ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007 SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected]. 1 BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Volume 13, Nomor 4, April 2011 Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan I - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia 369 Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia Iwan Hermawan 373 Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model Rizki E. Wimanda 409 Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang Haryo Kuncoro 433 Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Akhis R. Hutabarat 455 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011 369 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 April 2011 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6,75%. Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter Bank Indonesia yang cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang masih tinggi, di tengah upaya Pemerintah menurunkan tekanan inflasi dari kelompok volatile foods. Dewan Gubernur memandang bahwa penguatan nilai tukar Rupiah sejauh ini dapat menurunkan tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Selain itu, untuk meminimalkan dampak negatif aliran modal asing jangka pendek terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan, Dewan Gubernur juga memutuskan untuk menggantikan ketentuan one-month holding period terhadap SBI menjadi six-month holding period mulai berlaku 13 Mei 2011. Ke depan, Bank Indonesia menilai masih terbuka ruang penyesuaian level BI Rate untuk meredam tekanan inflasi lebih lanjut. Bank Indonesia meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta didukung pula dengan penguatan koordinasi kebijakan Pemerintah, akan mampu untuk menjaga stabilitas makro dan membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global ke depan lebih baik sebagaimana terlihat dari penyesuaian ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh berbagai lembaga internasional. Optimisme global yang membaik ini akan berdampak pada volume perdagangan dunia yang juga meningkat. Hal tersebut akan berpengaruh positif terhadap permintaan terhadap produk ekspor sehingga turut mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, proses pemulihan ekonomi global ini masih menghadapi risiko ketidakpastian terkait krisis utang yang melanda sejumlah negara di Eropa dan potensi gangguan proses produksi pascagempa di Jepang. Selain itu, kenaikan harga minyak dan komoditi pangan dunia diperkirakan masih berlanjut sehingga memberikan tekanan inflasi di banyak negara maju dan emerging economies, termasuk Indonesia. Di sisi domestik, Dewan Gubernur berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diprakirakan meningkat sebesar 6,0-6,5% pada tahun 2011 dan 6,1-6,6% pada tahun 2012. 370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin berimbang seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang masih tetap solid. Pada triwulan II-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan tumbuh cukup tinggi yaitu sebesar 6,4%. Peran investasi untuk penambahan kapasitas perekonomian, terutama melalui PMA, diperkirakan akan meningkat sejalan dengan masih kuatnya permintaan, baik dari domestik maupun eksternal, serta membaiknya sovereign credit rating. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor transportasi & komunikasi, sektor perdagangan, hotel & restoran, dan sektor bangunan. Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia diperkirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar pada 2011. Surplus tersebut berasal baik dari transaksi berjalan maupun transaksi modal dan finansial. Ekspor diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi. Aliran masuk modal asing dalam bentuk portofolio diperkirakan masih akan tetap besar, sedangkan investasi asing langsung (PMA) diperkirakan meningkat. Dengan perkembangan sampai dengan akhir Maret 2011, cadangan devisa tercatat sebesar 105,7 miliar dolar AS atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Tren penguatan nilai tukar Rupiah terus berlanjut pada Maret 2011. Di samping sejalan dengan kinerja NPI yang mencatat surplus yang besar dan positifnya persepsi investor asing terhadap kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, penguatan Rupiah juga sebagai bagian dari respons kebijakan Bank Indonesia untuk pengendalian tekanan inflasi, khususnya yang berasal dari kenaikan harga komoditi internasional (imported inflation). Hingga akhir bulan Maret 2011 nilai tukar Rupiah menguat sebesar 3,47% (ptp) menjadi Rp8.708 per dolar AS. Apresiasi Rupiah sejauh ini belum mempengaruhi daya saing Indonesia dari sisi nilai tukar, antara lain tercermin dari kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang terus menunjukkan peningkatan yang relatif tinggi. Di sisi harga, meskipun inflasi sudah menunjukkan kecenderungan menurun, risiko tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih cukup tinggi. Inflasi IHK pada bulan Maret 2011 mencapai 6,65% (yoy) atau deflasi 0,32% (mtm) seiring dengan koreksi inflasi bahan pangan. Meskipun masih relatif tinggi, tekanan inflasi dari kelompok volatile foods menunjukkan kecenderungan yang menurun sejalan dengan langkah-langkah Pemerintah untuk memperkuat pangan nasional. Sementara inflasi administered prices cukup moderat terkait dengan minimalnya kebijakan penyesuaian harga oleh Pemerintah. Namun, inflasi inti menunjukkan tren meningkat, tercatat sebesar 4,45% (yoy) atau 0,25% (mtm) pada Maret 2011, sebagai dampak rambatan dari tingginya harga pangan dan meningkatnya ekspektasi inflasi. Ke depan, risiko tekanan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi, dipengaruhi oleh meningkatnya harga komoditi internasional, kuatnya permintaan domestik, dan tingginya ekspektasi inflasi. Bank ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2011 371 Indonesia akan terus mewaspadai risiko tekanan inflasi tersebut dan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mengendalikan inflasi ke sasaran yang telah ditetapkan. Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan dan likuiditas perbankan yang terkendali. Industri perbankan cukup stabil ditandai oleh terjaganya kondisi permodalan dan likuiditas sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) pada level 18% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Intermediasi perbankan juga semakin membaik tercermin dari pertumbuhan kredit yang terus meningkat, yakni pada Maret 2011 mencapai 25,1% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan pada seluruh jenis kredit termasuk kredit kepada UMKM. 372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 halaman ini sengaja dikosongkan Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 373 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI TERHADAP PERKEMBANGAN INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL INDONESIA Iwan Hermawan, SP. MSi 1 Abstract Textile and textile»s product play an important role in the Indonesian economy. During the last five years, however, share of these industries and commodities to gross domestic product tend to decrease. The objectives of this study are to analyze factors affecting Indonesian textile and textile»s product, and the prospect of Indonesian textile and textile»s product in the future. Results of the study show that domestic textile production was affected by world cotton price and wage rate, while the domestic garment production was affected by wage rate in the garment sector. Indonesia»s textile export to world market was influenced by domestic textile price, and Indonesia»s export garment was influenced by exchange rate (Rp/US$). Indonesian textile demand was affected by wage rate and domestic garment demand was affected by income per capita of Indonesia. In general, the prospect of Indonesian textile and textile»s product seems not too good. In fact, Indonesian textile and textile»s product had depended on high import cotton, investment, and exchange rate. So why, economy policies are still needed to accelerate Indonesian textile and textile»s product development. JEL Classification Number: C53, E60, F43, and F4. Keyword: export, open economy, forecasting, simulation, textile and textile»s product. 1 Calon Peneliti Bidang Ekonomi dan Kebijakan Publik, P3DI, Setjen DPR RI. Alamat email: [email protected] 374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 I. PENDAHULUAN Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang penting bagi suatu negara untuk memulai industrialisasi ekonominya. Industri ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan orientasi ekspor di negara-negara Asia, seperti Hong Kong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.2 Selain itu jumlah penduduk negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang mencapai sekitar 597 juta orang3 dan penerapan ASEAN single window (ASW) dengan bea masuk 0 persen (kecuali negara Laos, Kamboja, dan Myanmar menerapkan free duty pada tahun 2012) menjadi peluang besar bagi pasar TPT (Sunarno, 2008)4. Sektor TPT menjadi sektor kunci di negara Pakistan, Vietnam, Thailand, Sri Lanka, dan Indonesia. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekspor TPT Vietnam mencapai sebesar US$ 11,2 miliar5. Di Indonesia, kinerja TPT juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri TPT mempunyai kontribusi 2,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan 8,01 persen terhadap industri pengolahan pada tahun 2010 (BPS, 2008). Bahkan komoditas ekspor non migas yang memberikan kontribusi terbesar selama lebih dari 20 tahun terakhir adalah TPT. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada awal pengembangan industri ini. Industri TPT6 juga penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada tahun 2009, industri TPT berkontribusi sebesar 12,72 persen dalam perolehan devisa terhadap ekspor hasil industri tidak termasuk minyak dan gas (migas) dan sebesar 9,58 persen terhadap total ekspor non migas, meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Nilai tersebut meningkat tajam dari hanya sebesar US$ 559 juta pada tahun 1985 (BPS, 2010). Selain mempunyai kontribusi yang besar di dalam PDB dan devisa, industri ini juga menyerap banyak tenaga kerja, baik yang bekerja secara langsung ataupun tidak langsung. Arti penting TPT dapat dilihat dari perannya sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia selain pangan dan papan. Oleh karena itu, konsumsi sandang akan cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk (Grafik 1). Potensi pasar Indonesia untuk komoditas TPT relatif besar sebab kebutuhan kain masyarakat perkotaan tidak hanya berupa pakaian, tapi 2 UNCTAD UNCTAD. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. Geneva: United Nations Conference on Trade and Development, 2005, hal 3. 3 PRB. World Population Data Sheet 2009. Washington DC: Population Reference Bureau and USAID, 2009, hal. 8. 4 Susanna Sunarno. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. IndonesianTextile.com. Serial Online. 2008. http://indonesia textile.com/ index.php?option=com_content&task=view&id=73&Itemid=50. Diakses tanggal 17 Maret 2010. 5 VBN. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business News. SerialOnline, 2011. http:// vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross-11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 2011 6 Ekspor hasil industri pakaian jadi dan tekstil lainnya. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia kg/Kapita Juta Orang 4,6 4,4 375 240,0 Konsumsi TPT Jumlah Penduduk 235,0 230,0 4,2 225,0 220,0 4,0 215,0 3,8 210,0 205,0 3,6 200,0 3,4 195,0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sumber : Sunarno, 2008 dan IMF, 2011. Keterangan : Permintaan TPT per kapita tahun 2009 dan 2010 adalah angka perkiraan. Grafik 1. Perkembangan Konsumsi TPT Per Kapita dan Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 2002-2010 juga kebutuhan non pakaian. Pada tahun 2005 konsumsi TPT Indonesia menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2004. Hal ini karena pada tanggal 1 Januari 2005, sistem kuota dicabut dan disesuaikan dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Kesepakatan tersebut dimulai dari Putaran Uruguay tanggal 15 April 1994 di Marakesh yang menghasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) terhadap menetapkan sistem kuota impor. Di sisi lain perubahan sistem kuota tersebut akan berdampak positif bagi perkembangan industri TPT melalui perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT dunia. Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT semakin besar melalui persaingan internasional serta peluang pengembangan industri TPT akan semakin besar. Indonesia adalah salah satu di antara negara-negara produsen TPT terbesar di dunia. Pada tahun 2000 ekspor TPT Indonesia mencapai sebesar US$ 8,2 miliar (Rp. 74,9 triliun) dan menduduki ranking 10 di antara negara produsen TPT dunia. Tahun 2003, ekspor TPT Indonesia hanya mencapai US$ 7,03 miliar, hal ini membuat posisi ranking menurun menjadi 17. Namun pada tahun 2004, sektor ini mampu menaikan perolehan devisa sebesar US$ 7,6 miliar. Menurut Thuborn, 20108 pada tahun 2007 secara keseluruhan nilai ekspor TPT Indonesia sebesar US$ 9,73 miliar, dimana menduduki ranking 12 untuk ekspor tekstil dan ranking 8 untuk ekspor garmen. 7 Susanna Sunarno. Amankan Pasar Dalam Negeri. www.indonesiatextile.com. Serial Online, 2008. http://indonesiatextile. com/ index.php?option=com_content&task=view&id=76&Itemid=50, Diakses Tanggal 17 Maret 2010. 8 John Thoburn. The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of Asia. Working Paper No. 17. Vienna: United Nations Industrial Development Organization, 2010, hal. 31. 376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Gambaran di atas mengindikasikan bahwa industri TPT Indonesia mempunyai potensi dan peluang perkembangan yang cukup baik. Hal ini didukung oleh kemampuan industri TPT dalam memberikan kontribusi terhadap PDB, perolehan devisa. dan sekaligus penyerapan tenaga kerja. Selain itu industri TPT mempunyai peluang yang besar, dimana permintaan TPT akan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Namun demikian, potensi dan peluang perkembangan industri TPT tersebut bukan tanpa kendala. Kendala-kendala yang dihadapi industri TPT dikhawatirkan dapat mengganggu atau menurunkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Globalisasi yang ditandai dengan berakhirnya sistem kuota tahun 2005 telah mendorong perdagangan TPT dunia semakin terbuka dan mengubah peta pasar dari sisi supply manajemen importir. Perubahan perdagangan TPT dunia menimbulkan peluang dan ancaman bagi industri TPT Indonesia. Peluang yang muncul adalah pangsa pasar negara-negara yang selama ini terlindungi oleh sistem kuota akan menjadi terbuka. Sedangkan ancaman industri TPT Indonesia adalah kompetisi yang ketat antar negara-negara produsen TPT di dunia, seperti Cina, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Isu-isu non tarrif barrier, seperti transshipment dan dumping ikut mempengaruhi arus penetrasi perdagangan TPT dari negara berkembang ke negara maju. Sementara persaingan di pasar dunia semakin meningkat, kondisi industri TPT di dalam negeri justru relatif memprihatinkan. Salah satu keadaan yang memperburuk prospek perkembangan industri TPT di Indonesia adalah iklim investasi yang sangat tidak kondusif. Padahal industri TPT sangat membutuhkan investasi yang besar untuk merevitalisasi mesinmesin maupun teknologi yang sudah tua. Iklim investasi yang tidak kondusif disebabkan antara lain, belum adanya kepastian hukum, meluasnya korupsi, birokrasi yang berbelit-belit masalah tenaga kerja, dan perpajakan. Pada tahun 1997 krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Timur, termasuk Indonesia, mengakibatkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi. Hal ini seharusnya membuat produk TPT Indonesia lebih kompetitif bagi konsumen luar negeri, karena harga TPT Indonesia menjadi lebih murah. Namun kenyataannya nilai ekspor TPT menurun hingga US$ 1,3 miliar pada tahun 1997 (CIC, 2001). Dengan berbagai permasalahan tersebut di atas, apakah industri TPT masih mampu bertahan atau berkembang? Oleh sebab itu adalah penting untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya serta prospek industri TPT Indonesia di masa depan. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya perkembangan industri TPT Indonesia, dan (2) menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia di masa mendatang. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyusunan kebijakan yang mampu mendukung perkembangan industri TPT Indonesia. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 377 Bagian kedua dari paper ini akan mengulas teori dan tinjauan empiris industri tekstil, bagian ketiga mengulas metodologi penelitian yang digunakan, sementara hasil dan analisis akan diuraikan pada bagian keempat. Kesimpulan menjadi bagian penutup. II. TEORI 2.1. Teori Keseimbangan Umum Perdagangan Pada dasarnya beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan internasional suatu negara dengan negara lainnya bersumber dari keinginan untuk memperluas pemasaran komoditas ekspor, memperbesar devisa bagi kegiatan pembangunan, perbedaan penawaran dan permintaan antar negara, serta akibat perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas tertentu (Gonarsyah, 1987). Pada Grafik 2 dijelaskan bagaimana perdagangan dapat terjadi antara dua negara (Indonesia dan Cina) dan antara dua komoditas (garmen dan beras). Perdagangan terjadi karena adanya perbedaan slope yang menunjukkan rasio harga relatif antara beras dan garmen. Asumsi yang digunakan meliputi, yaitu hanya ada dua negara yang melakukan perdagangan, constant opportunity costs dan masing-masing negara berusaha mencapai tingkat kesejahteraan yang paling tinggi (titik tangen antara kurva indiferen dan garis barter). Impor Garmen Beras 200 240 Ekspor Beras 150 W 100 60 T Ekspor Garmen P i1 i2 0 B B 40 i3 G D 55 120 R N M i2 K i1 i4 Impor Beras B S 100 Garmen G B 0 G 4045 a. Indonesia 80 L 120 Garmen b. Cina Grafik 2. Keseimbangan Umum Perdagangan Sumber: Dunn and Mutti, 2004. Keterangan: SB dan SL adalah garis barter; titik T dan M adalah titik dimana rasio harga sama dengan marginal rate of substitution; dan i1-i4 adalah kurva indiferen. 378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Sebelum perdagangan terjadi (autarki), rasio pertukaran domestik adalah berbeda pada dua negara tersebut. Hal ini juga menunjukkan adanya perbedaan comparative advantage, dimana garmen relatif lebih murah di Indonesia daripada di Cina. Ketika perdagangan dimulai antara dua negara, rasio pertukaran internasional (term of trade) mendasari antara dua rasio domestik, misalkan 1 garmen:1 beras dan 1 garmen:3 beras. Rasio pertukaran internasional tersebut akan berimbang tergantung pada willingness setiap negara untuk menawarkan komoditas ekspornya dan membeli impor pada harga relatif. Pada posisi keseimbangan akhir, Indonesia akan memproduksi pada titik S dan mengkonsumsi pada titik T. Dimana Indonesia memproduksi garmen sebesar OS (100 juta ton), konsumsi dalam negeri sebesar OD (55 juta ton), dan ekspor sebesar SD (45 juta ton) yang akan ditukar dengan impor beras sebesar DT (90 juta ton). Segitiga TRS adalah segitga perdagangan. TR merepresentasikan ekspor dari garmen, RS merepresentasikan impor dari beras, dan slope TS merepresentasikan harga relatif garmen. Manfaat perdagangan juga akan diperoleh oleh Cina dari mengimpor garmen dan mengekspor beras, dimana gain perdagangan secara total dapat dilihat pada Tabel 1. Jadi tanpa perdagangan, konsumsi beras Cina hanya sebesar 120 juta ton dan garmen sebesar 40 juta ton. Setelah melakukan perdagangan dengan Indonesia, ekspor beras Cina meningkatkan sebesar NB (90 juta ton) dan impor garmen Cina meningkat sebesar NM (45 juta ton). Tabel 1. Produksi dan Konsumsi Sebelum dan Sesudah Melakukan Perdagangan Negara/ Wilayah Garmen Beras Produksi (1) Ekspor (2) Impor (3) Konsumsi Produksi (1) (4) = (1)-(2)+(3) Ekspor (2) Impor (3) Konsumsi (4) = (1)-(2)+(3) - - 40 40 80 0 45 45 0 45 55 100 Sebelum Perdagangan Cina Indonesia Dunia 120 60 180 - - 120 60 180 40 40 80 Setelah Perdagangan Cina Indonesia Dunia 240 0 240 90 0 0 90 150 90 240 0 100 100 Gain dari Perdagangan Cina Indonesia Dunia Sumber: Dunn and Mutti, 2004. +30 +30 +60 +5 +15 +20 Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 379 2.2. Konstruksi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Berdasarkan teori perusahaan, permintaan input diturunkan dari fungsi produksi setiap perusahaan dengan asumsi produsen memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi dan pasar (harga output dan input) (Varian, 1978 dalam Sinaga, 1989). Asumsi lainnya bahwa setiap perusahaan menghadapi pasar persaingan sempurna, baik pada pasar input maupun output, sehingga setiap perusahaan adalah price taker. Penurunan permintaan input dan penawaran output tersebut membutuhkan syarat First Order Necessary Condition (FONC) dan Second Order Sufficient Condition (SOSC) dalam memaksimisasi keuntungan (Henderson dan Quandt, 1980). Diasumsikan bahwa fungsi produksi dapat diturunkan (twice differentiable), permintaan perusahaan terhadap input tertentu mensyaratkan kondisi produktivitas input (produk marginal) senilai dengan harganya. Komoditas tekstil sebagai derived demand dari komoditas garmen. Oleh sebab itu peubah-peubah yang terkandung di dalam persamaan permintaan tekstil domestik tampak berbeda dengan permintaan final goods seperti pada umumnya. Dalam penelitian ini, juga diasumsikan bahwa hanya terdapat satu jenis tekstil dan garmen yang diperdagangkan. Oleh sebab itu tekstil dan garmen dianggap sebagai komoditas yang kemudian dikonversi dalam satuan berat yang sama (ton). Faktor konversi tersebut menggunakan perhitungan umum yang diaplikasikan oleh API. Sedangkan peubah harga komposit tekstil dan garmen di dalam negeri berdasarkan data yang diterbitkan oleh API dan peubah harga komposit tekstil dan garmen di luar negeri menggunakan proksi dari harga ekspor tekstil dan garmen dunia. Selain itu, Indonesia adalah termasuk negara kecil yang terbuka (small open economy). Kategori negara kecil atau besar didasarkan pada perilaku ekonominya, dimana Indonesia tidak dapat mempengaruhi harga dunia atau peubah harga dunia sebagai peubah eksogenus (Krantz, 2006). Menurut Houck, 1986 bahwa negara impotir kecil menghadapi excess supply yang datar dan tidak mampu mempengaruhi harga dunia. Oleh sebab itu asumsi yang digunakan adalah negara kecil berperilaku sebagai price taker, baik di pasar input maupun pasar output. Selain itu biaya transportasi adalah nol serta tidak ada hambatan perdagangan. Kondisi ini dikonstruksikan di dalam model dengan memposisikan peubah harga tekstil dan garmen dunia sebagai peubah eksogen pada persamaan produksi, ekspor, dan impor tekstil dan garmen domestik. Hubungan ekonomi antara peubah dalam model diformulasikan berdasarkan teori ekonomi mikro, teori ekonomi makro, teori perdagangan internasional, dan hasil-hasil penelitian yang terkait. Tanda parameter dugaan menjadi bentuk lain dari hipotesis yang ditindaklanjuti 380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Blok Tekstil Indonesia 1. Produksi 2. Penawaran 3. Permintaan 4. Ekspor 5. Impor 6. Harga Indonesia Blok Tekstil Dunia 1. Harga Dunia 2. Ekspor Dunia 3. Impor Dunia 4. Ekspor Jerman 5. Ekspor USA 6. Ekspor Cina 7. Impor Italia 8. Impor USA 9. Impor Cina Blok Garmen Indonesia 1. Produksi 2. Penawaran 3. Permintaan 4. Ekspor 5. Impor 6. Harga Indonesia Blok Garmen Dunia 1. Harga Dunia 2. Ekspor Dunia 3. Impor Dunia 4. Ekspor Jerman 5. Ekspor Cina 6. Ekspor Turki 7. Impor Jerman 8. Impor USA 9. Impor Jepang Gambar 1. Keterkaitan Antar Blok dalam Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia sebagai landasan untuk menentukan metode analisis dan olah data yang sesuai. Keterkaitan antara industri TPT Indonesia dan dunia merupakan alasan model ini dikonstruksi dengan model dinamis dalam bentuk persamaan simultan (simultaneous equation). Sifat dinamis dari aspek penawaran, permintaan, harga di domestik, maupun harga dunia juga diakomodasikan dengan cara memasukkan peubah-peubah tahun sebelumnya ke dalam model. Pada Gambar 3 disajikan secara sederhana hubungan antara peubah endogen dan eksogen dalam blok pasar tekstil dan garmen di Indonesia dan dunia. Persamaan-persamaan tersebut dibagi dalam empat blok, yaitu (1) blok pasar tekstil Indonesia, (2) blok pasar garmen Indonesia, (3) blok pasar tekstil dunia, dan (4) blok pasar garmen dunia. Sedangkan berdasarkan keterkaitan antar peubah dalam blok, maka disusun persamaanpersamaan yang terdiri dari peubah-peubah endogen dan eksogen. Penentuan peubah-peubah tersebut didasarkan pada kerangka teoritis, studi empiris, dan juga kondisi di lapangan. Peubahpeubah yang dipilih merupakan peubah yang dianggap berpengaruh dan terutama disesuaikan dengan ketersediaan data. Industri TPT terdiri dari sub sektor serat, benang, kain, pakaian jadi, dan tekstil lainnya. Tidak semua sub sektor tersebut akan dijelaskan secara eksplisit dalam model ekonomi. Sub sektor serat, benang, dan kain akan dimasukkan ke dalam kelompok Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 381 tekstil, sedangkan pakaian jadi dan tekstil lainnya dimasukkan kelompok garmen. Alasan pengelompokan ini dilakukan karena sangat berkaitan dengan ketersediaan data. Model operasional yang dikembangkan dalam penelitian ini diupayakan dapat menangkap semua fenomena ekonomi dalam industri TPT, baik di pasar Indonesia maupun dunia. Model operasional terdiri 24 persamaan perilaku dan 6 persamaan identitas. Namun demikian hanya 12 persamaan perilaku dan 6 persamaan identitas yang dijelaskan lebih lanjut karena keterkaitannya langsung dengan industri TPT di dalam negeri. Perilaku ekspor tekstil dan garmen Jerman, Amerika Serikat, dan China Italia, Turki, dan Jepang tidak dijelaskan. Persamaan-persamaan tersebut disajikan sebagai berikut: 1. Produksi tekstil domestik PTDt = a0 + a1HTDRt-1 + a2HCWRt-1 + a3(IRRt-IRRt-1) + a4UTKTRt-1 + a5BBMRt-1 + a6T + a7PTDt-1 + U1 ........................ (1) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: a1, a6 > 0; a2, a3, a4, a5 < 0 dan 0 < a7 < 1. 2. Ekspor tekstil Indonesia XTIt = b0 + b1HTWRt+ b2(HTDRt-HTDRt-1) + b3PTDt-1 + b4ERIRt-1 + b5DKG + b6T + b7XTIt-1 + U2 ................................... (2) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: b1, b3, b4 > 0; b2 < 0 dan 0 < b5 < 1. 3. Penawaran tekstil domestik STDt = PTDt + MTIt - XTIt ............................................................................... (3) 4. Permintaan tekstil domestik DTDt = c0 + c1(HTWRt-1/HTDRt) + c2HGDRt-1 + c3UTKTRt-1 + c4BBMt-1 + c5(IRRt-IRRt-1) + c6T + c7DTDt-1 + U3 ...................... (4) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: c1, c2, c3, c4, c5 < 0; c6 > 0 dan 0 < c7 < 1. 5. Impor tekstil Indonesia MTIt = d0 + d1HMTIRt-1 + d2(HTWRt/HCWRt) + d3TFTt-1 + d4ERIRt-1 + d5(GDPIRt/GDPIRt-1) + d6POPIt-1 + d7T + d8MTIt-1 + U4 ............ (5) 382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: d1, d2, d3, d4, d7 < 0; d5, d6 > 0, dan 0 < d8 < 1. 6. Harga tekstil domestik HTDRt = e0 + e1STDt-1 + e2(HGDRt-HGDRt-1) + e3(HTWRt-1/HCWRt-1) + e4HTDRt-1 + U5 .................................. (6) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: e1 < 0; e2, e3 > 0 dan 0 < e4 < 1. 7. Harga tekstil dunia HTWRt = f0 + f1XTWt + f2MTWt-1 + f3HTWRt-1 + U6 ..................................... (7) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: f1 < 0; f2 > 0 dan 0 < f3 < 1. 8. Ekspor tekstil dunia XTWt = XTIt + XTGt + XTAt + XTCt + XTRt ................................................. (8) 9. Impor tekstil dunia MTWt = MTIt + MTLt + MTAt + MTCt + MTRt ............................................. (9) 10. Produksi garmen domestik PGDt = g0 + g1(HGWRt-1/HGDRt-1) + g2(HTDRt-HTDRt-1) + g3HCWRt-1 + g4(IRRt-IRRt-1) + g5UTKGRt-1 + g6BBMRt + g7T + g8PGDt-1 + U7 ...................................................................... (10) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: g1, g7 > 0; g2, g3, g4, g5, g6 < 0 dan 0 < g8 < 1. 11. Ekspor garmen Indonesia XGIt = h0 + h1HGWRt + h2(HTWRt/HGDRt-1) + h3PGDt + h4ERIRt-1 + h5DKG + h6T + h7XGIt-1 + U8 .................................. ....... (11) Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 383 Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: h2, h5 < 0, h1, h3, h4, h6 > 0 dan 0 < h7 < 1. 12. Penawaran garmen domestik SGDt = PGDt + MGIt - XGIt ........................................................................... (12) 13. Permintaan garmen domestik DGDt = i0 + i1(HGWRt/HTWRt-1) + i2(HGDRt*ERIRt) + i3(GDPIRt/POPIt) + i4(MGIt-MGBt-1) + i5DGDt-1 + U9 .............. (13) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: i1, i2, i4 < 0; i3 > 0 dan 0 < i5 < 1. 14. Impor garmen Indonesia MGIt = j0 + j1HMGIRt + j2(HGWRt-HGWRt-1) + j3TFGt + j4PGDt-1 + j5ERIRt + j6(GDPIRt/POPIt) + j7MGIt-1 + U10 ............................ (14) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: j1, j2, j3, j4, j5 < 0; j6 > 0 dan 0 < j7 < 1. 15. Harga garmen domestik HGDRt = k0 + k1(DGDt/DGDt-1) + k2(HTWRt-HTWRt-1) + k3(HTWRt-HTWRt-1) + k4(HGWRt-1/HTWRt) + k5T k6HGDRt-1 + U11 ............................................................................. (15) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: k1, k2, k3, k4 > 0; k5 < 0 dan 0 < k6 < 1. 16. Harga garmen dunia HGWRt = l0 + l1XGWt + l2MGWt-1 + l3HGWRt-1 + U12 .º........................... (16) Tanda parameter dugaan yang diharapkan dalam persamaan adalah: l1 < 0; l2 > 0 dan 0 < l3 < 1. 17. Ekspor garmen dunia XGWt = XGIt + XGGt + XGCt + XGTt + XGRt ............................................ (17) 18. Impor garmen dunia MGWt = MGIt + MGGt + MGAt + MGJt + MGRt ......................................... (18) 384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 2.3. Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil 2.3.1 Tinjauan Empiris Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia Penelitian Pracoyo (1995) berkaitan dengan ekspor industri tekstil yang menggunakan data time series tahun 1983-1992 dan metode pendugaan Two Stage Least Squares (2SLS). Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor yang telah dilakukan oleh Muscatelli, Srinivasan, dan Vines (1992). Hasil adaptasinya bahwa penawaran ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil, biaya bahan baku, upah, tarif, dan teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil, harga tekstil dunia, harga barang substitusi (harga wool dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen. Selain itu disimpulkan bahwa (1) penurunan tarif akan mendorong perdagangan dunia lebih kompetitif. Pengurangan tarif sebesar 30 persen akan mendorong perdagangan dunia lebih kompetitif, (2) pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan 4,5 persen, hal ini terjadi karena upah termasuk komponen biaya dalam produksi, dan (3) perubahan teknologi, yang ditunjukkan peubah trend, mendorong produksi tekstil menjadi lebih efisien. Penelitian menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS) dilakukan oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun 1978-1997, bahwa trend volume ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang adalah positif dan signifikan secara statistik. Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa, peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor tekstil Indonesia. Penelitian Istojo (2002) menganalisis struktur industri TPT Indonesia terhadap World Trade Organization (WTO) tahun 2005. Metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri, five forces model, driving forces, dan key success factor. Hasil yang diperoleh bahwa ketergantungan industri TPT adalah tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta persaingan yang ketat antara perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005 menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri. Pemberlakuan WTO juga akan merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock. Disebutkan pula bahwa perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat melakukan banyak inovasi manufacture sehingga diferensiasi produk akan meningkat. Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput industri tekstil di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun 1980-2001. Hasilnya ternyata Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 385 modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada pada kondisi increasing return to scale. 2.3.2. Tinjauan Penelitian Tekstil dan Produk Tekstil Dunia Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis Project (GTAP) untuk menganalisis berakhirnya kuota tekstil dengan studi kasus di Bangladesh. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor tekstil dan pakaian jadi Bangladesh pada tahun 1990an, yaitu upah yang rendah, aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI), dan kuota yang diberlakukan di negara pesaing. Bangladesh menghadapi masalah yang serius dengan daya saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun setelah penghapusan kuota dan berpengaruh terhadap Balance of Payment (BOP). WTO (2004) dengan menggunakan GTAP menjelaskan kondisi industri TPT global setelah berakhirnya ATC. Cina dan India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan Cina diprediksikan akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain itu, spesialisasi vertikal dalam supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi negara-negara yang mempunyai kedekatan secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih rendah. Temuan yang penting bagi TPT Indonesia adalah perubahan pangsa pasar TPT di pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat. Di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir Indonesia akan mendapatkan kenaikan pangsa pasar sebesar 1 persen (dari 4 persen menjadi 5 persen) untuk pasar garmen. Sedangkan untuk pasar tekstil, Indonesia mengalami stagnan (dari 3 persen menjadi 3 persen). Berbeda yang terjadi di pasar Amerika Serikat, tekstil Indonesia akan mengalami stagnan (dari 3 persen menjadi 3 persen). Penurunan terjadi untuk komoditas garmen di pasar Amerika Serikat (dari 4 persen menjadi 2 persen). Dari berbagai telaah penelitian tentang industri TPT yang telah dilakukan, secara umum memberikan gambaran tentang perkembangan ekspor TPT dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak penelitian yang melakukan prediksi terhadap perkembangan industri TPT pasca kuota tahun 2005. Namun demikian, tetap ada bagian yang belum dielaborasi secara mendalam oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Keterkaitan antara pasar Indonesia dan pasar dunia berperan penting dalam menelaah perkembangan industri TPT Indonesia. Penelitian agregat dan deskriptif industri TPT 386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 cenderung menghasilkan kesimpulan yang tidak spesifik, sedangkan penelitian dengan skala mikro juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak dapat digeneralisasi. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini dianalisis perkembangan industri TPT secara holistik, baik industri tekstil dan maupun industri garmen, dengan mengaitkan industri TPT secara simultan melalui peubahpeubah ekonomi, termasuk kebijakan moneter dan fiskal. III. METODOLOGI Alat analisis utama yang digunakan adalah ekonometrika time series, yang berguna untuk menganalisis faktor-faktor melalui nilai (sign dan size) parameter penduga setiap persamaan perilaku dan prospek perkembangan industri TPT Indonesia melalui simulasi peramalan. Selain itu, seluruh persamaan struktural telah mengalami respsesifikasi model secara trial and error sehingga pada akhirnya diperoleh persamaan-persamaan yang sesuai dengan syarat keharusan dan kecukupan dalam menyusun persamaan simultan tanpa mengabaikan asumsi-asumsi dasar persamaan regresi (multikolinearitas, homoskedastisitas, dan autokorelasi). 3.1. Identifikasi Model dan Metode Pendugaan Menurut order condition, persamaan dapat diidentifikasi jika jumlah peubah yang tercakup dalam persamaan lebih besar atau sama dengan jumlah seluruh peubah endogen dikurangi satu. Formula identifikasi model struktural menurut order condition (Koutsoyiannis, 1978) adalah sebagai berikut: (K - M) > (G - 1) ............................................................................................. (II.18) dimana: K = Total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermined). M = Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam satu persamaan. G = Total persamaan dalam model. Jika suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi (K - M) > (G - 1) maka persamaan dinyatakan over identified, jika (K - M) = (G - 1) maka persamaan dinyatakan exactly identified, dan jika (K - M) < (G - 1) maka persamaan dinyatakan under identified. Model struktural dalam penelitian ini terdapat 30 persamaan, terdiri dari 24 persamaan perilaku (behavioral) dan 6 persamaan identitas. Jumlah peubah endogen (G) adalah 24 dan 80 peubah predeterminan. Jumlah seluruh peubah yang tercakup dalam model (K) adalah 104. Mengikuti Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 387 formula identifikasi model dengan kriteria order condition, maka setiap persamaan adalah over identified. Jika persamaan dalam model struktural semuanya over identified maka persamaan ini dapat diduga dengan metode Limited Information Maximum Likelihood (LIML), Full Information Maximum Likelihood (FIML), Two Stage Least Squares (2SLS) atau Three Stage Least Squares (3SLS). Metode yang digunakan di dalam penelitian ini untuk menduga parameter dugaan struktural adalah 2SLS. Metode 2SLS dibentuk dengan asumsi (1) syarat gangguan harus memenuhi asumsi stokastik dengan nol, varian konstan dan kovarian sama dengan nol, (2) spesifikasi model struktural adalah tepat sekali sejauh menyangkut peubah predetermined, (3) jumlah pengamatan sampel adalah lebih besar dari jumlah peubah predetermined dalam model, dan (4) peubah penjelas tidak mengalami kolinearitas sempurna. Dengan memperhatikan asumsi tersebut maka DW statistik (Durbin Watson) tidak valid untuk menduga persamaan struktural dari model persamaan simultan, terutama dengan adanya peubah endogen bedakala. Pengolahan data untuk mengestimasi model ekonomi dilakukan dengan menggunakan program software komputer SAS versi 6.12. Untuk menguji peubah penjelas secara bersamasama digunakan uji statistik F, sedangkan untuk menguji peubah penjelas secara individual digunakan uji statistik t. Validasi model ekonomi bertujuan untuk manganalisis sejauhmana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Adapun kriteria statistik validasi pendugaan model ekonomi yang digunakan adalah Root Means Square Error (RMSE), Root Means Square Percent Error (RMSPE), dan Theil»s Inequality Coefficient»(U-theil). Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen). Sedangkan nilai statistik U-theil untuk mengetahui kemampuan model menganalisis simulasi peramalan. Nilai U-theil berkisar antara 1 dan 0. Jika U-theil = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U-theil = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-theil dan makin besar nilai koefisien determinasi, maka pendugaan model semakin baik. Dengan model yang sudah valid,maka simulasi kebijakan dapat di lakukan. Kebijakan-kebijakan yang disimulasikan untuk peramalan (ex-ante) tahun 2007-2012 yaitu, penurunan suku bunga bank di Indonesia, penyesuaian nilai tukar Rupiah/US$, kenaikan biaya produksi industri TPT melalui upah dan harga BBM, kenaikan PDB Indonesia, kenaikan 388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 jumlah penduduk Indonesia, kenaikan PDB Amerika Serikat, kenaikan PDB Cina, dan penghapusan tarif TPT, serta kombinasinya. 3.2. Sumber dan Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam model ekonometrika adalah data sekunder time series tahun 1980-2006. Data bersumber dari publikasi resmi, yaitu Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Badan Pusat Statistik (BPS), United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), United Nation (UN), International Monetary Fund (IMF), WTO, Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, harian terbitan Jakarta, dan internet. Seluruh data-data yang bersatuan Rupiah dideflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia tahun 2000 (2000=100) dan peubah yang bersatuan US$ dideflasi menggunakan proksi IHK Amerika Serikat tahun 2000 (2000=100). Hal ini dilakukan untuk menghilangkan efek dari inflasi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Struktur Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia a. Produksi Tekstil Indonesia Keragaan produksi tekstil Indonesia dapat dijelaskan sebesar 98 oleh lag harga tekstil Indonesia, lag harga kapas dunia, suku bunga bank, lag upah tenaga kerja tekstil, lag harga BBM, tren waktu, dan lag produksi tekstil Indonesia. Semua tanda parameter dugaan sesuai dengan harapan dan secara statistik semua peubah tersebut berpengaruh nyata. Koefisien parameter dugaan lag harga tekstil Indonesia bertanda positif dan sebesar 0,514. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan lag harga tekstil Indonesia sebesar 10 US$ per ton, maka produksi tekstil Indonesia akan naik sebesar 5.140 ribu ton, ceteris paribus. Peningkatan produksi tekstil Indonesia yang searah dengan peningkatan harga tekstil Indonesia menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia merupakan sinyal ekonomi bagi produsen tekstil dalam memproduksi tekstil di pasar Indonesia. Bahan baku utama tekstil adalah serat tekstil dan memiliki keunggulan yang belum dapat digantikan sepenuhnya oleh bahan baku non kapas. Salah satunya adalah mudah menyerap keringat atau bersifat higroskopis. Oleh sebab itu perubahan harga kapas dunia mempengaruhi perubahan produksi tekstil Indonesia. Menurut Istojo (2002) industri tekstil Indonesia sangat tergantung kepada pemasok dan pembeli. Lebih dari 85 persen kebutuhan kapas untuk industri Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 389 tekstil Indonesia diimpor dari Australia, Amerika Serikat, Cina, India, Pakistan, Tanzania, dan lainnya. Hal ini karena tanaman kapas belum dapat dibudidayakan secara maksimal di dalam negeri. Di dalam penelitian ini, produksi tekstil Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh lag harga kapas dunia dengan arah yang berlawanan. Apabila lag harga kapas dunia meningkat sebesar 10 US$ per ton, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 354.812 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi tekstil Indonesia sangat responsif terhadap lag harga kapas dunia. Suku bunga bank diproksi dengan suku bunga bank untuk kegiatan investasi. Suku bunga bank memberikan kontribusi berlawanan arah dengan produksi tekstil Indonesia. Jika suku bunga bank dinaikkan melalui kebijakan moneter sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka tindakan itu akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 2.410 ribu ton. Keadaan tersebut menurunkan insentif bagi produsen sehingga mengurangi produksi tekstil Indonesia sebesar 0,053 persen dalam jangka pendek dan 0,772 persen dalam jangka panjang. Industri TPT menyerap banyak tenaga kerja sehingga upah tenaga kerja menjadi salah satu komponen biaya produksi yang penting dalam keberlanjutan proses produksi. Upah tenaga kerja di sektor industri tekstil berpengaruh nyata terhadap produksi tekstil Indonesia dengan arah negatif. Jika besaran upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dinaikkan sebesar Rp. 1 000 000 per kapita per tahun, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 0,110 ribu ton, ceteris paribus. Respon produksi tekstil Indonesia terhadap upah tenaga kerja di sektor industri tekstil adalah inelastis dalam jangka pendek dan elastis dalam jangka panjang. Sama seperti yang dilakukan oleh Pracoyo (1995) bahwa peubah upah tenaga kerja berpengaruh nyata secara statistik pada produksi tekstil Indonesia. Selain upah tenaga kerja, harga BBM (terutama solar dan minyak bakar) juga berkontribusi dalam biaya produksi di sektor industri tekstil. Harga BBM berhubungan negatif dengan produksi tekstil Indonesia dan berpengaruh signifikan secara statistik. Jika harga BBM meningkat sebesar Rp. 10 per liter, maka akan menurunkan produksi tekstil Indonesia sebesar 1.444 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, produksi tekstil Indonesia kurang responsif terhadap harga BBM. Kecenderungan waktu menunjukkan terjadinya peningkatan produksi tekstil Indonesia sebesar 51.830 ribu ton. Hal ini sangat terkait dengan industri garmen yang sangat membutuhkan ouput industri tekstil sebagai bahan bakunya. Lag produksi tekstil Indonesia juga menjadi informasi dasar bagi produsen untuk berproduksi di tahun berikutnya. Apabila lag produksi tekstil mengalami kenaikan sebesar 1 000 ton, maka pada tahun berikutnya produknya akan naik sebesar 0,720 ribu ton, ceteris paribus. 