ANALISIS POLA DINAMIS ANTARA KEBIJAKAN MONETER

advertisement
ANALISIS POLA DINAMIS ANTARA KEBIJAKAN MONETER
MELALUI JALUR NILAI TUKAR (EXCHANGE RATE CHANNEL) DAN
SUKU BUNGA (INTEREST RATE CHANNEL) DALAM
MEMPENGARUHI TINGKAT HARGA
OLEH
PRANOWO KUNCORO
NIM: 107084002963
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.
II.
IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap
: Pranowo Kuncoro
2. Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 5 Agustus 1988
3. Alamat
: Jl. Cililitan Besar No.27 Jakarta
4. E-mail
: [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1. TK Sahabat Jakarta (1993-1994)
2. SDN 03 Pagi Jakarta (1994-2000)
3. SLTPN 275 Jakarta (2000-2003)
4. SMAN 51 Jakarta (2003-2006)
5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (20072011)
III.
IV.
LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah
: Tukimin
2. Ibu
: Kamirah
3. Alamat
: Jl. Cililitan Besar No.27 Jakarta
4. Anak
: 3(tiga) dari 3 (tiga) bersaudara
PENGALAMAN ORGANISASI
1. Pengurus Klub Taekwondo T2SC (Taekwondo Taruna Sport Club)
SMPN 275 Jakarta (2001-2002).
2. Anggota OSIS SMAN 51 Jakarta (2004-2005).
3. Ketua PASKIBRA SMAN 51 Jakarta (2004-2005).
i
4. Koordinator Kementerian Bidang Pendidikan Ikatan Mahasiswa
Ekonomi Pembangunan Indonesia (IMEPI) wilayah Jawa bagian
barat (2009-2011).
5. Pembina Divisi Internal & Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (2010-2011).
ii
ABSTRACT
The purpose of this study was aimed the causal relation between exchange
rate channel of monetary policy and interst rates on the price level as well as to
see whether there is the dynamic effect on the price level because of the shock
caused by the monetary policy rate path and interest rates at a certain lag. The
data used in this study are monthly data from January 1998 to December 2010.
This study uses a Granger causality test to see any causal relation, and Vector
Error Correction Model (VECM) to see the presence of shock.
The results showed there is a causal relationship between exchange rate
channels of monetary policy and interest rates on the price level. And in this study
also concluded that there was the dynamic effect on the price level because of the
shock the exchange rates and interest rates at a certain lag. Variance
Decomposition test results showed that variations in the price level is
predominantly influenced by the innovations in the exchange rate than the interest
rate of innovation. While the Impulse Response Function test results showed that
response of price level to the shock value of exchange rates continue to rise until
the seventh for the period then showed a declining pattern, and the price level
response to the shock in interest rates showed a negative pattern of decline in the
first period until the third then show a pattern increased until the fifth period, but
the fifth period showed a pattern of decline.
Keywords: Monetary Policy, Exchange Rates, Interest rates, Price Level,
Transmission Mechanisms, Vector Error Correction Model.
iii
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas
antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga
serta untuk melihat apakah terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga
akibat kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar
dan suku bunga pada lag tertentu. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data bulanan dari Januari 1998 sampai Desember 2010. Penelitian ini
menggunakan uji kausalitas Granger, dan Vector Error Correction Model
(VECM).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara
kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga. Dan
dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pola dinamis
pada tingkat harga akibat kejutan (shock) nilai tukar dan suku bunga pada lag
tertentu. Hasil uji Variance Decomposition menunjukkan bahwa variasi tingkat
harga lebih dominan dipengaruhi oleh inovasi pada nilai tukar dibanding inovasi
pada suku bunga. Sedangkan hasil uji Impulse Response Function menunjukkan
bahwa respons tingkat harga terhadap shock nilai tukar terus meningkat hingga
periode ke tujuh untuk kemudian menunjukkan pola yang menurun, dan respons
tingkat harga terhadap shock suku bunga menunjukkan pola penurunan yang
negatif pada periode pertama hingga ketiga untuk kemudian menunjukkan pola
meningkat hingga periode kelima, namun setelah periode kelima menunjukkan
pola penurunan.
Kata Kunci: Kebijakan moneter, Nilai Tukar, Suku Bunga, Tingkat Harga,
Mekanisme Transmisi, Vector Error Correction Model.
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Ilahi
Rabbi, yang telah memberikan limpahan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya
kepada penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sang
pembawa risalah islam, pembawa syafaat bagi ummatnya dihari akhir kelak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan
skripsi ini. Disamping itu, dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Apresiasi dan terima kasih yang setinggi-tingginya, disampaikan kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semoga menjadi amal
baik dan dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik. Secara khusus,
apresiasi dan terima kasih tersebut disampaikain kepada:
1. Kedua orang tua tercinta. Bapakku (almarhum) dan Ibuku, beribu-ribu
ucapan terima kasih tak henti-hentinya tercurah bagi kalian berdua yang
telah rela berkorban begitu luar biasanya bagi penulis mulai dari penulis
dilahirkan hingga sekarang. Tanpa kalian berdua penulis bukanlah apaapa, kasih dan sayang kalian yang tulus tak akan pernah tergantikan dan
selalu ada disetiap masa. Rabbigghfirli waliwaalidayya warhamhumaa
kamaa rabbayani saghiira.
2. Haturan rasa terima kasih yang mendalam penulis juga ucapkan kepada
kedua kakak tercinta mba Eno dan mba Wari, yang senantiasa mendukung
yang terbaik bagi masa depanku. I can’t stand if there are not you at my
side thax for every spirit, hope, and motivation.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
4. Bapak Dr. Lukman M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta selaku pembimbing I
yang senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan,
motivasi serta bimbingannya dalam proses penyusunan skripsi ini.
5. Bapak Zuhairan Yunmi Yunan SE. M.Sc selaku pembimbing II yang
senantiasa meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, motivasi
serta bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini.
6. Ibu Utami Baroroh M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan
Studi Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap civitas akademika (pengajar & tata usaha) Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan
apresiasi terbaik dalam segala hal.
8. Rizqi Irma Yunita terima kasih untuk segala perhatian, doa, cinta dan
kasih sayang yang telah diberikan, kamu adalah sumber semangatku dalam
menghadapi hari-hari berat dan penuh tekanan selama menyelesaikan
skripsi ini, tanpa kamu disisiku aku bukanlah seperti aku yang sekarang.
9. Teman-teman mahasiswa IESP angkatan 2007 yang telah memberikan
pengalaman yang bergitu tak terkiranya bagiku dalam menjalani hari-hari
baik di dunia akademik maupun keseharian kita, tanpa kalian aku bukanlah
seperti diriku yang sekarang, banyak warna yang telah kita bersama
goreskan teman, semoga kita akan selalu satu dan selamanya solid apapun
yang terjadi kalian tetaplah bagian terbaik bagiku.
10. Teman-teman ekonomi moneter Alisah, JB, Mario, Danang, Aga, Tika,
Feni, Arini, Darso, Samsul, Mamet, Doko, Milad, Uli, dan semuanya.
Makasih banget untuk segalanya.
11. Terima kasih untuk semua teman-teman BEM-J IESP, IMEPI, dan temanteman seperjuangan waktu bimbingan skripsi hehehe...Sofi, Wiwi, Rei,
Ganda, Mario, Ahmad, Dea, Eti, Icha, dll, thx buat kebersamaan, tolong
menolong, bantuan, motivasi, masukan, dan rasa suka-duka yang udah kita
share bareng, semoga di akhir nanti semuanya bisa menjadi kenangan
manis saat kita lulus. Amin
vi
Penulis berharap skripsi ini menjadi konstribusi serta menambah pustaka dan
referensi bagi semua pihak yang membutuhkan. Saran dan masukan dari para
pembaca untuk perbaikan ketidaksempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Jakarta, 21 November 2011
Penulis
Pranowo Kuncoro
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
LEMBAR UJIAN KOMPREHENSIF
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .........................................................................
i
ABSTRACT ...................................................................................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................................................
1
B. Rumusan Masalah .....................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................
9
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ........................................................................... 11
1. Kebijakan Moneter ................................................................ 11
2. Tujuan Kebijakan Moneter ..................................................... 13
a. Kestabilan Harga ....................................................... 14
b. Pertumbuhan Ekonomi .............................................. 14
c. Tingkat Kesempatan kerja ......................................... 14
d. Kestabilan Pasar Uang ................................................ 15
e. Kestabilan Pasar valas ................................................ 15
viii
f. Kestabilan Dalam Tingkat Bunga ............................... 16
3. Indikator Kebijakan Moneter .......................................... 16
4. Kerangka Kebijakan Moneter ......................................... 17
a. Instrumen Kebijakan Moneter .................................... 17
1) Operasi Pasar Terbuka .................................... 17
2) Cadangan Minimum........................................ 17
3) Kebijakan Diskonto ........................................ 18
b. Sasaran Operasional .................................................... 19
c. Sasaran Antara ............................................................ 19
d. Sasaran Akhir .............................................................. 20
5. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ..................... 20
6. Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ............. 22
a. Jalur Ekspektasi (Expectation Channel) ..................... 23
b. Jalur Kredit (Credit Channel) ..................................... 23
c. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel) ................. 24
d. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) ............... 25
e. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel) ..................... 26
7. Konsep Purchasing Power Parity (PPP) ......................... 26
8. Teori Kuantitas Uang ....................................................... 28
a. Teori Irving Fisher ...................................................... 28
b. Persamaan Cambridge/Marshall ................................. 28
9. Teori Tingkat Bunga Fisher ............................................. 30
10. Teori Paritas Tingkat Bunga ............................................ 31
ix
a. Uncovered Interest Parity ........................................... 31
b. Covered Interest Parity ............................................... 32
11. Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka ........... 33
12. Kebijakan Moneter di Indonesia ...................................... 34
B. Keterkaitan Antar Variabel ......................................................... 39
C. Penelitian Terdahulu ................................................................... 41
D. Kerangka Pemikiran .................................................................... 49
E. Hipotesis...................................................................................... 54
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 56
B. Metode Penentuan Sampel .......................................................... 57
C. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 58
1. Internet ............................................................................. 58
2. Studi Kepustakaan ........................................................... 58
3. Sumber Data .................................................................... 58
a. Nilai Tukar (Kurs)....................................................... 58
b. Suku Bunga SBI .......................................................... 59
c. Tingkat Harga (Inflasi) ............................................... 59
D. Metode Analisis Data .................................................................. 59
1. Uji Stasioneritas Data (Unit Root Test) dan Derajat
Integrasi ................................................................................ 61
2. Penentuan Lag Optimal ......................................................... 62
x
3. Uji Kausalitas Granger .......................................................... 63
4. Uji Kointegrasi ..................................................................... 64
5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) .............. 65
6. Variance Decomposition (VD) ............................................. 66
7. Impulse Response Function (IRF) ......................................... 66
E. Operasional Variabel Penelitian ................................................. 67
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................. 69
1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (Kurs rupiah) ........ 69
2. Tingkat Harga (Inflasi) .......................................................... 74
3. Suku Bunga SBI .................................................................... 76
B. Hasil Analisis dan Pembahasan ................................................... 79
1.
Uji Stasioneritas Data ........................................................... 79
a. Uji Akar Unit (Unit Root Test) ........................................ 79
2.
Penentuan Lag Optimal ........................................................ 80
3.
Uji Kausalitas Granger ......................................................... 82
4.
Uji Kointegrasi ..................................................................... 83
5.
Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) ............. 85
6.
Variance Decomposition (VD) ............................................. 87
7.
Impulse Response Function (IRF) ........................................ 89
C. Intepretasi Hasil Analisis ................................................................. 92
1.
Hubungan Antara Kebijakan Moneter Jalur Nilai Tukar
Terhadap Tingkat Harga (Inflasi) ........................................ 92
xi
2.
Hubungan Anatara Kebijakan Moneter Jalur Suku Bunga
Terhadap Tingkat Harga (Inflasi) ......................................... 94
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan....................................................................................... 97
B. Implikasi ........................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel
1
Keterangan
Halaman
Gambaran Perkembangan Nilai Tukar (Rupiah/USD),
5
Tingkat Suku Bunga SBI dan Inflasi Tahun 2007-2010
2.
Penelitian Terdahulu
47
3.
Deskripsi Data Operasional Variabel
67
4.
Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US
71
5.
Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1998-2010
75
6.
Rata-rata Suku Bunga SBI Tahun 1998-2010
78
7.
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test)
79
8.
Uji Lag Optimal
81
9.
Hasil Uji Kausalitas Granger
82
10.
Uji Kointegrasi
84
11.
Hasil Estimasi VECM Dengan Lag 4
12.
[Tingkat Harga Sebagai Variabel Dependen]
86
Variance Decomposition Terhadap Tingkat Harga
88
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Keterangan
Halaman
1.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
22
2.
Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
33
3.
Perbandingan Sistem Operasional kebijakan Moneter
36
4.
Kerangka Pemikiran
53
5.
Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap
Dollar US 1998-2010
6.
71
Pergerakan Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia
Tahun 1998-2010
7.
8.
75
Pergerakan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI
di Indonesia Tahun 1998-2010
78
Impulse Response Function
90
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Keterangan
Halaman
1.
Data Penelitian
105
2.
Hasil Uji Akar Unit (Level)
109
3.
Hasil Penentuan Lag Optimal
112
4.
Hasil Uji Kausalitas Granger
113
5.
Hasil Uji Kointegrasi Johansen
114
6.
Hasil Estimasi VECM
116
7.
Variance Decomposition
118
8.
Impulse Response Function
119
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kebijakan moneter yang diambil oleh sebuah bank sentral tentunya
akan direspon baik oleh perubahan perilaku perbankan maupun perilaku dunia
usaha lainnya. Perubahan perilaku tersebut semisal tercermin dalam spread pada
suku bunga perbankan hingga ekspektasi para pelaku ekonomi karena memang
lewat jalur transmisi tertentu yang diberlakukan oleh bank sentral hal tersebut
menjadi mungkin terjadi (Bernanke dan Blinder, 1998). Perubahan-perubahan
tersebut menggambarkan suatu mekanisme yang dalam teori ekonomi moneter
dinamakan
mekanisme
transmisi
kebijakan
moneter
(MTKM).
Karena
menyangkut perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat, maka MTKM
merupakan proses yang bersifat kompleks dan sulit diprediksi.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya, menggambarkan
bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dalam mempengaruhi
berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya mencapai
tujuan akhir yang ditetapkan oleh bank sentral di tiap-tiap negara (Warjiyo, 2004).
Sektor keuangan atau moneter mempunyai peranan yang penting, bukan hanya
sebagai perantara finansial tetapi juga sebagai pihak yang membatasi, menilai, dan
mendistribusikan resiko yang berkaitan dengan berbagai kegiatan finansial. Pada
mekanisme pasar, peranan ini memungkinkan terjadinya keseimbangan antara
keuntungan yang diperoleh dengan resiko yang dihadapi. Tujuan utama deregulasi
1
keuangan seperti deregulasi ekonomi pada umumnya adalah mendorong efisiensi
dan pertumbuhan ekonomi.
Permasalahan mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter masih
merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di dunia akademis
maupun para prakstisi di bank sentral. Mekanisme transmisi kebijakan moneter
selalu dikaitkan dengan dua pernyataan Bernanke dan Blinder (1992) dan Taylor
(1995). Pertama, apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil
disamping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, melalui
mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi riil itu
terjadi.
Beberapa bank sentral di dunia, seperti European Central Bank of
England, dan Bank of Japan memfokuskan pada stabilitas harga sebagai tujuan
utama atau satu-satunya tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan
kebijakan moneter (Reddy, 2005). Bank Indonesia sebagai bank sentral di
Indonesia juga menetapkan stabilitas harga sebagai single object. Hal ini sesuai
dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2004. Berbeda dengan BI, Bank Negara Malaysia (BNM)
sebagai bank sentral di Malaysia, mempunyai beberapa objek sebagai sasaran
kebijakannya, seperti mewujudkan kestabilan sistem keuangan dan sistem
moneter, serta mencapai pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Ada
beberapa bank yang tidak menerapkan single objective, seperti Federal Reserve of
the US (FED). FED menerapkan multiple objectives dalam pelaksanaan kebijakan
moneternya, diantaranya mengurangi pengangguran, stabilitas harga, dan menjaga
2
stabilitas tingkat suku bunga jangka panjang (Reddy, 2005). Para ahli ekonomi
sering menyebut kebijakan-kebijakan moneter tersebut sebagai black box karena
pada dasarnya kita mengetahui bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi
beberapa sasaran akhir seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi
mereka pun tidak mangetahui secara pasti bagaimana kebijakan moneter
mempengaruhi pergerakan instrumen sasaran akhir tersebut. Efektivitas kebijakan
moneter sangat tergantung pada mekanisme transmisinya, maka dari itu penelitian
mengenai efektivitas jalur-jalur dalam mekanisme transmisi kabijakan moneter
sangat menarik untuk dilakukan.
Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu pertama,
berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) yang dibutuhkan untuk
mampu mempengaruhi sasaran akhir dan kedua, berapa kekuatan variabelvariabel pada masing-masing jalur merespon adanya perubahan yang bersifat
kejutan (shock) dari instrumen kebijakan moneter dan variabel lainnya hingga
tercapainnya sasaran akhir kebijakan moneter.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia telah menunjukkan pentingnya
menjaga kestabilan makro ekonomi. Krisis yang pada awalnya dipicu oleh
menurunnya nilai tukar rupiah telah berkembang sedemikian cepat dan merupakan
akumulasi dari berbagai permasalahan yang sebenarnya telah demikian mengakar
di Indonesia, baik permasalahan di bidang ekonomi maupun non ekonomi.
Misalnya pembiayaan investasi yang selama ini banyak menggunakan pinjaman
luar negeri, pengelolaan dunia usaha yang lemah serta kondisi keuangan
khususnya perbankan yang rentan.
3
Berbagai permasalahan inilah yang terkuak dengan jelas dari krisis yang
selanjutnya merembet pada sektor-sektor lain. Krisis ekonomi tersebut telah
menggoyahkan
hampir
seluruh
sendi-sendi
perekonomian
nasional
dan
menimbulkan beban yang demikian berat bagi negara, dunia usaha dan
masyarakat, khususnya beban keuangan yang harus ditanggung.
Berdasarkan kondisi saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia di tahun
1997-1998 tersebut tentunya Bank Indonesia sebagai otoritas moneter nasional
sangat diandalkan untuk dapat mengembalikan keadaan yang penuh dengan
kekacauan kepada kondisi dimana perekonomian Indonesia dapat kembali pulih
dan bersaing dengan negara-negara lain, tentunya berbagai upaya pembenahan
sistem moneter perlu dikaji ulang dan dirumuskan kembali agar hal-hal seperti
saat krisis 1997-1998 tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Penciptaan bantalan
sistem moneter yang lebih terkointegrasi dan spesifik sebagai sebuah moda
penunjang perekonomian nasional yang kuat sudah menjadi kewajiban bagi Bank
Indonesia, dimana rumusan-rumusan tersebut tersedia dalam berbagai transmisitransmisi kebijakan moneter melalui beberapa jalur seperti jalur nilai tukar, suku
bunga dan lain sebagainya.
Peningkatan peran pasar dalam perekonomian serta kemajuan yang pesat
di sektor keuangan seperti semakin majunya inovasi produk-produk keuangan,
proses sekuritisasi maupun proses decoupling antara sektor riil dan sektor moneter
diyakini telah menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter
melalui jalur harga, terutama jalur suku bunga dan nilai tukar. Hal ini dikarenakan
kedua jalur tersebut semakin besar perannya dalam mempengaruhi besar kecilnya
4
aliran modal apalagi pada negara dengan sistem ekonomi yang terbuka seperti
Indonesia.
Tabel 1.1
Gambaran Perkembangan Nilai Tukar (Rupiah/USD), Tingkat Suku Bunga
SBI dan Inflasi Tahun 2007-2010
Tahun
Nilai Tukar
(Rupiah/USD)
Tingkat
Inflasi
Tingkat Suku
Bunga SBI
2007
Rp 9.419
6,41 %
8,60%
2008
Rp 10.950
10,28 %
9,18%
2009
Rp 9.400
4,45 %
7,31%
2010
Rp 8.991
5,13 %
6,29%
Sumber : Bank Indonesia Data Diolah (dalam beberapa terbitan)
Pada tahun 2007 nilai tukar rupiah/USD adalah sebesar Rp 9.419/USD
dengan tingkat inflasi rata-rata sekitar 6,41 % dan tingkat suku bunga SBI ratarata sebesar 8,60 %, kemudian pada tahun 2008 ternyata rupiah terdepresiasi
terhadap Dollar hingga nilainya mencapai Rp 10.950/USD dan ternyata disaat
nilai tukar terdepresiasi tersebut tingkat inflasi rata-rata meningkat menjadi sekitar
10,28% dan tingkat suku bunga SBI juga tumbuh sekitar 9,18 %, hal tersebut
kemungkinan karena pengaruh meningkatnya beban biaya produksi bagi produsen
yang mencukupi beberapa faktor produksinya dari barang impor serta
meningkatnya beban pengeluaran pemerintah karena depresiasi tersebut dan oleh
karena itu untuk mencegah inflasi yang tinggi pemerintah meningkatkan rata-rata
tingkat suku bunga SBI. Setelah mengalami depresiasi pada tahun 2008 yang
kemungkinan akibat krisis global, pada tahun 2009 Rupiah terapresiasi kembali di
5
kisaran Rp 9.400/USD dan tingkat inflasi turun hingga sekitar 4,45% sedangkan
suku bunga SBI berada di kisaran rata-rata tahun itu sebesar 7,31 %, hal tersebut
mengindikasikan pada saat Rupiah/USD nilainya terapresiasi ternyata ada
kecenderungan tingkat inflasi rata-rata menurun dan suku bunga SBI juga
pertumbuhannya menurun dibansing tahun sebelumnya, kemungkinan hal tersebut
karena ada indikasi ekspansi ekonomi yang diberlakukan oleh pemerintah pada
tahun tersebut guna mengapresiasi aliran modal asing yang semakin meningkat.
