Korelasi Kuantitas Streptococcus mutans pada Plak Lidah dan

advertisement
Korelasi Kuantitas Streptococcus mutans pada Plak Lidah
dan Saliva dengan Risiko Karies Tinggi
Dhiatfa Amanda Sylvania1, Ferry P. Gultom2, Boy M. Bachtiar2
1
2
Undergraduate Program, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia
Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Latar Belakang: Prevalensi early childhood caries di Indonesia terus meningkat. Streptococcus mutans
merupakan bakteri utama penyebab terjadinya karies yang memiliki habitat di lidah dan saliva. Tujuan:
Menganalisa korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di lidah dan saliva anak usia 3-5 tahun dengan risiko
karies tinggi Metode: Kuantifikasi Streptococcus mutans dari sampel plak lidah dan saliva dengan metode
qPCR. Hasil: Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dan
saliva dengan risiko karies tinggi (p>0,05). Kesimpulan: Kuantitas Sreptococcus mutans di plak lidah dan saliva
tidak memiliki korelasi dengan risiko karies tinggi.
Correlation between Quantity of Streptococcus mutans in Tongue Plaque
and Saliva and High Risk Caries
Abstract
Background: Prevalence of early childhood caries in Indonesia continues to increase. Streptococcus mutans is
the main bacterial cause of caries which inhabit tongue plaque and saliva. Aim: To analyze the correlation
between quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva of children aged 3-5 years and high risk
caries. Methods: Quantification of Streptococcus mutans by qPCR method. Result: There was no significant
correlation between quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva and high risk caries (p>0.05).
Conclusion: The quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva has no correlation with high risk
caries.
Keywords: Early childhood caries, qPCR, saliva, Streptococcus mutans, tongue plaque.
Pendahuluan
Karies gigi memiliki prevalensi tertinggi dari seluruh masalah kesehatan mulut. Di
Amerika Serikat, prevalensi dan tingkat keparahan karies pada anak usia 3-5 tahun sebesar
90%.(Norman & O’Sullivan, 1997) Sementara di Indonesia prevalensi karies anak usia 3-5
tahun meningkat secara konstan. Pada tahun 1988 prevalensi karies anak prasekolah di Jakarta
dan sekitarnya berkisar 85,17% sementara pada tahun 2001 prevalensi karies anak usia 3-5
tahun meningkat menjadi 81,2%.(Suwelo, 1992)
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Karies gigi merupakan penyakit kronis yang paling umum terjadi pada masa anakanak.(McDonald, Avery, & Jefferey A, 2011) Menurut The American Academy of Pediatric
Dentistry (AAPD), karies gigi anak usia prasekolah / early childhood caries (ECC) adalah
adanya satu atau lebih kerusakan gigi (dengan ada atau tanpa kavitas), kehilangan gigi (akibat
karies), atau restorasi gigi sulung pada anak usia ≤ 71 bulan. (American Academy of Pediatric
Dentistry, 2011) Kerusakan pada rongga mulut yang diakibatkan oleh ECC cukup parah.
Anak dapat mengalami kehilangan gigi depan yang menyebabkan terhambatnya
perkembangan dalam proses bicara, pertumbuhan fisik dan trauma psikososial.(RamosGomez & Featherstone, 2002)
Karies gigi merupakan suatu proses demineralisasi yang progresif pada jaringan
keras permukaan mahkota dan akar gigi dimana mikroorganisme memegang peranan utama.
Streptococcus mutans merupakan mikroorganisme yang menjadi agen etiologi utama pada
kerusakan gigi.(Ersin & Aksit, 2006) Streptococcus mutans dapat menghasilkan asam laktat
sebagai produk dari metabolisme karbohidrat dimana asam tersebut akan melarutkan mineral
gigi sehingga terjadi karies. Selain kemampuannya dalam menghasilkan asam (asidogenik),
faktor virulensi Streptococcus mutans lain yang memegang peranan penting dalam proses
pembentukan karies adalah ketahanannya untuk dapat hidup di lingkungan asam (asidurik).
Selain itu salah satu ciri dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan menempel pada semua
lokasi permukaan habitatnya dalam rongga mulut (adhesi). (Tanner, 1992)
Jumlah Streptococcus mutans meliputi 30-60% dari seluruh bakteri yang ada pada
gigi, mukosa bukal, lidah dan saliva. Aktivitas Streptococcus mutans dalam menempel pada
bagian-bagian rongga mulut dibantu oleh reseptor yang terkandung dalam pelikel saliva,
seperti sIgA, B2, mikroglobulin, dan glikoprotein. Karena ikatan dan agregasi antara bakteri
dengan komponen saliva inilah maka bakteri memiliki kemampuan adhesi pada jaringan
mulut terutama pada permukaan gigi.(Tanner, 1992),(Nakai, Okahashi, Ohta, & Koga, 1993)
Selain di saliva, Streptococcus mutans juga dapat ditemukan pada lidah. Lidah
merupakan organ otot yang bergerak yang terletak di dalam rongga mulut dan setengahnya
lagi terletak di orofaring. Bentuk dan letak anatomis lidah dengan banyak papilla dan adanya
fisura di bagian tengah, menyebabkan banyak sekali bakteri bersembunyi di bagian
dorsal.(Prijono, 2008) Lebih dari 100 bakteri ditemukan melekat pada setiap sel epitel terlepas
yang ada di permukaan dorsal lidah. Beberapa bakteri tersebut antara lain Streptococcus
mutans, Streptococcus salivarius, Streptococcus viridians, dan Peptostreptokokus yang
merupakan bakteri penghuni mulut dan penyebab utama karies gigi.(Guyton, 1995)
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Karies gigi dapat dicegah atau dirawat sejak dini. Perawatan yang diberikan kepada
setiap anak berbeda-beda tergantung tingkat risiko kariesnya. Hal ini dikarenakan setiap
individu memiliki keadaan lingkungan rongga mulut yang berbeda yang dapat mempengaruhi
terjadinya proses karies sehingga pemeriksaan faktor risiko karies harus dilakukan secara
individual. Risiko karies adalah kemungkinan berkembangnya karies pada individu atau
terjadinya perubahan status kesehatan yang mendukung terjadinya karies pada suatu periode
tertentu.(Varsio S, 1999)
Uji Streptococcus mutans yang diisolasi dari plak gigi dapat digunakan sebagai salah
satu indikator risiko karies. Individu dengan jumlah Streptococcus mutans yang tinggi
biasanya memiliki tingkat risiko karies yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Selain pada
permukaan gigi, Streptococcus mutans juga dapat ditemukan pada plak lidah dan saliva.
