MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) PERAN PENERAPAN PROBLEM BASED LEARNING PADA PEMBELAJARAN IPS DALAM MENYIAPKAN SISWA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI Andrian1 ABSTRAK Fenomena globalisasi yang terjadi kini dalam segenap aspek kehidupan memang sudah tidak dapat dicegah. Pada satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan peluang untuk mengakses dan memperoleh informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi peningkatan kualitas kehidupan, namun di sisi lain globalisasi juga berdampak pada berubahnya tatanan nilai sosial-budaya masyarakat. Dalam hubungannya dengan pendidikan IPS, globalisasi menuntut peserta didik untuk memiliki berbagai keterampilan sosial yang diperlukan dalam berinteraksi dengan masyarakat global. Untuk menjadi warga negara yang berperan aktif dalam pergaulan global setidaknya harus memiliki kemampuan dalam mengolah dan menggunakan informasi untuk memberdayakan dirinya serta keterampilan bekerjasama dengan masyarakat yang majemuk. Problem-Based Learning (Pembelajaran Berbasis-Masalah) adalah suatu pengembangan kurikulum, pendekatan/ strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan bersifat terbuka (ill-structured maupun open-ended), yang menuntut siswa untuk terampil dan peka terhadap pemecahan masalah yang ada di liungkungan riil sosialnya secara kolaboratif. PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoretik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pembelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Kata Kunci: PBL, pembelajaran berbasis masalah, konstruktivistik PENDAHULUAN Peran pendidikan merupakan pokok utama dalam membentuk karakter siswa dalam proses menggali pengetahuan atau knowledge, sikap atau affective, dan keterampilan atau skills. Namun, hal tersebut tidak akan tercapai kalau pendidikan tersebut tidak mumpuni dalam memilih dan memilah pembelajaran yang kontekstual sehingga akan terhindar dari pembelajaran konvensional yang menjadi permasalahan di suatu pendidikan. Maka dari itu, dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang terencana yang mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan kekreatifan siswanya adalah dengan menggunakan metode pembelajaran yang berbasis kontekstual sehingga menghasilkan suatu pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan Andrian adalah Dosen Jurusan Pendidikan IPS, Prodi. PPKn Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pasundan, Cimahi. 1 119 andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi adanya sinkronisasi antara pengetahuan, sikap dan kerampilan. Maka dari itu, diperlukannya inovasi pembelajaran sebagai kritik dari pembelajaran yang konvensional. Hal tersebut sesuai yang dipaparkan oleh Burhan (2011:15) bahwa “menilai perlu ada terobosan dalam strategi pembelajaran sebagai kritik atas strategi konvensional tersebut”. Pada kenyataannya dilapangan, pembelajaran IPS di tingkat sekolah selama ini lebih banyak bersifat transfer of knowledges dari guru kepada peserta didik. Konsekuensinya adalah guru berperan sebagi pusat kegiatan belajar dan siswa sebagai peserta pasif yang menerima materi dari guru (Supriatna, 2007). Dalam posisinya sebagai penyampai materi pembelajaran, guru sebagai pengembang kurikulum di tingkat implementasi di ruang kelas kurang peka terhadap perkembangan masyarakat sehingga materi pembelajaran seringkali lepas dari konteks dan situasi nyata dalam lingkungan sosial siswa (Sumantri, 2001). Hal ini terjadi karena pembelajaran IPS di sekolah Indonesia, baik sebagai sebuah disiplin ilmu maupun sebagai bagian dari rumpun Ilmu Pengetahuan Sosial, sesuai dengan paradigma kurikulum yang berlaku yang menekankan pada pewarisan nilai (perenialisme) dan pendekatan disipliner atau mementingkan disiplin ilmu (essensialisme) (Hasan, 1996). Pembelajaran IPS di Indonesia tidak tidak didasarkan pada konstruktivisme, rekonstruksi sosial atau paradigma kritikal (critical paradigm) yang mengajak para peserta didik melakukan berbagai interpretasi kritis secara mandiri dengan menggunakan IPS lokal sebagai dasar pengembangan pembelajaran atau dengan pendekatan inquiry untuk melakukan penafsiran kritis terhadap peristiwa IPS yang beragam untuk memahami masalahmasalah sosial sehari-hari. Pembelajaran IPS di Indonesia didasarkan atas orientasi transmisi dan bukan transaksi atau transformasi (Supardan, 2008). Orientasi transmisi seperti ini menurut Miller dan Seller sesuai dengan filsafat positivisme yang dikembangkan