BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak geografis Cina dan Asia Selatan yang berdekatan telah membuat negara-negara tersebut terhubung dalam lingkaran kerjasama. Kondisi geografis tersebut tidak hanya terbentang begitu saja, karena dengan adanya kondisi ini berbagai masalah dapat timbul, terutama di kawasan perbatasan. Selain hal tersebut yang menjadi menarik adalah letak geografis Cina yang dikelilingi oleh vital regional powers,1 dimana beberapa negara di Asia Selatan mempunyai tenaga nuklir yang dikembangkan. Salah satu diantaranya adalah India dan Pakistan. Sementara itu India juga mempunyai kekuatan ekonomi yang hampir menyamai Cina. Sehingga beberapa faktor tersebut menjadi pengaruh tersendiri bagi Cina untuk menentukan strategi dan menjalankan kebijakan luar negeri, serta diplomasinya, terutama pada era pemerintahan Presiden Hu Jintao. Presiden Hu Jintao menggunakan strategi yang berbasis pada perdamaian dalam membina hubungannya dengan negara-negara lain. China’s Peaceful Development dan Harmonius World, serta Good Neighbourhood Diplomacy muncul sebagai bentuk inisiasi Presiden Hu Jintao yang melihat prospek Cina ke depan dengan rasa optimis. Presiden Hu Jintao memperkenalkan Cina dengan konsep atau bentuk baru, dimana mempunyai niat yang damai dalam pergaulannya di dunia internasional. China’s Peaceful Development lebih dipahami sebagai konsep pembangunan yang berlandaskan pada nilai-nilai perdamaian. Cina memandang perdamaian sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan penghidupan secara layak.2 Berbagai strategi yang berlandaskan prinsip-prinsip di atas juga berkaitan dengan adanya eksistensi dari kebijakan luar negeri Cina sendiri. Kebijakan luar negeri Cina yang berdasar pada hubungan antar negara atau state-to-state relations dipengaruhi oleh doktrin Mao yang mencetuskan lima prinsip dalam eksistensi perdamaian. Prinsip-prinsip tersebut adalah menghormati integritas wilayah dan kedaulatan negara lain, menentang agresi, tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri, persamaan dan keuntungan bersama, serta 1 Pang Zhongying, (2013), Does China Need a New Foreign Policy?, dipresentasikan dalam Konferensi Stockholm International Peace Reasearch Institute, www.sipri.org, diakses pada 8 Januari 2015. 2 The Path of China’s Peaceful Development: What It Is About, http://www.china.org.cn/government/whitepaper/2011-09/06/content_23362449.htm, diakses pada 20 Juli 2014. 1 perdamaian yang berdampingan atau eksistensi dari perdamaian itu sendiri.3 Namun kebijakan luar negeri Cina pada masa Presiden Hu Jintao telah ditambah menjadi ‘four no’s’ (sibu), yang mempunyai makna no hegemony, no power politics, no military alliances, dan no arms racing.4 Pengutamaan keuntungan bersama juga menjadi salah satu fokus kebijakan luar negeri Presiden Hu Jintao, namun konsep kebijakan luar negeri yang dominan pada era tersebut tetap berpijak pada ‘peaceful rise’ dan ‘harmonious world’.5 Sedangkan untuk diplomasi pada era Presiden Hu Jintao ini bersamaan dengan adanya berbagai perubahan di lingkungan diplomasi sendiri, terutama pada pasca perang dingin. Pergeseran aktor dalam diplomasi yang semula hanya ditentukan oleh negara menjadi bergeser pada aktor-aktor lainnya yang juga mempunyai kesamaan peran dengan negara dalam mengemban tugas untuk berdiplomasi.6 Hal tersebut juga karena dipengaruhi oleh pergeseran isu pasca perang dingin. Aktor selain negara seperti pebisnis, ilmuwan, pekerja profesional, bahkan sampai dengan aktor di dalam organisasi internasional atau sering disebut dengan aktivis. Kegiatan mereka telah mewakili dari salah satu bentuk diplomasi yang ada. Berbagai bentuk diplomasi seperti, diplomasi publik yang berkaitan dengan pendekatan diplomasi multi jalur menjadi bentuk diplomasi yang sering digunakan oleh negara tersebut. Dalam hal ini Cina telah dapat menggeser pola diplomasinya. Seperti yang diungkapkan oleh Jonathan McClory bahwa soft power Cina telah menggeser pola diplomasi menjadi lebih seimbang.7 Diplomasi yang dahulunya menggunakan kekerasan sekarang menjadi lebih damai, karena adanya nilai hak asasi yang juga ikut tumbuh. Pola tersebut juga secara otomatis mengubah keputusan dalam kebijakan luar negeri. Cina yang dahulunya selalu menggunakan kekuatan senjata dalam menyelesaikan masalah dengan daerah lain, sekarang telah menggunakan cara-cara yang lebih damai untuk mempertahankan kepentingannya. Beberapa contoh kebijakan luar negeri Cina yang diterapkan di India seperti energy foreign policy, dimana sektor energi menjadi hal utama yang mendapat perhatian karena kebutuhan energi kedua negara. Selanjutnya di Pakistan, kebijakan luar negeri Cina lebih cenderung bersifat 3 Marc Lanteigne, (2009), Chinese Foreign Policy, An Introduction, Oxon, Routledge, hal. 11 Ibid 5 Ibid, hal. 12 6 Sukarwarsini Djelantik, (2008), Diplomasi antara Teori & Praktek, Yogyakarta, Graha Ilmu. 7 John McClory, (2010), The New Persudaders: An International Ranking of Soft Power, Institute for Government, http://www.instituteforgovernment.org.uk/sites/default/files/publications/The%20new%20persuaders_0.pdf, pada 17 Maret 2015. 4 2 proaktif karena hampir di berbagai sektor pembangunan Cina ikut terlibat, dan cenderung untuk mewarkan bantuan terlebih dahulu terhadap Pakistan. Pada tesis ini penulis memilih untuk fokus pada negara India dan Pakistan karena kedua negara tersebut merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Cina di kawasan Asia Selatan, merupakan dua negara yang cukup kuat secara ekonomi dan politik di kawasan tersebut, dan termasuk dalam vital regional powers (negara yang mempunyai kekuatan nuklir). Untuk negara India, Cina mempunyai fokus khusus di bidang perekonomian dan perdagangan. Tingkat perekonomian India yang hampir menyamai Cina telah membuat pertimbangan tersendiri bagi Cina dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya, termasuk menjalankan diplomasinya. India dari segi ekonomi mempunyai angka GDP yang cukup tinggi di kawasan tersebut.8 Selain itu India juga menjadi anggota di beberapa organisasi tingkat internasional, seperti BRICS, G-20, G-77, dan the Non-Aligned Movement. Sedangkan alasan untuk Pakistan karena negara tersebut mempunyai masalah keamanan dengan Cina. Daerah yang berbatasan secara langsung di kawasan Xinjiang, Cina