Berdasarkan hal-hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk menganalisa korelasi antara
kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dan saliva dengan risiko karies tinggi sehingga
dapat bermanfaat untuk memberi pengetahuan tentang penyebab terjadinya karies sehingga
dapat digunakan sebagai salah satu upaya preventif terhadap ECC.
Tinjauan Teoritis
Karies Gigi
Karies adalah salah satu penyakit jaringan keras gigi yang infeksius dan menyebabkan
kerusakan jaringan keras setempat. Karies gigi dapat diartikan sebagai pembusukan gigi atau
gigi berlubang.(Sabir, 2005)
Karies ini bersifat lokal, mengalami progresif demineralisasi jaringan keras pada mahkota
(enamel, dentin) dan akar (sementum, dentin) pada permukaan gigi. (W Lewis & I. Ismail,
1993) Demineralisasi ini terjadi karena produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri, terutama
Streptococcus mutans dan lactobacilli, yang melakukan fermentasi pada makanan yang
bersifat karbohidrat.
Karies merupakan penyakit multifaktorial. Faktor-faktor penyebab karies antara lain
kondisi rongga mulut, mikroorganisme, substrat dan waktu.(Samaranayake, 2006) Bakteri
sebagai agen dan hasil metabolismenya merupakan faktor utama pencetus karies. Sedangkan
faktor-faktor lain seperti akumulasi dan retensi plak pada gigi, frekuensi karbohidrat dan
makanan asam, komponen-komponen saliva dan fluoride adalah faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan karies.(Mount & Hume, 2005) Selain faktor-faktor primer
tersebut, ada faktor modifikasi yang mempengaruhi karies, yaitu status sosioekonomi, gaya
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
hidup, riwayat dental, dan compliance dari individu itu sendiri. karena penyebab karies yang
multifaktorial tersebut, terdapat perbedaan risiko karies pada tiap individu.(Samaranayake,
2006)
Early Childhood Caries
Menurut The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), karies gigi anak usia
prasekolah / early childhood caries (ECC) adalah adanya satu atau lebih karies gigi (dengan
atau tanpa adanya kavitas), kehilangan gigi (akibat karies), atau restorasi gigi sulung pada anak
usia ≤ 71 bulan. Terdapat pula keadaan yang dikategorikan sebagai Severe ECC (S-ECC) jika
kondisi tersebut terjadi pada anak usia kurang dari 3 tahun.(American Academy of Pediatric
Dentistry, 2011)
ECC dimulai segera saat gigi sulung anak mulai erupsi dan berkembang cepat terutama
pada anak dengan risiko karies tinggi. Pada fase awal, ECC ditandai dengan nyeri tumpul,
demineralisasi email dengan cepat yang dapat berkembang menjadi karies sepanjang margin
gingival. Gigi yang pertama kali terkena adalah gigi insisif sulung maksila. Lesi dapat ditemui
pada sisi labial, lingual, atau keduanya.10
American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) mengklasifikasikan kategori risiko
karies menjadi tiga, yakni risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Masing-masing
klasifikasi tersebut memiliki tiga indikator utama yang membedakannya, yaitu kondisi klinis,
karakteristik lingkungan, dan kondisi kesehatan umum.
Tabel 1 Kategori Risiko Early Childhood Caries (AAPD, 2011) :
Indikator Risiko
Risiko Rendah
Karies
Kondisi Klinis
Tidak terdapat karies
gigi pada 24 bulan
terakhir
Tidak
terdapat
demineralisasi email
Tidak
terdapat
Risiko Sedang
Risiko Tinggi
Terdapat karies gigi
pada
24
bulan
terakhir
Terdapat 1 area yang
mengalami
demineralisasi
Terdapat karies gigi pada
12 bulan terakhir
plak; Gingivitis
tidak terdapat gingivitis
Lebih
dari
1
area
mengalami demineralisasi
(karies email “white-spot
lesion”)
Terdapat
plak
yang
terlihat pada gigi anterior
Pada radiograf, terlihat
gambaran karies email
Jumlah
Streptococcus
mutans tinggi (terlihat
pada titer)
Menggunakan
alat
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Karakteristik
Ekspos
sistemik
optimal
Lingkungan
fluoride
dan topikal
Konsumsi gula atau
makanan
yang
berkaitan kuat dengan
inisiasi karies hanya
pada waktu makan
utama
Status
sosioekonomi
pengasuh tinggi
Penggunaan pelayanan
dental teratur
Kondisi
Kesehatan
Umum
ortodontik atau dental
lainnya
Hipoplasia email
Ekspos
fluoride Ekspos fluoride topikal
sistemik suboptimal suboptimal
dengan
fluoride
topikal yang optimal
Terdapat 1-2 kali Terdapat 3 kali atau lebih
konsumsi gula atau konsumsi
gula
atau
makanan
yang makanan yang berkaitan
berkaitan kuat dengan kuat dengan karies di selakaries di sela-sela sela waktu makan utama
waktu makan utama
Status sosioekonomi Status
sosioekonomi
pengasuh menengah
pengasuh rendah
Penggunaan
Tidak ada pelayanan
pelayanan
dental dental yang digunakan
tidak teratur
Terdapat karies aktif pada
ibu
Anak dengan kebutuhan
perhatian
kesehatan
khusus
Kondisi
yang
mengganggu komposisi
atau laju alir saliva
Keterangan Kategori Risiko Karies :
• Risiko tinggi
•
: jika terdapat satu indikator pada kategori risiko tinggi
Risiko sedang
: jika terdapat minimal satu indikator risiko sedang dan tidak terdapat
indikator risiko tinggi
