BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang masalah ketidakadilan budaya dan struktur yang
disebabkan oleh perbedaan gender, yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali
berkaitan dengan perceraiannya di Kota Denpasar, didahului dengan melakukan
penelusuran terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini,
baik berupa hasil penelitian, jurnal, buku, majalah, maupun bahan referensi lainnya.
Penelusuran berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk menunjukkan
perbedaan yang substansial guna menghindari pengulangan terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian ini sehingga orisinalitas dari penelitian ini dapat
dibuktikan.
Pertama, hasil penelitian Mekaa D. Gobay, dalam sebuah buku yang
berjudul Perempuan Papua Barat Dalam Kekerasan Militer, Budaya, Ekonomi,
dan Kesehatan (2007) dalam salah satu bagiannya, mengungkap tentang kekerasan
budaya yang dialami perempuan Papua Barat. Seperti diakui oleh masyarakat dunia
bahwa setiap budaya selalu mempunyai aturan sendiri dalam memandang nilai
seseorang atau kelompok dalam komunitas tertentu. Termasuk dalam memandang
nilai terhadap jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Perbedaan dan pembagian
peran sesuai dengan sistem dan stuktur yang berlaku, nilai laki-laki dipandang lebih
tinggi daripada kedudukan dan posisi perempuan. Perbedaan berdasarkan gender
16
17
tersebut tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender,
namun kenyataannya, sistem dan struktur yang diciptakan secara sosial budaya
tersebut telah menimbulkan perbedaan dan pembagian secara gender yang tidak
adil antara laki-laki dan perempuan, menyebabkan kedudukan dan posisi
perempuan menjadi termarginalisasi dan tersubordinasi (Fakih, 1999 : 72)
Perempuan sangat dihormati dan disegani karena perempuan pada saat itu
memiliki peranan yang penting. Perempuan berperan menentukan apakah sukunya
bisa melakukan perang atau tidak, perempuan Papua Barat juga berperan sebagai
pemimpin perang, menjadi pemimpin suku, perempuan juga dimaknai sebagai air
susu yang memberi kekuatan hidup (Gobay, 2007 : 11).
Menurut Mekaa (2007:12), perubahan menyeluruh, baik dalam bidang
sosial ekonomi, budaya maupun politik, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai.
Nilai perempuan yang dahulu dihormati dan disegani berubah ke bentuk
diskriminasi terhadap perempuan. Nilai laki-laki kemudian dipandang lebih tinggi
daripada posisi dan kedudukan perempuan. Papua Barat juga menganut sistem
patrilineal yang dikekalkan dan disosialisasikan secara turun-temurun. Nilai
perempuan dipandang secara stereotip, bahwa perempuan adalah makhluk yang
lemah, karena itu perlu dilindungi, perempuan dituntut tahu adat dan sopan santun,
dan membawa rezeki bagi keluarga laki-laki, karena itu perempuan harus tunduk
pada laki-laki, terutama pada suami. Aturan ini telah melahirkan praktik poligami
semakin marak terjadi, beban kerja perempuan dan kekerasan.
Berdasarkan pengamatan Mekaa, Perempuan Papua Barat tidak hanya
terjerat oleh kekerasan budaya, namun juga kekerasan militer, ekonomi, dan
18
kesehatan. Dari hasil penelitian Budie Santi, yang ditulis dalam sebuah Jurnal
Perempuan berjudul Perempuan Papua : Derita Tak Kunjung Usai (2004),
menunjukkan bahwa angka kematian perempuan Papua yang cukup tinggi karena
beban kerja yang berat, kekurangan gizi yang sangat mengkhawatirkan terutama
bagi kesehatan perempuan yang sedang hamil dan melahirkan. Kondisi geografis
yang rentan terhadap penyakit malaria yang sering juga menyerang perempuan,
Ironisnya, HIV/AIDS lebih banyak terjadi pada perempuan (Santi, 2002 : 67-69).
Hasil penelitian Budie Santi (2002:68) menunjukkan pula adanya kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga, biasanya kekerasan dipicu karena suami
mabok. Tampaknya posisi perempuan baik dalam mengambil keputusan adat,
maupun keputusan keluarga masih sangat termarginalisasi karena itu kekerasan
terhadap istri pun sering terjadi dalam rumah tangga. Ketika perempuan sudah
dinikahi laki-laki, perempuan itu menjadi hak penuh laki-laki. Selain itu perempuan
kadang-kadang harus menerima perlakuan kasar dan kekerasan militer
Kondisi yang dialami perempuan Papua sudah pula membangkitkan
keprihatinan berbagai pihak, misalnya oleh sejumlah aktivis perempuan. Untuk
mengatasi masalah ini, Budi Santi berpendapat, tidaklah dapat diselesaikan oleh
para aktivis perempuan saja, namun juga harus dilakukan oleh berbagai pihak
melalui upaya yang tepat, secara bersinergi, semestinya melibatkan perempuan
yang mengalami kekerasan untuk mendapatkan perhatian dan penanganan, juga
melibatkan pihak laki-laki/suami, aparat setempat, seperti pihak pemangku adat.
(Santi, 2001 : 78-80).