sering menjadi tempat berkumpulnya para teroris atau pemberontak, dimana beberapa diantara mereka berasal dari suku Uighur Cina.9 Selain itu, Pakistan juga mempunyai Pelabuhan Gwadar yang menjadi pintu utama bagi Cina dalam berdagang di kawasan Samudera Hindia. Kepentingan pembangunan reaktor nuklir Pakistan juga menjadi fokus Cina dalam menjalankan diplomasinya. Sehingga kesempatan kerjasama dapat timbul dengan adanya faktor-faktor tersebut. Selanjutnya, hubungan diplomatik Cina dengan negara-negara di Asia Selatan, terutama India dan Pakistan juga mengalami dinamika. Dengan India, Cina sebenaranya pernah mengalami sedikit masalah sehingga menimbulkan perang. Konflik antara India dan Cina yang terjadi pada tahun 1962 dikarenakan masalah perbatasan di sebelah barat, timur, dan tengah, dimana negara-negara tersebut mempunyai batas secara langsung. Namun, kerjasama dengan India masih dapat dilakukan lagi oleh Cina di beberapa bidang. Dengan Pakistan, Cina sudah melalui sekitar 60 tahun lebih bekerjasama dengan negara tersebut. Banyak sekali diplomasi yang dijalankan Cina di Pakistan, terutama yang berhubungan 8 Mu Chunshan, (2014), China’s Choice: India or Pakistan?, The Diplomat, edisi 27 September 2014, www.thediplomat.com, diakses pada 6 Januari 2015. 9 Wayne, Inside China’s War on Terrorism, & Chung, China War’s on Terror: September 11 & Uighur Separatism, dikutip dalam Michael Beckley, (2012), China and Pakistan: Fair-Weather Friends, www.yalejournal.org, diakses pada 11 Nopember 2014. 3 dengan ekonomi dan perdagangan. Hubungan kerjasama antara Cina dan Pakistan dimulai pada tahun 1951.10 Selain itu, karena didukung oleh adanya diplomasi multi jalur yang diterapkan oleh Cina terhadap negara-negara di Asia Selatan, dimana aktor diplomasi negara telah bergeser menjadi aktor bukan negara. Dalam tesis ini mengambil basis diplomasi berdasarkan aktor, karena adanya pergeseran dari aktor negara ke bukan negara yang terlihat lebih sering terjadi, dan meningkat intensitasnya. Selain itu hal-hal yang dapat menimbulkan konflik dapat diminimalisir dengan adanya aktor bukan negara dalam lingkup diplomasi. Dalam tesis ini mengambil contoh perusahaan dan pelajar, karena kedua aktor tersebut paling sering mengadakan kegiatan lintas negara, dan dapat menjadi sumber keuntungan bagi negara masing-masing, karena bisa menjadi jalan bagi terbukanya hubungan diplomatik. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, pertanyaan yang bisa dimunculkan oleh penulis adalah: “Mengapa Cina perlu melakukan diplomasi ke negara-negara seperti India dan Pakistan?” dan “Bagaimana upaya diplomasi Cina terhadap India dan Pakistan?”. C. Kajian Literatur Hubungan antara Cina dengan negara-negara di Asia Selatan, terutama India dan Pakistan lebih cenderung dikarenakan adanya keterikatan geografis yang berujung pada masalah keamanan, serta hal-hal yang berhubungan dengan faktor ekonomi seperti perdagangan. Kondisi negara-negara di kawasan tersebut yang juga masih menyandang status negara berkembang membuat Cina bisa berbuat lebih di berbagai bidang. Hal ini dikarenakan banyaknya akses yang dapat disasar oleh Cina untuk dapat mengembangkan diplomasinya, agar mendapat keuntungan dalam sebuah kerjasama yang nantinya akan dicapai. Cara Cina dalam berdiplomasi juga cenderung menggunakan cara yang halus. Hal ini berkaitan dengan prinsip kebijakan luar negeri Cina pada saat itu yang mempunyai prinsip harmonious world. Selanjutnya ada beberapa literatur yang dapat dijadikan dasar bagi analisis isu-isu di atas. Jian Wang menulis buku dengan judul Soft Power in China, Public Diplomacy Through Communication, mengungkapkan bahwa Cina mencoba kembali membangun dan memproyekkan dirinya ke dalam soft power melalui media komunikasi.11 Cina berusaha untuk mengeksplorasi taktik diplomasi publiknya untuk mengejar citranya di mata internasional, atau global image. Publik Cina mempunyai atensi yang besar terhadap status 10 China-Pakistan Economic Relations: Lessons for Pakistan, (2013), http://www.jespk.net/publications/137.pdf, diakses pada 12 Juli 2014, 15.04 11 Jian Wang, (2011), Soft Power in China, Public Diplomacy Through Communication, New York, Palgrave Macmillan , hal. 1 4 negaranya di mata internasional. Dalam hal ini berupaya untuk membangun wajah baru yang lebih ramah terhadap dunia internasional, terutama dalam membina hubungannya dengan negara-negara lain. Zhang Qingmin juga turut serta menulis mengenai diplomasi Cina dengan judul China’s Diplomacy, mengatakan bahwa “contructing a harmonius world of sustained peace and common prosperity is the fundamental aspiration and unremitting goal of China’s diplomacy”.12Cina berkeinginan menciptakan diplomasi antar negara dengan berlandaskan pada perdamaian dan keharmonisan dunia. Masih dalam tulisannya, Zhang Qingmin mengungkapkan fakta bahwa Cina telah sukses membangun hubungan bilateral dengan beberapa negara di Asia Selatan seperti India, Pakistan, dan Nepal sejak tahun 1996. Juyan Zhang dalam penelitiannya yang berjudul Making Sense of the Changes in China’s Diplomacy: Direction of Information Flow and Messages, mengatakan bahwa diplomasi publik Cina telah berubah, dimana pada awalnya menggunakan model one-way propaganda dan public information menjadi mixed-motivemodel atau campuran dari one-way and two-way communications. Selain itu juga ada perubahan dari public diplomacy messages yang melingkupi berbagai aspek, seperti strategi, motivasi, simbol bahasa, dll.13 Selanjutnya dalam bukunya yang berjudul China Rising: Peace, Power, and Order in East Asia, David C. Kang mengungkapkan bahwa Cina telah memodernisasi berbagai aspek pembangunannya, termasuk bidang militer, serta telah bergabung dalam berbagai institusi baik secara regional maupun internasional. Pada waktu yang bersamaan negara-negara di kawasan Asia Timur juga ikut meningkatkan hubungan ekonomi, diplomatik, maupun militernya dengan Cina.Dalam hal ini Cina telah muncul sebagai kekuatan regional baru tanpa memprovokasi negara di sekitar regionalnya.14 Di sisi lain Bates Gill menggambarkan pendapatnya melalui buku tentang Rising Star China’s New Security Diplomacy, yang pada intinya mengungkapkan bahwa Cina saat ini muncul dengan diplomasi keamanan yang baru, dimana dapat menjadi tantangan tersendiri bagi negara lainnya, termasuk pada sistem internasional. Hal ini membuat Cina dipandang sebagai mitra yang dapat berkontribusi penuh dalam komunitas internasional.15 12 Zhang Qingmin, (2011), China’s Diplomacy, The Pittsburgh Summit 2009 Chapter I Building a Harmonius World of Sustained Peace and Common Prosperity , Cengage Learning Asia Pte Ltd, hal. 3 13 Juyan Zhang, (2008), Making Sense of the Changes in China’s Public Diplomacy: Direction of Information Flow and Messages, Texas 14 David C. Kang, (2007), China Rising: Peace, Power, and Order in East Asia, New York, Columbia University Press, hal. 3-4. 