Korelasi Kuantitas Streptococcus mutans pada Plak Lidah dan Saliva dengan Risiko Karies Tinggi Dhiatfa Amanda Sylvania1, Ferry P. Gultom2, Boy M. Bachtiar2 1 2 Undergraduate Program, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia Department of Oral Biology, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta 10430, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Latar Belakang: Prevalensi early childhood caries di Indonesia terus meningkat. Streptococcus mutans merupakan bakteri utama penyebab terjadinya karies yang memiliki habitat di lidah dan saliva. Tujuan: Menganalisa korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di lidah dan saliva anak usia 3-5 tahun dengan risiko karies tinggi Metode: Kuantifikasi Streptococcus mutans dari sampel plak lidah dan saliva dengan metode qPCR. Hasil: Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dan saliva dengan risiko karies tinggi (p>0,05). Kesimpulan: Kuantitas Sreptococcus mutans di plak lidah dan saliva tidak memiliki korelasi dengan risiko karies tinggi. Correlation between Quantity of Streptococcus mutans in Tongue Plaque and Saliva and High Risk Caries Abstract Background: Prevalence of early childhood caries in Indonesia continues to increase. Streptococcus mutans is the main bacterial cause of caries which inhabit tongue plaque and saliva. Aim: To analyze the correlation between quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva of children aged 3-5 years and high risk caries. Methods: Quantification of Streptococcus mutans by qPCR method. Result: There was no significant correlation between quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva and high risk caries (p>0.05). Conclusion: The quantity of Streptococcus mutans in tongue plaque and saliva has no correlation with high risk caries. Keywords: Early childhood caries, qPCR, saliva, Streptococcus mutans, tongue plaque. Pendahuluan Karies gigi memiliki prevalensi tertinggi dari seluruh masalah kesehatan mulut. Di Amerika Serikat, prevalensi dan tingkat keparahan karies pada anak usia 3-5 tahun sebesar 90%.(Norman & O’Sullivan, 1997) Sementara di Indonesia prevalensi karies anak usia 3-5 tahun meningkat secara konstan. Pada tahun 1988 prevalensi karies anak prasekolah di Jakarta dan sekitarnya berkisar 85,17% sementara pada tahun 2001 prevalensi karies anak usia 3-5 tahun meningkat menjadi 81,2%.(Suwelo, 1992) Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Karies gigi merupakan penyakit kronis yang paling umum terjadi pada masa anakanak.(McDonald, Avery, & Jefferey A, 2011) Menurut The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), karies gigi anak usia prasekolah / early childhood caries (ECC) adalah adanya satu atau lebih kerusakan gigi (dengan ada atau tanpa kavitas), kehilangan gigi (akibat karies), atau restorasi gigi sulung pada anak usia ≤ 71 bulan. (American Academy of Pediatric Dentistry, 2011) Kerusakan pada rongga mulut yang diakibatkan oleh ECC cukup parah. Anak dapat mengalami kehilangan gigi depan yang menyebabkan terhambatnya perkembangan dalam proses bicara, pertumbuhan fisik dan trauma psikososial.(RamosGomez & Featherstone, 2002) Karies gigi merupakan suatu proses demineralisasi yang progresif pada jaringan keras permukaan mahkota dan akar gigi dimana mikroorganisme memegang peranan utama. Streptococcus mutans merupakan mikroorganisme yang menjadi agen etiologi utama pada kerusakan gigi.(Ersin & Aksit, 2006) Streptococcus mutans dapat menghasilkan asam laktat sebagai produk dari metabolisme karbohidrat dimana asam tersebut akan melarutkan mineral gigi sehingga terjadi karies. Selain kemampuannya dalam menghasilkan asam (asidogenik), faktor virulensi Streptococcus mutans lain yang memegang peranan penting dalam proses pembentukan karies adalah ketahanannya untuk dapat hidup di lingkungan asam (asidurik). Selain itu salah satu ciri dari bakteri ini adalah memiliki kemampuan menempel pada semua lokasi permukaan habitatnya dalam rongga mulut (adhesi). (Tanner, 1992) Jumlah Streptococcus mutans meliputi 30-60% dari seluruh bakteri yang ada pada gigi, mukosa bukal, lidah dan saliva. Aktivitas Streptococcus mutans dalam menempel pada bagian-bagian rongga mulut dibantu oleh reseptor yang terkandung dalam pelikel saliva, seperti sIgA, B2, mikroglobulin, dan glikoprotein. Karena ikatan dan agregasi antara bakteri dengan komponen saliva inilah maka bakteri memiliki kemampuan adhesi pada jaringan mulut terutama pada permukaan gigi.(Tanner, 1992),(Nakai, Okahashi, Ohta, & Koga, 1993) Selain di saliva, Streptococcus mutans juga dapat ditemukan pada lidah. Lidah merupakan organ otot yang bergerak yang terletak di dalam rongga mulut dan setengahnya lagi terletak di orofaring. Bentuk dan letak anatomis lidah dengan banyak papilla dan adanya fisura di bagian tengah, menyebabkan banyak sekali bakteri bersembunyi di bagian dorsal.(Prijono, 2008) Lebih dari 100 bakteri ditemukan melekat pada setiap sel epitel terlepas yang ada di permukaan dorsal lidah. Beberapa bakteri tersebut antara lain Streptococcus mutans, Streptococcus salivarius, Streptococcus viridians, dan Peptostreptokokus yang merupakan bakteri penghuni mulut dan penyebab utama karies gigi.(Guyton, 1995) Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Karies gigi dapat dicegah atau dirawat sejak dini. Perawatan yang diberikan kepada setiap anak berbeda-beda tergantung tingkat risiko kariesnya. