adalah reseptor α1B.
Signifikansi fungsional dari reseptor α1B telah dikembangakan sebagai efek kuat
eksitatorik yang muncul dalam kondisi basal baik pada motoneuron hipoglosus dan
trigeminal. Sehingga agonis α1B dapat berperan pada pasien dengan NREM tidur ringan
yang predominan untuk sleep apnea.7
Adenosin dan ATP. Pada OSA (melalui hipoksia) diharapkan terjadi perubahan
motoneuronal dan kadar purin ekstraseluler, sehingga mengurangi ATP dan
37
meningkatkan adenosin. Adenosin memodulasi aktivitas motoneuronal, dimana efek
dari injeksi adenosin pada nukleus hipoglosus menekan aktivitas motoneuronal
hipoglosus. Efek hiperpolarisasi diperantarai melalui reseptor adenosin A1 dan dianggap
mengurangi glutamatergic signaling, terbukti reduksi amplitudo eksitatorik post
sinaptik yang terinduksi agonis A1. Seperti adenosin, ATP memodulasi neurotransmisi
glutamatergik. Farmakologi dari neuromodulasi ATP melibatkan > 18 gerbang ion dan
subtipe reseptor protein G berpasangan, dan hanya sedikit yang diteliti pada motoneuron
dilator saluran nafas atas. Funk et al. (1997), meneliti efek neuromodulatorik ATP pada
aktivitas motoneuronal hipoglossal baik pada medula dan tikus dewasa yang dianestesi,
menunjukkan efek eksitatorik pada kedua kelompok. Efek eksitatorik ini diperantarai
sebagian oleh subtipe resptor ATP P2X2 pada motoneuron hipoglossus. Modulasi
eksitatorik juga diamati pada motoneuron frenicus; namun, efek ini lebih komplek dan
diikuti oleh inhibisi sekunder dari motoneuron frenicus, yang menunjukkan keterlibatan
dari reseptor kolinergik yang lain.7
Asetilkolin. Asetilkolin (Ach) diinjeksi secara langsung pada nukleus hipoglossus
secara nyata menekan aktivitas nervus hipoglossus pada medula dan aktivitas otot
genioglosus pada tikus dewasa yang dianestesi. Sementara efek keseluruhan adalah
inhibitorik, aktivasi dari neuron kolinergik pontomeduler dapat mengaktivasi atau
menekan motoneuron hipoglossus. Aktivitas inhibitorik ACh intrinsik didukung oleh
pemberian inhibitor asetilkolinesterase pada nukleus hipoglossus menekan aktivitasnya.
Neuron kolinergik pons dan serebrum kurang aktif pada NREM tidur, paling aktif pada
REM tidur, dan memilikki aktivitas sedang pada wakefulness. Sleep state depedency
dari neuron kolinergik medula yang menginervasi motoneuron batang otak belum
dideskripsikan lebih lanjut. ACh menargetkan dua kelompok reseptor yang berbeda:
reseptor muskarinik dan nikotinik. Efek inhibitorik dari ACh dari motoneuron
hipoglossal adalah muskarinik dan dapat dihambat dengan antagonis muskarinik,
atropin. Efek inhibitorik muskarinik kemungkinan menekan pelepasan glutamat
presinaptik. Penekanan muskarinik dari aktivitas hipoglossal mungkin merupakan suatu
mekanisme penting yang dimiliki morfin untuk menekan aktivitas otot genioglosus,
dimana injeksi morfin ke dalam nukleus hipoglossal meningkatkan pelepasan ACh, dan
peningkatan setempat menyebabkan penekanan aktivitas nervus hipoglossus. Namun,
38
ada juga efek eksitatorik dari ACh melalui aktivasi reseptor nikotinik yang dihalangi
oleh efek muskarinik yang berlebihan. Subtipe reseptor nikotinik seperti subtipe
reseptor α4β2 dan α7. Pada pengamatan klinis secara signifikan terdapat desensitasi
cepat dari reseptor nikotinik di nukleus hipoglossus dalam hitungan menit.7
Beberapa penelitian yang meneliti efektivitas nikotin terhadap gejala obstruksi
pada pasien dewasa. Pada studi Zaphin et al (2003), nikotin transdermal mengganggu
tidur tanpa perbaikan frekuensi dari pernafasan yang tersumbat, hal ini menunjukkan
pengobatan antikolinesterase dapat meningkatkan OSA. Studi Moraes, et al (2008)
mendapakan Donepezil, inhibitir antikolinesterase secara substansial mengurangi OSA
dan waktu desaturasi oksihemoglobin pada pasien dengan Alzheimer dan efeknya
sangat nyata pada pasien dengan sleep apnea yang berat namun, apakah potensi terapi
kolinergik ini direplikasi dan apakah hal ini akan efektif pada pasien OSA harus diteliti
lebih lanjut.7
Hipocretin (Orexin-A). Pada keadaan tertentu, oreksin berperan penting dalam
kontrol motorik, seperti yang dibuktikan oleh katapleksi dan peningkatan sleep
paralysis pada pasien dengan narkolepsi. Neuron oreksinergik terdapat pada soma dan
dendrit motoneuron trigeminal dan hipoglossus, dan neuron ini, seperti kelompok
monoaminergik, menurunkan aktivasi c-fos pada NREM dan REM tidur; namun, seperti
ACh, kadar dari oreksin di nukleus motor terbesar saat bangun dan REM tidur. Peever,
et al (2003) meneliti efek hipokretin-1 dan -2 yang diberikan ke dalam nukleus motor
trigeminal dan nukleus hipoglossus terhadap aktivasi otot masseter dan genioglossus.
Kedua peptida meningkatkan aktivitas elektromiografik masseter melalui magnitude
yang sama, tetapi hanya hipokretin-1 yang meningkatkan aktivitas genioglossus. Efek
dari hipokretin-1 lebih lama. Penghambatan transmisi glutamat melemahkan efek
eksitatorik hipokretin di dalam nukleus motorik. Sehingga penurunan oreksin di nukleus
motor saluran nafas atas saat NREM tidur dapat menekan aktivitas dilator saluran nafas
atas saat NREM tidur, tetapi hal ini tidak diharapkan berefek pada atonia REM tidur
pada otot-otot ini.7
Neuropeptida. Lebih lanjut tentang neurotransmiter dan neuromodulator, banyak
neuropeptida memodulasi aktivitas motoneuron batang otak. Beberapa neuromodulator
ini efek eksitatorik yang signifikan. Vasopresin melekat pada reseptor V1A motoneuron
39
fasial dan hipoglossus serta dapat mendepolarisasi membran. Neuropeptida ini dapat
berperan pada hewan yang baru lahir dan usia muda, dimana kepadatan reseptor
berbanding terbalik dengan usia. Substansi P yang melekat pada reseptor natural killer1 (NK-1) terbukti berada pada nukleus hipoglossus, dimana binding sites menurun
dengan adanya hipoksia intermiten. Agonis substansi P (NK-1) yang diberikan pada
motoneuron hipoglossus meningkatkan amplitudo fasik. Gatti et al (1998) menunjukkan
bahwa terminal substansi P mengikat protrusor motoneuron di dalam nukleus
hipoglossus. Oxytocin binding sites ada pada motoneuron hipoglossus, tetapi peran
fisiologi dari daerah ini belum dikembangkan. Histamin merupakan neuromodulator
eksitatorik yang meningkatkan neurotransmiter saat pasien sadar. Fungsi neuropeptida
ini membutuhkan penelitian lanjutan sebagai target farmakoterapeutik pontensial untuk
OSA.7
7. Hubungan Faktor Anatomi dan Neurologik pada Penutupan Saluran Nafas Faringeal
selama Tidur: Model Sistematik
Keseluruhan keseimbangan tekanan saluran nafas dan Pmus dihasilkan oleh otototot saluran napas bagian atas untuk orang normal dan pasien dengan OSA digambarkan
pada Gambar 2.12, di mana keseimbangan balok menggambarkan efek penetralan
tekanan luminal dan Pmus faring, dan sudut keseimbangan menunjukkan daerah lumen
faring. Posisi titik tumpu ditentukan oleh karakteristik mekanik saluran napas atas. Pada
orang normal dengan kondisi terjaga, nilai-nilai yang setara dari tekanan luminal negatif
dan Pmus menyebabkan saluran napas bagian atas mengalami dilatasi secara luas karena
patensi anatomi saluran napas bagian atas; yaitu, titik tumpu bergeser ke sebelah kiri
pusat. Sebaliknya, kelainan anatomi (peningkatan ukuran struktur jaringan lunak saluran
napas bagian atas atau pengurangan panjang mandibula) pada pasien dengan OSA
menggeser posisi poros keseimbangan bergeser ke sebelah kanan pusat, pada kondisi
ini, bahkan adanya peningkatan aktivitas otot saluran napas atas dan tekanan udara
intraluminal normal (yang mungkin terjadi selama terjaga), saluran nafas faring masih
lebih kecil dari normal.17
40
Gambar 2.12. Model skema menjelaskan patensi jalan napas faring, menunjukkan
aktivitas otot saluran napas bagian atas (UA) dan tekanan saluran napas pada kedua sisi
titik tumpu yang mewakili sifat mekanik intrinsik dari saluran napas bagian atas pasif
(yaitu, anatomi saluran napas atas). Titik tumpu subjek sleep apnea (B dan D) bergeser
ke sisi kanan dari subyek normal (A dan C).17
Pada subjek normal, tidur dikaitkan dengan penurunan area luminal faring karena
penurunan aktivitas otot saluran napas bagian atas disebabkan tidur dan persistensi
tekanan luminal subatmosfir selama inspirasi. Ini berarti bahwa saluran napas bagian
atas menyempit saat tidur dibandingkan dengan terjaga namun tetap paten. Namun,
pasien dengan OSA didapatkan penyempitan saluran napas yang signifikan dan
penutupan saat tidur karena tidur menyebabkan hilangnya aktivitas saluran napas atas.
Meskipun tidak ada keraguan bahwa tidur berhubungan dengan penurunan aktivitas otot
faring pada subjek normal dan pasien OSA, pertanyaan mendasar mengenai patogenesis
OSA adalah apakah penurunan output motor merupakan kunci abnormalitas atau adanya
penyempitan pasif faring secara abnormal yang merupakan kunci dari perubahan
patogen. Beberapa hipotesi mencoba menjelaskan hal tersebut yaitu, hipotesis neural
dari patogenesis oklusi saluran napas pada pasien dengan OSA, dan yang terakhir
sebagai hipotesis anatomi 17
41
a. Hipotesis neural
Tidak ada bukti saat ini yang menunjukkan eksistensi dari kelainan saraf
primer pada pasien OSA, tapi hal ini mungkin mencerminkan ketidakmampuan kita
untuk mengukur dan membandingkan perubahan dari kondisi terjaga hingga tidur
diantara populasi pasien OSA dan orang normal. Setiap kompensasi neuromuskular
dapat membantu menjaga patensi saluran udara selama kondisi terjaga. Kehilangan
aktivitas otot faring saat onset tidur menyebabkan penyempitan faring menjadi lebih
berat karena tekanan intraluminal turun saat inspirasi. Apakah tingkat aktivasi
neuromuskular berterkait dengan keadaan tidur pada pasien dengan OSA berkurang
secara abnormal atau aktivitasnya menurun terkait tidur normal masih tetap menjadi
pertanyaan. Bukti menunjukkan, bahwa respon genioglossus untuk hiperkapnia pada
subyek normal dilemahkan oleh berkurangnya tidur. Penurunan serupa pada output
motor untuk otot faring pada pasien dengan OSA dihasilkan dari fragmentasi tidur
selanjutnya hal tersebut mengurangi aktivasi otot faring. Selain itu, mungkin ada
kelainan sensorineural pada saluran napas bagian atas yang menyebabkan sleep
apnea.17
b. Hipotesis anatomik
Adanya penemuan tekanan penutupan faring lebih tinggi pada kondisi paralisis pada
pasien OSA yang dianestesi dibandingkan dengan orang normal memberikan bukti
kuat adanya independensi dari faktor neuromuskuler, perubahan struktural pada
saluran nafas atas berkontribusi secara signifikan terhadap patogenesis OSA. Selain
itu, telah dibuktikan bahwa volume lidah, dinding faring lateral, dan jumlah jaringan
lunak yang tidak hanya lebih besar pada pasien OSA dibandingkan orang normal,
tetapi juga bahwa pembesaran volumetrik struktur ini meningkat secara signifikan
meningkatkan resiko OSA. Jadi kelainan pada anatomi saluran napas bagian atas
jelas penting dalam patogenesis OSA.17
42
E. OSA dan Penyakit Kardiovaskuler
1. Efek Akut dari Apnea Tidur pada Sistem Kardiovaskuler
a. Efek hemodinamik sentral
Episode OSA menghasilkan desaturasi oksigen arteri, hiperkarpnia, osilasi
tekanan intratoraks, dan pada kebanyakan kasus, gangguan tidur (Gambar 2.12).
Tekanan intratoraks negatif yang tinggi dihasilkan selama usaha inspirasi yang
tersumbat menghasilkan penurunan sementara pada volume sekuncup ventrikel kiri.
Regangan inspirasi juga menghasilkan sedikit penurunan sementara pada tekanan
arteri sistemik. Keluaran jantung turun selama apnea obstruktif, terjadi sekunder
akibat volume sekuncup yang menurun dan juga terhadap penurunan laju jantung.7,19
Gambar 2.12. Campuran (tipe sentral dan obstruktif) sleep apneas menstimulasi
eksitasi simpatis dan peningkatan tekanan darah secara transien. Peso, esophageal
pressure; Sat, saturation 7
Terjadinya apnea menginduksi penurunan volume sekuncup dan nadi yang
menghilang secara mendadak, menyebabkan resistensi pembuluh darah perifer
dikarenakan peningkatan aliran vasomotor simpatis sehingga periode postapnea
segera dicirikan peningkatan sementara dari tekanan arteri sistemik. Respons