Sedangkan tahun 2010 nilai tukar Rupiah rata-rata menguat terhadap Dollar AS
yaitu bergerak di kisaran Rp 8991/USD, dengan rata-rata tingkat inflasi sekitar
5,13% dan tingkat suku bunga SBI rata-rata sekitar 6,29 %, hal tersebut
mengindikasikan bahwa meskipun Rupiah terapresiasi terhadap Dollar AS namun
rata-rata tingkat inflasi pada tahun tersebut justru cenderung meningkat, alasan
kemungkinan peningkatan inflasi pada saat Rupiah terapresiasi tahun 2010 ialah
karena semakin tingginya aliran dana masuk (capital inflow) dari para investor
asing ke dalam negeri sehingga turut pula mempengaruhi inflasi rata-rata pada
tahun 2010 yang meningkat tipis dibanding tahun 2009 dan sepertinya pemerintah
tidak ingin aliran modal asing yang masuk sedemikian deras tersebut tidak
berwujud investasi riil, maka guna memuluskan ekspansi pada tahun tersebut
pemerintah kembali menurunkan rata-rata tingkat suku bunga SBI dibanding
tahun sebelumnya.
Penelitian Bank Indonesia oleh Siswanto, dkk (2001), menunjukkan pada
small open economy, mekanisme kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar
bekerja lebih kuat dalam sistem nilai tukar mengambang bebas daripada sistem
6
mengambang terkendali. Pada sistem mengambang bebas, variabilitas nilai tukar
nominal menjadi cukup tinggi dan membuat nilai tukar riil menjadi tidak stabil.
Sedangkan penelitian yang menjelaskan tentang pengaruh instrumen
kebijakan moneter pada suku bunga (SBI) terhadap inflasi pernah dilakukan oleh
Endri (2008), di mana dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa selama
periode nilai tukar mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan
moneter pada suku bunga (SBI) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
inflasi, sedangkan pada jangka pendek pengaruhnya tidak terlalu signifikan
dibandingkan instrumen kebijakan moneter yang lainnya dalam mempengaruhi
inflasi di Indonesia.
Pada penelitian ini gambaran tentang efektivitas kebijakan moneter jalur
nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga ialah tujuan utama yang ingin
dibahas. Oleh karena itu judul penelitian ini adalah Analisis Pola Dinamis
Antara Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate
Channel) dan Suku Bunga (Interest Rate Channel) Dalam Mempengaruhi
Tingkat Harga.
B. Perumusan Masalah
Prosedur instrumen kebijakan moneter merupakan isu penting bagi bank
sentral dalam merumuskan kebijakan moneter. Setelah bank sentral memutuskan
target yang hendak dicapai, misalnya tingkat inflasi yang wajar dan asumsi
pertumbuhan ekonomi yang menyertainya, pertanyaan selanjutnya adalah
7
bagaimana kebijakan moneter itu akan dijalankan, dalam arti bahwa: (1) target
operasional apa yang digunakan, yaitu uang primer atau suku bunga jangka
pendek, (2) target antara atau variabel informasi kebijakan apa yang harus
dimonitor, misalnya besaran moneter, suku bunga jangka menengah, kredit, dan
nilai tukar, serta (3) bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter tersebut
mempengaruhi harga (Warjiyo, dkk, 1998).
Menurut Nualtaranee (2001), pentingnya mengetahui berbagai perbedaan
jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter didasarkan pada beberapa alasan
berikut: (1) pemahaman atas perubahan besar-besaran moneter akibat perubahan
kebijakan, akan memperbaiki pemahaman kita terhadap kaitan antara sektor
keuangan dan sektor riil, (2) pemahaman yang lebih baik terhadap mekanisme
transmisi
kebijakan
moneter
akan
membantu
para
pembuat
kebijakan
mengintepretasikan pergerakan besar-besaran moneter secara lebih tepat, dan (3)
informasi yang lebih banyak tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter
akan membantu pemilihan target yang lebih baik.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini ialah:
1. Apakah terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai
tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga?
2. Apakah terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan
(shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan
suku bunga pada lag tertentu?
8
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur
nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga.
2. Untuk mengetahui hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat
kejutan (shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar
dan suku bunga pada lag tertentu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah dan Instansi Terkait
Dapat memberikan informasi tambahan dalam menentukan kebijakan yang
bermanfaat bagi pemerintah (BI) baik yang bersifat forcasting maupun terapan.
Serta dapat juga dijadikan bahan pertimbangan bagi instansi terkait lainnya.
2. Bagi Akademisi
Sebagai sumbangan informasi pengetahuan secara teoritis dan praktis bagi
dunia akademik dalam mendalami kembali tentang peranan kebijakan moneter
serta pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia.
3. Bagi Penulis
Untuk memperluas informasi dan wawasan mengenai suatu efektivitas
kebijakan yang diterapkan oleh bank sentral (BI) dalam menjalankan fungsinya
9
untuk menciptakan kestabilan perekonomian nasional dengan instrumeninstrumen yang ada serta mengaplikasikan teori-teori ekonomi yang telah
diperoleh selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan UIN Jakarta.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank
sentral
dalam
bentuk
pengendalian
besaran
moneter
untuk
mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu stabilitas ekonomi
makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (laju inflasi) dan
pertumbuhan ekonomi (Warjiyo, 2003). Menurut Jhingan (2000), kebijakan
moneter dapat didefinisikan sebagai kebijakan yang berkenaan dengan: (1)
pengendalian lembaga keuangan, (2) penjualan dan pembelian secara aktif kertaskertas berharga oleh otoritas moneter sebagai ikhtiar sengaja guna mempengaruhi
perubahan keadaan uang, dan (3) pembelian dan penjualan secara pasif kertas
berharga (paper assets) yang timbul dari usaha mempertahankan struktur suku
bunga tertentu, stabilnya harga saham, atau untuk memenuhi kewajiban dan
komitmen tertentu lainnya.
Kebijakan moneter sebagai salah satu kebijakan ekonomi berperan penting
dalam suatu perekonomian. Peran tersebut tercermin pada kemampuannya dalam
mempengaruhi stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan
kerja dan keseimbangan neraca pembayaran. Oleh karena itu, seringkali hal-hal
ini menjadi sasaran akhir kebijakan moneter.
11
11
Mishkin (1998) dan Anglingkusumo,dkk (2000), menyebutkan ada empat
tipe/strategi dasar sebagai sasaran akhir dari kebijakan moneter, yaitu:
a. Inflation Targeting adalah suatu kerangka kebijakan moneter yang
diarahkan sedemikian rupa untuk mencapai target inflasi yang telah
ditetapkan. Biasanya bank sentral diwajibkan untuk menetapkan target
inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan
pengendalian sasaran-sasaran inflasi. Secara konsep, inflation targeting
memberikan fokus yang lebih jelas dan sistematis bagi manajemen
moneter bank sentral.
b. Exchange-Rate Targeting adalah kebijakan moneter yang diarahkan untuk
menjaga dan mengendalikan mata uang domestik terhadap mata uang
asing. Untuk mencapai stabilitas nilai tukar, bank sentral biasanya
mematok nilai mata uang domestiknya terhadap suatu komoditas tertentu
semisal emas. Exchange-rate targeting akan memperbaiki tingkat inflasi
terutama untuk barang-barang yang diperdagangkan secara internasional,
sehingga secara langsung dapat berperan dalam menjaga inflasi yang
lebih stabil dan terkontrol.
c. Monetary Targeting akan mengarahkan kebijakan moneternya pada
pengendalian besaran moneter seperti jumlah uang beredar. Monetary
targeting memungkinkan bank sentral melakukan penyesuaian kebijakan
moneternya dalam mencapai strategi nasional, semisal inflasi yang
rendah, pertumbuhan ekonomi, atau tingkat pengangguran yang rendah.
Strategi ini lebih mudah dipahami dan dikomunikasikan ke masyarakat di
12
mana
pemerintah
sebagai
pembuat
kebijakan
secara
berkala
mengumumkan target moneternya dengan transparan.
d. Kebijakan moneter yang tidak menetapkan terget tertentu (just do it).
Strategi ini lebih didasarkan pada kemampuan individual para pembuat
keputusan (decision man). Strategi ini sangat fleksibel, di mana bank
sentral tidak menetapkan aturan yang jelas dalam mengatasi gejolak
ekonomi.
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa kondisi perekonomian
suatu negara memburuk karena kebijakan moneternya memiliki multi sasaran
akhir (Khan, 2003; Carare dan Stone, 2003). Misalnya, usaha untuk mendorong
tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya
dapat berdampak negatif terhadap kestabilan harga dan keseimbangan neraca
pembayaran, sementara dalam jangka panjang kebijakan moneter bersifat netral
dan hanya dapat mempengaruhi harga.
2. Tujuan Kebijakan Moneter
Tujuan
utama
kebijakan
moneter
BS
adalah
kestabilan
harga,
pertumbuhan ekonomi, mempertahankan neraca pembayaran, meningkatkan
kesempatan kerja, kestabilan di pasar uang, dan kestabilan tingkat suku bunga
(Mishkin, 2001). Berikut pembahasan mengenai kebijakan moneter :
13
a. Kestabilan Harga
Kestabilan harga dijadikan tujuan kebijakan moneter karena jika harga
tidak stabil maka akan menimbulkan ketidakpastian dalam perekonomian. Hal ini
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi serta sulitnya membuat
perencanaan di masa yang akan datang. Dibawah ini ekonom yang meneliti
tentang tingkat harga.
b. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu implikasi dari kebijakan
moneter yang di bangun oleh bank sentral karena pertumbuhan ekonomi dapat
dijadikan salah satu gambaran dasar tentang keefektifan kebijakan yang telah di
jalankan dengan melihat secara jelas variabel-variabel pertumbuhan ekonomi
yang di jadikan dasar kesuksesan seperti; PDB, jumlah pengangguran dsb. Yang
mana dalam transmisi moneter lebih dipengaruhi oleh variabel JUB dll.
c. Tingkat Kesempatan Kerja
Pengangguran
dapat
menghambat
pertumbuhan
ekonomi
dan
menimbulkan kehilangan sumber daya yang berharga. Tingkat kesempatan kerja
yang tinggi berkaitan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,
tujuan High Employement tidak berarti mencapai tingkat pengangguran sama
dengan nol. Dengan instrumen kebijakan moneter yang tepat diharapkan dapat
mengurangi angka pengangguran hingga pada taraf yang tidak mengganggu
pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan, misalnya dengan penurunan
14
tingkat suku bunga pasar yang nantinya dapat meningkatkan investasi dan dapat
mengurangi angka pengangguran secara berkala.
d. Kestabilan Pasar Uang
Kestabilan pasar uang diperlukan agar proses intermediasi dapat berjalan
dengan baik tanpa gangguan yang dapat menyebabkan disintermediasi antar
sektor moneter dan sektor riil. Krisis seperti yang terjadi di Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 telah mengganggu aliran modal ke sektor riil sehingga
telah menimbulkan kontraksi pada aktivitas ekonomi. Penciptaan kestabilan pasar
uang dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan moneter dan kebijakan
ekonomi lain yang pro terhadap kestabilan itu sendiri, misalnya menerapkan
tingkat suku bunga yang moderat pada kisaran angka yang seimbang sesuai
dengan kondisi riil ekonomi nasional.
e. Kestabilan Pasar Valas
Dengan semakin pentingnya peran perdagangan internasional maka nilai
tukar menjadi faktor penting yang selalu diperhatikan dalam perekonomian. Nilai
tukar yang stabil mempermudah pelaku ekonomi dalam melakukan ekspor dan
impor. Untuk Indonesia yang tingkat ketergantungannya terhadap perdagangan
internasional cukup tinggi, stabilitas nilai mata uang menjadi sangat penting, dan
tentunya bank sentral berperan untuk dapat menjaga nilai tukar tetap stabil dan
tidak terlalu berfluktuasi meskipun sekarang Indonesia telah menerapkan free
floating exchange rate, namun instrumen operasi pasar dapat tetap dilakukan
untuk menjaga tingkat kestabilan tersebut.
15
f. Kestabilan Dalam Tingkat Bunga
Kestabilan dalam tingkat bunga merupakan hal yang diharapkan dalam
suatu perekonomian. Hal ini disebabkan fluktuasi tingkat suku bunga akan
menimbulkan uncertainty dan menyulitkan dalam perencanaan di masa depan.
Fluktuasi dalam tingkat bunga dapat mempengaruhi kegiatan konsumen dan
produsen. Kegiatan konsumen akan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga kredit
dan deposito, sedangkan kegiatan produsen akan dipengaruhi oleh tingkat bunga
kredit untuk kelancaran operasionalnya.
3. Indikator Kebijakan Moneter
a. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu
melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi,
khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran
moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara
keseluruhan.
b. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan
langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkahlangkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan
terus diperkuat dan ditingkatkan.
c. Analisis
dan
prakiraan
berbagai
variabel
ekonomi
tersebut
dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan
sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.
16
4. Kerangka Kebijakan Moneter
Kerangka kebijakan moneter terdiri dari: instrumen kebijakan moneter,
sasaran operasional, sasaran antara, dan sasaran akhir (Ascarya, 2002), kerangka
kebijakan moneter tersebut ialah sebagai berikut:
a. Instrumen Kebijakan Moneter
Dalam mencapai tujuannya, bank sentral memiliki beberapa instrumen
kebijakan moneter yaitu operasi pasar terbuka (open market operation), cadangan
minimum (reserve requirement), dan kebijakan diskonto (discount policy).
1). Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Kebijakan ini merupakan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah
dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga seperti obligasi dari dan
kepada masyarakat melalui bank-bank umum (commercial bank). Penjualan suratsurat berharga seperti obligasi dilakukan pemerintah jika di masyarakat terjadi
kelebihan jumlah uang beredar (terutama dalam bentuk giral) pada masa inflasi.
Sebaliknya jika di masyarakat terjadi kekurangan jumlah uang beredar atau pada
masa resesi, pemerintah akan membeli kembali obligasi-obligasi yang pernah
ditawarkan ke masyarakat melalui bank-bank umum (Judisseno, 2005).
2). Cadangan Minimum (Reserve Requirement)
Kebijakan ini ditujukan bagi perbankan/lembaga-lembaga keuangan bank
yang berada di bawah pengawasan Bank Indonesia. Reserve Requirement (RR)
17
merupakan kebijakan yang mengatur besarnya tingkat cadangan minimal bank
(legal reserve ratio), yang secara tidak langsung juga mengatur besarnya
kelebihan cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat
(excess reserve). Pemerintah dapat mengontrol kelebihan JUB dengan menaikkan
atau menurunkan tingkat cadangan minimum, karena semakin besar tingkat
cadangan minimum , akan mengakibatkan cadangan yang dapat disalurkan ke
masyarakat dalam bentuk kredit semakin kecil, sebaliknya semakin kecil tingkat
cadangan minimum akan mengakibatkan semakin besarnya cadngan yang dapat
disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit. Kebijakan ini mempunyai
pengaruh langsung terhadap pelaksanaan kebijakan operasi pasar terbuka dan
kebijakan diskonto (Judisseno, 2005).
3). Kebijakan Diskonto (Discount Policy)
Discount policy adalah kebijakan bank sentral dalam menentukan tingkat
suku bunga yang harus dibayar oleh perbankan jika meminjam dana dari bank
sentral. Terdapat tiga jenis fasilitas kebijakan diskonto yaitu, adjusted credit,
extended credit, dan seasonal credit (Miskhin, 2001). Di Indonesia adjusted credit
dan extended credit kita kenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI),
sedangkan seasonal credit kita kenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). BLBI adalah berbagai bentuk fasilitas likuiditas perbankan untuk
menjaga kestabilan sistem pembayaran perbankan agar tidak terganggu oleh
adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas antara penarikan dan penerimaan
dana pada bank-bank. KLBI adalah kredit Bank Indonesia untuk membantu
18
kegiatan atau sektor yang diprioritaskan oleh pemerintah atau disebut juga sebagai
kredit untuk program-program pemerintah seperti pengadaan pangan melalui
Bulog, kredit untuk koperasi unit desa (KKUD), kredit untuk usaha tani (KUT,
dan kredit usaha rakyat (KUR), di mana suku bunganya mengandung unsur
subsidi sehingga lebih rendah dari suku bunga pasar (Hascaryo, 2003).
b. Sasaran Operasional
Sasaran operasional ialah bentuk sasaran segera yang dicapai dalam
operasi moneter. Variabel sasaran operasional digunakan untuk mengarahkan
sasaran antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang
diyakini efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Dalam hal ini, suku bunga
Pasar Uang Antar Bank (PUAB), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
tingkat diskonto Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) merupakan tiga pilihan yang
dapat diambil sebagai suku bunga jangka pendek yang dapat digunakan sebagai
sasaran operasional. Kriteria sasaran operasional antara lain ialah dipilih dari
variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan sasaran antara,
dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia lebih segera dibanding sasaran
antara, akurat, dan tidak sering direvisi (Ascarya, 2002).
c. Sasaran Antara
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan moneter
bersifat tidak langsung dan kompleks. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan
bank sentral mendesain simple ruleuntuk membantu pelaksanaan kebijakan
moneter dengan cara menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara.
19
Sasaran antara merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan
moneter, sasaran ini dipilih dari variabel-variabel yang memiliki keterkaitan stabil
dengan inflasi, cakupannya luas, dapat dikendalikan oleh bank sentral, tersedia
relatif cepat, akurat, dan tidak sering direvisi, di mana variabel tersebut antara lain
agregat moneter (M1 dan M2), kredit perbankan, dan nilai tukar (Bofinger, 2001).
e. Sasaran Akhir
Sasaran akhir ialah result secara keseluruhan dari kerangka kebijakan
moneter yang ingin dicapai oleh Bank Sentral guna mempengaruhi perekonomian
secara makro (Hascaryo, 2003). Misalnya pasal 7 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun
2004 tentang Bank Indonesia secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan akhir
kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(stabilitas moneter).
5. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Menurut Syabran (2004), mekanisme transmisi kebijakan moneter
merupakan proses atau mekanisme pengaruh kebijakan moneter terhadap kegiatan
ekonomi riil. Secara spesifik mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the
process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in
real GDP and inflation” (suatu proses di mana keputusan-keputusan kebijakan
monter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi) (Taylor, 1995).
Paradigma lama mekanisme sistem pengendalian moneter beranggapan
bahwa otoritas moneter dapat secara langsung mengendalikan jumlah uang
primer. Kemudian dengan asumsi bahwa angka pengganda uang cukup stabil dan
20
dapat diperkirakan dengan baik, maka jumlah uang beredar dapat pula
dikendalikan. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa income velocity relatif stabil,
otoritas moneter melalui pengendalian JUB dapat mempengaruhi kegiatan
ekonomi yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir kebijakan moneter yang
ditetapkan.
Semakin berkembangnya peran pasar dalam perekonomian nampaknya
cenderung menyebabkan semakin pentingnya transmisi kebijakan moneter
melalui harga uang atau suku bunga. Paradigma baru ini juga tidak terlepas dari
semakin majunya sektor keuangan dengan berbagai karakteristik seperti majunya
inovasi produk keuangan, proses sekuritisasi, maupun proses decoupling antara
sektor moneter dengan sektor riil. Sehingga saat ini, uang telah menjadi
komoditas yang diperdagangkan. Oleh karena itu, harga uang (tingkat bunga)
menentukan perputaran uang, alokasi uang dari berbagai jenis investasi, serta
kegiatan perekonomian secara keseluruhan.
21
GAMBAR 2.1
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Instrumen Jalur Kebijakan Moneter
Kredit
Bank
Harga
Aset
Suku
Bunga
Ekspektasi
Permintaan
Domestik
Nilai Tukar
Permintaan
Asing
Output Gap
AD
Tekanan Inflasi
Domestik
Harga Traded
Goods
INFLASI
Sumber: Warjiyo (2005)
6. Jalur Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Perdebatan teoritis mengenai jalur transmisi mekanisme kebijakan
moneter antara perdagangan moneteris dan keynesian. Pandangan moneteris
menekankan pada jalur kuantitas (quantity channel), sedangkan Keynesian
menekankan pada jalur harga aset (price channel). Jalur kuantitas mencakup jalur
ekspektasi (expectation channel) dan jalur kredit (credit channel), sedangkan jalur
harga mencakup jalur suku bunga (interest rate channel), jalur nilai tukar
(exchange rate channel), dan jalur aset (price rate channel) (Warjiyo dan Solikin,
22
2003). Berikut ini adalah penjelasan mengenai jalur mekanisme transmisi
kebijakan moneter.
a. Jalur Ekspektasi (Expectation Channel)
Pada jalur mekanisme transmisi ini menekankan bahwa kebijakan moneter
dapat diarahkan agar dapat mempengaruhi pembentukan ekspektasi mengenai
inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku pelaku
ekonomi dalam melakukan keputusan konsumsi dan investasi, yang pada akhirnya
akan mendorong perubahan permintaan agregat dan inflasi (Warjiyo dan Solikin,
2003).
b. Jalur Kredit (Credit Channel)
Pada jalur kredit, mekanisme transmisi dapat dibedakan menjadi dua jalur.
Pertama, bank lending channel, yaitu jalur pinjaman bank yang menekankan
pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan bank, khususnya sisi aset.
Kedua, balance sheet channel, yaitu jalur neraca perusahaan yang menekankan
pengaruh kebijakan moneter pada kondisi keuangan perusahaan, yang selanjutnya
akan mempengaruhi akses perusahaan untuk mendapatkan kredit.