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki keadaan lingkungan rongga mulut yang berbeda yang dapat mempengaruhi terjadinya proses karies sehingga pemeriksaan faktor risiko karies harus dilakukan secara individual. Risiko karies adalah kemungkinan berkembangnya karies pada individu atau terjadinya perubahan status kesehatan yang mendukung terjadinya karies pada suatu periode tertentu.(Varsio S, 1999) Uji Streptococcus mutans yang diisolasi dari plak gigi dapat digunakan sebagai salah satu indikator risiko karies. Individu dengan jumlah Streptococcus mutans yang tinggi biasanya memiliki tingkat risiko karies yang tinggi dan begitu pula sebaliknya. Selain pada permukaan gigi, Streptococcus mutans juga dapat ditemukan pada plak lidah dan saliva. Berdasarkan hal-hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk menganalisa korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dan saliva dengan risiko karies tinggi sehingga dapat bermanfaat untuk memberi pengetahuan tentang penyebab terjadinya karies sehingga dapat digunakan sebagai salah satu upaya preventif terhadap ECC. Tinjauan Teoritis Karies Gigi Karies adalah salah satu penyakit jaringan keras gigi yang infeksius dan menyebabkan kerusakan jaringan keras setempat. Karies gigi dapat diartikan sebagai pembusukan gigi atau gigi berlubang.(Sabir, 2005) Karies ini bersifat lokal, mengalami progresif demineralisasi jaringan keras pada mahkota (enamel, dentin) dan akar (sementum, dentin) pada permukaan gigi. (W Lewis & I. Ismail, 1993) Demineralisasi ini terjadi karena produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri, terutama Streptococcus mutans dan lactobacilli, yang melakukan fermentasi pada makanan yang bersifat karbohidrat. Karies merupakan penyakit multifaktorial. Faktor-faktor penyebab karies antara lain kondisi rongga mulut, mikroorganisme, substrat dan waktu.(Samaranayake, 2006) Bakteri sebagai agen dan hasil metabolismenya merupakan faktor utama pencetus karies. Sedangkan faktor-faktor lain seperti akumulasi dan retensi plak pada gigi, frekuensi karbohidrat dan makanan asam, komponen-komponen saliva dan fluoride adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan karies.(Mount & Hume, 2005) Selain faktor-faktor primer tersebut, ada faktor modifikasi yang mempengaruhi karies, yaitu status sosioekonomi, gaya Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 hidup, riwayat dental, dan compliance dari individu itu sendiri. karena penyebab karies yang multifaktorial tersebut, terdapat perbedaan risiko karies pada tiap individu.(Samaranayake, 2006) Early Childhood Caries Menurut The American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), karies gigi anak usia prasekolah / early childhood caries (ECC) adalah adanya satu atau lebih karies gigi (dengan atau tanpa adanya kavitas), kehilangan gigi (akibat karies), atau restorasi gigi sulung pada anak usia ≤ 71 bulan. Terdapat pula keadaan yang dikategorikan sebagai Severe ECC (S-ECC) jika kondisi tersebut terjadi pada anak usia kurang dari 3 tahun.(American Academy of Pediatric Dentistry, 2011) ECC dimulai segera saat gigi sulung anak mulai erupsi dan berkembang cepat terutama pada anak dengan risiko karies tinggi. Pada fase awal, ECC ditandai dengan nyeri tumpul, demineralisasi email dengan cepat yang dapat berkembang menjadi karies sepanjang margin gingival. Gigi yang pertama kali terkena adalah gigi insisif sulung maksila. Lesi dapat ditemui pada sisi labial, lingual, atau keduanya.10 American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD) mengklasifikasikan kategori risiko karies menjadi tiga, yakni risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki tiga indikator utama yang membedakannya, yaitu kondisi klinis, karakteristik lingkungan, dan kondisi kesehatan umum. Tabel 1 Kategori Risiko Early Childhood Caries (AAPD, 2011) : Indikator Risiko Risiko Rendah Karies Kondisi Klinis Tidak terdapat karies gigi pada 24 bulan terakhir Tidak terdapat demineralisasi email Tidak terdapat Risiko Sedang Risiko Tinggi Terdapat karies gigi pada 24 bulan terakhir Terdapat 1 area yang mengalami demineralisasi Terdapat karies gigi pada 12 bulan terakhir plak; Gingivitis tidak terdapat gingivitis Lebih dari 1 area mengalami demineralisasi (karies email “white-spot lesion”) Terdapat plak yang terlihat pada gigi anterior Pada radiograf, terlihat gambaran karies email Jumlah Streptococcus mutans tinggi (terlihat pada titer) Menggunakan alat Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Karakteristik Ekspos sistemik optimal Lingkungan fluoride dan topikal Konsumsi gula atau makanan yang berkaitan kuat dengan inisiasi karies hanya pada waktu makan utama Status sosioekonomi pengasuh tinggi Penggunaan pelayanan dental teratur Kondisi Kesehatan Umum ortodontik atau dental lainnya Hipoplasia email Ekspos fluoride Ekspos fluoride topikal sistemik suboptimal suboptimal dengan fluoride topikal yang optimal Terdapat 1-2 kali Terdapat 3 kali atau lebih konsumsi gula atau konsumsi gula atau makanan yang makanan yang berkaitan berkaitan kuat dengan kuat dengan karies di selakaries di sela-sela sela waktu makan utama waktu makan utama Status sosioekonomi Status sosioekonomi pengasuh menengah pengasuh rendah Penggunaan Tidak ada pelayanan pelayanan dental dental yang digunakan tidak teratur Terdapat karies aktif pada ibu Anak dengan kebutuhan perhatian kesehatan khusus Kondisi yang mengganggu komposisi atau laju alir saliva Keterangan Kategori Risiko Karies : • Risiko tinggi • : jika terdapat satu indikator pada kategori risiko tinggi Risiko sedang : jika terdapat minimal satu indikator risiko sedang dan tidak terdapat indikator risiko tinggi • Risiko rendah : tidak terdapat indikator risiko sedang dan tinggi Flora Normal Rongga Mulut Rongga mulut merupakan pintu utama masuknya berbagai macam mikroorganisme ke dalam tubuh. Namun tidak semua mikroorganisme bersifat patogen, di dalam rongga mulut mikroorganisme yang masuk akan dinetralisisir oleh zat anti bakteri yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dan bakteri flora normal.