71 BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik

advertisement
BAB V
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diteliti terdiri dari umur, jenis kelamin,
usia pertama kali berhubungan seks, tingkat pendidikan dan asal daerah.
Penelitian yang dilakukan pada bulan Februari, diperoleh 4 responden .
Usia responden dalam penelitian ini berada dalam kelompok umur 1821 tahun dengan usia pertama kali berhubungan seks 15-17 tahun. Usia
responden pertama kali melakukan hubungans seks merupakan usia remaja
pertengahan dimana memiliki ciri khas terkait perkembangan seksualnya.
Remaja pada masa ini memiliki keberanian untuk melakukan kontak fisik
dengan lawan jenis (Pangkahila, 2005). Gaya berpacaran remaja pertengahan
sudah mulai berpegangan tangan, berpelukan hingga sampai aktivitas seksual
berisiko. Terjerumus tidaknya remaja pada perlaku seksual berisiko
dipengaruhi oleh kontrol diri remaja dalam menerapkan nilai, norma dan
agama yang diyakininya (Sarwono, 2011).
Jenis kelamin responden pada penelitian ini yaitu perempuan
sebanyak 1 orang dan laki-laki sebanyak 3 orang. Jenis kelamin responden
terbanyak pada penelitian ini adalah laki-laki. Hasil penelitian Ariani (2006)
dalam Nurhayati (2011) menyatakan peluang remaja laki-laki untuk
berperilaku tidak baik dalam merokok agresif dan seksual sebesar 3, 6 kali
71
72
dibandingkan dengan remaja perempuan.
Menurut Allender, Rector dan
Warner (2010) dalam Dewi (2012), perbedaan antara laki-laki dengan
perempuan dalam berperilaku seksual disebabkan oleh faktor biologis dan
sosial. Faktor biologis laki-laki lebih mudah terangsang dan mengalami ereksi
serta orgasme dibanding perempuan, sedangkan faktor sosial laki-laki lebih
banyak memiliki pasangan lebih dari satu dari pada remaja perempuan
(Christopherson dan Conner, 2012).
Pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini yaitu tamat SMA
sebanyak 3 orang dan masih SMA sebanyak 1 orang. Tingkat pendidikan
responden mayoritas tamat SMA dan SMA (18-21 tahun) dan sebagian besar
responden melakukan hubungan seks pranikah pada saat mereka masih SMA.
Remaja ditingkat SMA merupakan remaja di usia pertengahan dimana pada
masa ini remaja sudah mulai melakukan kontak fisik dengan lawan jenisnya,
selain hal tersebut, remaja usia pertengahan lebih banyak menghabiskan
waktu dengan teman sebaya. Hal ini menyebabkan remaja lebih terpengaruh
oleh perilaku teman sebayanya. Pengaruh teman sebaya yang negatif dapat
meningkatkan kejadian perilaku seksual berisiko pada remaja (Santrock,
2005).
Semua responden dalam penelitian ini, asli berasal dan tinggal di
Kabupaten Tegal. Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah yang
mengalami arus globalisasi dan informasi yang cukup pesat. Dengan
perekonomian yang semakin maju dan arus teknologi yang tumbuh
meningkat, maka banyak mempengaruhi status sosial masyarakat secara
73
positif. Namun di sisi lain, arus informasi yang semakin bebas melalui
internet menjadikan perilaku dan gaya hidup remaja yang semakin permisif
dengan budaya barat semakin memprihatinkan orang tua dan kalangan
sekolah.
B. Faktor internal penyebab perilaku seks pranikah
1. Faktor Hormonal
Hasil penelitian menunjukan faktor hormonal berpengaruh besar
terhadap kejadian seks pranikah pada remaja di Kabupaten Tegal seperti
pernyataan responden,
LR
: “….dorongan nafsunya lebih besar”
MF
:”…nafsune luwih tinggi…”(nafsunya lebih tinggi)
SS
:”…nafsune luwih ana…”(nafsunya lebih ada)
RN
:”…nafsuku lebih besar…”
Perubahan faktor hormonal yang terjadi menyebabkan perubahan
nafsu yang lebih besar setelah mengalami menstruasi dan mimpi basah.
Menurut Freud dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa
pada masa
remaja terjadi perkembangan psikoseksual fase genital, pada masa ini
terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah).
Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi
baik pada laki-laki maupun wanita.
Monks (1999) dalam Falah (2009) menjelaskan bahwa perubahan
hormonal pada masa puber mempengaruhi munculnya perilaku seksual.
Perubahan hormonal yang terjadi pada masa puber mengakibatkan
74
kematangan pada organ kelamin, yang memunculkan hasrat seksual.
Hasrat seksual meningkat sebagai akibat rangsangan-rangsangan seksual
yang semakin mudah diterima. Peningkatan dorongan atau hasrat seksual
membutuhkan cara atau sarana untuk disalurkan dan penyaluran hasrat
seksual memberi kenikmatan bagi individu yang melakukannya, baik
dilakukan dengan orang lain atau dengan diri sendiri.