oleh Francis Bacon (15611662), John Locke (1889), dan B.F Skinner serta para behaviorist positivist lainnya abad ke-20 yang menganut pandangan bahwa perilaku manusia dapat dipahami dalam hubungannya antara sebab dan akibat (Supardan, 2008). Menurut filsafat ini, pendidikan merupakan proses pembiasaan, latihan dan pengulangan. Pengetahuan, termasuk pengetahuan IPS, dapat ditransmisikan, dilatihkan dibiasakan melalui peran guru sebagai pusat kegiatan belajar. Pandangan yang sangat konservatif seperti ini diikuti dengan penerapannya dalam pembelajaran di kelas yang bersifat ekspositori dan instruksional. Akhirnya, keberhasilan belajar siswa diukur atau dievaluasi secara kuantitatif atau mengetahui berapa besar aspek kognitif atau pengetahuan (knowledge) yang telah dapat diserap, dan bukan pada aktivitas dalam proses pembelajaran, sikap dan kepribadiannya (Wiriaatmadja, 2002). Orientasi pembelajaran IPS yang sangat relevan dengan dasar-dasar psikologis siswa yang behavioristis ini menyebabkan aspek-aspek humanistic, transpersonal, empowerment, maupun dalam rangka melatih keterampilan sosial menjadi terabaikan dalam pembelajaran sehingga para siswa tidak memiliki kesempatan 120 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) untuk memaknai materi pembelajaran yang dipelajarinya dengan kehidupan sehari-hari atau masalah-masalah sosial yang dihadapi. Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya sehingga berbagai keterampilan sosial tersebut dapat dilatih dengan baik. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa serta dapat digunakan untuk melatih berbagai keterampilan sosial yang dipelukan siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahu’an yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. PBL merupakan strategi pembelajaran berbasis masalah dengan tujuan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Sebagaimana dijelaskan oleh Sanjaya, (2006:214) bahwa: Pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadai secara ilmiah yang bertujuan meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analisis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa metode pembelajaran dengan berbasis masalah dapat merubah sistem pembelajaran yang dapat menghubungan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Selain daripada itu, dapat mengukur kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematis. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan strategi pembelajaran yang menitikberatkan peran siswa untuk aktif dan diikuti dengan pengalamannya sehingga siswa dituntut untuk menyelesaikan permasalahannya dengan kritis.Selain itu, peran guru tidak terlalu banyak mengintervensi siswa hanyalah sebagai fasilitator saja. Dari apa yang telah dipaparkan di atas, untuk lebih menfokuskan kajiannya maka penulis memaparkan artikel ini dengan permasalahan umum “sejauhmana peran strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan pada pembelajaran IPS untuk menyiapkan siswa di era globalisasi”. Dengan sub-sub masalah sebagai berikut: 1. 121 Bagaimana konsep dasar Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pembelajaran IPS? andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi 2. Bagaimana hakikat masalah dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah ? ada di liungkungan riil sosialnya secara kolaboratif (Elizabeth M. Lieux: 2007; De Gallow: 2008 dalam Supardan, 2008). 3. PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoretik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pembelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, pembelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Apa saja tahapan-tahapan dalam melaksanakan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah dalam pembelajaran IPS untuk menyiapkan siswa menghadapi globalisasi? Pembahasan Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Ward, 2002; Stepien, dkk.,1993 dalam Supardan: 2008). Lebih lanjut Boud dan felleti, (Supardan, 2008) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar. Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah) adalah suatu pengembangan kurikulum, pendekatan/strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa dan bersifat terbuka (ill-structured maupun open-ended), yang menuntut siswa untuk terampil dan peka terhadap pemecahan masalah yang Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor yaitu (Jonassen dalam Reigeluth (Ed), 1999:218): kasus-kasus berhubungan, fleksibelitas kognisi, sumber-sumber informasi, cognitive tools, pemodelan yang dinamis, percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial dan kontekstual. Strategi pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai proses penyelesaian masalah yang dirumuskan secara sistematis atau ilmiah dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat 3 (tiga) ciri utama dari strategi pembelajaran berbasis masalah, yaitu : 1. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktifitas pembelajaran di mana para siswa bukan terfokus pada mendengarkan, mencatat, kemudian menghapal materi pelajaran tetapi siswa difokuskan 122 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) untuk aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, serta menyimpulkan. 5. Para siswa dapat memahami hubungan antara yang dipelajari dengan kenyataan. 2. Aktifitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Penjelasan di atas sesuai yang dijelaskan oleh Sanjaya (2006:214) pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga ciri utama, yaitu pertama, strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktifitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Dalam strategi pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan siswa bukan hanya mendengar, mencatat, kemudian menghapal, tetapi siswa dapat aktif dalam berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan pada akhirnya menyimpulkan.Kedua, aktifitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. 3. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah dengan proses secara sistematis dan empiris. Untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran berbasis masalah, guru memilih bahan pembelajaran yang memiliki permasalahan sehingga memuat bagaimana langkah pemecahannya. Permasalahan tersebut dapat diambil dari dari buku teks atau sumber lainnya yang merupakan peristiwa yang aktual. Penerapan strategi pembelajaran berbasis masalah dengan pemecahan masalah adalah sebagai berikut : 1. Siswa diposisikan tidak menyimak tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh 2. Siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir rasional, yaitu berpikir melalui kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat keputusan secara objektif. 3. Para siswa mampu mengembangkan dan mencari pemecahan masalahnya dengan berbagai media 4. Siswa dapat mempertanggungjawabkan hasil kajiannya di depan kelas Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.Artinya, proses berpikir secara deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu; sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah yang diselesaikan pada dasar dan fakta yang jelas. Dalam mengimplementasikan strategi pembelajaran berbasis masalah maka guru harus memilih dan memilah bahan pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan dan dapat diambil dari buku teks atau sumber lainnya mengenai suatu peristiwa.Tujuan dari strategi ini salah satunya adalah bertujuan untuk meningkatkan keterampilan 123 andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi berpikir siswa khususnya berpikir kritis siswa dalam memecahkan suatu masalah. Contoh lain tahapan PBL adalah: 1. Para siswa disajikan suatu masalah (contohnya; suatu kasus, catatan/ hasi penelitian, hasil rekaman videotape). Para siswa (dalam kelompok) mengorganisir gagasan mereka dan pengetahuan sebelumnya berhubungan dengan masalah, dan mencoba untuk mendefinisikan alam secara luas tentang suatu permasalahan. 2. Para siswa menyikapi pertanyaan, yang disebut “belajar isu-isu” pada aspek-aspek masalah yang mereka tidak pahami melalui diskusi. Dalam hal pelajaran isu-isu ini direkam oleh kelompok siswa itu. Para siswa secara terus menerus didorong untuk mendefinisikan apa yang mereka ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui itu juga tidak kalah penting. 3. Para siswa diatur dalam suatu kepentingan untuk memahami isuisu yang dimunculkan dalam sesi itu. Mereka memutuskan pertanyaanpertanyaan yang akan diikuti oleh keseluruhan kelompok, dan isu-isu yang dapat ditugaskan untuk individual yang kemudian diperbesar dalam kelompok. Para siswa dan instruktur juga mendiskusikan sumber daya apa yang akan diperlukan dalam rangka riset belajar isu, di mana mereka bisa ditemukan. 