(Patil, Amrutha, & Sanketh, 2013) Flora normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada kulit dan selaput lendir/mukosa baik pada manusia yang sehat maupun sakit. Pertumbuhan flora normal pada bagian tubuh tertentu dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi dan adanya zat penghambat. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Keberadaan flora normal pada bagian tubuh tertentu mempunyai peranan penting dalam pertahanan tubuh karena menghasilkan suatu zat yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Adanya flora normal pada bagian tubuh tidak selalu menguntungkan, dalam kondisi tertentu flora normal dapat menimbulkan penyakit, misalnya bila terjadi perubahan substrat atau berpindah dari habitat yang semestinya.(Patil et al., 2013),(Geo & Karen, 2010) Flora normal dalam rongga mulut terdiri dari Streptococcus mutans, Streptococcus viridans, Staphylococcus sp dan Lactobacillus sp. Meskipun sebagai flora normal dalam keadaan tertentu bakteri-bakteri tersebut bisa berubah menjadi patogen karena adanya faktor predisposisi yaitu kebersihan rongga mulut. Sisa-sisa makanan dalam rongga mulut akan diuraikan oleh bakteri menghasilkan 8 asam, asam yang terbentuk menempel pada email menyebabkan demineralisasi akibatnya terjadi karies gigi. Bakteri flora normal mulut bisa masuk aliran darah melalui gigi yang berlubang atau karies gigi dan gusi yang berdarah sehingga terjadi bakterimia.(Patil et al., 2013),(Geo & Karen, 2010) Di antara berbagai mikroorganisme dalam rongga mulut, Streptococcus mutans merupakan bakteri utama penyebab karies.(Lehner, 1997)Streptococcus mutans merupakan bakteri jenis gram positif berbentuk bulat atau oval yang berpasangan dan membentuk rantai dengan diameter 0,7-0,9 µm.(Samaranayake, 2006) Secara taksonomi, Streptococcus mutans dimasukkan ke dalam kingdom Monera, divisi Firmicutes, ordo Lactobacilalles, famili Streptococcaceae, genus Streptococcus dan spesies S.mutans.(Samaranayake, 2006),(Marsh & Michael, 1999) Streptococcus mutans merupakan bakteri utama yang terlibat dalam proses terjadinya karies gigi.(Gao, Chu, & Samaranayake, 2012) Sebuah studi melaporkan adanya relasi positif antara Streptococcus mutans di dalam saliva dengan prevalensi karies. Sejak saat itu, kandungan Streptococcus mutans di dalam saliva menjadi bagian penting dalam penilaian risiko karies. Walaupun demikian, ada beberapa subjek yang memiliki kandungan Streptococcus mutans yang tinggi di dalam saliva tetapi tidak mengalami lesi karies. Hal ini menunjukkan bahwa mungkin ada faktor lain selain kuantitas Streptococcus mutans di dalam saliva yang berkontribusi terhadap risiko karies, yaitu virulensinya. Faktor virulensi utama terkait kariogenitas Streptococcus mutans yaitu perlekatan (adhesi), kemampuan memprodukasi asam (asidogenisitas) dan toleransi terhadap lingkungan asam (asidurisitas). Ketiga faktor tersebut bekerja sama untuk mengubah sifat fisik dan kimia biofilm, hasilnya berupa perubahan ekologis dalam bentuk peningkatan Streptococcus mutans dan spesies asidogenik dan asidurik lainnya.(Mattos-Graner & Smith, 2004) Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Patogenesis molekuler Streptococcus mutans yang meyebabkan karies gigi terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama, bakteri asidogenik membutuhkan permukaan keras untuk berkolonisasi dan berakumulasi. Tahap kedua, terjadi perlekatan di permukaan gigi diawali oleh interaksi protein bakteri dengan lektin di pelikel yang menutupi permukaan gigi. Tahap ketiga, yaitu mineral hidroksiapatit di email larut oleh asam laktat hasil metabolisme bakteri.(Samaranayake, 2006) Proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri dimulai dengan pemecahan sukrosa oleh enzim ekstraseluler, yaitu glucosyltranferase dan fruktosiltransferase menjadi glukosa dan fruktosa. Monosakarida yang dihasilkan melalui reaksi ini kemudian diubah menjadi polisakarida yang larut dalam air (glukan) dan tidak larut dalam air (fruktan). Glukan dan fruktan merupakan sumber makanan utama bagi bakteri dan berkontribusi dalam pembentukan plak dengan memfasilitasi adhesi dan agregasi bakteri plak serta sebagai matriks untuk perkembangan plak selanjutnya. Sebagian dari sukrosa masuk secara langsung ke dalam sel bakteri dalam bentuk disakarida atau disakarida fosfat, yang kemudian dimetabolisme secara intraseluler oleh enzim invertase sucrose dan phosphate hydrolase menjadi glukosa dan fruktosa. Selama proses glikolisis, glukosa dipecah menjadi dua molekul piruvat. Dalam kondisi rendah karbohidrat, piruvat diubah menjadi etanol, asetat, dan format. Sebaliknya saat karbohidrat berlebihan, piruvat akan diubah menjadi asam laktat.(Samaranayake, 2006) Streptococcus mutans menjadi penyebab karies karena kemampuannya membentuk glukan dari sukrosa yang digunakan untuk melekat pada pelikel permukaan gigi.