19
Hasil penelitian Mekaa D. Gobay dan Budie Santi terkait dengan penelitian
yang dilakukan ini memberikan inspirasi yang sangat berguna, terutama tentang
praktik-praktik ketidakadilan budaya dan struktur terhadap perempuan Papua
Barat, khususnya, dan perempuan Papua pada umumnya, yang hingga abad ke-21
ini masih sangat termarginalisasi dan tersubordinasi dalam hampir berbagai aspek
kehidupannya. Masyarakat Papua selain terjerat dalam tradisi adat Papua yang
masih sangat kuat mencengkeramnya, perempuan Papua tidak luput pula dari
kekejaman dan kekerasan militer. Hasil penelitian tersebut menginspirasikan
bahwa upaya untuk mengentaskan persoalan perempuan yang hidup dalam tradisi
adat yang tidak adil gender, sudah sering pula dilakukan oleh gerakan feminis dan
pihak lainnya yang sangat peduli terhadap masalah perempuan di Papua, atau
mungkin masyarakat lain. Mengingat sulitnya untuk mengubah tradisi adat yang
sudah mengakar tersebut, maka cara dan pendekatan yang tepat sangat perlu
mendapat perhatian, dengan melibatkan berbagai pihak terkait.
Dibandingkan dengan penelitan yang dilakukan ini, ketidakadilan budaya
dan struktur karena perbedaan gender yang dihadapi perempuan Bali khususnya di
Kota Denpasar umumnya tidak separah perempuan di Papua yang sudah lebih
banyak mengalami perubahan pola berpikir. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan modernisasi, teknologi, komunikasi, dan upaya untuk menanamkan
pemahaman mengenai ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender
terhadap masyarakat Bali di Kota Denpasar cukup berhasil, walaupun belum
optimal, karena itu masih diperlukan berbagai upaya lain untuk mewujudkannya,
karena kenyataannya masih cukup banyak masyarakat Bali yang terikat dan
20
terobsesi oleh tradisi dan keyakinan yang tidak adil gender yang dikekalkan ke
dalam budaya patrilineal..
Hasil penelitian lain, dari Maria Ulfah Anshor, ditulis dalam Jurnal
Perempuan (2001 edisi ke- 20), dengan judul Perempuan dalam Islam. Bertolak
dari hasil pengamatannya di lapangan bahwa, baik marginalisasi, subordinasi
terhadap perempuan, baik secara struktural maupun fungsional, telah pula menjadi
kekhawatiran
berbagai
pihak.
Perjuangan
dan
terobosan
baru
untuk
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dalam Islam, sudah pula
dilakukan,
Namun hingga kini, pada abad ke-21 ini, diskriminasi terhadap
perempuan masih tetap terjadi.
Menurut sejarahnya, kebudayaan masyarakat di Timur Tengah pernah
menghormati “Dewi Ibu”, sebagai simbup perempuan, tetapi seiring dengan
perkembangan masyarakat perkotaan yang pesat, runtuhlah kepercayaan itu,
bangkitlah para Dewa (simbul laki-laki). Kondisi ini turut memperkuat terciptanya
marginalisasi dan subordinasi terhadap perempuan. Proses ini berlangsung secara
turun-temurun dan dikekalkan hingga melahirkan hukum/aturan yang dilegalkan
untuk memarjinalkan perempuan (Anshor, 2001 : 25).
Menurut pandangan Maria Ulfah Anshor, hukum dan aturan yang
diberlakukan saat itu sangatlah tidak manusiawi. Tentang kekejaman yang
dilimpahkan terhadap perempuan, Maria merangkumnya sebagai berikut :
(1) Kaum laki-laki bisa dengan mudah menceraikan istri mereka, khususnya
bila mereka tidak bisa melahirkan anak;
(2) Undang-undang Assyria membolehkan suami memutuskan istrinya
tanpa syarat;
21
(3) Seorang istri yang menentang suaminya boleh dirontokkan giginya
dengan batu bata;
(4) Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan
mempersembahkan kepada para dewa. Ia juga berhak menggadaikan
atau menjual istri atau anaknya untuk membayar utang; dan
(5) Praktik pembunuhan terhadap bayi perempuan berlaku juga di kalangan
orang-orang Arab Jahiliah, karena perempuan dianggap cacat dan bisa
dikorbankan.”
Menurut pengamatan Maria Ulfah Anshor, Islam melarang tradisi tidak
beradab apa pun alasannya karena bertentangan dengan prinsip-prinsip
kemanusiaan. Islam melarang bentuk pernikahan yang dilakukan masyarakat praIslam. Islam hanya memperbolehkan bentuk pernikahan yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu.
Jo Priastana, mengungkap melalui tulisannya dalam Jurnal Perempuan
(2001 edisi ke-20) dengan judul Gerakan Perempuan (Bhiksumi) Dalam Sejarah
Agama Buddha, bahwa terdapat praktik ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender
Melalui tulisan
Jo Priastana mengajak perempuan Buddhis khususnya untuk
mengikis kekuatan naskah-naskah suci sebagai sumber otoritas, dan untuk
menemukan kekuatan hakikat Dharma ke dalam praktik di masyarakat sesuai
dengan tujuan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender (Priastana, 2001 : 67).
Hasil tulisan, baik dari Maria Ulfah Anshor maupun pandangan Jo
Priastana, memberikan inspirasi yang sangat berguna, sebagai perbandingan
dengan kajian yang dilakukan ini terutama terkait dengan budaya dan struktur yang
masih mengikat dan mengatur terutama terhadap kaum hawa. Walaupun kajiannya
sangat berbeda, berbeda lokasi penelitian, berbeda kurun waktu penelitian, berbeda
22
pokok masalahnya, berbeda pendekatan, metode dan teori yang digunakan,
pengetahuan ini tetap berguna dalam memahami konsep budaya dan struktur
hubungannya dengan ketidakadilan gender.