• Risiko rendah
: tidak terdapat indikator risiko sedang dan tinggi
Flora Normal Rongga Mulut
Rongga mulut merupakan pintu utama masuknya berbagai macam mikroorganisme ke
dalam tubuh. Namun tidak semua mikroorganisme bersifat patogen, di dalam rongga mulut
mikroorganisme yang masuk akan dinetralisisir oleh zat anti bakteri yang dihasilkan oleh
kelenjar saliva dan bakteri flora normal.(Patil, Amrutha, & Sanketh, 2013)
Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan selaput
lendir/mukosa baik pada manusia yang sehat maupun sakit. Pertumbuhan flora normal pada
bagian tubuh tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan adanya zat penghambat.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Keberadaan flora normal pada bagian tubuh tertentu mempunyai peranan penting dalam
pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu zat yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lain. Adanya flora normal pada bagian tubuh tidak selalu menguntungkan,
dalam kondisi tertentu flora normal dapat menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi
perubahan substrat atau berpindah dari habitat yang semestinya.(Patil et al., 2013),(Geo &
Karen, 2010)
Flora normal dalam rongga mulut terdiri dari Streptococcus mutans, Streptococcus
viridans, Staphylococcus sp dan Lactobacillus sp. Meskipun sebagai flora normal dalam
keadaan tertentu bakteri-bakteri tersebut bisa berubah menjadi patogen karena adanya faktor
predisposisi yaitu kebersihan rongga mulut. Sisa-sisa makanan dalam rongga mulut akan
diuraikan oleh bakteri menghasilkan 8 asam, asam yang terbentuk menempel pada email
menyebabkan demineralisasi akibatnya terjadi karies gigi. Bakteri flora normal mulut bisa
masuk aliran darah melalui gigi yang berlubang atau karies gigi dan gusi yang berdarah
sehingga terjadi bakterimia.(Patil et al., 2013),(Geo & Karen, 2010)
Di antara berbagai mikroorganisme dalam rongga mulut, Streptococcus mutans
merupakan bakteri utama penyebab karies.(Lehner, 1997)Streptococcus mutans merupakan
bakteri jenis gram positif berbentuk bulat atau oval yang berpasangan dan membentuk rantai
dengan diameter 0,7-0,9 µm.(Samaranayake, 2006) Secara taksonomi, Streptococcus mutans
dimasukkan ke dalam kingdom Monera, divisi Firmicutes, ordo Lactobacilalles, famili
Streptococcaceae, genus Streptococcus dan spesies S.mutans.(Samaranayake, 2006),(Marsh &
Michael, 1999)
Streptococcus mutans merupakan bakteri utama yang terlibat dalam proses terjadinya
karies gigi.(Gao, Chu, & Samaranayake, 2012) Sebuah studi melaporkan adanya relasi positif
antara Streptococcus mutans di dalam saliva dengan prevalensi karies. Sejak saat itu,
kandungan Streptococcus mutans di dalam saliva menjadi bagian penting dalam penilaian
risiko karies. Walaupun demikian, ada beberapa subjek yang memiliki kandungan
Streptococcus mutans yang tinggi di dalam saliva tetapi tidak mengalami lesi karies. Hal ini
menunjukkan bahwa mungkin ada faktor lain selain kuantitas Streptococcus mutans di dalam
saliva yang berkontribusi terhadap risiko karies, yaitu virulensinya. Faktor virulensi utama
terkait
kariogenitas
Streptococcus
mutans
yaitu
perlekatan
(adhesi),
kemampuan
memprodukasi asam (asidogenisitas) dan toleransi terhadap lingkungan asam (asidurisitas).
Ketiga faktor tersebut bekerja sama untuk mengubah sifat fisik dan kimia biofilm, hasilnya
berupa perubahan ekologis dalam bentuk peningkatan Streptococcus mutans dan spesies
asidogenik dan asidurik lainnya.(Mattos-Graner & Smith, 2004)
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Patogenesis molekuler Streptococcus mutans yang meyebabkan karies gigi terdiri atas
beberapa tahap. Tahap pertama, bakteri asidogenik membutuhkan permukaan keras untuk
berkolonisasi dan berakumulasi. Tahap kedua, terjadi perlekatan di permukaan gigi diawali
oleh interaksi protein bakteri dengan lektin di pelikel yang menutupi permukaan gigi. Tahap
ketiga, yaitu mineral hidroksiapatit di email larut oleh asam laktat hasil metabolisme
bakteri.(Samaranayake, 2006)
Proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri dimulai dengan pemecahan sukrosa oleh
enzim ekstraseluler, yaitu glucosyltranferase dan fruktosiltransferase menjadi glukosa dan
fruktosa. Monosakarida yang dihasilkan melalui reaksi ini kemudian diubah menjadi
polisakarida yang larut dalam air (glukan) dan tidak larut dalam air (fruktan). Glukan dan
fruktan merupakan sumber makanan utama bagi bakteri dan berkontribusi dalam
pembentukan plak dengan memfasilitasi adhesi dan agregasi bakteri plak serta sebagai
matriks untuk perkembangan plak selanjutnya. Sebagian dari sukrosa masuk secara langsung
ke dalam sel bakteri dalam bentuk disakarida atau disakarida fosfat, yang kemudian
dimetabolisme secara intraseluler oleh enzim invertase sucrose dan phosphate hydrolase
menjadi glukosa dan fruktosa. Selama proses glikolisis, glukosa dipecah menjadi dua molekul
piruvat. Dalam kondisi rendah karbohidrat, piruvat diubah menjadi etanol, asetat, dan format.