Menurut jalur pinjaman bank, selain sisi aset, sisi liabilitas bank juga
merupakan komponen penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Apabila BS melakukan kebijakan moneter kontraktif, misalnya melaui
peningkatan rasio cadangan minimum di bank sentral, maka cadangan yang ada di
bank akan mengalami penurunan, sehingga loanable fund berupa modal yang
23
dipinjamkan oleh bank akan mengalami penurunan. Apabila hal tersebut tidak
segera diatasi dengan melakukan penambahan modal atau pengurangan surat-surat
berharga, maka kemampuan bank untuk memberiakn pinjaman akan menurun.
Kondisi ini menyebabkan penurunan investasi, yang selanjutnya akan mendorong
penurunan output.
Sementara itu, jalur neraca perusahaan menekankan bahwa kebijakan
moneter yang dilakukan oleh BS, akan mempengaruhi kondisi keuangan
perusahaan. Apabila BS melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka suku
bunga di pasar uang akan menurun, namun akan mendorong peningkatan harga
saham. Sejalan dengan peningkatan tersebut, nilai bersih perusahaan juga akan
meningkat, yang selanjutnya akan mngurangi tindakan adverse selection dan
moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini mendorong peningkatan pemberian
kredit oleh bank, yang selanjutnya akan meningkatkan investasi, dan pada
akhirnya akan meningkatkan output (Warjiyo dan Solikin, 2003).
c. Jalur Suku Bunga (Interest Rate Channel)
Jalur ini menekankan bahwa kebijakan moneter dapat mempengaruhi
permintaan agregat melalui perubahann suku bunga. Dalam hal ini perubahan
suku bunga jangka pendek ditransmisikan pada suku bunga jangka menegah dan
jangka panjang melalui mekanisme keseimbangan sisi permintaan dan penawaran
di pasar uang. Apabila perubahan harga bersifat kaku (sticky price), maka
perubahan suku bunga nominal jangka pendek yang dipengaruhi oleh kebijakan
24
BS akan mendorong perubahan suku bunga riil jangka pendek dan jangka
panjang.
Dengan kekakuan harga tersebut, jika BS melakukan kebijakan moneter
ekspansif, akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka pendek, yang
selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga riil jangka panjang. Namun
demikian, jika kebijakan BS bersifat kontraktif, maka kekakuan harga akan
menyebabkan peningkatan suku bunga riil jangka pendek dan jangka panjang.
Perkembangan suku bunga tersebut akan mempengaruhi cost of capital, dan pada
akhirnya akan mempengaruhi pengeluaran investasi dan konsumsi, yang
merupakan komponen dari permintaan agregat (Tirtayasi, 2005).
d. Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)
Mekanisme kebijakan melalui nilai tukar menekankan bahwa pergerakan
nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran
agregat, yang selanjutnya akan mempengaruhi output dan tingkat harga. Besar
kecilnya pergerakan nilai tukar tergantung pada sistem nilai tukar yang dianut
oleh suatu negara.
Namun demikian, pergerakan nilai tukar lebih berpengaruh pada
perekonomian terbuka dengan nilai tukar fleksibel. Kebijakan pengetatan moneter
akan mendorong suku bunga nominal dalam negeri meningkat. Jika suku bunga
internasional tidak berubah, maka interest rate differential akan meningkat, hal ini
akan mendorong masuknya modal dari luar negeri, sehingga nilai tukar akan
cenderung terapresiasi, selanjutnya kegiatan ekspor akan meningkat dan
25
sebaliknya impor menurun. Kondisi tersebut akan menyebabkan transaksi berjalan
pada neraca pembayaran membaik. Akibatnya, permintaan agregat akan menurun,
demikian pula dengan laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi (Tirtayasi,
2005).
e. Jalur Harga Aset (Asset Price Channel)
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur harga aset,
menekankan bahwa kebijakan moneter berpengaruh pada perubahan harga aset
dan kekayaan masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pengeluaran
investasi dan konsumsi. Apabila BS melakukan kebijakan moneter kontraktif,
maka akan mendorong peningkatan suku bunga, dan pada akhirnya akan menekan
harga aset perusahaan (market value). Penurunan haraga aset, dapat berakibat
pada dua hal, yang pertama, mengurangi kemampuan perusahaan untuk
melakukan ekspansi, dan yang kedua, menurunkan nilai kekayaan dan
pendapatan, yang pada akhirnya akan mengurangi pengeluaran konsumsi. Secara
keseluruhan kedua hal tersebut berdampak pada penurunan pengeluaran agregat
(Warjiyo dan Solikin, 2003).
7. Konsep Purchasing Power Parity (PPP)
Konsep Purchasing Power Parity (PPP) adalah teori mengenai nilai tukar
dan tingkat harga umum yang mengemukakan bahwa nilai tukar terkait dengan
tingkat harga di dalam negeri yang relatif terhadap harga di luar negeri. Menurut
teori PPP ini, dalam suatu perekonomian terbuka, daya beli mata uang dari suatu
negara yang digunakan untuk membeli barang atau jasa dari negara lain dapat
26
dilihat dari seberapa jauh perbedaan tingkat harga umum di negara yang
bersangkutan dibanding dengan tingkat harga di negara tujuan. Inflasi
mempengaruhi daya beli dari mata uang domestik dan nilai tukar didefinisikan
sebagai daya beli suatu mata uang terhadap daya beli mata uang lain. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa nilai tukar juga sangat ditentukan oleh laju inflasi
suatu negara, walaupun pada kenyataannya kemampuan nilai tukar tersebut juga
ditentukan oleh berbagai faktor lain (Syabran, 2004).
Model umum dari teori PPP adalah:
P = e P*......................................................................................
(2.1)
Di mana:
P
: Harga di dalam negeri
P*
: Harga di luar negeri
e
: Nilai tukar
Persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai berikut:
e = P / P*...................................................................................
(2.2)
Atas dasar ini maka teori PPP menganggap bahwa nilai tukar cenderung bergerak
dalam proporsi yang sama dengan pergerakan tingkat harga relatif dan ia juga
merupakan salah satu indikator daya saing.
27
8. Teori Kuantitas Uang
a. Teori Irving Fisher
Teori ini didasarkan pada falsafah hukum Say yang mengatakan bahwa
perekonomian akan selalu berada dalam keadaan full employment. Secara
sederhana, Irving Fisher merumuskan teorinya dalam suatu persamaan:
M V = P T................................................................................
(2.3)
Dimana M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang
(velocity of money), yaitu berapa kali suatu mata uang berpindah tangan untuk
bertransaksi dari satu orang kepada orang lainnya dalam suatu periode tertentu, P
adalah harga barang, dan T adalah volume barang yang menjadi objek transaksi.
Persamaan di atas merupakan suatu persamaan identitas sebab ia selalu
benar, artinya jumlah unit barang yang ditransaksikan (T) dikalikan dengan
harganya (nilai barang tersebut) akan selalu sama dengan jumlah uang (M)
dikalikan dengan perputarannya (total pengeluaran transaksi). Dengan kata lain,
total pengeluaran (MV) sama dengan nilai barang yang dibeli (Manurung, 2010).
b. Persamaan Cambridge/Marshall
Marshall memandang persamaan Irving Fisher dengan sedikit berbeda.
Dia tidak menekankan pada perputaran uang (velocity) dalam suatu periode,
melainkan pada bagian dari pendapatan yang diwujudkan dalam bentuk uang kas.
Secara matematis sederhana, teori Marshall dapat dituliskan sebagai berikut:
28
M = k PtY.................................................................................
(2.4)
Di mana k adalah proporsi atau bagian dari GNP yang diwujudkan dalam uang
kas, jadi besarnya sama dengan 1/v. Marshall tidak menggunakan volume
transaksi (T) sebagai alat pengukur jumlah output, tetapi diganti dengan Y (untuk
meunjukkan GNP riil). Jadi, T pada umumnya lebih besar dari pada Y, sebab
dalam pengertian T termasuk juga total transaksi barang akhir dan atau setengah
jadi yang dihasilkan beberapa tahun yang lampau, sedangkan dalam GNP hanya
mencakup barang akhir dan jasa yang dihasilkan pada tahun tertentu saja.
Esensi dari persamaan Irving Fisher tidaklah berbeda dengan persamaan
Marshall jika ditinjau dari segi matematis, sehingga masih juga merupakan
persamaan identitas, namun demikian orientasinya berbeda. Persamaan Marshall
sudah dapat dikatakan merupakan persamaan yang menunjukkan adanya
permintaan akan uang, di mana masyarakat menghendaki sebagian tertentu dari
pendapatannya dalam bentuk uang kas (ditunjukkan dengan k). Dengan demikian
persamaan Marshall tidak lagi merupakan persamaan pertukaran atau identitas
seperti halnya persamaan Irving Fisher, tetapi telah merupakan persamaan teori
kuantitas uang (dalam arti telah terkandung di dalamnya pengertian permintaan
akan uang, yang kemudian sering disebut persamaan cash-balance).
Menurut teori kuantitas uang, perubahan jumlah uang yang beredar akan
mengakibatkan perubahan harga secara proporsional. Artinya, jika jumlah uang
naik dua kali, maka harga akan naik dua kali juga. Pandangan demikian
didasarkan pada anggapan-anggapan sebagai berikut:
29
1) Dalam persamaan M V = P T, T dianggap tetap karena selalu dalam
keadaan full employment (atas dasar hukum Say).
2) Velocity juga dianggap tetap, di mana velocity ini hanya akan berubah jika
terjadi perubahan dalam kebiasaan masyarakat dalam melakukan
pembayaran. Seperti misalnya penggunaan alat-alat pembayaran baru,
akan mempengaruhi banyaknya transaksi yang dilakukan. Biasanya,
perubahan dalam kebiasaan melakukan pembayaran ini berjalan lambat
dan dalam kurun waktu yang relatif lama, dengan demikian velocity dapat
pula dianggap tidak berubah. Maka dalam persamaan Marshall, sebagai
konsekuensinya nilai k = 1/v dapat pula dianggap tetap.
Implikasi dari kedua anggapan di atas adalah bahwa jumlah uang beredar
hanyalah mempengaruhi harga, dan pengaruhnya proporsional, sedangkan uang
tidak dapat mempengaruhi output riil (Y). Output riil hanya akan berubah jika
terdapat perubahan dalam jumlah dan kualitas faktor-faktor produksi. Dengan
demikian, uang tidak dapat mempengaruhi sektor riil, pengaruhnya terbatas pada
sektor moneter saja. Pemisahan pengaruh uang terhadap sektor riil dan moneter
inilah yang sering disebut classical dichotomy (Manurung, 2010).
9. Teori Tingkat Bunga Fisher
Teori ini menyatakan bahwa tingkat bunga nominal dapat berubah karena
dua alasan yaitu karena tingkat bunga riil berubah dan karena tingkat inflasi
berubah. Kondisi tersebut digambarkan melalui persamaan 2.5.
r = i – π ................................................................................................
(2.5)
30
di mana :
r=
Tingkat bunga riil,
i=
Tingkat bunga nominal, dan
π=
Tingkat inflasi.
10. Teori Paritas Tingkat Bunga
Pada intinya teori ini menjelaskan tentang penentuan tingkat bunga dalam
sistem devisa bebas (yaitu, apabila penduduk masing-masing negara bebas
memperjual belikan devisa). Teori ini pada pokoknya menyatakan, jika dalam
sistem devisa bebas, tingkat bunga di negara satu akan cenderung sama dengan
tingkat bunga di negara lain, setelah diperhitungkan perkiraan mengenai laju
depresiasi mata uang negara yang satu terhadap negara lain. Secara matematis
dijelaskan dengan:
i = i* + ê.........................................................................................
di mana:
(2.6)
i = tingkat bunga nominal di dalam negeri,
i* = tingkat bunga nominal di luar negeri,
ê = laju depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang
asing yang diperkirakan akan terjadi.
a. Uncovered Interest Parity
Konsep uncovered interest parity menjelaskan hubungan antara tingkat
bunga domestik (i), tingkat suku bunga luar negeri (i*), dan depresiasi mata uang
domestik (x). Konsep ini dapat menjelaskan perilaku investor dalam mengambil
keputusan apakah akan menanamkan modalnya di dalam negeri atau di luar
negeri. Secara matematis uncovered interest parity dijelaskan sebagai berikut:
31
i = i* + x.....................................................................................
(2.7)
persamaan di atas diubah menjadi:
i – x = i*...................................................................................
(2.8)
Sepanjang tingkat pengembalian/pendapatan investasi di dalam negeri
(setelah memperhitungkan tingkat depresiasi mata uang domestik) lebih besar dari
pada pendapatan investasi di luar negeri, maka investor akan tertarik untuk
meningkatkan investasinya di dalam negeri, tetapi jika sebaliknya, maka
diperkirakan investasi domestik akan lari ke luar negeri (Syabran, 2004).
b. Covered Interest Parity
Kondisi covered interest parity menjelaskan bahwa apabila tidak terdapat
kesempatan untuk meraih keuntungan (karena perpindahan tersebut tidak
mengubah pengembalian aset) dari pengalihan aset baik dari dalam negeri ke luar
negeri maupun sebaliknya (Rivera-Batiz,1994 dan Arifia, 1998 dalam Tirtayasi,
2005).
11. Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
Efek kebijakan moneter pada perekonomian terbuka dapat dijelaskan
dengan menggunakan model Mundell-Flemming, yang menggunakan asumsi
bahwa perekonomian yang sedang dipelajari adalah perekonomian terbuka dengan
mobilitas modal sempurna. Perekonomian bisa menjamin dan memberikan
pinjaman sebanyak yang ia inginkan di pasar keuangan dunia, namun tingkat
bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga dunia.
32
GAMBAR 2.2
Efek Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Terbuka
Kurs, e
LM1
LM2
e1
e2
IS
Y1
Y2
Pendapatan, Output, Y
Sumber: Mankiw (2000)
Menurut model ini, perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal
sempurna dapat dijelaskan oleh dua persamaan:
IS
:Y
= C (Y-T) + I (i) + G + NX (e).............................. (2.9)
LM
: M/P = L (i, Y).............................................................
(2.10)
Sumber: Mankiw (2000)
Persamaan 2.9 menjelaskan keseimbangan di pasar barang, dan persamaan
2.10 menjelaskan keseimbangan di pasar uang (Mankiw, 2000).
Melalui model Mundell-Flemming dapat diketahui bagaimana efek dari
kebijakan moneter mempengaruhi output. Jika bank sentral meningkatkan jumlah
uang beredar, maka akan menurunkan nilai tukar, akan tetapi akan meningkatkan
output. Hal tersebut dijelaskan pada Gambar 2.2, peningkatan pada jumlah uang
beredar akan menggeser kurva LM ke kanan. Sehingga kenaikan dalam
33
penawaran jumlah uang beredar tersebut akan menurunkan nilai tukar (karena
akan menurunkan rasio mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri),
namun akan meningkatkan pendapatan.
Kenaikan dalam penawaran uang akan menekan tingkat bunga domestik.
Di mana hal ini akan menyebabkan modal mengalir ke luar perekonomian, karena
investor mencari peluang yang lebih menguntungkan. Aliran keluarnya modal
akan meningkatkan penawaran mata uang domestik di pasar nilai tukar mata uang
asing, sehingga nilai tukar mengalami depresiasi. Penurunan dalam nilai tukar
membuat barang domestik relatif murah dibandingkan barang-barang luar negeri,
sehingga akan meningkatkan volume ekspor bersih, dan pada akhirnya akan
meningkatkan output.
12. Kebijakan Moneter di Indonesia
Sebelum krisis, kebijakan moneter di Indonesia mempunyai banyak
sasaran, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, dan stabilitas
nilai tukar dengan menerapkan sistem devisa mengambang terkendali. Dalam
kerangka ini, mekanisme transmisi kebijakan moneter diawali dari monetary base
sebagai target operasional. Melalui agregat moneter sebagai intermediasi target,
kebijakan moneter dianggap mampu mempengaruhi output dan inflasi (Haryono,
dkk, 2000). Meski pendekatan kuantitas dapat dianggap efektif selama kurun
waktu yang lalui, khususnya sejak awal tahun 1990-an, namun pendekatan
tersebut mendapat tantangan yang cukup berat. Perkembangan yang sangat pesat
di pasar uang akibat serangkaian deregulasi di bidang moneter, dan semakin
terintegrasinya perekonomian domestik dengan luar negeri menyebabkan
34
hubungan antara agregat moneter dengan output dan inflasi menjadi tidak stabil.
Akibatnya, kebijakan moneter berdasarkan pendekatan kuantitas menjadi kurang
dapat diandalkan.
Menghadapi tantangan tersebut, Bank Indonesia kemudian mengadopsi
kerangka kebijakan yang bersifat pragmatis. Tanpa meninggalkan pendekatan
kuantitas, perhatian pada perkembangan suku bunga semakin ditingkatkan.
Pendekatan pragmatis tersebut diperkirakan akan digunakan untuk sementara
waktu, sebelum akhirnya beralih pada pendekatan baru berdasarkan tingkat suku
bunga (interest rate targeting). Namun, sebelum rencana tersebut dilaksanakan,
krisis ekonomi yang antara lain ditandai dengan penyaluran bantuan likuiditas
dalam jumlah yang sangat besar, memaksa kebijakan moneter untuk tetap
menggunakan pendekatan agregat moneter.
Setelah berlangsungnya krisis, bank sentral menerapkan sistem nilai tukar
bebas dan sasaran kebijakan moneter diprioritaskan untuk menstabilkan harga.
Selama krisis, karena perkembangan harga mengalami hiper-inflasi dan depresiasi
Rupiah yang sangat besar, maka suku bunga nominal dipertahankan sangat tinggi.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi untuk sementara tidak dijadikan
prioritas utama.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, Indonesia menganut hal
yang sama dengan menetapkan stabilitas harga sebagai sasaran tunggal
sebagaimana tercermin dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang baru (UU
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia). Tujuan utama pelaksanaan
kebijakan moneter di Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan
35
Rupiah. Kebijakan moneter yang digariskan dalam UU tersebut secara implisit
telah menempatkan kebijakan moneter Bank Indonesia dalam suatu kerangka
kebijakan moneter yang dikenal dengan Inflation Targeting (IT).
Kebijakan moneter dengan sasaran tunggal pada umumnya menggunakan
pendekatan harga (price-base structure), sementara kebijakan moneter dengan
sasaran multi pada umumnya menggunakan pendekatan kuantitas (quantity-base
structure). Pendekatan kuantitas beranggapan bahwa pengendalian besaranbesaran moneter dapat mengalihkan stabilitas perekonomian secara efektif.
Sebaliknya, pendekatan harga beranggapan bahwa pengendalian tingkat hargalah
yang secara efektif dapat mengendalikan stabilitas perekonomian.
Gambar 2.3 memperlihatkan bahwa dalam rangka mencapai sasaran akhir
yang diinginkan, baik multi maupun tunggal, kerangka kebijakan moneter pada
umumnya terdiri dari beberapa bagian, yaitu instrumen dan sasaran operasional
untuk pendekatan harga. Sedangkan untuk pendekatan kuantitas meliputi bagian
instrumen, sasaran operasional dan sasaran antara (Ascarya, 2002).
Gambar 2.3
Perbandingan Sistem Operasional Kebijakan Moneter
Pendekatan
Pendekatan
Harga
Sistem Operasi
Instrumen
Sasaran
Operasional
Sasaran
Akhir
Variabel-variabel Informasi
- Langsung (OPT & Reserve Requirement)
- Tidak Langsung ( Discount Policy)
- Sk. Bunga PUAB
- Stabilitas harga
36
Pendekatan
Kuantitas
Sasaran
Operasional
Instrumen
Sasaran
Antara
Sasaran
Akhir
- Langsung (OPT & Reserve Requirement)
- Tidak Langsung (Discount Policy)
- Monetary Base
- Agregat Moneter - Stabilitas harga
seperti:
seperti:
- Pertumbuhan Ek.
- Uang primer/M0 - M1, M2
- Kesempatan kerja
- Reserve Bank
- Kredit Perbankan - Keseimbangan
- Suku Bunga
neraca pembayaran
Sumber: Oh, 1999 dalam Ascarya, 2002
Sehubungan dengan hal ini, tugas pokok Bank Indonesia sebagai otoritas
moneter adalah merencanakan dan membuat program moneter (Monetary
Programming)
yang
intinya
adalah
melakukan
perencanaan
kebijakan
pengendalian uang beredar (moneter), dengan mengasumsikan bahwa kebijakan
dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, riil) akan berjalan seperti
yang ditetapkan. Kebijakan moneter secara umum dibagi dua, yaitu kebijakan
moneter ketat (kontraksi) dan kebijakan moneter longgar (ekspansi). Kontraksi
dilakukan apabila jumlah uang beredar dianggap lebih tinggi daripada jumlah
yang ditetapkan, sehingga perlu pengurangan atau pengetatan. Sebaliknya
ekspansi dilakukan apabila jumlah uang beredar dianggap lebih sedikit sehingga
perlu pelonggaran. Hal ini dilakukan agar uang beredar akan berada pada suatu
jumlah tertentu untuk mendukung perekonomian berada pada tingkat yang stabil.
Untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter tergantung pada:
pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan kebijakan moneter
dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara perubahan kebijakan
moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi (Nopirin, 1992). Jangka
waktu antara perubahan kebijakan dengan perubahan kegiatan ekonomi sering
37
disebut tenggang waktu (lag). Masalah lag ini sangat penting terutama dalam
kaitannya dengan kebijakan stabilisasi. Lag ini juga menunjukkan efektifitas dan
efisiensi dari kebijakan moneter. Oleh karena itu, diperlukan adanya indikatorindikator yang lebih segera agar dapat dilihat untuk mengetahui perkembangan
dari kebijakan yang dilakukan, sehingga diperlukan adanya sasaran-sasaran yang
bersifat antara (sasaran antara). Sasaran antara (ada pada pendekatan kuantitas)
dipilih yang memiliki keterkaitan stabil dengan sasaran akhir, cakupannya luas,
dapat dikendalikan otoritas moneter, tersedia relatif cepat, akurat, dan tidak sering
direvisi.