Tulisan Sri Suhandjati Sukri dan Ridin Sofwan (2001:90), dalam buku yang
berjudul Perempuan dan Sexualitas dalam Tradisi Jawa, mengungkap, antara lain,
mengenai pandangan masyarakat Jawa pada abad ke-19, terutama pandangan para
raja dan pujangga keraton Jawa yang dituangkan dalam bentuk karya sastra.
Menurut cara pandang budaya Jawa, perempuan secara kodrati adalah makhluk
yang lemah.
Para istri dalam perkawinan juga tergantung pula pada suami.
Ungkapan Jawa mengatakan, swarga nunut, neraka katut, yang artinya, swarga
adalah lambang kehidupan dunia dan akhirat yang menunjukkan kebahagiaan,
ketenangan, ketenteraman, dan kesejahteraan. Dalam kalangan masyarakat Bali
yang masih kuat memegang teguh budaya patrilineal, maka sering kali mempunyai
pandangan bahwa perempuan/istri dalam rumah tangga sangat pantang melakukan
perlawanan terhadap suami, khawatir menjadi tulah atau kualat. Karena memang
ada tradisi yang melarang laki-laki/berpartisipasi dengan peran gender perempuan.
Diperbolehkannya berpoligami digunakan sebagai acuan untuk membuat
konsep tentang sifat perempuan ideal, di antaranya perempuan bersedia dimadu
seperti yang digambarkan oleh Sri dan Ridin (2001). untuk mengantisipasi agar
tetap harmonis dan menghindari konflik di antara perempuan yang dimadu, maka
disusunlah konsep mengenai sifat, kedudukan, dan peran istri yang ideal untuk
kemudian disosialisasikan. (Sri dan Ridin, 2001 : 92)
23
Pada intinya pandangan masyarakat Jawa seperti yang digambarkan oleh
pujangga dan raja di Jawa pada abad ke-18 dan ke- 19 tidak jauh berbeda dengan
pandangan masyarakat Bali umumnya. Seorang raja dapat saja memperistri
perempuan lebih dari satu. Bahkan, dari keterangan salah seorang tokoh muda Puri
Karangasem, Raja Karangasem dahulu memiliki sampai 60 orang istri.
(Mertamupu, 2011).
Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan ini, antara lain: berbeda
fokus dan lokasi penelitiannya, konsep dan teori yang gunakan, penelitian ini
Penelitian ini juga mengkaji masalah budaya dan struktur patrilineal yang masih
kuat dianut masyarakat Bali hingga kini yang dihadapi terutama oleh perempuan
Bali terkait percerainnya di Kota Denpasar. Fokus penelitian Sukri dan Ridin
Sofwan mengenai budaya Jawa yang dibuat oleh para pujangga pada masa kerajaan.
Masyarakat Jawa juga mempunyai pandangan, bahwa pemahaman terhadap
agama khususnya agama Islam agama dapat terjadi antara lain karena adanya
kekeliruan dalam menginterpretasikan (menafsirkan) teks suci, faktor lain karena
pikiran-pikiran agama dipengaruhi oleh latar belakang budaya patriarki yang
kemudian dianggap sebagai agama (Anshor, 2001 : 34).
Hasil penelitian yang lain dalam Jurnal Perempuan (2001 edisi ke-20)
adalah tulisan dari M Beny Mite dengan judul Menyiasati Teks Suci : Pandangan
Kristiani tentang Ketidakadilan terhadap Perempuan. M. Beny Mite melihat
bahwa dalam agama pun ada politik menomorduakan perempuan. Menurutnya,
sangatlah perlu untuk mengetahui atau mencermati, apakah umat beragama telah
24
salah dalam menafsirkan agamanya, atau salah menafsirkan dan mempraktikkan
teks suci.
Mite berpendapat bahwa agar teks suci dapat menjadi inspirasi bagi
perjuangan kesetaraan dan keadilan gender, maka perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut : (1) usaha gerakan feminis harus dimulai dari dalam lingkungan
agama, (2) teks suci yang mengkekalkan dominasi patriarkat harus dikoreksi secara
kritis untuk menghindari penyalahgunaan tafsir teks suci yang salah dan merugikan
pihak lain, (3) teks suci yang mengandung inspirasi pembebasan kaum perempuan
perlu mendapat perhatian dan disosialisasikan.
Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan ini, fokus penelitian M
Beni, bersumber dari tafsir agama Kristen, khususnya adanya tafsir agama yang
dikekalkan ke dalam budaya dan struktur yang tidak adil, yang merugikan
kedudukan dan posisi perempuan. Fokus penelitian ini adalah pada budaya dan
struktur patrilineal yang dihadapi terutama oleh perempuan Bali terkait dengan
percerainnya di Kota Denpasar. Hasil penelitian M. Beny Mite memberi peringatan
dalam mengantisipasi adanya tafsir agama Hindu dalam budaya dan struktur
patrilineal yang melahirkan ketidakadilan gender.