Sebaliknya
saat
karbohidrat
berlebihan,
piruvat
akan
diubah
menjadi
asam
laktat.(Samaranayake, 2006) Streptococcus mutans menjadi penyebab karies karena
kemampuannya membentuk glukan dari sukrosa yang digunakan untuk melekat pada pelikel
permukaan gigi.(Kreth & Qi, 2008), (Mount & Hume, 2005),(Marcotte & Lavoie, 1998)
Saliva
Saliva adalah suatu cairan kompleks yang disekresi oleh kelenjar saliva mayor dan
minor dan pengeluarannya diatur oleh sistem saraf otonom. Sekresi saliva setiap harinya
mencapai 1.5 liter dengan pH yang sedikit basa, yaitu 7.4. Saliva mengandung substansi
organik dan inorganik, seperti glikoprotein, enzim, laktoferin, sistatin, histatin, dan juga
imunoglobulin.(Preetha & Banerjee, 2005)
Saliva memegang peran yang penting dalam melindungi gigi terhadap asam dan juga
melindungi jaringan lunak mulut dari dehidrasi dan agen patologis. Bukti paling nyata bahwa
saliva melindungi gigi adalah kerusakan gigi yang hebat dan cepat apabila terjadi kekurangan
saliva. Sebagai contohnya pada pasien yang terkena xerostomia yang disebabkan oleh obatobatan atau radiasi yang menyebabkan berkurangnya produksi saliva.(Mount & Hume, 2005)
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Saliva melindungi gigi dengan beberapa cara. Pertama, saliva tersaturasi dengan Ca2+
dan HPO42- yang dapat menggantikan permukaan gigi dari kehilangan ion yang disebabkan
karena demineralisasi oleh asam. Kedua, HPO42- mempunyai kapasitas buffer pada saat
resting pH dan tahap awal adanya asam. Ketiga, adanya pelikel yang terbentuk dari saliva
melindungi permukaan gigi dari asam. Keempat, adanya buffer dari bikarbonat yang
melindungi gigi dari asam. Kelima, adanya aliran saliva yang membantu membuang sisa
makanan dan mikroorganisme serta adanya ion fluoride yang dapat menggantikan mineral
gigi.(Mount & Hume, 2005)
Komponen-komponen
organik
dalam
saliva
khususnya
mukous
glikoprotein,
merupakan bahan makanan bagi bakteri-bakteri dalam mulut. Kandungan bakteri dalam saliva
diperkirakan mendekati 109 bakteri per ml. Streptococcus mutans dalam saliva dapat
berjumlah lebih dari 107 CFU (Colony Forming Unit) per ml. Terdapat hubungan yang sangat
bermakna antara jumlah Streptocccus mutans dalam saliva dengan prevalensinya, baik dalam
arti jumlah permukaan gigi yang terkolonisasi atau tingkat infeksi pada permukaan
gigi.(Gronroos, 2000),(Pulliam, Porschen, & Hadley, 1980),(Tenovuo, 1998)
Lidah
Lidah merupakan indera pengecapan yang memiliki peran sebagai alat perasa dalam
mulut. Umumnya lidah memiliki sedikitnya empat fungsi pengecapan primer yaitu asam, asin,
manis, dan pahit. Permukaan lidah juga dapat merasakan panas, dingin, kasar, halus, dan
nyeri.(Prijono, 2008)
Lidah adalah organ otot yang bergerak yang dapat diasumsikan memiliki variasi bentuk
dan posisi. Setengah bagian dari lidah terletak didalam rongga mulut dan setengahnya lagi
terletak di orofaring. Lidah terlibat dalam proses mastikasi, memberi rasa, menelan, artikulasi,
dan pembersihan mulut.(Prijono, 2008)
Bagian dorsal lidah adalah permukaan pada bagian posterior superior, yang terletak
sebagian di dalam rongga mulut dan sebagian lagi terletak di dalam orofaring, dan
mempunyai bentuk dan alur seperti huruf V.(Prijono, 2008),(Guyton, 1995)
Warna lidah yang sehat adalah merah terang, dengan permukaan yang tidak rata karena
keberadaan papilla. Didalam papilla pengecapan ditemukan satu atau lebih tunas pengecapan,
mempunyai diameter 50 µm dan dibangun dari 50 sel berbentuk panjang, yang berakhir
dengan mikrovili di dalam pori pengecapan.(Guyton, 1995)
Ada 4 jenis papilla pada lidah, yaitu filiform, fungiform, foliate, vallatae. Semua papilla
tersebut memiliki kuncup pengecap, kecuali papilla vallatae yang hanya berfungsi untuk
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
membantu “memegang” makanan. Terdapat kurang lebih 10.000 kuncup pengecap pada lidah
manusia dewasa. Namun seiring dengan beratambahnya usia, sebagai kuncup pengecapnya
mengalami atrofi / mati. Kuncup pengecap inilah yang berfungsi untuk menentukan rasa yang
dimiliki suatu makanan.(Guyton, 1995)
Struktur papilla pada bagian dorsal lidah membentuk lingkungan unik yang menjadi
sebuah area permukaan luas tempat akumulasi mikroorganisme dan sisa-sisa makanan di
mulut.(Jacobson, Crawford, & McFall, 1973),(Bosy, Rosenberg, & McCulloch, 1994)
Mikroorganisme yang ada pada lidah memiliki kontribusi terhadap pembentukan plak pada
gigi.(Jacobson et al., 1973),(Van der Velden, Van Winkelhoff & De Graaff, 1986) Menurut
penelitian Sarrazin, bagian dorsal lidah tidak pernah lepas dari adanya bakteri Streptococcus
dan Staphylococcus. Kedua bakteri ini memiliki massa 90% dari total massa seluruh bakteri
yang ada pada lidah. Koloni bakteri pada tonsil, gigi dan gusi berasal dari bakteri pada lidah
terutama dari bagian posterior.(Sarrazin, 1920)
Plak lidah terdiri dari bakteri, sejumlah besar sel epitel yang terlepas dari mukosa oral,
dan leukosit dari poket periodontal. Menurut De Boever dan Loesche, tidak terdapat
hubungan antara profil permukaan lidah (yang memiliki fissure maupun tidak) seseorang
dengan jumlah Colony Forming Unit (CFU) bakteri pada lidah tersebut.(Yaegaki & Sanada,
1992) Jumlah Streptococcus mutans pada plak lidah dapat berpengaruh pada jumlah
Streptococcus mutans di saliva dimana Streptococcus mutans pada plak lidah bergantung pada
pengaruh dan kehadiran Streptococcus mutans yang terdapat pada saliva. Ketika jumlah
bakteri Streptococcus mutans di lidah bertambah maka jumlah Streptococcus mutans di
salivapun juga bertambah.(Togelius, Kristoffersson, Anderson, & Bratthall, 1984),(Lindquist,
Emilson, & K. Wennerholm, 1989)
Real-Time PCR (qPCR)
Real Time PCR (qPCR) adalah suatu metode analisa yang dikembangkan dari teknik
PCR konvensional. Dalam ilmu biologi molekular, qPCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR
di laboratorium untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi)
jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut. qPCR memungkinkan dilakukannya
deteksi dan kuantifikasi terhadap sekuens spesifik dari sampel DNA yang dianalisa.
