MANIFESTASI NEUROLOGIK SHOCK SEPSIS Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Shock sepsis adalah suatu sindroma klinik dimana akhir-akhir ini sangat populer. Kondisi ini umumnya terjadi dirumah sakit sebagai komplikasi serius dari penyakit yang sudah ada pada pasen tersebut. Shock sepsis mempunyai angka mortalitas yang tinggi yaitu antara 40-90% (Bone, 1987). Sepsis sebagai komplikasi dari penyakit lain yang berat yaitu keganasan, sirhosis hati, diabetes, payah ginjal, pasen tirah baring lama, pasen yang mendapatkan pengobatan sitotoksik, serta pasen yang memakai kateter dannasogastric tube. Infeksi nasokomial ini adalah penyebab tingginya kejadian sepsis. Menurut Petersdorf (1991) dari seluruh pasen yang dirawat di RS 5% diantaranya terkena infeksi. Infeksi nasokomial yang sering ditemukan adalah saluran kemih (40%), infeksi luka operasi (25%), infeksi saluran nafas (15%). Penyebab tersering dari shock sepsis ini adalah infeksi gram negatif 30-80%, infeksi gram positif 6-24%, sedangkan penyebab lain adalah virus dan jamur (Glauser, 1991). Infeksi gram negatif biasanya berasal dari infeksi traktus urinarius, traktus biliaris, traktus digestivus, dari paru dan dapat juga dari infeksi kulit, tulang dan sendi tapi kurang sering. Sepsis akibat bakteri gram positif biasanya berasal dari infeksi kulit, traktus respiratorius, dapat juga berasal dari abses metastase. Sepsis karena jamur oportunistik sering terdapat pada pasen yang mendapatkan pengobatan imunosupresan dan pasen pasca operasi (Root, 1991). Untuk lebih memahami sepsis dan shock sepsis berikut ini akan dibahas mengenai epidemiologi, definisi, patogenesa, gejala klinis dan pengobatannya. Epidemiologi Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991). Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi yang seirus. Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dlambeberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirhosis hati,alkoholismus,leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis danimunosupresan, nutrisiparenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS shock sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU. Pada Tabel-1 dapat dilihat tingginya angka infeksi akibat gram negatif, gram positif, jamur yang mana masing-masing peneliti mendapatkan angka yang berbeda. 2002 digitized by USU digital library 1 Tabel-1: Tipe organisme yang didapat dan angka mortalitas pada sepsis dan shock sepsis Tipe Bone J M Penelitian Ispani J M Gram negatif 30% 36% 60% Gram positif 15% 29% 24% Mixed/fungi 1% 100% 16% Tak diketahui 53% 28% ---(dikutip dari Glauser, 1991) Keterangan: J = Jumlah ; M = Mortalita Bone data mengenai sindroma sepsis , Ispani dan Calandra = shock sepsis 49% 89% 75% ---- Calandra J M 80% 6% 4% 10% 55% 40% 50% 11% Defenisi Shock sepsis adalah suatu sindroma klinik akibat adanya invasi akut kedalam oleh organisme tertentu atau produk toksiknya (Root 1991; Reynart 1991). Menurut Dobb 91991), shock sepsis adalah suatu sindroma sepsis yang disertai menurunnya tekanan darah lebih dari 40 mmHg dari baseline, dan memberikan respon terhadap pemberian cairan infus dan obat. Pada Tabel-2 dapat dilihat perbedaan antara sindroma sepsis dan shock sepsis Tabel-2: Perbedaan sindroma sepsis dan shock sepsis Sindroma sepsis Shock sepsis Takipneu, respirasi 20x/m Takikardi 90x/m Hipertermi 38 C Hipotermi 35,6 C Hipoksemia Peningkatan laktat plasma Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 jam Sindroma sepsis ditambah dengan gejala: Hipotensi 90 mmHg Tensi menurun sampai 40 mmHg dari baseline dalam waktu 1 jam Membaik dengan pemberian cairan danpenyakit shock hipovolemik, infark miokard dan emboli pulmonal sudah disingkirkan (Dikutip ari Glauser, 1991) Dalam suatu penellitian dimana bakteri disuntikkan pada peritoneal binatang percobaan, shock sepsis baru teradi setelah 12-24 jam kemudian, dan binatang yang bertahan didapatkan perbaikan hemodinamik dalam waktu 7-10 hari (Parrillo, 1990). Jadi suatu shock sepsis harus melewati fase bakterimia, sepsis, sindroma sepsis. Bakteremia adalah suatu keadaan ditemukannya bakteri dalam kultur darah. Sepsis adalah suatu kejadian infeksi yang disertai