(Kreth & Qi, 2008), (Mount & Hume, 2005),(Marcotte & Lavoie, 1998) Saliva Saliva adalah suatu cairan kompleks yang disekresi oleh kelenjar saliva mayor dan minor dan pengeluarannya diatur oleh sistem saraf otonom. Sekresi saliva setiap harinya mencapai 1.5 liter dengan pH yang sedikit basa, yaitu 7.4. Saliva mengandung substansi organik dan inorganik, seperti glikoprotein, enzim, laktoferin, sistatin, histatin, dan juga imunoglobulin.(Preetha & Banerjee, 2005) Saliva memegang peran yang penting dalam melindungi gigi terhadap asam dan juga melindungi jaringan lunak mulut dari dehidrasi dan agen patologis. Bukti paling nyata bahwa saliva melindungi gigi adalah kerusakan gigi yang hebat dan cepat apabila terjadi kekurangan saliva. Sebagai contohnya pada pasien yang terkena xerostomia yang disebabkan oleh obatobatan atau radiasi yang menyebabkan berkurangnya produksi saliva.(Mount & Hume, 2005) Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Saliva melindungi gigi dengan beberapa cara. Pertama, saliva tersaturasi dengan Ca2+ dan HPO42- yang dapat menggantikan permukaan gigi dari kehilangan ion yang disebabkan karena demineralisasi oleh asam. Kedua, HPO42- mempunyai kapasitas buffer pada saat resting pH dan tahap awal adanya asam. Ketiga, adanya pelikel yang terbentuk dari saliva melindungi permukaan gigi dari asam. Keempat, adanya buffer dari bikarbonat yang melindungi gigi dari asam. Kelima, adanya aliran saliva yang membantu membuang sisa makanan dan mikroorganisme serta adanya ion fluoride yang dapat menggantikan mineral gigi.(Mount & Hume, 2005) Komponen-komponen organik dalam saliva khususnya mukous glikoprotein, merupakan bahan makanan bagi bakteri-bakteri dalam mulut. Kandungan bakteri dalam saliva diperkirakan mendekati 109 bakteri per ml. Streptococcus mutans dalam saliva dapat berjumlah lebih dari 107 CFU (Colony Forming Unit) per ml. Terdapat hubungan yang sangat bermakna antara jumlah Streptocccus mutans dalam saliva dengan prevalensinya, baik dalam arti jumlah permukaan gigi yang terkolonisasi atau tingkat infeksi pada permukaan gigi.(Gronroos, 2000),(Pulliam, Porschen, & Hadley, 1980),(Tenovuo, 1998) Lidah Lidah merupakan indera pengecapan yang memiliki peran sebagai alat perasa dalam mulut. Umumnya lidah memiliki sedikitnya empat fungsi pengecapan primer yaitu asam, asin, manis, dan pahit. Permukaan lidah juga dapat merasakan panas, dingin, kasar, halus, dan nyeri.(Prijono, 2008) Lidah adalah organ otot yang bergerak yang dapat diasumsikan memiliki variasi bentuk dan posisi. Setengah bagian dari lidah terletak didalam rongga mulut dan setengahnya lagi terletak di orofaring. Lidah terlibat dalam proses mastikasi, memberi rasa, menelan, artikulasi, dan pembersihan mulut.(Prijono, 2008) Bagian dorsal lidah adalah permukaan pada bagian posterior superior, yang terletak sebagian di dalam rongga mulut dan sebagian lagi terletak di dalam orofaring, dan mempunyai bentuk dan alur seperti huruf V.(Prijono, 2008),(Guyton, 1995) Warna lidah yang sehat adalah merah terang, dengan permukaan yang tidak rata karena keberadaan papilla. Didalam papilla pengecapan ditemukan satu atau lebih tunas pengecapan, mempunyai diameter 50 µm dan dibangun dari 50 sel berbentuk panjang, yang berakhir dengan mikrovili di dalam pori pengecapan.(Guyton, 1995) Ada 4 jenis papilla pada lidah, yaitu filiform, fungiform, foliate, vallatae. Semua papilla tersebut memiliki kuncup pengecap, kecuali papilla vallatae yang hanya berfungsi untuk Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 membantu “memegang” makanan. Terdapat kurang lebih 10.000 kuncup pengecap pada lidah manusia dewasa. Namun seiring dengan beratambahnya usia, sebagai kuncup pengecapnya mengalami atrofi / mati. Kuncup pengecap inilah yang berfungsi untuk menentukan rasa yang dimiliki suatu makanan.(Guyton, 1995) Struktur papilla pada bagian dorsal lidah membentuk lingkungan unik yang menjadi sebuah area permukaan luas tempat akumulasi mikroorganisme dan sisa-sisa makanan di mulut.(Jacobson, Crawford, & McFall, 1973),(Bosy, Rosenberg, & McCulloch, 1994) Mikroorganisme yang ada pada lidah memiliki kontribusi terhadap pembentukan plak pada gigi.(Jacobson et al., 1973),(Van der Velden, Van Winkelhoff & De Graaff, 1986) Menurut penelitian Sarrazin, bagian dorsal lidah tidak pernah lepas dari adanya bakteri Streptococcus dan Staphylococcus. Kedua bakteri ini memiliki massa 90% dari total massa seluruh bakteri yang ada pada lidah. Koloni bakteri pada tonsil, gigi dan gusi berasal dari bakteri pada lidah terutama dari bagian posterior.(Sarrazin, 1920) Plak lidah terdiri dari bakteri, sejumlah besar sel epitel yang terlepas dari mukosa oral, dan leukosit dari poket periodontal. Menurut De Boever dan Loesche, tidak terdapat hubungan antara profil permukaan lidah (yang memiliki fissure maupun tidak) seseorang dengan jumlah Colony Forming Unit (CFU) bakteri pada lidah tersebut.(Yaegaki & Sanada, 1992) Jumlah Streptococcus mutans pada plak lidah dapat berpengaruh pada jumlah Streptococcus mutans di saliva dimana Streptococcus mutans pada plak lidah bergantung pada pengaruh dan kehadiran Streptococcus mutans yang terdapat pada saliva. Ketika jumlah bakteri Streptococcus mutans di lidah bertambah maka jumlah Streptococcus mutans di salivapun juga bertambah.