390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 b. Ekspor Tekstil Indonesia Persamaan ekspor tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,961, menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan perilaku ekspor tekstil Indonesia. Semua peubah penjelas mempunyai tanda parameter dugaan sesuai harapan. Namun demikian, tidak semua peubah mempunyai pengaruh nyata terhadap ekspor tekstil Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga tekstil Indonesia, dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag ekspor tekstil. Harga tekstil Indonesia yang meningkat akan menjadi insentif bagi produsen untuk berproduksi. Jika perubahan harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10 per ton, maka akan menurunkan ekspor tekstil Indonesia sebesar 5.854 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek, respon ekspor tekstil Indonesia terhadap perubahan harga tekstil Indonesia adalah inelastis dan menjadi elastis dalam jangka panjang. Perdagangan TPT dunia mengalami perubahan signifikan dari tahun 1950an hingga tahun 2005. Tahap pengintegrasian perdagangan TPT sesuai ketentuan GATT dimulai tahun 1995 hingga tahun 2005. Proses tersebut mengurangi jumlah dan jenis TPT kuota impor dari negara pengimpor, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki. Keadaan ini berdampak pada ekspor tekstil Indonesia. Di dalam penelitian ini dummy pengintegrasian perdagangan TPT berpengaruh nyata terhadap ekspor tekstil Indonesia. Proses pengintegrasian perdagangan TPT selama 10 tahun menurunkan ekspor tekstil Indonesia hingga 134.367 ribu ton. Lag ekspor tekstil Indonesia juga berpengaruh secara nyata terhadap ekspor tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor tekstil Indonesia memerlukan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan, atau dengan kata lain ekspor tekstil Indonesia relatif tidak stabil. c. Penawaran Tekstil Indonesia Total penawaran tekstil Indonesia merupakan penjumlahan dari produksi tekstil, impor tekstil, dan tekstil yang diekspor Indonesia. Berdasarkan hubungan identitas tersebut, maka setiap perubahan dalam produksi tekstil, impor tekstil, dan ekspor tekstil yang ditimbulkan akibat intervensi pemerintah, antara lain melalui instrumen kebijakan moneter dan fiskal, akan mempengaruhi jumlah tekstil yang tersedia di pasar Indonesia. Besaran perubahan penawaran tekstil Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi tekstil, impor tekstil, dan juga ekspor tekstil Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 391 d. Harga Tekstil Indonesia Nilai koefisien determinasi persamaan harga tekstil Indonesia sebesar yaitu 0,833. Hal tersebut mengindikasikan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan perilaku harga tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai dengan harapan dan peubah yang berpengaruh nyata terhadap harga tekstil Indonesia adalah perubahan harga garmen Indonesia, dan lag harga tekstil Indonesia. Perubahan harga gamen Indonesia berpengaruh nyata terhadap harga tekstil Indonesia dengan arah yang positif. Jika perubahan harga garmen Indonesia naik sebesar US$ 100 per ton, maka akan menstimulasi kenaikan harga tekstil Indonesia sebesar US$ 0,819 per ton, ceteris paribus. Responsinya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah inelastis, hal ini menunjukkan bahwa harga tekstil Indonesia kurang responsif terhadap perubahan harga garmen Indonesia. Selain perubahan harga garmen Indonesia, lag harga tekstil Indonesia juga berpengaruh sangat nyata. Hal ini mengindikasikan bila harga tekstil Indonesia memerlukan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan, atau dengan kata lain harga tekstil Indonesia relatif tidak stabil. Jika lag harga tekstil Indonesia naik sebesar US$ 10 per ton, maka akan meningkatkan harga tekstil Indonesia tahun berikutnya sebesar US$ 6.889 per ton, ceteris paribus. e. Permintaan Tekstil Indonesia Persamaan permintaan tekstil Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi cukup tinggi, yaitu 0,819. Keadaan ini menggambarkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas dalam menjelaskan perilaku permintaan tekstil Indonesia. Permintaan tekstil Indonesia dijelaskan oleh perubahan harga tekstil Indonesia, lag harga garmen Indonesia, lag upah tenaga kerja sektor industri tekstil, perubahan suku bunga bank, tren waktu, dan lag permintaan tekstil Indonesia. Tanda parameter dugaan semuanya sesuai dengan harapan. Lag harga garmen Indonesia, lag upah tenaga kerja sektor industri tekstil, dan lag permintaan tekstik Indonesia berpengaruh nyata terhadap permintaan tekstil Indonesia. Lag harga garmen Indonesia mempunyai hubungan yang berlawanan dengan permintaan tekstil Indonesia. Jika lag harga garmen naik sebesar US$ 10 per ton, maka permintaan tekstil Indonesia akan turun sebesar 0,270 ribu ton, ceteris paribus. Selain itu permintaan tekstil Indonesia kurang responsif terhadap perubahan lag harga garmen Indonesia, baik di dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Permintaan tekstil Indonesia merupakan cerminan 392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 permintaan tekstil oleh industri tekstil itu sendiri dan pada akhirnya output industri tekstil akan digunakan sebagai input oleh industri garmen. Lag upah tenaga kerja di sektor tekstil berkontribusi mempengaruhi perubahan tekstil Indonesia yang diminta. Jika lag upah tenaga kerja di sektor industri tekstil naik 1 persen, maka akan menurunkan permintaan tekstil Indonesia sebesar 0,715 persen dalam jangka pendek dan 1.856 persen dalam jangka panjang. Permintaan tekstil merupakan derived demand untuk industri garmen. Informasi lag permintaan tekstil Indonesia berperan penting untuk memperkirakan permintaan tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Jika lag permintaan tekstil Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka ada kecenderungan juga akan menaikan permintaan tekstil Indonesia pada tahun berikutnya sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus. f. Impor Tekstil Indonesia Berdasarkan hasil signifikansi parameter dugaan, hanya lag impor tekstil Indonesia yang berpengaruh secara nyata terhadap impor tekstil Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa impor tekstil Indonesia memerlukan waktu yang relatif lambat untuk menyesuaikan kembali pada tingkat keseimbangan. g. Produksi Garmen Indonesia Keragaan produksi garmen Indonesia dapat dijelaskan sebesar 0,939 oleh peubah-peubah penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai dengan harapan. Peubah yang berpengaruh signifikan adalah ag upah tenaga kerja garmen, tren waktu, dan ag produksi garmen. Selain industri tekstil menyerap banyak tenaga kerja, sektor industri garmen juga demikian. Terdapat bagian dalam proses produksi garmen, seperti menjahit, yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh mesin. Penggunaan tenaga kerja yang banyak akan berpengaruh terhadap biaya produksi. Lag upah tenaga kerja garmen dalam penelitian ini berbeda nyata secara statistik. Jika ada kenaikan lag upah tenaga kerja garmen sebesar Rp. 1 000 000 per kapita per tahun, maka akan menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,055 ribu ton, ceteris paribus. Dalam jangka pendek, produksi garmen Indonesia kurang responsif jika dibandingkan dalam jangka panjang. Di samping lag upah tenaga kerja garmen, tren waktu juga berpengaruh sangat nyata terhadap produksi garmen Indonesia. Garmen adalah produk yang sangat berkaitan dengan tren mode dan berubah sesuai perkembangan jaman. Berdasarkan kecenderungan waktu, Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 393 produksi garmen Indonesia mengalami kenaikan 26.869 ribu ton. Selain itu lag produksi garmen menjadi informasi memproduksi garmen tahun berikutnya. Jika lag produksi garmen Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka produksi garmen Indonesia tahun berikutnya meningkat sebesar 0,453 ribu ton, ceteris paribus. h. Ekspor Garmen Indonesia Keragaan ekspor garmen Indonesia sebesar 0,952 dapat dijelaskan oleh peubah-peubah penjelasnya. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan struktural juga telah sesuai dengan harapan. Ekspor garmen Indonesia dijelaskan oleh rasio lag harga garmen dunia dengan harga tekstil dunia, harga garmen Indonesia, rasio produksi garmen Indonesia dengan lag produksi garmen Indonesia, lag nilai tukar Rupiah terhadap US$, dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag ekspor garmen Indonesia. Dari enam peubah tersebut, hanya lag nilai tukar Rupiah terhadap US$ dan lag ekspor garmen Indonesia yang berpengaruh nyata. Eksportasi garmen berkaitan dengan nilai tukar Rupiah terhadap US$. Nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi akan meningkatkan daya saing garmen Indonesia. Lag nilai tukar Rupiah terhadap US$ berpengaruh sangat nyata dengan elastisitas jangka pendek sebesar 0,310 dan jangka panjang sebesar 1,353. Artinya bila lag nilai tukar Rupiah terhadap US$ depresiasi sebesar 10 persen, maka ekspor garmen Indonesia akan meningkat sebesar 3,10 persen dalam jangka pendek dan 13,530 persen dalam jangka panjang atau elastis, ceteris paribus. Koefisien lag ekspor garmen Indonesia mempunyai hasil parameter dugaan bertanda positif sebesar 0,771. Artinya jika lag ekspor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka ekspor garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,771 ribu ton, ceteris paribus. i. Penawaran Garmen Indonesia Total penawaran garmen Indonesia merupakan persamaan identitas dari produksi garmen Indonesia, impor garmen Indonesia, dan ekspor garmen Indonesia. Besaran perubahan penawaran garmen Indonesia tergantung pada nilai elastisitas produksi garmen, impor garmen, dan juga ekspor garmen Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. j. Harga Garmen Indonesia Persamaan harga garmen Indonesia mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi, yaitu 0,889. Hal ini menunjukkan tingginya kemampuan peubah-peubah penjelas menjelaskan 394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 perilaku harga garmen Indonesia. Tanda parameter dugaan peubah dalam persamaan juga telah sesuai dengan harapan. Harga garmen Indonesia dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh rasio permintaan garmen Indonesia dengan lag produksi garmen Indonesia, lag harga garmen dunia, perubahan harga teksil dunia, dan lag harga garmen Indonesia. Satu-satunya peubah yang berpengaruh nyata adalah lag harga garmen Indonesia. Informasi lag harga menjadi hal penting untuk menetapkan harga pada tahun berikutnya. Lag harga garmen Indonesia ternyata sangat berpengaruh nyata dimana koefisien lag harga garmen Indonesia bertanda positif sebesar 0,861. Artinya jika lag harga garmen Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka harga garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,8261 ribu ton, ceteris paribus. k. Permintaan Garmen Indonesia Keragaan permintaan garmen Indonesia dijelaskan secara bersama-sama oleh harga garmen dunia, perubahan harga tekstil Indonesia, PDB per kapita Indonesia, perubahan impor garmen bekas Indonesia,dummy integrasi perdagangan TPT dunia, dan lag permintaan garmen Indonesia. Terdapat tiga dari lima peubah yang berpengaruh secara nyata terhadap perubahan permintaan garmen Indonesia. Harga adalah faktor penting yang mempengaruhi pergerakan permintaan, begitu pula dari hasil penelitian ini. Harga garmen Indonesia berpengaruh nyata secara statistik dengan hubungan yang negatif. Sedangkan berdasarkan elastisitasnya, maka elastisitas jangka pendek sebesar 0,387 persen dan jangka panjang sebesar 0,553 persen. Hal ini dapat diartikan secara khusus, bahwa apabila ada kenaikan harga garmen Indonesia sebesar US$ 10 per ton, maka akan menurunkan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.870 ribu ton dalam jangka pendek dan sebesar 5.530 ribu ton dalam jangka panjang, ceteris paribus. PDB per kapita Indonesia juga berpengaruh nyata dengan hubungan yang searah dengan perubahan permintaan garmen Indonesia. Bila PDB per kapita Indonesia meningkat sebesar Rp. 1 miliar, maka keadaan tersebut akan menstimulasi peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 0,011 ribu ton, ceteris paribus. Responsi permintaan garmen Indonesia terhadap PDB per kapita Indonesia adalah inelastis, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kebijakan kuota impor TPT bersifat diskriminasi. Pasar-pasar tradisional, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Finlandia, Norwegia, dan Turki membatasi jumlah impor yang berasal dari Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, disebutkan bahwa pada saat integrasi perdagangan Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 395 TPT dunia diterapkan, maka akan menaikan permintaan garmen Indonesia sebesar 66.548 ribu ton, ceteris paribus. Selain itu lag permintaan garmen Indonesia juga berpengaruh nyata terhadap permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya. Jika lag permintaan garmen Indonesia naik sebesar 1 000 ton, maka akan menaikkan permintaan garmen Indonesia tahun berikutnya sebesar 0,300 ribu ton, ceteris paribus. l. Impor Garmen Indonesia Impor garmen Indonesia dijelaskan oleh harga impor garmen Indonesia (dalam Rupiah), perubahan harga garmen dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia, lag jumlah penduduk Indonesia, rasio PDB Indonesia dengan lag PDB Indonesia, dan lag impor garmen Indonesia. Peubah yang berpengaruh nyata adalah perubahan harga garmen dunia, lag tarif impor garmen, lag produksi garmen Indonesia, dan lag impor garmen Indonesia. Koefisien parameter dugaan perubahan harga garmen dunia adalah sebesar 0,006 dengan arah yang berlawanan. Artinya jika perubahan harga garmen dunia meningkat US$ 10 per ton, maka impor garmen Indonesia akan menurun sebesar 0,064 ribu ton, ceteris paribus. Sedangkan responsi impor garmen Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang adalah inelastis. Lag tarif impor garmen mempengaruhi impor garmen Indonesia dengan arah yang berlawanan. Artinya jika ada kenaikan besaran lag tarif impor garmen sebesar 1 persen, maka akan menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 2.119 ribu ton, ceteris paribus. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, impor garmen Indonesia bersifat elastis terhadap lag tarif impor garmen. Impor garmen Indonesia juga dipengaruhi oleh lag produksi garmen Indonesia. Jika lag produksi garmen Indonesia meningkat sebesar 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia akan menurun sebesar 0,221 ribu ton, ceteris paribus. Responsi impor garmen Indonesia terhadap lag produksi garmen Indonesia adalah elastis, baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Peubah lainnya yang juga signifikan secara statistik adalah lag impor garmen Indonesia. Koefisien lag impor garmen Indonesia bertanda positif dan sebesar 0,615. Artinya jika lag impor garmen Indonesia bertambah 1 000 ton, maka impor garmen Indonesia tahun berikutnya akan meningkat sebesar 0,615 ribu ton, ceteris paribus. 396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 4.2. Validasi Model Ekonomi Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Dari 30 persamaan yang membentuk model, 27 persamaan memiliki nilai RMSPE di bawah 50 persen, dan 1 persamaan mempunyai nilai RMSPE antara 50 persen sampai 100 persen, serta 2 persamaan memiliki nilai RMSPE di atas 100 persen. Artinya nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan baik Sedangkan berdasarkan nilai U-theil, 29 persamaan memiliki nilai U-theil di bawah 0,20, dan ada 1 persamaan yang memiliki nilai U-theil di atas 0,20. Artinya bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik. Berdasarkan semua kriteria di atas, maka model ekonomi yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup valid untuk melakukan simulasi alternatif kebijakan makroekonomi melalui simulasi peramalan (ex-ante). 4.3. Hasil Simulasi Peramalan Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia Tahun 2007-2012 Pada Tabel 2 disajikan hasil simulasi kebijakan makroekonomi terhadap perkembangan TPT di Indonesia. Tabel 2. Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perubahan Nilai Rata-Rata Peubah Endogen Tahun 2007-2012 Peubah Endogen Produksi Tekstil Indonesia (PTDt) Produksi Garmen Indonesia (PGDt) Permintaan Tekstil Indonesia (DTDt) Permintaan Garmen Indonesia (DGDt) Penawaran Tekstil Indonesia (STDt) Penawaran Garmen Indonesia (SGDt) Harga Tekstil Indonesia (HTDRt) Harga Garmen Indonesia (HGDRt) Ekspor Tekstil Indonesia (XTIt) Impor Tekstil Indonesia (MTIt) Harga Tekstil Dunia (HTWRt) Harga Garmen Dunia (HGWRt) Ekspor Garmen Indonesia (XGIt) Impor Garmen Indonesia (MGIt) Ekspor Tekstil Dunia (XTWt) Impor Tekstil Dunia (MTWt) Ekspor Garmen Dunia (XGWt) Impor Garmen Dunia (MGWt) Keterangan: Simulasi 1 : Simulasi 2 : Simulasi 3 : Simulasi 4 : Simulasi 5 : Simulasi 6 : Perubahan Akibat Simulasi (%) 1 0.0000 -0.0049 0.0000 0.0002 0.0567 0.0002 0.0000 0.0000 0.0000 -0.0021 -0.0580 0.0000 -0.0032 0.0789 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 2 0.1936 -0.0018 -0.2822 0.1286 -11.9239 -63.9076 0.5344 -0.7217 6.0591 0.1675 -2.2042 -11.5351 21.6763 -5.1755 0.1970 0.0304 0.3160 0.0072 3 -25.4114 -12.6301 -73.4549 -0.2371 -34.3066 -18.7352 1.8036 1.2831 -8.9655 0.5522 2.9582 2.4718 -4.7985 125.1513 -0.2845 -0.0138 -0.0683 0.0018 4 -0.2904 0.0013 0.3763 -0.0917 12.4333 21.9497 -0.6012 0.4812 0.1478 13.7351 2.0302 0.2168 -0.0237 179.8909 0.0031 0.3367 -0.0020 0.0045 5 -25.4114 -12.6298 -73.4562 3.2676 -34.1153 -18.5225 1.7368 1.4435 -8.9655 0.7630 2.9582 2.4718 -4.8009 126.8318 -0.2845 -0.0083 -0.0683 0.0018 6 12.8267 1.5850 0.8467 3.4647 29.7464 22.4123 -1.5364 0.3208 4.9261 13.5237 2.2622 -18.6904 1.5617 172.2973 0.8880 2.1058 0.6573 0.0573 Suku bunga bank turun 5 persen. Penyesuaian nilai tukar Rupiah=Rp. 9 000/US$. Upah tenaga kerja industri tekstil dan garmen naik 14.5 persen dan 15 persen. Liberalisasi perdagangan. Kombinasi 4, PDB Indonesia naik 8 persen, dan populasi Indonesia naik 1.1 persen. Kombinasi 3, 5, PDB Indonesia naik 8 persen, populasi Indonesia naik 1.1 persen, PDB Amerika Serikat naik 3.1 persen, dan PDB Cina naik 8.5 persen. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 397 a. Penurunan Tingkat Suku Bunga Bank Kebijakan menurunkan suku bunga bank sebesar 5 persen merupakan salah satu kebijakan moneter yang dapat meningkatkan produksi tekstil Indonesia. Industri tekstil adalah industri yang bersifat padat modal (capital intensive) dibandingkan dengan industri garmen. Namun demikian penurunan suku bunga bank hanya sebesar 5 persen tidak direspon oleh produsen tekstil di Indonesia dengan menaikan produksi tekstilnya. Produksi tekstil Indonesia yang tidak berubah juga menyebabkan ekspor tekstil Indonesia tidak berubah. Sedangkan impor tekstil Indonesia menurun sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,057 persen. Sedangkan penurunan penawaran tekstil Indonesia tidak merubah volatilitas harga tekstil Indonesia sehingga permintaan tekstil Indonesia juga tidak berubah. Harga garmen Indonesia yang tidak berubah, sebagai harga output bagi industri garmen, berkontribusi dalam menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 0,005 persen. Penurunan produksi garmen pada tahap selanjutnya akan mendorong penurunan ekspor garmen Indonesia sebesar 0,003 persen. Di sisi lain impor garmen meningkat sebesar 0,079 persen. Secara total, penawaran garmen Indonesia sedikit meningkat sebesar 0,0002 persen. Penurunan suku bunga bank sebesar 5 persen menyebabkan masyarakat cenderung tidak melakukan saving. Hal tersebut membuat permintaan garmen meningkat sebesar 0,0002 persen. b. Penyesuaian Nilai Tukar Rp. 9 000 terhadap US$ Nilai tukar yang relatif tidak berfluktuasi akan membantu produsen dalam menghitung dan menentukan biaya produksi dan risiko usaha. Oleh sebab itu kebijakan moneter ini mampu meningkatkan ekspor tekstil dan garmen Indonesia, masing-masing sebesar 6.059 persen dan 21.676 persen. Secara bersama-sama pula juga meningkatkan impor tekstil sebesar 0,167 persen dan menurunkan impor garmen sebesar 5.175 persen. Total penawaran tekstil dan garmen Indonesia menurun, masing-masing sebesar 11.924 persen dan 63.908 persen. Penawaran tekstil Indonesia yang menurun menyebabkan harga tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,534 persen, sehingga permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 0,282 persen. Harga tekstil Indonesia yang meningkat pada gilirannya akan membuat produksi garmen Indonesia menurun sebesar 0,002 persen. Kebijakan penyesuaian nilai tukar juga mendorong ekspor garmen Indonesia sebesar 21.676 persen. Penurunan harga garmen Indonesia sebesar 0,722 persen makin menstimulasi peningkatan eksportasi, menurunkan impor garmen Indonesia sebesar 5.175 persen, dan meningkatkan permintaan garmen Indonesia sebesar 0,129 persen. Selain itu dampak lainnya 398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 adalah penurunan produksi garmen Indonesia sebesar 0,002 persen. Secara total penawaran garmen Indonesia menurun sebesar 63.908 persen. c. Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen Industri tekstil dan garmen banyak menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita. Kebijakan peningkatan upah tenaga kerja di kedua sektor tersebut masing-masing sebesar 14.5 persen dan 15 persen akan mendorong penurunan produksi tekstil dan garmen. Produksi tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen. Ekspor tekstil Indonesia akan terdorong turun sebesar 8.965 persen dan impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,552 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia menurun sebesar 34.307 persen. Penurunan penawaran tekstil Indonesia akan menaikan harga tekstil Indonesia sebesar 1.804 persen. Dampak selanjutnya permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 73.455 persen. Bagi produksi garmen Indonesia, kenaikan harga tekstil Indonesia akan menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Ekspor garmen Indonesia pada tahap selanjutnya ikut mengalami penurunan, yaitu sebesar 4.798 persen. Impor garmen Indonesia akan meningkat sebesar 125.151 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia menurun, sebesar 18.735 persen. Selain itu harga garmen Indonesia naik sebesar 1.283 persen, sebagai akibat tidak langsung dari kenaikan upah tenaga kerja. Pada akhirnya hal ini akan membuat permintaan garmen Indonesia menurun sebesar 0,237 persen. d. Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Liberalisasi perdagangan dengan penurunan tarif hingga nol persen sebagai salah satu bentuk kebijakan perdagangan, ternyata memberikan dampak pada peningkatan impor tekstil Indonesia sebesar 13.735 persen. Penurunan produksi tekstil dalam negeri sebesar 0,290 persen makin memperbesar peningkatan impor tersebut. Peningkatan impor tekstil Indonesia akan meningkatkan penawaran tekstil Indonesia sebesar 12.433 persen. Peningkatan penawaran tekstil ternyata menurunkan harga tekstil Indonesia sebesar 0,601 persen, sehingga permintaan tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,376 persen. Harga tekstil Indonesia yang menurun juga direspon oleh ekspor tekstil Indonesia yang meningkat sebesar 0,148 persen. Penurunan tarif impor garmen hingga nol persen akan meningkatkan impor garmen Indonesia sebesar 179.891 persen, sehingga secara total penawaran garmen Indonesia meningkat sebesar 21.950 persen. Di sisi lain, harga garmen Indonesia yang meningkat sebesar Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 399 0,481 persen membuat permintaan garmen Indonesia menurun sebesar 0,092 persen. Peningkatan harga garmen Indonesia menjadi insentif bagi produsen garmen Indonesia untuk meningkat produksinya, yaitu sebesar 0,001 persen. Selain itu harga garmen Indonesia yang meningkat juga mendorong peningkatan ekspor sebesar 0,024 persen di masa mendatang e. Kenaikan Upah Tenaga Kerja di Sektor Tekstil dan Garmen, Kenaikan PDB Indonesia, dan Kenaikan Jumlah Penduduk Indonesia Kombinasi kebijakan kenaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen, kenaikan PDB Indonesia sebesar 8 persen, dan kebijakan demografi melalui peningkatan jumlah penduduk sebesar 1.1 persen menjadikan produksi tekstil Indonesia menurun sebesar 25.411 persen sehingga mendorong penurunan ekspor tekstil Indonesia sebesar 8.965 persen. Di samping itu impor tekstil Indonesia meningkat sebesar 0,763 persen. Secara total penawaran tekstil Indonesia menurun sebesar 34.115 persen. Penurunan penawaran tekstil ini akan meningkatkan harga tekstil Indonesia sebesar 1.737 persen. Pada gilirannya keadaan tersebut membuat permintaan tekstil Indonesia menurun sebesar 73.456 persen. Peningkatan PDB dan pertumbuhan penduduk Indonesia secara alami mendorong peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.268 persen. Keadaan ini membuat harga garmen Indonesia meningkat sebesar 1.443 persen. Selain itu juga diakibatkan upah tenaga kerja di sektor garmen cukup mendominasi dalam biaya produksi yang pada akhirnya meningkatkan harga output industri garmen. Peningkatan harga tekstil Indonesia sebagai harga input industri garmen dapat menurunkan produksi garmen Indonesia sebesar 12.630 persen. Sedangkan ekspor garmen Indonesia menunjukkan penurunan sebesar 4.801 persen. Hal ini karena harga garmen di dalam negeri yang meningkat ternyata menarik bagi produsen garmen Indonesia untuk menggarap pasar Indonesia. Di samping itu impor garmen Indonesia meningkat sebesar 126.832 persen. Secara total penawaran garmen Indonesia menurun sebesar 18.522 persen f. Kenaikan Harga BBM, Liberalisasi Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil, Kenaikan PDB Indonesia, Amerika Serikat, dan Cina serta Kenaikan Jumlah Penduduk Indonesia Kebijakan kenaikan harga BBM sebesar 8.5 persen, liberalisasi perdagangan, kenaikan PDB Indonesia sebesar 8 Persen, peningkatan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1.1 Persen, kenaikan PDB Amerika Serikat sebesar 3.1 Persen, dan PDB Cina sebesar 8.5 persen ternyata 400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 mampu menaikan produksi tekstil Indonesia, masing-masing sebesar 12.827 persen dan 1.585 persen. Oleh sebab itu ekspor tekstil Indonesia juga meningkat sebesar 4.926 persen dan sekaligus meningkatkan impor tekstil Indonesia sebesar 13.524 persen. Jadi secara total penawar tekstil Indonesia meningkat sebesar 29.746 persen. Keadaan ini membuat harga tekstil Indonesia menurun sebesar 1.536 persen, sehingga permintaan tekstil dalam negeri meningkat sebesar 0,847 persen. Di sisi kenaikan PDB Indonesia dan jumlah penduduk Indonesia akan mendorong peningkatan permintaan garmen Indonesia sebesar 3.465 persen, sehinnga harga garmen Indonesia juga meningkat sebesar 0,321 persen. Eksportasi garmen Indonesia masih menunjukkan peningkatan sebesar 1.562 persen begitu pula dengan importasi garmen Indonesia yang meningkat sebesar 172.297 persen. Secara total penawaran garmen Indonesia meningkat sebesar 22.412 persen. Peningkatan PDB Amerika Serikat dan Cina akan meningkatkan impor tekstil Amerika Serikat sebesar 1.341 persen dan impor tekstil Cina sebesar 5.746 persen. Oleh sebab itu total impor tekstil dunia akan meningkat sebesar 2.106 persen sehingga harga tekstil dunia meningkat sebesar 2.262 persen. Peningkatan harga ini akan berdampak pada peningkatan harga garmen Indonesia. Sedangkan di sisi garmen, peningkatan PDB Amerika Serikat akan mendorong peningkatan total impor garmen dunia sebesar 0,057 persen. Pada akhirnya peningkatan impor garmen dunia tersebut belum mampu meningkatkan harga garmen dunia. Hal ini terjadi karena total ekspor dunia meningkat lebih besar daripada impornya. Penurunan harga garmen dunia sebesar 18.690 persen akan berdampak pada penurunan harga tekstil Indonesia dan peningkatan harga garmen Indonesia. 4.4. Diskusi Kenaikan produksi industri tekstil dan garmen pada umumnya terkait dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan ekspor industri tekstil dan garmen berhubungan dengan perolehan devisa yang diperlukan untuk menunjang pembangun ekonomi Indonesia. Kebijakankebijakan yang dapat menurunkan produksi dan sekaligus ekspor pada industri tekstil dan juga garmen adalah kebijakan menaikan upah tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen masingmasing sebesar 14.5 persen dan 15 persen (simulasi 3) dan liberalisasi perdagangan, kenaikan PDB Indonesia dan jumlah penduduk (simulasi 5). Salah satu komponen biaya produksi yang berperan besar dalam keberlanjutan produksi tekstil dan garmen adalah upah tenaga kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan, khususnya pada industri garmen, adalah pekerja dengan keterampilan tertentu tanpa harus dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Oleh sebab itu Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 401 peningkatan penyerapan tenaga kerja industri TPT pada akhirnya dapat mengurangi jumlah pengangguran di masyarakat yang notabene muncul sebagai akibat keterbatasan mengenyam pendidikan tinggi. Kebijakan menaikkan upah tenaga kerja yang disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah, seperti kenaikan upah minimum regional, akan menstimulasi penurunan produksi dan ekspor, serta rasionalisasi tenaga kerja. Liberalisasi perdagangan TPT yang ditandai dengan penghapusan tarif hingga nol persen justru cenderung meningkatkan volume impor tekstil dan garmen Indonesia. Namun demikian di sisi lain ekspor tekstil Indonesia masih menunjukkan peningkatan, tapi tidak dengan ekspor garmen Indonesia. Hal ini terjadi terjadi persaingan yang semakin ketat antar negara produsen TPT di dunia, terutama Cina dan negaranegara di Asia Selatan. Kebijakan yang hanya mampu meningkatkan produksi dan ekspor di salah satu sektor adalah kebijakan menaikkan tingkat suku bunga (simulasi 1). Kebijakan ini menurunkan produksi dan ekspor garmen Indonesia dan membuat produksi dan ekspor tekstil stagnan. Industri TPT merupakan salah satu dari industri yang berisiko tinggi, sehingga bank kurang tertarik memberikan kredit investasi. Pada umumnya bank hanya memberikan pinjaman atau kredit jangka pendek (90 persen) dan jangka menengah (10 persen) kepada industri TPT. Sementara restrukturisasi permesinan industri TPT membutuhkan bentuk pinjaman dalam jangka panjang antara 10 sampai 15 tahun. Industri tekstil bersifat padat modal dibandingkan industri garmen, sehingga permasalahan restrukturisasi lebih banyak dirasakan oleh industri tekstil. Permesinan yang sudah usang dan teknologi yang tidak modern dapat mempengaruhi produktivitas industri TPT. Kebijakan yang masih mampu meningkatkan produksi dan ekspor di kedua sektor adalah simulasi ke 2, yaitu kebijakan moneter melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$ dan simulasi ke 6, yaitu kombinasi kebijakan upah, liberalisasi, dan kenaikan PDB Indonesia serta beberapa negara maju. Semenjak Indonesia menganut floating exchange rate regime, nilai tukar Rupiah menjadi berfluktuasi sepanjang waktu. Meskipun demikian, bank Indonesia masih dapat melakukan intervensi untuk menstabilkannya melalui instrumen kebijakan moneter. Nilai tukar Rupiah yang stabil membantu eksportir dan importir dalam menghitung dan memprediksikan biaya dan sekaligus keuntungan di masa mendatang. 402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 V. KESIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Produksi tekstil Indonesia dipengaruhi oleh lag harga kapas dunia dan perubahan lag upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dengan hubungan yang negatif. Produksi garmen Indonesia dipengaruhi oleh lag upah tenaga kerja di sektor garmen. 2. Ekspor tekstil Indonesia ke pasar dunia bersifat elastis dalam jangka panjang terhadap perubahan harga tekstil Indonesia. Sedangkan ekspor garmen Indonesia di pasar dunia dipengaruhi oleh lag nilai tukar terhadap US$ dengan hubungan yang positif. 3. Permintaan tekstil Indonesia mempunyai respon yang elastis terhadap lag upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dan permintaan garmen Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan per kapita penduduk Indonesia dengan hubungan yang positif. Berdasarkan simulasi kebijakan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kebijakan yang dapat meningkatkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen adalah (1) kebijakan tunggal melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah terhadap US$ dan (2) kombinasi kebijakan menaikkan upah, kebijakan liberalisasi perdagangan, dan kenaikan PDB Indonesia serta beberapa negara maju sebagai bentuk potensi pasar TPT dunia. 2. Kebijakan menurunkan produksi dan ekspor di industri tekstil dan garmen adalah (1) kebijakan tunggal melalui kenaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen dan (2) kombinasi kebijakan menaikan upah tenaga kerja di industri tekstil dan garmen, kenaikan PDB Indonesia, dan kebijakan demografi melalui pertumbuhan penduduk Indonesia. Secara keseluruhan dari hasil pendugaan koefisien parameter dan simulasi kebijakan menunjukkan bahwa menaikkan suku bunga bank untuk kegiatan investasi, BBM, dan juga upah tenaga kerja di sektor industri tekstil dan garmen, dapat menurunkan produksi tekstil dan garmen domestik di masa depan. Harga kapas dunia juga mempengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen Indonesia. Sedangkan penyesuaian nilai tukar Rupiah akan mendorong peningkatan ekspor tekstil dan garmen Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2012. Kesimpulan ini memberikan beberapa implikasi sebagai berikut: 1. Produksi industri TPT Indonesia yang meningkat dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja. Oleh sebab itu diperlukan insentif ekonomi, antara lain melalui penurunan suku bunga bank untuk investasi. 2. Ekspor TPT Indonesia yang meningkat dapat meningkatkan penerimaan devisa negara. Peningkatan ekspor TPT dapat dipacu melalui penyesuaian nilai tukar Rupiah Rp 9 000/US$. Nilai tukar Rp/US$ yang relatif stabil akan membantu produsen TPT dalam menghitung biaya bahan baku dan keuntungan. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 403 3. Pengembangan tanaman kapas, sebagai salah satu bahan baku utama, perlu segera diwujudkan. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kapas impor dapat menurunkan posisi daya saing TPT Indonesia di pasar dunia. 404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 DAFTAR PUSTAKA Agustineu, S. D. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Output Industri Tekstil di Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. BPS. 2009. Statistik Indonesia 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. . 2010. Indikator Ekonomi, Buletin Statistik Bulanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta. CIC. 2004, Prospek Industri Garmen Indonesia. Indocommercial, No. 350. PT. Capicorn Indonesia Consultant, Inc, Jakarta. Dunn, R. M. Jr. and J. H. Mutti. 2004. International Economics. Sixth Edition. Routledge Tailor and Francis Group, London. Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Henderson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory, A Mathematical Approach. McGraw Hill International Book Company, London. Houck, J. P. 1986. Elements of Agricultural Trade Policies. MacMillan Publishing Company, New York. Istojo, D. 2002. Analisis Struktur Industri Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia terhadap WTO 2005. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Koutsoyiannis, A. 1978. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of Econometrics Methods. Second Edition. Harper & Row Publishers, Inc., Barner & Noble Import Division, New York. Krantz, O., 2006, ≈Small European Countries in Economic Internationalisation: An Economic Historical PerspektiveΔ. Umea Universitet, Umea-Swedia. Umea Papers in Economic History. Mlachila, M. and Y. Yang, 2004, ≈The End of Textiles Quotas: A Case Study of the Impact of BangladeshΔ. International Monetary Fund, Washington DC. IMF Working Paper No. 04/ 108. PRB. 2009. World Population Data Sheet 2009. Population Reference Bureau and USAID, Washington DC. Pracoyo, A. 1995. Pengaruh GATT terhadap Perekonomian Indonesia, Studi Kasus Ekspor Industri Tekstil. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia 405 Sinaga, B. M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD, Dissertation. University of The Philippines, Los Banos. Sunarno, S. 2008. ASEAN, Basis Produksi TPT Dunia. Indonesian Textile Serial Online. http:// indonesiatextile.com/index.php?option=com_content& task=view&id=73&Itemid=50. Diakses tanggal 17 Maret 2010. . 2008 Amankan Pasar Dalam Negeri. Indonesia Textile Serial Online. http:// indonesiatextile.com/index.php?option=com_content&task =view&id=76&Itemid=50, Diakses Tanggal 17 Maret 2010. Thoburn, J., 2010, ≈The Impact of World Recession on the Textile and Garment Industries of AsiaΔ. United Nations Industrial Development Organization, Vienna. Working Paper No. 17. UNCTAD. 2005. TNCs and the Removal of Textiles and Clothing Quotas. United Nations Conference on Trade and Development, Geneva. VBN. 2011. Vietnam Textile and Garment Export Cross $ 11.2 Biliion in 2010. Vitenam Business News. Serial Online, http://vietnambusiness.asia/vietnam-textile-and-garment-exports-cross11-2b-in-2010/. Diakses tanggal 10 Januari 2011. Wintala. 1999. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil Indonesia: Ke Amerika Serikat, Inggris dan Jepang Tahun 1978-1997. Tesis Magister Manajemen. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. WTO. 2005. International Trade Statistics 2005. World Trade Organization, Geneva. 406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Lampiran Tabel 1. Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model PTDt : Produksi tekstil domestik tahun t (1 000 ton) PTDt-1 : Produksi tekstil domestik tahun t-1 (1 000 ton) PGDt : Produksi garmen domestik tahun t (1000 ton) PGDt-1 : Produksi garmen domestik tahun t-1 (1000 ton) HTDRt : Harga riil tekstil domestik tahun t (USD/ton) HTDRt-1 : Harga riil tekstil domestik tahun t-1 (USD/ton) HCWRt-1 : Harga riil kapas dunia tahun t-1 (cent/pound) HTWRt : Harga riil tekstil dunia tahun t (USD/ton) HTWRt-1 : Harga riil tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton) HMTIRt-1 : Harga impor tekstil Indonesia tahun t-1 (USD/ton) HGDRt : Harga riil garmen domestik tahun t (USD/ton) HGDRt-1 : Harga riil garmen domestik tahun t-1 (USD/ton) HGWRt : Harga riil garmen dunia tahun t (USD/ton) HGWRt-1 : Harga riil garmen dunia tahun t-1 (USD/ton) HMGIRt : Harga riil impor garmen Indonesia tahun t (USD/ton) IRRt : Tingkat suku bunga riil bank tahun t (%/tahun) IRRt-1 : Tingkat suku bunga riil bank tahun t-1 (%/tahun) UTKTRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tekstil tahun t-1 (Rp juta) UTKGRt-1 : Upah riil tenaga kerja industri tahun t-1 (1 000 Rp) BBMRt : Harga riil BBM tahun t (Rp/liter) BBMRt-1 : Harga riil BBM tahun t-1 (Rp/liter) T : Tren waktu XTIt : Ekspor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton) XTIt-1 : Ekspor tekstil Indonesia tahun t-1 (1 000 ton) XGIt : Ekspor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton) XGIt-1 : Ekspor garmen Indonesia tahun t-1(1 000 ton) ERIRt : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t (Rp/USD) ERIRt-1 : Nilai tukar riil Rupiah terhadap USA tahun t-1 (Rp/USD) DKG : Dummy integrasi perdagangan TPT dunia STDt : Penawaran tekstil domestik tahun t (1 000 ton) SGDt : Penawaran garmen domestik tahun t (1 000 ton) Analisis Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Perkembangan Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Indonesia Tabel 1. Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan) MTIt : Impor tekstil Indonesia tahun t (1 000 ton) MTIt-1 : Impor tekstil Indonesia tahun t-1 (1000 ton) MGIt : Impor garmen Indonesia tahun t (1 000 ton) MGIt-1 : Impor garmen Indonesia tahun t-1 (1 000 ton) DTDt : Permintaan tekstil domestik tahun t (1 000 ton) DTDt-1 : Permintaan tekstil domestik tahun t-1 (1000 ton) DGDt : Permintaan garmen domestik tahun t (1000 ton) DGDt-1 : Permintaan garmen domestik tahun t-1 (1 000 ton) TFTt-1 : Tarif impor tekstil tahun t-1 (%/tahun) TFGt : Tarif impor garmen tahun t (%/tahun) GDPIRt : PDB riil Indonesia (Rp 1000) GDPIRt-1 : PDB riil Indonesia t-1 (Rp 1000) POPIt : Jumlah penduduk indonesia tahun t (juta jiwa) POPt-1 : Jumlah penduduk Indonesia tahun t-1 (juta jiwa) MGBt : Impor garmen bekas tahun t (1 000 ton) MGBt-1 : Impor garmen bekas tahun t-1 (1 000 ton) XTWt : Ekspor tekstil dunia tahun t (USD/ton) MTWt : Impor tekstil dunia tahun t (1 000 ton) MTWt-1 : Impor tekstil dunia tahun t-1 (USD/ton) XTGt : Ekspor tekstil Jerman tahun t (1 000 ton) XTAt : Ekspor tekstil USA tahun t (1 000 ton) XTCt : Ekspor tekstil China tahun t (1 000 ton) XTRt : Sisa ekspor tekstil dunia tahun t (1 000 ton) MTLt : Impor tekstil Italia tahun t (1 000 ton) MTAt : Impor tekstil USA tahun t (1 000 ton) MTCt : Impor tekstil China tahun t (1 000 ton) XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton) MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton) XGWt : Ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton) MGWt : Impor garmen dunia tahun t (1 000 ton) MGWt-1 : Impor garmen dunia tahun t-1 (1 000 ton) XGCt : Ekspor garmen China tahun t (1 000 ton) 407 408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Tabel 1. Keterangan Peubah Endogen dan Eksogen yang Digunakan dalam Model (lanjutan) XGTt : Ekspor garmen Turki tahun t (1 000 ton) XGRt : Sisa ekspor garmen dunia tahun t (1 000 ton) MGGt : Impor garmen Jerman tahun t (1 000 ton) MGAt : Impor garmen USA tahun t (1 000 ton) MGJt : Impor garmen Jepang tahun t (1 000 ton) MGRt : Sisa impor garmen dunia tahun t (1 000 ton) Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 409 DAMPAK DEPRESIASI NILAI TUKAR DAN PERTUMBUHAN UANG BEREDAR TERHADAP INFLASI: APLIKASI THRESHOLD MODEL 1 Rizki E. Wimanda 2 Abstract This paper investigates the impact of exchange rate depreciation and money growth to the CPI inflation in Indonesia. Using monthly data from 1980:1 to 2008:12, our econometric evidence shows that there are indeed threshold effects of money growth on inflation, but no threshold effect of exchange rate depreciation on inflation. Even though the threshold value for exchange rate depreciation is found at 8.4%, the F-test suggests that there is no significant difference between the coefficient below and that above the threshold value. While, two threshold values are found for money growth, i.e. 7.1% and 9.8%, and they are statistically different. The impact on inflation is high when money grows by up to 7.1%, it is moderate when money grows by 7.1% to 9.8%, and it is low when money grows by above 9.8%. JEL Classification: C22; E31; E51. Keywords: Inflation, Threshold Effect; Indonesia 1 Disarikan dari Wimanda (2010), Doctoral Thesis, Bab 4, yaitu ≈Threshold Effects of Exchange Rate and Money Growth on InflationΔ. 2 Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia, email: [email protected]. 410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 I. PENDAHULUAN Perhatian terhadap inflasi begitu besar sejak Indonesia mengadopsi inflation targeting pada tahun 2000. Salah satu topik studi yang penting adalah meneliti faktor-faktor penyebab inflasi. Wimanda (2010)3 menemukan bahwa inflasi di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi inflasi (backward-looking dan forward-looking), output gap, depresiasi nilai tukar, dan pertumbuhan uang beredar. Analisis terhadap sample bulanan mulai dari awal tahun 1980 sampai dengan akhir tahun 2008 menunjukkan bahwa pembentukan ekspektasi inflasi di Indonesia masih didominasi oleh ekspektasi inflasi ke belakang (backward-looking) dengan porsi sekitar 0.7, sementara porsi ekspektasi inflasi ke depan (forward-looking) sekitar 0.2. Dalam analisisnya dia juga menemukan bahwa dampak nilai tukar lebih besar dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar (M1). Analisis tersebut mengasumsikan bahwa dampak kedua variable tersebut adalah linear, dalam arti dampaknya adalah konstan untuk setiap tingkat depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar. Dengan menggunakan threshold model paper ini menguji apakah dampak nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi linear atau tidak. Selanjutnya, akan diuji apakah terdapat nilai threshold, berapa banyak nilai threshold yang dapat diidentifikasi, dan berapa berapa besar dampaknya. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut. Studi literatur akan dibahas pada bagian kedua. Metodologi dan data akan dibahas pada bagian ketiga dari paper ini. Sementara hasil estimasi dan kesimpulan akan dipaparkan pada bagian keempat dan kelima. II. TEORI 2.1. Pass-through Nilai Tukar Salah satu isu sentral di ekonomi internasional adalah pass-through nilai tukar dimana didefinisikan sebagai dampak dari 1 persen depresiasi nilai tukar pada inflasi domestik. Secara umum, untuk menguji pass-through nilai tukar adalah dengan mengetimasi pada persamaan berikut: πt = α + γet + δxt + εt (1) dimana πt adalah inflasi domestik, et adalah depresiasi nilai tukar (nominal), dan adalah variabelvariabel control lainnya (dalam bentuk pertumbuhan). 3 Pada Bab 3 Doctoral Thesis, yaitu ≈Determinants of Inflation and The Shape of Phillips CurveΔ. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 411 Secara umum, studi mengenai pass-through nilai tukar ini dapat dikelompokkan menjadi 3. Kelompok pertama adalah studi dampak nilai tukar pada harga impor industri tertentu, misalnya Bernhofen and Xu (1999) and Goldberg (1995). Kelompok kedua adalah studi dampak nilai tukar pada harga import secara aggregat, misalnya Hooper dan Mann (1989) dan Campa dan Goldberg (2005). Dan kelompok ketiga adalah studi dampak nilai tukar pada CPI atau WPI, misalnya Papell (1994) dan McCarthy (2000). Meskipun literatur pada pass-through nilai tukar ini sangat banyak, namun studi empiris yang ada lebih banyak fokus pada negara-negara maju. Sebuah survey yang dilakukan oleh Menon (1995) menunjukkan bahwa dari 48 studi mengenai pass-through nilai tukar sebagian besar adalah Amerika dan Jepang. Begitu pula dengan Goldberg dan Knetter (1997) yang menyatakan bahwa studi pass-through nilai tukar selama tahun 1980-an didominasi oleh Amerika. Untuk negara-negara yang bergabung dalam OECD, studi dampak pass-through nilai tukar pada harga impor dilakukan oleh Campa dan Goldberg (2005). Mereka menemukan bahwa pass-through nilai tukar adalah parsial, dimana harga impor mencerminkan 60 persen pergerakan nilai tukar dalam jangka pendek dan hampir 80 persen dalam jangka panjang. Mereka juga menemukan bahwa negara-negara yang memiliki volatilitas nilai tukar yang rendah dan inflasi yang rendah memiliki dampak pass-through nilai tukar yang rendah. Menggunakan data 71 negara dari tahun 1979 sampai dengan 2000, Choudhri dan Hakura (2006) memperlihatkan bahwa ada hubungan positif yang kuat antara pass-through nilai tukar dengan rata-rata inflasi. Negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah cenderung memiliki pass-through nilai tukar yang rendah. Begitu pula sebaliknya. Hubungan nilai tukar dan inflasi di Malaysia, Philipines, dan Singapore diteliti oleh Alba dan Papper (1998) selama periode 1979:Q1 sampai dengan 1995:Q2. Mereka menemukan bahwa pass-through nilai tukar untuk Philipina lebih tinggi dibandingkan Malaysia, sementara pass-through nilai tukar untuk Singapore justru bernilai negatif. Untuk mensupport argumen Δfear of floatingΔ, Calvo dan Reinhart (2000) meneliti hal yang sama untuk sejumlah negara maju dan berkembang, termasuk Malaysia dan Indonesia. Dengan menggunakan data bulanan dari Agustus 1997 sampai November 1999, mereka menemukan pass-through nilai tukar di Indonesia adalah 0.062. 