meningkatnya frekwensi nafas lebih dari 20x/m atau 10 1/m, denyut jantung lebih dari 90x/m dan suhu rektal diluar range 35,5 C-38,5 C. 2002 digitized by USU digital library 2 Etiologi Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (pseudomonas auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40% (stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengu ehemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock sepsis yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif adalah 5-15% dari kasus (Root, 1991). Patogenesis Terjadinya shock sepsis dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negatif dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan: • Sistim komplemen • Membentunk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit • Faktor XII (Hageman faktor) Sistim komplemen yang sudah diaktifkan akan merangsang netrofil untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivat asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif lokal pada mikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Disamping itu sistim komplemen yang sudah aktif dapat secara langsung menimbulkan meningkatnya efek kemotaksis, superoksida radikal, ensim lisosom. LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines, kemudian cytokines akan merangsang neutrofil atau sel endotel, sel endotel akan mengaktifkan faktor jaringan PARASIT-INH-1. Sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah dan DIC. Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perobahan-perobahan metabolik dan perobahan hormonal. Faktor XII (Hageman factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri gram positif. Faktor XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian faktor koagulasi sehingga terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC). Faktor XII yang sudah aktif akan merobah prekallikrein menjadi kalikrein, kalikrein merobah kininogen sehingga terjadi pelepasan hipotensive agent yang potensial bradikinin, bradikinin akan menyebabkan vasodiltasi pembuluh darah. Terjadinya kebocoran kapiler, akumulasi netrofil dan perobahan-perobahan metabolik, perobahan hormonal, vasodilatasi, DIC akan menimbulkan sindroma sepsis. Hipotensi respiratory distress syndrome, multiple organ failure akhirnya kematian. Manifestasi Klinik Shock sepsis sering didefenisikan terjadi akibat tidak adekuatnya perfusi jaringan. Tetapi menurut Bone (1992) sebenarnya shock sepsis lebih cocok terjadi akibat hipotensi sehingga berkurangnya perfusi jaringan, yang akhirnya menyebabkan disfungsi organ (multiple organ failure). Pada keadaan multiple organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi 2002 digitized by USU digital library 3 hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat seperti terlihat pada tabel berikut (Dobb, 1991) Tabel-3 : Multiple Organ Failure DIC Respirotary Distr. Syndrome Acute Renal Failure Hepatobilier disfunction Central Nervous System Disf. (Dikutip dari Dobb (1991) FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan rendahnya platelet Memanjangnya waktu: - protrombin - partial thromboplastin - perdarahan Hipoksemia Kreatinin > 2,0 ug/dl Na. Urin 40 mmol/L Kelainan prerenal sudah disingkirkan Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL) Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali harga normal GCS < 15 Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan meningkatkan angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena terganggunya permeabelitas kapiler menyebabkan terjadinya odem otak peninggian tekanan intrakranial akan menyebabkan terjadinya destruksi seluler atau nekrosis jaringan otak (Plum, 1983). Tetapi defisit neurologik fokal dapat terjadi akibat meningkatnya aggregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran darah serebral. Sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral. Gangguan neurologis akibat shock sepsis dapat diketahui dengan adanya: - deman akut - nyeri kepala - mual, muntah - kesadaran dapat menurun mulai dari somnolent sampai koma - defisit neurologik fokal biasanya jarang terjadi - pada keadaan yang berat dapat ditemukan gangguan gerakan okuler, gangguan refleks pupil, nafas cheynestoke (Plum 1983, Adams 1989) Pengobatan Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan shock sepsis diperlukan tindakan yang agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk mengukur secara akurat volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer sehingga dapat dimonitor pemberian cairan dan tekanan darah (Root, 1991). Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasen yang dapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah penggantian kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory failure perlu dipasang intubasi. 2002 digitized by USU digital library 4 Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial (hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan opiat antagonis), masa mendatang (antibodi monoklonal). Perbaikan hemodinamik. Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid dan kristaloid tak diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmH 0. Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit Pemakaian Antibiotik Setelah diagnosa sepsis dutegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif. Indikasi terapi kombinasi yaitu: 1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui 2. Pasen yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni 3. Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (pseudomonas aureginosa, enterokokus) Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan perikan angka mortalitas (Root, 1991). Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas (Sprung, 1984; Bone, 1987; Hinshaw 1987; Cohen, 1991). Nalokson suatu opiat antagonis diberikan pada binatang percobaan untuk mencegah shock karena diinduksi oleh endotoksin (Robert 1988; Root, 1991; Bone, 1992). Pada manusia dilakukan suatu studi prospektif dan didapatkan hasil yaitu naloksan tidak menaikkan tekanan darah tetapi dapat mengurangi penggunaan vasopressor (Robert, 1988). DIC asimptomatik tidak membutuhkan terapi spesifik, jika terjadi perdarahan berat diperlukan penggantian faktor pembekuan dan platelet, penggunaan heparin dan fibrinolitik lainnya masih kontraversial. Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic window-nya sempit. Prognosa Perbaikan sepsis lebih tergantung kepada faktor host dari pada virulensi organisme. Angka mortalitas lebih dipengaruhi oleh underlying disease, misal pasen sepsis dengan leukemia akut lebih tinggi angka mortalitasnya dari pada pasen sepsis 2002 digitized by USU digital library 5 lainnya (Root, 1991). Masih tingginya angka mortalitas karena shock sepsis juga terlihat pada Tabel-1. DAFTAR PUSTAKA Adams. Principles of neurology. New York: McGraw Hill,1989: 663-676 Bone et al. Sepsis and multiple organ failure . The 12th Asia Pacific congress on diseases of the chest Seul,1992:8-18 Bone et.al. A controlled clinical trial of high dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsisand septic shock. The NEJM 317: 653-658 Cohen, Glauser. Septic shock: treatment. Lancet, 1991 338:736-739 Dobb G. Multiple organ failure, words mean what I say they mean, in intensive care word, 1991 8(4):157-159 Exley, Cohen. Monoclonal antibody to TNF in severe septic shock. Lancet, 1990 335 :1275-1277 Glauser et al. Septic Shock: pathogenesis. Lancet 1991, 338: 732-736 Hinshaw et al. The Effect of high dose glucorticoid therapy on mortality in patients with clinical signs of systemic sepsis. The NEJM, 1987 317:659-665 Hock. Lancet, 1988 : 699-702 Parillo et al. Septic shock in humans. Annals of internal medicine, 1991,113: 227242 Petersdorf RG. An Approach to infectious disease, in Principles of internal medicine. 12th ed. New York: McGraw Hill, 1991: 757-764 Plum,Posner. The diagnosis of stupor and coma. 3rd ed. FA davis,1983:267-269 Reynaert, K. Sepsis syndrome: new insights into its pathogenesis and treatment, in intensive and critical care digest, 1991 10(3), 50-56 Roberts et al. Effect of prolonged naloxon infussion in septic s Root, Jacobs. Septicemia and septic shock, in principles o finternal medicine. 12th ed. New York: McGraw Hill, 1991:502-507 Sprung et al. The effect of high dose corticosteroid in pateint white septic shock. The NEJM, 1984 311:1137-1143 2002 digitized by USU digital library 6