Secara
umum
perilaku
seksual
remaja
dipengaruhi
oleh
peningkatan hormon-hormon seksual yang meningkat juga menyebabkan
peningkatan dorongan seksual pada remaja. Dorongan seksual muncul
dalam bentuk ketertarikan pada lawan jenis dan keinginan untuk
mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya seperti pernyataan
responden,
LR
: “Lebih tertarik pada laki-laki…”
SS
: “…luwih wani mereke cah wadon…” (lebih berani mendekati
anak perempuan)
Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) yang menyatakan
bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan minat terhadap lawan jenis
sehingga menyebabkan timbulnya keinginan remaja berinteraksi dengan
lawan jenis dan ikut serta dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat
sosioseksual.
Hasil penelitian yang yang dilakukan oleh Luthfie (2008) dalam
Falah (2009) menunjukkan bahwa dari 190 siswa SMA/ SMK yang aktif
melakukan hubungan seks di Bandung menyatakan berbagai alasan yang
mendorong mereka melakukan hubungan seks diluar nikah. Sebanyak 26%
75
beralasan melakukan hubungan intim untuk menyalurkan dorongan seks,
17% sebagai ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar,
10% agar dianggap modern, 8% uji keperawanan/ perjaka, 5% imbalan,
dan 3% mengatasi stress.
2. Pengetahuan seks
Hasil penelitian pengetahuan responden tentang definisi mimpi
basah dan menstruasi antara lain,
LR
: “…tanda seorang perempuan sudah baligh…”
MF
: “…tanda awal pubertas…”
RN
: “…masuk ke jenjang dewasa…”
Definisi menstruasi dan mimpi basah menurut responden adalah
tanda seorang perempuan atau laki-laki memasuki masa baligh. Menurut
Proverawati dan Misaroh (2009) menarche merupakan pertanda adanya
suatu perubahan status sosial dari anak-anak ke dewasa (baligh).
Sedangkan mimpi basah merupakan ciri-ciri kelamin primer yang
sebelumnya ditandai organ reproduksi pada laki-laki (testis) mulai
berfungsi meghasilkan hormon testosterone.
Menstruasi dan mimpi basah menandakan sudah berfungsinya
organ seksual maka jika seorang perempuan dan laki-laki melakukan
hubungan seksual memungkinkan terjadinya proses kehamilan. Hasil
penelitian mengenai pengetahuan responden tentang proses kehamilan
antara lain,
LR
: “…proses pembuahan, bertemunya sel sperma dan sel telur yang
siap dibuahi…”
76
MF
: “…kalo si cewek lagi posisi subur…jadi.”
RN
: “…kalo si ceweknya masa subur…jadi…”
Proses kehamilan menurut responden adalah proses pembuahan,
bertemunya sel sperma dan sel telur yang siap dibuahi yang akan terjadi
jika wanitanya dalam masa subur. Hal ini sesuai dengan teori menurut
Kushartanti (2004) yang menyatakan bahwa
kehamilan adalah di
kandungnya janin dari hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma.
Sedangkan menurut BKKBN (2004), kondisi-kondisi yang menyebabkan
kehamilan yaitu dimana seseorang pria yang sudah mengalami mimpi
basah dan perempuan yang sudah menstruasi sedang dalam masa subur
(perempuan) dan (ejakulasi laki-laki) melakukan hubungan seksual.
Walaupun hubungan seksual dilakukan hanya sekali saja, kemungkinan
untuk hamil selalu ada.
Kehamilan merupakan akibat dari suatu prilaku seksual atau
hubungan seksual, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Kehamilan yang tidak disengaja / diinginkan merupakan salah satu akibat
dari perilaku seks pranikah yang banyak dilakukan remaja. Definisi seks
pranikah menurut pernyataan responden antara lain,
LR
: “…dilakukan…sebelum ada ikatan pernikahanan…”
MF
: “…hubungan seks sebelum nikah…”
RN
: “…diluar nikah…”
Seks pranikah menurut responden adalah hubungan seks yang
dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan, hal ini sesuai dengan teori
77
Crooks & Carla dalam skripsi Daryanto (2009) mendefinisikan hubungan
seksual pranikah sebagai hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang
pria dan wanita yang terjadi sebelum ada ikatan resmi (pernikahan) atau
dalam istilah asing disebut premarital heterosexual intercourse.
Remaja
yang
aktif
melakukan
hubungan
seks
pranikah
meningkatkan risiko PMS. Hasil penelitian mengenai pengetahuan
responden tentang risiko PMS antara lain,
RN
: “…ngejablay…gonta-ganti pasangan.”
LR
: “…terjadi karena gonta-ganti pasangan…”
MF
: “…sama PL-PL…yang pake kan banyak”
SS
: “…wadon borongan…”
Risiko PMS menurut responden terjadi karena berganti-ganti
pasangan/ngejablay/melakukan hubungan seks dengan wanita yang sudah
banyak berhubungan seks dengan banyak lelaki. Sedangkan secara teori
perilaku
seks
yang dapat
mempermudah
penularan
PMS
yaitu
berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom),
berganti-ganti pasangan seks, prostitus, melakukan hubungan seks anal
(dubur), perilaku ini akan menimbulkan luka atau radang karena epitel
mukosa anus relative tipis dan lebih mudah terluka dibanding epitel
dinding vagina, penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai
penderita PMS (Hutagalung, 2002).