Sementara itu, dalam rangka mencapai sasaran antara, diperlukan sasaransasaran yang bersifat operasional agar proses transmisi dapat berjalan sesuai
dengan rencana. Secara garis besar, sasaran operasional dipilih yang memiliki
keterkaitan stabil dengan sasaran antara, dapat dikendalikan otoritas moneter,
tersedia lebih segera daripada sasaran antara, akurat, dan tidak sering direvisi.
Selanjutnya, untuk dapat mencapai sasaran operasional bank sentral
memerlukan alat-alat yang dapat secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi sasaran-sasaran operasional yang telah ditetapkan. Alat-alat ini
biasa disebut instrumen pengendalian moneter, atau instrumen. Instrumeninstrumen inilah yang sehari-hari dipergunakan oleh bank sentral untuk
mengarahkan kebijakan moneter ke tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan.
Kebijakan moneter dapat menggunakan instrumen baik langsung maupun
tidak langsung. Instrumen langsung adalah instrumen pengendalian moneter yang
dapat secara langsung mempengaruhi sasaran operasional yang diinginkan oleh
38
bank sentral. Adapun instrumen tidak langsung adalah instrumen pengendalian
moneter yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi sasaran operasional
yang diinginkan bank sentral.
B. Keterkaitan Antar Variabel
Hubungan antara variabel nilai tukar dengan variabel inflasi adalah, setiap
fluktuasi dari nilai tukar biasanya akan direspons dalam bentuk perubahan harga,
terutama pada barang-barang yang bersifat impor/ekspor (diperdagangkan secara
internasional). Fluktuasi nilai tukar tersebut yang nantinya turut mempengaruhi
permintaan agregat untuk kemudian menciptakan paritas harga barang yang tidak
secara langsung dapat memicu timbulnya inflasi jika pola perubahan harganya
menunjukkan trend peningkatan secara bertahap dan terus-menerus (Endri, 2008).
Hubungan antara variabel suku bunga SBI dengan variabel inflasi adalah,
oleh karena suku bunga SBI merupakan suku bunga jangka pendek, di mana suku
bunga ini merupakan direct instrument yang dapat dipilih BI sebagai salah satu
alat pengendali laju inflasi. Bekerjanya pengaruh suku bunga SBI dalam
mempengaruhi laju inflasi ialah, semisal jika BI menurunkan tingkat suku bunga
SBI, maka kondisi tersebut akan direspons dengan penurunan suku bunga jangka
pendek di pasar uang, hal tersebut karena pihak perbankan maupun pelaku usaha
lainnya ingin menyesuaikan agar tidak tercipta spread yang mencolok antara
tingkat suku bunga yang mereka patok dengan kisaran suku bunga SBI Bank
Indonesia. Selanjutnya kondisi penurunan suku bunga jangka pendek tersebut juga
akan direspons dengan penurunan suku bunga jangka panjang, tujuannya sama
39
agar tidak tercipta spread yang terlalu timpang antara besaran suku bunga SBI
dengan suku bunga jangka panjang (seperti suku bunga kredit), keadaan tersebut
kemudian akan mendorong meningkatnya tingkat investasi dengan semakin
meningkat pula permintaan pinjaman melalui lembaga-lembaga keuangan oleh
pihak investor. Peningkatan investasi tersebut dapat memicu kondisi high
employment yang dapat pula memicu laju inflasi (Sutikno, 2007).
Hubungan antara variabel suku bunga SBI dengan variabel nilai tukar
adalah, semisal jika BI menaikkan suku bunga SBI, maka kondisi tersebut akan
memicu kenaikan baik pada suku bunga jangka pendek maupun pada suku bunga
jangka panjang. Hal itu dapat menimbulkan semakin berkurangnya tingkat
investasi akibat tingkat suku bunga yang tinggi tersebut, sebab jika tingkat suku
bunga tinggi maka ada kecenderungan bagi investor untuk menahan hasratnya
berinvestasi atau menyimpan investasi mereka dalam bentuk tabungan atau
dengan berinvestasi pada produk yang bersifat lebih aman seperti emas atau lain
sebagainya.
Jika
tingkat
investasi
menurun,
kemungkinan
akan
ada
kecenderungan penurunan pada tingkat inflasi sebab sulitnya mencapai kondisi
full/high employment, kemudian jika tingkat investasi berkurang/menurun ada
kecenderungan produktivitas suatu negara dalam berproduksi (menghasilkan
barang/jasa) juga akan menurun, penurunan tersebut akan mengurangi cadangan
devisa nasional, sebab pemasukan dari sisi ekspor menurun. Negara dengan
tingkat produktivitas rendah, akan cenderung mengimpor kebutuhan konsumsi
negaranya, jika hal tersebut terus menerus berlangsung maka akan menurunkan
40
nilai mata uang (nilai tukar) dalam negeri terhadap mata uang asing (Natsir, 2007;
dan Sutikno, 2007).
C. Penelitian Terdahulu
Endri (2008), meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
inflasi di Indonesia. Di mana dari hasil penelitian tersebut didapatkan kesimpulan
bahwa, dengan menggunakan model analisis kointegrasi dan model koreksi
kesalahan (error correction model, ECM), ternyata selama periode nilai tukar
mengambang, dalam jangka panjang instrumen kebijakan moneter (instrumen
suku bunga SBI), variabel output gap dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek, kecepatan
penyesuaian variabel nilai tukar cukup besar dan signifikan untuk kembali ke
keseimbangan jangka panjangnya. Dengan menggunakan impulse response dan
variance decomposition juga menunjukkan bahwa instrumen suku bunga SBI,
variabel nilai tukar dan output gap mempunyai kontribusi yang cukup signifikan
dalam mempengaruhi inflasi.
Munir A. S. Choudhary dan Muhammad Aslam Choudhry (2008), meneliti
tentang dampak nilai tukar terhadap output dan tingkat harga : sebuah bukti dari
negara Pakistan. Studi ini menganalisis dampak nilai tukar terhadap output dan
tingkat harga dengan menggunakan model VEC bagi perekonomian Pakistan
selama periode 1975:1-2005:4. Hasil variance decomposition dan impulse
response function dari model VEC, telah mengungkapkan sejumlah temuan
penting. Pertama, devaluasi memiliki efek positif pada output tetapi efek negatif
41
pada tingkat harga. Dengan demikian, bukti yang disajikan dalam jurnal ini tidak
mendukung hipotesis devaluasi kontraksi. Kedua, kebijakan moneter ekspansif
mempunyai pengaruh (signifikan) positif pada kedua output dan tingkat
harga. Ketiga, kenaikan harga impor berpengaruh negatif pada output tetapi efek
positif pada tingkat harga. Keempat, kenaikan tingkat suku bunga mempunyai
pengaruh negatif pada output tetapi efek positif pada tingkat harga. Ini
menegaskan hipotesis strukturalis bahwa peningkatan tingkat suku bunga
meningkatkan biaya modal kerja dan dengan demikian merupakan guncangan
penawaran yang bukan dari shock permintaan yang merugikan. Sebagai
kesimpulan, temuan ini menyiratkan bahwa para pembuat kebijakan di Pakistan
harus berhati-hati ketika mempertimbangkan sebuah revaluasi mata uang atau
menggunakan perangkat kebijakan di bawah kendali mereka sedemikian rupa
untuk mendapatkan apresiasi. Dengan demikian dianjurkan bagi pemerintah untuk
menerapkan nilai tukar fleksibel karena dampak dari nilai tukar yang sangat tinggi
bukan hanya adanya ancaman inflasi tetapi juga dapat mengancam pertumbuhan
ekonomi.
Nguyen Thi Thuy Vhin dan Seiichi Fujita (2007), yang meneliti tentang
dampak nilai tukar riil terhadap output dan inflasi di Vietnam dengan metode
VAR. Sejak tahun 1989, Vietnam telah mengalami beberapa perubahan yang
cukup besar dalam kebijakan nilai tukar, dimulai tahun 1999 yang ditandai
sebagai suatu perubahan mencolok ketika rezim deregulasi nilai tukar lebih
berorientasi pasar. Nilai tukar telah dipertimbangkan oleh pemerintah Vietnam
sebagai instrumen makro ekonomi yang penting untuk memastikan tingkat inflasi
42
yang rendah dan sistem keuangan yang stabil, mempromosikan ekspor,
mengendalikan impor, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,
memahami karakteristik hubungan antara nilai tukar riil dan variabel ekonomi
makro lainnya akan sangat membantu, tidak hanya dalam menilai kesehatan
kebijakan ekonomi tetapi juga dalam merencanakan kebijakan di tahun-tahun
mendatang. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh perubahan kurs riil
pada evolusi output dan inflasi di Vietnam selama periode 1992-2005.
Untuk mencapai hasil yang lebih dapat diandalkan dibandingkan
penelitian lain yang meneliti hanya pada dampak nilai tukar riil pada output
baik atau inflasi secara terpisah, kami menggunakan model VAR multivariat,
bersama-sama dengan beberapa spesifik Ekonometrika yang melekat dengan
model ini secara teknis. Studi ini menunjukkan beberapa karakteristik yang
menarik
dari
hubungan
tersebut. Ketika menganalisis
hubungan-hubungan
menggunakan data dari seluruh periode 1992-2005, kita dapat mengamati
bahwa di Vietnam ada hubungan kausalitas Granger berjalan dari output dan
tingkat harga ke nilai tukar riil. Namun, ketika perubahan rezim nilai tukar
diperhitungkan, maka menunjukkan hubungan yang agak berbeda. Sebelum tahun
1999, terdapat kausalitas ganda dalam hubungan antara kurs riil dan tingkat
harga. Antara kurs riil dan output tersebut, pada periode nilai tukar sebelum
deregulasi tidak terdapat pengaruh pada periode setelah deregulasi, tetapi periode
deregulasi memang memiliki efek pada masa sebelum deregulasi. Setelah tahun
1999 ketika negara mengubah rezim nilai tukar merangkak (creep), dual
kausalitas berubah untuk tetap eksis dalam hubungan antara nilai tukar dan
43
tingkat output. Namun, nilai tukar tidak memiliki statistik signifikan terhadap
pengaruh pada inflasi. Selain itu, kausalitas antara guncangan eksternal,
perubahan suku bunga di Amerika, dan variabel di bawah pertimbangan juga
diteliti.
Tingkat suku bunga AS telah menciptakan tingkat kausalitas pada nilai
tukar riil dan tingkat harga di Vietnam, tetapi tidak untuk output. Analisis Fungsi
Respon Impulse (IRF) menunjukkan bahwa kejutan devaluasi pada tingkat nilai
tukar riil menyebabkan peningkatan baik di tingkat output maupun di tingkat
harga. Namun, hasil yang diperoleh dari analisis dekomposisi kesalahan perkiraan
varians menunjukkan bahwa perubahan kurs riil bukan sumber utama perubahan
output dan tingkat harga. Meskipun sumber utama variasi dalam output
dan tingkat harga adalah "guncangan sendiri" dari pada devaluasi untuk proporsi
yang lebih tinggi dalam variasi output dan tingkat harga, namun dampak dari
depresiasi riil pada output dan inflasi juga menegaskan neraca perdagangan dan
jumlah uang beredar yang diambil dalam model. Sebuah kejutan positif nyata nilai
tukar dapat mempengaruhi tingkat harga dan output melalui dampaknya dalam
meningkatkan jumlah uang beredar dan memperbaiki neraca perdagangan. Hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini mendukung argumen bahwa Vietnam harus
pindah ke rezim nilai tukar yang lebih fleksibel, atau Vietnam tidak harus
bersikeras pada pengendalian nilai tukar saat berada di bawah tekanan integrasi
ekonomi yang memaksa rezim nilai tukar untuk lebih mengambang.
Hal tersebut ditunjukkan dalam penelitian ini di mana bahwa fleksibilitas
yang lebih besar dari nilai tukar akan membantu perekonomian meningkatkan
44
keseimbangan dagang dan meningkatkan pertumbuhan output, sedangkan situasi
inflasi tidak terkena dampak serius. Selanjutnya, ketika Vietnam sepenuhnya
terintegrasi ke dalam ekonomi dunia dalam waktu dekat, maka dengan sendirinya
akan menghadapi persaingan global dan guncangan eksternal, sedangkan fungsi
instrumen ekonomi makro lainnya seperti tarif atau ekspor subsidi dibatasi. Lalu,
fleksibilitas yang lebih besar akan memfasilitasi penyesuaian terhadap guncangan
eksternal dan perubahan struktural yang cepat, serta memungkinkan untuk
memperkuat lebih lanjut situasi cadangan nilai tukar Vietnam. Perubahan suku
bunga di Amerika juga harus dipertimbangkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan moneter. Selain itu, dalam jangka panjang, dampak nilai
tukar riil terhadap tingkat output, meskipun positif, tapi tidak begitu signifikan
secara statistik. Oleh karena itu, bukan instrumen nilai tukar, tetapi perusahaan,
harus mereformasi struktural atau kelembagaan yang merupakan sumber utama
untuk meningkatkan daya saing ekonomi di negara Vietnam.
M. Natsir (2007), yang meneliti tentang analisis empiris efektivitas
mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar
periode 1990:2-2007:1. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur
nilai tukar membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga
terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons variabel-variabel
pada jalur nilai tukar terhadap perubahan instrumen moneter (Suku Bunga SBI)
relatif lemah dan variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu
menjelaskan variasi inflasi sebesar 19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi
yang dapat dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni sebesar 43,27%.
45
Hasil ini menunjukkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara
Kurs dan Inflasi.
M. Natsir (2007), yang meneliti tentang peranan jalur suku bunga dalam
mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia. Dari hasil penelitian
menggunakan model VAR dengan data dari tahun 1990:2 – 2007:1, didapatkan
hasil bahwa peranan jalur suku bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan
Moneter (MTKM) di Indonesia efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan
moneter di Indonesia.
Sutikno (2007), yang meneliti tentang dampak kebijakan moneter terhadap
performance makro ekonomi Indonesia (sebelum dan pasca krisis ekonomi). Dari
hasil penelitian menggunakan model VAR dengan menggunakan variabel Uang
primer, suku bunga SBI, suku bunga deposito 1 bulan, inflasi, PDB, dan nilai
tukar didapatkan hasil bahwa variabel output gap dan pertumbuhan nilai tukar riil
merupakan leading indicator inflasi di Indonesia.
46
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Endri
(2008)
Judul
Variabel
Model
Penelitian
ECM.
Analisis faktorfaktor yang
mempengaruhi
inflasi di Indonesia.
Perubahan CPI di
Indonesia, suku
bunga SBI, output
gap, GDP, nilai
tukar & CPI
Amerika.
Munir A. S.
Choudhary
dan
Muhammad
Aslam
Choudhry.
(2008)
Tentang dampak
nilai tukar terhadap
output dan tingkat
harga : sebuah
bukti dari negara
Pakistan.
Nilai unit impor,
penawaran uang, call
money rates, nilai
tukar nominal,
output riil & CPI.
Model VAR
Nguyen Thi
Thuy Vhin
dan Seiichi
Fujita.
(2007)
Dampak nilai tukar
riil terhadap output
dan inflasi di
Vietnam dengan
metode VAR.
Inflasi, nilai tukar
riil, output, dan
tingkat harga.
Model VAR
Hasil
Dalam jangka panjang instrumen
kebijakan moneter (suku bunga
SBI), output gap, dan nilai tukar
mempunyai
pengaruh
yang
signifikan terhadap inflasi. Dalam
jangka
pendek
kecepatan
penyesuaian nilai tukar cukup
besar dan signifikan untuk
kembali ke keseimbangan jangka
panjangnya.
Dengan
menggunakan impulse response
dan variance decomposition juga
menunjukkan bahwa instrumen
suku bunga SBI, variabel nilai
tukar dan output gap mempunyai
kontribusi yang cukup signifikan
dalam mempengaruhi inflasi.
Pertama, devaluasi memiliki efek
positif pada output tetapi efek
negatif pada tingkat harga.
Kedua,
kebijakan
moneter
ekspansif mempunyai pengaruh
(signifikan) positif pada kedua
output dan tingkat harga. Ketiga,
kenaikan
harga
impor
berpengaruh negatif pada output
tetapi efek positif pada tingkat
harga. Keempat, kenaikan tingkat
suku bunga mempunyai pengaruh
negatif pada output tetapi efek
positif pada tingkat harga.
Analisis Fungsi Respon Impulse
(IRF)
menunjukkan
bahwa
kejutan devaluasi pada tingkat
nilai tukar riil menyebabkan
peningkatan baik di tingkat
output maupun di tingkat harga.
Nilai tukar dapat mempengaruhi
tingkat harga dan output melalui
dampaknya dalam meningkatkan
47
M. Natsir.
(2007)
Analisis empiris
efektivitas
mekanisme
transmisi kebijakan
moneter di
Indonesia melalui
jalur nilai tukar
periode 1990:22007:1.
Inflasi, kurs, Capital
inflow, output gap,
paritas suku bunga,
dan suku bunga SBI.
Model VAR
M. Natsir.
(2007)
Peranan Jalur Suku
Bunga Dalam
Mekanisme
Transmisi
Kebijakan Moneter
di Indonesia.
Inflasi, Suku Bunga
SBI, Suku Bunga
Pasar Uang Antar
Bank, Suku Bunga
Deposito, Output
Gap, dan Suku
Bunga Kredit.
Model VAR
Sutikno
(2007)
Dampak kebijakan
moneter terhadap
performance makro
ekonomi Indonesia
(sebelum dan pasca
krisis ekonomi).
Uang primer, suku
bunga SBI, suku
bunga deposito 1
bulan, inflasi, PDB,
output gap dan nilai
tukar.
Model VAR
jumlah
uang
beredar
dan memperbaiki
neraca
perdagangan.
Hasil Penelitian ini menunjukkan
respons variabel-variabel pada
jalur
nilai
tukar
terhadap
perubahan instrumen moneter
(suku bunga SBI) relatif lemah
dan variabel utama jalur ini yaitu
nilai tukar/kurs hanya mampu
menjelaskan variasi inflasi yang
lebih kecil dibandingkan porsi
yang dapat dijelaskan oleh paritas
suku
bunga.
Hasil
ini
menunjukkan Granger causality
dan predictive power yang lemah
antara kurs dan inflasi.
Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa peranan
jalur suku bunga dalam
Mekanisme
Transmisi
Kebijakan Moneter (MTKM) di
Indonesia efektif mewujudkan
sasaran akhir kebijakan moneter
di Indonesia periode 1990:22007:1.
Hasil
dari
penelitian
ini
menunjukkan bahwa variabel
output gap dan pertumbuhan nilai
tukar riil merupakan indikator
utama penggerak inflasi di
Indonesia.
48
Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan ialah pertama, pada
tahun penelitian, di mana penelitian ini menggunakan data tahun 1998-2010
sementara penelitian sejenis sebelumnya menggunakan data antara tahun 1990-an
hingga dibawah tahun 2007. Pada variabel penelitian, di mana penelitain ini
menggunakan variabel data nilai tukar, suku bunga SBI dan inflasi sementara
penelitian sejenis menggunakan variabel data nilai tukar, suku bunga SBI, CPI,
PDB, jumlah uang beredar, dsb. Pada kesimpulan akhir penelitian, di mana
penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan kausalitas serta menganalisis
apakah kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga signifikan dalam
mempengaruhi tingkat harga dan mana diantara kedua yang memberikan
kontribusi terbesar penggerak tingkat harga, sementara penelitian sejenis
sebelumnya bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan akhir berupa keefektivan
dan perbandingan diantara kedua jalur kebijakan moneter yaitu jalur suku bunga,
dan nilai tukar terhadap variabel endogen seperti output, tingkat investasi, capital
inflow dan tingkat harga.
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir merupakan sintesa dari serangkaiaan teori yang tertuang
dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari
kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian
masalah yang ditetapkan.
49
Latar belakang masalah yang terdiri dari identifikasi masalah dan
pembatasan masalah selanjutnya akan timbul perumusan masalah. Perumusan
masalah ini menciptakan adanya variabel-variabel yang akan diteliti baik itu
berupa variabel dependen maupun variabel independen.
Metode analisis yang digunakan adalah metode Vector Error Correction
Model (VECM). Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dijelaskan pada
Gambar 2.4. Pada Gambar 2.4 tersebut, terlihat bahwa untuk mengetahui
pengaruh jalur kebijakan moneter melalui nilai tukar dan suku bunga terhadap
tingkat harga, terdapat mekanisme di mana kedua jalur kebijakan moneter tersebut
berperan dalam mempengaruhi pergerakan tingkat harga agar sesuai dengan yang
diharapkan.
Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada analisis pola
dinamis antara kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar (EXC) dan suku bunga
(SBI) dalam mempengaruhi tingkat harga, sesuai dengan tema penelitian
tujuannya guna mencari keterkaitan antara jalur nilai tukar dan suku bunga
terhadap tingkat harga (inflasi) melalui uji kausalitas serta menganalisis hubungan
pola dinamis pada tingkat harga (inflasi) akibat adanya kejutan (shock) yang
ditimbulkan oleh jalur nilai tukar dan suku bunga. Analisis ini juga dilihat dan
dihubungkan dari teori-teori yang sudah ada.
Kebijakan moneter jalur nilai tukar adalah suatu proses dalam bentuk jalur
kebijakan
di
mana
biasanya
keputusan-keputusan
kebijakan
moneter
ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen nilai tukar
50
(Warjiyo dan Solikin, 2003). Kebijakan moneter jalur suku bunga adalah suatu
proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana keputusan-keputusan kebijakan
moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen suku
bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003). Selanjutnya dari penjelasan variabel eksogen
tersebut, secara sistematis akan diteliti guna mencari jawaban terhadap variabel
endogennya yaitu tingkat harga, di mana tingkat harga yang direpresentasikan
dalam bentuk inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam
suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya (Sukirno, 2004).