2.2 Konsep
Konsep berarti rancangan, ide, atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa kongkret. Jadi, kerangka konsep adalah rencana yang akan
25
diselenggarakan untuk mencapai tujuan, yang penuh dengan ide yang bersifat
abstrak. Setiap hasil penelitian ilmiah yang akan dituangkan menjadi suatu karya
ilmiah sudah tentu sangat diperlukan judul dari karya tersebut. Judul dalam suatu
karya ilmiah hendaklah dapat mencerminkan isi dari permasalahan yang akan
dikaji, atau sebaliknya, isi tercermin dalam judul karya tersebut. Oleh karena itu,
setiap unsur pada judul sebaiknya dikonsepsikan secara jelas dalam pemaparannya.
Hal ini dilakukan karena konsep-konsep itu akan menopang teori-teori kritis yang
akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan yang akan
dikaji. Dalam penelitian ini diungkap beberapa konsep, seperti, konsep perceraian,
perempuan Bali, gender, dan perspektif gender.
2.2.1 Perceraian
Perceraian atau divorce dalam bahasa Inggris artinya perceraian atau
pemisahan. Dalam masyarakat Bali perceraian disebut nyapian atau palas. Di
samping putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak, ada kalanya
perkawinan putus karena palas merabian (perceraian). Perceraian yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah : (1) putusnya hubungan perkawinan antara suami istri,
bukan karena kematian salah satu pihak, tetapi karena perpisahan antara suami istri
selagi kedua-duanya masih hidup, dan (2) perceraian yang sah secara hukum di
pengadilan (sesuai dengan UU No.1 Tahun 1974) dan sah secara adat Bali.
2.2.2 Perempuan Bali
26
Dipilihnya kata perempuan, bukan kata wanita adalah berdasarkan
pertimbangan, secara etimologis, wanita berhubungan dengan kata betina. Atau
karena adanya keratabasa di dalam bahasa Jawa, wanita akronim wani ditata berani
diatur, berarti menjadi objek. Untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
tujuan mewujudkan kesetaraan gender, kurang tepat digunakan istilah wanita.
Sementara itu kata perempuan, sebaliknya, bermakna lebih ‘positif’ karena berasal
dari bentuk dasar empu plus imbuhan per/an. Jadi, kata perempuan
mengungkapkan pengertian yang positif dari bentuk dasarnya :empu gelar
kehormatan yang berarti tuan, orang yang ahli ( terutama orang yang ahli membuat
keris), atau jika dijadikan verba mengempu, berarti menghormati, memuliakan,
membimbing (Budiman, 1992 : 72-72). Penggunaan kata wanita dikhawatirkan
dapat menggiring kaum perempuan untuk selalu terikat dan tunduk pada tradisi dan
keyakinan yang tidak adil gender. Oleh karena itu, kata perempuan digunakan agar
kaum perempuan tidak mudah terikat dan terobsesi oleh ketidakadilan budaya dan
struktur yang disebabkan oleh perbedaan gender.
Perempuan Bali Hindu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (1)
perempuan etnis Bali, beragama Hindu, atau (2) perempuan yang dengan kesadaran
dan kemauannya sendiri telah melakukan serangkaian upacara Sudhi Wadhani,
menganut agama Hindu kemudian kawin dengan laki-laki etnis Bali, beragama
Hindu, melakukan upacara perkawinan di rumah pihak mempelai laki-laki, sesuai
dengan upacara adat Bali dan agama Hindu, dan kemudian bertanggungjawab
meneruskan swadharma (kewajiban) orang tua serta leluhur suaminya berdasarkan
hukum adat Bali Hindu yang berlaku, baik secara sekala (alam nyata) maupun
27
niskala (alam gaib). Dengan demikian perempuan Hindu tersebut dalam bentuk
perkawinan biasa (bentuk perkawinan yang paling umum dan biasa) dilakukan
warga masyarakat Bali Hindu, mempelai perempuan akan mengikuti keluarga
pihak laki-laki. Demikian halnya dengan status anak/anak-anak yang terlahirkan
dalam perkawinan secara otomatis juga mengikuti garis keturunan ayahnya yang
disebut kapurusa.
2.2.3 Gender
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Gender
sama artinya dengan jenis kelamin. Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas
dibedakan pengertian seks (jenis kelamin) dan gender. Sementara itu, belum ada
uraian yang mampu menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai konsep gender
dan mengapa konsep tersebut penting digunakan untuk memahami sistem
ketidakadilan gender. Dengan demikian, konsep gender merupakan kata dan konsep
asing sehingga usaha menguraikan konsep gender dalam konteks Indonesia
sangatlah rumit (Fakih, 1999 : 6-7).
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka memahami masalah
gender adalah perbedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.
Pemahaman tentang perbedaan kedua konsep tersebut perlu dilakukan karena
beberapa alasan, yaitu (1) ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan
gender sering menimpa kaum perempuan, dan (2) pemahaman atas konsep itu perlu
dilakukan mengingat dari konsep ini telah lahir analisis gender. Mengacu pada
pendapat Mansour Fakih (1999 : 8) bahwa konsep jenis kelamin merupakan :
28
“Dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu. Misalnya manusia jenis laki-laki adalah manusia yang
memiliki penis, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim, dan saluran untuk melahirkan, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada jenis
manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat
itu tidak bisa dipertukarkan antara alat yang melekat pada manusia laki-laki dan
perempuan secara permanen tidak dapat berubah dan merupakan ketentuan biologis
atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat”.
Berbeda dengan konsep jenis kelamin (seks), konsep gender, adalah:
“Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural, misalnya perempuan dikenal : lemah,
lembut atau keibuan, sementara laki-laki dianggap : kuat, rasional, jantan dan
perkasa. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang lemah,
lembut, keibuan, sementara ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa.