15 Bates Gill, (2007), Rising Star China’s New Security Diplomacy, Washington D.C, Brooking Institution Press 5 Andrew Small menulis dalam artikelnya yang berjudul Regional Dynamics and Strategic Concern in South Asia: China’s Role, mengungkapkan bahwa pengaruh dan kepentingan Cina di kawasan Asia Selatan didasari pada kekuatan ekonomi Cina yang meningkat dan pembangunan beberapa wilayah di daerah barat Cina, seperti Xinjiang, dan juga daerah seperti Tibet, serta barat daya Cina, yaitu Propinsi Yunnan. Beberapa daerah di Cina tersebut mempunyai batas langsung dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan. Dalam artikel tersebut juga disebutkan berbagai kerjasama dengan negara seperti Pakistan, India, dan Afghanistan yang masih merupakan negara di kawasan Asia Selatan.16Sehingga pengaruh Cina di kawasan Asia Selatan lebih berlandaskan pada kepentingan ekonomi. Beberapa tulisan tentang hubungan kerjasama dan diplomatik Cina di beberapa negara di Asia Selatan diantaranya, Haris Raqeeb Azeemi dalam artikelnya yang berjudul “55 Years of Pakistan-China Relationship”, mengatakan bahwa Pakistan dan Cina membutuhkan “a multidimensional strategy” untuk mempertahankan hubungan kedua negara tersebut, walaupun mereka tetap mempunyai kepentingan regional dan internasional secara masingmasing. Pada saat itu Pakistan menganggap Cina sebagai mitra yang dapat membantu Pakistan berhadapan dengan India. Namun, terlepas dari hal itu, Pakistan juga lebih membutuhkan Cina untuk kepentingan bantuan ekonomi dan investasi, dimana area atau geografis kedua negara berbatasan secara langsung.17 Kerjasama kedua negara termasuk sangat erat, karena kedua negara juga saling mendukung, baik dalam ranah bilateral, maupun dalam ranah keputusan dalam PBB. P.L. Bhola juga berargumen dalam artikelnya yang berjudul, “Sino-Pak Relations in The Emerging New World Order”, juga mengungkapkan bahwa kerjasama kedua negara sudah terjalin sangat lama. Semakin eratnya hubungan kedua negara sejak tahun 1950an ditambah dengan peristiwa pembangunan jalan di wilayah Cina, namun berbatasan langsung dengan India, hal tersebut yang pada akhirnya mengakibatkan hubungan Cina dan Pakistan meningkat.18 Hal ini juga disebabkan karena Pakistan bermasalah dengan India, salah satunya masalah perbatasan. G.W. Choudhury menuliskan sendiri pendapatnya tentang kebijakan Cina di Asia Selatan dengan judul, “China’s Policy Toward South Asia”, mengungkapkan berbagai 16 Andrew Small, Regional Dynamics and Strategic Concern in South Asia: China’s Role, (2014), http://csis.org/files/publication/140127_Small_RegionalDynamics_China_Web.pdf, diakses pada 20 Juli 2014 17 Haris Raqeem, A, “55 Years of Pakistan-Cina Relationship”, Pakistan Horizon, published by Pakistan Institute of International Affairs, hal.1 18 P.L. Bhola,”Sino-Pak Relations in the Emerging New World Order”, Indian Journal of Asian Affairs, dipublikasikan oleh Manju Jain, Stable URL: http/www.jstor.org/stable/41950381, hal.13 6 peristiwa hubungan Cina dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan.19 India dan Pakistan yang merupakan negara yang erat menjalin hubungan dengan Cina diungkapkan menjadi mitra yang cukup baik, walaupun pernah terlibat kontradiksi antara Cina dengan India. Selanjutnya dalam tulisan China and India: Prospect for Peace yang ditulis oleh Jonathan Holshag dan diriview ulang oleh Andrew J. Nathan menjelaskan bahwa hubungan Cina dan India telah mulai mencair sejak abad ini (abad 21). Holshag juga menganalisis mengapa kedua negara tersebut semakin dekat, dan hal ini dikarenakan adanya ikatan dalam pertumbuhan perdagangan dan investasi, adanya “road diplomacy”, dimana merupakan kerjasama pembukaan rute perjalanan menuju negara-negara lain. Ia juga menyebutkan bahwa hubungan kedua negara tersebut masih diselimuti dengan bayangan-bayangan konflik seperti konflik perbatasan atau wilayah, maupun konflik dalam isu nuklir.20 Beberapa literatur di atas telah mengungkapkan bahwa Cina mempunyai peran yang cukup dipertimbangkan di wilayah Asia Selatan. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kepentingan Cina di Asia Selatan. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew Small, bahwa tingkat perekonomian dan pembangunan Cina di wilayah yang berbatasan dengan Asia Selatan meningkat. Selain itu diplomasi dengan cara halus atau damai juga menjadi salah satu fokus Cina dalam mengembangkan kepentingannya di Asia Selatan, terutama di India dan Pakistan. Selain karena adanya pergeseran isu dan aktor dalam hubungan internasional. kecenderungan diplomasi dengan cara damai tersebut juga dikarenakan prinsip yang melandasi kebijakan luar negeri Cina, sebagai contoh kebijakan luar negeri Cina pada era pemerintahan Presiden Hu Jintao. Dengan berbagai tulisan yang telah ada, tesis ini juga mengambil fokus diplomasi yang dilakukan oleh Cina, terutama di era pemerintahan Presiden Hu Jintao. Perbedaan dalam tesis adalah fokus diplomasi yang menggunakan diplomasi multi jalur, dimana mengambil contoh aktor dari kalangan perusahaan dan pelajar. D. Kerangka Konseptual Diplomasi dalam dunia hubungan internasional sudah menjadi sesuatu yang penting dan biasa untuk digunakan. Negara-negara melakukan diplomasi dengan tujuan untuk meraih kepentingan mereka, terutama kepentingan nasional negara. Nicolson yang mengutip 19 G.W.Choudhury, Op.Cit. Andrew J. Nathan, (2010), China and India: Prospect for Peace by Jonathan Holshag, Foreign Affairs,Vol. 89, No. 2 (March/April 2010), Published by: Council on Foreign RelationsStable URL: http://www.jstor.org/stable/20699900, diakses pada 27 Agustus 2014 20 7 pengertian diplomasi dari Oxford English Dictionary mengatakan21:“Diplomacy is the management of