Pada jalur nilai tukar (Warjiyo dan Solikin, 2003), asumsi umum yang
digunakan dalam penelitian ini ialah bahwa sistem nilai tukar yang dijalankan
bersifat fleksibel dengan kondisi perekonomian yang terbuka. Mekanisme
kebijakan melalui nilai tukar beroperasi dengan menekankan bahwa pergerakan
nilai tukar dapat mempengaruhi perkembangan permintaan dan penawaran
agregat, yang selanjutnya akan mempengaruhi output dan tingkat harga. Besar
kecilnya pergerakan nilai tukar tergantung pada kekuatan pasar merespon setiap
kejutan. Kebijakan uang beredar yang kontraktif/ekspansif akan mendorong suku
bunga nominal dalam negeri. Jika suku bunga internasional tidak berubah, maka
akan akan menciptakan interval pada interest rate differential, hal ini akan
mempengaruhi aliran modal dari luar negeri (capital inflow), sehingga juga akan
mempengaruhi pergerakan nilai tukar, selanjutnya akan direspon dengan kegiatan
ekspor/impor dan permintaan agregat, untuk kemudian mempengaruhi perubahan
pada laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.
51
Pada jalur suku bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003), apabila pemerintah
menerapkan kebijakan uang beredar yang kontraktif/ekspansif dalam merespon
kondisi perekonomian secara makro, maka kondisi tersebut akan mempengaruhi
suku bunga riil jangka pendek (suku bunga SBI), yang selanjutnya turut
mempengaruhi kondisi suku bunga jangka menengah-panjang yang umumnya
ditentukan oleh pihak perbankan dalam merespon suku bunga riil jangka pendek
tersebut (suku bunga deposito atau kredit), perubahan suku bunga tersebut
mempengaruhi cost of capital, dan kondisi tersebut mempengaruhi pengeluaran
investasi dan konsumsi untuk kemudian mempengaruhi permintaan agregat yang
akhirnya mampu mempengaruhi tingkat harga.
Guna mengukur hubungan pola dinamis antara kebijakan moneter jalur
nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga, maka variabel yang digunakan
untuk menjawab penelitian tersebut adalah: variabel nilai tukar (EXC), variabel
inflasi (Y), dan variabel suku bunga SBI (SBI). Jika dimasukkan ke dalam bentuk
model dalam penelitian ini untuk menjawab hipotesis yang ada ialah:
Model Dasar : Y = f (SBI, EXC) ......................................................
Di mana:
Y
= Tingkat Harga
SBI
= Suku Bunga SBI
EXC
= Nilai Tukar (USD/Rp)
(2.11)
Untuk penggambaran lebih jelas mengenai kerangka pikir dalam penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.
52
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran
Kebijakan Moneter Ekspansif atau Kontraktif oleh Bank Indonesia
Jalur Instrumen Kebijakan Moneter
Suku Bunga
Suku Bunga
Riil Jangka
Pendek
Suku Bunga
Riil Jangka
MenengahPanjang
Cost of
Capital
Investasi dan
Konsumsi
Nilai Tukar
Suku Bunga
Domestik
Suku Bunga
Internasional
Differential Interest
Rate
Capital Inflow atau Capital
Outflow
Terjadinya Siklus Aliran Modal
Masuk atau Keluar Mempengaruhi
Pergerakan Nilai Tukar di Pasar
Uang (Apresiasi/Depresiasi)
Volume Ekspor & Impor
Permintaan Agregat (Aggregate
Demand)
Tingkat Harga
53
E. Hipotesis
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh M. Natsir di mana
didapatkan hasil variabel kebijakan moneter jalur nilai tukar hanya mampu
menjelaskan variasi inflasi yang tidak terlalu besar, sedangkan porsi penjelas yang
cukup besar justru dijelaskan oleh jalur suku bunga, dan hasil penelitian tersebut
juga mengindikasikan hubungan kausalitas Granger (Granger causality) dari nilai
tukar yang tidak terlalu kuat terhadap tingkat harga (inflasi) namun sebaliknya
pada suku bunga.
Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan moneter jalur nilai tukar
adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana biasanya keputusankeputusan kebijakan moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi
melalui instrumen nilai tukar.
Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan moneter jalur suku bunga
adalah suatu proses dalam bentuk jalur kebijakan di mana keputusan-keputusan
kebijakan moneter ditransmisikan ke dalam GDP riil dan inflasi melalui instrumen
suku bunga (Warjiyo dan Solikin, 2003).
Menurut Sukirno (2004), tingkat harga yang direpresentasikan dalam
inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam suatu
perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya.
Dengan turut memperhatikan hasil penelitian M. Natsir serta pendapat para
pakar tersebut, maka perumusan hipotesis untuk penelitian “Analisis Pola
Dinamis Antara Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate
54
Channel) dan Suku Bunga (Interest Rate Channel) Terhadap Tingkat Harga”
adalah:
1. Terdapat hubungan kausalitas yang signifikan antara kebijakan moneter
jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga.
2. Terdapat hubungan pola dinamis pada tingkat harga akibat kejutan (shock)
yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga
pada lag tertentu.
55
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian tentang “Analisis Pola Dinamis Antara Kebijakan
Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel) dan Suku Bunga
(Interest Rate Channel) Dalam Mempengaruhi Tingkat Harga”, jenis penelitian
yang dipakai adalah penelitian analitik/inferensial. Penelitian analitik/inferensial
adalah penelitian yang bertujuan untuk dapat mengambil kesimpulan secara
umum dengan cara membuktikan hipotesis mengenai hubungan kausal/sebab
akibat.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan metode kuantitatif data
runtun waktu (time series) dengan mempergunakan data sebagai berikut: nilai
tukar rupiah terhadap dollar AS (kurs), tingkat suku bunga SBI, dan inflasi.
Pada tahap awal dalam penelitian ini, penulis mencoba memberikan
gambaran nyata tentang pengertian kebijakan moneter dan mekanisme bekerjanya
kebijakan moneter hingga menyentuh sasaran akhir seperti yang diinginkan
berdasarkan teori, dampak krisis moneter yang terjadi di Indonesia akibat
kekurang hati-hatiannya Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makro ekonomi
melalui kebijakan moneter yang diambilnya, serta gambaran umum mengenai
pergerakan dan pertumbuhan variabel yang penulis gunakan. Tahap selanjutnya
ialah dengan mempelajari dan menganalisis lebih mendalam mengenai teori-teori
yang berhubungan dengan kebijakan moneter hingga mampu mempengaruhi
56
perekonomian secara makro, dan proses bekerjanya mekanisme transmisi
kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi)
sebagai sasaran akhir. Kemudian setelah itu, mengumpulkan data-data terkait
variabel-variabel penelitian yang diteliti berupa data sekunder yang diperoleh dari
Bank Indonesia. Kemudian setelah data-data tersebut diperoleh, tahap selanjutnya
adalah melakukan pengujian-pengujian secara prosedural sesuai dengan tahap
pengujian pada model Vector Error Correction.
B. Metode Penentuan Sampel
Data populasi dalam penelitian ini berupa data dari inflasi, suku bunga
SBI, dan nilai tukar (kurs), sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah inflasi, suku bunga SBI, dan nilai tukar (kurs) selama periode 1998-2010,
yang masing-masing sebanyak 156 sampel yang diambil dari data bulanan yang
berupa data time series.
Teknik penetuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling.
Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota
sampling di mana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaiaan terhadap
beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud
penelitian (Mudrajat kuncoro, 2009).
57
C. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data bulanan dari tahun 1998 sampai tahun 2010 (156 bulan), alasan
pemilihan jenis data sekunder tersebut ialah karena penelitian ini menggunakan
lingkup data yang cakupannya luas yakni di Indonesia sehingga jika penulis
mengumpulkan data secara primer (contohnya) mungkin akan mengalami banyak
kendala sebab mengingat terbatasnya waktu, dana, dan tenaga.
1. Internet
Data yang peneliti peroleh dari internet ialah data yang berhubungan
dengan beberapa sumber-sumber penelitian terdahulu dan beberapa sumbersumber bacaan terkait penelitian ini.
2. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh berkaitan dengan tema
skripsi ini, jurnal, buku-buku dan bahan tertulis lainnya yang terkait isi skripsi.
3. Sumber Data
Data yang digunakan seluruhnya ialah data sekunder yang diperoleh dari
Bank Indonesia (BI), dimana data yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
a. Nilai Tukar (Kurs)
Data yang digunakan ialah data kurs tengah 1 US Dollar dalam rupiah
yang didapat melalui kalkulator kurs yang didasarkan pada data nilai
58
penutupan Rupiah per 1 US Dollar menurut Bank Indonesia (kurs BI) pada
setiap bulannya yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia atau
pada Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (berbagai terbitan). Data ini
berupa data sekunder dalam bentuk bulanan periode 1998-2010.
b. Suku Bunga SBI
Data suku bunga SBI yang digunakan adalah data suku bunga SBI
berjangka waktu 1 bulan berdasarkan data pada setiap bulan yang diperoleh di
website resmi Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia
(berbagai terbitan). Data ini berupa data sekunder dalam bentuk bulanan
periode 1998-2010 (time series).
c. Tingkat Harga
Data tingkat harga dalam penelitian ini didefinisikan ke dalam data inflasi,
di mana data inflasi yang digunakan adalah data pesentase perubahan bulanan
indeks harga konsumen di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh di
website resmi Bank Indonesia dan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia
(berbagai terbitan). Data ini berupa data sekunder dalam bentuk bulanan
periode 1998-2010 (time series).
D. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model
(VECM). Di mana VECM merupakan suatu model analisis ekonometrika yang
59
dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel
terhadap jangka panjangnya, akibat adanya shock yang permanen (Kostov dan
Lingard, 2000). Insukindro (1992) menjelaskan bahwa analisis VECM juga dapat
digunakan untuk mencari pemecahan terhadap persoalan variabel runtun waktu
(time series) yang tidak stasioner (non-stasionary) dan regresi lancung (spurious
regression) atau korelasi lancung (spurious correlation) dalam analisis
ekonometrika.
Oleh sebab itu variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi,
nilai tukar, dan suku bunga SBI (3 variabel). Permodelan VECM secara umum
yang digunakan ialah:
Y = f (X1, X2, ..., Xn) ................................................................
Di mana :
Y
= Variabel dependen,
X1
= Variabel independen 1,
X2
= Variabel independen 2,
Xn
= Variabel independen ke-n.
(3.1)
Dari model umum tersebut kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk
model ekonometrik, di mana bentuk model tersebut adalah sebagai berikut:
yt
= α0
Di mana :
+ αp
yt-k + εt
.........................................................................
(3.2)
yt
= vektor peubah tak bebas,
α0
= konstanta,
αi
= matrik parameter berukuran n x n, untuk setiap 1=1, 2,..p
k
= jumlah lag dalam persamaan,
60
p
= jumlah variabel dalam persamaan,
εt
= vektor sisaan (ε1t, ε2t, ...., εnt) berukuran n x 1.
Persamaan di atas merupakan bentuk vektor dari model umum VECM, di
mana semua variabel dalam model dapat menjadi variabel endogen.
Dalam permodelan VECM asumsi awal yang harus dipenuhi ialah bahwa
semua variabel independen harus stasioner. Hal ini ditandai dengan semua
variabel sisaan bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan
di antara variabel tidak bebas tidak terdapat korelasi. Uji kestasioneran data dapat
dilakukan melalui pengujian terhadap ada atau tidaknya unit root dalam variabel
dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF), adanya unit root akan menghasilkan
persamaan atau model regresi yang lancung (spurious). Pendekatan yang
dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi lancung tersebut, adalah dengan
melakukan diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya, sehingga diperoleh
variabel yang stasioner dengan derajat I(n) (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
1. Uji Stasioneritas Data (Unit Root Test) dan Derajat Integrasi
Stasioneritas merupakan hal penting yang berkaitan dengan studi atau
penelitian yang merupakan data time series. Data deret waktu dikatakan stasioner
jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan kata
lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data yang terlalu timpang,
secara kasarnya data harus horizontal sepanjang sumbu waktu.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan
stasioneritas, salah satunya yang paling sering dilakukan adalah Augmented Dicky
61
Fuller (ADF) test pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh
suatu data yang stasioner, yaitu data yang tidak terlalu besar dan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya (Enders, 1995).
Jika dalam stasioneritas ini menunjukkan adanya ADFstatistik yang lebih
besar dari pada McKinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data
tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai
ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan
data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing
data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first
different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data
periode sebelumnya (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
2. Penentuan Lag Optimal
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau
respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin
penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan
residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan
autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula
diperhatikan adanya trade off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin
panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan
semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini
peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan
mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit
62
maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan
menyedot derajat bebas (Natsir, 2007).
3. Uji Kausalitas Granger
Guna menjawab hipotesis pertama dalam penelitian ini maka metode yang
digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar variabel yang diamati
adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk
memeriksa apakah nilai lag suatu variabel endogen berpengaruh terhadap nilai
dugaan suatu variabel eksogen tertentu (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Variabel y1
(endogen) dikatakan mempunyai hubungan kausalitas Granger terhadap variabel
y2 (eksogen), jika semua koefisien dari nilai lag variabel y2 memiliki nilai yang
signifikan dalam persamaan parsial y1 (Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian
ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah hubungan antara suku
bunga SBI, dan nilai tukar, terhadap tingkat harga (inflasi).
Secara umum, suatu persamaan Granger dapat diinterpretasikan sebagai
berikut (Gujarati, 2003).
1. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel independen.
Hal ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen secara statistik
signifikan berbeda dengan nol; sedangkan koefisien lag seluruh variabel
independen sama dengan nol.
2. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel dependen
maupun independen secara statistik signifikan berbeda dengan nol.
63
3. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen
maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan nol.
4. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi dilakukan untuk menguji stasioneritas residual atau
error term dari model, sehingga variabel-variabel dalam model dinyatakan
memiliki pengaruh dalam hubungan jangka panjang. Hal tersebut senada dengan
pendapat Granger dalam Baltagi (2004), yang menyatakan bahwa jika variabel
yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka variabel tersebut telah
berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Menurut Enders (1995),
jika variabel yang tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linear antar
variabel dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan
jangka panjang yang stabil. Dalam uji kointegrasi ini digunakan uji kointegrasi
dari Johansen yang fungsinya untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel
(vektor) dalam persamaan. Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi
matrik Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil
reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank
tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace
test (λtrace) dan maximum eigenvalue test (λmax). Penentuan ini dapat dilihat
dengan membandingkan nilai Max-Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai MaxEigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data
terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
64
5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)
Estimasi VECM digunakan untuk menjawab hipotesis kedua dalam
penelitian ini, di mana perilaku dinamis dari model VECM dapat dilihat melalui
respon dari variabel endogen terhadap kejutan pada variabel tersebut, maupun
terhadap variabel endogen lainnya. Ada dua cara untuk dapat melihat karakteristik
dinamis dari model VECM, yaitu melalui IRF (Impulse Response Function) dan
VD (Variance Decomposition).
Jika suatu data time series model VAR telah terbukti terdapat hubungan
kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka
pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga
digunakan untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui
koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan
menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi (Shochrul R. Ajija, dkk,
2011).
Berdasarkan pada pengembangan model umum VECM sesuai dengan
persamaan 3.1 dan 3.2, serta tujuan dari penelitian ini di mana dalam penelitian ini
hanya menetapkan variabel endogennya adalah tingkat harga (inflasi) dan
variabel-variabel eksogennya ialah suku bunga SBI dan nilai tukar, maka untuk
membaca hasil estimasi VECM pada tujuan penelitian ini adalah:
INFt = α0 + α1 SBIt-k + α2 EXCt-k + εt .......................................
(3.3)
65
6. Variance Decomposition (VD)
Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance
decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang memisahkan variasi
dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau
menjadi variabel inovasi, dengan asumsi bahwa variabel-variabel inovasi tersebut
tidak asling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan
informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah
variabel terhadap shock variabel lainnya pada saat periode saat ini dan periode
yang akan datang (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
7. Impulse Response Function (IRF)
VECM akan menentukan sendiri struktur dinamisnya dari sebuah model.
Setelah melakukan uji VECM, diperlukan adanya metode yang dapat mencirikan
struktur dinamis yang dihasilkan oleh VECM secara jelas. Karena menurut Doan
(1992), koefisien hasil estimasi VECM sulit untuk diartikan dan kurang bisa
diandalkan.
Menurut Sims (1972), cara yang paling baik untuk dapat mencirikan
struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisis respon dari model
terhadap kejutan (shock). IRF dapat melakukan hal tersebut dengan menunjukkan
bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan
dalam variebel itu sendiri dan variabel endogen lainnya.
66
E. Operasional Variabel Penelitian
Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai
penjabaran dari variabel-variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan
dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat
ditetapkan indikatornya. Terdapat tiga variabel yang digunakan sebagai sumber
utama untuk mendeskripsikan hasil yang nantinya akan diperoleh dalam penelitian
ini.
Tabel 3.1
Deskripsi Data Operasional Variabel
Variabel
SBI = Suku bunga SBI
Skala
Sumber
Deskripsi
Ratio
Bank
Suku bunga SBI 1 bulan
Indonesia
EXC = Kurs
Ratio
Bank
Nilai tukar rupiah terhadap
Indonesia USD
INF = Tingkat Harga = Ratio
Bank
Berdasarkan data inflasi
inflasi
Indonesia bulanan BI
Dalam penelitian ini dibutuhkan pula suatu definisi konseptual untuk
menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi
konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah:
1. Nilai tukar rupiah (Kurs rupiah) adalah nilai tukar sejumlah rupiah yang
diperlukan untuk membeli satu US$ (US Dollar) (Kuncoro, 2008). Nilai
tukar tersebut ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan pasar
atau istilah lainnya adalah mekanisme pasar. Jika harga rupiah terhadap
dollar melemah, maka sebaliknya permintaan terhadap mata uang dollar
akan meningkat. Hal ini disebabkan karena investor cenderung akan
67
melepas rupiah dan akan membeli dollar. Kurs tersebut ditentukan oleh
perpotongan kurva permintaan dan kurva penawaran dari mata uang asing
tersebut. Data nilai tukar rupiah dalam penelitian ini diwakili oleh Dollar
Amerika periode Januari 1998-Desember 2010.
2. Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan
sistem diskonto/suku bunga. Data suku bunga SBI yang digunakan adalah
perkembangan suku bunga SBI 1 bulan periode Januari 1998– Desember
2010.
3. Tingkat harga dalam penelitian ini menggunakan dasar data inflasi, di
mana inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum berlaku dalam
suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya, sedangkan
tingkat inflasi adalah presentasi kenaikan harga-harga pada suatu tahun
tertentu berbanding dengan tahun sebelumnya (Sukirno, 2004). Data
inflasi yang digunakan adalah perkembangan inflasi per bulan periode
Januari 1998-Desember 2010.
68
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bagian ini akan menjelaskan mengenai analisis dan pembahasan yang
dicapai dalam penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini
untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan Vector Error Correction Model
(VECM). Dalam hal ini penulis menggunakan tiga variabel sebagai dasar dalam
penelitian, di mana variabel-variabel tersebut adalah variabel suku bunga SBI,
inflasi, dan nilai tukar. Pada penelitian ini penulis akan cenderung melakukan
analisis berdasarkan data yang penulis gunakan untuk mencari hubungan
kausalitas kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat
harga (inflasi), serta respon variabel tingkat harga (inflasi) terhadap kejutan yang
ditimbulkan oleh variabel nilai tukar dan suku bunga, tentunya dengan uji-uji lain
yang menjadi persyaratan (proses) dalam metode VECM ini juga akan penulis
lakukan. Sedangkan analisis data dilakukan menggunakan Software Eviews versi
6.1.
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS (Kurs Rupiah)
Pengendalian moneter melalui jalur nilai tukar menjadi salah satu
instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia dalam fungsinya untuk menjaga
perekonomian nasional ke taraf perekonomian yangs stabil berdasarkan tingkat
69
inflasi yang cenderung terjaga perubahannya guna menempatkan pertumbuhan
ekonomi sebagai prioritas utama. Nilai tukar (kurs) adalah perbandingan nilai
tukar atau harga mata uang rupiah dengan mata uang lain. Nilai tukar dibedakan
menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal
adalah harga mata uang dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri.
Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang – barang diantara dua
negara.
Macam – macam nilai tukar ada tiga yaitu sistem nilai tukar tetap,
mengambang bebas, dan mengambang terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah
sistem penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang ditetapkan oleh
bank sentral. Sistem nilai tukar mengambang bebas merupakan sistem penentuan
nilai mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya ditentukan oleh
permintaan dan penawaran pasar. Sedangkan sistem nilai tukar mengambang
terkendali merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing dengan mekanisme
pasar yang disesuaikan dengan batas pita intervensi yang ditetapkan bank sentral.
Berbicara tentang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dari tahun 1998 –
2010 (Gambar dan Tabel 4.1) merupakan hal yang menarik bila melihat
fluktuasinya. Perkembangan mengenai nilai tukar itu sendiri pada tahun 19982010 dapat dilihat pada Gambar dan Tabel 4.1.
70
Tabel 4.1
Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar US
Tahun 1998-2010
Nilai Tukar
Tahun
(Rp/USD)
1998
10.700
1999
7.100
2000
9.595
2001
10.400
2002
8.940
2003
8.465
2004
9.290
2005
9.830
2006
9.020
2007
9.419
2008
10.950
2009
9.400
2010
8.991
Sumber Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.1
Pergerakan Rata-rata Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar US 1998-2010
Berdasarkan pada Tabel dan Gambar 4.1, nilai tukar rupiah sudah berada
pada tingkat yang tinggi (sempat mengalami depresiasi yang tajam terhadap
Dollar AS) pada tahun 1998. Nilai tukar rupiah yang sempat mencapai lebih dari
71
Rp 10.000 terjadi pada tahun 1998, disaat krisis moneter mulai berdampak kepada
perekonomian
Indonesia.