Pada qPCR, pengamatan dilakukan pada saat reaksi berlangsung, keberadaan DNA hasil
amplifikasi dapat diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari
probe (penanda).
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Cara kerja qPCR mengikuti prinsip umum reaksi PCR dimana DNA yang telah
diamplifikasi dihitung setelah diakumulasikan dalam reaksi secara real timeselama proses
berlangsung. Terdapat 2 metode kuantifikasi yang umum digunakan, yaitu kuantifikasi
absolut dan kuantifikasi relatif.
Kuantifikasi absolut didapat dengan membandingkan nilai CT sampel yang di tes pada
kurva standar. Hasil dari analisis adalah kuantitas asam nukleat (jumlah copyan, µg) per
jumlah sampel yang diberikan (per cell, per µg total RNA). Sementara kuantifikasi relatif
merupakan metode yang hasil analisisnya adalah rasio antara jumlah relatif pada target asam
nukleat dengan sampel kontrol.
Untuk kedua metode kuantifikasi baik absolut maupun relatif, kuantitas yang diperoleh
dari hasil Real Time PCR harus dinormalisasi agar data menjadi bermakna secara biologis.
Pada kuantifikasi absolut, normalisasi digunakan untuk menyesuaikan atau menstandarisasi
kuantitas target yang diperoleh menjadi jumlah unit sampel. Pada kuantifikasi relatif,
normalisasi digunakan untuk memastikan kuantitas target dari jumlah yang setara pada
sampel telah dibandingkan.(Bio-Rad Laboratories, Inc., 2006)
Metode Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif
analitik
dengan
pendekatan
observasional laboratorik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Oral Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada bulan Juli sampai dengan November 2014.
Sampel penelitian yang digunakan berupa plak lidah dan saliva dari 9 subjek penelitian
dengan kategori risiko karies tinggi berdasarkan kriteria American Academy of Pediatric
Dentistry (AAPD). Bahan uji pada penelitian ini adalah DNA Streptococcus mutans yang
berasal dari ekstraksi sampel plak lidah dan saliva yang didapat dari subjek. Kriteria inklusi
subjek penelitian yaitu laki-laki atau perempuan berusia 3-5 tahun, termasuk ke dalam
kategori risiko karies tinggi berdasarkan klasifikasi AAPD (American Academy of Pediatric
Dentustry), dan bersedia untuk berpartisipasi dengan menandatangani informed consent.
Adapun kriteria eksklusi yaitu anak dengan keterbelakangan mental dan sedang minum obatobatan yang dapat mempengaruhi pembentukan saliva.
Alur penelitian adalah sebagai berikut. Kurva standar Streptococcus mutans dibuat
berdasarkan bakteri standar Streptococcus mutans ATCC® 25175. DNA Streptococcus
mutans diekstraksi dengan metode towing kemudian dilakukan pengenceran berseri hingga
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
didapat konsentrasi 101. Setelah dilakukan pengenceran berseri, bakteri standar disimpan
dalam lemari pendingin bersuhu -20ºC.
Orang tua calon subjek diberitahukan mengenai perlakuan yang akan diberikan
terhadap anaknya. Apabila orang tua calon subjek menyetujui, maka dilakukan
penandatanganan informed consent. Kemudian dilakukan pemeriksaan intraoral terhadap
subjek yang meliputi ada tidaknya karies, area demineralisasi email, plak gigi, gingivitis dan
penggunaan alat orthodonti atau alat dental lain. Apabila subjek termasuk ke dalam kategori
risiko karies tinggi sesuai dengan AAPD, maka dilakukan pengambilan sampel berupa plak
lidah dan saliva. Plak lidah diambil dengan cara mengusapkan cotton bud ke bagian dorsal
lidah dari bagian posterior ke arah anterior sebanyak 10 kali. Sampel saliva sebanyak 1 mL
diambil dari dasar mulut subjek dengan menggunakan pipet berukuran 3 mL. Seluruh DNA
sampel plak lidah dan saliva diekstraksi dengan metode towing.
Konsentrasi DNA yang telah diekstraksi sebelumnya dihitung dengan menggunakan
kuvet berisi sampel yang dimasukkan ke dalam mesin spektrofotometer. Hal ini digunakan
untuk penyamaan konsentrasi sampel yang akan di running di mesin PCR. Panjang
gelombang yang digunakan pada spektrofotometer ini adalah 260 nm dan 280 nm. Hal ini
karena penyerapan maksimum panjang gelombang pada asam nukleat dan protein adalah pada
260 nm dan 280 nm.
Seluruh sampel DNA dicampur dengan sybr green, forward dan reverse primer serta
aqua bidestilata ke dalam well plate qPCR. Well plate qPCR yang telah diisi, ditutup dengan
cap strip kemudian disentrifugasi dan dimasukkan ke dalam mesin qPCR.
Setelah dilakukan proses qPCR maka hasil yang didapat adalah Cycle Threshold (CT)
dari masing-masing sampel. Cycle Threshold adalah jumlah siklus dimana sinyal fluoresens
pada reaksi memotong threshold. Nilai CT berbanding terbalik dengan jumlah dari target.
Pada penelitian ini penghitungan kuantitas bakteri Streptococcus mutans dilakukan dengan
kuantifikasi absolut. Kuantitas bakteri target didapat berdasarkan korelasi antara CT dengan
Colony Forming Unit (CFU) pada kurva standar.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan program IBM SPSS Statistics 21.