(Togelius, Kristoffersson, Anderson, & Bratthall, 1984),(Lindquist, Emilson, & K. Wennerholm, 1989) Real-Time PCR (qPCR) Real Time PCR (qPCR) adalah suatu metode analisa yang dikembangkan dari teknik PCR konvensional. Dalam ilmu biologi molekular, qPCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR di laboratorium untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut. qPCR memungkinkan dilakukannya deteksi dan kuantifikasi terhadap sekuens spesifik dari sampel DNA yang dianalisa. Pada qPCR, pengamatan dilakukan pada saat reaksi berlangsung, keberadaan DNA hasil amplifikasi dapat diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari probe (penanda). Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Cara kerja qPCR mengikuti prinsip umum reaksi PCR dimana DNA yang telah diamplifikasi dihitung setelah diakumulasikan dalam reaksi secara real timeselama proses berlangsung. Terdapat 2 metode kuantifikasi yang umum digunakan, yaitu kuantifikasi absolut dan kuantifikasi relatif. Kuantifikasi absolut didapat dengan membandingkan nilai CT sampel yang di tes pada kurva standar. Hasil dari analisis adalah kuantitas asam nukleat (jumlah copyan, µg) per jumlah sampel yang diberikan (per cell, per µg total RNA). Sementara kuantifikasi relatif merupakan metode yang hasil analisisnya adalah rasio antara jumlah relatif pada target asam nukleat dengan sampel kontrol. Untuk kedua metode kuantifikasi baik absolut maupun relatif, kuantitas yang diperoleh dari hasil Real Time PCR harus dinormalisasi agar data menjadi bermakna secara biologis. Pada kuantifikasi absolut, normalisasi digunakan untuk menyesuaikan atau menstandarisasi kuantitas target yang diperoleh menjadi jumlah unit sampel. Pada kuantifikasi relatif, normalisasi digunakan untuk memastikan kuantitas target dari jumlah yang setara pada sampel telah dibandingkan.(Bio-Rad Laboratories, Inc., 2006) Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan observasional laboratorik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada bulan Juli sampai dengan November 2014. Sampel penelitian yang digunakan berupa plak lidah dan saliva dari 9 subjek penelitian dengan kategori risiko karies tinggi berdasarkan kriteria American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD). Bahan uji pada penelitian ini adalah DNA Streptococcus mutans yang berasal dari ekstraksi sampel plak lidah dan saliva yang didapat dari subjek. Kriteria inklusi subjek penelitian yaitu laki-laki atau perempuan berusia 3-5 tahun, termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi berdasarkan klasifikasi AAPD (American Academy of Pediatric Dentustry), dan bersedia untuk berpartisipasi dengan menandatangani informed consent. Adapun kriteria eksklusi yaitu anak dengan keterbelakangan mental dan sedang minum obatobatan yang dapat mempengaruhi pembentukan saliva. Alur penelitian adalah sebagai berikut. Kurva standar Streptococcus mutans dibuat berdasarkan bakteri standar Streptococcus mutans ATCC® 25175. DNA Streptococcus mutans diekstraksi dengan metode towing kemudian dilakukan pengenceran berseri hingga Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 didapat konsentrasi 101. Setelah dilakukan pengenceran berseri, bakteri standar disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20ºC. Orang tua calon subjek diberitahukan mengenai perlakuan yang akan diberikan terhadap anaknya. Apabila orang tua calon subjek menyetujui, maka dilakukan penandatanganan informed consent. Kemudian dilakukan pemeriksaan intraoral terhadap subjek yang meliputi ada tidaknya karies, area demineralisasi email, plak gigi, gingivitis dan penggunaan alat orthodonti atau alat dental lain. Apabila subjek termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi sesuai dengan AAPD, maka dilakukan pengambilan sampel berupa plak lidah dan saliva. Plak lidah diambil dengan cara mengusapkan cotton bud ke bagian dorsal lidah dari bagian posterior ke arah anterior sebanyak 10 kali. Sampel saliva sebanyak 1 mL diambil dari dasar mulut subjek dengan menggunakan pipet berukuran 3 mL. Seluruh DNA sampel plak lidah dan saliva diekstraksi dengan metode towing. Konsentrasi DNA yang telah diekstraksi sebelumnya dihitung dengan menggunakan kuvet berisi sampel yang dimasukkan ke dalam mesin spektrofotometer. Hal ini digunakan untuk penyamaan konsentrasi sampel yang akan di running di mesin PCR. Panjang gelombang yang digunakan pada spektrofotometer ini adalah 260 nm dan 280 nm. Hal ini karena penyerapan maksimum panjang gelombang pada asam nukleat dan protein adalah pada 260 nm dan 280 nm. Seluruh sampel DNA dicampur dengan sybr green, forward dan reverse primer serta aqua bidestilata ke dalam well plate qPCR. Well plate qPCR yang telah diisi, ditutup dengan cap strip kemudian disentrifugasi dan dimasukkan ke dalam mesin qPCR. Setelah dilakukan proses qPCR maka hasil yang didapat adalah Cycle Threshold (CT) dari masing-masing sampel. Cycle Threshold adalah jumlah siklus dimana sinyal fluoresens pada reaksi memotong threshold. Nilai CT berbanding terbalik dengan jumlah dari target. Pada penelitian ini penghitungan kuantitas bakteri Streptococcus mutans dilakukan dengan kuantifikasi absolut. Kuantitas bakteri target didapat berdasarkan korelasi antara CT dengan Colony Forming Unit (CFU) pada kurva standar. Analisis data pada penelitian ini menggunakan program IBM SPSS Statistics 21. Diawali dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (n>50) kemudian dilakukan uji korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans pada plak lidah dan saliva dengan jumlah karies pada kategori risiko karies tinggi. Data kuantitas Streptococcus mutans pada plak lidah berdistribusi normal sehingga dapat diuji menggunakan analisis bivariat Pearson correlation sedangkan data kuantitas Streptococcus mutans pada saliva