Perubahan
yang
drastis
terhadap
nilai
tukar
dibandingkan keadaan sebelum krisis tersebut diawali dengan krisis nilai tukar di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan dampaknya ternyata menyebar ke
negara-negara ASEAN lain seperti Indonesia, di mana bantalan ekonomi nasional
pada saat itu juga belum terlalu baik. Kemudian dalam perkembangan di tahun
berikutnya bank sentral melalui kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) dan peningkatan cadangan minimum bank umum mulai merestrukturisasi
kondisi perekonomian nasional. Dengan semakin terkendalinya kondisi ekonomi
tersebut rata-rata nilai tukar (Rp/USD) sempat menguat di kisaran Rp 7.000 pada
tahun 1999.
Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun 2001 nilai tukar sempat
mencapai Rp 10.400 dimana hal ini disebabkan karena tidak stabilnya kondisi
sosial, politik dan keamanan di Indonesia yang mana hal tersebut turut pula
mempengaruhi ekspektasi para investor untuk berinvestasi di Indonesia, namun
juga serta secara umum pelemahan nilai tukar rupiah turut pula disebabkan oleh
adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikro-struktural di
pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan pasokan dan
permintaan valuta asing (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2002).
Secara umum, nilai tukar rupiah selama tahun 2002 mengalami apresiasi
disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangannya selama tahun 2002 ini
selain ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor
sentimen, serta tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga
72
agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental, apresiasi nilai
tukar rupiah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran dari defisit menjadi
surplus. Dari sisi sentimen pasar, menguatnya nilai tukar rupiah juga ditunjang
oleh menguatnya sentimen positif pasar yang didorong oleh keberhasilan
penjadwalan utang, persetujuan pencairan pinjaman IMF (International Monetary
Fund) (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003). Pada tahun 2002, nilai tukar
berfluktuatif pada level Rp 8.000-an.
Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini
terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh
kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan, sehingga
memberikan tekanan yang bersifat fundamental terhadap nilai tukar rupiah. Disisi
eksternal, melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan
moneter ketat di Amerika Serikat telah memberikan tekanan dapresiasi terhadap
rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk
memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri yang merupakan
faktor pemicu tekanan terhadap rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan
domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas rupiah, permintaan valas
semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat
melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat
terhadap rupiah, sebelum pada akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat
tahun 2005 seiring dengan kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan
pemerintah. Koordinasi kebijakan tersebut berdampak positif dan berhasil
memulihkan kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya
73
ekspektasi depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar
keuangan domestik (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006). Pada tahun 2005,
nilai tukar rupiah cenderung berfluktuatif pada level Rp 9.000-an.
Secara umum, nilai tukar rupiah terdepresiasi pada periode-periode awal
tahun 2008, dimana nilai tukar sempat mencapai Rp 10.000-an. Hal ini merupakan
dampak dari krisis keuangan global yang berawal dari Amerika Serikat pada
tahun 2007. Namun dampak tersebut tidak berlangsung lama di Indonesia, sebab
kondisi tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan dan kebijakan makro
ekonomi yang cukup prudent.
Sedangkan pada hingga tahun 2010, rupiah
cenderung terapresiasi, di mana hal tersebut merupakan dampak resesi ekonomi
global yang mulai berdampak negatif di negara-negara barat, namun bagi negaranegara emerging market seperti Indonesia dampak resesi ekonomi global justru
sedikit membawa angin segar karena semakin banyaknya aliran modal masuk ke
dalam negeri.
2. Tingkat Harga
Tingkat harga dalam penelitian ini direfleksikan kedalam inflasi, di mana
inflasi adalah kenaikan harga yang bersifat umum secara terus - menerus. Inflasi
merupakan suatu masalah bagi perekonomian secara makro. Jika masalah inflasi
tidak segera ditangani
maka akan menyebabkan ketidakstabilan
suatu
perekonomian yang pada akhirnya akan memperburuk kinerja perekonomian
suatu negara. Perkembangan rata – rata inflasi dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
74
Tabel 4.2
Rata – Rata Tingkat Inflasi di Indonesia Pada
Tahun 1998 – 2010
Rata – rata
Tahun
Inflasi (%)
1998
58,01
1999
24,03
2000
3,74
2001
11,41
2002
11,94
2003
6,78
2004
6,06
2005
10,4
2006
13,34
2007
6,41
2008
10,28
2009
4,45
2010
5,13
Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.2
Pergerakan Rata-rata Tingkat Inflasi di Indonesia Tahun 1998-2010
75
Berdasarkan Tabel dan Gambar 4.2, Pada tahun 1998 rata – rata inflasi
mencapai 58,01%, hal ini terjadi karena dampak dari krisis moneter pada tahun
1997. Kemudian di tahun 1999, dengan tetap memberlakukan kebijakan uang
ketat (tight money policy) bank sentral melalui instrumen suku bunga BI rate
mulai memberlakukan tingkat suku bunga tinggi, di mana hal tersebut bertujuan
untuk mengurangi tingkat inflasi pasca krisis tersebut agar tidak terlalu tinggi.
Tahun berikutnya inflasi mengalami penurunan kembali hingga mencapai 3,74%
pada tahun 2000 dan dapat diketahui bahwa inflasi cenderung meningkat hingga
mencapai 11,94% pada tahun 2001-2002 dimana hal tersebut diperkirakan karena
keadaan sosial, politik dan keamanan dalam negeri yang tidak stabil. Setelah
tahun itu inflasi mengalami penurunan hingga mencapai 6,06% dan kembali
mengalami peningkatan hingga mencapai 13,34% pada tahun 2006 yang berawal
dari tahun 2005, peningkatan ini terjadi karena gejolak meningkatnya harga bahan
bakar minyak (BBM) selama dua kali di tahun 2005. Kemudian inflasi terus
dikendalikan melalui otoritas moneter hingga inflasi mencapai rata – rata 6,41% .
Namun inflasi kembali meningkat mencapai rata – rata 10,28% pada tahun 2008
yang merupakan dampak dari krisis keuangan global yang berasal dari Amerika
Serikat. Peningkatan tersebut tidak berlangsung lama(kurang dari satu tahun),
setelah 2008 inflasi terus menerus mengalami penurunan dibawah rata – rata 10%
sampai dengan Desember 2010.
3. Suku Bunga SBI
Suku bunga adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit. Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
76
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek. Jadi suku bunga SBI adalah jumlah bunga yang harus dibayar perunit
waktu untuk SBI. Rata – rata suku bunga SBI pada tahun 1998 (Tabel dan
Gambar 4.3) sama halnya dengan nilai tukar dan inflasi, yaitu mengalami
peningkatan yang signifikan hingga mencapai 49,17%, peningkatan suku bunga
ini dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menyikapi inflasi yang sangat tinggi
pada tahun tersebut. Kemudian tahun 1999 dengan tetap memberlakukan tingkat
suku bunga SBI yang tinggi (diatas 20%), Bank Indonesia bertujuan untuk
melakukan kebijakan pengetatan jumlah uang beredar agar dapat meminimalisir
tekanan inflasi yang tinggi pasca krisis 1998. Sejalan dengan inflasi pada tahun
2001 suku bunga SBI mengalami peningkatan juga sebesar 16,62%. Tahun –
tahun setelah itu suku bunga SBI pun mengalami penurunan yang berkisar antara
8-10%, namun pada tahun 2006 suku bunga SBI kembali mengalami peningkatan
hingga mencapai 11,83%, hal ini menyikapi inflasi yang meningkat karena
kenaikan BBM. Pengaruh krisis keuangan global sepertinya tidak berpengaruh
besar terhadap suku bunga SBI, suku bunga SBI hanya meningkat sampai 9,18%
pada tahun 2008, ini masih dibawah kenaikan yang terjadi pada tahun 2006.
77
Tabel 4.3
Rata – Rata Suku Bunga SBI Tahun 1998 – 2010
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata – rata Suku
Bunga SBI (%)
49,17
23,14
12,55
16,62
14,95
9,91
8,30
9,18
11,83
8,60
9,18
7,31
6,29
Sumber : Bank Indonesia Yang Diolah (Dalam Berbagai Terbitan)
Gambar 4.3
Pergerakan Rata-rata Tingkat Suku Bunga SBI di Indonesia
tahun 1998-2010
78
B. Hasil Analisis dan Pembahasan
Bagian ini akan menjelaskan mengenai hasil analisis dan pembahasan
yang dicapai dalam penelitian ini. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini untuk mencapai hasil tersebut adalah dengan menggunakan metode
Vector Error Correction Model (VECM). Sedangkan analisis data dilakukan
dengan menggunakan Software Eviews Versi 6.0.
1. Uji Stasioneritas Data
a. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi
dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau
disebut juga stasionary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat
dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat
yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu
data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk
mendekati nilai rata-ratanya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
Tabel 4.4
Hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Variabel
EXC
INF
SBI
Probabilitas
ADF
0.0026
0.0000
0.0000
LEVEL
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
t-Statistic
ADF
-4.434572
-6.081880
-9.207637
Critical Value
(5% Level)
-3.439461
-3.440681
-3.441111
Sumber : lampiran 2
79
Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, terlihat bahwa seluruh variabel dalam
penelitian ini telah stasioner pada tingkat level atau I(0). Hal ini dikarenakan nilai
probabilitas ADF dari seluruh variabel telah stasioner (lebih kecil dari α = 5%).
Kestasioneritasan tersebut juga dibuktikan lagi dengan melihat Critical Value (5%
level) yang nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF.
Artinya, variabel exc, inf, dan SBI telah stasioner di tingkat level sehingga tidak
perlu untuk dilakukan uji derajat integrasi.
2. Penentuan Lag Optimal
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau
respons yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin
penting seiring anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan menghasilkan
residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari permasalahan
autokorelasi dan heterokedastisitas. Dalam penentuan lag optimal perlu pula
diperhatikan adanya trade off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin
panjang, maka akan semakin banyak pula parameter yang harus diestimasi dan
semakin sedikit derajat kebebasannya (degree of freedom). Maka dalam hal ini
peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag yang memadai dan
mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag terlalu sedikit
maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan
menyedot derajat bebas (Natsir, 2007).
Penentuan panjang lag optimal dalam penelitian ini menggunakan kriteria
Schwarz Information (SIC) dengan melihat nilai minimum dari SIC tersebut
80
sebagai lag optimal. Meskipun dalam penentuan lag optimal tidak ditegaskan
tentang penggunaan kriteria informasi, namun guna menjaga konsistensi dalam
penelitian ini di mana dalam uji stasioneritas, penelitian ini juga telah menetapkan
kriteria SIC sebagai kriteria informasi penentuan lag yang digunakan.
Tabel 4.5
Lag Optimal
Lag
SIC
0
30.03640
1
23.03296
2
22.47296
3
22.43991
4
21.90165*
5
21.97840
6
22.06776
7
22.00091
8
22.16619
Sumber: Lampiran 3
81
3. Uji Kausalitas Granger
Metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan kausalitas antar
variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas
Granger dilakukan untuk memeriksa apakah nilai lag suatu variabel endogen
berpengaruh terhadap nilai dugaan suatu variabel eksogen tertentu (Shochrul R.
Ajija, dkk, 2011: 167). Variabel endogen dikatakan mempunyai hubungan
Granger Causality terhadap variabel eksogen, jika semua koefisien dari nilai lag
variabel eksogen memiliki nilai yang signifikan dalam persamaan parsial variabel
endogen tersebut (Kristiawardani, 2002). Dalam penelitian ini, uji kausalitas
Granger hanya difokuskan untuk melihat arah hubungan (pengaruh) variabel
eksogen (nilai tukar dan suku bunga SBI) terhadap variabel endogen (inflasi).
Tabel 4.6
Hasil Uji Kausalitas Granger
Null Hypothesis
F-Statistic
Probability
INF does not Granger Cause EXC
2.97644
0.0214
EXC does not Granger Cause INF
4.07294
0.0037
SBI does not Granger Cause EXC
18.5749
3.E-12
EXC does not Granger Cause SBI
17.2911
1.E-11
SBI does not Granger Cause INF
15.8382
1.E-10
INF does not Granger Cause SBI
0.95762
0.4329
Sumber : lampiran 4
Hasil Uji kausalitas Granger dengan taraf signifikan α = 5% pada Tabel
4.5 tersebut, menunjukkan bahwa ternyata kebijakan jalur nilai tukar mempunyai
82
hubungan kausalitas Granger (Granger Causality) dua arah terhadap tingkat harga
(inflasi) atau ada hubungan saling mempengaruhi di antara variabel tersebut (lihat
lampiran 3), sedangkan jalur suku bunga mempunyai hubungan kausalitas
Granger satu arah terhadap tingkat harga (inflasi) (lihat lampiran 3). Jika
disimpulkan berdasarkan Tabel 4.5 serta rumusan masalah pada penelitian ini, hal
tersebut mengindikasikan tingkat harga (inflasi) ternyata dipengaruhi oleh
pergerakan nilai tukar dan dan suku bunga, sehingga dari hasil uji kausalitas
tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini layak untuk dilakukan
karena adanya hubungan antara variabel eksogen dengan variabel endogen.
Selanjutnya untuk melihat kemungkinan hubungan jangka panjang antara nilai
tukar dengan tingkat harga (inflasi) dilakukan uji kointegrasi Johansen.
4. Uji Kointegrasi
Konsep kointegrasi menyatakan bahwa jika satu atau lebih variabel yang
tidak stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linear antar variabel-variabel
dalam sistem akan bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh sistem persamaan
jangka panjang yang stabil (Enders, 1995). Dengan demikian selanjutnya dapat
dilakukan pengujian kointegrasi untuk memperoleh kemungkinan adanya
hubungan kointegrasi dalam penelitian ini.
Seluruh variabel telah memenuhi persyaratan untuk proses integrasi, yaitu
semua variabel stasioner pada derajat yang sama yaitu pada tingkat level (Tabel
4.4). Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel dalam sistem mempunyai sifat
integrated of order one. Oleh sebab itu, pengujian kointegrasi dapat dilakukan
83
dengan menggunakan panjang lag optimal, yaitu lag 4. Salah satu pendekatan
yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode Johansen
(Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi
matriks Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil
reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank
tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace
test ( λtrace ) dan maximum eigenvalue test (λmax). Penentuan ini dapat dilihat
dengan membandingkan nilai Max-Eigen statistic dan nilai trace statistic-nya
dengan nilai kritis (Critrical Value). Jika nilai Max-Eigen statistic dan nilai trace
statistic-nya lebih besar dari pada nilai kritis 1% dan 5%, maka data
terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011).
Tabel 4.7
Uji Kointegrasi
Hypothesized
No. Of CE(s)
Trace
Statistic
Critical
Value
(5%)
Prob
MaxEigen
Statistic
Critical
Value
(5%)
None *
93.10204
24.27596
0.0000
74.78983 17.79730
0.0000
At most 1 *
18.31221
12.32090
0.0044
18.26582 11.22480
0.0025
At most 2
0.046394
4.129906
0.8599
0.046394 4.129906
0.8599
Prob
Sumber : lampiran 5
Ket: (*) = signifikan pada α = 5%.
Dari hasil uji kointegrasi dengan menggunakan Johansen’s Test pada
Tabel 4.6 di atas, di mana hasil uji tersebut untuk mengetahui hubungan
kointegrasi di dalam sistem, menunjukkan bahwa terdapat dua buah hubungan
84
kointegrasi (perhatikan tanda bintang), karena pada saat nilai rank = 0, dan 1,
keduanya signifikan jika dilihat dari nilai Trace Statistic dan nilai Max-Eigen
Statistic-nya terhadap Critical Value pada α = 5%. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa terdapat dua persamaan (hubungan kointegrasi) yang signifikan dalam
model VECM untuk jalur nilai tukar dan suku bunga terhadap tingkat harga
(inflasi) dalam pembentukan polanya yang memiliki kestabilan jangka panjang.
5. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)
Setelah dilakukan uji kointegrasi, dan hasil dari uji tersebut ternyata telah
terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka selanjutnya akan dilakukan uji
VECM. Pada Estimasi VECM ini yang menjadi variabel endogen adalah tingkat
harga (inf), sedangkan variabel eksogennya ialah suku bunga SBI (SBI), dan nilai
tukar (EXC), oleh karena itu penelitian ini hanya menempatkan satu kolom yaitu
kolom D(INF). Penentuan signifikansi hasil estimasi VECM dalam penelitian ini
ialah dengan melihat nilai t-statistik. Menurut Nachrowi (2006), untuk sampel
penelitian
yang besar,
maka
dalam
menentukan
signifikansinya
dapat
menggunakan nilai Uji-t yang lebih besar dari dua.
85
Tabel 4.8
Hasil Estimasi VECM Dengan Lag 4 [Tingkat Harga Sebagai Variabel
Dependen]
Variabel
D(INF(-1))
D(INF(-2))
D(INF(-3))
D(INF(-4))
D(EXC(-1))
D(EXC(-2))
D(EXC(-3))
D(EXC(-4))
D(SBI(-1))
D(SBI(-2))
D(SBI(-3))
D(SBI(-4))
D(INF)
0.306244
[ 4.06847]
-0.187632
[-2.39272]
0.152997
[ 2.01437]
0.123715
[1.82143]
0.000527
[ 2.20042]
0.000269
[1.19731]
0.000416
[ 1.75779]
-0.000216
[-0.98579]
-0.120460
[ -1.25481]
0.319297
[ 4.15418]
0.076555
[0.96393]
0.276031
[ 3.33105]
Sumber : lampiran 6
Ket :[ ... ] adalah t-statistik
Setelah pengolahan data melalui VECM dengan lag 4, maka hasil yang
diketahui berdasarkan Tabel 4.7 terlihat bahwa kebijakan moneter melalui jalur
nilai tukar signifikan mempengaruhi tingkat harga (inflasi) pada lag 1 (t-1),
sedangkan kebijakan moneter melalui jalur suku bunga signifikan mempengaruhi
tingkat harga (inflasi) pada lag 2 (t-2) dan lag 4 (t-4).
86
Berdasarkan hasil uji estimasi VECM hingga lag keempat antara jalur nilai
tukar dan suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), penulis
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pola dinamis akibat kejutan (shock)
jalur nilai tukar dan suku bunga dalam mempengaruhi pergerakan tingkat harga
(inflasi) hingga tingkat lag tertentu pada model ini.
Secara
individu
parameter
hasil
estimasi
VECM
sulit
untuk
diintepretasikan dan kurang memiliki makna khusus untuk tujuan utama
penelitian analisis efektivitas kebijakan moneter. Untuk alasan itu, para ahli
ekonomi moneter dan praktisi di beberapa bank sentral fokus pada uji impulse
response function (IRF) dan variance decomposition (VD) (Solikin, dkk, 1996)
dan (Widarjono, 2007).
6. Variance Decompsition (VD)
Variance Decomposition atau disebut juga forecast error variance
decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang memisahkan variasi
dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau
menjadi variabel inovasi, dengan asumsi bahwa variabel-variabel inovasi tersebut
tidak asling berkorelasi (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011). Metode ini dapat
mencirikan struktur dinamis dalam model. Dengan metode ini pula dapat dilihat
kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi
variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Pada penelitian ini sesuai
dengan tema yaitu di mana penulis menempatkan variabel tingkat harga (inflasi)
87
sebagai variabel endogen maka pada uji variance decomposition ini hanya
dianalisis VD terhadap tingkat harga (inflasi) saja.
Tabel 4.9
Variance Decomposition Terhadap Tingkat Harga (INF)
Periode
S.E
INF
EXC
SBI
1
1.553331
100.0000
0.000000
0.000000
2
2.445032
98.33568
1.457933
0.206391
3
2.958728
95.06564
3.637505
1.296854
4
3.429440
88.75049
7.362281
3.887230
5
4.042205
80.92425
10.70770
8.368049
6
4.633161
74.00079
14.49523
11.50399
7
5.149796
67.45838
19.13342
13.40820
8
5.578260
62.40975
22.51860
15.07165
9
5.895399
59.06951
24.32348
16.60701
10
6.116927
56.64432
25.50558
17.85027
11
6.277754
54.64432
26.44905
18.90663
12
6.401129
52.87058
27.29921
19.83021
Sumber : lampiran 7
Hasil Forcast Error Variance Decomposition pada Tabel 4.8 di atas,
memberikan informasi mengenai kejutan yang mempunyai kekuatan penjelas
terhadap variabel tingkat harga (inflasi). Pada tabel terlihat bahwa sumber penting
variasi pertumbuhan tingkat harga (inflasi) adalah inovasi pada pertumbuhan
inflasi itu sendiri yaitu antara 100 persen (periode ke-1) hingga kemudian
menunjukkan penurunan pada periode-periode selanjutnya (sekitar 52 persen pada
88
periode ke12). Sedangkan inovasi pada variabel lain yang mampu menjelaskan
variasi tingkat harga (inflasi) mulai dari pengaruhnya yang terbesar ialah inovasi
nilai tukar, di mana jika dilihat ternyata inovasi pada nilai tukar menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat dari periode awal hingga periode akhir,
disusul kemudian oleh inovasi pada variabel suku bunga yang juga menunjukkan
pola yang meningkat namun tidak sebesar peningkatan pada inovasi nilai tukar.
Kesimpulannya, ternyata variasi tingkat harga (inflasi) pada penelitian ini lebih
dominan dipengaruhi oleh inovasi pada nilai tukar (lebih memiliki predictive
power yang kuat) dibanding inovasi pada suku bunga.