2.2. Hubungan antara Uang dan Inflasi Teori kuantitas dan persamaan pertukaran memberikan kerangka yang berguna untuk menganalisa secara empiris relevansi uang di dalam perekonomian. Hubungan uang dan inflasi dapat diturunkan dari persamaan permintaan uang. Masyarakat ingin memegang uang untuk 412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 membeli barang dan jasa. Jika harga barang dan jasa naik, masyarakat cenderung akan memegang uang lebih banyak. Faktor yang paling penting dalam permintaan uang adalah pendapatan. Pada saat pendapatan masyarakat naik, masyarakat akan cenderung untuk berbelanja lebih. Pengeluaran yang lebih banyak berhubungan dengan memegang uang yang lebih banyak. Dengan demikian, hubungan ini dapat ditulis sebagai: Μ = k Y, P (2) dimana M adalah uang nominal, P adalah tingkat harga berdasarkan CPI atau deflator PDB, Y adalah pendapatan dan k merupakan faktor proporsi. Persamaan (2) dapat ditulis ulang menjadi: P= 1 Μ k Y (3) Dengan mengasumsikan adanya kausalitas dari M ke P, persamaan (3) menyebutkan bahwa kuantitas uang menentukan level harga, namun uang bukan merupakan satu-satunya faktor. Misalnya, pendapatan dan faktor lainnya yang terrefleksi dalam k tidak berubah, pada saat kuantitas uang meningkat, maka level harga akan meningkat. Milton Friedman (1968) berargumen bahwa inflasi merupakan fenomena moneter. Studistudi yang dilakukan oleh Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992), Barro (1993), McCandless dan Weber (1995), Dewald (1998), Rolnick dan Weber (1997) dan lainnya berkesimpulan bahwa perubahan kuantitas uang dan perubahan harga mempunyai hubungan yang erat. Dwyer dan Hafer (1999) memperlihatkan level harga mempunyai hubungan yang positif dan proporsional dengan kuantitas uang di Amerika, Inggris, Jepang, Brazil, dan Chile selama abad 20. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam jangka waktu yang lebih pendek, yaitu 5 tahun, hubungan pertumbuhan uang dan inflasi tetap berlaku. Studi empiris hubungan antara pertumbuhan uang (M1 dan M2) dan inflasi pada 160 negara dilakukan oleh De Grauwe dan Polan (2005). Mereka menunjukkan bahwa selama kurun waktu 30 tahun, hubungan pertumbuhan uang beredar dan inflasi masih berlaku. Namun demikian, setelah membagi sampel berdasarkan tingkat inflasi, mereka menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki inflasi yang rendah (di bawah 10%) hubungan kedua variabel tersebut melemah. Sebaliknya, hubungan tersebut kuat untuk negara-negara yang tingkat inflasinya tinggi. Namun demikian, studi ini tidak menentukan pada level berapa uang beredar akan memberikan dampak yang berbeda pada inflasi. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 413 2.3. Aplikasi Threshold Model Threshold model merupakan kasus spesial dari kerangka statistik yang kompleks, seperti mixture model, switching model, Markov-switching model, dan smooth transition threshold model (Hansen, 1997). Threhold model dapat diaplikasikan pada banyak kasus. Misalnya, Galbraith (1996) melakukan studi mengenai hubungan antara uang dan output. Dengan menggunakan data Amerika dan Canada, dia menemukan bahwa uang memiliki pengaruh yang kuat pada output pada saat pertumbuhan uang di bawah nilai theshold tertentu. Hasil ini konsisten dengan proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai dampak yang kecil atau bahkan tidak memiliki dampak sama sekali pada saat pertumbuhan uang sangat tinggi. Khan dan Senhadji (2001) meneliti hubungan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada 140 negara selama periode 1960 sampai dengan 1998. Mereka berargumentasi bahwa inflasi memiliki dampak yang negatif terhadap perekonomian manakala inflasi di atas nilai threshold tertentu. Sebaliknya, inflasi memberikan dampak yang positif bagi perekonomian manakala inflasi di bawah nilai thresholdnya. Mereka menemukan bahwa nilai threshold untuk negara maju adalah 1-3 persen, sementara untuk negara berkembang nilai threholdnya adalah 11-12 persen. Threshold model juga digunakan Papageorgiou (2002) dalam mengevaluasi tingkat keterbukaan terhadap perekonomian. Foster (2006) menguji hubungan ekspor dan pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara Afrika. Evaluasi terhadap defisit fiskal juga dilakukan dengan menggunakan threhold model, misalnya untuk kasus Amerika (lihat Arestis, Cipollini dan Fattouh, 2004) dan untuk kasus Spanyol (lihat Bajo-Rubio, Diaz-Roldan and Esteve, 2004). Sementara itu, studi mengenai threshold nilai tukar ke inflasi dan threhold uang beredar ke inflasi, sepanjang pengetahuan kami, belum ada. Untuk itu, studi ini dilakukan dengan maksud mengisi gap literatur. III. METODOLOGI 3.1. Model Empiris dan Teknik Pengolahan Data Studi ini menggunakan threshold model untuk menjawab pertanyaan di atas. Threshold model merupakan sebuah kasus spesial dari kerangka statistika yang kompleks, seperti mixture models, switching models, Markov-switching models, dan smooth transition threshold models. Secara umum, threshold model dapat ditulis seperti berikut: 414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 yt = β‘j xt + δ1ztI (tht < λ) + δ2 zt I (tht > λ) + μt (4) dimana adalah dependent variable, adalah explanatory variable yang ingin diuji, adalah vektor dari explanatory variable yang lain, adalah fungsi indikator, adalah variabel threshold, dan adalah nilai dari threshold. Pada persamaan di atas, observasi dibagi menjadi dua regime tergantung pada apakah variable threshold lebih kecil atau lebih besar dari nilai. Untuk mengestimasi model, nilai threshold dan nilai parameter slope diestimasi secara bersamaan. Hansen (1997) merekomendasikan untuk mencari estimasi dengan mencari nilai dari sum of squared errors yang minimal. Untuk meyakinkan bahwa jumlah observasi di tiap regime adalah cukup, maka model diestimasi untuk semua nilai threshold dari variabel threshold antara 10th dan 90th percentile. Setelah ditemukan nilai threshold, kita perlu menguji apakah nilai tersebut signifikan secara statistik atau tidak. Dalam hal ini, apakah hipotesa nol dari ditolak atau diterima. Satu hal yang menjadi komplikasi adalah nilai threshold tidak terindentifikasi pada hipotesa nol. Hal ini berimplikasi bahwa classical test tidak memiliki distribusi yang standar, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat diperoleh dari tabel distribusi standar. Studi ini mengikuti Hansen (1997, 2000) dalam pencarian multiple regimes pada data dengan menggunakan depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan M1 sebagai threshold variable. Metode yang berdasarkan asymptotic distribution ini dapat menguji signifikansi dari regime yang terpilih oleh data. Dalam studi ini, kami tidak mengevaluasi hubungan jangka panjang dari nilai nilai tukar dan uang beredar kepada tingkat harga, namun kami lebih tertarik untuk melihat hubungan jangka pendek dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi. Untuk menguji keberadaan threshold effect dari depresiasi nilai tukar pada inflasi, model hybrid NKPC Phillips curve ini akan diestimasi adalah sebagai berikut: e πt = c + α1πt - 1 + α2πt + 1 + βgapt + γ1(1 - dt ) [(ert)I (ert > er*)] + γ2dt [(ert)I (ert < er*)] + θmt + δ1crisis + δ2 fuel + δ3 fitri + εt (5) dimana , πt adalah inflasi, πt - 1 adalah ekspektasi inflasi backward- looking, adalah πte+ 1 ekspetasi inflasi forward-looking, gapt adalah output gap, ert adalah Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 415 depresiasi nilai tukar4, er* adalah nilai threshold dari nilai tukar, mt adalah pertumbuhan uang beredar (M1), crisis adalah dummy variable untuk menangkap krisis finansial tahun 19971998, fuel adalah dummy variable untuk menangkap kenaikan harga BBM pada bulan Januari 2005 dan Oktober 2005, dan fitri adalah dummy variable untuk menangkap fenomena hari raya Idul Fitri. Kami menggunakan Instrumental variables (IV) estimators, yaitu two stage least squares (TSLS). Metode estimasi ini dapat mengatasi endogeneity problems mengingat model yang digunakan terdapat nilai inflasi di masa datang. Estimasi model dilakukan dengan metode conditional least squares yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Untuk setiap nilai threshold ert*, model diestimasi melalui TSLS, kemudian diperoleh sum of squared residuals (SSR). Estimasi least squares dari ert* diperoleh dengan memilih nilai threshold ert* dimana yang memiliki nilai SSR yang minimum. Jika kita menempatkan seluruh observasi nilai threshold ke dalam vector, maka notasi kompak dari persamaan (2) adalah sebagai berikut: y = xβer + ε , er = er,....er , (6) dimana βer = ( c α1 α2 β γ1 γ2 θ δ1 δ2 δ3 )’ adalah vektor dari parameter, y adalah dependent variable, dan x adalah matrix dari explanatory variables. Patut dicatat bahwa koefisien vector β di-index-kan dengan berkisar dari er er sampai untuk memperlihatkan ketergantungannya pada nilai threshold, dimana er . Kita definisikan S1 (er) sebagai SSR dengan nilai threshold depresiasi nilai tukar pada er. Nilai estimasi er* threshold yang diperoleh adalah nilai threshold yang mempunyai nilai yang minimal, yaitu: er* = argmin [ S1(er), er = er,....,er ] (7) Setelah nilai threshold diperoleh, kita perlu menguji apakah threshold effect-nya signifikan secara statistic atau tidak. Pada persamaan (2), untuk menguji apakah threshold effectnya ada atau tidak kita perlu menguji hipotesa nol, yaitu H0 : γ1 = γ2. Hansen (1997, 2000) menyarankan metode bootstrap untuk mensimulasikan asymptotic distribution dari likelihood ratio test dari H0 sebagai berikut: 4 Nilai tukar didefinisikan sebagai mata uang domestic per mata uang asing. Dalam hal ini digunakan Rp/USD. Dengan demikian, nilai er yang negatif berarti depresiasi, sementara nilai er yang positif berarti apresiasi. 416 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 LR0 = n (S0 - S1) , (8) S1 dimana S0 and S1 adalah SSR untuk H0 : γ1 = γ2 dan H1 : γ1 = γ2. Dengan kata lain, S0 dan S1 adalah SSR dari persamaan (2) tanpa threshold effect dan dengan threshold effects. Distribusi asymptotic dari LR0 adalah non-standard dan mendominasi distribusi χ2. Distribusi dari secara umum tergantung pada moments of sample, sehingga nilai-nilai kritis tidak dapat ditabulasikan. Mengingat γ belum terindentifikasi, distribusi asymptotic dari LR0 bukanlah χ2. Hansen (1997) memperlihatkan bahwa hal ini dapat di-aproksimasi dengan menggunakan prosedur bootstrap berikut ini: 1. Tetapkan μt* , t = 1,....,n sebagai angka random yang diambil dari distribusi normal yang mempunyai rata-rat nol dan varian satu, yaitu i.e. N(0,1). 2. Tetapkan yt* = μt*. 3. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres yt* pada xt dan dapatkan residual ∼ variance σn∗2 dari model linear, dimana . 4. Dengan menggunakan observasi xt, t = 1,....,n regres yt* pada xt ( γ ) dan dapatkan residual ∼ ∗2 variance σ dari threshold model, dimana n (γ) , dan γ adalah threshold value. 5. Hitung = . 6. Ulangi langkah nomor 4 dan 5 untuk γ yang lain. 7. Cari 8. Ulangi langkah ke-1 sampai ke-7 berulang kali. Hansen (1997) juga memperlihatkan bahwa pengambilan sample yang berulang-ulang dari Fn∗ dapat digunakan sebagai aproksimasi untuk distribusi asymptotic dari Fn. Adapun pvalue dari test ini adalah dengan menghitung prosentase dari bootstrap sample yang nilai Fn∗ nya melebihi LR0 (lihat persamaan (5)). Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 417 Studi ini mengikuti Hansen (2000) dalam membentuk confidence region untuk er*. Confidence intervals untuk threshold parameter dibangun dengan meng-inversi distribusi asymptotic dari statistik likelihood ratio. Dalam hal ini, kami menguji hipothesa nol H0 : er* = er dengan menghitung likelihood test sebagai berikut: LR(er) = n S1(er) - S1(er*) , (9) S1(er*) dimana S1(er) and S1(er*) adalah SSR dari persamaan (II.2) dengan threshold er and er*. Tetapkan cξ (β ) sebagai β-level nilai kritikal untuk ξ dari Table 1 pada Hansen (2000). Tetapkan Γ = [er : LR(er) < cξ (β )] (10) Hansen (2000) memperlihatkan bahwa adalah asymptotically valid untuk β-level confidence pada er. Untuk mendapatkan confidence interval, kami plot likelihood ratio LR(er) dengan threshold value (er), tarik garis lurus pada cξ (β ), dan beri tanda pada nilai threshold dengan likelihood ratio yang berada di bawah nilai kritikal. Perlu diperhatikan bahwa LR(er) akan sama dengan nol pada saat er = er*. Untuk menguji keberadaan threshold effect dari money growth terhadap inflasi, kami menggunakan model yang sama, namun kami mengganti depresiasi nilai tukar dengan pertumbuhan uang beredar sebagai threshold variable. Model berikut selanjutkan akan diestimasi: e πt = c + α1πt - 1 + α2πt + 1 + βgapt + γert + θ1(1 - dt ) [(mt ) I (mt > m*)] + θ2dt [(mt)I (mt < m*)] + δ1crisis + δ2 fuel + δ3 fitri + εt (11) dimana Adapun prosedur estimasi dan pengujian untuk threshold pertumbuhan uang beredar adalah sama seperti prosedur di atas. 3.2. Data Kami menggunakan data CPI, output gap, nilai tukar, dan M1. Data-data tersebut kami peroleh dari Bank Indonesia (BI) dan BPS. Untuk analisis, kami menggunakan data bulanan dari 1980 sampai dengan 2008 (lihat Tabel 1). 418 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Tabel 1. Data No 1 2 3 4 Data Frequency Periode Sumber Bulanan Bulanan Bulanan Bulanan 1980:1 to 2008:12 1980:1 to 2008:12 1980:1 to 2008:12 1980:1 to 2008:12 BPS dan BI Penulis BI BI Inflasi CPI Output gap Nilai Tukar M1 Tabel 2. Statistik deskriptif data (year-on-year) 1980 - 1997 Data CPI Inflation Exchange Rate Depreciation M1 Growth Output Gap - HPA Output Gap - Peak-to-Peak 1998 Mean Std Dev Mean 9,01 -6,63 19,53 0,19 -2,50 3,37 10,67 11,52 3,39 1,54 57,59 -67,97 29,17 -11,76 -13,13 1999 - 2008 Std Dev Mean Std Dev 23,28 13,04 9,02 1,97 2,03 10,52 1,32 17,70 -2,31 -5,20 9,52 18,91 6,39 3,25 3,29 IV . HASIL DAN ANALISIS 4.1 Threshold Effect pada Depresiasi Nilai Tukar Tabel 3 di bawah ini menunjukkan hasil estimasi TSLS dari persamaan (2) tanpa adanya threshold effect (dengan men-set γ1 = γ2). Dari table tersebut dapat kita lihat semua parameter signifikan, kecuali konstanta. Dengan menggunakan adjusted HP filter sebagai proxy dalam perhitungan potensial output, kami menemukan bahwa koefisien dari depresiasi nilai tukar (yoy) adalah sebesar -0,050 dan koefisien dari pertumbuhan M1 adalah 0,021. Hasil ini Tabel 3. Phillips Curve Tanpa Threshold Coef Constant Inflation Inflation(1) Output Gap (-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) Table 1: Robustness Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR -0.148 (-1)0.710 0.225 0.062 -0.050 0.024 Phillips check untuk 1.293 2.940 0.548 0.991 1.093 393.024 Std. Error 0.141 0.042 0.058 0.023 0.009 0.007 curve dengan 0.539 0.676 0.213 t-Statistic -1.051 17.078 3.911 2.703 -5.223 3.261 depresiasi threshold 2.400 4.349 2.567 Prob. 0.294 0.000 0.000 0.007 0.000 0.001 nilai tukar 0.017 0.000 0.011 Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 419 Tabel 4. Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar Constant Inflation(-1) Inflation(1) Output Gap(-9) Exchange Rate Dep(-1) <= -8.4% -8.4% > Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR Coef Std. Error -0.169 0.719 0.211 0.064 -0.056 -0.045 0.026 1.154 2.973 0.548 0.144 0.045 0.062 0.024 0.012 0.010 0.008 0.547 0.693 0.218 t-Statistic -1.179 16.071 3.382 2.703 -4.652 -4.567 3.294 2.109 4.293 2.516 Prob. 0.239 0.000 0.001 0.007 0.000 0.000 0.001 0.036 0.000 0.012 0.991 1.116 408.247 menunjukkan bahwa secara rata-rata dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi lebih besar dibandingkan dengan dampak pertumbuhan uang beredar. Untuk mengestimasi threshold depresiasi nilai tukar, kami menggunakan persamaan (2). Nilai threshold dicari mulai dari -30% s.d. 0%; dengan kenaikan 0,06% terdapat 500 kandidat nilai threshold. Dari 500 nilai threshold tersebut, ditemukan nilai SSR yang paling minimum, yaitu 408,25, pada nilai -8,4%. Hal ini berarti threshold depresiasi nilai tukar adalah sebesar 8,4%. Tabel 4 menunjukkan hasil estimasi model dengan menggunakan adjusted HP filter untuk menghitung output potensial. Dari table dapat kita lihat bahwa dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi pada saat tingkat depresiasi nilai tukar lebih besar atau sama dengan 8,4% adalah sebesar 0,056, sedangkan dampaknya pada saat tingkat depresiasi nilai tukar di bawah 8,4% adalah sebesar 0,045. Kedua koefisien tersebut di atas adalah signifikan pada tingkat 1%. Garis horizontal pada Grafik 1 menunjukkan 90% confidence interval. Daerah di bawah garis horizontal membentuk daerah penerimaan. Statistik LR(γ) akan bernilai nol pada threshold yang optimal. Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa confidence interval untuk threshold nilai tukar ini terlalu lebar. Daerah di bawah garis dimana LR(γ) = 5,945 bernilai -23,52% s.d. -2,64%. Hal ini menunjukkan bahwa estimasi nilai threshold effect untuk depresiasi nilai tukar adalah kurang akurat. Untuk menguji apakah benar terdapat perbedaan antara model linear dengan model threshold, kami melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali. Kami mengikuti prosedur yang disarankan oleh Hansen (1997) untuk menghasilkan nilai kritis. 5 Ini adalah nilai kritis untuk 90% confidence interval dari Table 1 Hansen (2000). 420 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 LR ( γ ) 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 -29.94 -28.86 -27.78 -26.70 -25.62 -24.54 -23.46 -22.38 -21.30 -20.22 -19.14 -18.06 -16.98 -15.90 -14.82 -13.74 -12.66 -11.58 -10.50 -9.42 -8.34 -7.26 -6.18 -5.10 -4.02 -2.94 -1.86 -0.78 0 Threshold (%) Grafik 1. Nilai likelihood ratio dan 90% confidence interval untuk threshold depresiasi nilai tukar Ditemukan bahwa sebagian besar Fsup berada di atas nilai Fo , yaitu -12,12, dimana nilai p-value sebesar 0,957. Hal ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat menolak hipotesa nol dimana γ1 = γ2. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dampak depresiasi nilai tukar yang signifikan terhadap inflasi pada level di bawah threshold dan di atas threshold. Dengan kata lain, dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi adalah linear, yaitu sebesar 0,05% untuk setiap 1% tingkat depresiasi. Sebagai robustness check, kami menggunakan berbagai model alternatif, yaitu model dengan menggunakan peak-to-peak output gap dan model dengan mengadopsi hubugan asymmetris antara inflasi dan output, yaitu L-shaped function6. Adapun alternative model dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 6 menunjukkan hasil estimasi dengan dan tanpa threshold effect. Dari table tersebut dapat kita lihat bahwa koeffisien dari depresiasi nilai tukar di bawah atau sama dengan nilai Tabel 5. Model alternative untuk threshold depresiasi nilai tukar Model 1 2 3 4 Output Gap Measurement Peak-to-Peak Peak-to-Peak Adjusted HP Filter Adjusted HP Filter Output Gap Function ER Dep.Threshold Linear Linear Non-Linear Non-Linear No Yes No Yes 6 Menurut hasil dari Bab 3 Doctoral Thesis Wimanda (2010), Phillips curve di Indonesia lebih cocok dimodelkan dengan L-shape function dengan wall parameter sebesar 8.5%. Funsi ini sebenarnya adalah fungsi parabola dimana dampak output gap kepada inflasi akan sangat besar jika output gap mendekati 8.5%. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 421 Tabel 6. Robustness check untuk Phillips curve dengan threshold depresiasi nilai tukar Variable Constant Inflation (-1) Inflation(1) Output Gap Linear (-9) Model-1 Model-2 Model-3 0.007 (0.186) 0.714*** (0.043) 0.223*** (0.059) 0.071** (0.03) 0.011 (0.192) 0.730*** (0.048) 0.199*** (0.067) 0.081** (0.032) -0.325*** (0.122) 0.694*** (0.037) 0.249*** (0.051) -0.358*** (0.127) 0.705*** (0.041) 0.233*** (0.056) 0.0003** (0.00016) -0.047*** (0.009) 0.0004** (0.00017) Output Gap Non-Linear(-9) Exchange Rate Dep(-1) -0.048*** (0.009) Exchange Rate Dep(-1) <= Threshold Threshold < Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR 0.027*** (0.008) 1.228** (0.536) 2.944*** (0.683) 0.551** (0.215) 0.991 1.103 400.161 -0.057*** (0.013) -0.041*** (0.009) 0.030*** (0.009) 1.154** (0.547) 2.973*** (0.693) 0.548** (0.218) 0.991 1.116 408.247 0.027*** (0.008) 0.652 (0.405) 2.772*** (0.648) 0.554*** (0.208) 0.992 1.066 373.986 Model-4 -0.054*** (0.011) -0.041*** (0.009) 0.031*** (0.008) 0.462 (0.422) 2.805*** (0.665) 0.554*** (0.213) 0.991 1.091 390.569 Threshold ER -8.40 -8.40 p-value 0.999 0.966 Catatan: - Angka dalam tanda kurung adalah standard error. - ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%. threshold-nya (γ1 ) dan di atas nilai threshold-nya pada model 2 dan model 4 (γ2 ) adalah negative dan signifikan. Kami menemukan bahwa nilai threshold adalah sama dengan nilai threshold pada model sebelumnya, yaitu -8,4%. Nilai koeffisien γ1 berada pada kisaran -0,054 sampai dengan -0,057, sementara nilai koefisien γ2 relative sama, yaitu -0,041. Setelah melakukan bootstrapping sebanyak 1.000 kali, model 2 and model 4 menghasilkan kesimpulan yang sama dengan model utama. Secara keseluruhan, dari bootstrap test statistics pada variabel ini tidak ditemukan adanya signifikansi secara statistik. Nilai pvalues berkisar antara 0,966 dan 0,999. Hal ini mengimplikasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi pada di atas dan di bawah nilai threshold-nya. 422 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Apabila kita membandingkan model 1 dan model 2, begitu pula model 3 dan model 4, dapat kita lihat bahwa nilai SSR untuk threshold model adalah lebih besar dibandingkan dengan nilai SSR pada model linear. Hal ini mengkonfirmasi kesimpulan di atas. Inflation (%) 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 -8.4 0 ER (%) -25,0 -23,8 -22,5 -21,3 -20,0 -18,8 -17,5 -16,3 -15,0 -13,8 -12,5 -11,3 -10,0 -8,8 -7,5 -6,3 -5,0 -3,8 -2,5 -1,3 0,0 Grafik 2. Dampak Depresiasi Nilai Tukar pada Inflasi: Sebuah Ilustrasi Grafik 2 di atas menggambarkan dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi. Dari gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan (slope) garis warna biru solid adalah sama untuk setiap titik. Dampak linear tersebut (garis biru solid) lebih preferable dibandingkan dampak non-linear (garis coklat putus-putus). 