Responden hanya mengetahui salah satu risiko PMS saja tanpa
mengetahui faktor lainnya misalnya saja faktor berhubungan seks yang
78
tidak aman (tanpa menggunakan kondom). Sebagian besar responden
dalam penelitian ini tidak menggunakan alat kontrasepsi termasuk kondom
seperti pernyataan responden,
SS
: “…ora pernah ngganggo kondom…” (tidak pernah menggunakan
kondom).
MF : “engga pake…”
LR
: “Ga pernah pake kontrasepsi…”
Responden tidak menggunakan alat kontrasepsi sama sekali,
padahal mereka melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu wanita,
seperti pernyataan responden,
SS
: “ …luwih saking wadon siji…”(lebih dari 1 perempuan)
MF
: “Lebih dari 1”
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa responden hanya
memahami risiko PMS akan meningkat jika melakukan hubungan dengan
wanita yang berganti-ganti pasangan seperti jablay tanpa mengetahui
risiko PMS juga meningkat jika merekanya sendiri yang berganti-ganti
pasangan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan
pengetahuan responden. Perbedaan pengetahuan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan, informasi, budaya,
pengalaman dan tingkat sosial ekonomi (Notoatmodjo,2003).
Informasi
yang
mempengaruhi
pengetahuan
seks
remaja
tergantung dari sumber informasi dan keakuratan informasi tersebut.
Sumber informasi remaja tentang seks dapat bersumber dari orang tua,
79
teman, orang terdekat, media massa dan sebagainya. Hasil penelitian
mengenai sumber informasi tentang hubungan seksual pranikah tantara
lain,
MF
:“…sering ngobrol sama temen …”
RN
:”…di google…”.
Responden pernah mendengar atau mendapatkan informasi terkait
hubungan seks dari teman-teman dan internet.
Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak
membicarakan masalah kesehatan reproduksi sehingga mereka kemudian
mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa
(Syafrudin, 2008). Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak
akurat mengenai kesehatan reproduksi dari teman-teman mereka, bukan
dari petugas kesehatan, guru atau orang tua.
Menurut Iskandar (1997) dalam Taufik (2010) menyatakan bahwa
remaja yang terpapar oleh banyaknya informasi yang bersifat pornografi
akan menimbulkan rangsangan seksual. Hal ini disebabkan karena usia
remaja belum mencapai kematangan mental dan social sehingga tanpa
dibekali pengetahuan yang komprehensif mengenai perkembangan fungsi
dan proses reproduksi serta hal-hal yang terkait dengan perilaku seksual
rangsangan seksual akan semakin mucul.
Informasi yang salah tentang seksual mudah sekali didapatkan
oleh remaja, media massa dan segala hal yang bersifat pornografis akan
menguasai pikiran remaja yang kurang kuat dalam menahan pikiran
80
emosinya, karena mereka belum boleh melakukan hubungan seks yang
sebenarnya yang disebabkan adanya norma- norma, adat, hukum dan juga
agama. Semakin sering seseorang tersebut berinteraksi atau berhubungan
dengan pornografi maka akan semakin beranggapan positif terhadap
hubungan seks secara bebas (Budie, 2009).
3. Sikap terhadap seksualitas
Hasil penelitian mengenai sikap responden terhadap perilaku seks
yaitu dapat dilihat dari pernyataan responden,
RN
: “ tapi udah jamannya sih …”
MF
: “ Kalo pandangan saya sih ga boleh…”
SS
: “hal biasa, wajar…”
LR
: “hal biasa…”
Sikap responden terhadap perilaku seks pranikah bervariasi,
sebagian besar responden bersikap mendukung dan ada responden yang
bersikap tidak mendukung. Secara teori menurut Azwar (2009), sikap
seksual pranikah remaja dipengaruhi oleh banyak hal, selain dari faktor
pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, orang lain yang
dianggap penting, media massa, pengalaman pribadi, lembaga pendidikan,
lembaga agama dan emosi dari dalam individu.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden
mempunyai sikap mendukung terhadap perilaku seks pranikah. Menurut
Allport dalam Suryabrata (1998) menyatakan bahwa sikap merupakan
predisposisi untuk berespon, yang dapat memulai atau membimbing
81
tingkah
laku,
yang
diperoleh
melalui
belajar.
Kalimat
tersebut
menunjukkan bahwa, sikap merupakan sesuatu yang dapat memberikan
kecenderungan tertentu kepada individu yang memilikinya, untuk
melakukan suatu reaksi berupa tingkah laku tertentu, sesuai dengan objek
sikap yang dijadikan sebagai suatu yang telah disetujuinya melalui
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, apabila seseorang telah memiliki sikap menyetujui
terhadap perilaku seks bebas, maka perilaku seseorang itupun akan sedikit
demi sedikit mengarah pada perilaku berbau seks, sampai pada akhirnya
perilaku seks bebas tersebutdiwujudkan dalam bentuk perilaku nyata.