7. Impulse Response Function (IRF)
Fungsi respon terhadap guncangan (shock) yaitu berfungsi untuk melihat
respon dinamika jangka panjang setiap variabel apabila ada suatu guncangan
tertentu sebesar satu standar deviasi. Respon inilah yang menunjukkan adanya
pengaruh dari suatu shock variabel independen terhadap variabel dependen, atau
digunakan untuk melihat respon variabel endogen terhadap adanya pengaruh
shock variabel endogen yang lain (Boivin et. al., 2002). IRF juga dapat
menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu
variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Gambar impulse response akan
menunjukkan respon suatu variabel akibat kejutan variabel lainnya sampai dengan
beberapa periode setelah terjadi kejutan (shock). Jika gambar impulse response
menunjukkan
pergerakan
yang
semakin
mendekati
titik
keseimbangan
(convergence) atau kembali ke keseimbangan sebelumnya, hal tersebut bermakna
respon suatu variabel akibat kejutan variabel lain makin lama akan semakin
89
menghilang, sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen
terhadap variabel yang mendapat pengaruh dari variabel yang memberikan
kejutan tersebut. Analisis ini hanya akan digunakan untuk melihat bagaimana
pengaruh kejutan kebijakan moneter jalur nilai tukar (EXC) dan suku bunga
dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi). Fokus dari uji IRF dalam penelitian
ini ialah menganalisis respon pergerakan tingkat harga (inflasi) terhadap adanya
shock dari nilai tukar (INF to EXC) dan suku bunga (INF to SBI).
Gambar 4.4
Impulse Response Function
Res pons e to Choles ky One S.D. Innovations
Response of INF to INF
Response of INF to EXC
Response of INF to SBI
2.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
-0. 5
0.0
-0. 5
2
4
6
8
10
12
-0. 5
2
Response of EXC to INF
4
6
8
10
12
2
Response of EXC to EXC
600
600
600
400
400
400
200
200
200
0
0
0
-200
-200
-200
2
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to INF
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to EXC
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0. 5
-0. 5
-0. 5
-1. 0
2
4
6
8
10
12
6
8
10
12
4
6
8
10
12
Response of SBI to SBI
2.0
-1. 0
4
Response of EXC to SBI
-1. 0
2
4
6
8
10
12
2
4
6
8
10
Sumber : lampiran 8
Pada Gambar 4.4 memperlihatkan respon tingkat harga (inflasi) selama 12
periode terhadap inovasi atau kejutan (shock) pada nilai tukar dan suku bunga
sebesar satu standar deviasi. Pada baris pertama kolom kedua menunjukkan
respon tingkat harga (inflasi) terhadap inovasi atau kejutan (shock) nilai tukar dan
pada baris pertama kolom ketiga menunjukkan respon tingkat harga (inflasi)
90
12
terhadap inovasi atau kejutan (shock) pada suku bunga. Ternyata pada gambar
baris pertama kolom kedua (INF to EXC) terlihat bahwa pada periode awal
hingga periode ketujuh respon tingkat harga (inflasi) sebagai sasaran akhir
kebijakan moneter akibat adanya shock nilai tukar sebesar satu standar deviasi
menunjukkan pola yang terus meningkat hingga periode ketujuh, hal tersebut
dapat diartikan bahwa pada kondisi nilai tukar cenderung terdepresiasi akibat
kebijakan moneter BI yang ekspansif, ternyata reaksi tingkat harga (inflasi) akibat
guncangan (shock) tersebut ialah merespon dengan menunjukkan pola yang
cenderung meningkat, untuk kemudian setelah periode ketujuh hingga periode
seterusnya menunjukkan pola yang cenderung menurun, di mana pola penurunan
tersebut dapat diartikan bahwa telah terjadi intervensi oleh BI melalui mekanisme
kebijakan moneternya guna mencegah ekspektasi peningkatan tingkat harga
(inflasi) yang berlebihan. Sedangkan pada gambar baris pertama kolom ketiga
(INF to SBI) terlihat bahwa pada periode awal hingga periode kedua respon
tingkat harga (inflasi) cenderung menunjukkan pola pergerakan yang terus
meningkat namun masih di kisaran yang negatif akibat adanya shock suku bunga
sebesar satu standar deviasi, diduga pola peningkatan yang cenderung lambat
tersebut terjadi karena adanya kemungkinan lambannya jalur suku bunga dalam
mempengaruhi tingkat harga (inflasi) sebagai sasaran akhir kebijakan moneter
dibandingkan pada jalur nilai tukar. Kemudian jika diperhatikan setelah periode
kedua hingga kelima respon tingkat harga (inflasi) polanya cenderung
menunjukkan peningkatan yang positif akibat shock suku bunga, untuk kemudian
setelah periode kelima hingga seterusnya pola pergerakannya cenderung lebih
91
menurun. Pola pergerakan menurun pada periode tertentu hingga mendekati garis
keseimbangan oleh tingkat harga (inflasi) akibat inovasi atau kejutan (shock) oleh
nilai tukar dan suku bunga tersebut merupakan hal yang wajar, sebab ada indikasi
dalam periode yang cukup lama (panjang) tingkat harga (inflasi) kemungkinan
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat diramalkan selain
inovasi nilai tukar dan suku bunga.
C. Intepretasi Hasil Analisis
1. Hubungan antara kebijakan moneter jalur nilai tukar terhadap tingkat harga
(inflasi).
Hasil penelitian mengenai efektivitas kebijakan moneter jalur nilai tukar
terhadap tingkat harga (inflasi) menyimpulkan bahwa, terdapat hubungan
kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar terhadap tingkat harga
(inflasi), di mana nilai probabilitas nilai tukar terhadap tingkat harga (inflasi)
sebesar 0.0037, hasil tersebut lebih kecil dari tingkat signifikansi pada α = 0.05.
Adanya hubungan kausalitas antara variabel nilai tukar terhadap tingkat harga
(inflasi) terlihat pada perekonomian, di mana pada saat nilai tukar bergerak naik
(apresiasi) maupun turun (depresiasi) biasanya akan diikuti oleh laju pertumbuhan
inflasi baik itu naik ataupun turun.
Sedangkan dalam mencari hubungan pola dinamis dalam penelitian ini
ternyata didapatkan hasil bahwa kedua jalur kebijakan moneter memiliki
hubungan pola dinamis terhadap tingkat harga (inflasi) hingga lag tertentu, di
92
mana jika kita ingin menegtahui signifikansi jalur nilai tukar, ternyata jalur ini
signifikan pada lag 1, dan jika kita ingin mengetahui hubungan pola dinamis
kedua jalur tersebut ternyata jalur nilai tukar merupakan jalur yang dominan
dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi), hal tersebut dapat dilihat berdasarkan
hasil uji variance decomposition dan IRF-nya. Jika kita interpretasikan terhadap
kondisi ekonomi nasional, hasil signifikansi tersebut berkesimpulan bahwa jalur
nilai tukar jika digunakan sebagai alternatif jalur kebijakan moneter dalam
mencapai sasaran akhir yaitu keseimbangan tingkat harga (inflasi), maka jalur ini
signifikan (mampu mencapai sasaran akhir tersebut) dan lebih baik ketimbang
pada jalur suku bunga dalam mempengaruhi tingkat harga (inflasi).
Teori mengenai hubungan antara nilai tukar dan tingkat harga dijelaskan
melalui konsep teori purchasing power parity, di mana konsep teori ini
menjelaskan bahwa nilai tukar terkait dengan tingkat harga di dalam negeri yang
relatif terhadap tingkat harga di luar negeri.
Hasil penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian M. Natsir jika
melihat hubungan kausalitasnya, di mana terdapat hubungan kausalitas antara
nilai tukar terhadap inflasi. Namun, jika dikaitkan dengan hasil variance
decomposition dan uji IRF, penelitian ini kurang relevan dengan hasil penelitian
yang pernah dilakukan oleh M. Natsir namun keduanya sama-sama mampu
menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi), di mana jalur nilai tukar dalam
penelitian ini merupakan jalur yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkat
harga (inflasi) dibandingkan jalur suku bunga, sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh M. Natsir menyimpulkan hal yang sebaliknya.
93
Perkembangan mengenai penggunaan jalur kebijakan moneter di
Indonesia
melalui
jalur
nilai
tukar
menyimpulkan
bahwa,
dalam
perkembangannya efektivitas jalur nilai tukar masih merupakan jalur yang relevan
untuk diadopsi sebagai salah satu jalur instrumen kebijakan moneter, sebab selain
terbukti mampu mempengaruhi sasaran akhir berupa kestabilan tingkat harga,
jalur ini juga mempunyai hubungan erat dengan kegiatan ekonomi dan cukup
mempunyai efek signifikan dalam mempengaruhi perkembangannya. Karena
menurut Nopirin (1992), untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan moneter
tergantung pada, pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan
kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara
perubahan kebijakan moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi.
2. Hubungan antara kebijakan moneter jalur suku bunga terhadap tingkat harga
(inflasi).
Hasil penelitian mengenai efektivitas kebijakan moneter jalur suku bunga
terhadap tingkat harga (inflasi) menyimpulkan bahwa, terdapat hubungan
kausalitas antara kebijakan moneter jalur suku bunga terhadap tingkat harga
(inflasi), di mana nilai probabilitas suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi)
sebesar 1.E-10 (0.00000000001), hasil tersebut lebih kecil dari tingkat signifikansi
pada α = 0.05. Adanya hubungan kausalitas antara variabel suku bunga SBI dan
tingkat harga (inflasi) jika diintrepretasikan ke dalam kondisi perekonomian ialah,
94
apabila tingkat suku bunga SBI berfluktuasi biasanya akan diikuti pula oleh
perubahan laju inflasi.
Sedangkan dalam mencari hubungan pola dinamis dalam penelitian ini
ternyata didapatkan hasil bahwa kedua jalur kebijakan moneter memiliki
hubungan pola dinamis terhadap tingkat harga (inflasi) hingga lag tertentu, di
mana jika kita ingin mengetahui pola dinamis jalur suku bunga, ternyata jalur ini
signifikan pada lag 2 dan lag 4, dan jika kita ingin mengetahui hubungan kedua
jalur tersebut dalam penelitian ini, ternyata didapatkan hasil bahwa jalur suku
bunga merupakan jalur yang tidak terlalu dominan dalam mempengaruhi tingkat
harga (inflasi), hal tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil uji variance
decomposition dan IRF-nya. Jika kita interpretasikan terhadap kondisi ekonomi
nasional, hasil signifikansi tersebut berkesimpulan bahwa jalur suku bunga jika
digunakan sebagai alternatif jalur kebijakan moneter dalam mencapai sasaran
akhir yaitu keseimbangan tingkat harga (inflasi), maka jalur ini signifikan
(mampu mencapai sasaran akhir tersebut), namun pengaruhnya tidak sebesar nilai
tukar terhadap tingkat harga (inflasi).
Teori mengenai hubungan antara suku bunga dan tingkat harga (inflasi)
dijelaskan melalui teori tingkat bunga Fisher, di mana teori ini menjelaskan bahwa
perubahan pada tingkat bunga nominal salah satunya dipengaruhi oleh tingkat
inflasi.
Hasil penelitian ini juga relevan dengan hasil penelitian M. Natsir jika
melihat hubungan kausalitasnya, di mana terdapat hubungan kausalitas antara
95
suku bunga terhadap inflasi. Namun, jika dikaitkan dengan hasil variance
decomposition dan uji IRF, penelitian ini kurang relevan dengan hasil penelitian
yang pernah dilakukan oleh M. Natsir namun keduanya sama-sama mampu
menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi), di mana suku bunga dalam penelitian
ini merupakan jalur yang kurang dominan dalam mempengaruhi tingkat harga
(inflasi), sedangkan penelitian yang dilakukan oleh M. Natsir menyimpulkan hal
bahwa, justru jalur suku bunga yang cukup dominan dalam mempengaruhi inflasi
ketimbang jalur nilai tukar.
Perkembangan mengenai penggunaan jalur kebijakan moneter di
Indonesia
melalui
jalur
suku
bunga
menyimpulkan
bahwa,
dalam
perkembangannya efektivitas jalur suku bunga masih merupakan jalur yang
relevan untuk diadopsi sebagai salah satu jalur instrumen kebijakan moneter,
sebab selain terbukti mampu mempengaruhi sasaran akhir berupa kestabilan
tingkat harga, jalur ini juga mempunyai hubungan erat dengan kegiatan ekonomi
dan cukup mempunyai efek signifikan dalam mempengaruhi perkembangannya.
Karena menurut Nopirin (1992), untuk mencapai sasaran akhir dari kebijakan
moneter tergantung pada, pertama; kuat atau tidaknya hubungan antara perubahan
kebijakan moneter dengan kegiatan ekonomi dan kedua; jangka waktu antara
perubahan kebijakan moneter dengan efeknya terhadap kegiatan ekonomi.
96
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
1. Terdapat hubungan kausalitas antara kebijakan moneter jalur nilai tukar dan
suku bunga SBI terhadap tingkat harga (inflasi). Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh M. Natsir, di mana dalam penelitian tersebut
terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar dan suku bunga SBI terhadap
inflasi.
2. Terdapat pola hubungan dinamis pada tingkat harga (inflasi) akibat kejutan
(shock) yang ditimbulkan oleh kebijakan moneter jalur nilai tukar dan suku
bunga pada lag tertentu. Oleh karena secara individu parameter hasil estimasi
VECM sulit untuk diintepretasikan dan kurang memiliki makna khusus untuk
tujuan utama penelitian analisis pola dinamis kebijakan moneter. Untuk alasan
itu, para ahli ekonomi moneter dan praktisi di beberapa bank sentral fokus
pada uji impulse response function (IRF) dan variance decomposition (VD)
(Solikin, dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007). Dan jika dikaitkan dan dilihat
dari hasil uji variance decomposition dan IRF dalam penelitian ini, ternyata
hasilnya bertentangan dengan kesimpulan penelitian yang pernah dilakukan
oleh M. Natsir ketika memposisikan dominasi keterkaitan jalur nilai tukar dan
suku bunga terhadap tingkat harga (inflasi), namun kedua jalur kebijakan
moneter tersebut sama-sama mampu menjelaskan variasi tingkat harga
97
(inflasi). Jika dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata jalur nilai
tukar yang lebih dominan (lebih besar) dibandingkan jalur suku bunga dalam
menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi). Sedangkan menurut penelitian M.
Natsir jalur nilai tukar hanya mampu menjelaskan variasi tingkat harga
(inflasi) yang tidak terlalu besar, dan jalur suku bunga mempunyai porsi yang
cukup besar (dominan) dalam menjelaskan variasi tingkat harga (inflasi).
B. Implikasi
Penggunaan jalur nilai tukar dan suku bunga sebagai policy reference
dalam menentukan tingkat harga (inflasi) di Indonesia perlu dilakukan secara hatihati. Kebijakan ini hendaknya disertai dengan sinergi dengan kebijakan lain untuk
stabilisasi makroekonomi. Sesuai dengan kebijakan Bank Indonesia yang striking
the optimal balance yaitu pencapaian inflasi yang terjaga (moderat) dan dukungan
bagi pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Maka dalam hal ini koordinasi
antara Bank Indonesia (sebagai lembaga moneter nasional) dengan para
stakeholders ekonomi perlu ditingkatkan guna mencapai stabilitas makroekonomi
tersebut.
Tekad Bank Indonesia untuk selalu menjaga stabilitas moneter pasca
terjadinya krisis 1997/1998 dengan terus memodernisasi dan merestrukturisasi
lembaganya perlu didukung oleh semua pihak. Namun demikian, stabilitas
moneter bukanlah tujuan akhir dalam proses ekonomi yang terus berkembang.
Tujuan akhir ekonomi ialah meningkatnya kapasitas ekonomi sehingga mampu
memberikan peluang bagi segenap rakyat Indonesia untuk dapat mengecap
98
nikmatnya kemakmuran dan kesejahteraan
ekonomi
seluas-luasnya dan
berkesinambungan.
99
DAFTAR PUSTAKA
Agung, J. Dan F. Warjiyo. “Transmission Mechanisms of Monetary Policy in
Indonesia”, Directorate of Economic Research and Monetary Policy. Bank
of Indonesia, Jakarta, 2002.
Ajija, R. Shochrul, dkk. “Cara Cerdas Menguasai E Views”, Salemba Empat,
Jakarta, 2011.
Anglingkusumo, R., C. Ligaya dan E.D. Cahyono. “Pengukuran Target Inflasi
Dalam Rangka Melaksanakan Kebijakan Moneter Secara Forward
Looking”, Buletin Ekonomi dan Perbankan, 2(4): 35-67, 2000.
Arifin, S. “Efektifitas Kebijakan Suku Bunga dalam Rangka Stabilitas Rupiah di
Masa Krisis”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bank Indonesia,
Jakarta, 1998.
Ascarya. “Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter, Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan”, Bank Indonesia, Jakarta, 2002.
Bank Indonesia. “Laporan Tahunan Bank Indonesia”, Beberapa terbitan 20002011, Bank Indonesia, Jakarta.
Bank Indonesia. “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia”, Berbagai terbitan
2000-2011, Bank Indonesia, Jakarta.
Basith, Ahmad. “Analisis Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur
Suku Bunga dan Nilai Tukar”, [Tesis], FEM-IPB, Bogor, 2007.
Bernanke, Ben S. dan Alan S. Blinder. “Credit, Money, and Aggregat Demand”,
American Economic Review, Vol. 78, No. 2, 1998.
Bernanke, Ben S. dan Alan S. Blinder. “The Federal Funds Rate and The
Channel of Monetary Trnasmission Mechanism”, The American
Economic Review, 1992.
Bernanke, Ben S. dan Mark Getler. “Inside the Black Box: The Credit Channels
of Monetary Policy Transmission”, Journal of Economic Perspective, Vol.
9, 1995.
Bofinger, Peter. “Monetary Policy”, Journal of Economic, New York, Oxford
University Press, 2001.
Boediono. “Ekonomi Moneter”, buku I, Yogyakarta: BPFE UGM, 2000.
Boivin, J. And M. Giannoni. “Assesing Change in The Monetary Transmission
Mechanism: A VAR Approach”, Economic Policy Review, 8(1): 97-111,
2002.
100
Bond, T.J. “Money, Interest Rate, and Inflation. META Project: URES Discussion
Paper”, Bank Indonesia, Jakarta, 1994.
Bond T.J.; Ascarya S.I.M.; Toha M.; Zulverdi D. “Monetary Targets”, META
Project: URES Discussion Paper. Bank Indonesia, Jakarta, 1994.
Carare, A dan M. R. Stone. Inflation Targeting Regimes”, IMF working Paper,
Monetary and Exchange Affairs Departement, 2003.
Choudhary A S Munir and Muhammad Aslam Chaudhry. “Effects of The
Exchange Rate on Output and Price Level: Evidence from The Pakistani
Economy”, The Lahore Journal of economics, vol. 12, No. 1, University of
Punjab. Punjab, 2007.
Darwanto. “Kejutan Pertumbuhan Nilai Tukar Riil Terhadap Inflasi,
Pertumbuhan Output, dan Pertumbuhan Neraca Transaksi Berjalan di
Indonesia”, [skripsi]. FEB UGM, Yogyakarta, 2007.
Darwas, Z. ”Exchange Rate Pass Through and Real Exchange Rate in EU
Candidat Countries”, Discussion Paper, Economic Research Centre of
The Deutsche Bundesbank, Frankfurt, 2001.
Dornbusch, R. “Exchange Rates and Prices”, American Economic Review,
77(4): 93-106.
Dornbusch, R dan Fisher S. “Makroekonomi”, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga,
1996.
Enders, W. “Applied Econometrics Time Series”, Iowa University. New York:
John Wiley and Sons Inc, 1995.
Endri. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia”, Jurnal
Ekonomi Pembangunan Vol. 13 No. 1, April 2008 Hal 1-13, Jakarta, 2008.
Falianty, T.A. “Evaluasi Terhadap Agregat Moneter Sebagai Sasaran Antara
Kebijakan Moneter Periode 1984:1- 1997:2”, [skripsi]. FE UI, Jakarta,
2001.
Goeltom, Miranda S. “Manajemen Nilai
Permasalahannya”, Bank Indonesia, 1998.
Tukar
di
Indonesia
dan
Gujarati, Damodar N. “Basic Econometrics”, 4th Edition, McGraw-Hill, New
York, 2004.
Gujarati, Damodar N. “Basic Econometrics”, Mc Graw-Hill, New York, 2003.
Hakim, L. “Perbandingan Peranan Jalur Kredit Pada Masa Sebelum dan
Sesudah Krisis Ekonomi 1990. 1-2000. 4. Beberapa Agenda Perekonomian
Indonesia Kritik dan Solusi”, DRFE Usakti, Jakarta, 2004.
101
Harris, R. “Cointegration Analysis in Econometric Modelling”, Prentice Hall,
New York, 1995.
Haryono, E., W.A. Nugroho dan W. Pratomo. “Mekanisme Pengendalian
Moneter Dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal”, Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, 2(4): 68-122, 2000.
Hascaryo, Agung Ronyi. “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dan Evaluasi
terhadap Berbagai Kebijakan Moneter di Indonesia (Analisa Model Makro
Ekonometrik Simultan)”, FEUI, Depok, 2003.
Hoffman, D.L. dan R.H. Rasche. “STLS/US-VECM 6.1: A Vector-Error
Correction Forcasting Model of U.S Economy”, Working Paper 1997Ekonomi Rakyat, tersedia di http://research.stlouisfed.org/wp/1997/97008.pdf,1997.
Hsiang, Yu. “Application of the IS-MP-IA Model to the Germany Economy and
Policy Implications”, Economics Bulletin, Southeastern Lousiana
University, 2005.
Insukindro. “Pengantar Ekonomi Moneter”, BPFE UGM, Jogjakarta, 1992.
Irawan, A. “Analisis Perilaku Instabilitas, Pergerakan Harga, Employment dan
Investasi di Dalam Sektor Pertanian Indonesia: Aplikasi Vector Error
Correction Model”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 8 (1): 79115, 2005.
Jhingan, M.L. “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000.
Judisseno, R.K. “Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia”, PT. Gramedia,
Jakarta, 2005.
Khan, M.S. “Current Issues in The Design and Conduct of Monetary Policy”,
IMF Working Paper, IMF institute, 2003.
Kostov, P. Dan J. Lingard. “Regime-switching Vector Error Correction Model
(VECM) analysis of UK”, 2000.
Kristiawardani, K. “Model Ekonomi Indonesia dengan Metode VAR”, FMIPAIPB, Bogor, 2002.
Kuncoro, Mudrajad. “Dinamika Inflasi dan Kebijakan Energi Nasional”, artikel
diakses tanggal 10 November 2009, dari http://www.anggaran.depkeu.go.id.
