BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden yang diteliti terdiri dari umur, jenis kelamin, usia pertama kali berhubungan seks, tingkat pendidikan dan asal daerah. Penelitian yang dilakukan pada bulan Februari, diperoleh 4 responden . Usia responden dalam penelitian ini berada dalam kelompok umur 1821 tahun dengan usia pertama kali berhubungan seks 15-17 tahun. Usia responden pertama kali melakukan hubungans seks merupakan usia remaja pertengahan dimana memiliki ciri khas terkait perkembangan seksualnya. Remaja pada masa ini memiliki keberanian untuk melakukan kontak fisik dengan lawan jenis (Pangkahila, 2005). Gaya berpacaran remaja pertengahan sudah mulai berpegangan tangan, berpelukan hingga sampai aktivitas seksual berisiko. Terjerumus tidaknya remaja pada perlaku seksual berisiko dipengaruhi oleh kontrol diri remaja dalam menerapkan nilai, norma dan agama yang diyakininya (Sarwono, 2011). Jenis kelamin responden pada penelitian ini yaitu perempuan sebanyak 1 orang dan laki-laki sebanyak 3 orang. Jenis kelamin responden terbanyak pada penelitian ini adalah laki-laki. Hasil penelitian Ariani (2006) dalam Nurhayati (2011) menyatakan peluang remaja laki-laki untuk berperilaku tidak baik dalam merokok agresif dan seksual sebesar 3, 6 kali 71 72 dibandingkan dengan remaja perempuan. Menurut Allender, Rector dan Warner (2010) dalam Dewi (2012), perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam berperilaku seksual disebabkan oleh faktor biologis dan sosial. Faktor biologis laki-laki lebih mudah terangsang dan mengalami ereksi serta orgasme dibanding perempuan, sedangkan faktor sosial laki-laki lebih banyak memiliki pasangan lebih dari satu dari pada remaja perempuan (Christopherson dan Conner, 2012). Pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini yaitu tamat SMA sebanyak 3 orang dan masih SMA sebanyak 1 orang. Tingkat pendidikan responden mayoritas tamat SMA dan SMA (18-21 tahun) dan sebagian besar responden melakukan hubungan seks pranikah pada saat mereka masih SMA. Remaja ditingkat SMA merupakan remaja di usia pertengahan dimana pada masa ini remaja sudah mulai melakukan kontak fisik dengan lawan jenisnya, selain hal tersebut, remaja usia pertengahan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya. Hal ini menyebabkan remaja lebih terpengaruh oleh perilaku teman sebayanya. Pengaruh teman sebaya yang negatif dapat meningkatkan kejadian perilaku seksual berisiko pada remaja (Santrock, 2005). Semua responden dalam penelitian ini, asli berasal dan tinggal di Kabupaten Tegal. Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah yang mengalami arus globalisasi dan informasi yang cukup pesat. Dengan perekonomian yang semakin maju dan arus teknologi yang tumbuh meningkat, maka banyak mempengaruhi status sosial masyarakat secara 73 positif. Namun di sisi lain, arus informasi yang semakin bebas melalui internet menjadikan perilaku dan gaya hidup remaja yang semakin permisif dengan budaya barat semakin memprihatinkan orang tua dan kalangan sekolah. B. Faktor internal penyebab perilaku seks pranikah 1. Faktor Hormonal Hasil penelitian menunjukan faktor hormonal berpengaruh besar terhadap kejadian seks pranikah pada remaja di Kabupaten Tegal seperti pernyataan responden, LR : “….dorongan nafsunya lebih besar” MF :”…nafsune luwih tinggi…”(nafsunya lebih tinggi) SS :”…nafsune luwih ana…”(nafsunya lebih ada) RN :”…nafsuku lebih besar…” Perubahan faktor hormonal yang terjadi menyebabkan perubahan nafsu yang lebih besar setelah mengalami menstruasi dan mimpi basah. Menurut Freud dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi perkembangan psikoseksual fase genital, pada masa ini terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah). Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi baik pada laki-laki maupun wanita. Monks (1999) dalam Falah (2009) menjelaskan bahwa perubahan hormonal pada masa puber mempengaruhi munculnya perilaku seksual. Perubahan hormonal yang terjadi pada masa puber mengakibatkan 74 kematangan pada organ kelamin, yang memunculkan hasrat seksual. Hasrat seksual meningkat sebagai akibat rangsangan-rangsangan seksual yang semakin mudah diterima. Peningkatan dorongan atau hasrat seksual membutuhkan cara atau sarana untuk disalurkan dan penyaluran hasrat seksual memberi kenikmatan bagi individu yang melakukannya, baik dilakukan dengan orang lain atau dengan diri sendiri. Secara umum perilaku seksual remaja dipengaruhi oleh peningkatan hormon-hormon seksual yang meningkat juga menyebabkan peningkatan dorongan seksual pada remaja. Dorongan seksual muncul dalam bentuk ketertarikan pada lawan jenis dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya seperti pernyataan responden, LR : “Lebih tertarik pada laki-laki…” SS : “…luwih wani mereke cah wadon…” (lebih berani mendekati anak perempuan) Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) yang menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi peningkatan minat terhadap lawan jenis sehingga menyebabkan timbulnya keinginan remaja berinteraksi dengan lawan jenis dan ikut serta dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat sosioseksual. Hasil penelitian yang yang dilakukan oleh Luthfie (2008) dalam Falah (2009) menunjukkan bahwa dari 190 siswa SMA/ SMK yang aktif melakukan hubungan seks di Bandung menyatakan berbagai alasan yang mendorong mereka melakukan hubungan seks diluar nikah. Sebanyak 26% 75 beralasan melakukan hubungan intim untuk menyalurkan dorongan seks, 17% sebagai ungkapan cinta, 17% untuk kesenangan, 13% dipaksa pacar, 10% agar dianggap modern, 8% uji keperawanan/ perjaka, 5% imbalan, dan 3% mengatasi stress. 2. Pengetahuan seks Hasil penelitian pengetahuan responden tentang definisi mimpi basah dan menstruasi antara lain, LR : “…tanda seorang perempuan sudah baligh…” MF : “…tanda awal pubertas…” RN : “…masuk ke jenjang dewasa…” Definisi menstruasi dan mimpi basah menurut responden adalah tanda seorang perempuan atau laki-laki memasuki masa baligh. Menurut Proverawati dan Misaroh (2009) menarche merupakan pertanda adanya suatu perubahan status sosial dari anak-anak ke dewasa (baligh). Sedangkan mimpi basah merupakan ciri-ciri kelamin primer yang sebelumnya ditandai organ reproduksi pada laki-laki (testis) mulai berfungsi meghasilkan hormon testosterone. Menstruasi dan mimpi basah menandakan sudah berfungsinya organ seksual maka jika seorang perempuan dan laki-laki melakukan hubungan seksual memungkinkan terjadinya proses kehamilan. Hasil penelitian mengenai pengetahuan responden tentang proses kehamilan antara lain, LR : “…proses pembuahan, bertemunya sel sperma dan sel telur yang siap dibuahi…” 76 MF : “…kalo si cewek lagi posisi subur…jadi.” RN : “…kalo si ceweknya masa subur…jadi…” Proses kehamilan menurut responden adalah proses pembuahan, bertemunya sel sperma dan sel telur yang siap dibuahi yang akan terjadi jika wanitanya dalam masa subur. Hal ini sesuai dengan teori menurut Kushartanti (2004) yang menyatakan bahwa kehamilan adalah di kandungnya janin dari hasil pembuahan sel telur oleh sel sperma. Sedangkan menurut BKKBN (2004), kondisi-kondisi yang menyebabkan kehamilan yaitu dimana seseorang pria yang sudah mengalami mimpi basah dan perempuan yang sudah menstruasi sedang dalam masa subur (perempuan) dan (ejakulasi laki-laki) melakukan hubungan seksual. Walaupun hubungan seksual dilakukan hanya sekali saja, kemungkinan untuk hamil selalu ada. Kehamilan merupakan akibat dari suatu prilaku seksual atau hubungan seksual, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Kehamilan yang tidak disengaja / diinginkan merupakan salah satu akibat dari perilaku seks pranikah yang banyak dilakukan remaja. Definisi seks pranikah menurut pernyataan responden antara lain, LR : “…dilakukan…sebelum ada ikatan pernikahanan…” MF : “…hubungan seks sebelum nikah…” RN : “…diluar nikah…” Seks pranikah menurut responden adalah hubungan seks yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan, hal ini sesuai dengan teori 77 Crooks & Carla dalam skripsi Daryanto (2009) mendefinisikan hubungan seksual pranikah sebagai hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang terjadi sebelum ada ikatan resmi (pernikahan) atau dalam istilah asing disebut premarital heterosexual intercourse. Remaja yang aktif melakukan hubungan seks pranikah meningkatkan risiko PMS. Hasil penelitian mengenai pengetahuan responden tentang risiko PMS antara lain, RN : “…ngejablay…gonta-ganti pasangan.” LR : “…terjadi karena gonta-ganti pasangan…” MF : “…sama PL-PL…yang pake kan banyak” SS : “…wadon borongan…” Risiko PMS menurut responden terjadi karena berganti-ganti pasangan/ngejablay/melakukan hubungan seks dengan wanita yang sudah banyak berhubungan seks dengan banyak lelaki. Sedangkan secara teori perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS yaitu berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom), berganti-ganti pasangan seks, prostitus, melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan luka atau radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih mudah terluka dibanding epitel dinding vagina, penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai penderita PMS (Hutagalung, 2002). Responden hanya mengetahui salah satu risiko PMS saja tanpa