tidak terdistribusi normal Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 sehingga diuji dengan analisis statistik Spearman correlation. Kedua uji statistik yang dilakukan memiliki tingkat signifikansi 0,01 (p = 0,01). Hasil Penelitian Pada penelitian yang dilakukan dengan metode qPCR ini, hasil yang didapat adalah kuantitas bakteri Streptococcus mutans pada plak lidah dan saliva dari 9 orang dengan kategori karies tinggi yang memiliki perbedaan jumlah gigi yang terkena karies, yaitu 3,4,5 dan 9 karies. Deteksi dan kuantifikasi bakteri ditentukan dengan melihat angka siklus kejadian berupa siklus threshold (CT) yang artinya bakteri Streptococcus mutans sudah teramplifikasi dalam siklus threshold tersebut. Tabel 2 Rata-rata angka siklus kejadian dari deteksi Streptococcus mutans di plak lidah dan saliva pada kategori risiko karies tinggi No. Sampel Rata-rata N CT Mean 1. Plak Lidah 20.96725337 9 2. Saliva 29.79225137 9 Tabel 1 menunjukkan bahwa semua sampel pada kategori risiko karies tinggi baik di plak lidah maupun saliva terdeteksi mengandung Streptococcus mutans. Kuantifikasi jumlah bakteri Streptococcus mutans dilakukan dengan metode kuantifikasi absolut, yakni membandingkan cycle threshold (CT) yang didapat dengan kurva standar bakteri yang sebelumnya telah dibuat. Hasil akhir yang diperoleh merupakan kuantitas bakteri (CFU/mL). Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Log CFU 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 y = -­‐0.353x + 11.324 R² = 0.9933 0 5 10 15 Streptococcus mutans 20 25 Cycle Threshold Gambar 1 Garis persamaan kurva standar bakteri Streptococcus mutans Gambar 1 merupakan kurva standar bakteri Streptococcus mutans. Angka pada sumbu x menunjukkan cycle threshold (CT) yang didapat dari hasil pengenceran standar bakteri target. Sedangkan angka pada sumbu y menunjukkan persamaan logaritma dari jumlah standar bakteri. Setelah dilakukan penghitungan, hasil yang didapat dari sampel plak dan saliva adalah sebagai berikut: Tabel 3 Hasil Perhitungan Spearman Correlation Hubungan antara Kuantitas Bakteri Streptococcus mutans di Plak Lidah dengan Jumlah Karies pada Risiko Karies Tinggi Kuantitas Bakteri di Jumlah Karies Plak Lidah Spearman Correlation 1 -.106 Jumlah Karies Sig. (2-tailed) .785 N 9 9 -.106 1 Kuantitas Bakteri Spearman Correlation Sig. (2-tailed) .785 di Plak Lidah N 9 9 Hasil analisis bivariat pada tabel 2 menunjukkan nilai korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans di plak lidah dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi. Nilai korelasi yang didapat sebesar -0,106 yang berarti hubungan antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans di plak lidah dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi sangat lemah dan tidak searah. Berdasarkan perhitungan Spearman Correlation, angka signifikansi yang didapat adalah 0.785 dengan nilai α = 0,01. Nilai p tersebut menunjukkan Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 bahwa hubungan antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi tidak signifikan (p>0,01). Tabel 4 Hasil Perhitungan Pearson Correlation Hubungan antara Kuantitas Bakteri Streptococcus mutans di Saliva dengan Jumlah Karies pada Risiko Karies Tinggi Jumlah Karies Jumlah Karies Kuantitas Bakteri di Saliva Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N 1 9 -.104 .790 9 Kuantitas Bakteri di Saliva -.104 .790 9 1 9 Tabel 3 menunjukkan nilai korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans di saliva dengan banyaknya jumlah karies pada risiko karies tinggi sebesar -0,104 dengan nilai signifikansi 0,790 yang berarti hubungan kuantitas bakteri Streptococcus mutans di saliva dengan jumlah karies pada risiko karies tinggi sangat lemah, tidak searah dan tidak signifikan (p>0,01). Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans yang didapat dari sampel plak lidah dan saliva dengan tingkat risiko karies tinggi. Metode deteksi dan kuantifikasi dilakukan menggunakan mesin qPCR dengan kimia fluoresensi Sybr green. Sampel penelitian diambil dari plak lidah dan saliva dari 9 anak berusia 3-5 tahun yang termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi berdasarkan kriteria AAPD (American Academy of Pediatric Dentistry). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri Streptococcus mutans memiliki distribusi yang menyeluruh dimana bakteri ini terdeteksi pada seluruh subjek penelitian dengan kategori risiko karies tinggi baik pada sampel plak lidah maupun saliva. Hal ini dikarenakan Streptococcus mutans dapat ditemukan dan diisolasi dari mukosa bukal, lidah dan saliva.(Nakai et al., 1993) Selain itu menurut Sarrazin, bagian dorsal lidah tidak pernah bebas dari bakteri Staphylococcus dan Streptococcus.(Sarrazin, 1920.) Karena lidah dan saliva merupakan habitat alami dari bakteri Streptococcus mutans, maka bakteri tersebut dapat ditemukan pada plak lidah dan saliva seluruh subjek. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Nilai rata-rata CT Streptococcus mutans pada kedua kategori di plak lidah lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata CT di saliva. Nilai CT menggambarkan angka siklus ketika DNA bakteri teramplifikasi. Jika bakteri tersebut memiliki banyak template DNA maka template tersebut akan lebih cepat teramplifikasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil nilai CT berarti semakin banyak kuantitas bakteri yang ada. Begitupun sebaliknya, semakin besar nilai CT maka semakin sedikit kuantitas bakteri tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah terdeteksi lebih banyak dibandingkan di saliva. Streptococcus mutans memiliki kemampuan adhesi sehingga dapat menempel pada permukaan-permukaan rongga mulut. Struktur papila pada bagian dorsal lidah membentuk sebuah lokasi ekologis unik sebagai tempat akumulasi debris dan mikroorganisme rongga mulut termasuk Streptococcus mutans.