Hasil penelitian Solha (2007), menunjukkan hasil yang sama bahwa
sikap berhubungan signifikan dengan perilaku seksual. Siswa yang
mempunyai sikap negatif terhadap kesehatan reproduksi mempunyai
kecenderungan 1,8 kali untuk berperilaku seksual berisiko. Jawiah (2004),
mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap dengan
perilaku seksual mahasiswa dengan nilai OR sebesar 14, 171 yang artinya
mahasiswa yang bersikap negatif akan cenderung tinggi melakukan
perilaku seksual berisiko dibandingkan yang bersikap baik.
Hasil penelitian juga menunjukan terdapat responden yang
mempunyai sikap tidak setuju terhadap perilaku seksual pranikah
meskipun dia telah melakukannya. Dia tidak setuju karena perilaku seksual
yang dilakukan sebelum menikah adalah bertentangan dengan ajaran
agama yang mereka yakini. Namun pemahaman tentang larangan seks
82
pranikah kadang terkalahkan oleh hasrat seksual yang muncul pada diri
mereka.
4. Pengendalian diri
Pernyataan responden
mengenai pengendalian responden
terhadap perilaku seks pranikah yaitu,
LR
: “…ketagihan…susah.”
MF
: “susah…pengin terus-terus.”
RN
: “…ketagihan…buat ngendaliin diri…ga ada fikiran…”
Responden merasa kesulitan untuk melakukan pengendalian diri
terhadap perilaku seks pranikah karena menimbulkan rasa ketagihan.
Kecenderungan perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti perubahan hormonal, pergaulan bebas, pemahaman yang
kurang mengenai seks, dan kontrol diri. Remaja yang mampu mengatur
dirinya akan berkurang perilaku seksualnya dibandingkan dengan remaja
yang merasa dirinya mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar
dirinya (Sarwono, 2010). Kontrol diri remaja yang lemah mengakibatkan
terjadinya kecenderungan perilaku seksual seperti berciuman, memegang
alat kelamin, bahkan berhubungan seksual. Perkembangan hormonal pada
diri remaja tanpa disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang
seksualitas
menyebabkan
remaja
kurang
mampu
mengolah
atau
mengendalikan diri atas peningkatan libidonya (Dariyo, 2004).
Keterkaitan antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku
seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan
83
diri remaja berperan penting dalam menekan kecenderungan perilaku
seksualnya. Kecenderungan perilaku seksual pada remaja dapat ditekan
apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang memiliki kontrol diri
kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual
yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan seksual yang muncul
dapat dikendalikan remaja dengan cara mengalihkan pikiran dalam arti
tidak memikirkan hal-hal yang dapat semakin mendorong gairah
seksualnya. Selain itu, remaja yang memiliki kontrol diri kuat juga dapat
mengalihkan timbulnya dorongan seksual pada kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat seperti olah raga atau terlibat dalam kegiatan sosial.
Banyaknya aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh remaja merupakan
salah satu faktor yang dapat meminimalkan terjadinya perilaku seksual
dalam bentuk apapun.
Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Bernas (Mahfiana, et
al., 2009) dalam penelitiannya bahwa kurangnya kontrol diri remaja
menjadi salah satu pemicu maraknya perilaku seksual menyimpang. Awal
mulanya hubungan antara lawan jenis hanya sekedar bergandengan tangan,
tetapi semakin lama perilaku pacaran dapat menjurus pada perilaku
seksual.
Sulistijo
(2002) pada penelitian yang telah dilakukannya
menyimpulkan semakin tinggi kemampuan kontrol diri seseorang maka
akan semakin mampu mencegah perilaku seks bebas. Kauma (2003)
menjelaskan bahwa yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku
84
seks adalah kurangnya kemampuan remaja dalam mengontrol dan
mengendalikan diri, terutama emosi-emosinya. Ini seringkali membuat
remaja melakukan hal-hal yang negatif seperti melakukan hubungan seks
bebas tanpa berpikir mengenai dampak dan risiko yang ditimbulkannya.
5. Pemahaman tingkat agama
Pernyataan
responden mengenai pemahaman agama terhadap
perilaku seks pranikah yaitu,
RN
: “…ga boleh…dosa…”
SS
: “..dosane…akeh...” (dosanya.. banyak)
LR
:.”dilarang…”
MF
: “ ga boleh…zina…”
Pemahaman agama terhadap perilaku seks pranikah yaitu
responden sadar bahwa hubungan seks panikah dilarang oleh agama
namun mereka tetap melakukannya karena di dorong oleh faktor-faktor
lainnya seperti lemahnya kontrol diri remaja terhadap perilaku seks
pranikah.
Pemanhaman tingkat agama seseorang tidak hanya dilihat dari
bagaimana orang tersebut sekedar memahami dilarang atau tidaknya
sesuatu hal dipandangan agama, namun orang yang memahami agamanya
juga harus menjalankan kewajiban-kewajibannya yang salah satunya
adalah melaksanakan ibadah sholat yang merupakan tiang agama bagi
umat muslim. Kepatuhan responden dalam melaksanakan ibadah sholat
dilihat dari pernyataan,
85
MF
: “…bolong-bolong…”
SS
: “…bolong-bolong…”
RN
: “…jarang…”
LR
: “…ancur...”