43
penekan ini disebabkan oleh aktivasi sistem saraf simpatis karena dapat dihilangkan
dengan blokade ganglion. Penelitian menggunakan oksigen tambahan menunjukkan
bahwa stimulasi kemoreseptor karotis oleh asfiksia (dikombinasikan hipoksia dan
hiperkapnea) merupakan penyebab yang paling penting dari simpatoeksitasi
terinduksi apnea dan peningkatan tekanan darah. Sebaliknya, pengaruh mekanis
pada tekanan intratoraks negatif memainkan sedikit atau tidak ada sama sekali peran
dalam menyebabkan tekanan yang dimediasi simpatis sebagai respon terhadap
apnea.7,19
b. Sirkulasi perifer
Perubahan hemodinamik pada sirkulasi perifer lebih ringan dibanding pada sirkulasi
hemodinamik sentral dikarenakan respon serebrovaskuler terhadap hiperkapnia.
Vasokonstriksi terinduksi apnea telah teramati pada lengan bawah dan jari pada
pasien OSA. Penemuan ini mengejutkan karena paparan akut hipoksia dan
hiperkapnia menyebabkan vasodilatasi pada kebanyakan pembuluh darah namun hal
ini dapat dijelaskan bahwa paparan asfiksi berulang, sepanjang waktu, menghasilkan
perubahan pada mekanisme dasar neuron dan resistensi kontrol pembuluh darah
lokal7,19
c.
Sirkulasi serebral
Sirkulasi serebral sangat sensitif dengan perubahan pada PaO2 dan PaCO2
karenanya, episode OSA berefek sangat besar pada aliran pembuluh darah serebral.
Aliran darah serebral meningkat secara progresif selama apnea, diikuti oleh
penurunan tiba-tiba pada periode hiperventilasi post apnea. Pola osilasi pada aliran
darah serebral ini ditentukan terutama oleh fluktuasi pada PaCO2, peningkatan
tekanan arteri terinduksi apnea hanya memiliki kontribusi kecil. Osilasi aliran darah
serebral ini, melalui pengaruhnya pada pengeluaran CO2 dari kemoreseptor sentral,
mungkin menghasilkan instabilitas pernapasan selama tidur7
d. Sirkulasi pulmoner
Selama episode OSA, osilasi pada PaO2 menghasilkan suatu pola siklik pada
vasokonstriksi dan relaksasi pada sirkulasi pulmoner yang menyebabkan fluktuasi
tertentu pada tekanan arteri pulmoner. Fluktuasi ini disebabkan oleh efek pembuluh
44
darah lokal pada hipoksia dan hipoksemia alveolar, hal tersebut dapat dihilangkan
dengan suplementasi oksigen.7
e. Efek kardiovaskuler dari terbangun
Kebanyakan episode OSA disertai dengan terbangun dari tidur. Gangguan tidur
sendiri meningkatkan aktivitas saraf simpatis dan tekanan darah dan terbangun
tampaknya memperkuat efek asfiksia selama sleep apnea. Perubahan pada stadium
tidur berkontribusi secara sinergis terhadap vasokonstriksi simpatis dan peningkatan
tekanan darah akut yang disebabkan oleh apnea7
2. Patofisiologi OSA terkait dengan Penyakit Kardiovaskuler
Apnea obstruktif berulang mengekspos jantung dan sirkulasi ke kaskase stimuli
berbahaya, dari waktu ke waktu, dapat memulai atau berkontribusi pada perkembangan
gangguan kardiovaskular6
a. Tekanan intrathorak negatif
Sebuah fitur unik dari OSA adalah tekanan intratoraks negatif berlebihan
selama upaya inspirasi yang sia-sia terhadap faring yang tersumbat. Hal tersebut
segera meningkatkan tekanan transmural left ventricle / LV (yaitu, tekanan
intraventrikular dikurangi intrathorak), elemen kunci dari afterload LV. Hal ini juga
meningkatkan aliran balik vena, menambah preload ventrikel kanan, OSA juga
menginduksi vasokonstriksi pulomonal hipoksia meningkatkan afterload ventrikel
kanan. Berakibat distensi ventrikel kanan dan perpindahan septum ke kiri selama
gangguan diastole pengisian LV. Kombinasi dari peningkatan afterload LV dan
berkurangnya preload LV selama apnea obstruktif menyebabkan penurunan
progresif pada stroke volume dan curah jantung yang lebih dikenal pasien dengan
disfungsi sistolik LV dibandingkan pada mereka dengan fungsi LV normal.
Peningkatan tekanan transmural LV juga meningkatkan kebutuhan oksigen miokard,
sementara secara bersamaan memicu penurunan aliran darah koroner, apnea-terkait
hipoksia mengurangi suplai oksigen dan meningkatkan lalu lintas saraf simpatis
eferen. Bersama-sama, mekanisme ini dapat memicu iskemia miokard dimana
45
mereka yang sebelumnya sudah ada penyakit koroner dan merusak kontraktilitas
jantung dan relaksasi diastolik. Aliran darah serebral juga menurun secara signifikan
selama apnea obstruktif sebagai efek sekunder terhadap penurunan curah jantung.6
Beberapa bulan hingga tahun, pengulangan ini meningkatkan tegangan dinding
dapat merangsang berbagai proses termasuk pemulihan ventrikel, menghasilkan
hipertrofi LV konsentris atau septum asimetris atau dilatasi ventrikel. Yang terakhir
mungkin diperburuk ketika proses remodeling yang tidak cocok aktif, seperti setelah
infark miokard. Ayunan tekanan intratoraks negatif selama obstruktif juga
meningkatkan stres dinding atrium dan aorta intrathorak, sehingga meningkatkan
kemungkinan aritmia atrium nokturnal dan diseksi aorta.6
b. Disregulasi autonomik
OSA segera memunculkan baik simpatis berlebih dan penarikan parasimpatis.
Sistem saraf simpatik diaktifkan secara bersamaan oleh siklus apnea yang diinduksi
hipoksia dan retensi CO2 merangsang baik kemoreseptor pusat maupun perifer,
apnea menginduksi inhibisi penghambatan reseptor regangan pulmonal yang
diakibatkan aliran simpatik sentral, dan menghilangkan input simpatoinhibitori dari
baroreseptor sinus karotis dengan penurunan stroke volume dan tekanan darah
selama apnea obstruktif.6 Sedangkan periode arousal setelah apnea dan intermiten
hipoksia menyebabkan peningkatan peroksidase lipid dan formasi dari stes oksidatif
3-nitrotirosin pada karotis bodi, selain itu reaktif nitrogen spesies memberikan
kemoreseptor dan reflek ventilator teraktivasi, terjadi peningkatan simpatis hal ini
menyebabkan peningkatan darah dan tekanan nadi.6,20,21
Efek samping akut OSA pada sistem saraf otonom tidak terbatas untuk tidur.
Pasien dengan OSA dan disfungsi jantung juga mengalami peningkatan efferent
symphatetic nerve activity (SNA) dan penurunan aktivitas vagal jantung saat terjaga.
Pembalikan OSA oleh continuous positive airway pressure (CPAP) menurunkan
SNA dan meningkatkan modulasi vagal jantung dari variabilitas denyut nadi tinggi
baik di malam hari maupun selama terjaga. Mekanisme untuk efek pada siang hari
masih belum jelas, tetapi mungkin berhubungan dengan adaptasi reflek
kemoreseptor atau proses sentral yang mengatur aliran otonom.6
46
Pengambilan kembali vagal jantung meningkatkan denyut nadi dan
mengurangi variabilitas denyut nadi pada frekuensi tinggi (yaitu, aritmia sinus
pernapasan). Yang nantinya menimbulkan efek yang merugikan, termasuk malignan
aritmia. Aktivitas berlebih simpatis juga bertindak untuk meningkatkan denyut nadi,
ini merugikan, meskipun bukan penanda non spesifik prognosis, namun hal tersebut
dapat memperburuk prognosis khususnya pasien CVD dikarenakan menyebabkan
desensitisasi cardiac β-adrenoreseptor, aritmia, cedera miosit dan nekrosis, dan
vasokonstriksi perifer (yang mengarah kepada peningkatan afterload dan tekanan
darah), dan menyebabkan retensi natrium ginjal, baik langsung maupun melalui
stimulasi jalur renin-angiotensin-aldosteron.6
c. Stres oksidatif, inflamasi dan disfungsi endotel
Hipoksia
terkait-apnea
intermiten
dan
reoksigenasi
postapnea
dapat
menginduksi stres oksidatif dengan produksi jenis oksigen reaktif, dan aktivasi
mediator inflamasi yang mampu merusak fungsi endotel vaskuler dan menyebabkan
aterosklerosis.22 OSA dihubungkan dengan peningkatan mediator inflamasi dan
regulasi adhesi molekul dalam endotel pembuluh darah. Jumlah intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1), vaskular cell adhesion-1(VCAM-1) dan E-selectin
meningkat pada OSA. Cell adhesion molecule dianggap berperan penting dalam
gangguan pembuluh darah seperti aterosklerosis. CPAP terapi pada OSA dapat
menekan ekspresi dari Cell adhesion molecule. Peningkatan C-reactive protein
(CRP) plasma, leukosit dan sollubel adhesion molecules diduga menimbulkan
inflamasi kronik pada OSA. Penumpukan dan perlengketan leukosit ke endotel
pembuluh darah memicu inflamasi sehingga terjadi aterosklerosis.9,19
Pasien dengan OSA memiliki konsentrasi plasma nitrat rendah dan kadar
penanda stres oksidatif tinggi, hal tersebut dapat reversibel oleh CPAP. Hipoksia
intermiten mengaktivasi faktor inti NK-B (nucleus kappa beta), merangsang
produksi mediator inflamasi (seperti TNF dan IL-1β) dan beberapa molekul adhesi
intraseluler dan sel vaskuler, hal ini bisa memfasilitasi kerusakan endotel dan
atherogenesis. Adanya kerusakan endotel dan mediator inflamasi akan merangsang
kemoreseptor pada karotis bodi sehingga terjadi perangsangan nukleus solitari
sehingga terjadi peningkatan ventilasi dan peningkatan tekanan darah, dimana
47
peningkatan ventilasi akan merangsang bertambahnya hipoksia intermiten.20,22,23
Pada subjek dengan OSA, vasodilatasi-tergantung endothelium terganggu dan dalam
percobaan random, mengobati OSA dengan CPAP memperbaiki vasodilatasi baik
tergantung dan atau tidak tergantung endothelium tanpa mengurangi peradangan
biomarker plasma.22 Butt, et al. (2011) baru-baru ini melaporkan bahwa pasien sehat
dengan OSA mengalami kerusakan perfusi miokard yang diperbaiki dengan
CPAP.24 Studi Berger dan Lavie (2011) menyimpulkan peningkatan apoptosis dari
sel endotelial dan sel progenitor endotel yang lebih sedikit pada pasien OSA dapat
berkontribusi untuk proses ini.25
Karakteristik disfungsi endotel berupa ketidakseimbangan produksi hormon,
peningkatan mediator inflamasi, hiperkoagulasi yang merupakan faktor resiko
penyakit
kardiovaskular.
namun
paradigma
mekanis
bahwa
OSA
dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskular belum sepenuhnya dapat dijelaskan salah
satu mekanisme melalui jalur yang beragam seperti hipoksemia, produksi reactive
oxygen species (ROS) dan aktivasi simpatis. Disfungsi endotel dapat menyebabkan
vasokonstriksi, proliferasi otot polos pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, trombosis
sehingga terjadi kelainan kardiovaskular. Endotelium adalah lapisan jaringan
dinamis merupakan multiple growth faktors, mediator vasoaktif, kontraktilitas
pembuluh darah dan pertumbuhan sel dikaitkan dalam pengaturan fisik dan biokimia
pembuluh darah sistemik. Tonus pembuluh darah, hemostasis yang baik serat
angiogenesis merupakan hal terpenting untuk menfasilitasi barrier antara darah dan
jaringan. OSA berhubungan dengan obesitas, hipertensi, gangguan metabolik yang
berpengaruh terhadap endotel.9,19,26
Hipoksia-reoksigenasi atau aktivitas simpatis meningkatkan radikal bebas.
Terdapat peningkatan lipid peroksida akibat produksi dari ROS. Stress oksida
memicu kerusakan endotel sehingga terjadi arterosklerosis. Hipoksia berulang atau
reoksigenasi ketika henti napas
gangguan
sepintas pada OSA menyerupai iskemia atau
reperfusi. Selama obstruksi jalan napas perfusi tetap ada tetapi
peningkatan ROS, inflamasi dan penurunan nitric oxide (NO) serupa dengan
reperfusi iskemik. NO dihasilkan secara endogen oleh sel inflamasi seperti
makrofag, neutrofil, eosinofil, endotel pembuluh darah dan epitel saluran
48
pernapasan, menyebabkan relaksasi otot polos dan pembuluh darah saluran napas,
berfungsi sebagai neuromodulator dan pertahanan tubuh terhadap patogen.
Peningkatan resiko penyakit vaskular pada OSA dikarenakan penurunan NO
berakibat disfungsi endotel.9,19,26
d. Aktivasi platelet dan hiperkoagulasi
Pada pasien OSA, marker platelet dari resiko trombosis meningkat selama
tidur, pada uji coba nonrandom, hal tesebut dapat diturunkan dengan pengunaan
CPAP.27 Konsentrasi fibrinogen pagi hari dan kadar inhibitor aktivator plasminogen
tipe-1 juga meningkat pada pasien OSA. Mehra et al. (2010) menunjukkan, dalam
studi epidemiologi, bahwa baik fibrinogen maupun inhibitor aktivator plasminogen
tipe-1 meningkat dengan peningkatan AHI bahkan setelah penyesuaian dengan
perancu. Ini menunjukkan potensi fibrinolitik kurang dan keadaan hiperkoagulasi.28
Perubahan struktur dinding pembuluh darah, aktivasi renin angiotensin pada
hipoksia berulang mempengaruhi kenaikan tekanan darah pada OSA. Kehilangan