4.2 Threshold Effect pada Pertumbuhan Uang Untuk mengestimasi nilai threshold untuk pertumbuhan uang beredar, kami menggunakan persamaan (8) dengan output gap dihitung berdasarkan adjusted HP filter. Pencarian nilai threshold dilakukan mulai dari 0% sampai dengan 40%, dengan kenaikan sebesar 0,08. Hal ini berarti terdapat 500 kandidat nilai threshold. Kami menemukan bahwa nilai threshold untuk pertumbuhan M1 adalah 9,84%7. Tabel 7 menunjukkan hasil estimasi threshold dengan menggunakan adjusted HP filter sebagai pengukuran output gap. Mengingat hasil dari variable utama cukup robust, yaitu semua koefisien signifikan secara statistik, maka kita dapat langsung menganalisa hasil thresholdnya. Dari table tersebut, koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di bawah atau sama dengan 9,84% ( θ1 ) adalah 0,099, sedangkan koefisien pertumbuhan uang beredar pada saat di atas 9,84% ( θ2 ) adalah 0,032. Kedua koefisien tersebut signifikan pada level 1%. 7 Nilai ini menghasilkan angka SSR yang terkecil. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 423 Tabel 7. Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Pertama Constant Inflation(-1) Inflation(1) Output Gap(-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) <= 9.84% 9.84% < M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR Coef Std. Error -0.361 0.695 0.241 0.053 -0.047 0.099 0.032 1.229 2.983 0.583 0.150 0.039 0.054 0.022 0.009 0.030 0.008 0.516 0.656 0.207 t-Statistic -2.405 17.947 4.468 2.455 -5.257 3.341 3.877 2.384 4.549 2.821 Prob. 0.017 0.000 0.000 0.015 0.000 0.001 0.000 0.018 0.000 0.005 0.992 1.057 366.404 Hasil ini berimplikasi bahwa ada perbedaan dampak dari pertumbuhan M1 terhadap inflasi pada saat di atas atau di bawah nilai thresholdnya, yaitu 9,84%. Sebagai ilustrasi, apabila M1 tumbuh sebesar 5% di bulan ini, maka terdapat tambahan inflasi sebesar 0,5% di dua bulan yang akan datang. Sedangkan apabila M1 tumbuh 10% di bulan ini, maka akan ada tambahan inflasi rata-rata sebesar 0,98% pada 2 bulan mendatang. LR ( γ ) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0,08 1,68 3,28 4,88 6,48 8,08 9,68 11,28 12,88 14,48 16,08 17,68 19,28 20,88 22,48 24,08 25,68 27,28 28,88 30,48 32,08 33,68 35,28 36,88 38,48 0 Threshold (%) Grafik 3. Nilai Likelihood Ratio dan 90% Confidence Interval untuk Threshold Pertumbuhan M1: Titik Pertama Setelah nilai threshold diidentifikasi, maka pertanyaan penting berikutnya adalah seberapa akurat estimasi tersebut. Hal ini membutuhkan perhitungan daerah kepercayaan (confidence region) di sekitar nilai threshold. Grafik 3 mengilustrasikan nilai likelihood ratio dan nilai 424 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 threshold, serta 90% confidence intervals. Seperti yang dijelaskan di atas, confidence region dihitung dengan mengambil nilai-nilai pertumbuhan M1 dimana nilai LR(M1) terletak di bawah garis horizontal. Dari gambar tersebut terlihat bahwa confidence interval untuk pertumbuhan uang adalah cukup sempit, yaitu 7,12% - 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai threshold yang diestimasi tersebut adalah cukup akurat. Langkah selanjutnya adalah menguji apakah nilai threshold tersebut ada atau tidak dengan melakukan bootstrapping. Dengan men-generate sample baru dan diulangi sebanyak 1.000 kali untuk keperluan estimasi percentile dari asymptotic null distribution Fn*, kami mendapatkan bahwa nilai dari p-value adalah 0,001. Dengan demikian, hipotesa nol (model linear) dapat ditolak dan disimpukan bahwa ada nilai threshold untuk pertumbuhan M1. Setelah menemukan nilai threshold yang pertama, kami mencari kemungkinan adanya nilai threshold yang lain. Kita dapat mencari 3 regime pada saat bersamaan, namun cara ini sangat tidak efisien dalam hal waktu perhitungan. Chong (1994) dan Bai (1997) menunjukkan bahwa estimasi secara sekuensial adalah konsisten, sehingga hal ini dapat menghindari dari masalah perhitungan. Hal ini berarti kita dapat mem-fix-kan angka threshold yang pertama kemudian mencari nilai threshold kedua dengan mengasumsikan bahwa threshold pertama sudah fix. Kami memulainya dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya nilai threshold yang lain antara 9,84% sampai dengan 40%. Dengan penambahan nilai sebanyak 0,075 terdapat 400 kandidat nilai threshold. Ditemukan bahwa SSR terkecil pada threshold 17,13%. Hal ini berarti bahwa 17,13% adalah kandidat threshold kedua. Hasil estimasi TSLS dapat dilihat pada Tabel A (lihat Lampiran). Meskipun semua koefisien pertumbuhan M1 tersebut signifikan pada level 1%, namun setelah melakukan bootstrapping kami mendapatkan nilai p-value sebesar 0,177 yang mana agak lebih besar dari 10%. Dengan demikian, hipotasa nol dari 2 regime threshold tidak dapat ditolak. Dengan kata lain, hubungan antara inflasi dan pertumbuhan M1 adalah linear pada saat M1 tumbuh di atas 9,84%. Usaha pencarian kandidat threshold berikutnya adalah antara 0% sampai dengan 9,84%. Kami menyeleksi 350 nilai dan menemukan SSR yang paling minimal ada pada titik 7,08%. Hasil estimasi TSLS dengan 2 threshold, yaitu 9,84% dan 7,08% dapat dilihat pada Tabel 8. Dari table tersebut dapat kita perhatikan bahwa koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah 0,146; pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84% koefisiennya adalah 0,088; dan pada saat tumbuh di atas 9,84% koefisiennya turun menjadi 0,033. Semua koefisien tersebut di atas adalah signifikan padal level 1%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan M1, dampaknya terhadap inflasi akan semakin berkurang. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 425 Tabel 8. Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua Coef Constant Inflation(-1) Inflation(1) Output Gap(-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) <= 7.08% 7.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 9.84% < M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR -0.404 0.687 0.252 0.049 -0.045 0.146 0.088 0.033 1.151 2.954 0.602 Std. Error t-Statistic 0.151 0.038 0.053 0.021 0.009 0.049 0.030 0.008 0.506 0.645 0.204 -2.671 18.160 4.772 2.318 -5.152 2.997 2.922 4.003 2.276 4.580 2.951 Prob. 0.008 0.000 0.000 0.021 0.000 0.003 0.004 0.000 0.024 0.000 0.003 0.992 1.041 354.107 Grafik 4 menunjukkan bahwa likelihood ratio minimum ditemukan pada titik threshold 7,08%. Adapun 90% confidence interval-nya cukup sempit, yaitu antara 6,94% sampai dengan 8,04%. Hal ini mengindikasikan bahwa 7,08% adalah kandidat yang potensial untuk threshold kedua. LR ( γ ) 25 20 15 10 5 0,03 0,39 0,76 1,12 1,49 1,86 2,22 2,59 2,95 3,32 3,68 4,05 4,41 4,78 5,14 5,51 5,88 6,24 6,61 6,97 7,34 7,70 8,07 8,43 8,80 9,17 9,53 0 Threshold (%) Grafik 4. Nilai Likelihood Ratio dan 90% Confidence Interval untuk Threshold Pertumbuhan M1: Titik Kedua Uji secara formal dilakukan dengan bootstrapping sample. Dengan mereplikasi sample dan mengulanginya sebanyak 1.000 kali, kami mendapatkan p-value sebesar 0,004. Dengan demikian, kami menolak hypothesa nol dari 2 regime. Atas dasar test tersebut, kami menyimpulkan bahwa terdapat 3 regime threshold untuk pertumbuhan M1. 426 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Selanjutkan kami mencari kandidat nilai threshold yang lain di antara 0% dan 7,08%. Dengan penambahan sebesar 0,028%, kami mengevaluasi 250 kandidat. Dari 250 kandidat tersebut, kami menemukan nilai SSR yang paling minimum terdapat pada titik 4,93%. Tabel B (lihat Lampiran) melaporkan hasil estimasi TSLS dengan empat regime. Semua koefisien signifikan, kecuali koefisien untuk pertumbuhan M1 antara 0% sampai dengan 4,93% (p-value = 0,273). Adapun test formal melalui bootstrapping menghasilkan p-value sebesar 0,191. Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan inflasi dengan pertumbuhan M1 adalah linear pada saat M1 tumbuh antara 0% sampai dengan 7,12%. Mengingat threshold ketiga ini tidak signifikan, kita tidak mungkin memisahkan sample lebih jauh lagi. Tabel 9. Model Alternative untuk Threshold Pertumbuhan M1 Model 5 6 7 8 Output Gap Measurement Peak-to-Peak Peak-to-Peak Adjusted HP Filter Adjusted HP Filter Output Gap Function M1 Threshold Linear Linear Non-Linear Non-Linear No Yes No Yes Sebagai robustness check, kembali kami menggunakan berbagai model dengan perbedaan terletak pada pengukuran output gap dan non-linear Phillips curve. Tabel 9 menunjukkan perbedaan tersebut. Seperti terlihat pada Tabel 10, hasil empiris ini menghasilkan beberapa hal yang menarik. Pertama, semua koefisien, kecuali konstanta dan dummy variabel untuk krisis pada sebagian model, adalah signifikan. Kedua, estimasi dari nilai threshold adalah sama, yaitu 9,84% and 7,08%. Ketiga, koefisien dari threshold effect agak berbeda, namun perbedaannya sangat kecil. Koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di bawah 7,08% adalah berkisar 0,156-0,160; koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh antara 7,08% dan 9,84% berkisar 0,094-0,096; dan koefisien dari pertumbuhan M1 pada saat tumbuh di atas 9,84% adalah berkisar 0,035-0,037. Mengingat semua nilai p-values dari bootstrapping kurang dari 1%, maka kita dapat menolak hipotasa nol untuk dua regime dan prefer kepada tiga regime. Selain itu, jika dibandingkan nilai SSR pada threshold model (model 6 dan model 8) dan nilai SSR pada linear model (model 5 dan model 7), kami menemukan bahwa model threshold lebih baik dari model linear. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 427 Tabel 10: Robustness check untuk threshold pertumbuhan M1 Variable Constant Inflation Inflation(1) Output Gap Linear(-9) Model-1 Model-2 Model-3 Model-4 0.062 (0.187) (-1)0.714*** (0.043) 0.223*** (0.059) 0.074** (0.03) -0.284 (0.183) 0.689*** (0.039) 0.250*** (0.053) 0.060** (0.028) -0.279** (0.12) 0.694*** (0.037) 0.251*** (0.051) -0.559*** (0.137) 0.672*** (0.034) 0.273*** (0.047) 0.000334** (0.000161) -0.047*** (0.009) 0.026*** (0.007) 0.00033** (0.000153) -0.042*** (0.008) Output Gap Non-Linear(-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) -0.048*** (0.009) 0.024*** (0.007) M1 Growth(-2) <= 2nd Threshold 1.235** (0.539) 2.929*** (0.685) 0.550** (0.216) 0.156*** (0.049) 0.096*** (0.031) 0.035*** (0.008) 1.122** (0.503) 2.968*** (0.65) 0.608*** (0.205) 0.644 (0.406) 2.752*** (0.649) 0.553*** (0.209) 0.160*** (0.048) 0.094*** (0.03) 0.037*** (0.008) 0.633 (0.386) 2.819*** (0.619) 0.611*** (0.199) 0.991 1.107 403.146 0.992 1.045 357.419 0.992 1.070 376.347 0.992 1.014 336.461 2nd Threshold < M1 Growth(-2) <= 1st Threshold 1st Threshold < M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR -0.043*** (0.008) 1st Threshold 2nd Threshold 9.84 7.08 9.84 7.08 p-value 0.005 0.005 Catatan: - Angka dalam tanda kurung adalah standard error. - ***, **, dan * mengindikasikan tingkat signifikansi pada level 1%, 5%, dan 10%. Dari hasil analisis dan uji di atas, hasil empiris ini memberikan bukti yang kuat bahwa hubungan pertumbuhan M1 dan inflasi dapat digambarkan dengan tiga regime. Grafik 5 mengilustrasikan hubungan tersebut. Dari gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa kemiringan dari garis solid warna coklat ketika M1 tumbuh sampai dengan 7,1% adalah lebih curam dibandingkan dengan garis ketika M1 tumbuh antara 7,1%-9,8%. Demikian pula pada saat M1 tumbuh lebih dari 9,8%, kemiringan garis menjadi lebih landai. 428 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Inflation (%) 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 Th-2 = 7,08 Th-1 = 9,84 0,0 1,3 2,5 3,8 5,0 6,3 7,5 8,8 10,0 11,3 12,5 13,8 15,0 16,3 17,5 18,8 20,0 21,3 22,5 23,8 25,0 Money (%) Grafik 5. Dampak pertumbuhan M1 pada Inflasi: sebuah Ilustrasi V. KESIMPULAN Paper ini memberikan kontribusi pada literatur yang ada dimana penentuan threshold dilakukan dengan menggunakan teknik yang dikembangkan oleh Hansen (1997, 2000). Dibandingkan dengan penentuan threshold yang dilakukan secara arbitrary, teknik ini memberikan keuntungan dimana nilai threshold dapat ditentukan oleh karakteristik data itu sendiri. Lebih jauh lagi, teknik ini memungkinkan untuk mendeteksi kemungkinan nilai threshold lainnya. Apabila nilai threshold ditetapkan satu, padahal sebenarnya terdapat lebih dari satu, maka nilai koefisiennya dapat under/over estimate. Paper ini memberikan pemahaman mengenai threshold effect dari depresiasi nilai tukar dan pertumbuhan uang beredar (M1) terhadap inflasi di Indonesia. Dengan menggunakan data bulanan dari 1980:01 sampai 2008:12 model ini memberikan bukti yang kuat bahwa terdapat threshold effect dari pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi, namun tidak ditemukan threshold effect antara depresiasi nilai tukar dan inflasi. Seluruh eksperimen dilakukan sebanyak 1.000 kali. Dengan menggunakan dua pengukuran output gap yang berbeda, yaitu adjusted HP filter dan peak-to-peak method, dan dua jenis hubungan inflation-output, yaitu linear and L-shape function, kesimpulan kami adalah sama. Nilai threshold dari depresiasi nilai tukar adalah 8,4%. Namun demikian, koefisien dari nilai tukar pada saat tingkat depresiasi di bawah 8,4% ( γ1 ) dan koefisien dari nilai tukar pada saat di atas 8,4% ( γ2 ) tidak berbeda banyak. F-test memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara γ1 dan γ2. Dengan demikian, dampak depresiasi nilai tukar pada inflasi adalah linear untuk semua tingkat depresiasi (yaitu 0,05). Untuk pertumbuhan uang beredar, kami menemukan bukti bahwa ada dua nilai threshold, yaitu 7,1% and 9,8%. F-tests memberikan kesimpulan bahwa efek dari ketiga regime tersebut Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 429 adalah berbeda secara signifikan. Hasil empiris ini menunjukkan bahwa dampak pertumbuhan uang beredar terhadap inflasi tidaklah linear. Dampak terbesar pada saat uang beredar tumbuh antara 0% s.d. 7,1% (yaitu 0,15), dampak moderat terjadi pada saat uang beredar tumbuh antara 7,1% s.d. 9,8% (yaitu 0,09), dan dampak terendah pada saat uang beredar tumbuh di atas 9,8% (yaitu 0,03). Semakin tinggi uang beredar yang tumbuh, maka dampaknya terhadap inflasi akan semakin berkurang. Secara umum, temuan kami ini sejalan dengan Galbraith (1996) yang melakukan studi hubungan antara uang beredar dengan output. Dia menemukan bahwa uang mempunyai dampak yang besar pada output jika pertumbuhan uang beredar di bawah nilai threshold-nya dibandingkan dengan di atas threshold. Temuan kami dan temuannya adalah konsisten dengan proposisi bahwa kebijakan moneter mempunyai pengaruh yang kecil atau tidak memberikan pengaruh pada saat pertumbuhan uang beredar sangat tinggi. Hasil temuan ini memberikan kesimpulan bahwa dampak uang beredar pada inflasi pada saat uang beredar tumbuh di bawah 9,8% akan lebih besar dibandingkan dengan dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi. Kesimpulan ini berbeda dengan studi sebelumnya yang tidak memasukkan threshold effect, dimana dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan uang beredar pada setiap tingkat. Meskipun dampak depresiasi nilai tukar terhadap inflasi adalah linear, tidak berarti bahwa, sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia dapat mengesampingkan tingkat depresiasi nilai tukar mengingat dampaknya yang moderat. Lebih jauh lagi, studi ini menyarankan Bank Indonesia sebaiknya memperhatikan pertumbuhan uang beredar, dalam hal ini M1, mengingat dampak pertumbuhan M1 cukup besar pada saat berada pada tingkat di bawah nilai thresholdnya. Meskipun dampak pertumbuhan M1 pada inflasi tidak linear dengan dampak yang lebih kecil pada saat M1 tumbuh di atas nilai thresholdnya, studi ini tidak berarti menyarankan untuk membiarkan M1 agar tumbuh pesat. Hasil temuan kami di atas berdasarkan methodology yang diajukan oleh Hansen (1997, 2000). Namun demikian, studi ini tidak menjelaskan mengapa pertumbuhan uang beredar yang semakin tinggi memberikan dampak yang lebih mild kepada inflasi. Dengan demikian, studi lanjutan di masa mendatang untuk area ini sangat diperlukan untuk menjelaskan alasan dampak yang asimetris ini. Analisis di atas berdasarkan analisis parsial, yaitu menggunakan single equation model, meskipun pada kenyataannya nilai tukar dan uang beredar tidak independen. Penggunaan model yang lebih kompleks dimana nilai tukar dan uang beredar dijadikan sebagai variable endogen dan mengevaluasi nilai threshold, sebagaimana yang ditemukan di studi ini, akan menjadi studi yang menarik. Hal ini patut direserve untuk studi lanjutan. 430 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 DAFTAR PUSTAKA Alba, J. D., Papell, D. (1998), «Exchange Rate Determination and Inflation in Southeast Asian Countries», Journal of Development Economics, 55(2), 421-437. Arestis, P., Cipollini, A., Fattouh, B. (2004), «Threshold Effect in the U.S. Budget Deficit», Economic Inquiry, 42(2), 214-222. Bai, J. (1997), «Estimating Multiple Breaks One at a Time», Econometric Theory, 13, 315√52. Bajo-Rubio, O., Diaz-Roldan, C., Esteve, V. (2004), «Searching for Threshold Effects in the Evolution of Budget Deficits: An Application to the Spanish Case», Economics Letters, 82, 239-243. Barro, R. J. (1993), Macroeconomics, 4th edition, New York: Wiley Bernhofen, D. M., Xu, P. (2000), «Exchange Rates and Market Power: Evidence from the Petrochemical Industry», Journal of International Economics, 52, 283-297. Calvo, G. A., Reinhart, C. M. (2000), «Fixing for Your Life», NBER Working Paper, 8006. Campa, J. M., Goldberg, L. S. (2005), «Exchange Rate Pass-Through into Import Prices: A Macro or Micro Phenomenon?», Review of Economics and Statistics, 87(4), 679-690. Chong, T.T.L. (1994), «Consistency of Change-Point Estimators when the Number of ChangePoints in Structural Change Models is Underspecified», Working Paper, Chinese University of Hong Kong. Choudhri, E. U., Hakura, D. S. (2006), «Exchange Rate Pass-through to Domestic Prices: Does the Inflationary Environment Matter?», Journal of International Money and Finance, 25, 614-639. De Grauwe, P., Poland, M. (2005), «Is Inflation always and Everywhere a Monetary Phenomenon?», Scandinavia Journal of Economics, 107(2), 239-259. Dewald, W. G. (1998), «Money Still Matters», Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 80, 13√ 24. Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1988), «Is Money Irrelevant?», Federal Reserve Bank of St. Louis Review, (May/June), 3√17. Dwyer, G. P., Hafer, R. W. (1999), «Are Money Growth and Inflation Still Related?», Economic Review, Federal Reserve Bank of Atlanta, Second Quarter. Foster, N. (2006), «Export, Growth and Threshold Effects in Africa», Journal of Development Studies, 42(6), 1056-1074. Dampak Depresiasi Nilai Tukar dan Pertumbuhan Uang Beredar terhadap Inflasi: Aplikasi Threshold Model 431 Friedman, M. (1968), «The Role of Monetary Policy», American Economic Review, 58(1): 1-17. Friedman, M. (1992), Money Mischief: Episodes in Monetary History, New York: Harcourt Brace Jovanovich Galbraith, J.W. (1996), «Credit Rationing and Threshold Effects in the Relation between Money and Output», Journal of Applied Econometrics, 11(4), 419-429. Goldberg, P. K. (1995), «Product Differentiation and Oligopoly in International Markets: the Case of the U.S. Automobile Industry», Econometrica, 63(4), 891-951. Goldberg, P. K., Knetter, M. (1997), «Goods Prices and Exchange Rates: What Have We Learned?», Journal of Economic Literature, 35, 1243-1272. Lucas, R. E. (1980), «Two Illustrations of the Quantity Theory of Money», American Economic Review, 70, 1005√14. Hansen, B.E. (1997), «Inference in TAR Models», Studies in Nonlinear Dynamics and Econometrics, 2(1), 1-14. Hansen, B.E. (2000), «Sample Splitting and Threshold Estimation», Econometrica, 68(3). Hooper, P., Mann, C. L. (1989), «Exchange Rate Pass-Through in the 1980s: the Case of U.S. Imports of Manufactures», Brookings Papers of Economic Activity, 1. Khan, M. S., Senhadji, A.S. (2001), «Threshold Effect in the Relation between Inflation and Growth», IMF Staff Paper, 48(1). McCandless, G. T., Weber, W. E. (1995), «Some Monetary Facts», Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review, 19(3), 2√11. McCarthy, J. (2000), «Pass-Through of Exchange Rates and Import Prices to Domestic Inflation in Some Industrialized Economies», Federal Reserve Bank of New York Staff Report, 3. Menon, J. (1995), «Exchange Rate Pass-Through», Journal of Economic Surveys, 9(2), 197-231. Papageorgiou, C. (2002), «Trade as Threshold Variable for Multiple Regimes», Economics Letters, 77, 85-91. Papell, D. H. (1994), «Exchange Rates and Prices: An Empirical Analysis», International Economic Review, 35(2), 397-410. Rolnick, A. J., Weber, W. E. (1997), «Money, Inflation, and Output under Fiat and Commodity Standards», Journal of Political Economy, 105(6): 1308√21. Wimanda, R.E. (2010), «Inflation and Monetary Policy Rules: Evidence from Indonesia», Doctoral Thesis, Loughborough University. 432 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Lampiran Tabel A. Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ke Dua di Atas Coef Constant Inflation(-1) Inflation(1) Output Gap(-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) <= 9.84% 9.84% < M1 Growth(-2) <= 17.13% 17.13% < M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR -0.571 0.689 0.248 0.052 -0.045 0.127 0.057 0.038 1.219 2.835 0.543 Std. Error 0.190 0.0371 0.052 0.021 0.009 0.035 0.018 0.009 0.508 0.643 0.206 t-Statistic -3.000 8.537 4.751 2.447 -5.302 3.502 3.079 3.977 2.400 4.406 2.639 Prob. 0.003 0.000 0.000 0.015 0.000 0.001 0.002 0.000 0.017 0.000 0.009 0.992 1.047 358.479 Tabel B. Phillips Curve dengan Threshold Pertumbuhan M1: Titik Ketiga Coef Constant Inflation(-1) Inflation(1) Output Gap(-9) Exchange Rate Dep(-1) M1 Growth(-2) <= 4.93% 4.93% < M1 Growth(-2) <= 7.08% 7.08% < M1 Growth(-2) <= 9.84% 9.84% < M1 Growth(-2) Dummy Crisis Dummy Fuel Dummy Fitri Adjusted R-squared S.E. of regression SSR -0.387 0.684 0.256 0.049 -0.045 0.085 0.169 0.085 0.031 1.116 2.926 0.600 0.992 1.034 348.456 Std. Error 0.152 0.037 0.052 0.021 0.009 0.077 0.055 0.030 0.008 0.498 0.639 0.203 t-Statistic -2.549 18.475 4.972 2.317 -5.186 1.097 3.094 2.848 3.900 2.242 4.576 2.963 Prob. 0.011 0.000 0.000 0.021 0.000 0.273 0.002 0.005 0.000 0.026 0.000 0.003 Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 433 KETANGGUHAN APBN DALAM PEMBAYARAN UTANG Haryo Kuncoro 1 Abstract This paper is designed to analyze the sustainability of the central government budget in the case of Indonesia over the period of 1999-2009. First, we explore the theoretical background of the fiscal sustainability. Second, we develop a model to capture some factors determining the fiscal sustainability. Unlike the previous studies, we use both domestic debt and foreign debt to assess the fiscal solvency. Finally, we estimate it empirically. Based on the quarterly data analysis, we concluded that the government budget is unsustainable. This is associated with domestic debt rather than foreign debt. They imply that the central government should manage the debts carefully including re-profile, re-schedule, and re-structure them in order to spread the excess burden in the future. Also, the fiscal risks should be calculated comprehensively in order to maintain solvency. Key words: Domestic debt, Foreign debt, Fiscal sustainability, Primary balance JEL Classification: E62, H63 1 Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta ([email protected]) 434 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 I. PENDAHULUAN Ketangguhan fiskal (fiscal sustainability) sedang menjadi topik diskusi yang intensif di kalangan ekonomi makro baik di negara maju maupun negara berkembang. Pembahasan semakin kencang terutama sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 dan berulang lagi tahun 2008. Krisis ekonomi ditandai dengan meningkatnya belanja pemerintah terutama untuk penanggulangan dampak krisis. Di sisi lain, penerimaan pemerintah mengalami penurunan yang sangat drastis. Keadaan di atas juga dihadapi Indonesia. Krisis ekonomi telah membuat pemerintah Indonesia terbelit utang yang berat untuk menutup defisit APBN. Utang pemerintah telah bertambah menjadi tiga sampai empat kali lipat dari kondisi sebelum krisis, dan hampir tiga perempat dari pertambahan ini merupakan utang dalam negeri yang harus dibayar untuk restrukturisasi perbankan (Boediono, 2009). Kewajiban-kewajiban penutupan utang (bunga dan amortisasi) akan melebihi 40 persen dari penerimaan pemerintah selama beberapa tahun, sedangkan kebutuhan pembiayaan baru (baik dari luar maupun dalam negeri) di tahun-tahun mendatang masih tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran. Hal ini akan sangat membatasi ruang gerak fiskal (fiscal space) pada masa pemerintahan sekarang ini, sehingga telah menggeser permasalahan dari stimulus fiskal menjadi sustainabilitas fiskal (Rahmany, 2004). Secara konseptual, APBN dikatakan berkesinambungan apabila ia memiliki kemampuan untuk membiayai seluruh belanjanya selama jangka waktu yang tidak terbatas (Langenus, 2006; Yeyati dan Sturzenegger, 2007). Konsekuensinya, kesinambungan fiskal harus mampu pula memperhitungkan risiko fiskal. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi kewajiban langsung (direct liabilities) yang dapat diperkirakan sebelumnya dan kewajiban kontingensi (contingent liabilities) akibat suatu peristiwa di luar kendali (Brixi dan Mody, 2002). Lebih lanjut, isu mengenai risiko fiskal ini merupakan bagian integral dari pembahasan mengenai kemampuan bayar utang (solvency) dalam jangka panjang. Ketidakmampuan menyeimbangkan melonjaknya beban pengeluaran dengan peningkatan penerimaan jelas sangat membahayakan kemampuan anggaran negara dalam membayar utang. Untuk menjaga solvensi fiskal, keuangan negara harus surplus (Chalk dan Hemming, 2000). Problem utama kelangsungan APBN adalah masih adanya defisit anggaran. Persoalannya adalah bagaimana dapat menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga defisit tersebut masih dapat dicarikan pembiayaannya. Penjelasan Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB). Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 435 Terjadinya risiko fiskal yang tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran dan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi dengan cakupan dan kedalaman efek yang berbeda antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Risiko fiskal yang terjadi pada negara-negara maju akan menimbulkan beban pada anggaran dan berpeluang menghambat pertumbuhan ekonomi. Pada negara-negara berkembang implikasinya lebih berat. Terjadinya risiko fiskal yang membebani anggaran akan menjalar dengan cepat pada perekonomian secara keseluruhan, mendorong pelarian modal (capital outflow), dan bahkan mengubah arah pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, pada negara-negara berkembang dengan kelembagaan ekonomi yang masih lemah, ekspektasi terjadinya risiko fiskal akan mempengaruhi perilaku agen-agen ekonomi sehingga berpeluang menghambat pertumbuhan ekonomi kendati risiko fiskal tersebut belum terjadi sesungguhnya (Barnhill dan Kopits, 2003). Paper ini berupaya mengkaji ketangguhan fiskal dengan kasus Indonesia. Untuk sampai pada target tersebut, pada awalnya profil utang pemerintah akan diamati. Berikutnya, tinjauan konsepsional ketangguhan fiskal akan diulas beserta studi-studi yang pernah dilakukan sebelumnya. Metode penelitian dihantarkan pada bagian keempat. Hasil estimasi empirik ditampilkan pada bahasan di bawahnya. Akhirnya, paper ini akan ditutup dengan beberapa catatan. II. PROFIL UTANG INDONESIA Utang merupakan bagian integral dari kebijakan fiskal dalam kerangka kebijakan pengelolaan ekonomi secara keseluruhan. Utang menjadi konsekuensi dari postur APBN yang mengalami defisit. Konfigurasi antara defisit dan utang (dari dalam dan luar negeri) dapat diamati pada Grafik 1. Selain untuk menutup defisit, utang juga dipergunakan untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo (debt refinancing). Jumlah nominal utang Indonesia yang besar berakumulasi dari warisan rejim pemerintahan sebelumnya. Jika ditilik ke belakang, sejak rezim Orde Lama, Indonesia telah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Utang luar negeri digunakan selama periode pertama tahun 1966 untuk merekonstruksi ekonomi setelah gejolak politik. Setelah itu, rezim Orde Baru memiliki negara donatur tetap yang tergabung dalam IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia). Setiap tahun, IGGI menyediakan dana (dari ADB, Bank Dunia, IMF, UNDP, dan beberapa negara maju besar) untuk membiayai belanja pembangunan dirancang dalam anggaran negara. 436 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Triliun Rupiah 140 120 100 80 134 - Sejak tahun 2005 SBN menjadi instrumen utama pembiayaan APBN - Kenaikan SBN periode 2005-2010, antara lain untuk refinancing utang lama 108 yang jatuh tempo, dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang 99 mempunyai terms & conditions yang lebih baik. 83 89 4.0 60 40 20 (20) % thd. PDB 44 60 40 2.4 42 38 35 1.7 30 30 20 29 24 24 20 1.1 1423 1.3 1418 1.2 10 8 10 7 7 0.9 1 0.5 (2) (29) (40) 1.3 9 17 29 2.1 1.6 25 1 0.1 4 (27) 6 5 4 3 57 (1) (10) (3) 7 (24) (18) (18) 2 1 (1) (2) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010+ Deflait (Surplus) APBN SBN - Nato Pinjaman DN & LN -neto Non-Utang-neto Deflait APBN, % thd. PDB (RHS) Sumber : Kementrian Keuangan Catatan : APBN 1996-2008 adalah angka PAN/LKPP-Audited + APBN 2010 Grafik 1. Defisit dan Utang Pemerintah Indonesia, 1999-2010 Selama boom minyak di tahun 1970-an utang luar negeri meningkat pesat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Harga minyak tinggi diikuti oleh utang yang tinggi pula. Sebagai salah satu negara pengekspor minyak (pada waktu itu), Indonesia memiliki windfall profit sebagai semacam ≈jaminanΔ untuk memperoleh pinjaman baru dari negara-negara kreditor (Kuncoro, 1997). Utang luar negeri dan pendapatan minyak yang tinggi telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada periode itu, tingkat pertumbuhan ekonomi mencatat rekor tertinggi, pada rata-rata 20 persen setahun. Anehnya, ketika harga minyak menurun pada paruh pertama tahun 1980-an tetap saja utang bertambah. Resesi ekonomi dunia dan proteksi perdagangan yang diberlakukan oleh sebagian besar negara mitra dagang adalah penyebab utama. Persentase utang luar negeri total terhadap PDB meningkat dari 26,8 persen pada tahun 1980 menjadi 53,6 persen pada tahun 1986. Pada akhir 1980-an dan selama boom ekonomi pada pertengahan 1990-an, utang luar negeri jangka panjang yang dilakukan oleh perusahaan milik negara khususnya dan swasta. Utang pemerintah meningkat karena PERTAMINA sebagian besar diperluas. BULOG mengambil utang luar negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan sendiri. Akibatnya, rasio pengembalian utang terhadap ekspor pada akhir 1980-an, naik menjadi rata-rata 40 persen. Pada tahun 1992, IGGI dibubarkan dan diganti menjadi CGI (Consultative Group on Indonesia). Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 437 Ketika krisis keuangan Asia pada pertengahan 1997, utang luar negeri meningkat secara signifikan dari lebih dari USD 136 milyar pada tahun 1997 menjadi lebih dari Rp 151 miliar pada tahun 1998, terutama disebabkan oleh depresiasi Rupiah. Ketika itu, pemerintah Indonesia mengalami penurunan penerimaan dan, di sisi lain, peningkatan belanja pemerintah untuk menanggulangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari krisis. Dalam era reformasi, pemerintah dan DPR membuat keputusan politik yaitu defisit harus dibiayai oleh sumber keuangan domestik. Oleh karena itu, CGI dibubarkan pada tahun 2007. Akibatnya, jumlah stok utang dalam negeri (Surat Berharga Negara) telah melejit hingga sepuluh kali (100 triliun pada tahun 1998 menjadi hampir 1,000 triliun pada tahun 2009). Hanya dalam satu dekade, utang domestik telah lebih tinggi dari utang luar negeri (Gambar 2). Akibatnya, bunga utang publik juga meroket. Pembayaran bunga utang dalam negeri pun dua kali lipat lebih besar daripada utang luar negeri. 1800 1600 Sutar Berharga Negara 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Pinjaman Luar Negeri 1997 1998 (dalam %) Pinj. LN SBN 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 100% 82% 47% 47% 48% 47% 47% 49% 47% 43% 42% 45% 0% 18% 53% 53% 52% 53% 53% 51% 53% 57% 58% 55% 2009 43% 57% Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI Grafik 2. Saldo Utang Pemerintah Indonesia, 1997-2009 (Triliun Rupiah) Sebagian besar utang pemerintah jatuh tempo pada awal tahun 2000. Konsekuensinya, pembayaran suku bunga dan amortisasi menelan porsi sekitar 40 persen dari total pengeluaran APBN. Pengeluaran penting lainnya adalah pendidikan (20 persen) subsidi untuk pupuk dan energi (15 persen) dan transfer ke pemerintah daerah (26 persen). Komposisi pengeluaran di atas, tentu saja, sangat terbatas pada ruang gerak fiskal. Kendati ruang gerak fiskal mengalami penurunan, rasio utang Indonesia telah menunjukkan tren penurunan yang konsisten selama satu dasa warsa terakhir (Grafik 3). Sejalan 438 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 % 100 6000 Hutang PDB PDB 89% 5000 85% 77% 67% 4000 90 80 70 61% 60 57% 3000 50 47% 39% 2000 35% 33% 40 32% 30 20 1000 10 0 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber : Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI Grafik 3. Rasio Utang Indonesia, 1999-2009 dengan pemulihan ekonomi yang terus berlangsung, pendapatan nasional mengalami tren pertumbuhan yang mantab (rata-rata 4,5 persen pertahun). Dengan kondisi ini, pada tahun 2000, misalnya, rasio total utang Indonesia mencapai 89 persen dan menurun hingga 32 persen pada tahun 2009. Angka rasio utang tersebut jauh lebih baik daripada negara-negara lain yang mengalami dampak krisis. Diperbandingkan dengan beberapa negara dengan tingkat pendapatan perkapitanya yang relatif sama, seperti Phillipina, Argentina, dan Turki, rasio utang Indonesia juga lebih baik, bahkan dengan negara maju seperti Amerika, Inggris, Itali, dan Jepang (Grafik 4). 198.8 180 140 121.3 100 82.8 62.2 60.3 54.9 50.7 25.5 60 20 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Argentina Jepang Turki Italia Indonesia Filipina Inggris Amerika Serikat Sumber : Economist Intelligence Unit Grafik 4. Rasio Utang Beberapa Negara Terpilih, 1999-2010 Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 439 III. TEORI Peta utang pemerintah di atas menimbulkan kerisauan atas seberapa jauh ketangguhan APBN untuk menanggulangi semua kewajiban yang ditimbulkannya. Secara teoretis, sejauh ini belum ada batasan tentang ketangguhan fiskal yang secara umum dapat diterima. Literatur ekonomi makro mengenalkan tiga pendekatan definisi tentang ketangguhan fiskal. Pendekatan pertama berlandaskan pada kaidah akuntansi yang menghubungkan antara kondisi fiskal dan utang: (1) Dt+1 = (1+r) Dt + (Rt – Gt) Jika defisit (selisih antara penerimaan dan belanja, R – G) pada tahun anggaran yang sedang berjalan dibiayai dengan utang sebesar D, maka besar utang pada periode anggaran berikutnya (t+1) akan menjadi sebesar D itu sendiri ditambah dengan beban tingkat bunganya (r). Suku (R – G) adalah keseimbangan primer (primary balance, PB) di luar pembayaran bunga utang. Dengan menata ulang persamaan (III.1) di atas diperoleh Dt+1 – Dt ≡ D Dt = r Dt-1 – PBt (2) Dari persamaan (2) di atas dapat disimpulkan beberapa hal: a.Ω Apabila PBt = 0, maka utang akan bertambah sebesar bunga atas utang sebelumnya; b.Ω Apabila PBt < 0, maka Δ Dt positif, yang berarti pokok utang pemerintah terus meningkat; c.Ω Apabila PBt > 0, maka Δ Dt negatif, yang berarti pokok utang pemerintah terus menurun. Mengikuti pendekatan akuntansi ini, ketangguhan fiskal dapat dicapai jika tidak ada utang. Kalaupun pemerintah harus berutang, kondisi ketangguhan fiskal masih dapat dipertahankan apabila besaran tambahan utang harus sebanding dengan nilai surplus PB. Persamaan (2) jika diungkapkan dalam bentuk relatif terhadap pendapatan nasional (PDB atau Y) akan menjadi Δ [D / Y]t = r [D / Y]t-1 – [PB / Y]t (3a) Δ dt = r dt-1 – pbt (3b) Dalam konteks ini, ketangguhan fiskal terjadi jika posisi keseimbangan fiskal sekarang (dan prospeknya ke depan) tumbuh lebih lambat daripada kenaikan rasio utang terhadap PDB (Ouanes dan Thakur, 1997). 440 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Definisi pendekatan sustainabilitas fiskal yang kedua dijelaskan melalui keterkaitannya dengan solvabilitas. Dinh (1999) menyatakan solvabilitas fiskal suatu negara sangat tergantung pada aset dan kewajiban negara, yang secara sederhana dapat didefinisikan net worth = assets √ liabilities. Jika net worth menunjukan nilai negatif maka negara tersebut dalam kondisi insolven. Mengikuti (3), pembagian terhadap PDB membawa konsekuensi bahwa pertumbuhan Y juga harus diperhitungkan. Jika Y tumbuh sebesar g, maka penambahan utang akan menjadi Δ dt = r–g 1+g dt-1 – pbt (4) Apabila tidak ada penambahan utang baru (Δ dt = 0), maka pbt = r–g 1+g dt-1 (5) Dari definisi (5) di atas, suatu negara dapat dikatakan sebagai net debtor (yang dicerminkan melalui dt > 0 ) akan menghadapi dua kemungkinan sebagai berikut: a. Jika (r–g) > 0, maka untuk mencapai solvabilitas fiskal dibutuhkan surplus dalam keseimbangan primer sejumlah nilai pb. b. Jika (r–g) < 0, meskipun suatu negara sudah memiliki stok pinjaman sejumlah dt, masih dimungkinkan memiliki defisit anggaran (diukur dalam keseimbangan primer) tanpa membahayakan solvabilitas fiskal asal defisit tersebut tidak melebihi nilai pb. Dengan demikian, besarnya pinjaman suatu negara, tidak secara langsung dapat menggambarkan kesinambungan fiskal. Suatu negara yang memiliki tingkat pinjaman rendah namun masih tetap menghadapi masalah solvabilitas fiskal, apabila prospek perekonomian negara tersebut buruk yang dicerminkan (r–g) > 0. Sebaliknya, suatu negara bisa memiliki tingkat pinjaman yang relatif tinggi tanpa membahayakan solvabilitas fiskal karena memiliki prospek perekonomian yang cerah secara teknis dicerminkan (r–g) < 0. Namun patut dicatat bahwa hal semacam ini bukan berarti suatu negara dapat memiliki tingkat pinjaman yang terlalu tinggi. Risiko paling berat adalah ketika suku bunga tinggi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang rendah. Definisi pendekatan ketangguhan fiskal yang ketiga mengembangkan pendekatan akuntansi dengan mensyaratkan faktor diskonto atas utang. Metode ini dikenal dalam literatur ekonomi sebagai pendekatan kendala nilai sekarang (present value constraint approach) atas utang. Inovasi yang dilakukan adalah melakukan iterasi ke depan sampai k periode terhadap persamaan (1), menjadi sebagai berikut: Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang Dt = Σ 1 (1+r) 1+k 441 { Dt+1+k – PBt+k } (6) Nilai limit untuk waktu yang tak terhingga atas suku pertama pada bentuk di sebelah kanan persamaan (6) akan berakhir (asimtotis) sama dengan nilai nol (converges to zero)2. Persamaan yang masih tersisa tinggal Dt = − Σ 1 (1+r)1+k PBt+k (7) Sebagai catatan nilai minus PB adalah defisit dan nilai plus adalah surplus. Persamaan di atas disebut jugaΩsebagai kendala pembiayaan pemerintah antarwaktu (intertemporal government financing constraint). Persamaan (7) ini menyatakan bahwa jumlah utang pemerintah pada saat tertentu harus sama besar dengan nilai sekarang dariΩdefisit keseimbangan primer di masa mendatang (Cuddington, 1996). Artinya, pertumbuhan utang harus lebih rendah daripada pertumbuhan tingkat bunga (Buiter, 2002). Apabila kondisi tersebut terpenuhi maka kebijakan anggaran dikatakanΩberkelanjutan. Ketiga definisi di atas memberikan pemahaman yang sama, yaitu bahwa sustainabilitas fiskal adalah kemampuan fiskal untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan dan program pemerintah dengan mempertahankan stabilitas makro ekonomi dengan titik berat memelihara agar rasio utang negara terhadap PDB relatif konstan. Beberapa konsep yang dikemukakan di atas kemudian mengilhami berbagai riset empirik untuk mengkaji ketangguhan fiskal. Secara umum, riset yang berkembang dapat dikategorikan ke dalam empat perspektif (Arnone, Bandiera, dan Presbitero, 2005), yaitu (1) model optimasi, (2) model non optimasi, (3) model ruang gerak fiskal, dan (4) model efek disinsentif. Model optimasi menelaah sustainabilitas fiskal dengan memberikan penekanan pada biaya pinjaman. Model non optimasi melihat dinamika utang dengan menghubungkannya pada tingkat pertumbuhan bunga pinjaman. Model (3) mengamati perubahan ruang gerak fiskal akibat beban pengeluaran untuk bunga pinjaman. Pada akhirnya model ini hendak mendeteksi konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi apabila pemerintah memelihara ruang gerak fiskal guna mempertahankan sustainabilitas fiskal. Lebih mendalam, model (4) meluaskan analisis dampak 2 Persamaan yang bersangkutan ketika tidak sama dengan 0 (nol) menunjukkan adanya Ponzi Game. Sebuah istilah yang diambil dari nama pencetusnya, Charles Ponzi (1919) untuk menyatakan utang baru untuk menutup utang lama sedemikian rupa sehingga hasil akhir sebesar nilai tertentu yang tidak sama dengan nol. 442 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 depresiasi mata uang, defisit, inflasi, dan ketidakpastian pada sustainabilitas fiskal. Tampak sekilas model (1) merupakan operasionalisasi empiris atas pendekatan akuntansi. Sementara, model (2), (3), dan (4) menjabarkan pendekatan solvabilitas dan pendekatan kendala nilai sekarang. Hamilton dan Flavin (1986) adalah orang yang pertama kali meneliti kesinambungan fiskal. Dalam kerangkan model optimasi, pertanyaan yang diajukannya adalah apakah defisit yang berlangsung terus-menerus masih tetap dalam kendali sustainabilitas anggaran jangka panjang. Mereka menggunakan suku bunga tetap dalam analisisnya untuk data Amerika. Simpulannya adalah adanya kesesuaian antara defisit dengan kemampuan membayar utang. Wilcox (1989) mengembangkan pendekatan Hamilton dan Flavin (1986) dengan menganggap suku bunga tidak lagi tetap. Hasil studinya dengan model non optimasi menunjukkan utang Amerika tetap berkesinambungan sejauh fluktuasi perubahan suku bunga stasioner. Kedua studi tersebut menegaskan sustainabilitas jangka panjang (kemampuan membayar utang) tercapai melalui sustainabilitas jangka pendek (pengendalian stabilitas defisit). Selain faktor-faktor yang telah baku di atas, beberapa peneliti mulai berupaya mengidentifikasi faktor lainnya dalam kerangka model ruang gerak fiskal. Buiter (1993) mengidentifikasi tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan defisit primer melalui penurunan nilai riil atas penerimaan pajak. Akibatnya, negara pengutang mengalami kesulitan dalam operasi fiskalnya. Konsekuensinya, penyesuaian maturitas utang dengan jangka waktu penerimaan pajak (tax smoothing) akan menjadi solusi bagi ketangguhan fiskal (Barro, 1997). Chouraqui, Hagemann, dan Sartor (1999) menekankan pentingnya konsistensi kebijakan fiskal. Penerapan kebijakan yang berubah-ubah akan menyulitkan pengukuran kinerja. Tampaknya mereka mencoba memasukkan faktor kelembagaan ke dalam analisisnya. Dalam observasinya terhadap sejarah fiskal negara-negara OECD tersebut, mereka menemukan bahwa Cyclically-Adjusted Budget Balance (CAB) merupakan cara efektif untuk saling mengontrol kestabilan fiskal masing-masing negara anggota. Buiter (1997) mengidentifikasi faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kesinambungan fiskal, yaitu nilai tukar, cadangan devisa, belanja konsumsi, dan belanja investasi pemerintah. Dalam kompleksitas masalah semacam ini, Buiter (2002) menyarankan utang pemerintah digunakan hanya untuk keperluan belanja investasi guna mendorong konservatisme fiskal. Sementara, pertambahan pajak hanya sebagai bagian yang konstan dari PDB. Dalam hubungannya dengan nilai tukar, Turner (2002) mencatat bahwa permintaan obligasi berdenominasi Dolar Amerika Serikat biasanya akan meningkat bila rezim moneter Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 443 menggunakan nilai tukar bebas (mengambang). Hal ini disebabkan karena kepercayaan terhadap nilai tukar di negara berkembang dan pasar yang tengah berkembang (emerging market) umumnya masih rendah. Calvo (2003) menemukan contoh menarik tentang dampak perekonomian terhadap beban fiskal. Pada tahun 1981-83 Meksiko mengalami mandeg seketika (sudden stop), yaitu terhentinya aliran modal masuk ke negeri itu dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan menurunnya kepercayaan investor terhadap kinerja perekonomian dan situasi politik yang tidak menentu. Akibatnya, cadangan devisa Mexico mengalami penurunan 20 persen dari PDB. Mendoza dan Oviedo (2004) mempelopori analisis kesinambungan utang luar negeri dengan mengintroduksikan batas utang alami (natural debt limit, NDL). Batas utang alami adalah nilai anuitas keseimbangan fiskal pada saat terjadi krisis fiskal. Hasil studinya untuk empat negara di Amerika Latin menunjukkan rasio utang terhadap PDB bervariasi yang berada di atas NDL, sehingga solvabilitasnya juga berbeda-beda. Penelitian serupa untuk kasus negara-negara sedang berkembang telah pula dilakukan, misalnya oleh Yamauchi (2004) untuk kasus Eritrea, Yilanci dan Ozcan (2008) untuk negara Turki, dan Makin (2005) untuk negara-negara Asia tenggara. Studi-studi tersebut tidak memberikan satu simpulan yang tegas tentang ketangguhan fiskal. Keragaman hasil ini lebih disebabkan oleh karakteristik kebijakan fiskal dan lingkungan ekonomi makronya yang khas terjadi di tiap negara. Riset yang dilakukan di Indonesia tentang utang khususnya utang dalam negeri masih jarang dilakukan. Hal ini bisa dimaklumi karena pasar obligasi pemerintah dalam negeri baru dimulai pada tahun 2001. Konsekuensinya, sebagian besar riset yang berkembang di Indonesia masih tercurah pada utang luar negeri. Kuncoro (1999) memperoleh fakta empirik kebijakan defisit yang dibiayai dari utang luar negeri mendesak keluar (crowd out) investasi swasta yang membawa konsekuensi pada minimnya peran utang luar negeri pada pertumbuhan ekonomi. Saleh (2002) meneliti peran utang luar negeri dalam perekonomian Indonesia dengan hasil yang juga negatif. Nihilnya kontribusi utang disebabkan karena utang luar negeri tidak cukup mampu menciptakan penerimaan dalam negeri. Di Indonesia, risiko fiskal itu sendiri baru muncul secara eksplisit ke dalam APBN tahun 2008. Sebelumnya, risiko fiskal dinyatakan secara implisit bahkan sedikit perhatian yang ditujukan kepadanya. Kesadaran akan risiko fiskal mencuat setelah krisis ekonomi tahun 1997. Studi Soelistijaningsih (2002) menunjukkan risiko utang bisa berkurang dengan mendiversifikasi mata uang pinjaman. Hasil ini didukung oleh temuan Mark (2004). Ketangguhan fiskal Indonesia hanya dapat dipelihara jika tidak terjadi depresiasi yang berat. 