(Jacobson et al., 1973) Kemampuan adhesi ini diakibatkan adanya reseptor pada pelikel saliva yang berasal dari lidah sehingga terdapat Streptococcus mutans yang terdeteksi pada saliva. Namun saliva juga memiliki kandungan mucin yang berikatan dengan protein saliva lain seperti histatin, cystatins, dan statherin yang bersifat sebagai agen antimikroba.(Dowd, 1999) Hal inilah yang menyebabkan mengapa Streptococcus mutans ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam saliva. Dari nilai CT, jumlah bakteri dikuantifikasi dengan metode kuantifikasi absolut menggunakan kurva standar. Nilai rata-rata CT setiap sampel dimasukkan ke dalam rumus persamaan garis kurva standar kemudian kuantifikasi jumlah bakteri dihitung dengan rumus antilog. Gambar 5.1 menunjukkan garis kurva standar bakteri yang didapat dari kuantifikasi bakteri standar Streptococcus mutans ATCC 25175. Hasilnya adalah terdapat 4 titik yang membentuk sebuah garis linier. Pada kurva standar bakteri, suatu kurva dikatakan valid jika memiliki nilai r2 minimal 0.8. Kurva ini memiliki nilai r2 sebesar 0,991 yang menunjukkan validitas yang tinggi. Hasil korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di plak lidah dengan risiko karies tinggi dilihat dengan menggunakan analisis bivariat Pearson correlation karena distribusi data normal. Sementara untuk melihat korelasi antara kuantitas Streptococcus mutans di saliva dengan risiko karies tinggi penulis menggunakan analisis statistik Spearman correlation karena distribusi data kuantitas bakteri pada saliva tidak normal. Hasil dari uji korelasi ini adalah terdapat korelasi negatif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara perubahan kuantitas Streptococcus mutans baik pada plak lidah maupun saliva dengan jumlah karies pada subjek risiko karies tinggi. Hal ini berarti kuantitas Streptococcus mutans baik pada plak lidah maupun saliva tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah karies pada subjek dengan risiko karies tinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Pannu Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 dan kawan-kawannya yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara karies gigi seiring dengan meningkatnya konsentrasi Streptococcus mutans di saliva pada orang dewasa (Pannu, Gambhir, & Sujlana, 2013). Namun pada penelitian M.S Bush dan kawankawan, dari 320 sampel plak gigi, pada 49 sampel yang memiliki lesi karies, tidak ditemukan Streptococcus mutans. Hal ini mengindikasikan bahwa karies dapat terjadi akibat adanya peran bakteri spesies lain yang dapat menyebabkan demineralisasi enamel seperti Streptococcus sobrinus, Streptococcus salivarius, Streptococcus sanguinis dan Lactobacillus spp.dengan atau tanpa adanya kehadiran Streptococcus mutans.(Bush & Challacombe, 1989) Selain itu penelitian Matee et al. juga menyatakan bahwa jumlah Streptococcus mutans di saliva pada anak tidak dapat digunakan untuk memprediksi karies di masa depan.(Matee, 1993) Terdapat faktor lain selain kuantitas Streptococcus mutans yang berkontribusi terhadap pembentukan karies, seperti pH rongga mulut, frekuensi dan kadar asupan karbohidrat, serta kadar fluoride di dalam mulut. Selain itu juga terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi risiko early childhood caries, di antaranya adalah faktor sosioekonomi, kesehatan umum anak, dan pola pemberian makan kepada anak. Penelitian ini hanya memeriksa kondisi klinis anak, yang berdasarkan kriteria American Academy of Pediatric Dentistry (AAPD), termasuk ke dalam kategori risiko karies tinggi tanpa memeriksa faktor penyebab karies dan faktor predisposisi lainnya yang mungkin dapat berpengaruh terhadap banyaknya jumlah karies di tiap anak. Kesimpulan Tidak terdapat korelasi antara kuantitas bakteri Streptococcus mutans baik di plak lidah maupun saliva dengan risiko karies tinggi. Saran Untuk penelitian yang serupa sebaiknya metode penelitian lebih disempurnakan dengan metode yang lebih baik supaya hasil penelitian lebih sensitif dan akurat serta perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi kuantitas bakteri Streptococcus mutans pada plak lidah. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Daftar Referensi American Academy of Pediatric Dentistry. (2011). Policy on Early Childhood Caries (ECC) : Classifications, Consequences, and Preventive Strategies.Accessed on September 25, 2014 from http://www.aapd.org/media/Policies_Guidelines/P_ECCClassifications.pdf Bio-Rad Laboratories, Inc. (2006). Real-time PCR application guide. Accessed on October 14, 2014 from http://www.gene-quantification.com/real-time-pcr-guide-bio-rad.pdf Bosy, A., & Kulkarni, G. V. (1994). Relationship of oral malodor to periodontitis: evidence of independence in discrete subpopulations. Journal of Periodontology, 65(1), 37–46. Bush, M., & Challacombe, J. (1989). A Quantitative Immunofluorescence Study of the Association between Streptococcus mutans and Approximal Caries. Microbial Ecology in Health and Disease, 2, 261–266. Danser, M. M., Gómez, S. M., & Van der Weijden, G. A. (2003). Tongue coating and tongue brushing: a literature review. International Journal of Dental Hygiene, 1(3), 151–158. Dowd, F. J. (1999). Saliva and dental caries. Dental Clinics of North America, 43(4), 579– 597. Ersin, N. K., Eronat, N., & Cogulu, D. (2006). Association of maternal-child characteristics as a factor in early childhood caries and salivary bacterial counts. Journal of Dentistry for Children (Chicago, Ill.), 73(2), 105–111. Gao, X.