Perubahan dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dri tempat ke
tempat lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan
perempuan berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lain,
itulah yang dikenal dengan konsep gender” (Fakih, 1999 : 9).
Peran secara gender dibedakan dengan peran yang didasarkan pada kodrat.
Peran gender yang ditetapkan secara budaya terbuka untuk dapat dipertukarkan
antara laki-laki dan perempuan, sementara peran kodrati, seperti mengalami haid,
melahirkan, dan menyusui pada perempuan atau menghasilkan sperma bagi lakilaki adalah peran yang tidak bisa dipertukarkan secara permanen karena sudah
demikian sejak diciptakannya. Contoh peran gender yang dikonstruksikan secara
sosial budaya adalah memasak dan mengasuh anak yang oleh budaya sudah
ditetapkan sebagai pekerjaan perempuan, pekerjaan bertukang ditetapkan sebagai
pekerjaan laki-laki (Susanti, 2000 : 3), ini dapat dipertukarkan
Berbeda dengan pengertian jenis kelamin (seks), gender adalah konstruksi
dan tatanan sosial mengenai berbagai perbedaan antara jenis kelamin yang mengacu
pada relasi-relasi sosial antara perempuan dan laki-laki, atau suatu sifat yang telah
29
ditentukan secara sosial ataupun budaya. Dari istilah itu muncullah paham
mengenai pembagian peran (nilai, norma, stereotip) antara laki-laki dan perempuan
secara sosial serta budaya. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan
disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan lebih disebabkan oleh faktor
budaya. Budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis dan menjadi
terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi ditempat
kebiasaan dan norma yang berlaku akan diwariskan secara turun temurun
(Megawangi,1999 : 102).
Pembagian dan perbedaan secara gender sesungguhnya tidaklah menjadi
masalah penting sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun yang
menjadi persoalan , ternyata perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya itu telah melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender, baik bagi
laki-laki terutama bagi perempuan. Untuk memahami bagaimana perbedeaan
gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
ketidkadilan gender, yakni marginalisasi, subordinasi, stereotip (pelabelan negatif,
kekerasan, beban kerja berdasarkan peran gender serta sosialisasi ideologi gender
(Fakih, 1996 : 13-15).
Pembagian dan perbedaan gender secara peran, sifat, status dan kepantasan
antara laki-laki dan perempuan oleh masyarakat Bali dikekalkan ke dalam budaya
dan struktur. Perbedaan gender yang dikekalkan dalam budaya dan struktur telah
melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender yang mayoritas menjadi
korbannya adalah perempuan. Ideologi patrilineal yang dikonstruksi secara sosial
dan budaya telah tertanam dengan mantap melalui proses sosialisasi yang panjang,
30
sehingga oleh masyarakat, laki-laki ataupun perempuan dapat menerima ideologi
itu bukan lagi sebagai suatu yang terberi atau pembagian yang keliru melainkan
suatu pembagian yang wajar bahkan hingga kini ada juga yang menganggap sebagai
suatu takdir atau nasib yang seakan-akan tidak dapat diubah. Dengan demikian
budaya patrilineal telah berhasil menanamkan tradisi berpikir logosentrisme yang
bersifat universal dan mutlak.
2.2.4 Perspektif Gender
Perspektif gender adalah suatu kajian dari sudut pandang gender artinya
mengkaji suatu dalam hubungan laki-laki dan perempuan (R.Wijaya, 1996 : 16).
Adapun fokus dari penelitian ini adalah perceraian perempuan Bali dikaji dari
perspektif gender di Kota Denpasar, karena yang mayoritas menjadi korban dari
ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender adalah perempuan,
maka perempuan yang menjadi fokus dalam penelitian ini tanpa mengabaikan
hubungannya dengan laki-laki/suami secara gender. Kajian berperspektif gender
juga erat kaitannya dengan masalah budaya dan struktur yang tidak adil gender.
Mengacu pada pendapat Carol R. dan Melvin Ember (1996 : 27) bahwa
dalam tiap-tiap masyarakat dikembangkan serentetan pola-pola budaya ideal. Polapola budaya yang ideal itu memuat yang oleh sebagian besar masyarakat diakui
sebagai kewajiban yang harus dilakukannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Polapola ideal seperti itu sering disebut norma-norma. Kenyataannya, masyarakat
tertentu ada juga mengembangkan budaya yang tidak ideal, seperti budaya
31
patrilineal karena dapat melahirkan ketimpangan atau ketidakadilan gender dan
selama ini masih cukup kuat mengikat sebagian masyarakat pendukungnya.
Struktur adalah pola-pola yang nyata hubungan atau interaksi antar berbagai
komponen masyarakat (2005 : 156). Dalam penelitian ini budaya yang dapat dilihat
sebagai struktur tungggal yang menaunginya. Komponen di bawahnya adalah suatu
rangkaian struktur-struktur yang lebih mengkhusus yang saling berkaitan untuk
membentuk budaya, ibarat pilar-pilar sebuah bangunan atau istilah Durkheim,
seperti organ-organ dari organisme yang hidup. Secara struktural, budaya juga
memiliki kecenderungan untuk melahirkan struktur yang disfungsinal karena dapat
melahirkan ketimpangan gender. Dalam penelitian ini stratifikasi sosial masyarakat
Bali berdasarkan kasta dapat dilihat juga sebagai struktur yang berkitan erat dengan
terbentuknya budaya patrilineal.