mengetahui faktor lainnya misalnya saja faktor berhubungan seks yang 78 tidak aman (tanpa menggunakan kondom). Sebagian besar responden dalam penelitian ini tidak menggunakan alat kontrasepsi termasuk kondom seperti pernyataan responden, SS : “…ora pernah ngganggo kondom…” (tidak pernah menggunakan kondom). MF : “engga pake…” LR : “Ga pernah pake kontrasepsi…” Responden tidak menggunakan alat kontrasepsi sama sekali, padahal mereka melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu wanita, seperti pernyataan responden, SS : “ …luwih saking wadon siji…”(lebih dari 1 perempuan) MF : “Lebih dari 1” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa responden hanya memahami risiko PMS akan meningkat jika melakukan hubungan dengan wanita yang berganti-ganti pasangan seperti jablay tanpa mengetahui risiko PMS juga meningkat jika merekanya sendiri yang berganti-ganti pasangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan responden. Perbedaan pengetahuan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan, informasi, budaya, pengalaman dan tingkat sosial ekonomi (Notoatmodjo,2003). Informasi yang mempengaruhi pengetahuan seks remaja tergantung dari sumber informasi dan keakuratan informasi tersebut. Sumber informasi remaja tentang seks dapat bersumber dari orang tua, 79 teman, orang terdekat, media massa dan sebagainya. Hasil penelitian mengenai sumber informasi tentang hubungan seksual pranikah tantara lain, MF :“…sering ngobrol sama temen …” RN :”…di google…”. Responden pernah mendengar atau mendapatkan informasi terkait hubungan seks dari teman-teman dan internet. Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah kesehatan reproduksi sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (Syafrudin, 2008). Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai kesehatan reproduksi dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua. Menurut Iskandar (1997) dalam Taufik (2010) menyatakan bahwa remaja yang terpapar oleh banyaknya informasi yang bersifat pornografi akan menimbulkan rangsangan seksual. Hal ini disebabkan karena usia remaja belum mencapai kematangan mental dan social sehingga tanpa dibekali pengetahuan yang komprehensif mengenai perkembangan fungsi dan proses reproduksi serta hal-hal yang terkait dengan perilaku seksual rangsangan seksual akan semakin mucul. Informasi yang salah tentang seksual mudah sekali didapatkan oleh remaja, media massa dan segala hal yang bersifat pornografis akan menguasai pikiran remaja yang kurang kuat dalam menahan pikiran 80 emosinya, karena mereka belum boleh melakukan hubungan seks yang sebenarnya yang disebabkan adanya norma- norma, adat, hukum dan juga agama. Semakin sering seseorang tersebut berinteraksi atau berhubungan dengan pornografi maka akan semakin beranggapan positif terhadap hubungan seks secara bebas (Budie, 2009). 3. Sikap terhadap seksualitas Hasil penelitian mengenai sikap responden terhadap perilaku seks yaitu dapat dilihat dari pernyataan responden, RN : “ tapi udah jamannya sih …” MF : “ Kalo pandangan saya sih ga boleh…” SS : “hal biasa, wajar…” LR : “hal biasa…” Sikap responden terhadap perilaku seks pranikah bervariasi, sebagian besar responden bersikap mendukung dan ada responden yang bersikap tidak mendukung. Secara teori menurut Azwar (2009), sikap seksual pranikah remaja dipengaruhi oleh banyak hal, selain dari faktor pengetahuan juga dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, pengalaman pribadi, lembaga pendidikan, lembaga agama dan emosi dari dalam individu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar responden mempunyai sikap mendukung terhadap perilaku seks pranikah. Menurut Allport dalam Suryabrata (1998) menyatakan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk berespon, yang dapat memulai atau membimbing 81 tingkah laku, yang diperoleh melalui belajar. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa, sikap merupakan sesuatu yang dapat memberikan kecenderungan tertentu kepada individu yang memilikinya, untuk melakukan suatu reaksi berupa tingkah laku tertentu, sesuai dengan objek sikap yang dijadikan sebagai suatu yang telah disetujuinya melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, apabila seseorang telah memiliki sikap menyetujui terhadap perilaku seks bebas, maka perilaku seseorang itupun akan sedikit demi sedikit mengarah pada perilaku berbau seks, sampai pada akhirnya perilaku seks bebas tersebutdiwujudkan dalam bentuk perilaku nyata. Hasil penelitian Solha (2007), menunjukkan hasil yang sama bahwa sikap berhubungan signifikan dengan perilaku seksual. Siswa yang mempunyai sikap negatif terhadap kesehatan