Kepatuhan
responden
dalam
melaksanakan
ibadah
sholat
cenderung kurang karena mereka jarang melakukan ibadah sholat.
Salah satu usaha untuk memahami perintah dan larangan agama
adalah mengikuti pengajian, dimana di dalam pengajian diberikan ceramah
yang memberikan pengetahuan tersebut. Keikutsertaan responden dalam
pengajian dapat dilihat dari pernyataan yaitu,
LR
:”…engga...”
SS
:”…ora pernah”
RN
: “…jarang...”
Keikutsertaan responden dalam pengajian cenderung kurang
bahkan ada yang tidak pernah. Padahal, pemahaman tingkat agama
mempunyai pengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja, orang yang
agamanya baik maka akan memiliki rasa takut untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dan dilarang dalam agamanya (Nurhidayah, 2011).
Menurut Siradj (2002) dalam Darmasih (2009). Dalam agama dijelaskan
bahwa janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. MUI menyatakan
bahwa menerapkan hukum zina sebagai solusi untuk memberantas seks
bebas.
86
Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah yang
tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya
tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang seperti ini memiliki
religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya
atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka demikian, seseorang
akan mudah melanggar ajaran agamanya misal dengan melakukan perilaku
seks bebas sebelum menikah.
Menurut penelitian yang dilakukan Aundisti dan Ritandiyono
(2008) terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas terhadap
perilaku seks pranikah. Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas maka
semakin rendah perilaku seks bebasnya, dan sebaliknya semakin rendah
religiusitasnya maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya.
Berdasarkan hasil penelitian Idayanti (2002), menyimpulkan bahwa
ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan
perilaku seksual remaja yang sedang pacaran, di mana semakin tinggi
religiusitas maka perilaku seksual semakin rendah, dan sebaliknya.
Remaja dengan ketaatan beragama yang kurang berpeluang 4 kali
lebih besar untuk berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja
yang ketaatannya beragama baik (Suharsa, 2006)
6. Aktivitas sosial
Hasil penelitian mengenai aktivitas sosial dalam pemanfaatan
waktu luang dapat dilihat dari pernyataan responden yaitu,
LR
: ” …nonton TV dan tidur”
87
MF
:, “Main, Nongkrong sama temen…”
RN
: “…nonton Tv, main…”
SS
: “…dolan karo kanca batir…”(main bersama teman)
Responden cenderung memanfaatkan waktu luang dengan nonton
TV, tidur dan bermain/ kumpul bersama teman atau dapat dikatakan
bahwa pemanfaatan waktu luang sebagian besar responden kurang
bermanfaat.
Menurut Gunarsa (2005), dengan adanya waktu luang yang tidak
bermanfaat maka lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas,
dalam arti remaja mementingkan hidup bersenang-senang, bermalasmalas, berkumpul-kumpul sampai larut malam yang akan membawa
remaja pada pergaulan bebas. Hasil penelitian ini didukung oleh T.D.
Chaerani (2009), bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas
pengisi waktu luang dengan perilaku seksual pra nikah remaja SMA
Negeri 1 Baturraden.
7. Gaya hidup
Hasil penelitian mengenai gaya hidup berdasarkan pernyataan
responden yaitu,
SS
: “sejak kelas 2 SMP…kenal inungan” (sejak kelas 2 SMP… kenal
minuman).
MF
:”…sejak kelas 2 SMP…minuman…”
RN
:”…mabuk-mabukan…”
Gaya hidup responden yaitu adanya kebiasaan minum-minuman
keras. Sesuai teori menurut Freud dalam Danarto (2003), menyatakan
88
bahwa kimiawi dan libido terdapat eksperimen pengangkatan kelenjar seks
(kelenjar gonad, testis pada pria dan ovarium pada wanita), dalam jaringan
antara (intestitial tissues) gonad, zat-zat kimia khusus telah diproduksi,
yang saat dibawa oleh aliran darah, akan mengisi bagian-bagian tertentu
dari sistem syaraf pusat dengan ketegangan seksual. Transformasi stimulus
kimiawi menjadi stimulus organis lewat produk-produk kimiawi lain yang
dimaksudkan ke dalam tubuh dari luar. Kompleksitas unsur kimiawi murni
dan stimulus fisiologis yang muncul dalam proses seksual. Persamaan
klinis yang amat besar dengan fenomena infoksisasi dan pengekangan
(abslinence), yang ditimbulkan oleh kebiasaan oleh menggunakan zat-zat
beracun yang menghasilkan kenikmatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi Setyaningsih
(2012) yang menemukan bahwa terdapat 79,56 remaja yang pernah
melakukan hubungan seksual pernah mengkonsumsi alkohol. Terdapat
perbedaan rerata sebesar – 0,02 antara yang pernah dan yang belum pernah
mengkonsumsi alkohol yang berarti remaja yang mengkonsumsi alkohol
akan melakukan hubungan seksual lebih.
8. Usia
Hasil penelitian mengenai rata-rata usia pubertas berdasarkan
pernyataan responden yaitu,
LR
:”…13 tahun…”
MF
:”…14 tahun…”
SS
: “…kelas 6.”
89
RN
:”…kelas 2 SMP..”