102
Kusmiarso, E. Sukawati, dan S. Pambudi. “Interest Rate Channel of Monetary
Transmission in Indonesia”, Directorate of Economic Research adn
Monetary Policy Bank Indonesia, Jakarta, 2002.
Mankiw, Gregory. “Teori Makroekonomi”, Edisi Keempat, Jakarta: Erlangga,
2000.
Mankiw, Gregory. “Principles of Economics (Pengantar Ekonomi Mikro)”, Edisi
3, Salemba Empat, Jakarta, 2006.
Mishkin, F.S. “International Experiences With Different Monetary Policy
Regimes”, Seminar Paper No. 648, http://www.iies.su.se/.(24-February-04),
1998.
Mishkin, F.S. “The Economic of Money, Banking and Finacial Markets”, Sixth
Edition. Columbia University, 2001.
Mishkin, Fredric S. “Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan”, Edisi 8
Salemba Empat, Jakarta, 2008.
Natsir M. “Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Di Indonesia Melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2-2007:1”, FE
Universitas Haluoleo, Kendari, 2007.
Nopirin. “Ekonomi Moneter”, Buku Kedua, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta,
1992.
Nualtaranee, J. “Transmission Mechanism of Monetary Policy: Litarature Survey
and Theoritical Discussion”,
http://www.wbcu.car.chula.ac.th/papers/transmission.htm, 2001.
Oh, J. “Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism, and Policy Rules
in Korea”, Economic Paper, 2(1): 102-146, 1999.
Reddy, Y. V. “Monetary Policy: An Outline”, BIS Review, September 2005.
Renato, E & Reside, Jr. “Two Decades of Vector Autoregression (VAR)
Modelling : A Survai”, Discussion Paper No. 0108, 2001.
Simorangkir, I. dan Suseno. “Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar”, Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, 2004.
Siswanto, B. Y. Kurniati, G.B. Padoli dan S.H. Binhadi. “Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar”, Ocassional Paper,
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia,
Jakarta, 2001.
103
Suselo, Sri Liani et al. “Pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan BI, vol. 1,
Jakarta, 2008.
Syabran, Febria. “Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Nilai Tukar dan
Suku Bunga di Indonesia”, [Skripsi], FEM-IPB, Bogor, 2004.
Taylor, John B. “The Monetary Transmission Mechanisms: An Empirical
Framework”, Journal of Economic Perspective, 9, 1995.
Tirtayasi, Esi Dewi. “Analisis Efektifitas Kebijakan Moneter Melalui Suku Bunga
Dalam Mempengaruhi Output Dan Tingkat Harga”, [Skripsi], FEM-IPB,
Bogor, 2005.
Vinh Nguyen Thi Thuy and Seiichi Fujita. “The Impact of Real Exchange Rate on
Output and Inflation in Vietnam: A VAR Approach”, Discussion Paper,
No. 0625. Foreign Trade University, Hanoi, 2007.
Waluyo, Doddy Budi dan Benny Siswanto. “Peranan Kebijakan Nilai Tukar
Dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan, Vol. 1, No.1, 85-122, 1998.
Warjiyo, P. dan Solikin.”Kebijakan Moneter”, Jakarta: Bank Indonesia, 2003.
Warjiyo, Perry. “Bank Indonesia, Bank Sentral Republik Indonesia: Sebuah
Pengantar”, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI,
Jakarta, 2004.
Warjiyo, Perry. “Ekonomi Moneter dan Perbankan: Teori, Model Empiris dan
Kebijakan”, Pascasarjana UI Program Studi IE, Depok, 2005.
Warjiyo, P. Dan D. Zulverdi. “Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran
Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin Ekonomi dan
Perbankan, 1(1): 25-58, 1998.
104
Lampiran 1: Data Penelitian
TAHUN
1998.1
1998.2
1998.3
1998.4
1998.5
1998.6
1998.7
1998.8
1998.9
1998.10
1998.11
1998.12
1999.1
1999.2
1999.3
1999.4
1999.5
1999.6
1999.7
1999.8
1999.9
1999.10
1999.11
1999.12
2000.1
2000.4
2000.5
2000.6
2000.7
2000.8
2000.9
2000.10
2000.11
2000.12
2001.1
2001.2
2001.3
SBI (%)
20,00
22,00
27,75
46,43
58,00
58,00
70,81
70,73
68,76
59,72
51,25
38,44
36,43
37,50
37,84
35,19
28,73
22,05
15,01
13,20
13,02
13,13
13,01
12,51
11,48
11,00
11,08
11,74
13,53
13,53
13,62
13,74
14,15
14,53
14,74
14,79
15,58
INF (%)
16,25
29,99
36,8
42,65
49,67
56,67
68,72
77,72
82,4
79,41
78,15
77,63
70,66
53,39
45,44
37,97
30,73
24,52
13,49
5,77
1,25
1,58
1,6
1,92
0,28
0,07
1,2
2,04
4,45
5,97
6,64
7,82
9,12
9,35
8,28
9,12
10,6
EXC (Rp/USD)
10375
8750
8325
7500
10525
14900
13000
11075
10700
7550
7300
8025
8950
8730
8685
8260
8105
6726
6875
7565
8386
6900
7425
7100
7425
7945
8620
8735
9003
8290
8780
9395
9530
9595
9450
9835
10400
105
2001.4
2001.5
2001.6
2001.7
2001.8
2001.9
2001.10
2001.11
2001.12
2002.1
2002.2
2002.3
2002.4
2002.5
2002.6
2002.7
2002.8
2002.9
2002.10
2002.11
2002.12
2003.1
2003.2
2003.3
2003.4
2003.5
2003.6
2003.7
2003.8
2003.9
2003.10
2003.11
2003.12
2004.1
2004.2
2004.3
2004.4
2004.5
2004.6
16,09
16,33
16,65
17,17
17,67
17,57
17,58
17,60
17,62
16,93
16,86
16,76
16,61
15,51
15,11
14,93
14,35
13,22
13,10
13,06
12,93
12,69
12,24
11,04
11,06
10,44
9,53
9,01
8,91
8,66
8,53
8,49
8,31
7,86
7,48
7,42
7,33
7,32
7,34
10,51
10,82
12,11
13,04
12,23
13,01
12,47
12,19
12,55
14,56
14,88
14,21
13,44
13,09
11,57
10,02
10,58
10,54
10,34
10,41
9,92
8,66
7,65
7,11
7,64
7,07
6,95
6,2
6,58
6,34
6,41
5,52
5,17
4,84
4,55
5,12
5,87
6,51
6,78
11675
11058
11440
9525
8865
9675
10435
10430
10400
10320
10189
9655
9316
8785
8730
9108
8867
9015
9233
8976
8940
8876
8905
8908
8675
8279
8285
8505
8535
8389
8495
8537
8465
8441
8447
8587
8661
9210
9415
106
2004.7
2004.8
2004.9
2004.10
2004.11
2004.12
2005.1
2005.2
2005.3
2005.4
2005.5
2005.6
2005.7
2005.8
2005.9
2005.10
2005.11
2005.12
2006.1
2006.2
2006.3
2006.4
2006.5
2006.6
2006.7
2006.8
2006.9
2006.10
2006.11
2006.12
2007.1
2007.2
2007.3
2007.4
2007.5
2007.6
2007.7
2007.8
2007.9
7,36
7,37
7,39
7,41
7,41
7,43
7,42
7,43
7,44
7,70
7,95
8,25
8,49
9,51
10,00
11,00
12,25
12,75
12,75
12,74
12,73
12,74
12,50
12,50
12,25
11,75
11,25
10,75
10,25
9,75
9,50
9,25
9,00
9,00
8,75
8,50
8,25
8,25
8,25
7,25
6,64
6,24
6,21
6,24
6,47
7,24
7,16
8,84
8,13
7,4
7,46
7,82
8,32
9,06
17,93
18,34
17,07
17,06
17,95
15,73
15,4
15,6
15,53
15,15
14,9
14,55
6,29
5,27
6,6
6,26
6,3
6,52
6,29
6,01
5,78
6,06
6,51
6,95
9168
9328
9170
9090
9018
9290
9165
9260
9480
9570
9495
9713
9819
10240
10310
10090
10035
9830
9395
9230
9075
8775
9220
9300
9070
9100
9235
9110
9165
9020
9090
9160
9118
9083
8828
9054
9186
9410
9137
107
2007.10
2007.11
2007.12
2008.1
2008.2
2008.3
2008.4
2008.5
2008.6
2008.7
2008.8
2008.9
2008.10
2008.11
2008.12
2009.1
2009.2
2009.3
2009.4
2009.5
2009.6
2009.7
2009.8
2009.9
2009.10
2009.11
2009.12
2010.1
2010.2
2010.3
2010.4
2010.5
2010.6
2010.7
2010.8
2010.9
2010.10
2010.11
2010.12
8,25
8,25
8,00
8,00
7,93
7,96
7,99
8,31
8,73
9,23
9,28
9,71
10,98
11,24
10,83
9,77
8,74
8,21
7,64
7,25
6,95
6,71
6,58
6,48
6,49
6,47
6,46
6,45
6,41
6,32
6,20
6,30
6,26
6,26
6,26
6,26
6,26
6,26
6,26
6,88
6,71
6,59
7,36
7,4
8,17
8,96
10,38
11,28
12,01
11,74
11,93
11,55
11,48
11,06
8,24
7,76
6,98
6,04
4,62
3,65
2,71
2,76
2,83
2,57
2,41
2,78
3,72
3,82
3,43
3,91
4,16
5,05
6,22
6,44
5,8
5,67
6,33
6,96
9103
9376
9419
9291
9051
9217
9234
9318
9225
9118
9153
9378
10995
12151
10950
11355
11980
11575
10713
10340
10225
9920
10060
9681
9545
9480
9400
9365
9335
9115
9012
9180
9083
8952
9041
8924
8928
9013
8991
108
Lampiran 2: Hasil Uji Akar Unit (Level)
Null Hypothesis: EXC has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.434572
-4.019151
-3.439461
-3.144113
0.0026
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(EXC)
Method: Least Squares
Date: 10/25/11 Time: 15:28
Sample (adjusted): 1998M02 2010M10
Included observations: 153 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
EXC(-1)
C
@TREND(1998M01)
-0.227001
2006.380
1.225626
0.051189
470.9643
1.258550
-4.434572
4.260153
0.973840
0.0000
0.0000
0.3317
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.116045
0.104259
675.8832
68522723
-1212.534
9.845994
0.000096
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
-9.045752
714.1354
15.88933
15.94875
15.91347
1.517335
109
Null Hypothesis: INF has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.081880
-4.021691
-3.440681
-3.144830
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(INF)
Method: Least Squares
Date: 10/25/11 Time: 15:29
Sample (adjusted): 1998M08 2010M10
Included observations: 147 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INF(-1)
D(INF(-1))
D(INF(-2))
D(INF(-3))
D(INF(-4))
D(INF(-5))
D(INF(-6))
C
@TREND(1998M01)
-0.086435
0.486156
-0.049608
0.131630
0.186788
-0.035592
0.088201
1.415885
-0.006722
0.014212
0.072560
0.082742
0.082426
0.082819
0.082812
0.072041
0.477335
0.004138
-6.081880
6.700084
-0.599551
1.596956
2.255386
-0.429790
1.224319
2.966228
-1.624610
0.0000
0.0000
0.5498
0.1126
0.0257
0.6680
0.2229
0.0036
0.1065
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.606997
0.584214
1.751852
423.5202
-286.3594
26.64276
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
-0.420136
2.716831
4.018495
4.201582
4.092885
2.178464
110
Null Hypothesis: SBI has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.207637
-4.022586
-3.441111
-3.145082
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SBI)
Method: Least Squares
Date: 10/25/11 Time: 15:29
Sample (adjusted): 1998M10 2010M10
Included observations: 145 after adjustments
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SBI(-1)
D(SBI(-1))
D(SBI(-2))
D(SBI(-3))
D(SBI(-4))
D(SBI(-5))
D(SBI(-6))
D(SBI(-7))
D(SBI(-8))
C
@TREND(1998M01)
-0.130079
0.512712
0.054088
-0.270114
-0.026932
-0.131363
0.251827
0.056792
-0.055366
1.998342
-0.007860
0.014127
0.072157
0.083888
0.062713
0.047410
0.046432
0.030359
0.034260
0.031023
0.308988
0.002020
-9.207637
7.105545
0.644760
-4.307138
-0.568062
-2.829154
8.295019
1.657671
-1.784716
6.467376
-3.890149
0.0000
0.0000
0.5202
0.0000
0.5709
0.0054
0.0000
0.0997
0.0766
0.0000
0.0002
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.866911
0.856979
0.682120
62.34846
-144.5565
87.28421
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
-0.431034
1.803682
2.145606
2.371428
2.237365
1.585322
111
Lampiran 3: Hasil Penentuan Lag Optimal
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: EXC INF SBI
Exogenous variables: C
Date: 10/25/11 Time: 15:45
Sample: 1998M01 2010M12
Included observations: 146
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-2185.182
-1651.504
-1588.198
-1563.359
-1501.640
-1484.816
-1468.914
-1441.607
-1431.246
NA
1038.112
120.5420
46.27522
112.4468
29.96057
27.66584
46.38359
17.17403*
2.09e+09
1581907.
751931.5
605526.1
294327.9
264740.2
241289.5
188238.2
185368.5*
29.97509
22.78773
22.04381
21.82684
21.10466
20.99748
20.90293
20.65216
20.63351*
30.03640
23.03296
22.47296
22.43991
21.90165*
21.97840
22.06776
22.00091
22.16619
30.00000
22.88737
22.21818
22.07594
21.42850
21.39605
21.37623
21.20019*
21.25627
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
112
Lampiran 4: Hasil Uji Kausalitas Granger
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 10/25/11 Time: 15:33
Sample: 1998M01 2010M12
Lags: 4
Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
INF does not Granger Cause EXC
EXC does not Granger Cause INF
150
2.97644
4.07294
0.0214
0.0037
SBI does not Granger Cause EXC
EXC does not Granger Cause SBI
150
18.5749
17.2911
3.E-12
1.E-11
SBI does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause SBI
150
15.8382
0.95762
1.E-10
0.4329
113
Lampiran 5: Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Date: 10/25/11 Time: 15:39
Sample (adjusted): 1998M06 2010M10
Included observations: 149 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend
Series: EXC INF SBI
Lags interval (in first differences): 1 to 4
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
0.394648
0.115373
0.000311
93.10204
18.31221
0.046394
24.27596
12.32090
4.129906
0.0000
0.0044
0.8599
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2
0.394648
0.115373
0.000311
74.78983
18.26582
0.046394
17.79730
11.22480
4.129906
0.0000
0.0025
0.8599
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
EXC
-4.91E-05
-0.000107
-0.000180
INF
0.094130
-0.218186
-0.057677
SBI
-0.029347
0.295751
0.109387
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(EXC)
D(INF)
D(SBI)
-47.90108
-0.841856
-0.655552
1 Cointegrating Equation(s):
19.58899
0.328841
-0.257702
-8.560011
0.007443
0.001118
Log likelihood
-1630.956
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
EXC
INF
SBI
1.000000
-1915.219
597.0987
(440.638)
(466.992)
114
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(EXC)
0.002354
(0.00207)
D(INF)
4.14E-05
(6.3E-06)
D(SBI)
3.22E-05
(4.7E-06)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-1621.823
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
EXC
INF
SBI
1.000000
0.000000
-1032.450
(92.3863)
0.000000
1.000000
-0.850842
(0.04667)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(EXC)
0.000265
-8.782985
(0.00495)
(10.0201)
D(INF)
6.31E-06
-0.150993
(1.5E-05)
(0.02949)
D(SBI)
5.97E-05
-0.005480
(1.1E-05)
(0.02206)
115
Lampiran 6: Hasil Estimasi VECM
Vector Error Correction Estimates
Date: 10/25/11 Time: 15:49
Sample (adjusted): 1998M06 2010M10
Included observations: 149 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
Cointegrating Eq:
CointEq1
INF(-1)
1.000000
EXC(-1)
-0.000522
(0.00020)
[-2.57765]
SBI(-1)
-0.311765
(0.11111)
[-2.80592]
Error Correction:
D(INF)
D(EXC)
D(SBI)
CointEq1
-0.079244
(0.01198)
[-6.61556]
-4.508949
(3.97243)
[-1.13506]
-0.061707
(0.00898)
[-6.86867]
D(INF(-1))
0.306244
(0.07527)
[ 4.06847]
28.08320
(24.9628)
[ 1.12500]
0.040272
(0.05645)
[ 0.71335]
D(INF(-2))
-0.187632
(0.07842)
[-2.39272]
-29.09619
(26.0059)
[-1.11883]
0.204960
(0.05881)
[ 3.48489]
D(INF(-3))
0.152997
(0.07595)
[ 2.01437]
-18.51760
(25.1884)
[-0.73516]
0.059461
(0.05696)
[ 1.04381]
D(INF(-4))
0.123715
(0.06792)
[ 1.82143]
28.49618
(22.5250)
[ 1.26509]
0.030359
(0.05094)
[ 0.59596]
D(EXC(-1))
0.000527
(0.00024)
[ 2.20042]
0.096906
(0.07950)
[ 1.21898]
0.001022
(0.00018)
[ 5.68237]
D(EXC(-2))
0.000269
(0.00022)
[ 1.19731]
-0.300700
(0.07458)
[-4.03189]
0.001508
(0.00017)
[ 8.93836]
D(EXC(-3))
0.000416
(0.00024)
[ 1.75779]
-0.225262
(0.07856)
[-2.86754]
0.000309
(0.00018)
[ 1.74105]
D(EXC(-4))
-0.000216
(0.00022)
-0.228719
(0.07269)
-3.37E-05
(0.00016)
116
[-0.98579]
[-3.14629]
[-0.20482]
D(SBI(-1))
-0.120460
(0.09600)
[-1.25481]
68.93488
(31.8363)
[ 2.16529]
-0.099596
(0.07200)
[-1.38328]
D(SBI(-2))
0.319297
(0.07686)
[ 4.15418]
90.27668
(25.4897)
[ 3.54169]
0.164474
(0.05765)
[ 2.85315]
D(SBI(-3))
0.076555
(0.07942)
[ 0.96393]
-135.2582
(26.3380)
[-5.13549]
-0.117951
(0.05956)
[-1.98022]
D(SBI(-4))
0.276031
(0.08287)
[ 3.33105]
39.90826
(27.4810)
[ 1.45221]
-0.184882
(0.06215)
[-2.97478]
0.744745
0.722222
328.1457
1.553331
33.06663
-270.2404
3.801885
4.063974
-0.286644
2.947237
0.443604
0.394510
36089319
515.1336
9.035839
-1135.040
15.40993
15.67202
-10.29530
662.0127
0.714013
0.688779
184.5837
1.165004
28.29551
-227.3765
3.226531
3.488620
-0.347248
2.088299
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
849385.3
645896.1
-1630.956
22.45578
23.30253
117
Lampiran 7: Variance Decomposition
Variance Decomposition of INF:
Period
S.E.
INF
EXC
SBI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.553331
2.445032
2.958728
3.429440
4.042205
4.633161
5.149796
5.578260
5.895399
6.116927
6.277754
6.401129
100.0000
98.33568
95.06564
88.75049
80.92425
74.00079
67.45838
62.40975
59.06951
56.64415
54.64432
52.87058
0.000000
1.457933
3.637505
7.362281
10.70770
14.49523
19.13342
22.51860
24.32348
25.50558
26.44905
27.29921
0.000000
0.206391
1.296854
3.887230
8.368049
11.50399
13.40820
15.07165
16.60701
17.85027
18.90663
19.83021
S.E.
INF
EXC
SBI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
515.1336
764.9732
909.2321
1007.677
1061.584
1096.230
1138.779
1186.830
1237.357
1292.991
1347.869
1397.283
1.417512
0.740554
0.772506
1.771382
1.664426
1.622802
1.890570
2.317910
2.709731
3.153823
3.581857
4.000106
98.58249
98.12167
94.19783
93.93651
94.05684
94.34049
94.36757
94.15639
93.84847
93.50854
93.19724
92.90982
0.000000
1.137777
5.029667
4.292105
4.278730
4.036705
3.741862
3.525704
3.441795
3.337633
3.220899
3.090078
Variance Decomposition of SBI:
Period
S.E.
INF
EXC
SBI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1.165004
1.656306
2.510102
3.258044
3.814505
4.186230
4.441081
4.646604
4.859727
5.100895
5.358939
5.613941
0.705477
0.351323
0.663975
0.757819
0.568759
0.510668
0.508570
0.697577
1.287615
2.324722
3.780101
5.546824
0.146776
9.111463
29.87388
38.72567
41.88251
42.19457
40.82935
39.59749
38.66900
37.83842
37.05098
36.20948
99.14775
90.53721
69.46214
60.51651
57.54874
57.29476
58.66208
59.70493
60.04339
59.83686
59.16892
58.24369
Variance Decomposition of
EXC:
Period
Cholesky Ordering: INF EXC
SBI
118
Lampiran 8: Impulse Response Function (IRF)
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Response of INF to INF
Response of INF to EXC
Response of INF to SBI
2.0
2.0
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
2
4
6
8
10
12
-0.5
2
Response of EXC to INF
4
6
8
10
12
2
Response of EXC to EXC
600
600
400
400
400
200
200
200
0
0
0
-200
2
4
6
8
10
12
Response of SBI to INF
4
6
8
10
12
2
Response of SBI to EXC
2.0
1.5
1.5
1.5
1.0
1.0
1.0
0.5
0.5
0.5
0.0
0.0
0.0
-0.5
-0.5
-0.5
-1.0
4
6
8
10
12
10
12
4
6
8
10
12
Response of SBI to SBI
2.0
2
8
-200
2
2.0
-1.0
6
Response of EXC to SBI
600
-200
4
-1.0
2
4
6
8
10
12
2
4
6
8
10
12
119
Download