4. Ketika para siswa berkumpul kembali, mereka mengeksplorasi belajar isu yang sebelumnya, kemudian diintegrasikan dalam pengetahuan baru mereka ke dalam konteks masalah itu. Para siswa juga didorong untuk meringkas pengetahuan mereka dan menghubungkan suatu konsep baru ke yang lama. Mereka melanjutkan untuk mendefinisikan/menggambarkan belajar isu-isu baru ketika mereka maju melalui masalah itu. Para siswa segera melihat bahwa belajar itu adalah suatu proses berkelanjutan, dan bahwa akan selalu ada belajar tentang isu-isu itu dapat dieksplorasikan. Hakikat Masalah dalam Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Masalah dalam strategi pembelajaran berbasis masalah adalah masalah yang bersifat terbuka, artinya jawaban dari masalah tersebut balum pasti. Di sini setiap siswa dan guru dapat mengembangkan berbagai kemungkinan jawaban. Dengan demikian, strategi pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan yang ingin dicapai dalam strategi pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analisis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah. Hakikat masalah dalam strategi pembelajaran berbasis masalah adalah kesenjangan antara situasi nyata dan kondisi yang diharapkan atau antara kenyataan terjadi dengan yang diharapkan. Kesenjangan dapat dirasakan adanya keserakahan, keluhan, kekisruhan, atau kecemasan. Oleh karena itu, materi pelajaran tidak bersumber pada teks buku tapi dapat dengan media-media lainnya. Karakter dari pembelajaran berbasis masalah antara lain: 124 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) 1. Belajar dimulai dng suatu masalah tertentu; 2. Masalah yang dikaji bersifat real/ nyata; 3. Memberikan tanggung jawab kepada siswa untuk mengerjakan secara mandiri dan kelompok; 4. Menuntuk berfikir kritis, sensitif, dan terampil memecahkan masalah; 5. Menuntut pembelajar mampu mendemonstrasikan suatu produk atau kinerja tertentu; Adapun kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam strategi pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut. 1. Mengandung isu-isu 2. Bersifat familiar 3. Bahan Berhubungan kepentingan dengan 4. Mengandung kompetensi 5. Sesuai minat Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri pembelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacammacam pertanyaan disekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi….”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan pebelajar tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa/ mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Lebih lanjut Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model berperan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). PBL memiliki karakteristikkarakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena: (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya 125 andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/ mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalahmasalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunikan, yaitu: 1. Belajar dalam konteks; tugas otentik, isu-isu, masalah-masalah yang real/ nyata, 2. Guru dan siswa menjadi; colearners, coplanners, coproducers, & coevaluators, 3. Didasarkan atas riset akademis dan praktis dan sedikit ceramah, openended. 4. Mengembangkan kolaborasi dalam pemecahan masalah for life-long learning Keunggulan dan kelemahan pembelajaran berbasis masalah, antara lain: 1. Keunggulan: a. memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kreativitas, bereksplorasi, eksperimentasi, dan lainnya; b. melatih kepekaan terhadap isu-isu/ opini sosial yang hidup. c. mengembangkan keterampilan sosial melalui kolaborasi teman sejawat; d. menghasilkan suatu kinerja dan produk yang nyata; e. melatih keterampilan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalmasalah real (nyata) yang ada di lingkungannya; 2. Kelemahan; a. di satu sisi menyaenangkan, tetapi juga dapat menimbulkan stress bagi siswa, dan tidak efektif-efisien dalam pembelajaran; b. memerlukan suatu persiapan yang matang dan serta jadual kegiaan yang tepat; Penilaian dalam pembelajaran berbasis masalah adalah penilaian harus bersifat holistik; Penilaian mencakup: (a). kecerdasan dan kepekaan terhadap masalah-masalah; (b) memecahkan masalah/mengambil keputusan; (c). keterampilan sosial; Tahapan-Tahapan Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah Banyak para ahli menjelaskan bentuk penerapan strategi pembelajaran berbasis 126 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) masalah, diantaranya adalah John Dewey (Sanjaya, 2006:217) menjelaskan 6 langkah strategi pembelajaran berbasis masalah, yaitu : 7. melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan; 1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa dalam menemukan masalah yang akan dipecahkan. Sedangkan strategi pembelajaran berbasis masalah dalam kelompoknya terdapat lima langkah yang dikemukakan oleh David Johnson & Johnson (Sanjaya, 2006:217) adalah sebagai berikut. 2. Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang. 3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa dalam merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 4. Mengumpulkan data, yaitu langkah siswwa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. 5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa dalam mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan spenerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan 6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa dalam menggambarkan rekomendasi yang dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan. Secara lebih rinci Panen (2001) menguraikan delapan tahapan dalam mengimplementasikan PBL, yakni: 1. mengidentifikasi masalah; 2. mengumpulkan data; 3. menganalisis data; 4. memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya; 5. memilih cara masalah; untuk memecahkan 6. merencanakan penerapan pemecahan masalah; 8. melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah. 1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini, guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan. 2. Mendiagnosa masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah serta menganalisis berbagai faktor, baik faktor yang bisa menghambat maupun faktor yang mendukung dalam pemecahan masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil hingga pada akhirnya siswa dapat merumuskan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambatan yang diperkirakan. 3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahap ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan. 4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan. 5. Melakukan evaluasi, baik melalui evaluasi proses maupun hasil. Evaluasi 127 andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan; sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan. Secara lebih rinci Panen (2001) menguraikan delapan tahapan dalam mengimplementasikan PBL, yakni: 1. mengidentifikasi masalah; 2. mengumpulkan data; 3. menganalisis data; 4. memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya; 5. memilih cara masalah; untuk memecahkan 6. merencanakan penerapan pemecahan masalah; 7. melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan; 8. melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah. Kesimpulan Pada era globalisasi ini, para ilmuwan pendidikan telah berusaha membangun berbagai konsep dan teori pendidikan baru yang dikembangkan untuk semakin meningkatkan kualitas out put pendidikan. Semua itu dirorong oleh paradigma bahwa peserta pendidikan harus mampu menyiapkan peserta didik untuk menghadapi berbagai tantangan pada zamannya. Pembelajaran IPS di sekolah menengah memiliki peran yang penting untuk ikut serta menyiapkan peserta didik memiliki kemampuan dalam mengembangkan nilai-nilai kerja keras, pandangan yang berorientasi ke depan, hemat dan jujur. Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajarmengajar di kelas. Salah satu pembelajran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik adalah pembelajaran berbasis masalah. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (fokus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar dimana siswa/mahasiswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif. Pembelajaran berbasis masalah (Probelem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Pendekatan baru dalam dunia pendidikan termasuk PBL harus diarahkan untuk tujuan mengembangkan 128 MORES: Jurnal Pendidikan (Hukum, Politik, dan Kewarganegaraan), Vol. I, No.2 (Agustus 2014) keterampilan social peserta didik. Pengembangan keterampilan sosial dalm pembelajaran IPS penting sekali dilakukan guru karena berhubungan dengan tujuan pendidikan yaitu mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan dimasa depan Keterampilan-keterampilan social tersbut sangat dibutuhkan oleh peserta didik untuk tetap bisa eksis dalam kehiduapan di era globalisasi. Selain itu, keterampilan social sanagta diperlukan dalam usaha menciptakan masayarakat yang tertib, disiplin, teratur, dan mandiri. Lembaga-lembaga pendidikan dan para pendidik IPS disekolah harus ikut bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-maslaah tersebut serta mengajarkan mereka keterampilanketerampilan hidup bagi para siswanya. Dengan pembelajaran berbasis masalah tersebut siswa dapat memiliki keterampilan