Usia pertama kali menstruasi responden perempuan yaitu 13
tahun dan usia pertama kali mimpi basah responden laki-laki yaitu antara
kelas 6 SD sampai 2 SMP (sekitar umur 12-14 tahun). Secara teori yang
dinyatakan oleh Sarwono (2011), peristiwa pubertas adalah normal terjadi
pada setiap anak, untuk anak perempuan 10-15 tahun dan 12-16 tahun
untuk anak laki-laki sehingga dapat disimpulkan bahwa usia awal pubertas
responden merupakan usia awal pubertas normal. Hal ini menunjukan
bahwa berapapun usia pubertas berpeluang juga untuk berperilaku seks
pranikah.
Tidak adanya perbedaan hubungan yang bermakna antara usia
pubertas dan perilaku seksual ini sejalan dengan penelitian WHO (2004)
yaitu pubertas dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan, namun
ternyata saat ini tidak dapat dijadikan sebagai patokan utama, karena usia
pubertas lambat laun semakin dini. Seorang anak berusia 10 tahun bisa
saja mengalami pubertas dini. Menurut WHO (2004), usia kematangan ini
disebabkan oleh membaiknya status gizi sejak masa anak-anak dan
keterpaparan remaja pada media informasi melalui media cetak dan
elektronik sehingga usia pubertas tidak memiliki hubungan yang bermakna
dengan perilaku seksual remaja.
90
C. Faktor eksternal penyebab perilaku seks pranikah
1. Peran keluarga
Hasil
penelitian
mengenai
kondisi
keluarga
berdasarkan
pernyataan responden yaitu,
LR
:”…baik-baik saja…”
MF
:“…semuanya baik”.
RN
:”baek-baek…”
SS
: “ …harrmonis…”
Kondisi keluarga responden adalah baik-baik saja/harmonis.
Untuk menjaga keharmonisan keluarga diperlukan rasa saling memahami,
menghargai, menyanyangi dan adanya komunikasi yang baik antar
anggota keluarga. Komunikasi akan lebih mudah terjalin jika antar anggota
keluarga berada dalam satu rumah. Hasil penelitian mengenai tinggal
serumah tidaknya responden dalam penelitian ini dapat dilihat dari
pernyataan responden yaitu,
LR
:”…serumah…
”
MF
:”…serumah…”
RN
:”…sama orang tua.”
SS
:”…neng Jakarta kabeh…urip dewek.”
Terdapat responden yang tinggal bersama orang tua namun
adapula responden yang hidup sendiri/tidak tinggal bersama orang tua.
Tinggal/tidaknya bersama orangtua mempengaruhi pola asuh yang orngtua
91
terhadap anaknya. Hasil penelitian mengenai pola asuh orangtua dapat
dilihat dari pernyataan responden yaitu,
RN
: “…biasa saja”
MF
: “ biasa aja…”
SS
: “….saiki ta sekarepe kowe pan apa- pan apa” (sekarang terserah
kamu mau melakukan apa).
Pola asuh orang tua responden yaitu biasa saja namun adapula
pola asuh orangtua responden yang cenderung membebaskan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perkawinan orang tua yang
harmonis dan tinggal bersama/ tidaknya dengan orang tua tidak selalu
berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah. Namun, pola asuh yang
cenderung membebaskan anak akan berpengaruh terhadap perilaku seks
pranikah.
Keadaan keluarga yang harmonis pada kenyataannya belum
memberikan sebuah jaminan akan diberikannya perhatian yang besar
kepada anak mereka, hal ini dikarenakan kebanyakan para remaja berada
di luar rumah dan mengabiskan waktu bersama teman sebayanya sehingga
komunikasi yang dibangun dan pengawasan yang dilakukan oleh orang tua
sangatlah minim.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa ada responden yang
tinggal tidak bersama orang tua. Hal ini bisa mengakibatkan perhatian dan
pengawasan orang tua terhadap perilaku remaja semakin minim.
Hasil penelitian juga menunjukan ada orangtua yang mempunyai
pola asuh membebaskan (permisif). Secara teori, pola asuh permisif dapat
92
diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak,
yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa
mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang
ketat bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada
pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock,
2006). Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku
seksual pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung
disebabkan terlalu longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang
diterapkan oleh orang tua. Remaja akan cenderung terjerumus ke dalam
perilaku seksual pranikah manakala adanya pengawasan yang kurang dari
orang tuanya.
Interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan
mengurangi perilaku hubungan seksual pada remaja. Pengawasan dari
orang tua yang kurang akan mempercepat remaja melakukan hubungan
seksual. Pengawasan orang tua merupakan faktor penting yang
mempengaruhi sikap perilaku seksual remaja. Remaja yang diawasi orang
tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seksual sedangkan
pada remaja tanpa pengawasan orang tua akan melakukan hubungan
seksual pertama pada usia lebih dini (Hidayah, et al., 2013).
Selain melakukan pengawasan terhadap perilaku remaja, orangtua
juga perlu mengadakan komunikasi dengan memberikan pendidikan seks
terhadap mereka. Hasil penelitian mengenai pendidikan seks dari orangtua
berdasarkan pernyataan responden yaitu,
93
LR
: “…ngga pernah.”