Adanya keberagaman pada manusia, baik secara biologis, aspirasi,
kebutuhan, kemampuan, maupun kesukaan, telah memberikan inspirasi pada
Tawney (Megawangi, 1996 : 52), yang membuat konsep kesetaraan yang disebut
“person-regarding equality” Atau konsep kesetaraan yang mengakui faktor spesifik
perseorangan. Kesetaraan bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap
manusia yang mempunyai kebutuhan berbeda, tetapi memberikan perhatian dan
perlakuan yang sama kepada setiap manusia disesuaikan dengan kebutuhan dan
konteks masing-masing individu. Dari hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa
kesetaraan
yang ingin diwujudkan belum optimal dapat dicapai, khususnya
berkaitan dengan perceraian perempuan Bali dikaji dari perspektif gender. Budaya
32
patrilineal menyebabkan perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang setara dan
adil gender.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Hegemoni
Teori Hegemoni Gramsci merupakan salah satu teori politik yang paling
penting abad XX. Teori ini memandang pentingnya ide karena tidak mencukupinya
kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Menurut Gramsci, agar yang
dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai
dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga
harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci
dengan “hegemoni”( Sugiono, 1999 : 31 ). Hegemoni dapat direbut kembali melalui
gerakan “kontra hegemoni”.
Teori Gramsci melihat bahwa ideologi, tidak hanya dapat melahirkan kelas
dominan dan kelas subordinat, tetapi juga dapat mengatur dan mengikat kontrol
sosial politik. Agar kelas subordinat mematuhi dan tunduk pada ideologi kekuasaan
tersebut, kelas subordinat harus melakukan persetujuan atas subordinasi mereka.
Kemudian, kajian budaya mengadopsi pandangan yang berdasarkan ideologi
tersebut. Kajian Budaya melihat bahwa ideologi berperan untuk mengatur dan
mengikat kontrol sosial budaya. Konsep hegemoni Gramsci semula digunakan
dalam kaitannya dengan kelas sosial politik, kemudian cakupannya telah dilebarkan
sehingga ia mencakup pula relasi-relasi jenis kelamin, gender, ras, dan sebagainya
( Barker, 2005 : 467-469 ; Davidson, 2002 :206-207 ).
33
Ideologi adalah sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan. Ideologi
kadang-kadang dapat digunakan untuk mengendalikan seseorang; ide-ide yang
diunggulkan oleh kelas sosial, gender atau ras tertentu; nilai-nilai yang
melanggengkan struktur kekuasaan dominan; sebagai perwujudan konstruksi
budaya (Cavallaro, 2001 : 136-137).
Ada beberapa hal penting dari teori hegemoni Gramsci terkait dengan
penelitian yang dilakukan tentang perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar
dilihat dari perspektif gender, antara lain :
1) Ideologi budaya patrilineal seperti halnya ideologi kekuasaan budaya yang
dikemukakan oleh Gramsci dapat melahirkan kelas-kelas dominan (laki-laki) dan
kelas subordinat (perempuan).
2) Ideologi budaya yang dikemukakan oleh Gramsci juga identik dengan budaya
patrilineal yang selama ini dianut masyarakat Bali juga dapat mengikat dan
memengaruhi masyarakat pendukungnya, baik laki-laki maupun perempuan.
3) Agar kelas-kelas yang diciptakan oleh ideologi budaya tersebut tidak hanya
diterima atau diakui, tetapi juga harus tunduk terhadap ideologi tersebut, baik kelas
dominan (laki-laki), terutama kelas subordinat (perempuan), harus melakukan
persetujuan atas subordinasi mereka.
Teori hegemoni dari Antonio Gramsci dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji ketiga masalah terkait dengan penyebab, penyelesaian, dan implikasi
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender. Ideologi
budaya patrilineal, yang tertanam dengan kuat memiliki kemampuan untuk
melahirkan kelas dominan (laki-laki) dan kelas subordinat (perempuan), mampu
34
mengikat masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Sepanjang ideologi
budaya tidak menimbulkan ketidakadia gender, tidak
masalah. Persoalannya
adalah ideologi budaya tersebut telah melahirkan berbagai manifestasi
ketidakadilan gender, yang mayoritas
korbannya adalah perempuan. Ideologi
budaya tersebut kemudian berkembang, dikekalkan ke dalam tradisi, keyakinan,
peraturan adat, bahkan mitos.
2.3.2.Teori Dekonstruksi
Dalam sejarah dekonstruksi kontemporer pemikir yang paling penting adalah
Jacques Derrida. Berkaitan dengan dekonstruksinya, Derrida memiliki beberapa
dasar pemikiran, di antaranya: (1) pandangannya tentang bahasa, (2) argumennya
melawan pemikiran Jean Jacques Rousseau, (3) memahami teks dan metafora
dalam konteks pertentangan politik dan ideologi, hubungan antara dekonstruksi dan
marksisme (Sarup, 2003 :51-52). Dari sejumlah dasar pemikiran Derrida, tradisi
berpikir logosentrisme adalah yang paling relevan digunakan untuk mengkaji
masalah ketidakadilan budaya dan struktur karena perbedaan gender.