-L., Seneviratne, C. J., & Samaranayake, L. P. (2012). Novel and conventional assays in determining abundance of Streptococcus mutans in saliva. International Journal of Paediatric Dentistry, 22(5), 363–368. Geo, B., & Karen, C. (2010). Medical Microbiology (24th ed.). New York: McGraw-Hill Medical Publishing. Gronroos, L. (2000). Quantitative and Qualitative characterization of Mutans streptococci in saliva and in the Dentition. Disertasi Doktoral, Program Pascasarjana Universitas Helsinki. Guyton, A. C. (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit (3rd ed.). Jakarta: EGC. Jacobson, S. E., Crawford, J. J., & McFall, W. R. (1973). Oral physiotherapy of the tongue and palate: relationship to plaque control. Journal of the American Dental Association (1939), 87(1), 134–139. Kreth, J., et al. (2008). Role of sucrose in the fitness of Streptococcus mutans. Oral Microbiology and Immunology, 23(3), 213–219. Lehner, T. (1997). Immunology of Oral Diseases (3rd ed.). Oxford: Blackwell Scientific Publisher. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Lindquist, B., Emilson, C. G., & K. Wennerholm, C. G. (1989). Relationship between mutans streptococci in saliva and their colonization of the tooth surfaces. Oral Microbiology & Immunology, 4(2), 71–76. Marcotte, H., & Lavoie, M. C. (1998). Oral Microbial Ecology and the Role of Salivary Immunoglobulin A. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62(1), 71–109. Marsh, P., & Michael, V. (1999). Oral Microbiology. Great Britain: Wright. Matee, M. I. N. (1993). Mutans streptococci in caries-active and caries-free infants in Tanzanis. Oral Microbiology. Immunology., (8), 322–324. Mattos-Graner, R., & Smith, D. (2004). The vaccination control approach to control infections leading to dental caries. J Braz Oral Science, 3(11), 595–608. McDonald, R. E., Avery, D. R., & Jefferey A, D. (2011). Dentistry for the Child and Adolescent (9th ed.). St. Louis, Missouri: Mosby. Mount, G., & Hume, W. (2005). Preservation and Reservation of Tooth Structure (2nd ed.). Queensland: Knowledge Books and Software. Nakai, M., Okahashi, N., Ohta, H., & Koga, T. (1993). Saliva-binding region of Streptococcus mutans surface protein antigen. Infection and Immunity, 61(10), 4344– 4349. Norman, T., & O’Sullivan, D. (1997). Early Childhood Caries: overview and findings. American Academy of Pediatric Dentistry, (19), 12–15. Pannu, P., Gambhir, R., & Sujlana, A. (2013). Correlation between the salivary Streptococcus mutans levels and dental caries experience in adult population of Chandigarh, India. European Journal of Dentistry, 7(2), 191–195. Patil, S., Rao, R. S., & Sanketh, D. S. (2013). Oral Microbial Flora in Health. World Journal of Dentistry, 4(4), 262–266. Preetha, A., & Banerjee, R. (2005). Comparison of Artificial Saliva Substitutes. Trends Biomater Artif Organs, 18(2), 178–86. Prijono, E. (2008). Efektivitas Pembersihan Lidah Secara Mekanis Menggunakan Tongue Scraper Terhadap Jumlah Populasi Bakteri Anaerob Lidah. Accessed on October 12, 2014 from http://pustaka.unpad.ac.id/archives/23873/# Pulliam, L., Porschen, R. K., & Hadley, W. K. (1980). Biochemical properties of CO2dependent streptococci. Journal of Clinical Microbiology, 12(1), 27–31. Ramos-Gomez, F. J., Weintraub, J. A., & Featherstone, J. D. B. (2002). Bacterial, behavioral and environmental factors associated with early childhood caries. The Journal of Clinical Pediatric Dentistry, 26(2), 165–173. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014 Sabir, A. (2005). Aktivitas Antibakteri Flavonoid Propolis Trigona sp terhadap Bakteri Streptococcus Mutans (in vitro). Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.), 38(3), 135–141. Samaranayake, L. (2006). Microbiology of Dental Caries (3rd ed.). Philadelphia: Churcill Livingstone. Sarrazin, J. (1920). Tongue cleansing. Dent Prac Dent Rec, 30, 599. Suwelo, I. S. (1992). Karies Gigi pada Anak dengan Pelbagai Faktor Etiologi (I.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tanner, J. M. (1992). Contemporary Oral Microbiology and Immunology. St. Louis, Missouri: Mosby. Tenovuo, J. (1998). Antimicrobial function of human saliva--how important is it for oral health? Acta Odontologica Scandinavica, 56(5), 250–256. Togelius, J., Kristoffersson, K., & Bratthall, D. (1984). Streptococcus mutans in saliva: intraindividual variations and relation to the number of colonized sites. Acta Odontologica Scandinavica, 42(3), 157–163. Van der Velden, U., van Winkelhoff, A. J., Abbas, F., & De Graaff, J. (1986). The habitat of periodontopathic micro-organisms. Journal of Clinical Periodontology, 13(3), 243–248. Varsio S. (1999). Caries-preventive treatment approaches for child and youth at two extremes of dental health in Helsinki, Finland. Disertasi doktoral, Program Pascasarjana Universitas Helsinki, Finlandia. Yaegaki, K., & Sanada, K. (1992). Biochemical and clinical factors influencing oral malodor in periodontal patients. Journal of Periodontology, 63(9), 783–789. Korelasi kuantitas Streptococcus ..., Dhiatfa Amanda Sylvania, FKG UI, 2014