fungsi barrier endotel mengakibatkan terpajannya struktur subendotelial terhadap
sirkulasi. Keadaan ini menyebabkan kolagen pembuluh darah dapat mengaktivasi
agregasi platelet sehingga mengakibatkan formasi trombus. Studi menyatakan
terdapat status koagulabilitas pada OSA, fibrinogen plasma dan inhibitor
plasminogen aktivator- 1 (PAI-1) meningkat.9 Studi von Kanel, et al. (2006)
menunjukkan bahwa 2 minggu terapi CPAP untuk OSA dikaitkan dengan penurunan
yang signifikan pada inhibitor aktivator plasminogen tipe-1. Secara bersama-sama,
pengamatan
ini
menunjukkan
bahwa
aktivasi
platelet
meningkat
dan
hiperkoagulabilitas bisa memainkan peran dalam meningkatkan kerentanan pasien
OSA untuk terjadinya fenomena tromboemboli seperti stroke.6
Gambaran sistematik konsep mekanisme saling kebergantungan antara OSA pada
manusia dan CIH (Chronic Induced Hypoxia) pada model hewan percobaan yang
memicu disfungsi kardiovaskuler ditunjukkan pada Gambar 2.14. Badan karotis dan
region otak yang mempengaruhi aliran keluar simpatis, hipoksia intermiten
menyebabkan perangsangan pembentukan ANG II/NADPH oksidase dan penurunan
pembentukan NOS. Hasil dari kelebihan ion superoksida berujung pada aliran keluar
49
simpatis yang meningkat secara kronis. Aktivitas berlebihan simpatis, pada akhirnya,
menghasilkan efek trofik dan pro-aterosklerotik pada resistensi pembuluh darah melalui
stres oksidatif dan inflamasi. Meningkatnya aliran simpatis terhadap ginjal merangsang
pelepasan renin dan memicu peningkatan kadar ANG II dan aldosterone yang
bersirkulasi, dua hormon dengan stres oksidatif dan efek inflamasi. Aktivasi simpatis
pada hati dan limpa, jaringan kaya sel T, mungkin memainkan suatu peranan pada
respons inflamasi. Pada OSA, episode hiperkapnia dan terbangun dari tidur memainkan
peranan sekunder dengan menguatkan peningkatan aliran simpatis yang terinduksi
hipoksia7
Gambar 2.14. Dugaan mekanisme OSA yang mengaktifkan sistem nervus simpatis,
menginisiasi kaskase dalam penyakit kardiovaskuler. CNS, central nervous system; RAAS,
renin-angiotensin-aldosterone system. *Inflammation; †oxidant stress7,29
50
3. Hubungan OSA dengan Penyakit Kardiovaskuler
Studi kasus kontrol kasus dan penelitian epidemiologi mengindikasikan bahwa
pajanan kronis terhadap OSA memainkan suatu peran patogenetik dalam penyakit
kardiovaskuler.2,6,7,12
Efek Akut
 Menurunkan pasokan oksigen ke otot
miokard
 Hipoksia intermiten
 Menurunkan cardiac output
 Meningkatkan kebutuhan oksigen miokard
 Aktivasi sistem nervus simpatis
 Meningkatkan afterload ventrikel kiri
 Tekanan intrathorak negatif
 Meningkatkan tekanan darah
 Meningkatkan denyut nadi
 Iskemia miokard nokturnal
 Edema pulmonum nokturnal
 Aritmia jantung
Efek Kronis
 Perubahan otonom kardiovaskuler
 Aktivasi sistem nervus simpatis
 Menurunkan variabilitas denyut jantung
 Terganggunya baroreseptor control
untuk denyut jantung
 Hipertensi sistemik-nokturnal dan
diurnal
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Disfungsi dan kegagalan ventrikel kiri
 Meningkatkan agregrasi platelet dan
koagulasi darah
 Meningkatkan kejadian trombotik dan
emboli kardiak serta penyakit
serebrovaskuler.
Tabel 2.4. Dampak obstructive sleep apnea pada sistem kardiovaskuler2
a. Hipertensi
Prevalensi OSA pada hipertensi primer adalah 35%. Namun, apakah OSA
adalah benar-benar merupakan faktor resiko independen untuk berkembangnya
hipertensi belum diketahui. Hal ini diketahui bahwa hipoksia intermiten atau dengan
cara eksperimen menginduksi OSA dapat menyebabkan hipertensi persisten pada
tikus dan anjing. Pada tikus, hipertensi dicegah dengan simpatektomi atau denervasi
kemoreseptor perifer. Di Wisconsin Sleep Cohort, subyek dengan AHI ≥ 15
memiliki kemungkinan 2,89 lebih besar kecenderungan berkembang menjadi
hipertensi dibandingkan mereka dengan AHI 0, resiko hipertensi meningkat dengan
AHI. Vitoria Sleep Cohort juga menemukan tidak ada hubungan antara OSA dan
insiden hipertensi setelah penyesuaian dengan variabel perancu, kesimpulan ini
mungkin terkait dengan perbedaan karakteristik sampel populasi, teknik yang
digunakan untuk mendiagnosa sleep apnea, cut off AHI atau efek pro hipertensif
dari OSA sendiri dan variabel yang disesuaikan.6
Sekarang dipahami bahwa tekanan darah sistolik dan diastolik malam hari
memberi resiko kardiovaskuler jangka panjang lebih besar daripada siang hari, 24
51
jam rawat jalan, atau tekanan darah saat pemeriksaan klinis. Karena pasien
hipertensi dengan tekanan darah tidak normal pada malam hari memiliki resiko yang
lebih besar kegagalan dan hipertrofi LV daripada normal, dan OSA sebagai
konsekuensi dari aktivasi simpatik nokturnal, kemungkinan menjadi stimulus
reversibel untuk kegagalan dan hipertrofi LV.6 Peningkatan tekanan darah ini, yang
bergantung pada aktivasi sistem saraf simpatis oleh kemoreseptor karotis, secara
pokok disebabkan oleh hipoksia intermiten.7,21
Prevalensi hipertensi pada pasien OSA meningkat jika dibandingkan dengan
pasien kontrol, terapi CPAP dapat menurunkan resiko hipertensi pada OSA.30 Parati
et al (2010) dalam Joint Recommendation European Society of Hypertension and
Respiratory Society merekomendasikan CPAP sebagai terapi yang signifikan
mengurangi kejadian hipertensi dan kardiovaskuler sebab menurunkan reaksi
inflamasi sistemik, memperbaiki fungsi endotel dan jantung23, beberapa meta
analisis menyebutkan penurunan sistolik sebesar 1,4 – 7,2 mmHg dengan
menggunakan CPAP.31 Kasai et al (2012) mengatakan pengurangan 5 mm Hg pada
tekanan sistolik waktu tidur menyebabkan pengurangan 17% efek samping kejadian
kardiovaskuler pada populasi hipertensi dan pemberian captopril pada tikus
hipertensi mencegah remodeling kardiovaskuler hanya bila diberikan sebelum tidur.6
OSA tidak selalu terkait hipertensi sebab OSA bukanlah satu faktor melainkan
beberapa faktor resiko untuk menjadi hipertensi dan kemungkinan keberadaan
karakteristik prohipertensi lainnya, atau adanya struktur genetik yang mungkin
memiliki perlindungan relatif dari efek merugikan OSA.7
b. Penyakit arteri koroner
Prevalensi OSA pada pasien dengan penyakit arteri koroner / coronary arthery
disease (CAD) adalah 30%. Sebuah analisis cross-sectional dari SHHS melaporkan
bahwa resiko CAD meningkat sedikit pada subyek OSA pada kuartil AHI tertinggi
dibandingkan kuartil terendah.7 Gottlieb, et al. (2010) pada analisis longitudinal data
dari kohort SHHS menemukan OSA bukanlah prediktor signifikan dari kejadian
CAD setelah penyesuaian untuk faktor resiko lainnya. Dari catatan, analisis
subkelompok menunjukkan bahwa OSA terjadi peningkatan resiko berkembang
menjadi CAD pada pria usia ≤ 70 tahun.32
52
Namun, jika ada pada pasien dengan CAD, OSA dapat memprovokasi
perubahan iskemik pada EKG, dan angina nokturnal dan meningkatkan resiko
restenosis setelah intervensi koroner perkutan untuk sindrom koroner akut. Pasien
OSA lebih mungkin mengalami infark miokard pada malam hari sebab OSA dapat
memicu pecahnya plak atau iskemia miokard. Setelah infark miokard akut,
koeksistensi OSA berhubungan dengan peningkatan gabungan infark miokard,
stroke dan gangguan pemulihan fungsi sistolik LV.6
c. Gagal jantung
Selama beberapa tahun, dampak yang terakumulasi dari siklus rekuren dari
peningkatan stres dinding LV, hipoksia, dan aktivasi simpatik pada individu yang
rentan mungkin menyebabkan hipertrofi LV, dilatasi, dan penurunan fungsi sistolik.
Data cross-sectional dari SHHS menunjukkan adanya OSA dengan AHI 11
dikaitkan dengan peningkatan relatif 2,38 pada kemungkinan memiliki HF (Heart
Failure), yang tidak tergantung pada faktor perancu.6 Analisis longitudinal kohort
yang sama menunjukkan bahwa, setelah penyesuaian untuk faktor perancu,
keparahan OSA adalah prediktor signifikan dari insiden HF pada pria tapi tidak pada
wanita.32
Prevalensi OSA pada populasi HF dilaporkan berkisar dari 12% sampai 53%,
lebih besar dibandingkan pada populasi umum. Dalam 1 studi observasional, Wang
et al (2007) melaporkan bahwa OSA yang tidak diobati (didefinisikan sebagai AHI
≥ 15) pada pasien HF dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, dibandingkan
dengan mereka yang memiliki AHI < 15, bahkan setelah penyesuaian untuk faktor
resiko perancu.6 Sleep apnea, secara umum, telah terbukti meningkatkan resiko
mortalitas pasien dengan HF iskemik, terutama karena berlebihnya tingkat kematian
mendadak. Implikasi temuan ini adalah bahwa mekanik, otonom, dan stres oksidatif
yang diakibatkan oleh sleep apnea dapat memperburuk iskemia miokard dan
berkontribusi untuk peningkatan mortalitas, hal ini kemungkinan melalui terpicunya
aritmia ventrikel. Retensi cairan yang berhubungan dengan HF berperan pada
patogenesis sleep apnea, dimana kedua hal tersebut menunjukkan hubungan dua
arah antara HF dan sleep apnea seperti diuraikan pada Gambar 2.15. Efek samping
dari OSA dan CSA dapat berperan pada perkembangan HF, sedangkan retensi
53
natrium dan cairan yang timbul dari HF dapat berperan pada patogenesis baik OSA
maupun CSA.6,33
Gambar 2.15. Gambaran sistematik hubungan dua arah yang berpotensi pada
obstructive dan central sleep apnea sleep (OSA dan CSA), dan heart failure (HF).
Sebagai contoh, kombinasi dari hipoksia yang terjadi intermiten, meningkatkan
sympathetic nervous system activity (SNA), dan menurunkan intrathoracic pressure
(PIT) yang memicu perkembangan atau progresifitas HF, sedangkan retensi sodium
dan cairan akibat HF dapat memicu perpindahan cairan ke rostral sepanjang malam ke
struktur perifaringeal atau ke paru, hal tersebut memicu perkembangan atau
memperburuk OSA dan CSA.6
d. Aritmia
Beberapa mekanisme ditimbulkan oleh OSA bisa menyebabkan aritmia atrium
atau ventrikel yaitu, peregangan dinding, menurunkan tekanan intrathorak,
melemahkan sel normal hingga sel penghubung melalui remodeling; iskemia
miokard hingga hipoksia apnea intermiten yang diinduksi apnea dan peningkatan
ketegangan dinding serta aktivasi jalur inflamasi jantung. Meskipun studi crosssectional belum menunjukkan peningkatan prevalensi bradiaritmia pada OSA, apnea
yang diinduksi hipoksia dapat memprovokasi blok atrioventrikular yang dimediasi
secara parasimpatik yang reversibel oleh CPAP.6
Pada anjing, perubahan aliran darah yang berulang dari atrium kanan selama
oklusi saluran nafas atas meningkatkan aktivitas otonom dari ganglion pleksus arteri
54
pulmonalis kanan, dan lebih mudah menyebabkan AF daripada stimulus yang sama
tanpa oklusi upper airway (UA). Setelah blokade pleksus tersebut secara
farmakologi atau dengan ablasi neuron, induksi AF selama oklusi UA terhambat, hal
ini menunjukkan hubungan kausatif
OSA dan AF dimediasi oleh faktor saraf
otonom.6
Data epidemiologi menunjukkan hubungan yang signifikan antara AF dan baik
OSA maupun CSA. Dalam analisis cross-sectional SHHS, Mehra et al. (2010)
menemukan bahwa subyek dengan OSA adalah 5 kali lebih mungkin untuk
mengalami AF daripada mereka yang tanpa OSA34. Studi observasional
menunjukkan bahwa OSA menyebabkan onset AF baru atau yang rekuren diikuti
kardioversi hingga irama sinus.6 Selain itu, studi Ng, et al. (2011) menunjukkan
bahwa pasien dengan OSA memiliki resiko kekambuhan AF 25% lebih besar setelah
ablasi kateter dibandingkan mereka yang tanpa OSA.35
e. Stroke
Analisis longitudinal data kohort melaporkan, setelah penyesuaian untuk
faktor resiko lain, hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan OSA dan
insiden stroke pada pria tetapi tidak pada wanita.36 Beberapa studi observasional
juga menyimpulkan bahwa OSA meningkatkan prevalensi stroke dan resiko
kejadian stroke namun odds ratio tidak signifikan secara konsisten.6
Pada OSA selama fase apnea mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea,
peningkatan aritmia jantung, peningkatan koagulasi dan emboli paradoksikal
melalui foramen ovale, disamping itu adanya keterlibatan endotel dan oksida nitrat
menyebabkan arterosklerosis dan pembentukan formasi plak. Studi dengan
ultrasonografi didapatkan adanya hasil yang signifikan dalam ketebalan tunika