Diawali dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (n>50) kemudian dilakukan uji korelasi
antara kuantitas Streptococcus mutans pada plak lidah dan saliva dengan jumlah karies pada
kategori risiko karies tinggi. Data kuantitas Streptococcus mutans pada plak lidah
berdistribusi normal sehingga dapat diuji menggunakan analisis bivariat Pearson correlation
sedangkan data kuantitas Streptococcus mutans pada saliva tidak terdistribusi normal
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
sehingga diuji dengan analisis statistik Spearman correlation. Kedua uji statistik yang
dilakukan memiliki tingkat signifikansi 0,01 (p = 0,01).
Hasil Penelitian
Pada penelitian yang dilakukan dengan metode qPCR ini, hasil yang didapat adalah
kuantitas bakteri Streptococcus mutans pada plak lidah dan saliva dari 9 orang dengan
kategori karies tinggi yang memiliki perbedaan jumlah gigi yang terkena karies, yaitu 3,4,5
dan 9 karies.
Deteksi dan kuantifikasi bakteri ditentukan dengan melihat angka siklus kejadian berupa
siklus threshold (CT) yang artinya bakteri Streptococcus mutans sudah teramplifikasi dalam
siklus threshold tersebut.
Tabel 2 Rata-rata angka siklus kejadian dari deteksi Streptococcus mutans di plak lidah dan
saliva pada kategori risiko karies tinggi
No.
Sampel
Rata-rata
N
CT Mean
1.
Plak Lidah
20.96725337
9
2.
Saliva
29.79225137
9
Tabel 1 menunjukkan bahwa semua sampel pada kategori risiko karies tinggi baik di
plak lidah maupun saliva terdeteksi mengandung Streptococcus mutans.
Kuantifikasi jumlah bakteri Streptococcus mutans dilakukan dengan metode
kuantifikasi absolut, yakni membandingkan cycle threshold (CT) yang didapat dengan kurva
standar bakteri yang sebelumnya telah dibuat. Hasil akhir yang diperoleh merupakan kuantitas
bakteri (CFU/mL).
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Log CFU
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 y = -­‐0.353x + 11.324 R² = 0.9933 0 5 10 15 Streptococcus mutans 20 25 Cycle Threshold
Gambar 1 Garis persamaan kurva standar bakteri Streptococcus mutans
Gambar 1 merupakan kurva standar bakteri Streptococcus mutans. Angka pada sumbu
x menunjukkan cycle threshold (CT) yang didapat dari hasil pengenceran standar bakteri
target. Sedangkan angka pada sumbu y menunjukkan persamaan logaritma dari jumlah
standar bakteri.
Setelah dilakukan penghitungan, hasil yang didapat dari sampel plak dan saliva adalah
sebagai berikut:
Tabel 3 Hasil Perhitungan Spearman Correlation Hubungan antara Kuantitas Bakteri
Streptococcus mutans di Plak Lidah dengan Jumlah Karies
pada Risiko Karies Tinggi
Kuantitas Bakteri di
Jumlah Karies
Plak Lidah
Spearman Correlation
1
-.106
Jumlah Karies
Sig. (2-tailed)
.785
N
9
9
-.106
1
Kuantitas Bakteri Spearman Correlation
Sig. (2-tailed)
.785
di Plak Lidah
N
9
9
Hasil analisis bivariat pada tabel 2 menunjukkan nilai korelasi antara kuantitas bakteri
Streptococcus mutans di plak lidah dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi.
Nilai korelasi yang didapat sebesar -0,106 yang berarti hubungan antara kuantitas bakteri
Streptococcus mutans di plak lidah dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi
sangat lemah dan tidak searah. Berdasarkan perhitungan Spearman Correlation, angka
signifikansi yang didapat adalah 0.785 dengan nilai α = 0,01. Nilai p tersebut menunjukkan
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
bahwa hubungan antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans dengan banyaknya jumlah
karies pada risiko karies tinggi tidak signifikan (p>0,01).
Tabel 4 Hasil Perhitungan Pearson Correlation Hubungan antara Kuantitas Bakteri
Streptococcus mutans di Saliva dengan Jumlah Karies
pada Risiko Karies Tinggi
Jumlah Karies
Jumlah Karies
Kuantitas Bakteri
di Saliva
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
1
9
-.104
.790
9
Kuantitas Bakteri di
Saliva
-.104
.790
9
1
9
Tabel 3 menunjukkan nilai korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans di
saliva dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi sebesar -0,104 dengan nilai
signifikansi 0,790 yang berarti hubungan kuantitas bakteri Streptococcus mutans di saliva
dengan jumlah karies pada risiko karies tinggi sangat lemah, tidak searah dan tidak signifikan
(p>0,01).
Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa korelasi antara kuantitas bakteri
Streptococcus mutans yang didapat dari sampel plak lidah dan saliva dengan tingkat risiko
karies tinggi. Metode deteksi dan kuantifikasi dilakukan menggunakan mesin qPCR dengan
kimia fluoresensi Sybr green. Sampel penelitian diambil dari plak lidah dan saliva dari 9 anak
berusia 3-5 tahun yang termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi berdasarkan kriteria
AAPD (American Academy of Pediatric Dentistry).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri Streptococcus mutans memiliki
distribusi yang menyeluruh dimana bakteri ini terdeteksi pada seluruh subjek penelitian
dengan kategori risiko karies tinggi baik pada sampel plak lidah maupun saliva. Hal ini
dikarenakan Streptococcus mutans dapat ditemukan dan diisolasi dari mukosa bukal, lidah
dan saliva.(Nakai et al., 1993) Selain itu menurut Sarrazin, bagian dorsal lidah tidak pernah
bebas dari bakteri Staphylococcus dan Streptococcus.(Sarrazin, 1920.) Karena lidah dan saliva
merupakan habitat alami dari bakteri Streptococcus mutans, maka bakteri tersebut dapat
ditemukan pada plak lidah dan saliva seluruh subjek.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Nilai rata-rata CT Streptococcus mutans pada kedua kategori di plak lidah lebih kecil
dibandingkan dengan nilai rata-rata CT di saliva. Nilai CT menggambarkan angka siklus ketika
DNA bakteri teramplifikasi. Jika bakteri tersebut memiliki banyak template DNA maka
template tersebut akan lebih cepat teramplifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil
nilai CT berarti semakin banyak kuantitas bakteri yang ada. Begitupun sebaliknya, semakin
besar nilai CT maka semakin sedikit kuantitas bakteri tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa
kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah terdeteksi lebih banyak dibandingkan di saliva.