Menurut Derrida (Santoso, 2003 : 250-251), tradisi berpikir logosentrisme
mempunyai kecenderungan melahirkan oposisi biner yang bersifat hierarkis, misal
positif/negatif, siang/malam, laki-laki/perempuan, dan sebagainya. Dengan
anggapan yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, sedangkan
yang kedua hanya sebagai derivasi, manivestasi pinggir, dan sekunder dalam
kaitannya dengan yang pertama, Derrida sering dihubungkan dengan praktik
dekonstruksi. Secara khusus, dekonstruksi berarti melakukan pembongkaran
35
terhadap oposisi-oposisi biner hierarkis yang berfungsi menjamin kebenaran
dengan cara menafikan pasangan yang lebih inferior (Barker, 2005 : 102-107).
Menurut
Derrida,
logosentrisme
sekurang-kurangnya
mengandung
beberapa ciri, antara lain (1) prosedur-prosedur yang ada harus diakui sebagai suatu
orientasi yang paling umum atau bersifat universal, (2) prosedur-prosedur itu harus
merupakan suara yang berdaulat yang tidak lagi dapat dipermasalahkan atau
diperdebatkan (mutlak) seakan-akan tidak dapat diubah. Ciri-ciri ini menurut
Derrida perlu didekonstruksi dan dikritik karena dapat memunculkan ketimpangan
dalam dunia modern ( Santoso, 2003 : 251 ; Hart, 2002 : 76).
Tradisi berpikir logosentrisme yang cenderung melahirkan oposisi biner secara
hierarkis memiliki persamaan dengan tradisi berpikir dalam budaya patrilineal.
Budaya dan struktur yang dianut masyarakat Bali itu cenderung melahirkan oposisi
biner secara hierarkis, yang nilai, kedudukan, hak dan kewajiban laki-laki lebih
dihargai dari pada perempuan. Budaya patrilineal telah melahirkan pembagian dan
perbedaan secara gender karena antara laki-laki dan perempuan bukan hanya
dibedakan secara biologis atau kodrat, melainkan semata-mata dibedakan
berdasarkan atas peran, status, sifat dan kepantasannya. Sepanjang pembagian dan
perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidak menimbulkan ketidakadilan
gender yang merugikan salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan, tidak menjadi
masalah, tetapi kenyataannya perbedaan gender yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya itu melahirkan berbagai manifestasi ketidakadilan gender. Itulah masalah
yang perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan ketimpangan gender dalam
masyarakat posmodern seperti sekarang ini.
36
Teori dekonstruksi digunakan untuk mengkaji ketiga masalah dalam
penelitian ini, baik penyebab perceraian, penyelesaian perceraian maupun implikasi
perceraian. Katiga masalah tersebut ditemukan juga adanya praktik-praktik tradisi
yang dapat melahirkan oposisi biner. Tradisi budaya patrilineal seringkali dianggap
mutlak dan dikekalkan oleh masyarakat pendukungnya.
2.3.3 Teori Posfeminisme
Teori posfeminisme tidak dapat dilepaskan dari teori posmodernisme. Teori
posmodernisme berhasil menarik perhatian pelbagai macam kalangan karena
mengarahkan perhatian pada perubahan-perubahan penting yang terjadi di
masyarakat dan kebudayaan kontemporer. Istilah posmodernisme muncul pertama
kali di kalangan seniman dan kritikus di New York pada 1960 dan diambil alih oleh
para teoretikus Eropa pada tahun 1970-an. Salah satunya, Jean Franqois Lyotard,
menyerang mitos yang melegitimasi zaman modern (narasi besar) (Sarup, 2003 :
231). Bersama dengan fenomena “pos” lainnya yang muncul tahun 1970-an, seperti
poshumanisme, pos-Maksisme, dan juga posfeminisme. secara luas dapat diartikan
sebagai gerakan politis yang bertujuan emansipasi. Istilah posmodernisme sekarang
telah menunjuk pada rangkaian yang beragam, termasuk berbagai praktik kultural.
Gerakan feminis sekarang telah bersifat “postmodern” (Waugh, 2009 :307). Dalam
hal ini, hubungan antara feminisme dan postmodern adalah menjadi penting karena
posfeminisme sendiri tercakup dalam posmodern.
Secara luas, feminisme posmodern, seperti Hellene Cixous, Luce Irigaray,
dan Julia Kristeva, mengembangkan gagasan intelektualnya dari filsuf
37
eksistensialis Simone de Beauvoir, dekonstruksionis Jacques Derrida, dan
psikoanalis Jacques Lacan. Ketiga feminisme posmodern ini berfokus pada “keLiyanan” perempuan. De Beauvoir, misalnya, dalam karyanya yang mengajukan
pertanyaan esensial dalam teori feminis, “mengapa perempuan adalah the second
sex?”, dalam istilah posmodernisme “mengapa perempuan liyan?” Mengapa
perempuan tetap berada di bawah, imanen, dan ditentukan takdirnya, sementara
laki-laki menuju ke ranah transendensi, zona kebebasan. Selain itu, ketiganya juga
mendedikasikan dirinya untuk menafsirkan kembali pemikiran tradisional,
kemudian merubuhkan tafsir-tafsir yang semula dianggap baku (Tong, t.t.t. :285286).