intima pada pasien OSA. Beberapa marker kardiovaskuler dari penelitian
sebelumnya juga mengalami peningkatan, diantaranya leptin, CRP dan resistensi
insulin, dimana kesemuanya itu merupakan predisposisi kejadian stroke.
(Guilleminalut dan Zupanic, 2009).37
Pasien yang telah mengalami stroke, prevalensi OSA adalah 60%, dan CSA
12%. Dalam penelitian ini, adanya OSA bukan CSA, dikaitkan dengan motorik dan
fungsional yang buruk bukan ketidakmampuan kognitif. Gangguan fungsi
55
neurologis terkait OSA dapat mengakibatkan penurunan aliran darah otak, hipoksia
intermiten, dan gangguan autoregulasi cerebral.6 Sebuah studi lanjutan, Loke et al.
(2012) menunjukan pasien laki – laki dengan OSA memiliki resiko terkena stroke
seiring dengan peningkatan keparahan AHI, dan insiden terkena stroke pada laki –
laki sebesar 2,24 per 10 tahun dan hal ini tetap signifikan setelah penyesuaian
dengan usia, ras, BMI dan faktor resiko lainnya.38
AASM merekomendasikan skrining sleep apnea pada pasien beresiko tinggi,
seperti AF, hipertensi, stroke, mendengkur, EDS, BMI ≥ 35 kg/m2, ANC > 17 pada
laki – laki atau 16 pada wanita, skrinning dilakukan dengan menggunakan Epsworth
Sleepiness Scale dan Berlin Questionnaire. Guideline for the Primary Prevention of
Stroke 2014 menyebutkan karena hubungan sleep apnea dan resiko stroke maka
skrining sleep apnea dapat dilakukan dengan mengevaluasi riwayat penyakit secara
detail, termasuk Epsworth Sleepiness Scale dan Berlin Questionnaire, pemeriksaan
fisik dan polisomnografi dapat dipertimbangkan (Klas IIb, level of evidence C).
Manajemen sleep apnea untuk mengurangi faktor resiko stroke mungkin masuk akal
namun efektifitasnya dalam pencegahan stroke masih belum diketahui (Klass IIb,
level of evidence C).31
f. Mortalitas kardiovaskular
Penelitian kohort Young, et al. (2008) selama 18 tahun mengunakan data
tindak lanjut dari Wisconsin Sleep Cohort menunjukkan bahwa, dibandingkan
dengan subyek tanpa sleep apnea, resiko kematian pasien OSA berat yang tidak
diobati secara signifikan lebih tinggi (3,8 kali untuk semua penyebab dan 5,2 kali
untuk mortalitas kardiovaskular).6 Studi Marin, et al. (2005) menemukan bahwa
laki-laki dengan OSA berat yang tidak diobati (AHI 30) memiliki resiko kejadian
kardiovaskular 3,5 kali lebih fatal dan 4,7 kali lebih fatal setelah tindak lanjut
periode 10 tahun namun, pada pria dengan OSA moderat-berat dengan pengobatan
CPAP tidak berbeda secara signifikan dari kelompok kontrol.6
g. Sindrom metabolik
OSA memiliki hubungan dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik
sekarang diakui sebagai kontributor penting untuk pengembangan aterosklerosis dan
penyakit kardiovaskular. Seperti yang didefinisikan, pasien dengan sindrom
56
metabolik memiliki peningkatan kadar glukosa puasa, peningkatan tekanan darah,
kelainan lipid, dan obesitas. Bukti proinflamasi dan stres oksidatif juga ada pada
pasien ini. Bukti yang berkembang menunjukkan bahwa OSA dapat berkontribusi
pada gangguan metabolik yang menjadi ciri sindrom metabolik .12,39
Gambar 2.16. Potensi hubungan obstructive sleep apnea (OSA) dan sindroma
metabolik. OSA dihubungkan dengan 3 dari 5 kelainan mayor yang berhubungan
dengan sindroma metabolik yaitu, hipertensi, resistensi insulin dan pro inflamasi /
stress oksidatif.12
OSA telah dikaitkan dengan peningkatan produksi Reactive Oxygen Species
dan biomarker stres oksidatif lainnya dan telah dikaitkan dengan peningkatan kadar
beberapa sitokin proinflamasi, disfungsi endotel dan marker-marker terkait
aterosklerosis. Marker ini meliputi protein C-reaktif (CRP) pada orang dewasa dan
remaja, IL-6, IL-18 dan matrix metaloproteinase 9.40,41,42 OSA juga dikaitkan
dengan penurunan produksi oksida nitrat. Beberapa studi telah menunjukkan respon
vasodilator terganggu, yang diukur dengan flow-mediated dilatation. Gangguan
flow-mediated dilatation ditemukan berkorelasi terbalik dengan tingkat desaturasi
oksigen. CPAP menurunkan resistensi insulin, penurunan peroksidasi lipid, dan
peningkatan respon vasodilator.12
h. Diabetes melitus
OSA berhubungan dengan peningkatan resiko diabetes tipe 2, apakah OSA
menyebabkan diabetes tipe 2 atau apakah hal ini terkait dengan resistensi insulin dan
57
diabetes masih tidak jelas namun, penggunaan CPAP pada OSA dapat memperbaiki
resistensi insulin. Fragmentasi tidur, kurang tidur, dan hipoksemia diperkirakan
memainkan peran independen dalam intoleransi glukosa.12 Studi Aronshon, et al.
(2009) mendukung peran OSA dalam memperburuk kontrol insulin pada penderita
diabetes tipe 2.6
OSA mengakibatkan hipoksia intermiten dan fragmentasi tidur yang
mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan jalur klasik atau lipotosik
(Gambar 2.17). Meningkatnya aktivitas saraf simpatik sebagai suatu mekanisme
mekanisme utama pada perkembangan pada hipertensi bekelanjutan pada pasien
OSA, aktifnya sistem saraf simpatis mempengaruhi secara potensial sensitivitas
insulin. Hipoksia sistem saraf simpatis mengakibatkan peningkatan katekolamin di
sirkulasi yang nantinya akan berkontribusi terhadap perkembangan resistensi insulin
dan
fungsi
metabolik
jangka.
Hormon
pertumbuhan
merupakan
homon
kontraregulator lainnya yang dipengaruhi oleh tidur dan OSA, berlawanan dengan
katekolamin, kadar hormon pertumbuhan tampak menurun dengan adanya OSA dan
tidak memainkan suatu peranan pada perkembangan resistensi insulin. Akan tetapi,
hormon pertumbuhan merupakan kontrol utama pelepasan dari faktor insulin-like
growth factor-I (IGF-I), sebuah peptide dengan aksi sensitisasi-insulin. Stres
hipoksia pada OSA kemungkinan mengaktifkan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA), meningkatkan kadar kortisol, dan diduga berkontribusi terhadap resistensi
insulin.7
Perkembangan resistensi insulin dan diabetes tipe 2 secara besar bergantung
pada adanya obesitas. Sekarang terdapat sejumlah besar bukti yang sedang
berkembang bahwa efek “lipotoksik” dari obesitas memainkan suatu peranan
penting dalam patogenesis resistensi insulin. Hal yang mendukung hipotesis tersebut
adalah adanya hiperlipidemia menginduksi resistensi insulin dan menurunkan
availibilitas metabolisme lipid dalam tubuh serta meningkatkan sensitivitas insulin.
Jalur proinflamasi/stres diduga merupakan suatu penghubung antara lipotoksisitas
dan perkembangan resistensi insulin. Respon seluler terhadap sinyal inflamasi dan
stres dimediasi oleh sejumlah kaskade sinyal yang diekspresikan di mana-mana,
58
termasuk jalur NKB. Meningkatnya aktivitas jalur proinflamasi/stress berimplikasi
pada terganggunya kerja insulin di jaringan perifer.7
Stres hipoksia OSA secara potensial meningkatkan resiko hiperlipidemia,
hipoksia mungkin mempengaruhi akumulasi lipid dan berikutnya inflamasi pada
organ, seperti distribusi keseluruhan lemak tubuh. Sebagai tambahan dalam
menghasilkan akumulasi lemak ektopik, terdapat bukti tidak langsung bahwa OSA
mungkin memberikan kecenderungan untuk menaikkan berat badan dan secara
potensial mempengaruhi distribusi lemak viseral dibandingkan akumulasi lemak
subkutan. Banyak faktor yang diusulkan mengaktifkan jalur proinflamasi/stres pada
obesitas, termasuk pembentukan spesies oksigen reaktif, pelepasan sitokin inflamasi,
hiperlipidemia, dan deposisi ektoptik lemak. Stress hipoksia OSA merupakan suatu
stimulus yang berpotensi untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif dan memicu
peroksidasi lipid. Sebagai tambahan terhadap aksi langsung stress hipoksia yang
berasal dari OSA, lipotoksisitas mungkin juga menghasilkan spesies oksigen reaktif
dan secara lanjut mengaktifkan jalur proinflamasi/stres yang memicu resistensi
insulin. Disisi lain adiposa merupakan suatu sumber dari sitokin yang bersirkulasi
yang menginduksi dan berespons terhadap jalur stres proinflamasi.7
Gambar 2.17. Jalur perubahan fisiologis dari hipoksia intermiten dan fragmentasi
tidur yang mengakibatkan resistensi insulin yang mengaktifkan jalur klasik (putih)
atau lipotosik (abu – abu)12
59
F. Diagnosis
Kriteria diagnosis OSA didasarkan pada gejala klinis yang ditemukan pada evaluasi tidur
yang komprehensif, termasuk riwayat penyakit yang dihubungkan dengan tidur,
pemeriksaan fisik dan sleep testing 3
1. Anamnesis
Gejala OSA umumnya dimulai diam-diam dan sering muncul selama bertahun-tahun
sebelum pasien dirujuk untuk evaluasi. Gejala nokturnal dapat meliputi: mendengkur,
biasanya keras, menjadi kebiasaan (habitual), dan mengganggu orang lain; apnea nyata;
sensasi terengah-engah dan tersedak yang membuat pasien bangun dari tidur, meskipun
dalam proporsi yang sangat rendah dibandingkan dengan jumlah apnea yang mereka
mengalami; nokturia; insomnia, gelisah saat tidur. Gejala siang mungkin dapat meliputi:
tidur yang tidak menyegarkan, sakit kepala pagi hari, sakit tenggorokan atau
tenggorokan kering, mengantuk berlebihan di siang hari (Excessive Daytime Sleppiness
/ EDS), kelelahan / keletihan siang hari, defisit kognitif; memori dan gangguan
intelektual (memori jangka pendek, konsentrasi), penurunan kewaspadaan, kebingungan
di pagi hari, perubahan kepribadian dan perubahan mood, termasuk depresi dan
kecemasan,
disfungsi
seksual,
termasuk
impotensi
dan
libido
menurun,
gastroesophageal reflux, hipertensi, depresi.3,12,43
Satu pendekatan untuk menentukan penyebab pasien mendengkur adalah dengan
menggunakan suatu bagan prediksi klinis untuk memastikan kemungkinan OSA
(Gambar 2.18) Prediksi dalam hal ini menggunakan lingkar leher yang sudah dirata-rata
(average neck circumference / ANC). Lingkar leher pasien diukur (dalam cm) pada
tingkat tonjolan krikoid dalam posisi duduk dan dirata-rata untuk faktor resiko pasti:
hipertensi ditambah 4 cm terhadap lingkar leher, kebiasaan mendengkur ditambah 3 cm,
dan riwayat perasaan tercekik atau sesak pada kebanyakan malam hari ditambah 3 cm.
ANC yang kurang dari 43 cm memberikan suatu kemungkinan klinis yang rendah untuk
OSA, ANC dari 43 hingga 48 cm merupakan sebuah kemungkinan sedang, dan ANC
yang lebih besar dari 48 cm merupakan suatu kemungkinan yang tinggi.44
60
Gambar 2.18. Algoritma untuk menginvestigasi dengkuran. ANC, lingkar reher yang
diratakan, AHI indeks apnea-hipopnea; OSA, obstructive sleep apnea; UARS, upper
airway resistance syndrome.44
Algoritma lain yang digunakan dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai OSA,
berdasarkan American Academy of Sleep Medicine seperti gambar dibawah ini (Gambar
2.19)45
61
Routine Health
Maintenance Exam
(PCP)
Patient complain
of symptom
Obesity (BMI > 35)
Congestive heart failure
Atrial fibrillation
Treatment refractory hypertension
DM Type 2
Nocturnal dysrhythmias
Stroke
Pulmonary hypertension
High-risk driving population
Preoperative for bariatric surgery
High Risk
Screenings (PCP)
Sleep Disorder
Symptoms ?
Is the patient obese?
Is the patient retrognathic?
Does the patient complain
of daytime sleepiness?
Does the patient snore?
Does the patient have
hypertension?
Yes
Sleep Evaluation
(PCP/SS)
Evaluate for other
sleep disorders
and co-morbidities
No
History and Physical ?
Risk Factors Assesment
Yes
Sleep Study
OSA Symptom?
Polysomnogarphy
Portable monitor
Other sleep procedures
Result Reviewed
with Sleep Specialist
Evaluate for other
sleep disorders
and co-morbidities
No
OSA ?
AHI ≥ 15
AHI ≥ 5 + Symptoms
Yes
Patient Education
Discuss Treatment
Options
Acepted
Long Term Follow up
CPAP Offered?
Decline
Alternative Therapies
Behavioral Oral Appliance Surgical Adjunctive
Long Term Follow up
Gambar 2.19. Alur evaluasi kecurigaan adanya OSA. PCP (primary care
physician, SS (sleep specialist)45
62
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum seringkali normal pada pasien dengan OSA, selain
adanya obesitas, pembesaran lingkar leher, dan hipertensi. Lakukan evaluasi saluran
napas bagian atas pada semua pasien, tetapi terutama pada orang dewasa nonobese
dengan gejala yang sejalan dengan OSA. Temuan pemeriksaan fisik yang mungkin
adalah sebagai berikut:12,37