international relations by negotiation; the method by which these relations are adjusted and managed by ambassadors and envoys; the business or art of the diplomatist. Diplomasi diartikan sebagai manajemen hubungan antar negara dengan cara negosiasi. Peran duta besar dan perwakilan negara menjadi salah satu unsur dalam diplomasi tersebut. Russet dan Starr juga mengungkapkan bahwa diplomasi adalah “a means by which a state directly influences another”. Adanya pengaruh satu negara terhadap negara yang lain menjadi salah satu landasan bagi eksistensi diplomasi. Selain itu, Satow juga memberikan definisi tentang diplomasi, yaitu22: “The application of intellegence and tact to the conduct of official relations between the goverments of independent states, extending sometimes also to their relations to vassal states, or more briefly still the conduct of business between state by peaceful means”. Satow mengungkapkan bahwa diplomasi juga berisi taktik hubungan antar negara independen. Selain itu diplomasi juga mengarahkan tindakan antar negar untuk bertindak dengan cara damai. Sedangkan K.M Panikkar menyatakan bahwa diplomasi ada kaitannya dengan politik internasional dengan seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.23 Dari definisi-definisi diatas, bisa dimengerti bahwa diplomasi merupakan suatu cara atau pola dalam membangun sebuah hubungan dengan negara lain. Negara-negara di dunia mempunyai hak dan kebebasan untuk melakukan hubungan dengan negara lain. Untuk itu, diplomasi menjadi salah satu cara yang penting dalam membangun hubungan tersebut. Diplomasi sendiri bisa terdiri dari berbagai macam model. Contohnya adalah diplomasi publik, preventive diplomacy, aid diplomacy, military diplomacy, dan aspek-aspek lain, dimana bisa digunakan sebagai media untuk berdiplomasi. Selain itu, diplomasi juga bisa menggunakan pendekatan multi-track diplomacy, dimana terdiri dari berbagai aktor diplomasi, baik negara maupun non negara. 1. Diplomasi Multi Jalur Diplomasi dengan menggunakan pendekatan ini lebih menekankan pada aktor-aktor atau pelaku dari diplomasi tersebut. Aktor diplomasi yang dulunya mayoritas dipegang oleh negara, sekarang mulai bergeser pada aktor-aktor non negara. Meningkatnya peran aktor non negara tersebut di awal pada tahun 1990an. Dr. Louise Diamond dan Duta Besar John 21 Sir Harold Nicolson, Diplomacy: Institute for The Study Diplomacy Editio, Washington, hal.24 Ibid, hal.24 23 S.L. Roy, Diplomasi, 1991, Jakarta, Rajawali Pers, hal.2 22 8 McDonald, dalam bukunya yang berjudul Multi-Track Diplomacy, A System Approach to Peace, telah membahas beberapa aktor diplomasi, baik negara maupun non negara, seperti24: a. Pemerintah Konsep diplomasi ini dilakukan di tingkat birokrat, dengan tujuan mendorong adanya kepercayaan, percaya diri, dan pemahaman antar negara. Selain itu juga mendorong adanya negosiasi, mediasi, intervensi dalam krisis, dan resolusi konflik, dimana hal tersebut dapat mencegah adanya perang atau konflik. Pemerintah menjadi kendaraan utama dari kekutan atau power sebuah negara. Sehingga mereka sehendaknya mewakili seluruh kepentingan nasional negara, dan tidak berpihak pada salah satu pihak. Pada dasarnya dalam konsep ini menuntut pemerintah untuk selalu berperan aktif dalam membina hubungannya dengan negara lain. Diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan membawa dampak yang baik bagi hubungan kedua negara. Pemerintah dalam hal ini juga bertindak sebagai pengambil keputusan, selain perannya untuk bernegosiasi, ataupun sebagai mediator. Dalam diplomasi Cina, peran pemerintah sudah terlihat sejak awal Cina membuka hubungan diplomatiknya dengan negara-negara lain, baik pada masa perang dunia dan perang dingin, sampai dengan sebelum adanya pergeseran aktor. Diplomasi Cina di negara-negara kawasan Asia Selatan juga tidak bisa terlepas seutuhnya dari peran pemerintah. Selain hal tersebut, masih banyak event atau acara-acara yang sering diselenggarakan oleh pemerintah untuk menarik minat negara-negara lain. b. Profesional Pendekatan diplomasi dengan cara ini menggunakan aktor utama, yaitu professional atau ahli dari berbagai bidang. Bentuk kegiatan merekalah yang mewakili diplomasi antar negara.Dimana, diplomasi yang mereka jalankan nantinya membantu dalam resolusi konflik, dengan misi mewujudkan perdamaian. Secara garis besar konsep ini menggambarkan aktifitas para ahli yang tidak formal, dan bukan bagian dari birokrat, namun mereka mempunyai keahlian untuk bisa berhubungan dengan pihak-pihak yang membutuhkan. Mereka membantu dengan cara membangun komunikasi, pemahaman, dan berkolaborasi untuk mengatasi permasalahan. Diplomasi dalam jalur ini bersifat transformasionalis. Sehingga para ahli menuntut adanya transformasi dari sebuah sistem, agar negara yang mereka bantu juga mendapat 24 Dr. Louis Diamond & John McDonald, (1996), Multi-Track Diplomacy, A System Approach to Peace, Connecticut, Kumarian Press 9 keuntungan. Kebanyakan dari para ahli tersebut berjuang pada ranah kemanusiaan seperti pembelaan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan, penegakkan hukum, dll. Aktivitas di dalam jalur ini ada bermacam-macam. Contohnya seperti pelatihan penyelesaian masalah (problem solving), diajak untuk menjadi mediator atau konsultan dalam proses perwujudan perdamaian, diplomasi secara privat, dialog, pelebaran jaringan, dll. Selain itu ada beberapa contoh ahli lain yang bergerak dalam bidang lain seperti olahragawan, akademisi, dll. Dalam kaitannya dengan diplomasi Cina, pemerintah Cina mengijinkan beberapa ilmuwan atau akademisi dari negara-negara di kawasan Asia Selatan untuk belajar disana.Beberapa lembaga non-pemertinah juga sering memberikan penghargaan pada salah satu tokoh ahli yang ada di kedua negara tersebut. c. Melalui Pebisnis Peran pebisnis dalam hal perdamaian, di luar mengumpulkan keuntungan adalah membangun hubungan dan jalan komunikasi, serta ikut dalam beberapa aksi damai. Selain itu peran mereka juga membantu meningkatkan ekonomi negara, menekan angka kemiskinan, dan pengangguran. Perdagangan menjadi alat utama para pebisnis dalam membangun hubungan dengan pihak lain. Ada beberapa manfaat bisnis dalam perdamaian diantaranya adanya pembagian keuntungan bersama, adanya integrasi antara aspek sosial dan politik di lingkup internasional, serta