RN
: “… ngga pernah…”
MF
: “ngga pernah…”
SS
:”ora pernah…”(tidak pernah)
Responden tidak pernah mendapatkan pendidikan seks dari orang
tuanya. Padahal secara teori menurut Andan (2002) dalam Marza (2010),
anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung
berperilaku seks lebih baik daripada anak yang mendapatkan dari orang
lain. Namun, kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk
memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab mereka
takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah.
Menurut Mohammad (1998) dalam Taufik (2010), kesenjangan
komunikasi antara orang tua dan remaja adalah masalah umum yang
terjadi di seluruh dunia. Di Indonesia, orang tua kebanyakan tidak
membuka pembicaraan terbuka dengan anak remajanya mengenai
seksualitas dan proses reproduksi. Topik yang berkaitan dengan seks
masih dipandang sebagai bahan pembicaraan bagi mereka yang sudah
menikah, sehingga orang tua cenderung menghindari pembicaraan tentang
hal ini dengan anak remajanya. Kurangnya penjelasan dari orang tua
mengenai seksualitas dan proses reproduksi memberikan akibat kepada
remaja dimana remaja memiliki pengetahuan yang kurang/ salah dan pada
akhirnya memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seks
pranikah seperti yang ditemukan dalam penelitian ini.
94
Dianawati (2006) mengatakan bahwa pendidikan seks dapat
membantu para remaja laki-laki dan perempuan untuk mengetahui risiko
dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan
seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang
merugikan diri sendiri maupun orang tuanya. Pentingnya memberikan
pendidikan seks bagi remaja, sudah seharusnya dipahami. Memberikan
pendidikan seks pada remaja, maksudnya membimbing dan menjelaskan
tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui
dalam kehidupan manusia. Selain itu, harus memasukkan ajaran agama
dan norma-norma yang berlaku.
2. Peran teman sebaya
Hasil penelitian mengenai peran teman sebaya berdasarkan
pernyataan responden yaitu,
RN
:”…cerita kalo pacaran gini-gitu…”
MF
:”…bercanda…tentang seks.”
SS
:”…masalah wadon…”(masalah perempuan)
Responden bersama teman sebayanya sering membicarakan
pengalamannya melakukan hubungan seks saat pacaran, masalah seks dan
perempuan.
Seseorang yang sama sekali belum pernah melakukan hubungan
seksual dan juga tidak mengetahui apakah ada temannya melakukan,
tentunya akan berbeda dalam bersikap atau berpeluang melakukan
hubungan seksual. Adanya pembicaraan seks juga menimbulkan reaksi
95
perasaan yang berbeda-beda antara mereka. Hasil penelitian mengenai
perasaan responden ketika mendengar cerita masalah seks dari teman
sebaya dapat dilihat dari pernyataan responden,
LR
:”… ikut-ikutan temen…”
RN
:”…pengin sama kaya mereka,iri…”
MF
:…”iri…tambah penasaran…”
Adanya teman sebaya yang menceritakan pengalaman dan masalah
seks kepada mereka mengakibatkan mereka mengikuti, merasa iri dan
penasaran.
Hasil penelitian menunjukan bahwa informasi masalah seks yang
responden dapatkan berasal dari teman sebayanya. Remaja merasa lebih
nyaman membicarakan masalah ini dengan teman sebaya dibanding orang
lain seperti orang tua. Remaja yang mendapat informasi seksualitas dari
teman sebaya cenderung berperilaku berisiko karena informasi yang
diterima belum tentu benar (Sarwono, 2006).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Akin
(2007) yang mengungkapkan bahwa informasi seksual dari teman sebaya
dapat meningkatkan perilaku seksual remaja. Menurut Kim dan Free
(2008) dalam Yulianti (2015) juga mengemukakan bahwa informasi yang
diperoleh dari teman sebaya lebih banyak menentukan sikap remaja dalam
melakukan aktivitas seksual dengan pasangan.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa responden melakukan
hubungan seks karena mengikuti perilaku teman sebayanya. Santrock
96
(1998) dalam Cynthia (2007) mengatakan, bahwa konformitas kelompok
bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari
oranglain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan
yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Sarwono (2002) menjelaskan
karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja,
maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang
menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila
lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas,
serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja
tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas.
3. Media Informasi
Hasil penelitian mengenai media pornografi yang pernah diakses
dan dampaknya dapat dilihat dari pernyataan responden,
LR
:”nonton video…pengin”
RN
:”kaset…browsing-browsing...penasaran”
MF
:”video…jadi kepengin”
SS
: “…film…penasaran”
Responden sudah terpapar media pornografi dalam bentuk video,
kaset dan film yang menimbulkan rasa penasaran dan keinginan
melakukan apa yang mereka tonton.
Menurut Kusmiran (2012), kondisi hormonal remaja dapat
menyebabkan remaja semakin peka terhadap stimulus seksual berupa
visual, sentuhan, audiovisual dan lainnya sehingga mendorong munculnya
97
perilaku seksual. Dengan meningkatnya dorongan seksual, remaja akan
mudah sekali terangsang secara seksual. Membaca bacaan romantis,
melihat gambar romantis, melihat alat kelamin lawan jenis, atau
menyentuh alat kelaminnya akan dapat menimbulkan rangsangan seksual.