Obesitas - indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30 kg / m2

Lingkar leher yang besar - Lebih dari 43 cm (17 inch) pada pria dan 37 cm (15
inch) pada wanita. Lingkar leher 40 cm atau lebih memiliki sensitivitas 61% dan
spesifisitas 93% untuk OSA, terlepas dari jenis kelaminnya

Skor Mallampati abnormal (meningkat) (Gambar 2.20)

Penyempitan dinding saluran napas lateral, yang merupakan prediktor independen
dari adanya OSA pada pria tapi tidak pada wanita

Tonsil yang membesar (Gambar 2.20)

Retrognatia atau mikrognathia

Langit-langit keras(palatum durum) melengkung tinggi

Hipertensi arteri sistemik, muncul pada sekitar 50% dari pasien dengan OSA

Gagal jantung kongestif (CHF)

Hipertensi pulmonal

Stroke

Sindrom metabolik

Diabetes mellitus tipe 2
Skor Mallampati telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengidentifikasi
pasien yang beresiko untuk intubasi trakea sulit. Klasifikasi ini memberikan skor 1-4
berdasarkan pada fitur anatomi saluran napas yang terlihat ketika pasien membuka
mulutnya dan menjulurkan lidah (Gambar 2.20). Setiap kenaikan 1 unit dalam skor
Mallampati, rasio kemungkinan memiliki OSA) meningkat sebesar 2,5.12
63
Gambar 2.20. Klasifikasi Mallampati (kiri), klasifikasi tonsil (kanan) 12
Nilai prediktif evaluasi klinis awal untuk OSA dapat didasarkan pada data berikut:12

Dengkuran yang mengganggu: Anamnesis adanya riwayat mendengkur yang
mengganggu memiliki sensitivitas 71% dalam memprediksi gangguan nafas
terkait tidur—Sleep-disordered Breathing (SDB).

Dengkuran yang mengganggu dan apnea nyata: Faktor-faktor ini bersama-sama
memiliki spesifisitas 94% untuk SDB.
Chung et al. (2012) mengatakan terdapat 2 akronim yang membantu mendiagnosis
OSA, akronim STOP, yaitu meliputi:46
 S (SNORE): Apakah anda mendengkur dengan keras, cukup keras untuk didengar
melalui pintu yang tertutup "?
 T (TIRED): "Apakah Anda merasa lelah atau letih pada siang hari hampir setiap
hari?"
 O (OBSERVE): "Apakah ada yang mengamati bahwa Anda berhenti bernapas saat
tidur?"
 P (PRESSURE of BLOOD): "Apakah Anda memiliki riwayat tekanan darah tinggi
dengan atau tanpa pengobatan?"
64
Jika pasien menjawab ya untuk >2 pertanyaan, sensitivitas pasien yang memiliki AHI
lebih dari 5 adalah 66% dan sensitivitas pasien yang memiliki AHI lebih besar dari 15
adalah 74%.46
Sebuah Akronim BANG juga dapat berguna, yaitu sebagai berikut:44
 B (BMI): BMI lebih besar dari 35
 A(AGE): Usia lebih tua dari 50 tahun
 N (NECK): Lingkar leher lebih dari 43 cm (17 inch)
 G (Gender): jenis kelamin Laki-laki
Jika kriteria dari STOP dan BANG terpenuhi, sensitivitas pasien memiliki AHI
lebih dari 5 adalah 93% dan AHI lebih dari 15 adalah 83% namun, tidak semua populasi
pasien dapat diidentifikasi dengan tingkat akurasi yang sama dengan alat yang sama,
oleh karena itu penelitian masih harus terus untuk menemukan prediktor terbaik untuk
berbagai populasi pasien.47
Ramachandran, et al. (2010) telah mengembangkan dan memvalidasi skor klinis
untuk memprediksi diagnosis OSA sebelum operasi pada populasi bedah umum. Skor
Perioperative Sleep Apnea Prediction (P-SAP) didasarkan pada 3 variabel demografis
(usia > 43 tahun, jenis kelamin laki-laki, dan obesitas), 3 variabel anamnesis (riwayat
mendengkur, diabetes mellitus tipe 2, dan hipertensi), dan 3 alat ukur airway (leher
tebal, modified Mallampati kelas 3 atau 4, dan pengurangan jarak thyromental). Ambang
diagnostik skor P-SAP 2 atau lebih menunjukkan sensitivitas yang sangat baik 93,9%
tetapi spesifisitas yang buruk 32,3%, sedangkan skor P-SAP 6 atau lebih memiliki
sensitivitas yang buruk 23,9% tetapi memiliki spesifisitas sangat baik 91,1%.48
Indeks yang biasa digunakan untuk menilai gangguan pernafasan saat tidur (SDB)
adalah indeks apnea-hipopnea—Apnea-hypopnea Index (AHI) dan indeks gangguan
pernapasan—Respiratory Disturbance Index (RDI). AHI didefinisikan sebagai jumlah
rata-rata episode apnea dan hipopnea per jam. RDI didefinisikan sebagai jumlah ratarata gangguan pernapasan (apnea obstruktif, hipopnea, dan kejadian pernapasan terkait
bangun (Respiratory Effort Related Arousal / RERA) per jam. Jumlah peristiwa yang
tercatat untuk menghitung AHI atau RDI selama uji tidur adalah setidaknya dalam
periode 2 jam. Tidak ada konsensus universal apakah AHI atau RDI yang sebaiknya
menjadi indeks standar yang digunakan untuk menentukan pengobatan namun, satu
65
studi menemukan bahwa 30% dari pasien yang bergejala akan tidak terobati jika
menggunakan AHI daripada RDI.12
RDI lebih cocok untuk memenuhi kriteria diagnostik The New American Academy
of Sleep Medicine (AASM) untuk OSA. Menurut kriteria Centers for Medicare &
Medicaid Service untuk diagnosis positif dan pengobatan OSA, tes positif untuk OSA
ditegakka jika salah satu dari kriteria yang menggunakan AHI atau RDI berikut ini
terpenuhi:12

AHI atau RDI ≥15 kejadian per jam, atau

AHI atau RDI ≥ 5 dan ≤ 14 kejadian per jam dengan gejala tercatat berupa EDS;
kognisi terganggu; gangguan mood; Insomnia; atau hipertensi yang tercatat,
penyakit jantung iskemik, atau riwayat stroke.
AASM telah mengembangkan kriteria, seperti yang tercantum dalam Klasifikasi
Internasional Gangguan Tidur: Manual Diagnostik dan Coding, Edisi Kedua, tahun
2005. Setidaknya 1 dari kriteria berikut harus ada untuk menegakkan diagnosis OSA:12

Pasien melaporkan kantuk di siang hari, tidur yang tidak menyegarkan, kelelahan,
insomnia, dan / atau episode tidur yang tidak disengaja selama terjaga. Pasien
terbangun dengan menahan napas, terengah-engah, atau tersedak. Mitra tidur
pasien melaporkan adanya dengkuran keras, interupsi nafas, atau keduanya saat
pasien tidur.

Polisomnografi (PSG) menunjukkan lebih dari 5 peristiwa pernapasan yang dapat
di skoring (misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau bukti
adanya upaya pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap peristiwa
pernapasan.

PSG menunjukkan lebih dari 15 peristiwa pernafasan yang dapat di skoring
(misalnya, apnea, hipopnea, RERA) per jam tidur dan / atau bukti upaya
pernapasan selama semua atau sebagian dari setiap peristiwa pernapasan.

Adanya gangguan tidur lain saat ini, gangguan medis atau neurologis, penggunaan
obat, atau penggunaan narkoba sebaiknya tidak diperhitungkan untuk kondisi
pasien.
66
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pencitraan / Imaging
Modalitas yang tersedia untuk mengidentifikasi lokasi obstruksi meliputi sefalometri
lateral, endoskopi, fluoroskopi, computed tomography (CT) scan, magnetic
resonance imaging (MRI), dan radiografi. Keakuratan metode ini untuk
mengidentifikasi situs obstruksi tidak jelas. Saat ini, pencitraan UA digunakan
terutama sebagai alat penelitian. Pencitraan radiografi rutin UA tidak dilakukan.12
b. Tes fungsi paru—Pulmonary Function Test (PFT) tidak diindikasikan untuk
membuat diagnosis atau rencana pengobatan untuk OSA sendiri12
c. Tes laboratorium
Tes laboratorium rutin biasanya tidak membantu dalam menegakkan OSA tanpa
adanya indikasi tertentu. Sebuah tes tirotropin harus dilakukan pada setiap pasien
dengan kemungkinan OSA yang memiliki tanda-tanda lain atau gejala
hipotiroidisme, terutama pada orang tua.12 Sebuah studi oleh Cintra et al. (2011)
menetapkan bahwa kadar sistein lebih tinggi pada pasien dengan OSA dibandingkan
dengan subyek kontrol, dan kadar ini berkurang setelah pengobatan OSA yang
efektif.12,49
d. Polisomnografi (PSG)
Pedoman American College of Physicians (ACP) merekomendasikan bahwa
pasien dengan EDS harus menjalani studi tidur, sebaiknya polisomnografi. ACP
merekomendasikan portable sleep monitor pada tanpa komorbid sebagai alternatif
PSG ketika PSG tidak tersedia untuk keperluan diagnostik.4,50 PSG digunakan pada
OSA secara akurat untuk mendiagnosis dan untuk menilai manfaat pengobatan
Menurut rekomendasi, penilaian dokter harus mencakup evaluasi faktor resiko dan
penyajian gejala umum untuk OSA.12 Shneerson (2010) mengatakan PSG
diindikasikan secara rutin untuk diagnosis sleep-related breathing disorder, pasien
preoperatif tindakan operasi, follow up setelah 3 bulan pembedahan, pengunaan oral
appliance dan keberhasilan PAP (Positive Airway Pressure).51
Pasien dengan kemungkinan sedang hingga tinggi terkena OSA harus
dievaluasi dengan polisomnografi. Pada pasien dengan kemungkinan rendah OSA,
keputusan untuk melakukan polisomnografi tergantung pada adanya gejala.
67
Mendengkur dengan riwayat gangguan tidur, tidur tidak nyenyak, atau rasa kantuk
sepanjang hari juga seharusnya dilakukan PSG. Pasien dengan kemungkinan rendah
OSA dan tidak bergejala dapat diterapi tanpa polisomnografi, dengan syarat mereka
diikuti dan dapat di lakukan polisomnografi apabila dengan gejala yang baru atau
penambahan berat badan secara klinis.44
Pedoman AASM tahun 2005, indikasi dan kinerja PSG meliputi:12

Tahapan tidur dicatat melalui EEG, elektrooculogram, dan elektromyogram
(EMG) dagu.

Irama Jantung dipantau dengan EKG lead tunggal.

Gerakan kaki dicatat melalui EMG tibialis anterior.

Pernapasan dimonitor, termasuk aliran udara di hidung dan mulut
(menggunakan sensor termal dan transduser tekanan hidung), usaha nafas
(menggunakan induktansi plethysmography), dan saturasi oksigen.

Pola pernapasan dianalisis untuk adanya apnea dan hipopnea, ditentukan
sesuai dengan definisi yang sudah distandarkan oleh AASM
68
Gambar 2.21. Gambar polisomnografi pada obstructive sleep apnea. Perhatikan tidak
adanya aliran (panah merah) meskipun dilakukan upaya pernapasan paradoks (panah
hijau)12
G
a
Gambar 2.22. Perbandingan dari apnea sentral (kotak) dan apnea obstruktif
(lingkaran). Pada apnea sentral terlihat tidak adanya aliran dan usaha pernapasan12
69
Gambar 2.23. (A). Pasien OSA berat dilakukan pengukuran bioelektrik (tiga saluran)
menunjukkan bahwa pasien tertidur tidak dalam diantara periode arousal terkait dengan
aktivasi elektromiogram submental (EMG). Saturasi oksigen arteri (SaO2) menurun
secara berkala dan meningkat setelah onset aliran udara. Tekanan esofageal (P eso) dan
gerak abdomen (RESPabd) menunjukkan upaya pernafasan yang terus menerus. EEG,
elektroensefalogram; EKG, elektrokardiogram; EOG, elektrookulogram; MIC, mikrofon;
V, volume. (B). Pasien obstructive sleep hypopnea. Sebuah elektromiogram submental
(EMG) menunjukkan ledakan ritmis dari otot-otot inspirasi faring. SaO2 memperlihatkan
hipoksemia ringan stabil. Aliran udara menunjukkan keterbatasan aliran selama inspirasi.
Meskipun tekanan penggerak semakin besar selama upaya inspirasi (waktu antara garis
vertikal putus-putus), aliran tetap konstan, menunjukkan peningkatan resistensi selama
inspirasi, mungkin akibat penyempitan progresif dari lumen faring. Garis yang menebal
pada MIC saat ini hasil dari oskilasi frekuensi tinggi aliran udara yang disebabkan oleh
mendengkur. EEG, elektroensefalogram; EOG, elektrookulogram; MIC, mikrofon; Peso,
tekanan esofagus; RESP abd, gerak abdomen; SaO2, saturasi oksigen arteri; V, volume;
V, aliran udara17
70
Apnea adalah terhentinya aliran udara paling tidak selama 10 detik, dapat terjadi
bertahan sampai 30 detik atau lebih. Hipopnea adalah penurunan 30% atau lebih pada
aliran yang berlangsung setidaknya 10 detik dan berhubungan dengan desaturasi
oksihemoglobin 4% atau lebih. Definisi alternatif adalah pengurangan 50% atau lebih
dalam aliran yang berlangsung setidaknya 10 detik dan dikaitkan dengan desaturasi
oksihemoglobin 3% atau lebih atau adanya arousal (Gambar 2.24)12
G
a
m
G
ambar 2.24. Sebuah rekaman 2 menit tidur menunjukkan 4 hipopnea (panah tebal) dan
desaturasi oksigen terkait (panah merah)12
RERA adalah suatu peristiwa di mana pasien memiliki serangkaian napas dengan
meningkatnya upaya pernapasan dalam waktu 10 detik atau lebih yang menyebabkan
arousal (bangun) dari tidur namun tidak memenuhi kriteria untuk apnea atau hypopnea.
Arousal yang terdeteksi pada PSG penting untuk evaluasi derajat fragmentasi tidur.
Mereka mungkin menjadi satu-satunya petunjuk untuk sindrom resistensi UA pada
pasien dengan hipersomnolen siang hari jika tekanan esofagus tidak dipantau.
Pemantauan tekanan esofagus tidak rutin dilakukan di sebagian besar laboratorium
karena prosedur yang invasif.12
71
Temuan PSG berikut merupakan ciri khas pada OSA:12

Episode apnea terjadi dengan adanya usaha otot pernafasan.