Streptococcus mutans memiliki kemampuan adhesi sehingga dapat menempel pada
permukaan-permukaan rongga mulut. Struktur papila pada bagian dorsal lidah membentuk
sebuah lokasi ekologis unik sebagai tempat akumulasi debris dan mikroorganisme rongga
mulut termasuk Streptococcus mutans.(Jacobson et al., 1973) Kemampuan adhesi ini
diakibatkan adanya reseptor pada pelikel saliva yang berasal dari lidah sehingga terdapat
Streptococcus mutans yang terdeteksi pada saliva. Namun saliva juga memiliki kandungan
mucin yang berikatan dengan protein saliva lain seperti histatin, cystatins, dan statherin yang
bersifat sebagai agen antimikroba.(Dowd, 1999) Hal inilah yang menyebabkan mengapa
Streptococcus mutans ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam saliva.
Dari nilai CT, jumlah bakteri dikuantifikasi dengan metode kuantifikasi absolut
menggunakan kurva standar. Nilai rata-rata CT setiap sampel dimasukkan ke dalam rumus
persamaan garis kurva standar kemudian kuantifikasi jumlah bakteri dihitung dengan rumus
antilog. Gambar 5.1 menunjukkan garis kurva standar bakteri yang didapat dari kuantifikasi
bakteri standar Streptococcus mutans ATCC 25175. Hasilnya adalah terdapat 4 titik yang
membentuk sebuah garis linier. Pada kurva standar bakteri, suatu kurva dikatakan valid jika
memiliki nilai r2 minimal 0.8. Kurva ini memiliki nilai r2 sebesar 0,991 yang menunjukkan
validitas yang tinggi.
Hasil korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dengan risiko karies
tinggi dilihat dengan menggunakan analisis bivariat Pearson correlation karena distribusi
data normal. Sementara untuk melihat korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di
saliva dengan risiko karies tinggi penulis menggunakan analisis statistik Spearman
correlation karena distribusi data kuantitas bakteri pada saliva tidak normal. Hasil dari uji
korelasi ini adalah terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara
perubahan kuantitas Streptococcus mutans baik pada plak lidah maupun saliva dengan jumlah
karies pada subjek risiko karies tinggi. Hal ini berarti kuantitas Streptococcus mutans baik
pada plak lidah maupun saliva tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah karies pada
subjek dengan risiko karies tinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Pannu
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
dan kawan-kawannya yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara karies
gigi seiring dengan meningkatnya konsentrasi Streptococcus mutans di saliva pada orang
dewasa (Pannu, Gambhir, & Sujlana, 2013). Namun pada penelitian M.S Bush dan kawankawan, dari 320 sampel plak gigi, pada 49 sampel yang memiliki lesi karies, tidak ditemukan
Streptococcus mutans. Hal ini mengindikasikan bahwa karies dapat terjadi akibat adanya
peran bakteri spesies lain yang dapat menyebabkan demineralisasi enamel seperti
Streptococcus sobrinus, Streptococcus salivarius, Streptococcus sanguinis dan Lactobacillus
spp.dengan atau tanpa adanya kehadiran Streptococcus mutans.(Bush & Challacombe, 1989)
Selain itu penelitian Matee et al. juga menyatakan bahwa jumlah Streptococcus
mutans di saliva pada anak tidak dapat digunakan untuk memprediksi karies di masa
depan.(Matee, 1993) Terdapat faktor lain selain kuantitas Streptococcus mutans yang
berkontribusi terhadap pembentukan karies, seperti pH rongga mulut, frekuensi dan kadar
asupan karbohidrat, serta kadar fluoride di dalam mulut. Selain itu juga terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi risiko early childhood caries, di antaranya adalah faktor
sosioekonomi, kesehatan umum anak, dan pola pemberian makan kepada anak. Penelitian ini
hanya memeriksa kondisi klinis anak, yang berdasarkan kriteria American Academy of
Pediatric Dentistry (AAPD), termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi tanpa memeriksa
faktor penyebab karies dan faktor predisposisi lainnya yang mungkin dapat berpengaruh
terhadap banyaknya jumlah karies di tiap anak.
Kesimpulan
Tidak terdapat korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans baik di plak lidah
maupun saliva dengan risiko karies tinggi.
Saran
Untuk penelitian yang serupa sebaiknya metode penelitian lebih disempurnakan dengan
metode yang lebih baik supaya hasil penelitian lebih sensitif dan akurat serta perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi kuantitas
bakteri Streptococcus mutans pada plak lidah.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Daftar Referensi
American Academy of Pediatric Dentistry. (2011). Policy on Early Childhood Caries (ECC)  :
Classifications, Consequences, and Preventive Strategies.Accessed on September 25,
2014 from http://www.aapd.org/media/Policies_Guidelines/P_ECCClassifications.pdf
Bio-Rad Laboratories, Inc. (2006). Real-time PCR application guide. Accessed on October
14, 2014 from http://www.gene-quantification.com/real-time-pcr-guide-bio-rad.pdf
Bosy, A., & Kulkarni, G. V. (1994). Relationship of oral malodor to periodontitis: evidence of
independence in discrete subpopulations. Journal of Periodontology, 65(1), 37–46.
Bush, M., & Challacombe, J. (1989). A Quantitative Immunofluorescence Study of the
Association between Streptococcus mutans and Approximal Caries. Microbial Ecology in
Health and Disease, 2, 261–266.
Danser, M. M., Gómez, S. M., & Van der Weijden, G. A. (2003). Tongue coating and tongue
brushing: a literature review. International Journal of Dental Hygiene, 1(3), 151–158.