reproduksi mempunyai kecenderungan 1,8 kali untuk berperilaku seksual berisiko. Jawiah (2004), mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku seksual mahasiswa dengan nilai OR sebesar 14, 171 yang artinya mahasiswa yang bersikap negatif akan cenderung tinggi melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan yang bersikap baik. Hasil penelitian juga menunjukan terdapat responden yang mempunyai sikap tidak setuju terhadap perilaku seksual pranikah meskipun dia telah melakukannya. Dia tidak setuju karena perilaku seksual yang dilakukan sebelum menikah adalah bertentangan dengan ajaran agama yang mereka yakini. Namun pemahaman tentang larangan seks 82 pranikah kadang terkalahkan oleh hasrat seksual yang muncul pada diri mereka. 4. Pengendalian diri Pernyataan responden mengenai pengendalian responden terhadap perilaku seks pranikah yaitu, LR : “…ketagihan…susah.” MF : “susah…pengin terus-terus.” RN : “…ketagihan…buat ngendaliin diri…ga ada fikiran…” Responden merasa kesulitan untuk melakukan pengendalian diri terhadap perilaku seks pranikah karena menimbulkan rasa ketagihan. Kecenderungan perilaku seksual pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor seperti perubahan hormonal, pergaulan bebas, pemahaman yang kurang mengenai seks, dan kontrol diri. Remaja yang mampu mengatur dirinya akan berkurang perilaku seksualnya dibandingkan dengan remaja yang merasa dirinya mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar dirinya (Sarwono, 2010). Kontrol diri remaja yang lemah mengakibatkan terjadinya kecenderungan perilaku seksual seperti berciuman, memegang alat kelamin, bahkan berhubungan seksual. Perkembangan hormonal pada diri remaja tanpa disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang seksualitas menyebabkan remaja kurang mampu mengolah atau mengendalikan diri atas peningkatan libidonya (Dariyo, 2004). Keterkaitan antara kontrol diri dengan kecenderungan perilaku seksual pada remaja memperlihatkan bahwa kemampuan mengendalikan 83 diri remaja berperan penting dalam menekan kecenderungan perilaku seksualnya. Kecenderungan perilaku seksual pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan seksual yang muncul dapat dikendalikan remaja dengan cara mengalihkan pikiran dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang dapat semakin mendorong gairah seksualnya. Selain itu, remaja yang memiliki kontrol diri kuat juga dapat mengalihkan timbulnya dorongan seksual pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti olah raga atau terlibat dalam kegiatan sosial. Banyaknya aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalkan terjadinya perilaku seksual dalam bentuk apapun. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Bernas (Mahfiana, et al., 2009) dalam penelitiannya bahwa kurangnya kontrol diri remaja menjadi salah satu pemicu maraknya perilaku seksual menyimpang. Awal mulanya hubungan antara lawan jenis hanya sekedar bergandengan tangan, tetapi semakin lama perilaku pacaran dapat menjurus pada perilaku seksual. Sulistijo (2002) pada penelitian yang telah dilakukannya menyimpulkan semakin tinggi kemampuan kontrol diri seseorang maka akan semakin mampu mencegah perilaku seks bebas. Kauma (2003) menjelaskan bahwa yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku 84 seks adalah kurangnya kemampuan remaja dalam mengontrol dan mengendalikan diri, terutama emosi-emosinya. Ini seringkali membuat remaja melakukan hal-hal yang negatif seperti melakukan hubungan seks bebas tanpa berpikir mengenai dampak dan risiko yang ditimbulkannya. 5. Pemahaman tingkat agama Pernyataan responden mengenai pemahaman agama terhadap perilaku seks pranikah yaitu, RN : “…ga boleh…dosa…” SS : “..dosane…akeh...” (dosanya.. banyak) LR :.”dilarang…” MF : “ ga boleh…zina…” Pemahaman agama terhadap perilaku seks pranikah yaitu responden sadar bahwa hubungan seks panikah dilarang oleh agama namun mereka tetap melakukannya karena di dorong oleh faktor-faktor lainnya seperti lemahnya kontrol diri remaja terhadap perilaku seks pranikah. Pemanhaman tingkat agama seseorang tidak hanya dilihat dari bagaimana orang tersebut sekedar memahami dilarang atau tidaknya sesuatu hal dipandangan agama, namun orang yang memahami agamanya juga harus menjalankan kewajiban-kewajibannya yang salah satunya adalah melaksanakan ibadah sholat yang merupakan tiang agama bagi umat muslim. Kepatuhan responden dalam melaksanakan ibadah sholat dilihat dari pernyataan, 85 MF : “…bolong-bolong…” SS : “…bolong-bolong…” RN : “…jarang…” LR : “…ancur...” Kepatuhan responden dalam melaksanakan ibadah sholat cenderung kurang karena mereka jarang melakukan ibadah