Episode apnea yang berlangsung 10 detik atau lebih dianggap signifikan secara
klinis.

Episode apnea paling sering selama tidur Rapid Eye Movement (REM). Pada
beberapa pasien, mereka dapat terjadi secara eksklusif hanya selama tidur REM.

Pasien mungkin memiliki kombinasi apnea dan hipopnea, atau mereka mungkin
memiliki salah satunya saja.

Apnea campuran dapat terjadi.

Gangguan tidur karena arousal biasanya terlihat pada akhir episode apnea.
Indeks apnea-hypopnea (AHI) berasal dari jumlah total apnea dan hypopnea
dibagi dengan total waktu tidur. Ambang batas normal untuk AHI belum pernah
didefinisikan dalam studi epidemiologi dari orang sehat. Pembagian AHI menurut
Purnomo (2014) <5 apnea/jam adalah normal, 5 – 20 apnea/jam OSA ringan, 20 – 40
apnea/jam OSA sedang, >40 apnea/jam OSA berat.52 Downey, et al. (2014) mengatakan
bahwa sebagian besar pusat tidur menggunakan cutoff 5-10 episode per jam. Tingkat
keparahan OSA didefinisikan berbeda-beda antar pusat studi.12 AASM Manual for
Scoring menetapkan rekomendasi untuk tingkat cutoff pada RDI meliputi 5-15 episode
per jam untuk ringan, 15-30 episode per jam untuk moderat, dan lebih dari 30 episode
per jam untuk berat.3
e. MSLT (multiple sleep latency test)
Pengukuran dengan MSLT masih kontroversial, kegunaan tes ini untuk secara obyektif
mengukur kantuk dan terjaga. MSLT dapat mengikuti PSG, sebab sebagai alat ukur
objektif dari EDS. MSLT terdiri dari 4-5 tidur siang dengan durasi 20 menit setiap 2 jam
pada siang hari. Latensi onset tidur untuk setiap tidur siang adalah rata-rata untuk
menentukan latensi tidur siang. Latensi tidur siang normal adalah lebih dari 10-15
menit. OSA umumnya terkait dengan latensi kurang dari 10 menit namun latensi tidur
rata-rata tidak bisa membedakan antara pasien dengan OSA dan pasien dengan
narkolepsi. Penggunaan rutin MSLT dalam evaluasi OSA telah menurun secara
signifikan karena dokter ahli tidur umumnya mengobati OSA atas dasar gejala subjektif
yang dilaporkan oleh pasien.12
72
G.
Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan untuk mendengkur non-apnea dan apnea tidur adalah serupa.
Pada bentuk yang luas, pengobatan dapat dibagi menjadi pendekatan non-bedah dan
bedah. Pengobatan non-bedah dapat dikelompokkan lebih lanjut menjadi beberapa
kategori: modifikasi gaya hidup, peralatan oral, pengobatan yang menargetkan kongesti
nasal, dan terapi CPAP. 44
Gambar 2.25. Algoritma untuk pengelolaan mendengkur. dimulai dengan identifikasi
dan memperbaiki faktor resiko dan diikuti dengan peralatan oral, menggunakan CPAP,
dan terakhir, pembedahan. CPAP, continnous positive airway pressure; OSA,
obstructive sleep apnea; RFA, ablasi frekuensi radio.44
OSA harus dipandang sebagai penyakit kronik yang memerlukan penatalaksanaan
multi disiplin jangka panjang. Pilihan terapi untuk OSA antara lain terapi medis, perilaku
dan pembedahan. Terapi terbaik saat ini untuk OSA adalah nasal CPAP (Continuous
Positive Airway Pressure), baik untuk OSA derajat ringan, sedang, maupun berat. CPAP
73
harus ditawarkan sebagai pilihan bagi semua pasien OSA. Terapi alternatif ditawarkan
sesuai beratnya OSA, kelainan anatomi, faktor resiko, dan keinginan pasien.3,44
Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu intervensi bedah : pembedahan hidung; bedah plastik untuk
palatum, uvula dan faring; trakeostomi; perubahan gaya hidup : menurunkan berat badan;
menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang
sangat dan mengkonsumsi kafein; penggunaan alat-alat buatan : alat untuk mereposisi
rahang dan mempertahankan posisi lidah, cervical collars atau bantal, CPAP.2,43
Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti oral appliances,
positive airway pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan pasien dengan
OSA sedang dan berat yaitu penggunaan positive airway pressure devices. Pasien yang
tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau tidak adekuat dengan
pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk tindakan bedah.12,53
Berikut adalah beberapa pembahasan tentang penatalaksanaan OSA
a. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti
penurunan berat badan, olahraga, mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum
tidur (4-6 jam sebelum tidur), tidur dengan posisi miring (dibandingkan supinasi),
good sleep hygiene, pemakaian Positive Airway Pressure yang sesuai dengan waktu
tidur dan kamar tidur.3,12,53,54
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein
pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme
pernapasan sentral. Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan
resistensi inspirasi selama stadium 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada lakilaki muda normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda
pengukuran yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan menilai
otot-otot inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah mengkonsumsi alkohol.
53
Penelitian epidemiologi menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan
OSA. Insidens OSA diantara pasien obese adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi lain. Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk
menurunkan berat badan telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian
74
mempunyai banyak keterbatasan.53 Pengurangan 10% berat badan menyebabkan
pengurangan 26% dalam indek RDI. Manfaat lain penurunan berat badan adalah
penurunan tekanan darah, perbaikan fungsi paru dan nilai-nilai gas darah arteri,
perbaikan struktur tidur dan mendengkur, kemungkinan penurunan tekanan CPAP.12
Lingkar leher, merupakan prediktor kuat untuk sleep-disordered breathing diantara
beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas, dibandingkan
dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih berpengaruh terhadap
terjadinya OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran pada pasien OSA, kombinasi
diet sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah aman dan hemat
sebagai penanganan utama OSA.53
Posisi lateral merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada
banyak pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral.
Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSA berat memiliki jumlah
apnea yang banyak pada posisi supinasi dan lateral, kejadian apnea lebih berat pada
posisi tidur supinasi daripada tidur lateral.2,54
b. Terapi farmakologis umumnya bukan bagian dari rekomendasi pengobatan primer.
Acetazolamide, medroksiprogesteron, fluoxetine, dan protriptyline telah digunakan
untuk mengobati OSA namun oba - obat ini tidak dianjurkan. Modafinil disetujui oleh
Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk digunakan pada pasien yang
memiliki sisa EDS meskipun sudah menggunakan CPAP optimal. Perbaikan paling
baik terlihat pada pasien yang mengonsumsi modafinil pada dosis 200-400 mg / hari.
Armodafinil, R-enansiomer modafinil, juga sekarang telah disetujui FDA untuk
digunakan pada pasien ini.12
American Academy of Sleep Medicine (AASM), dalam parameter praktek dan
peninjauan terapi medis untuk OSA, menulis penggunaan protriptyline dimana obat
ini bekerja untuk meningkatkan tonus otot dan menurunkan REM, sebagaimana
kejadian
OSA
berkaitan
dengan
stadium
REM.37
Penggunaan
modafinil
direkomendasikan untuk pengobatan kantuk residual pada orang dengan OSA dan
dianggap sebagai pengobatan standar (Level of Evidence I atau IIa). Obat – obatan
golongan selective serotonin reuptake inhibitor, methylxanthin, dan terapi
penggantian estrogen tidak direkomendasikan untuk pengobatan OSA.12,37
75
c. Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi pilihan utama untuk
OSA.8,31,37,53 Terapi menggunakan nasal CPAP pertama kali dikemukakan pada tahun
1981, tetapi baru pada tahun 1985 mulai dikenal lebih luas sebagai terapi jangka
panjang OSA. 3,25 Bentuk umum dari PAP adalah continuous positive airway pressure
(CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau variasi variasi lain. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif (pneumatik) di
jalan napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas
atas tetap paten atau terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru sehingga
membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya apnea dan dapat
mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan CPAP akan meningkatkan
kualiti hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi ini dianggap efektif untuk pasien
OSA sehingga merupakan terapi lini pertama dan pilihan utama serta merupakan
terapi seumur hidup karena jika pasien menghentikan pemakaian CPAP maka gejalagejala OSA akan terulang kembali.53
Pedoman Medicare menentukan kriteria untuk memberikan CPAP untuk pasien
dengan OSA. Semua pasien dengan indeks apnea-hypopnea (AHI) lebih dari 15
dianggap memenuhi syarat untuk CPAP, terlepas dari simtomatologi. Untuk pasien
dengan AHI dari 5-14, CPAP diindikasikan hanya jika pasien memiliki salah satu dari
hal-hal berikut: kantuk di siang hari yang berlebihan (EDS), hipertensi, atau penyakit
kardiovaskuler. Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat
penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rhinitis, masalah terkait
masker meliputi kulit lecet, ruam, dan konjungtivitis (karena kebocoran udara).
Masalah hidung dapat mencakup rhinorrhea, hidung tersumbat, epistaksis, dan hidung
dan atau mulut kering. Di sisi lain, masalah hubungan dengan patner tidur yang
terganggu akibat alat tersebut.12,43
Tekanan CPAP umumnya diatur secara manual dan dititrasi selama
polisomnogram, hingga didapatkan tekanan yang tepat untuk mengatasi episode apnea
dan hipopnea pada semua tahap tidur dan posisi tubuh, mengurangi fragmentasi tidur,
snoring dan desaturasi oksigen, yang pada akhirnya memperbaiki kehidupan seharihari. AutoPAP (AutoPAP, Self-Titrating CPAP, Auto- Adjust CPAP) dapat dapat pula
digunakan untuk mendapatkan tekanan CPAP yang efektif. Tanda keberhasilan terapi
76
OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik, merasa lebih segar pada waktu bangun
tidur dan terjadi penurunan tekanan darah serta menghilangkan gejala-gejala OSA.
Pasien-pasien OSA yang mendapatkan terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal :
vitalitas dan motivasi, kinerja dalam bekerja, mood, kewaspadaan saat mengendarai
kendaraan dan kualitas hidup. Keberhasilan dari terapi ini sangat bergantung pada
kepatuhan pasien untuk menggunakan alat tersebut, sehingga alat ini menjadi kurang
efektif jika tidak digunakan secara teratur. Variabel-variabel seperti umur, jenis
kelamin, tingkat keadaan mengantuk pada siang hari dan tingkah laku yang
berhubungan dengan penggunaan CPAP merupakan faktor-faktor penentu terhadap
kepatuhan menggunakan CPAP.53
Gambar 2.26. Generator CPAP (atas) dan 3 tipe masker, masker nasal (kiri
bawah), masker oronasal (tengah) dan nasal ‘pillows55
77
Downey, et al. (2014) mengurutkan dari yang paling tidak invasif dan efektif ke
yang paling invasif dan efektif, pengobatan dapat diringkas sebagai berikut:12

Semua pasien harus ditawarkan terapi CPAP nasal terlebih dahulu.

Pada pasien dengan OSA ringan sampai berat yang menolak terapi CPAP nasal,
terapi BiPAP harus dicoba berikutnya. Jika terapi ini gagal atau ditolak, terapi
Oral Apliance (OA) harus dipertimbangkan.

OA dapat dianggap terapi lini pertama untuk pasien dengan OSA ringan,
terutama jika mereka tidak mau mencoba terapi CPAP nasal.

Semua intervensi untuk meningkatkan toleransi terapi CPAP harus dicoba
sebelum memutuskan bahwa pengobatan telah gagal pada pasien tertentu.