bisa menjadi bagian yang dapat mengubah sistem transnasional dan pemikiran pemerintah. Pada akhirnya ada pendapat bahwa bisnis yang sukses harus diiring dengan adanya perdamaian. Hal tersebut yang aktif terjadi di dalam proses diplomasi Cina dengan negara-negara di Asia Selatan, dimana para pebisnis Cina membuka kerjasama ekonomi maupun perdagangan dengan negara-negara di kawasan tersebut, dan dengan landasan win-win solution. d. Individu Dalam lingkup hubungan internasional, konsep individu dalam pendekatan diplomasi lebih banyak beraktivitas di dalam asosiasi atau komunitas. Grassroots atau akar rumput ini mempunyai pendekatan untuk membentuk hubungan personal dengan personal yang lain di negara lain, dan dengan budaya yang berbeda, sehingga dalam konsep pendekataan diplomasi, individu diharapkan bisa sangat dekat dengan pihak dari negar lain. Dengan hubungan personal tersebut, para aktor berharap dapat fokus pada isu tertentu, menghilangkan stereotip, dan mempromosikan persahabatan. Individu-individu disini bisa berarti tokoh nasional, ataupun tokoh terkenal lain yang memang bisa membawa keuntungan 10 bagi kedua pihak yang berhubungan. Pemerintah Cina maupun lembaga non-pemerintah sering memberikan penghargaan bagi individu yang dianggap membawa perubahan bagi kesuksesan sebuah negara. e. Melalui Pembelajaran, Penelitian, dan Pelatihan Diplomasi dengan pendekatan ini lebih menekankan pada metode pembelajaran di lingkungan masyarakat. Peran pembelajaran, penelitian, dan pelatihan adalah untuk memperbaharui dan menyalurkan informasi terkait dengan isu-isu tentang perdamaian dan konflik, peacemaking, dan resolusi konflik. Pendidikan juga bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan atau implikasi aksi dari informasi tersebut. Diplomasi dapat membuka jalan untuk penyaluran pembelajaran, dimana manfaat dari berbagai hal tersebut bisa dirasakan dengan baik oleh kedua negara yang mengadakan diplomasi. Negara-negara berkembang seperti Cina, biasanya akan menerima atau bahkan mengirim ilmuwannya ke luar negeri untuk menjadi peneliti. Hal tersebut diharapkan dapat membawa keuntungan bagi Cina maupun negara yang diajak untuk berdiplomasi. f. Pendampingan Dalam konsep pendekatan ini, aktivis dari berbagai bidanglah yang biasanya menjadi aktor utama. Komunitas aktivis mempunyai konsep dan tujuan untuk mengubah institusi, perilaku, dan kebijakan melalui aksi politik. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa perdamaian tidak mungkin terwujud tanpa aspek sosial, politik, lingkungan, keadilan ekonomi, dan integritas. Organisasi ini cenderung untuk membentuk isu yang spesifik seperti perdamaian dan keadilan, lingkungan, perang, dll. Para aktivis ini juga mempunyai sumber keuangan tersendiri. Beberapa individu dan lembaga amal lebih cenderung memberikan dana kepada para aktivis tersebut. Dalam konsep ini aktivis menyimbolkannya dalam berbagai kegiatan aksi, serta pendampingan dalam berbagai forum. Mereka biasanya menggelar aksi di luar geduung pertemuan atau mengirim beberapa wakilnya untuk mengikuti atau mengawal forum yang sedang berlangsung. Dengan pendampingan tersebut, diplomasi yang dijalankan oleh kedua negara yang terlibat, dapat diketahui oleh banyak pihak, sehingga mempunyai tingkat transparansi yang cukup tinggi. g. Aspek Keagamaan Konsep pendekataan ini menggunakan aktivis keagamaan dalam rangka membangun sebuah hubungan antar kedua negara. Komunitas agama biasanya mencoba untuk membawa 11 hukum moral dan spiritual di dalam mewujudkan sebuah kerangka hubungan yang damai. Mereka ikut serta dalam mewujudkan perdamaian karena ajaran agama mereka yang melarang adanya konflik. Konsep ini juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk ikut dalam rekonsiliasi, serta berbagai penyelesaian konflik yang lain. Beberapa asumsi dasarnya adalah pekerjaan mereka didasari pada suatu nilai yang diyakini oleh semua orang atau keluarga, prioritas persatuan yang berdasar pada kasih sayang antar manusia, dan perdamaian merupakan sesuatu yang berasal dari dalam diri kita sendiri dan juga merupakan takdir yang didapat oleh manusia. h. Pendanaan Pendekatan diplomasi dengan cara ini menekankan pada peran dari komunitas pendanaan untuk menyediakan dukungan dana untuk para aktivis dan institusi di dalam sistem diplomasi multi jalur. Ada beberapa asumsi dalam komunitas ini, seperti kemakmuran merupakan tanggung jawab dan kesempatan untuk membuat kontribusi positif terhadap dunia, melalui penggunaaan uang sebagai sponsor untuk beberapa proyek. Selain itu adanya bencana dipercaya memberi efek yang penting untuk pendanaan, dimana sangat dibutuhkan untuk mendukung aksi-aksi bantuan, sehingga dunia ini menjadi lebih damai. Dengan adanya berbagai asumsi tersebut, diplomasi antar negara diharapkan berkembang dan terus sukses, tanpa ada kendala yang berarti. Dalam hal diplomasi pendanaan memang menjadi suatu hal yang penting, karena diplomasi juga dilandasi rasa saling membutuhkan antar negara. Dalam tesis ini, diplomasi Cina di Asia Selatan juga diwarnai oleh pemberian berbagai sumbangan atau bantuan keuangan, dimana mayoritas perekonomian negara-negara di kawasan Asia Selatan masih berada di bawah Cina. i. Media dan Informasi Dalam hal ini media memerankan peranan penting. Mereka menggunakan media cetak, visual, elektronik untuk menginformasikan, dan mengaitkan opini-opini dalam masyarakat yang berhubungan dengan perdamaian, resolusi konflik, hubungan internasional. Asumsi dasar mereka adalah orang yang mempunyai informasi dapat membuat pilihan baik dan media juga menawarkan forum penting untuk bisa berdebat dalam area publik. Media selalu bisa membentuk opini publik dengan informasi-informasi yang mereka dibuat. Dalam hal ini media juga bisa menjadi pengaruh bagi para pengambil kebijakan. Dengan adanya informasi yang tersebar melalui media, negara-negara yang berdiplomasi bisa mengetahui 12 kelemahan dan kelebihan negara-negara yang akan diajak untuk bekerjasama, sehingga nantinya kerjasama bisa berjalan efektif. Diplomasi dengan menggunakan media juga bisa membentuk respon negara-negara yang terlibat dalam kerjasama untuk lebih menyikapi secara bijak hasil kerjasama yang telah mereka bangun. Sebagai contoh, Cina juga mengandalkan pendekatan ini untuk lebih memahami negara-negara lain yang