sholat. Salah satu usaha untuk memahami perintah dan larangan agama adalah mengikuti pengajian, dimana di dalam pengajian diberikan ceramah yang memberikan pengetahuan tersebut. Keikutsertaan responden dalam pengajian dapat dilihat dari pernyataan yaitu, LR :”…engga...” SS :”…ora pernah” RN : “…jarang...” Keikutsertaan responden dalam pengajian cenderung kurang bahkan ada yang tidak pernah. Padahal, pemahaman tingkat agama mempunyai pengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja, orang yang agamanya baik maka akan memiliki rasa takut untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dan dilarang dalam agamanya (Nurhidayah, 2011). Menurut Siradj (2002) dalam Darmasih (2009). Dalam agama dijelaskan bahwa janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. MUI menyatakan bahwa menerapkan hukum zina sebagai solusi untuk memberantas seks bebas. 86 Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas yang rendah yang tidak menghayati agamanya dengan baik sehingga dapat saja perilakunya tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Orang seperti ini memiliki religiusitas yang rapuh sehingga dengan mudah dapat ditembus oleh daya atau kekuatan yang ada pada wilayah seksual. Maka demikian, seseorang akan mudah melanggar ajaran agamanya misal dengan melakukan perilaku seks bebas sebelum menikah. Menurut penelitian yang dilakukan Aundisti dan Ritandiyono (2008) terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas terhadap perilaku seks pranikah. Hal ini berarti semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah perilaku seks bebasnya, dan sebaliknya semakin rendah religiusitasnya maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya. Berdasarkan hasil penelitian Idayanti (2002), menyimpulkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan perilaku seksual remaja yang sedang pacaran, di mana semakin tinggi religiusitas maka perilaku seksual semakin rendah, dan sebaliknya. Remaja dengan ketaatan beragama yang kurang berpeluang 4 kali lebih besar untuk berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan remaja yang ketaatannya beragama baik (Suharsa, 2006) 6. Aktivitas sosial Hasil penelitian mengenai aktivitas sosial dalam pemanfaatan waktu luang dapat dilihat dari pernyataan responden yaitu, LR : ” …nonton TV dan tidur” 87 MF :, “Main, Nongkrong sama temen…” RN : “…nonton Tv, main…” SS : “…dolan karo kanca batir…”(main bersama teman) Responden cenderung memanfaatkan waktu luang dengan nonton TV, tidur dan bermain/ kumpul bersama teman atau dapat dikatakan bahwa pemanfaatan waktu luang sebagian besar responden kurang bermanfaat. Menurut Gunarsa (2005), dengan adanya waktu luang yang tidak bermanfaat maka lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas, dalam arti remaja mementingkan hidup bersenang-senang, bermalasmalas, berkumpul-kumpul sampai larut malam yang akan membawa remaja pada pergaulan bebas. Hasil penelitian ini didukung oleh T.D. Chaerani (2009), bahwa ada hubungan yang bermakna antara aktivitas pengisi waktu luang dengan perilaku seksual pra nikah remaja SMA Negeri 1 Baturraden. 7. Gaya hidup Hasil penelitian mengenai gaya hidup berdasarkan pernyataan responden yaitu, SS : “sejak kelas 2 SMP…kenal inungan” (sejak kelas 2 SMP… kenal minuman). MF :”…sejak kelas 2 SMP…minuman…” RN :”…mabuk-mabukan…” Gaya hidup responden yaitu adanya kebiasaan minum-minuman keras. Sesuai teori menurut Freud dalam Danarto (2003), menyatakan 88 bahwa kimiawi dan libido terdapat eksperimen pengangkatan kelenjar seks (kelenjar gonad, testis pada pria dan ovarium pada wanita), dalam jaringan antara (intestitial tissues) gonad, zat-zat kimia khusus telah diproduksi, yang saat dibawa oleh aliran darah, akan mengisi bagian-bagian tertentu dari sistem syaraf pusat dengan ketegangan seksual. Transformasi stimulus kimiawi menjadi stimulus organis lewat produk-produk kimiawi lain yang dimaksudkan ke dalam tubuh dari luar. Kompleksitas unsur kimiawi murni dan stimulus fisiologis yang muncul dalam proses seksual. Persamaan klinis yang amat besar dengan fenomena infoksisasi dan pengekangan (abslinence), yang ditimbulkan oleh kebiasaan oleh menggunakan zat-zat beracun yang menghasilkan kenikmatan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Dewi Setyaningsih (2012) yang menemukan bahwa terdapat 79,56 remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pernah mengkonsumsi alkohol. Terdapat perbedaan rerata sebesar – 0,02 antara yang pernah dan yang belum pernah mengkonsumsi alkohol yang berarti remaja yang mengkonsumsi alkohol akan melakukan hubungan seksual lebih. 