Pasien yang terapi medis (misalnya, CPAP, BiPAP, OA) gagal harus ditawarkan
pilihan bedah. Edukasi ke pasien mengenai tingkat keberhasilan untuk setiap
prosedur bedah dan mungkin memerlukan lebih dari 1 prosedur bedah, untuk
menyembuhkan OSA.
Setelah didiagnosis dengan OSA dan memulai CPAP nasal, pasien
memerlukan tindak lanjut reguler dengan spesialis tidur. Sebagian besar evaluasi
dilakukan dalam waktu 2 bulan dari memulai CPAP untuk menentukan apakah sudah
efektif dalam mengurangi gejala (misalnya, kantuk di siang hari secara substansial
berkurang atau hilang), untuk memecahkan masalah dalam mencegah penggunaan
rutin CPAP, dan untuk memperkuat pentingnya penggunaan sehari-hari. Follow-up
selanjutnya tergantung pada apakah CPAP telah efektif. Jika CPAP telah efektif,
pasien umumnya terlihat pada interval 6 – 12 bulan untuk evaluasi masalah baru,
untuk memperkuat penggunaan sehari-hari, dan untuk memastikan bahwa CPAP tetap
efektif.12
Jika CPAP belum efektif, masalah yang mencegah penggunaan diidentifikasi,
langkah-langkah diambil untuk menghilangkan masalah, dan pada interval 2- 3 bulan
sampai penggunaannya rutin dan CPAP dapat mengurangi gejala. Titrasi ulang
mungkin diperlukan. PSG ulag rutin umumnya tidak diindikasikan untuk pasien yang
melaporkan perbaikan gejala. Titrasi CPAP ulang biasanya dilakukan pada pasien
tanpa perbaikan gejala yang efektif meskipun dilakukan intervensi atau pada pasien
yang memiliki penurunan gejala tapi kambuh pada beberapa bulan tahun berikutnya
78
dan melaporkan adanya gejala berulang, umumnya berkaitan dengan kenaikan berat
badan.12 Tidak ada studi randomisasi yang mengevaluasi efektifitas CPAP pada
prevensi primer stroke, walaupun terdapat studi bahwa pada pasien stroke yang
mengalami OSA penggunaan CPAP dapat menurunkan kejadian stroke berulang
dibanding yang tidak mendapat terapi CPAP, namun secara nyata beberapa penelitian
kohort memperoleh hasil CPAP dapat menurunkan resiko kardiovaskuler pada pasien
sleep apnea, dimana pasien yang tidak diterapi CPAP tiga kali beresiko terjadi
kejadian vaskuler fatal maupun non fatal.31,56
d. Bi-level PAP merupakan suatu alat bantu resiprasi non invasif yang mengalirkan
tekanan inspirasi dan ekspirasi yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan
untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah
selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat
diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memberikan aliran
tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai
masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini
adalah menurunkan kerja pernapasan (work of breathing), menurunkan rerata tekanan.
Karenanya bilevel dapat digunakan pada pasien OSA yang tidak toleran terhadap
CPAP atau AutoPAP yaitu, pasien yang mengalami kesulitan menghembuskan napas)
atau yang memiliki komplikasi barotrauma (misalnya, infeksi telinga, kembung).
Metode ini baik untuk pasien PPOK eksaserbasi berulang atau PPOK berat atau
sindroma hipoventilasi, terutama yang menglamai hiperkapnia. Biarpun demikian
pengunaan bi-level sebagai terapi awal OSA tidak dianjurkan, karena metoda ini tidak
lebih baik dibandingkan CPAP. Kalaupun digunakan, tekanan inspirasi dan ekspirasi
harus diatur secara manual sehingga menghasilkan tekanan udara yang rata – rata
lebih rendah. BiPAP terlalu mahal untuk digunakan sebagai terapi lini pertama, dan
tidak memiliki manfaat yang berbeda diatas terapi CPAP. Kepatuhan dengan BPAP
belum terbukti lebih baik dari kepatuhan pada CPAP.12,53
e. Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons dengan
melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran dengan pemberian
tekanan positif jalan napas. OA diindikasikan untuk (1) pasien dengan OSA ringan
sampai sedang yang lebih memilih cara oral daripada perangkat CPAP, (2) pasien
79
dengan OSA ringan sampai sedang yang tidak berespon dengan terapi CPAP, dan (3)
pasien dengan OSA ringan sampai sedang yang upaya pengobatan dengan perangkat
CPAP gagal.3,12 OA seharusnya tidak dipertimbangkan sebagai terapi yang efektif
untuk pasien dengan OSA berat. Tidak seperti kepatuhan pengobatan pada CPAP atau
BiPAP, kepatuhan pengobatan OA tidak diukur secara obyektif. Oleh karena itu, studi
yang membandingkan kepatuhan antara OA dan terapi CPAP atau BiPAP tidak dapat
dipercaya dalam hasil. Seperti halnya ketika CPAP atau BiPAP tidak memiliki data
kepatuhan objektif, kepatuhan pengobatan OA mungkin lebih rendah dari nilai-nilai
yang diterbitkan yang mengandalkan pasien atau laporan praktisi sendiri.12
OA bertindak dengan memindahkan (menarik) lidah ke depan atau dengan
menggerakkan rahang dan langit-langit lunak anterior, memperbesar airspace
posterior, membuka atau melebarkan jalan napas selama tidur.3,12 Mandibular
repositioning devices dapat memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan
obstruksi di orofarings dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong
pasien
dengan
keterbatasan
atau
hilangnya
natural
dentition,
kelainan
temporomandibular dan keterbatasan membuka mulut. Mandibular repositioning
devices ini bekerja dengan meningkatkan ukuran jalan napas faringeal atau dengan
dengan kata lain menurunkan kolaps. Penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan
alat ini memberikan keberhasilan menurunkan nilai AHI (45%) tetapi kurang efektif
dibandingkan CPAP hidung (menurunkan nilai AHI 70%). Pasien lebih menyukai
terapi dengan mandibular repositioning device daripada CPAP hidung. Keberhasilan
metoda ini sekitar 50% sampai 80%. Perbaikan metode pengobatan ini selama
beberapa tahun terakhir berkaitan dengan desain, bahan dan dapat diatur, selain itu
metoda ini memberikan keuntungan karena tidak invasif, mudah dibuat dan dapat
diterima pasien.53,57
Kontraindikasi untuk pengobatan OA meliputi kurang dari 6-10 gigi di setiap
arkus, pasien tidak dapat menonjolkan mandibula ke depan dan membuka rahang
secara luas, terdapat kelainan sendi temporomandibular sebelumnya, bruxisme berat,
pasien dengan gigi palsu penuh. Komplikasi atau efek samping meliputi air liur
berlebihan (salivasi), misaligment gigi dengan perubahan gigitan dan perpindahan
gigi. Selain itu, OA dapat memperburuk atau menyebabkan perubahan oklusal yang
80
merugikan (pada 6 bulan pengobatan), penyakit temporomandibular join (TMJ), nyeri
miofasial, sakit gigi, tersedak, iritasi gusi, perubahan oklusal ssetelah pagi, dan atau
nyeri lidah. Pasien juga merasa keberatan jika harus menggunakan alat ini sepanjang
malam .12,16
Gambar 2.27. Gambar diatas adalah contoh Mandibular repositioning devices
(kiri), Tongue retaining devices (kanan).55
f. Tindakan bedah
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk
saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi
pembedahan OSA adalah AHI ≥ 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di
bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi),
gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi
yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-benar baik
untuk OSA.53,57
Koreksi bedah dari saluran napas bagian atas (UA) masih dilakukan tetapi belum
dianggap terapi utama untuk OSA dengan alasan utama karena tidak adanya hasil
studi jangka panjang yang menunjukkan bahwa koreksi bedah masih tetap efektif
dalam 5 tahun atau lebih setelah dilakukan. Faktor-faktor yang meningkatkan
kemungkinan keberhasilan operasi meliputi (1) AHI lebih rendah, (2) BMI lebih
rendah, (3) lokasi kolaps (operasi ditargetkan khusus untuk kolaps di nasofaring atau
orofaring dapat meningkatkan hasil), (4) derajat tonjolan (protrusi) mandibula (hasil
yang lebih baik dicapai pada pasien dengan defisiensi yang jelas), dan (5)
komorbiditas yang lebih sedikit. AASM merekomendasikan terapi bedah untuk OSA
81
dalam kasus seperti pembedahan diindikasikan hanya jika jenis terapi non-invasif
belum bekerja atau ditolak oleh pasien, prosedur trakeostomi adalah satu-satunya
operasi terbukti hampir 100% efektif sebagai prosedur tunggal untuk OSA namun
bukan menjadi pilihan utama karena invasif, perawatan yang rumit, kurang baik dalam
hal estetika dan menganggu produksi suara. Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)
diindikasikan untuk obstruksi retropalatal, pada kelainan retrolingual maksilamandibula advancement merupakan pilihan.12
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi dengan
melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan tonsil.
Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan, dinyatakan UPPP secara
signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen. UPPP kurang
efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi.12,57 Rekomendasi AASM untuk
UPPP menyatakan bahwa UPPP dengan atau tanpa tonsilektomi, mungkin tepat untuk
pasien dengan penyempitan atau kolaps pada regio retropalatal. Tingkat keberhasilan
bedah tidak tinggi dengan UPPP saja, sekitar 50% ketika keberhasilan bedah
didefinisikan sebagai pengurangan 50% pada RDI dan / atau indeks apnea, dan RDI
pasca operasi kurang dari 20 (atau indeks apnea <10) namun tingkat keberhasilan ini
tidak murni sebab ada prosedur lain sebelumnya sehingga prosedur UPPP saja jarang
direkomendasikan. Komplikasi UPPP meliputi perubahan dalam suara, menyanyi,
atau memainkan alat musik yang memerlukan perubahan gerakan di palatum mole,
nyeri menelan dan nyeri saat bicara, biasanya selama 1-2 minggu pasca operasi,
perdarahan, kesulitan menelan, ketidaknyamanan faring jangka panjang, gangguan
pengecapan, mati rasa lidah.12,57,58
Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal. Teknik ini
dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi pada dasar
lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi oksigen mencapai
angka 66-85%. Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien
yang tidak mengalami kemajuan pasca UPPP dan genioglosus advancement setelah
dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik ini mempunyai angka keberhasilan
97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi oksigen darah.
Muskulus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media berinsersi pada os
82
hyoid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki dengan teknik operasi
miotomi hyoid dengan suspensi.53,58
Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP,
namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan anastesi
lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan pada pasien yang
memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring, hipertrofi tonsil dan
AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan. Teknik operasi lain adalah
radiofrequency ablation (RA) palatum. Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi
daerah palatum dan AHI <15. Angka keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi
keluhan mendengkur dan memperbaiki nilai Epsworth scale mencapai 75%, namun
tidak mengubah nilai AHI.53,58 Prosedur ini telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) Amerika untuk pengobatan mendengkur dan OSA.12
Operasi bariatrik sebagai terapi untuk OSA telah diteliti dalam beberapa studi
secara acak dan studi terkontrol, dengan sebagian besar menunjukkan penurunan AHI
dengan penurunan berat badan. AASM menyatakan bahwa operasi bariatrik dapat
dipertimbangkan sebagai tambahan untuk terapi lini pertama untuk pasien yang
memiliki OSA, yang merupakan kandidat untuk operasi tersebut. Tingkat remisi untuk
OSA dua tahun setelah operasi bariatrik, terkait dengan jumlah penurunan berat
badan, adalah 40%.12
83
BAB III
KESIMPULAN
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa
kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik saat tidur yang mengakibatkan apnea (henti
nafas) dan hipopnea (menurunnya ventilasi) akibatnya terjadi sumbatan total atau sebagian
jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama nonREM atau REM.
Etiologi OSA adalah keadaan komplek yang saling mempengaruhi yaitu, neural, hormonal,
muskular dan struktur anatomi yang menyebabkan kolapsnya saluran nafas atas. Prevalensinya
meningkat pada pasien yang memiliki faktor resiko meliputi umur, jenis kelamin, ukuran dan
bentuk jalan nafas, penyakit lain seperti asma, kelainan endokrin, penyakit neuromuskular, dan
terkait gaya hidup seperti merokok, mengkonsusi alkohol dan kelebihan berat badan.
Beberapa studi epidemologi dan klinis menyatakan bahwa OSA adalah faktor resiko
umum dan dapat diobati guna pencegahan timbulnya hipertensi, gagal jantung, aritmia, dan
stroke, terutama pada pria. Terdapat model kausalitas dua arah, pada individu yang rentan,
seperti hipertensi dan gagal jantung, dengan merangsang aktivitas simpatik, sistem renin