Teori posfeminisme adalah semacam “jalan baru” bagi upaya sebagian
perempuan untuk melakukan kritik dari dalam dan dari luar gerakan feminis yang
memberikan “suara lain” bagi gerakan perempuan untuk memperbaiki
kehidupannya baik dalam lingkungan kerja maupun keluarga. Ann Brooks sudah
memberikan pula tanggapannya terhadap kesalahpahaman sebagian kalangan
terhadap gerakan dan wacana posfeminisme. Dalam praktiknya, feminisme
posmodern tidak antifeminis dan feminis posmodernisme hanya menantang
asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi gelombang kedua
yang menganggap bahwa penindasan patriarki adalah pengalaman penindasan
universal ( Brooks, 2009 : XIII-XIV ).
Teori Postfeminisme, digunakan untuk memahami dan menganalisis ketiga
pokok masalah dalam penelitian ini karena pada setiap pokok masalah, baik
penyebab perceraian, penyelesaian percerain maupun implikasi perceraian
38
perempuan Bali dilihat dari perspektif gender, ketiga masalah tersebut selain
memunculkan masalah gender, juga menimbulkan respons terutama dari pihakpihak yang peduli terhadap masalah gender. Teori ini juga digunakan untuk
memahami munculnya perubahan-perubahan atau transformasi konstruksi
pemikiran masyarakat Bali, baik laki-laki maupun perempuan, memahami nilai
kesetaraan gender khususnya dalam memberikan makna terhadap perceraian
perempuan Bali.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian menggambarkan kerangka berpikir yang dituangkan
dalam bentuk bagan untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap masalah
yang telah dirumuskan. Adapun model penelitian ini tampak seperti bagan berikut
Ketidaksetaraan
Budaya Bali
Gender
Perceraian Perempuan Bali dan
Penyelesaiannya di Kota Denpasar :
Kajian Berdasarkan Berspektif Gender
Penyebab?
-kekerasan psikis
-penelantaran rumah
tangga
-kekerasan fisik
(Dikaji dari Perspektif Gender) Implikasi dan makna?
-terhadap pihak yang
bercerai dan pihak
keluarga yang bercrai
39
Penyelesaian?
di pengadilan
dan adat
Teori :
-Hegemoni, Dekontruksi dan
- Posfeminisme
Mengungkap & Menanamkan Pemahaman Ketidakadilan
Budaya dan Struktur Karena Perbedaan Gender
Gambar 2.4 Model Penelitian
Keterangan :
= Tanda alur/ Pengaruh
= Saling Berpengaruh
Penjelasan Model
Bagan di atas menggambarkan budaya Bali, yaitu budaya patrilineal yang
dianut masyarakat Bali sangat berlawanan dengan upaya terwujudnya kesetaraan
dan keadilan gender. Budaya patrilineal menyebabkan perempuan Bali terkait
perceraiannya menghadapai berbagai ketidakadilan budaya dan struktur karena
perbedaan gender. Hal tersebut memunculkan tiga masalah terkait dengan
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender, yaitu :
40
(1) mengapa terjadi perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari
perspektif gender ? (2) bagaimana penyelesaian perceraian perempuan Bali di Kota
Denpasar dilihat dari perspektif gender ? dan (3) apa implikasi dan makna
perceraian perempuan Bali di Kota Denpasar dilihat dari perspektif gender terhadap
pihak yang bercerai dan pihak keluarga yang terkait dengan perceraian ?
Penyebab perceraian perempuan Bali terkait dengan manifestasi
ketidakadilan gender yaitu kekerasan, baik kekerasan psikis, penelantaran rumah
tangga, dan kekerasan fisik. Adapun penyelesaian perceraian perempuan dilakukan
di Pengadilan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan adat.
Perceraian perempuan Bali selain berimplikasi juga mempunyai makna ditandai
munculnya perubahan pola berpikir dan perubahan dalam menentukan sikap dalam
menanamkan kesetaraan gender.
Untuk mengkaji ketiga masalah tersebut digunakan beberapa teori kritis
posmodern yang relevan, yaitu teori hegemoni dari Antonio Gramsci, teori
dekonstruksi dari Jacques Derrida, dan teori posfeminisme dari Ann Brooks.
Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci digunakan untuk mengkaji masalah
ideologi kaitannya dengan ideologi budaya patrilineal yang dianut masyarakat Bali,
yaitu ideologi yang dapat menciptakan kelas dominan (penguasa), dan kelas
subordinat (yang dikuasai), mampu mengikat masyarakat sosial, laki-laki ataupun
perempuan, dan mampu memaksa terutama kelas subordinat melakukan
persetujuan atas subordinasi mereka.
Teori Dekonstruksi dari Jaques Derrida, digunakan untuk mengkaji
masalah tradisi berpikir logosentrisme dari budaya patrilineal yang mempunyai ciri-
41
ciri bersifat universal dan mutlak. Tradisi berpikir logosentrisme ini sangat perlu
dikritik atau diantisipasi karena dapat melahirkan ketimpangan dalam masyarakat
postmodern seperti sekarang ini.
Sementara itu, Teori Posfeminisme dari Ann Brooks digunakan khususnya
untuk mengkaji munculnya respons dari berbagai pihak yang peduli terhadap
masalah perempuan dan gender, khususnya yang berkaitan dengan perceraian
Adapun
tujuan
akhir
penelitian,
yaitu
untuk
mengungkap
dan
mengantisipasi serta menanamkan pemahaman pada masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan, tentang ketidakadilan budaya dan struktur yang disebabkan
oleh perbedaan gender, khususnya berkaitan dengan perceraian perempuan Bali di
Kota Denpasar.
Download