8. Usia Hasil penelitian mengenai rata-rata usia pubertas berdasarkan pernyataan responden yaitu, LR :”…13 tahun…” MF :”…14 tahun…” SS : “…kelas 6.” 89 RN :”…kelas 2 SMP..” Usia pertama kali menstruasi responden perempuan yaitu 13 tahun dan usia pertama kali mimpi basah responden laki-laki yaitu antara kelas 6 SD sampai 2 SMP (sekitar umur 12-14 tahun). Secara teori yang dinyatakan oleh Sarwono (2011), peristiwa pubertas adalah normal terjadi pada setiap anak, untuk anak perempuan 10-15 tahun dan 12-16 tahun untuk anak laki-laki sehingga dapat disimpulkan bahwa usia awal pubertas responden merupakan usia awal pubertas normal. Hal ini menunjukan bahwa berapapun usia pubertas berpeluang juga untuk berperilaku seks pranikah. Tidak adanya perbedaan hubungan yang bermakna antara usia pubertas dan perilaku seksual ini sejalan dengan penelitian WHO (2004) yaitu pubertas dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan, namun ternyata saat ini tidak dapat dijadikan sebagai patokan utama, karena usia pubertas lambat laun semakin dini. Seorang anak berusia 10 tahun bisa saja mengalami pubertas dini. Menurut WHO (2004), usia kematangan ini disebabkan oleh membaiknya status gizi sejak masa anak-anak dan keterpaparan remaja pada media informasi melalui media cetak dan elektronik sehingga usia pubertas tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku seksual remaja. 90 C. Faktor eksternal penyebab perilaku seks pranikah 1. Peran keluarga Hasil penelitian mengenai kondisi keluarga berdasarkan pernyataan responden yaitu, LR :”…baik-baik saja…” MF :“…semuanya baik”. RN :”baek-baek…” SS : “ …harrmonis…” Kondisi keluarga responden adalah baik-baik saja/harmonis. Untuk menjaga keharmonisan keluarga diperlukan rasa saling memahami, menghargai, menyanyangi dan adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Komunikasi akan lebih mudah terjalin jika antar anggota keluarga berada dalam satu rumah. Hasil penelitian mengenai tinggal serumah tidaknya responden dalam penelitian ini dapat dilihat dari pernyataan responden yaitu, LR :”…serumah… ” MF :”…serumah…” RN :”…sama orang tua.” SS :”…neng Jakarta kabeh…urip dewek.” Terdapat responden yang tinggal bersama orang tua namun adapula responden yang hidup sendiri/tidak tinggal bersama orang tua. Tinggal/tidaknya bersama orangtua mempengaruhi pola asuh yang orngtua 91 terhadap anaknya. Hasil penelitian mengenai pola asuh orangtua dapat dilihat dari pernyataan responden yaitu, RN : “…biasa saja” MF : “ biasa aja…” SS : “….saiki ta sekarepe kowe pan apa- pan apa” (sekarang terserah kamu mau melakukan apa). Pola asuh orang tua responden yaitu biasa saja namun adapula pola asuh orangtua responden yang cenderung membebaskan. Hasil penelitian menunjukan bahwa perkawinan orang tua yang harmonis dan tinggal bersama/ tidaknya dengan orang tua tidak selalu berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah. Namun, pola asuh yang cenderung membebaskan anak akan berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah. Keadaan keluarga yang harmonis pada kenyataannya belum memberikan sebuah jaminan akan diberikannya perhatian yang besar kepada anak mereka, hal ini dikarenakan kebanyakan para remaja berada di luar rumah dan mengabiskan waktu bersama teman sebayanya sehingga komunikasi yang dibangun dan pengawasan yang dilakukan oleh orang tua sangatlah minim. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa ada responden yang tinggal tidak bersama orang tua. Hal ini bisa mengakibatkan perhatian dan pengawasan orang tua terhadap perilaku remaja semakin minim. Hasil penelitian juga menunjukan ada orangtua yang mempunyai pola asuh membebaskan (permisif). Secara teori, pola asuh permisif dapat 92 diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock, 2006). Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung disebabkan terlalu longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Remaja akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya pengawasan yang kurang dari orang tuanya. Interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan mengurangi perilaku hubungan seksual pada remaja. Pengawasan dari orang tua yang kurang akan mempercepat remaja melakukan hubungan seksual. Pengawasan orang tua merupakan faktor penting yang mempengaruhi sikap perilaku seksual remaja. Remaja yang diawasi orang tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seksual sedangkan pada remaja tanpa pengawasan orang tua akan melakukan hubungan seksual pertama pada usia lebih dini (Hidayah, et al., 2013). Selain melakukan pengawasan terhadap perilaku remaja, orangtua juga perlu mengadakan komunikasi dengan memberikan pendidikan seks terhadap mereka. Hasil