Menurut Rohmahwati (2008), paparan media massa, baik cetak
(koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD,
Internet), mempunyai pengaruh terhadap remaja untuk melakukan
hubungan seksual pranikah. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
yang diperoleh remaja dari media massa belum digunakan untuk pedoman
perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Justru paparan
informasi seksualitas dari media massa (baik cetak maupun elektronik)
yang cenderung bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi referensi
yang tidak mendidik bagi remaja. Remaja yang sedang dalam periode
ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau
didengarnya dari media massa tersebut. Maka dari itu sumber informasi
yang baik dan bertanggung jawab diperlukan oleh remaja, agar remaja
tidak salah dalam mendapatkan sumber informasi.
Menurut Maltz dan Maltz (2008) dalam Adriana (2015), dampak
dari pornografi terjadi pada pribadi dan tingkat antar pribadi. Salah
satunya adalah menjadikan orang lain sebagai objek seksual, dimana
semakin seseorang melihat pornografi dan mendapatkan rangsangan
olehnya, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami konsekuensi
dari menjadikan orang lain sebagai objek seksual orang dalam kehidupan
98
nyata. Pada hubungan romantis (pacaran) hubungan yang berkembang
menjadi tidak sehat.
Huesmann (1986) dalam Kundanis (2003) menyatakan bahwa
hubungan antara paparan media dengan materi pornografi adalah bersifat
hubungan dua arah (bidirectional). Pada teori ini dikatakan bahwa paparan
media pornografi menyebabkan perilaku seksual berisiko meningkat, serta
perilaku seksual berisiko yang tinggi juga mengakibatkan paparan kepada
media dengan materi pornografi meningkat.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Ekologi Kesehatan,
Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI (1990) terhadap remaja di Jakarta
dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi
remaja untuk melakukan hubungan seks pra nikah adalah menonton
film/blue film 54,39% di Jakarta dan 49,2% di Yogyakarta (Soetjiningsih,
2004).
4. Situasi dan Kondisi
Hasil penelitian mengenai situasi dan kondisi terjadinya perilaku
seks pranikah dapat dilihat dari pernyataan responden,
LR
:”di rumah dia, sepi…
MF
:”di rumah temen-temen…di semak-semak…sepi”
RN
:”di hotel…di rumah sendiri.”
SS
:”di rumah suwung...sepi...”
99
Responden memilih melakukan hubungan seks di rumah sendiri, di
rumah teman, di hotel, di rumah suwung, dan di semak-semak dengan
alasan sepi.
Terdapat banyak faktor yang mendukung untuk terjadinya
hubungan seks pra nikah dikalangan remaja. Salah satu diantaranya adalah
situasi dan kondisi yang mendukung untuk terjadinya hubungan seks pra
nikah. Berbagai tempat seperti hotel, rumah kost hingga rumah pribadi
dengan situasi yang tenang dan kondisi yang sepi memberikan
kemungkinan untuk terjadinya hubungan seks dikarenakan tidak adanya
yang memberikan pengawasan terhadap remaja.
Kecenderungan remaja berhubungan seks dapat disebabkan
lemahnya pengawasan orang tua, pengaruh lingkungan baik secara visual
maupun audio visual serta perkembangan tekhnologi. Lemahnya
pengawasan orang tua dapat terlihat juga dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Widaningsih (2008) bahwa remaja yang melakukan
hubungan seks di rumah sendiri sebanyak 63,30% dan di rumah pasangan
sebanyak 54,40%. Kondisi ini menggambarkan bahwa remaja ternyata
cukup leluasa berpacaran di rumah sehingga sebagian besar melakukan
hubungan seks di rumah. Apabila pengawasan orang tua cukup ketat, hal
ini kemungkinan tidak akan terjadi. Namun kemungkinan sikap orang tua
yang cenderung tidak acuh dan terlalu sibuk atau menganggap hal ini biasa
sehingga memberikan sebuah keleluasaan bagi remaja untuk melakukan
hal-hal yang melanggar norma-norma yang masih berlaku di masyarakat.
100
Remaja akan menghabiskan waktu untuk berduaan dengan
pacarnya. Lama pertemuan dengan pacar adalah waktu yang dihabiskan
berdua saja untuk bertemu atau berpacaran. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar responden cenderung berpendapat
bahwa situasi dan kondisi yang meungkinkan untuk terjadinya hubungan
seksual pra nikah dimulai ketika pasangan tersebut menghabiskan waktu
berdua ketika mereka berpacaran di tempat yang sepi tanpa pengawasan
orang lain.
Sejalan dengan hasil penelitian tersebut di atas bahwa oleh
Iskandar (1998) dalam Taufik (2010) menemukan hampir semua
responden melakukan seks di rumah sendiri atau pasangannya.
Lingkungan yang semakin permisif, fasilitas yang mendukung, situasi
serta kondisi yang memungkinkan sering tanpa disadari memberikan
sebuah peluang kepada remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.
Download