angiotensin-aldosteron menginduksi retensi natrium ginjal sehingga memicu atau memperburuk
sleep apnea melalui pergeseran cairan nokturnal, sleep apnea sendiri mengaktivasi simpatik
nokturnal dan siang hari menyebabkan berkembangnya hipertensi, hipertrofi ventrikel, gagal
jantung, peningkatan aktivitas otonom memicu aritmia jantung. OSA juga menyebabkan
terpicunya radikal bebas, sitokin proinflamasi, disfungsi endotel, penurunan nitrit oksida,
gangguan aksis HPA dan regulasi hormon sehingga memicu resistensi insulin, pembentukan
arterosklerosis dan formasi plak, faktor tersebut nantinya memicu penyakit serebrovaskuler
OSA dapat ditegakkan dengan anamnesis pola tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan indikasi untuk pemeriksaan baku emas OSA
dengan polysomnography. Pengobatan OSA dengan CPAP direkomendasikan sebagai pilihan
utama, pilihan pengobatan lain dapat digunakan modifikasi gaya hidup, oral appliance,
farmakoterapi maupun terapi pembedahan sesuai dengan klinis pasien. Keberhasilan
penatalaksanaan
OSA
memegang
kardiovaskular dan serebrovaskuler.
peranan
penting
dalam
meminimalisir
kejadian
84
DAFTAR PUSTAKA
1.
American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities. 2010.
Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered Breathing; diambil 2015 Juni
16.
Diunduh
dari:
http://www.lung.org/assets/
documents
/publications/solddc-chapters/osa.pdf.
2.
Antariksa, B, Santoso, RM, Astuti, P. 2010. Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan
Penyakit Kardiovaskular. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
FKUI – RS Persahabatan dan Dept Kardiologi dan Ilmu Kedokteran
Vaskular, FKUI – RSPN Jantung Harapan Kita; diambil 2015 Juni 16.
Diunduh
dari:
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%20JANTUNG.pdf
3.
Tedjasukmana, R. 2014. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. hal: 58-65. dalam.
Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1. Kelompok Studi Gangguan
Tidur PERDOSSI. Surabaya.
4.
Qaseem, A, Dallas, P, Owens, DK, Starkey, M, Holty, JC, Shekelle, P. 2014.
Diagnosis of OSA in Adults: A Clinical Practice Guideline From American
College of Physicians. Ann Intern Med; 161:210-220.
5.
Lam, J.C.M, Sharma, S.K, Lam, B. 2010. OSA: Definitions, Epidemiology and
Natural History. Indian J Med Res 131, p:165-170.
6.
Kasai, T, Floras, J.S, Bradley, D. 2012. Sleep Apnea and Cardiovascular Disease: A
Bidirectional Relationship. J Circulation; 126:1495-1510.
7.
Dempsey, J.A, Veasey, S.C, Morgan, B.J, O’Donnell, C.P. 2010. Pathophysiology of
Sleep Apnea. J.Physiol Rev. Vol.90. American Physiological Society. P: 4794.
8.
American Academy of Sleep Medicine. 2014. International classification of sleep
disorders. 3rd ed. Darien, IL: American Academy of Sleep Medicine.
9.
Febriani, D, Yunus, F, Antariksa, B, Andrianto, H. 2011. Relationship Between
Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular. J Kardiol Indones; 32:45-52.
10.
Pillar, G, Lavie, P. 2011. Obstructive sleep apnea: Diagnosis, Risk Factors and
Pathophysiology. p: 383-393. dalam. Handbook of Clinical Neurology. Part I.
Chapter 25. 3rd edition, Elsevier, Amsterdam, The Netherlands.
85
11.
Cao, M.T, Guilleminalut, C, Kushida, C.A. 2011. Clinical Features and Evaluation of
OSA and Upper Airway Resistance Syndrome. p: 1206-1216. dalam.
Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 105. 5th Edition. Saunders
Elsevier. St. Louis Missouri. Canada
12.
Downey, R, Rowley, JA, Wickramasinghe, H, Gold, P.M. 2014. Obstructive Sleep
Apnea;
diambil
2015
Juni
18.
Diambil
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#showall.
13.
Astuti, P, Yunus, F, Antariksa, B, Ratnawati. 2011. Prevalensi dan Gejala Klinis OSA
Pada Pasien Asma. J. Indon Med Assoc, Vol.61, No.7.
14.
Scobel, E. 2014. Sleep Apnea Diagnostic in Cardiac Rehabilitation-Needless?
Nessesary?State of The Art?. Phys Med Rehabil Int; 1(4): 4.
15.
Teodorescu, M, Barnet, JH, Hagen, EW, Palta, M, Young, TB, Peppard, PE. 2015.
Association Between Asthma and Risk of Developing OSA. JAMA; 313(2):
156-164.
16.
Collage of Dental Surgeons of British Colombia. 2014. Standards and Guidelines
OSA. Vancouver, Canada.
17.
Schwab, RJ, Remmers, JE, Kuna, ST. 2011. Anatomy and Physiology of Upper
Airway Obstruction. p: 1154-1169. dalam. Principle and Practice of Sleep
Medicine. Chapter 101. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis Missouri.
Canada.
18.
Redline, S. 2011. Genetics of Obstructive Sleep Apnea. p: 1183-1191. dalam.
Principle and Practice of Sleep Medicine. Chapter 103. 5th Edition. Saunders
Elsevier. St. Louis Missouri. Canada.
19.
Li, Y, Veasey, S.C. 2012. Neurobiology and Neuropathophysiology of OSA. J
Neuromol Med: 14:168-179.
20.
Iturriaga, R, Idiaquez, J. 2014. Contribution of Autonomic Nervous System to The
Hypertension Induced by OSA. Sleep and its Disorders Affect Society. J
Intech; 10.5772
21.
Kaliadzich, Z, Semenik, T, Riazechkin, A, Furmachuck, D, Andrianova, T, Zaikina,
N, Pashkevich, S, Gudny, G, Kulshitsky, V. 2014. Chemoreseptor control gas
homestasis in patients with OSA. Act Nerv Rediviva; 56(3-4): 73-78.
22.
Kohler M, Stradling JR. 2010. Mechanisms of vascular damage in obstructive sleep
apnea. Nat Rev Cardiol;7:677– 685.
86
23.
24.
Parati, G, Hedner, L.J, Bonsignore, M.R, Grote, L, Tkacova, R, Levy, P, Basseti, C,
Sicoli, M, Narkiewicz, K, Somers, V, Mancia, G, McNicholas, W, et al. 2010.
Consensus document on management of patients with OSA and hypertension.
Joint Recommendation by The European Cost Action B26, The European
Society of Hypertension and The European Respiratory Society. Momento
Medico. Italia.
Butt M, Khair OA, Dwivedi G, Shantsila A, Shantsila E, Lip GY. 2011. Myocardial
perfusion by myocardial contrast echocardiography and endothelial
dysfunction in obstructive sleep apnea. Hypertension;58:417– 424.
25.
Berger S, Lavie L. 2011. Endothelial progenitor cells in cardiovascular disease and
hypoxia–potential implications to obstructive sleep apnea. Transl Res;158:1–
13.
26.
Le’vy, P, Tamisier, R, Minniville, C, Launois, S, Pe’pin, J-L. 2011. Sleep Apnea
Syndrome 2011: Current Concepts and Future Directions. Eur Respir Rev;
20:121, 134-146.
27.
Barcelo A, Pierola J, de la Pena M, Frontera G, Yanez A, Alonso-Fernandez A,
Ayllon O, Agusti AG. 2012. Impaired circadian variation of platelet activity
in patients with sleep apnea. Sleep Breath;16:355–360.
28.
Mehra R, Xu F, Babineau DC, Tracy RP, Jenny NS, Patel SR, Redline S. 2010. Sleepdisordered breathing and prothrombotic biomarkers: crosssectional results of
the Cleveland Family Study. Am J Respir Crit Care Med;182:826–833.
29.
Minokadeh, A, Bishop, M.L, Benumof, J. L. 2011. OSA, Anethesia and Ambulatory
Surgery. dalam. Anesthesiology News Guide To Airway Management.
McMahon Publishing.
30.
Marin, J.M, Agusti, A, Villar, I, Forner, M, Nieto, D, Carizzo, S.J, Barbe, F, Vicente,
E, Wei, Y, Nieto, F.J, Jelic, S. 2014. Association Between Treated and
Untreated OSA and Risk of Hypertension. JAMA; 307(20):2169-2176.
31.
Meschia, JF, Bushnell, C, Boden-Albaba, B, Chavturvedi, S, Creager, MA, Eckel, RH,
Elkind, MSV, Fornage, M, , Goldsetin LB, et al. 2014. Guideline for The
Primary Prevention of Stroke: A Statement for Healthcare Professionals From
The American Heart Association / American Stroke Association. Stroke; 45
32.
Gottlieb DJ, Yenokyan G, Newman AB, O’Connor GT, Punjabi NM, Quan SF,
Redline S, Resnick HE, Tong EK, Diener-West M, Shahar E. 2010.
Prospective study of obstructive sleep apnea and incident coronary heart
disease and heart failure: the sleep heart health study. Circulation;122:352–
360.
87
33.
Kuniyoshi, F.H.S, Pusalavidyasagar, S, Sigh, P, Somers, V.K. 2010. Cardiovascular
consequences of OSA. Indian J Med Res; 131: 196-205.
34.
Mehra R, Xu F, Babineau DC, Tracy RP, Jenny NS, Patel SR, Redline S. 2010. Sleepdisordered breathing . Am J Respir Crit Care Med;180.
35.
Ng CY, Liu T, Shehata M, Stevens S, Chugh SS, Wang X. 2011. Meta-analysis of
obstructive sleep apnea as predictor of atrial fibrillation recurrence after
catheter ablation. Am J Cardiol;108:47–51.
36.
Redline S, Yenokyan G, Gottlieb DJ, Shahar E, O’Connor GT, Resnick HE, DienerWest M, Sanders MH, Wolf PA, Geraghty EM, Ali T, Lebowitz M, Punjabi
NM. 2010. Obstructive sleep apnea-hypopnea and incident stroke: the sleep
heart health study. Am J Respir Crit Care Med;182:269 –277.
37.
Guilleninalut, C, Zupanic, M. 2009. Obstructive Sleep Apnea Syndrome. p: 320-339.
dalam. Sleep Disorders Medicine: Basic Science, Technical Consideration
and Clinical Aspects. 3rd edition. Saunders Elsevier. Philadephia. USA
38.
Loke, YK, Breown, JW, Kwok CS, Niruban,A, Myint, PK. 2012. Association of
obstructive sleep apnea with risk of serious cardiovascular events: a
systematic review and meta-analaysis. Circ Cardiovasc Qual Outcomes;
5:720-728.
39.
Gasa M, Salord, N, Fortuna, A.M, Mayos, M, Vilarrasa, N, Dorca, J, Montserrat, J.M,
Bonsignore, M.R, Monaserio, C. 2011. OSA and metabolic impairment in
severe obesity. J Eur Respir; 38: 1089-1097.
40.
Patt BT, Jarjoura D, Haddad DN, Sen CK, Roy S, Flavahan NA, et al. 2010.
Endothelial dysfunction in the microcirculation of patients with obstructive
sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med; 182(12):1540-5.
41.
Andaku, D.K, D’Almeida, V, Carnerio, G, Hix, S, Tufik, S, Togeiro, S.M. 2015.
Sleepiness, inflammation and oxidative stress markers in middle aged males
with OSA without metabolic syndrome: cross-sectional study. Respiratory
Research; 16:3.
42.
Duong-quy, S. 2014. Endothelial Dysfunction in Patients with OSA. J Vasc Med Surg;
3:1
43.
Terrie, Y.C. 2012. OSA: Important Wake-Up Call; diambil 2015 Juni 23. Diunduh
pada:http://www.pharmacytimes.com/publications/issue/2012/december2012/
obstructive-sleep-apnea-an-important-wake-up-call
88
44.
Li, C, Hoffstein, V. 2011. Snoring. p: 1172-1180. dalam. Principle and Practice of
Sleep Medicine. Chapter 102. 5th Edition. Saunders Elsevier. St. Louis
Missouri. Canada.
45.
Epstein L.J, Kristo, D, Strollo, P.J, Friedman, N, Malhotra, A, Patil, S.P, Ramar, K,
Rogers, R, Schwab, R.J, Weaver, E.M, Weisnstein, M.D. 2009. Clinical
Guidline for The Evaluation, Management and Long Term Care of OSA.
American Academy of Sleep Medicine. J Clinical Sleep Medicine Vol.5,
No.3.
46.
Chung F, Subramanyam R, Liao P, Sasaki E, Shapiro C, Sun Y. 2012. High STOPBang score indicates a high probability of obstructive sleep apnoea. Br J
Anaesth;108(5):768-75.
47.
Kim, B, Lee, E.M, Chunh , Y, Kim, W.S, Lee, S.S. 2015. The Utility of Three
Screening Questionnaires for OSA in a Sleep Clinic Setting. Yonsei Med J;
56(3): 684-690.
48.
Ramachandran SK, Kheterpal S, Consens F, Shanks A, Doherty TM, Morris M, et al.
2010. Derivation and validation of a simple perioperative sleep apnea
prediction score. Anesth Analg;110(4):1007-15.
49.
Cintra F, Tufik S, D'Almeida V, Calegare BF, de Paola A, Oliveira W, et al. 2011.
Cysteine: a potential biomarker for obstructive sleep apnea.
Chest;139(2):246-52
50.
Nickerson, J, Lee, E, Nedelman, M, Aurora, R.N, Krieger, A, Horowitz, C.R. 2015.
Feasibility of Portable Sleep Monitors to Detect OSA in Vulnerable Urban
Population. J Am Board Fam Med; 28: 257-264.
51.
Sherrrson, J. 2010. Polysomnography:indications, interpretation and pitfalls.p:14-30.
dalam. Sleep Disorders In Neurology. Blackwell Publishing. Philadhelphia.
USA, p: 14 – 30.
52.
Purnomo, H. 2014. Hipersomnia. hal: 58-65. dalam. Panduan Tatalaksana Gangguan
Tidur. Edisi 1. Kelompok Studi Gangguan Tidur PERDOSSI. Surabaya.
53.
Prasenohadi. 2011. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FK UI. Jakarta.
54.
Kline, CE, Crowley, P, Ewing, GB, Burch, JB, Blair, SN, Durstine, JL, Davis, JM,
Youngstedt, SD. 2011. The Effect of Exercise Training on OSA and Sleep
Quality: A Randomized Controlled Trial. Sleep, Vol.34, No.12.
55.
Lowe, AA. 2015. Point: Non-surgical Management of Obstructive Sleep Apnea. AAO
115th Annual Session. May 18, 2015.
89
56.
Martinez-Gracia, MA, Campos-Rodriquez F, Soler-Cataluna, JJ, Catalan-Serra, P,
Roman-Sanchez, P, Montserrat, JM. 2012. Increased incidence of non-fatal
cardiovascular events in stroke patients with sleep apnoea: effect of CPAP
treatment. Eur Respir J; 39:906-912.
57.
Randerath, W.J, Steffen, A. 2014. Treatment Option For OSA. Respiratory, European
Medical Journal
58.
Caples, S.M, Rodley, J.A, Prinsell, J.R, Pallanch, J.F, Elamin, M.B, Katz, S.G,
Harwick, J.D. 2010. Surgical Modification of the Upper Airway for OSA
Adults: Systematic Review and Meta Analysis. Sleep, Vol. 33, No.10
Download