sosial antara lain; keterampilan mengolah informasi, ketrampilan untuk bekerjasama dengan orang lain serta keterampilan berkomunikasi, keterampilan dalam menggunbakan teknologi, keterampilan berpikir, dan keterampilan pengendalian diri, keterampilan yang berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat, serta keterampilan dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah. Namun, semua itu tidak akan berhasil dengan baik jika tidak ada kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh dari pendidik, siswa, maupun lembaga pendidikan tersebut. Perlu ada kesadaran yang berdampak pada perubahan budaya dari guru, siswa maupun lembaga pendidikan agar penerapan berbagai model pembelajaran baru itu bisa mewujudkan tujuan pendidikan yang diharpkan bersama. Terdapat 3 (tiga) ciri utama dari strategi pembelajaran berbasis masalah, yaitu : 1. Strategi pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktifitas pembelajaran di mana para siswa bukan terfokus pada mendengarkan, mencatat, kemudian menghapal materi pelajaran tetapi siswa difokuskan untuk aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, serta menyimpulkan. 2. Aktifitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Strategi pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. 3. pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah dengan proses secara sistematis dan empiris. Masalah dalam strategi pembelajaran berbasis masalah adalah masalah yang bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah tersebut balum pasti. Di sini setiap siswa dan guru dapat mengembangkan berbagai kemungkinan jawaban. Dengan demikian, strategi pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi dalam mengumpulkan dan menganalisi data secara lengkap dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Banyak para ahli menjelaskan bentuk penerapan strategi pembelajaran berbasis masalah, diantaranya adalah John Dewey (Sanjaya, 2006:217) menjelaskan 6 langkah strategi pembelajaran berbasis masalah, yaitu : 1. Merumuskan masalah 2. Menganalisis masalah 3. Merumuskan hipotesis 129 andrian, Peran Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran IPS dalam Menyiapkan Siswa Menghadapi Era Globalisasi 4. Mengumpulkan data 5. Pengujian hipotesis 6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah. REFERENSI Albanese, M.A. dan Mitchell, S. 1993. Problem-Based Learning: A Review of Literature on Its Outcomes and Implementation Issues, Acad. Medicine. 68(1), pp 52-81. Armstrong, E. 1991. A hybrid model of problem-based learning”. Dalam Boud D dan Feletti G (editors): The challenge of problem-based learning, 137-149. London, Kogan Page. Barr RD and Tagg, J. 1995. From teaching to learning - a new paradigm for undergraduate education. Change, Nov/Dec.1995:13-25 (juga tersedia online pada http://critical. tamucc.edu/~blalock/readings/ tch2learn.htm) Budimansyah, D. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: PT Genesindo. Djahir, A.K. (2004). Membina dan Meningkatkan Profesionalisme Tugas Peran Pendidik.Prodi PU PPS UPI. Dewey, J. (1939). Theory of Valuation. Chicago: The University of Chicago Press. Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual teaching and Learning). Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Komalasari, K. 2010. Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT Refika Aditama. Merrill, M.D. 2002. “A pebble-in-thepond model for instructional design”. dalam Performance Improvement 41 (7): 39–44. doi:10.1002/ pfi.4140410709. available a t http://www.ispi.org/pdf/Merrill.pdf Milles, David. 2008. Problem-Based Learning, juga tersedia online pada david.mills@c- sap.bham.ac.uk Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Kencana Prenada Media Grup. Somantri, N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial, Suatu Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Kasara Supritana, Nana. 2007. Kontruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung: Historia Utama Press Syamsudin, T. 2006. Landasan Pendidikan. Bandung: UPI Sweller, J. 2006. “The worked example effect and human cognition”. Dalam Learning and Instruction 16 (2): 165–169. doi:10.1016/j. learninstruc.2006.02.005. Sweller, J., Van Merrienboer, J., & Paas, F. 1998. Cognitive architecture and instructional Design. Educational Psychology Review 10: 251–296. doi:10.1023/ A:1022193728205. Wiriatmadja, Rochiati Wiriaatmadja. (2001). Pendidikan Sejarah di Inonesia Perpektif lokal, nasional dan. global. Bandung: Historia Press Utama 130