akan diajak maupun mengajak kerjasama. Cina dalam konsep ini telah mengembangkan berbagai media informasi seperti membuat koran dan jurnal internasional, dengan target masyarakat internasional. Cina juga mempunyai China’s Radio International yang mempunyai siaran dalam berbagai bahasa internasional. Cina juga mempunyai Xinhua sebagai salah satu agen pemberitaan yang mempunyai liputan dalam bahasa Inggris.25 Dalam tesis ini mengambil fokus aktor perusahaan dan pelajar. Aktor-aktor tersebut dapat menjadi kemudi bagi negara untuk melebarkan kepentingannya di negara lain. Pemerintah tidak lagi berjalan sendiri, karena sudah ada aktor selain pemerintah yang dapat melakukan diplomasi juga. Perusahaan dapat membuka jalur hubungan ekonomi, serta meningkatkan nilai perdagangan, dimana mayoritas negara-negara berkembang membutuhkan hal tersebut. Aktor pelajar dapat menjadi sumber informasi bagi negara asal, dimana mereka dapat mengembangkan ilmu yang telah mereka dapat di negara lain, yang kecenderungannya lebih maju dari negara asal mereka. Dengan adanya pelajar, hubungan diplomatik kedua negara juga semakin berkembang, karena aktor-aktor yang cenderung masih muda lebih banyak memiliki kreatifitas yang tinggi, sehingga hubungan kedua negara bisa cukup dinamis. Peran dari perusahaan ini berkaitan dengan bisnis internasional yang dilakukan oleh aktor tersebut. Menurut Dr. Huub Ruel dari Windesheim University, Belanda mengungkapkan bahwa lingkungan bisnis internasional sangat kompleks, sehingga tidak hanya membutuhkan aktor pemerintah saja dalam mengembangkannya.26 Perusahaan yang melakukan bisnis di negara lain juga dituntut dalam pemenuhan akses berita, komunikasi, serta strategi bisnis, yang nantinya secara tidak langsung juga menguntungkan bagi negara asal. Sehingga ketika peran pemerintah lemah dalam upaya diplomasi, perusahaan bisa menjadi aktor lain yang dapat menggantikannya. Selain itu perusahaan juga dapat 25 26 Jan Melissen, (2005), The New Public Diplomacy, Hampshire, Palgrave Macmillan. Dr. Huub Ruel, (2013), Diplomacy Means Business, Netherland, Windesheim University. 13 bersosialisasi atau berhubungan secara langsung dengan masyarakat di negara yang didatangi. Selain itu dengan adanya perusahaan sebagai aktor diplomasi juga diperkuat dengan adanya permsalahan-permasalahan atau tantangan global yang dihadapi oleh berbagai negara, misalnya kemiskinan dan pembangunan ekonomi. Permasalahan tersebut tidak hanya membutuhkan peran pemerintah saja, namun perusahaan yang dalam hal ini menjadi tempat bagi tumbuhnya perekonomian suatu negara dapat menjadi aktor dominan dalam diplomasi. Perusahaan juga membutuhkan pemerintah, karena dengan adanya dukungan pemerintah mereka bisa bergerak keluar wilayah dari negara asalnya. Sedangkan diplomasi dengan aktor pelajar atau mahasiswa juga menjadi salah satu pilihan bagi negara dalam mengembangkan hubungannya dengan negara lain. Aktor pelajar atau mahasiswa yang mayoritas masih muda menjadi salah satu titik kreatif yang dimiliki oleh negara. Mereka bisa menyerap ilmu yang telah dipelajari di negara tujuan, sehingga mereka bisa bermanfaat bagi negaranya sendiri. Jiwa muda mereka juga dapat menumbuhkan nilai-nilai perdamaian, dimana melalui mereka sering sekali diadakan kegiatan yang berbasis pada perdaiman. Democrat Youth Community of Europe mengungkapkan bahwa ada beberapa tujuan mengapa pemuda atau pelajar dapat menjadi aktor dalam hubungan internasional.27 Sebagai contoh adalah mereka mempunyai rasa toleransi yang tinggi, sehingga dapat menghargai satu sama lain. Selanjutnya karena pemuda atau pelajar, dianggap mempunyai potensi sebagai peacemaker, sehingga mereka juga dituntut untuk mengetahui mengenai nilai-nilai hak asasi manusia. Dengan peran mereka tersebut, negara asal berharap mendapat ilmu yang dapat dikembangkan di negaranya sendiri, sehingga pembangunan negara tetap berjalan dengan baik. 2. Kebijakan Luar Negeri Dalam menganalisis berbagai bahasan dalam tesis ini, konsep kebijakan luar negeri digunakan sebagai salah satu media untuk membantu menelaah berbagai penjelasan dalam fenomena diplomasi Cina dengan negara-negara di Asia Selatan. Kebijakan luar negeri atau foreign policy lebih dikenal sebagai sikap atau respon suatu negara terhadap negara lain. Mereka mempunyai kebijakan masing-masing yang bisa berbeda satu negara dengan negara lainnya. Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis dan Ryan K. Beasley dalam tulisannya yang berjudul The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective menyebutkan bahwa konsep kebijakan luar negeri adalah aplikasi dari sebuah keputusan atau kebijakan terhadap negara 27 Report Study Session, (2009), Civil Society for Peace Diplomacy The Role of Civil Society in Peace Building and Intercultural Dialogue,Cyprus, Democrat Youth Community Europe, hal. 8. 14 lain di luar territorial atau batas negara tersebut.28 Contohnya adalah deklarasi atau pernyataan perang dengan negara lain, penandatanganan perjanjian internasional, atau memberikan bantuan kepada negara lain. Sebenarnya kebijakan luar negeri ini mempunyai aktor utama, yaitu pemerintah, namun target dari kebijakan luar negeri itu sendiri bisa berbeda-beda. Contoh dari target-target tersebut adalah individu yang biasanya adalah pemimpin kelompok tertentu, aktor non-negara seperti organisasi internasional, kelompok kemanusiaan, perusahaan multinasional, kelompok teroris, dll.29 Selanjutnya Gideon Rose yang menyarikan gagasan mengenai kebijakan luar negeri dari Kenneth Waltz, menyatakan bahwa “Theories of of foreign policy seek to explain what states try to achieve in the external realm and when they try to achieve it.”30 Kebijakan luar negeri merupakan cerminan dari apa yang ingin didapatkan oleh suatu negara. Sebagai penganut realisme kedua tokoh tersebut yakin bahwa suatu negara mempunyai kepentingan yang harus didapat dan caranya dengan menggunakan kebijakan luar negeri tersebut. Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa kebijakan luar negeri mendapat pengaruh dari kepentingan ataupun kebijakan dalam negeri suatu negara. Jan Martin Rolenc yang mengambil pengertian kebijakan luar negeri dari The Penguin Dictionary of International Relations menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri adalah sebagai aktivitas yang mensyaratkan adanya aktor, reaksi, dan interaksi dalam lingkup antar negara. Kebijakan luar negeri ini juga disebut sebagai kegiatan ‘liminal’, dimana aktivitasnya menempatkan para pembuat kebijakan pada level terdepan batas negara atau antara lingkungan domestik dengan lingkungan luar negara.31 Kebijakan luar negeri juga merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh aktor-aktor di tingkat birokrat. Proses pengambilan keputusan sendiri juga disebut dengan steering process, dimana hasilnya disesuaikan dengan respon dunia internasional juga. Keputusan diambil sebagai respon dari aksi untuk mengubah dunia, dan kemudian informasi dari dunia luar dipantau, untuk kemudian dievaluasi pengaruhnya, agar nantinya dapat menghasilkan keputusan yang baik.32 Cina dengan kebijakan luar negeri yang 28 Juliet Kaarbo, Jeffrey S. Lantis & Ryan K. Beasley,(2012), The Analysis of Foreign Policy in Comparative Perspective , CQ Press, SAGE. hal. 2, diakses pada 27 Agustus 2014 29 Ibid, hal. 3 30 Gideon Rose, (2010), Review: Neoclassical Realism and Theories of Foreign Policy, Cambridge University Press, http://www.jstor.org/stable/25054068, hal. 145 31 Jan Martin Rolenc, (2013), Means, Goals, and Sources of Foreign Policy: The Case of Sweden, Paper draft untuk Konvensi ISA 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat 32 Janice Gross, (2002), Psychological Explanation of International Conflict, dalam Carlsnaes, Walter, Thomas R, dkk, eds, Handbook of International Relations, Sage Publications, 15 dimilikinya, juga memantau reaksi dunia internasional terhadap negaranya, agar nantinya dalam menerapkan kebijakan luar negeri bisa sesuai. Hal tersebut juga akan berimbas pada jalannya diplomasi di berbagai negara. Kebijakan luar negeri menurut Rosenau yang dikutip oleh M. Fatih Tayfur dalam tulisannya menyebutkan bahwa ada tiga konseptualisasi di dalam kebijakan luar negeri itu sendiri. Pertama yaitu kebijakan luar negeri sebagai orientasi. Dalam hal ini orientasi lebih disikapi seperti konstitusi sebuah organisasi atau tendensi dan prinsip secara general yang mengatur negara di dalam lingkup internasional. Kedua yaitu kebijakan luar negeri sebagai rencana dan sebuah komitmen, dimana hal tersebut lebih menekankan pada strategi dan keputusan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Konseptualisasi ketiga adalah sebagai aktivitas, dimana kebijakan luar negeri dianggap sebagai sebuah tindakan saling berbalas dari suatu negara terhadap negara yang lain, atau concrete behavior of states vis-à-vis.33 Sehingga telah diketahui bahwa garis besar dari konsep kebijakan luar negeri adalah sebuah tindakan, keputusan, rencana, respon, atau bahkan sikap yang ditunjukkan atau dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain di lingkungan internasional. 3. Regionalisme Pada akhir perang dingin, konsep regionalisme menjadi sebuah ide kosong, dikarenakan adanya globalisasi yang menambah kompleksitas dalam dunia hubungan internasional. Adanya pergeseran tersebut, membuat munculnya redefinisi kembali mengenai struktur hubungan antara konteks global, regional, dan nasional.34 Disisi lain Levis dan Wigen mengungkapkan bahwa dengan adanya pergeseran tersebut, struktur dunia menjadi tidak teratur, dimana daerah yang pernah ada menjadi seakan-akan hilang dan adanya daerahdaerah baru yang muncul kembali. Adanya dinamika kemunculan daerah tersebut, dikarenakan faktor ekonomi, politik, dan budaya yang mempengaruhinya.35 Faktor tersebut dapat mengubah keberadaan suatu wilayah. http://www.pearsonhighered.com/assets/hip/us/hip_us_pearsonhighered/samplechapter/0205059570.pdf, diakses pada 21 Nopember 2014 33 Rosenau dalam tulisan M. Fatih Tayfur, (1994), Main Approaches to the Study of Foreign Policy: A Review, Department of International Relations, Middle East Technical University, Ankara, Turkey, METU Studies in Development, 21 (1) 1994, hal. 116 34 Raimo Vayrynen, (2003), Regionalism: Old and New, International Studies Review, University of Notre Dam & Helsinki Collegium of Advanced Studies, University of Helsinki, http://www.wiso.unihamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 35 Levis, Martin W., & Karen E. Wigen, (1997), The Myth of Continents: A Critique of Metageography, Berkeley, University of California Press, dikutip dalam Raimo Vayrynen, (2003), Regionalism: Old and New, International Studies Review, University of Notre Dam & Helsinki Collegium of Advanced Studies, University of Helsinki, http://www.wiso.uni-hamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 16 Edward Mansfield dan Helen Milner, lebih menekankan regionalisme pada aspek fisik atau geografis. Eksistensi suatu negara yang berada dekat dengan negara lain menjadi landasan untuk membentuk organisasi regionalisme.36 Sedangkan dari sisi sejarah dan ilmu politik, para ilmuwan lebih berpikir sederhana. Mereka akan mengetahui akan ada regionalisme, walaupun hanya melihat satu daerah saja,37 karena nantinya negara tersebut akan mencari mitra sendiri, agar dapat memenuhi kepentingan dalam negerinya. Sedangkan dari sisi ekonomomi lebih melebar, karena regionalisme dapat mendatangkan perluasan dalam sektor perdagangan, dimana nantinya akan ada perjanjian perdagangan dan peraturan pajak atau bea. L. Alan Winters berpikir bahwa adanya regionalisme menjadikan setiap kebijakan yang dirancang untuk dapat mengurangi tingkat hambatan perdagangan antar negara, terlepas negara tersebut berdekatan karena geografis, atau memang mempunyai hubungan yang sangat dekat.38 Anthony Payne mendefinisikan regionalisme sebagai ‘a state-led or states-led project designed to recognize a particular regional space along defined economic and political lines’.39 Definisi tersebut menggambarkan bahwa regionalisme merupakan sebuah proyek yang dipimpin oleh suatu negara, atas negara yang lain, untuk mengenali ruang wilayah lainnya dan didasarkan garis ekonomi, maupun politik. Grugel dan Hout juga mengungkapkan bahwa regionalisme adalah proyek yang dibuat oleh negara, untuk mengorganisir ruang geo-ekonomi.40 Regionalisme dapat menjadi sarana untuk mengetahui 36 Edward Manfield & Helen V. Milner, (1997), The Political Economy of Regionalism, New York, Columbia University Press, dikutip dalam Raimo Vayrynen, (2003), Regionalism: Old and New, International Studies