penelitian mengenai pendidikan seks dari orangtua berdasarkan pernyataan responden yaitu, 93 LR : “…ngga pernah.” RN : “… ngga pernah…” MF : “ngga pernah…” SS :”ora pernah…”(tidak pernah) Responden tidak pernah mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya. Padahal secara teori menurut Andan (2002) dalam Marza (2010), anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks lebih baik daripada anak yang mendapatkan dari orang lain. Namun, kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Menurut Mohammad (1998) dalam Taufik (2010), kesenjangan komunikasi antara orang tua dan remaja adalah masalah umum yang terjadi di seluruh dunia. Di Indonesia, orang tua kebanyakan tidak membuka pembicaraan terbuka dengan anak remajanya mengenai seksualitas dan proses reproduksi. Topik yang berkaitan dengan seks masih dipandang sebagai bahan pembicaraan bagi mereka yang sudah menikah, sehingga orang tua cenderung menghindari pembicaraan tentang hal ini dengan anak remajanya. Kurangnya penjelasan dari orang tua mengenai seksualitas dan proses reproduksi memberikan akibat kepada remaja dimana remaja memiliki pengetahuan yang kurang/ salah dan pada akhirnya memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seks pranikah seperti yang ditemukan dalam penelitian ini. 94 Dianawati (2006) mengatakan bahwa pendidikan seks dapat membantu para remaja laki-laki dan perempuan untuk mengetahui risiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang tuanya. Pentingnya memberikan pendidikan seks bagi remaja, sudah seharusnya dipahami. Memberikan pendidikan seks pada remaja, maksudnya membimbing dan menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam kehidupan manusia. Selain itu, harus memasukkan ajaran agama dan norma-norma yang berlaku. 2. Peran teman sebaya Hasil penelitian mengenai peran teman sebaya berdasarkan pernyataan responden yaitu, RN :”…cerita kalo pacaran gini-gitu…” MF :”…bercanda…tentang seks.” SS :”…masalah wadon…”(masalah perempuan) Responden bersama teman sebayanya sering membicarakan pengalamannya melakukan hubungan seks saat pacaran, masalah seks dan perempuan. Seseorang yang sama sekali belum pernah melakukan hubungan seksual dan juga tidak mengetahui apakah ada temannya melakukan, tentunya akan berbeda dalam bersikap atau berpeluang melakukan hubungan seksual. Adanya pembicaraan seks juga menimbulkan reaksi 95 perasaan yang berbeda-beda antara mereka. Hasil penelitian mengenai perasaan responden ketika mendengar cerita masalah seks dari teman sebaya dapat dilihat dari pernyataan responden, LR :”… ikut-ikutan temen…” RN :”…pengin sama kaya mereka,iri…” MF :…”iri…tambah penasaran…” Adanya teman sebaya yang menceritakan pengalaman dan masalah seks kepada mereka mengakibatkan mereka mengikuti, merasa iri dan penasaran. Hasil penelitian menunjukan bahwa informasi masalah seks yang responden dapatkan berasal dari teman sebayanya. Remaja merasa lebih nyaman membicarakan masalah ini dengan teman sebaya dibanding orang lain seperti orang tua. Remaja yang mendapat informasi seksualitas dari teman sebaya cenderung berperilaku berisiko karena informasi yang diterima belum tentu benar (Sarwono, 2006). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Akin (2007) yang mengungkapkan bahwa informasi seksual dari teman sebaya dapat meningkatkan perilaku seksual remaja. Menurut Kim dan Free (2008) dalam Yulianti (2015) juga mengemukakan bahwa informasi yang diperoleh dari teman sebaya lebih banyak menentukan sikap remaja dalam melakukan aktivitas seksual dengan pasangan. Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa responden melakukan hubungan seks karena mengikuti perilaku teman sebayanya. Santrock 96 (1998) dalam Cynthia (2007) mengatakan, bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari oranglain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Sarwono (2002) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas. 3. Media Informasi Hasil penelitian mengenai media pornografi yang pernah diakses dan dampaknya dapat dilihat dari pernyataan responden, LR :”nonton video…pengin” RN :”kaset…browsing-browsing...penasaran” MF :”video…jadi kepengin” SS : “…film…penasaran” Responden sudah terpapar media pornografi dalam bentuk video, kaset dan film yang menimbulkan rasa penasaran dan keinginan melakukan apa yang mereka tonton. Menurut Kusmiran (2012), kondisi hormonal remaja dapat menyebabkan remaja semakin peka terhadap stimulus seksual berupa visual, sentuhan, audiovisual dan lainnya sehingga mendorong munculnya 97 perilaku seksual. Dengan meningkatnya dorongan seksual, remaja akan mudah sekali terangsang secara seksual. Membaca bacaan romantis, melihat gambar romantis, melihat alat kelamin lawan jenis, atau menyentuh alat kelaminnya akan dapat menimbulkan rangsangan seksual. Menurut Rohmahwati (2008), paparan media massa, baik cetak (koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD, Internet), mempunyai pengaruh terhadap remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang diperoleh remaja dari media massa belum digunakan untuk pedoman perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Justru paparan informasi seksualitas dari media massa (baik cetak maupun elektronik) yang cenderung bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi referensi yang tidak mendidik bagi remaja. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa tersebut. Maka dari itu sumber informasi yang baik dan bertanggung jawab diperlukan oleh remaja, agar remaja tidak salah dalam mendapatkan sumber informasi. Menurut Maltz dan Maltz (2008) dalam Adriana (2015), dampak dari pornografi terjadi pada pribadi dan tingkat antar pribadi. Salah satunya adalah menjadikan orang lain sebagai objek seksual, dimana semakin seseorang melihat pornografi dan mendapatkan rangsangan olehnya, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami konsekuensi dari menjadikan orang lain sebagai objek seksual orang dalam kehidupan 98 nyata. Pada hubungan romantis (pacaran) hubungan yang berkembang menjadi tidak sehat. Huesmann (1986) dalam Kundanis (2003) menyatakan bahwa hubungan antara paparan media dengan materi pornografi adalah bersifat hubungan dua arah (bidirectional). Pada teori ini dikatakan bahwa paparan media pornografi menyebabkan perilaku seksual berisiko meningkat, serta perilaku seksual berisiko yang tinggi juga mengakibatkan paparan kepada media dengan materi pornografi meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI (1990) terhadap remaja di Jakarta dan Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seks pra nikah adalah menonton film/blue film 54,39% di Jakarta dan 49,2% di Yogyakarta (Soetjiningsih, 2004). 4. Situasi dan Kondisi Hasil penelitian mengenai situasi dan kondisi terjadinya perilaku seks pranikah dapat dilihat dari pernyataan responden, LR :”di rumah dia, sepi… MF :”di rumah temen-temen…di semak-semak…sepi” RN :”di hotel…di rumah sendiri.” SS :”di rumah suwung...sepi...” 99 Responden memilih melakukan hubungan seks di rumah sendiri, di rumah teman, di hotel, di rumah suwung, dan di semak-semak dengan alasan sepi. Terdapat banyak faktor yang mendukung untuk terjadinya hubungan seks pra nikah dikalangan remaja. Salah satu diantaranya adalah situasi dan kondisi yang mendukung untuk terjadinya hubungan seks pra nikah. Berbagai tempat seperti hotel, rumah kost hingga rumah pribadi dengan situasi yang tenang dan kondisi yang sepi memberikan kemungkinan untuk terjadinya hubungan seks dikarenakan tidak adanya yang memberikan pengawasan terhadap remaja. Kecenderungan remaja berhubungan seks dapat disebabkan lemahnya pengawasan orang tua, pengaruh lingkungan baik secara visual maupun audio visual serta perkembangan tekhnologi. Lemahnya pengawasan orang tua dapat terlihat juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Widaningsih (2008) bahwa remaja yang melakukan hubungan seks di rumah sendiri sebanyak 63,30% dan di rumah pasangan sebanyak 54,40%. Kondisi ini menggambarkan bahwa remaja ternyata cukup leluasa berpacaran di rumah sehingga sebagian besar melakukan hubungan seks di rumah. Apabila pengawasan orang tua cukup ketat, hal ini kemungkinan tidak akan terjadi. Namun kemungkinan sikap orang tua yang cenderung tidak acuh dan terlalu sibuk atau menganggap hal ini biasa sehingga memberikan sebuah keleluasaan bagi remaja untuk melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma yang masih berlaku di masyarakat. 100 Remaja akan menghabiskan waktu untuk berduaan dengan pacarnya. Lama pertemuan dengan pacar adalah waktu yang dihabiskan berdua saja untuk bertemu atau berpacaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden cenderung berpendapat bahwa situasi dan kondisi yang meungkinkan untuk terjadinya hubungan seksual pra nikah dimulai ketika pasangan tersebut menghabiskan waktu berdua ketika mereka berpacaran di tempat yang sepi tanpa pengawasan orang lain. Sejalan dengan hasil penelitian tersebut di atas bahwa oleh Iskandar (1998) dalam Taufik (2010) menemukan hampir semua responden melakukan seks di rumah sendiri atau pasangannya. Lingkungan yang semakin permisif, fasilitas yang mendukung, situasi serta kondisi yang memungkinkan sering tanpa disadari memberikan sebuah peluang kepada remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.