Dowd, F. J. (1999). Saliva and dental caries. Dental Clinics of North America, 43(4), 579–
597.
Ersin, N. K., Eronat, N., & Cogulu, D. (2006). Association of maternal-child characteristics as
a factor in early childhood caries and salivary bacterial counts. Journal of Dentistry for
Children (Chicago, Ill.), 73(2), 105–111.
Gao, X.-L., Seneviratne, C. J., & Samaranayake, L. P. (2012). Novel and conventional assays
in determining abundance of Streptococcus mutans in saliva. International Journal of
Paediatric Dentistry, 22(5), 363–368.
Geo, B., & Karen, C. (2010). Medical Microbiology (24th ed.). New York: McGraw-Hill
Medical Publishing.
Gronroos, L. (2000). Quantitative and Qualitative characterization of Mutans streptococci
in saliva and in the Dentition. Disertasi Doktoral, Program Pascasarjana Universitas
Helsinki.
Guyton, A. C. (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (3rd ed.). Jakarta: EGC.
Jacobson, S. E., Crawford, J. J., & McFall, W. R. (1973). Oral physiotherapy of the tongue
and palate: relationship to plaque control. Journal of the American Dental Association
(1939), 87(1), 134–139.
Kreth, J., et al. (2008). Role of sucrose in the fitness of Streptococcus mutans. Oral
Microbiology and Immunology, 23(3), 213–219.
Lehner, T. (1997). Immunology of Oral Diseases (3rd ed.). Oxford: Blackwell Scientific
Publisher.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Lindquist, B., Emilson, C. G., & K. Wennerholm, C. G. (1989). Relationship between mutans
streptococci in saliva and their colonization of the tooth surfaces. Oral Microbiology &
Immunology, 4(2), 71–76.
Marcotte, H., & Lavoie, M. C. (1998). Oral Microbial Ecology and the Role of Salivary
Immunoglobulin A. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62(1), 71–109.
Marsh, P., & Michael, V. (1999). Oral Microbiology. Great Britain: Wright.
Matee, M. I. N. (1993). Mutans streptococci in caries-active and caries-free infants in
Tanzanis. Oral Microbiology. Immunology., (8), 322–324.
Mattos-Graner, R., & Smith, D. (2004). The vaccination control approach to control
infections leading to dental caries. J Braz Oral Science, 3(11), 595–608.
McDonald, R. E., Avery, D. R., & Jefferey A, D. (2011). Dentistry for the Child and
Adolescent (9th ed.). St. Louis, Missouri: Mosby.
Mount, G., & Hume, W. (2005). Preservation and Reservation of Tooth Structure (2nd ed.).
Queensland: Knowledge Books and Software.
Nakai, M., Okahashi, N., Ohta, H., & Koga, T. (1993). Saliva-binding region of
Streptococcus mutans surface protein antigen. Infection and Immunity, 61(10), 4344–
4349.
Norman, T., & O’Sullivan, D. (1997). Early Childhood Caries: overview and findings.
American Academy of Pediatric Dentistry, (19), 12–15.
Pannu, P., Gambhir, R., & Sujlana, A. (2013). Correlation between the salivary Streptococcus
mutans levels and dental caries experience in adult population of Chandigarh, India.
European Journal of Dentistry, 7(2), 191–195.
Patil, S., Rao, R. S., & Sanketh, D. S. (2013). Oral Microbial Flora in Health. World Journal
of Dentistry, 4(4), 262–266.
Preetha, A., & Banerjee, R. (2005). Comparison of Artificial Saliva Substitutes. Trends
Biomater Artif Organs, 18(2), 178–86.
Prijono, E. (2008). Efektivitas Pembersihan Lidah Secara Mekanis Menggunakan Tongue
Scraper Terhadap Jumlah Populasi Bakteri Anaerob Lidah. Accessed on October 12,
2014 from http://pustaka.unpad.ac.id/archives/23873/#
Pulliam, L., Porschen, R. K., & Hadley, W. K. (1980). Biochemical properties of CO2dependent streptococci. Journal of Clinical Microbiology, 12(1), 27–31.
Ramos-Gomez, F. J., Weintraub, J. A., & Featherstone, J. D. B. (2002). Bacterial, behavioral
and environmental factors associated with early childhood caries. The Journal of Clinical
Pediatric Dentistry, 26(2), 165–173.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Sabir, A. (2005). Aktivitas Antibakteri Flavonoid Propolis Trigona sp terhadap Bakteri
Streptococcus Mutans (in vitro). Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), 38(3), 135–141.
Samaranayake, L. (2006). Microbiology of Dental Caries (3rd ed.). Philadelphia: Churcill
Livingstone.
Sarrazin, J. (1920). Tongue cleansing. Dent Prac Dent Rec, 30, 599.
Suwelo, I. S. (1992). Karies Gigi pada Anak dengan Pelbagai Faktor Etiologi (I.). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tanner, J. M. (1992). Contemporary Oral Microbiology and Immunology. St. Louis,
Missouri: Mosby.
Tenovuo, J. (1998). Antimicrobial function of human saliva--how important is it for oral
health? Acta Odontologica Scandinavica, 56(5), 250–256.
Togelius, J., Kristoffersson, K., & Bratthall, D. (1984). Streptococcus mutans in saliva:
intraindividual variations and relation to the number of colonized sites. Acta Odontologica
Scandinavica, 42(3), 157–163.
Van der Velden, U., van Winkelhoff, A. J., Abbas, F., & De Graaff, J. (1986). The habitat of
periodontopathic micro-organisms. Journal of Clinical Periodontology, 13(3), 243–248.
Varsio S. (1999). Caries-preventive treatment approaches for child and youth at two extremes
of dental health in Helsinki, Finland. Disertasi doktoral, Program Pascasarjana
Universitas Helsinki, Finlandia.
Yaegaki, K., & Sanada, K. (1992). Biochemical and clinical factors influencing oral malodor
in periodontal patients. Journal of Periodontology, 63(9), 783–789.
Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014
Download