Review, University of Notre Dam & Helsinki Collegium of Advanced Studies, University of Helsinki, http://www.wiso.uni-hamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 37 Raimo Vayrynen, Op. Cit, hal. 2 38 L. Alan Winters, (1999), Regionalism vs Multilateralism, In Market Integration, Regionalism, and the Global Economy, diedit oleh Richard Baldwin, Daniel Cohen, dkk, New York, Cambrige University Press, dikutip dalam Raimo Vayrynen, (2003), Regionalism: Old and New, International Studies Review, University of Notre Dam & Helsinki Collegium of Advanced Studies, University of Helsinki, http://www.wiso.unihamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 39 Anthony Payne, (2003), Globalization and Modes of Regionalist Governance, in David Held & Anthony McGrew, eds, The Global Transformation Reader, An Introduction to Globalization Debate, Polity Press, Cambridge, dikutip dalam Rudi Guraziu, (2008), Is Regionalism a Stumbling Block or a Stepping Stone in the Processs of Globalization?, Middlesex University, http://www.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Regionalism%20%20a%20stepping%20stone%20or%20a%20stumbling%20block%20in%20the%20process%20of%20globalisa tion.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 40 Jean Grugel & Wil Hout, (1999), Regions, Regionalism and the South, in Jean Grugel and Wil Hout eds., Regionalism across the North-South Divide: State Strategies and Globalization, London, Routledge, dikutip dalam Rudi Guraziu, (2008), Is Regionalism a Stumbling Block or a Stepping Stone in the Processs of Globalization?, Middlesex University, http://www.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Regionalism%20%20a%20stepping%20stone% 17 keadaan negara lain, atau bahkan mengontrol negara dekatnya, sehingga kepentingan negara yang lain bisa saling tergorganisir. Di sisi lain Morten Boas, mengungkapkan bahwa aktor dalam regionalisme tidak hanya negara, namun juga LSM, gerakan sosial, perusahaan, bahkan media.41 Pembahasan terkait regionalisme dalam tesis ini adalah mengenai SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation), cenderung mewakili regionalisme sebagai daerah yang mempunyai keterikatan geografis, karena sebagian negara berbatasan langsung dan cenderung terbentuk karena kepentingan ekonomi dan politik. L. Alan Winters telah mengungkapkan bahwa adanya regionalisme dapat mengurangi hambatan perdagangan42 dan lebih memberi kemudahan terhadap transaksi ekonomi, sehingga pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Cina di SAARC. Cina yang menjadi observer member dalam SAARC akan mendapat akses yang lebih mudah untuk melancarkan kepentingannya, seperti dalam bidang perdagangan, dimana jalur Cina ke Samudera Hindia harus melalui negara-negara di kawasan Asia Selatan. Jalur tersebut sangat penting bagi Cina, mengingat jalur ekspor dan impor mereka diangkut melalui perairan tersebut. E. Hipotesis Dalam hipotesis ini, penulis berargumen bahwasannya Cina mempunyai beberapa kepentingan di wilayah Asia Selatan, terutama India dan Pakistan, sehingga membuat Cina merasa perlu melakukan upaya diplomasi. Beberapa kepentingan tersebut diantaranya kepentingan energi, kepentingan wilayah geografis atau perbatasan yang berujung pada permasalahan keamanan, serta kepentingan ekonomi yang didalamnya juga termasuk masalah perdagangan. Sedangakan upaya diplomasi yang dibahas dalam tesis ini adalah penggunaan diplomasi multi jalur Cina dengan aktor perusahaan dan pelajar. F. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian ini mempunyai peran agar penulis dapat membatasi penelitian, sehingga penelitian ini tidak terlalu melebar. Jangkauan penelitian difokuskan 20or%20a%20stumbling%20block%20in%20the%20process%20of%20globalisation.pdf, diakses pada 20 Nopember 2014. 41 Morten Boas, Marianne H. Marchand & Timothy, (2003), dikutip dalam Fredrik Söderbaum, ‘Introduction: Theories of New Regionalism’, in Fredrik Söderbaum and Timothy M. Shaw, eds, Theories of New Regionalism: a Palgrave Reader, New York, Palgrave Macmillan, http://www.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Regionalism%20%20a%20stepping%20stone%20or%20a%20stumbling%20block%20in%20the%20process%20of%20globalisa tion.pdf , diakses pada 20 Nopember 2014. 42 L. Alan Winters, Op. Cit 18 pada aktivitas Cina dalam diplomasinya dengan negara-negara di India dan Pakistan, serta penggunaan pendekatan diplomasi multi jalur. Rentang waktu yang difokuskan dalam tesis adalah diplomasi Cina di Asia Selatan pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao, antara tahun 2003-2013. G. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui kepentingan Cina berdiplomasi dengan negara di Asia Selatan, terutama pada masa pemerintahan Presiden Hu Jintao. 2. Memahami upaya apa saja yang digunakan oleh Cina terhadap negara-negara di kawasan Asia Selatan. H. Metode Penelitian Penelitian tesis ini menggunakan metode studi pustaka. Sumber- sumber diperoleh dari buku, jurnal, majalah, koran (baik yang cetak maupun online), artikel, dan lain sebagainya. Untuk jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif dan juga eksplanatif, karena peneliti berusaha untuk mengumpulkan fakta- fakta yang ada dan menganalisis data- data yang tersedia. Untuk selanjutnya dengan metode tersebut, peneliti bisa menganalisis, menjelaskan, dan menemukan pola dari kejadian- kejadian yang ada, yang nantinya bisa berkontribusi dalam menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah. I. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan di dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab, yaitu: Bab I : Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, tinjauan pustaka, hipotesis, jangkauan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab II : Pada bab II ini penulis akan mendeskripsikan dan menjelaskan kebijakan luar negeri energi Cina terhadap India dan kebijakan luar negeri proaktif Cina di Pakistan. Bab III : Selanjutnya dalam bab ini penulis akan menganalisis kepentingan Cina berdiplomasi dengan India dan Pakistan. Bab IV : Dalam bab IV, penulis akan menganalisis pendekatan diplomasi multi jalur Cina terhadap negara-negara di kawasan Asia Selatan, terutama terhadap India dan Pakistan. 19 Bab V : Kesimpulan yang berisi rangkuman dari keseluruhan isi penelitian. 20