444 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 PPE UGM dan BAF (2004) menyimpulkan utang luar negeri Indonesia yang besar karena biaya peminjamannya lebih murah daripada biaya utang dalam negeri. Hal ini pulalah yang menyebabkan rendahnya efisiensi utang luar negeri. Kendati demikian, PPE UGM dan BAF (2004) menegaskan utang Indonesia masih cukup aman dari risiko gagal bayar. Di sisi lain, Ulfa dan Zulfadin (2004) mendapatkan hasil yang mendua. Beberapa kebijakan fiskal yang mereka identifikasi (seperti reformasi penganggaran) berhasil mengurangi kewajiban kontingensi berupa penurunan utang, di sisi lain beberapa kebijakan fiskal justru memperbesar kewajiban kontingensi (yaitu berupa penjaminan simpanan). Dalam kaitannya dengan desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, Kuncoro (2005) meneliti dampak kewajiban kontingensi berupa transfer terhadap pertumbuhan ekonomi dan disparitas regional. Hasil studinya membuktikan bahwa pemerintah daerah merespon transfer secara overaktif. Implikasinya, pemerintah pusat dituntut untuk mengalokasikan transfer dalam jumlah yang semakin besar guna mengurangi disparitas antardaerah. Hanni (2006) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi sustainabilitas fiskal Indonesia. Hasil studinya menyimpulkan beberapa variabel ekonomi makro eksternal menjadi determinan penting bagi kesinambungan fiskal. Jha (2009) memasukkan faktor harga minyak ke dalam analisis kesinambungan fiskal. Hasil analisis untuk 32 negara Asia (termasuk Indonesia) menegaskan bahwa fluktuasi harga minyak secara signifikan berpengaruh pada ketangguhan fiskal melalui jalur besaran subsidi dan perolehan penerimaan pemerintah. Berbekal dari hasil identifikasi faktor-faktor penentu kesinambungan fiskal, riset yang berkembang belakangan mengarah pada deteksi kerentanan fiskal (fiscal vulnerability) akibat beban utang. Ciarlone dan Trebeschi (2006) meneliti beban utang luar negeri negara-negara berkembang. Mereka menemukan sedikit kesuksesan faktor-faktor kunci tersebut dalam memperkirakan terjadinya krisis utang. Tunner dan Samake (2006) menemukan probabilitas terjadi kerentanan fiskal bisa dikurangi dengan melakukan penyesuaian fiskal (fiscal adjustment). Celasun, Debrun, dan Ostry (2007) mengamati kemungkinan kesinambungan fiskal di 5 negara berkembang. Temuannya yang paling menarik adalah bahwa kebijakan fiskal itu sendiri menjadi faktor penting dalam menciptakan risiko terjadinya kerentanan fiskal. IV. METODOLOGI Banyak studi di atas menyarankan beberapa hal penting. Pertama bahwa konfigurasi anggaran pemerintah akan membawa dampak yang sangat besar bagi perekonomian. Kedua, Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 445 faktor-faktor eksternal tampak lebih dominan dalam mempengaruhi kondisi fiskal suatu negara. Ketiga, sejauh ini belum ada studi di Indonesia yang khusus memperkirakan kondisi fiskal ke depan terkait dengan integrasi seluruh faktor-faktor eksternal tadi. Penelitian ini berupaya menutup kesenjangan empirik dalam studi tentang kebijakan fiskal di Indonesia dengan mengambil sudut kajian yang bersifat sintesa. Tidak seperti model pada riset-riset sebelumnya, inovasi pertama penelitian ini dalam menganalisis permasalahan adalah penggunaan 2 jenis utang, yaitu utang dalam negeri (DD) dan utang luar negeri (FD). Dtotal = DD + FD (8) Mengikuti persamaan (2), model dasar ketangguhan fiskal Indonesia (8) dapat dituliskan sebagai Δ Dtotal = f (DDt-1, FDt-1, PBt) (9) Persamaan (9) ini masih dalam bentuk absolut. Tanpa bermaksud mengubahnya, ia dapat diubah ke dalam bentuk relatif ke dalam rasio terhadap PDB. Δ (RDtotal)t = α0 + α1 (RDD)t-1 + α2 (RFD)t-1 + α3 (RPB)t + μt (10) Persamaan (10) yang diturunkan dari persamaan (5) secara implisit mengasumsikan tingkat bunga dan pertumbuhan ekonomi (EG) bersifat konstan. Asumsi ini akan dibongkar dengan memunculkannya secara eksplisit sebagai variabel penjelas. Selanjutnya, beberapa variabel lain dimasukkan ke dalam model sebagai kontrol. Terkait dengan dua macam utang, suku bunga luar negeri (r) dan suku bunga dalam negeri (SBI) akan ditampilkan. Sehubungan dengan utang luar negeri yang diukur dengan mata uang domestik, depresiasi (Dep) juga dijadikan sebagai variabel penjelas. Model selengkapnya adalah: Δ (RDtotal)t = α0 + α1 (RDD)t-1 + α2 (RFD)t-1 + α3 (RPB)t +α4 (r)t + α5 (SBI)t + α6 (EG)t + α7 (Dep)t + μt (11) Inovasi kedua penelitian ini adalah ketangguhan APBN diestimasi dengan data kuartalan selama periode pasca krisis (1999-2009). Data yang diperlukan untuk keperluan studi ini pada umumnya sudah tersedia secara triwulanan sehingga memudahkan pelaksanaan eksekusi model. Satu perkecualian terjadi pada keseimbangan primer. Data yang tersedia dari publikasi secara resmi adalah data tahunan. Data tersebut kemudian diinterpolasi secara linier sedemikian rupa sehingga sesuai dengan data lainnya. 446 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Secara umum, data tersebut diperoleh dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan (cq DMO, Debt Management Office), dan Badan Pusat Statistik. Variabel yang akan dipergunakan dispesifikasikan sebagai berikut. Utang yang dianalisis di sini adalah utang pemerintah pusat (tidak termasuk Bank Indonesia, BUMN, BUMD, ataupun pemerintah daerah). Suku bunga Federal Amerika dipakai sebagai perwakilan suku bunga luar negeri. Suku bunga SBI jangka waktu 3 bulan didudukkan sebagai suku bunga dalam negeri3. Depresiasi dihitung sebagai prosentase perubahan kurs tengah Rupiah terhadap Dolar Amerika publikasi resmi BI. Demikian pula, pertumbuhan ekonomi dihitung sebagai prosentase perubahan PDB atas harga konstan 2000. V. HASIL DAN ANALISIS Hasil penaksiran model ketangguhan fiskal disajikan pada Tabel 1 berikut. Dengan signifikansi 92 persen, utang dalam negeri dipercaya mendorong peningkatan total utang pemerintah sebesar rata-rata 36 persen. Di sisi lain, dengan signifikansi yang lebih kecil, utang luar negeri mendorong penurunan total utang pemerintah sebesar 20 persen. Hasil terakhir ini mendukung klaim pemerintah bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan penurunan yang konsisten. Peningkatan suku bunga luar negeri cenderung mengurangi rasio tingkat utang total sebesar 22 persen. Mengikuti kerangka teoretis, pengaruh suku bunga ini terhadap perubahan utang seharusnya positif. Untungnya, koefisien ini secara statistik tidak signifikan pada tingkat keyakinan 95 persen. Intepretasi yang paling memungkinkan adalah bahwa nilai negatif ini semata-mata terkait dengan penurunan rasio utang pemerintah yang tengah terjadi. Di sisi lain, suku bunga luar negeri selama periode analisis mengalami tren peningkatan. Perubahan suku bunga SBI menambah beban utang total (terutama utang yang berasal dalam negeri) sebesar 27 persen. Apabila diperbandingkan, koefisien pengaruh kenaikan suku bunga dalam negeri (secara absolut) lebih tinggi daripada pengaruh kenaikan suku bunga luar negeri. Hasil ini mendukung temuan studi PPE UGM dan BAF (2004) bahwa biaya utang luar negeri lebih murah daripada pembiayaan utang dalam negeri sedemikian rupa sehingga efisiensinyapun juga lebih tinggi. 3 Suku bunga yang lebih cocok sebetulnya adalah BI rate sebagai suku bunga kebijakan. BI rate itu sendiri baru diintroduksikan sejak 2005. Oleh karena itu, suku bunga SBI dapat dianggap merepresentasikan suku bunga kebijakan. Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 447 Tabel 1. Hasil Estimasi Tingkat Utang Total Pemerintah, 1999(1)-2009(4) Dependent Variable: D(RDTOT) Method: Least Squares Date: 03/17/10 Time: 04:38 Sample(adjusted): 1999:1 2009:4 Included observations: 44 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C RDD(-1) RDF(-1) R SBI DEP EG RPB 0.487018 0.365373 -0.200480 -0.219580 0.270587 0.144565 0.047568 -0.614607 0.911836 0.200261 0.142465 0.143448 0.123241 0.022899 0.028054 0.205085 0.534107 1.824487 -1.407227 -1.530730 2.195586 6.313181 1.695606 -2.996836 0.5966 0.0764 0.1679 0.1346 0.0347 0.0000 0.0986 0.0049 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.668796 0.604396 1.125630 45.61356 -63.22564 2.099574 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -0.319798 1.789638 3.237529 3.561927 10.38493 0.000000 Depresiasi Rupiah terhadap mata uang luar negeri secara signifikan membawa peningkatan rasio stok utang pemerintah total sebesar 14 persen. Nilai utang pemerintah sebagian besar didenominasikan ke dalam mata uang Dolar Amerika. Dengan jumlah utang luar negeri yang sama, beban pemerintah akan 14 persen lebih berat dengan menurunnya 1 persen depresiasi Rupiah terhadap Dolar Amerika. Hasil ini juga sejalan dengan hasil studi Soelistijaningsih (2002) dan Mark (2004) bahwa diversifikasi utang ke dalam beberapa mata uang asing akan meringankan beban utang pemerintah. Pertumbuhan ekonomi juga membawa dampak pada peningkatan rasio utang luar negeri pemerintah sebesar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan dinamika kekuatan ekonomi masyarakat. Peningkatan kekuatan ekonomi ini membawa dampak pada peningkatan permintaan masyarakat akan barang dan jasa, tidak terkecuali kepada barang publik yang dipasok pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pasokannya dalam bentuk peningkatan belanjanya. Ketika besarnya belanja tidak bisa ditopang oleh penerimaan dalam negeri, peningkatan utang menjadi alternatif terakhir yang tak terelakkan. Apabila diperbandingkan dengan koefisien suku bunga SBI, besaran pengaruh pertumbuhan ekonomi ini lebih kecil sedemikian rupa sehingga koefisien (SBI √ EG) > 0. Kondisi ini merupakan prasyarat untuk mencapai solvabilitas fiskal dengan asumsi sementara dukungan konfigurasi APBN yang tidak mengalami perubahan. Hasil ini menunjukkan tampaknya kondisi APBN masih cukup aman untuk memenuhi kewajiban utang pemerintah. 448 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Variabel terakhir sebagai penentu utang total pemerintah dalam model di atas adalah surplus primer APBN. Koefisien RPB memperlihatkan nilai minus. Hasil ini sudah sesuai dengan hasil penelusuran teori pada bagian sebelumnya. Apabila surplus keseimbangan primer dapat dipelihara kenaikannya, misalnya 1 persen, maka tambahan utang pemerintah dapat diturunkan rata-rata sebesar 61 persen. Hal ini, sekali lagi, berarti penurunan beban utang mensyaratkan keharusan surplusnya keseimbangan primer melalui disiplin anggaran. Surplusnya keseimbangan primer ini juga mempertontonkan posisi ruang gerak fiskal yang sesungguhnya. Sayangnya, surplus primer selama periode analisis masih relatif minim (rata-rata hanya 6.84 persen dari angka PDB). Minimnya volume surplus primer mengakibatkan kecilnya ketersediaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pembayaran utang apabila ada gejolak yang tidak terantisipasi sebelumnya. Konsekuensi lainnya, stimulus perekonomian di dalam negeri untuk meredam dampak krisis guna memacu pertumbuhan ekonomi juga tidak memadahi. Dengan demikian, upaya pelestarian surplus keseimbangan primer menjadi kunci kebijakan pengelolaan APBN. Syarat kedua ketangguhan fiskal adalah koefisien PB sebesar -1 (satu). Pengujian dilakukan melalui 2 prosedur, yaitu dengan uji ANOVA dan c2 untuk membuktikan apakah koefisien pada PB benar-benar memenuhi kaidah sama besar dengan -1. Hasil pengujian disodorkan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengujian Ketangguhan APBN, 1999(1)-2009(4) Wald Test: Equation: Untitled Test Statistic F-statistic Chi-square Value df Probability 3.531335 3.531335 (1, 36) 1 0.0683 0.0602 Value Std. Err. 0.385393 0.205085 Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) 1 + C(4) Restrictions are linear in coefficients. Pengujian kedua prosedur menghasilkan nilai F dan c2-hitung masing-masing sebesar 3.3513. Dengan hipotesis awal C(4) = 1, simpulan untuk menerimanya diperlukan tenggat derajad kepercayaan sebesar 90-an persen. Artinya, dengan risiko kesalahan sebesar 5 persen, ketangguhan APBN tidak didukung oleh data. Apabila risiko kesalahan dinaikkan jadi sebesar 10 persen, ketangguhan APBN baru dapat diterima. Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 449 Hasil pengujian di atas memberi pesan singkat bahwa ketangguhan APBN masih sangat rapuh. Kerapuhan ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi perekonomian yang akan terjadi. Konsekuensinya, risiko kerapuhan fiskal ini perlu diantisipasi sejak dini. Antisipasi yang bisa ditempuh adalah (jika keputusan politik memang mendukung) dengan menyusun anggaran mengikuti sistem multitahun. Artinya, APBN untuk 3 tahun ke depan, misalnya, ditetapkan pada tahun yang sedang berjalan. Pengalaman Australia, Kanada, Jerman, dan Belanda dalam penyusunan anggaran negara layak menjadi model yang dapat diadopsi pemerintah. Sebagai gambaran tambahan, Australia dan New Zealand telah memasukkan kewajiban kontingensi eksplisit dan belanja kontingensi dalam laporan keuangan pemerintah. Italia dan Amerika Serikat memasukkannya dalam persetujuan anggaran berbagai pinjaman dengan melakukan present value atas besaran nilainya. Perkembangan seperti ini kemudian menjalar ke berbagai negara berkembang lainnya seperti Kolombia, Malaysia, dan Filipina khususnya untuk risiko proyek-proyek infrastruktur yang dijamin oleh pemerintah (Subyantoro, 2008). Kesemuanya ini diproyeksikan guna meminimisasi berbagai macam risiko yang potensial akan muncul. Terlepas dari semua itu, simpulan utama studi ini bertolak belakang dengan hasil penelitian di Indonesia sebelumnya yang pada umumnya menemukan sustainabilitas fiskal. Perbedaan simpulan tersebut dimungkinkan karena perbedaan data, metode, dan definisi yang dipergunakan. Penggunaan data tahunan (seperti yang dilakukan riset-riset sebelumnya) cenderung akan menghilangkan fluktuasi dalam kurun waktu 1 tahun sedemikian rupa sehingga pada umumnya memberikan gambaran ketangguhan fiskal. Penelitian ini justru meliput fluktuasi yang terjadi dalam periode kuartalan dan ternyata memberikan gambaran yang berbeda. VI. KESIMPULAN Paper ini telah memberikan fakta empirik tentang ketangguhan fiskal dengan studi kasus di Indonesia. Kajian atas data kuartalan memberikan hasil yang berbeda dengan studi-studi setema sebelumnya yang berbasis pada data tahunan. Temuan utama adalah bahwa ketangguhan fiskal Indonesia tidak/belum tercapai kendati memiliki solvensi untuk pembayaran utang domestik dan utang luar negeri. Sumber ketidaksinambungan ini adalah beban utang dalam negeri yang peningkatannya jauh lebih pesat daripada peningkatan utang luar negeri. Studi ini memberikan implikasi bahwa penerbitan Surat Utang Negara perlu dilakukan dengan kehatihatian dengan mempertimbangkan beban pembayaran SUN yang jatuh tempo. Saat jatuh tempo SUN sepatutnya disesuaikan dengan kemampuan APBN pada tahun yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, telaah yang cermat beban-beban APBN lain perlu dikalkulasi 450 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 dengan lebih matang. Untuk itu, eksposure risiko fiskal sepantasnya menjadi panduan dalam setiap penerbitan SUN. Dalam hal utang luar negeri, penggeseran beban utang dapat dilakukan melalui penataan ulang (reprofiling), penjadwalan kembali (rescheduling), dan restrukturisasi utang agar bebannya bisa disebar sesuai dengan maturitas jatuh temponya. Beban tersebut perlu diselaraskan pula dengan beban jatuh tempo utang dalam negeri. Rasio utang luar negeri pemerintah memang menunjukkan tren penurunan. Momentum ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya guna meminimisasi risiko utang yang masih tersisa. Untuk tujuan ini, koordinasi kebijakan sektoral, regional, fiskal, moneter, dan luar negeri perlu disinergikan secara optimal. Turunnya rasio utang pemerintah terhadap PDB tidak berarti terjadi peningkatan posisi keuangan pemerintah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara, penipisan sumber-sumber kepemilikan publik, dan penurunan modal tetap pemerintah. Kemungkinan lain yang perlu diwaspadai adalah mencari utang baru, terutama yang di luar anggaran (off budget) untuk menutup utang lama dengan jumlah yang sama. Selain kesinambungan fiskal, pemerintah juga perlu memikirkan kemungkinan beban fiskal yang lain jika perekonomian mengalami gangguan internal. Aktivitas semi-fiskal (quasi fiscal) Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD dapat merupakan kewajiban kontingensi jika mereka tidak dikelola dengan benar. Keuangan internal Bank Indonesia, BUMN, dan BUMD memang terpisah dari keuangan negara, tetapi aktivitasnya dalam utang dan bisnis juga merupakan public and publicly guaranteed dan semi guaranteed karena pemerintah adalah pemilik saham dan alasan ≈too big to failΔ. Studi lebih lanjut tentang ketangguhan fiskal Indonesia masih terbuka untuk dilakukan. Kajian yang lebih mendalam dapat dilakukan untuk memeriksa sumber-sumber kerapuhan fiskal. Studi ketaangguhan fiskal dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam setiap penyusunan APBN, seperti harga minyak dan produksi minyak (oil lifting) tentu menarik untuk disimak. Kelemahan yang masih tersisa pada studi ini dapat ditutup dengan memasukkan faktor-faktor dari besaran sisi moneter. Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 451 DAFTAR PUSTAKA Barnhill, T.M. dan G. Kopits, 2003, ≈Assessing Fiscal Sustainability under UncertaintyΔ, IMF working paper. Barro, R., 1997, ≈Optimal Management of Indexed and Nominal Debt,ΔΔNBER, working paper No. 6197. Boediono, 2009, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?, Kumpulan Esai Ekonomi, KPG & Freedom Institute, Jakarta. Buiter, W. H., 1993, ≈Public Debt in the USA: How Much, How Bad, and Who Pays?Δ, NBER, working paper No. 4362. Buiter, W.H., 1997, ≈Aspects of Fiscal Performance in some Transition Economies under Fund √ Supported Programs,Δ IMF Policy Discussion Paper. Buiter, W. H., 2002, ≈The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique,Δ Economic Journal, Royal Economic Society, 112(127): 459-480. Celasun, O., X. Debrun, dan J.D. Ostry, 2007, ≈Primary Surplus Behavior and Risks to Fiscal Sustainability in Emerging Market Countries: A ≈Fan-ChartΔ ApproachΔ, IMF working paper. Chalk, N., dan R. Hemming, 2000, ≈Assessing Fiscal Sustainability in Theory and PracticeΔ, IMF working paper. Chouraqui, J.C., R.P. Hagemann, dan N. Sartor, 1999, ≈Indicators of Fiscal Policy: A Reexamination,ΔΔOECD Working Paper, No. 78. Ciarlone, A. dan G. Trebeschi, 2006, ≈A Multinomial Approach to Early Warning System for Debt CrisesΔ, Banca D»Italia, working paper no. 588. Cuddington, J.T., 1996, ≈Analysing the Sustainability of Fiscal Deficits in Developing Countries,Δ WP6.0:sustain7.wpd, Economics Department Georgetown University, Washington, D.C., USA. Brixi, P.H. dan A. Mody, 2002, ≈Dealing with Government Fiscal Risk: An OverviewΔ, dalam Government at Risk, World Bank & Oxford University Press. Dinh, H.T., 1999, Fiscal Solvency and Sustainability in Economic Management. The World Bank, 1999. Enders, W., 2004, Applied Econometric Time Series, Second edition, John Wiley & Sony Inc. 452 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Hamilton, J.D. dan Flavin, M.A., 1986, ≈On the Limitations of Government Borrowing: A Framework for Empirical Testing,Δ American Economic Review, American Economic Association, 76(4), September: 808-19. Hanni, U., 2006, ≈Sustainabilitas Fiskal Indonesia dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhinya, JurnalΩKeuanganΩPublik, 4(2), September: 19-37 Jha, S., 2009, ≈Macroeconomic Uncertainties, Oil Subsidies and Fiscal Sustainability in AsiaΔ, ADB Research Paper. Kuncoro, H., 1999, Dampak Kebijaksanaan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Tesis M.Si., Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan. Kuncoro, H., 2005, Pengaruh Transfer Antarpemerintah terhadap Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah, Pertumbuhan Ekonomi, dan Disparitas Pendapatan Regional, Kota dan Kabupaten di Indonesia, Disertasi Doktor Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana UGM, tidak dipublikasikan. Langenus, G., 2006, ≈Fiscal Sustainability Indicators and Policy Design in the Face of AgeingΔ, working paper, National Bank of Belgium. Makin, T., 2005, ≈Fiskal Risk in ASEANΔ, Agenda, 12(3): 227-38. Mark, S.V., 2004, ≈Fiscal Sustainability and Solvency: Theory and Recent Experience in IndonesiaΔ, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(2), Agustus: 227-42. Ouanes, A and S. Thakur, 1997, Macroeconomic Accounting and Analysis in Transition Economies, International Moneteray Fund, Washington D.C. PPE UGM dan BAF, 2004, Studi Manajemen Utang Luar Negeri dan Dalam Negeri Pemerintah dan Assessment terhadap Optimal BorrowingΔ, Laporan Akhir Penelitian. Rahmany, F.A., 2004, ≈Ketangguhan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri PemerintahΔ, dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep, dan Implementasinya, Kompas, Jakarta. Saleh, S., 2002, Pengaruh Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah terhadap Perekonomian Indonesia, Disertasi Doktor dalam Ilmu Ekonomi, UGM, Yogyakarta, tidak diterbitkan. Soelistijaningsih, L., 2002, Model Portofolio dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri sebagai Alternatif mengurangi Gejolak Eksternal: Kasus Indonesia, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia. Subyantoro, H., 2008, ≈Adakah Persoalan≈Contingent Liabilities dan Fiscal Risk di Indonesia?: Sebuah Pelajaran yang Sangat BerhargaΔ, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Borobudur, Jakarta, 23 Desember. Tunner, E. dan I. Samake, 2006, ≈Probabilistic Sustainability of Public Debt: A Vector Autoregression Approach for Brazil, Mexico, and TurkeyΔ, IMF working paper. Turner, P., 2002,Δ≈Bond Markets in Emerging Economies: an Overview of Policy Issues,ΔΔBank for International Settlement, No. 11, Basel, Switzerland. Ketangguhan APBN Dalam Pembayaran Utang 453 Ulfa, A. dan R. Zulfadin, 2004, ≈Seberapa Seriuskah Perhatian Indonesia terhadap Isu-isu Kontingensi Fiskal?Δ, Kajian Ekonomi dan Keuangan, 8(2), Juni. Wilcox, D., 1989, ≈The Sustainability of Government Deficits: Implications of the Present-Value Borrowing ConstrainΔ, Journal of Money, Credit and Banking, 3: 291-306. Yamauchi, A., 2004, ≈Fiscal Sustainability, the Case of EritreaΔ, IMF working paper. Yeyati, E. L. dan F. Sturzenegger, 2007, ≈A Balance-Sheet Approach to Fiscal Sustainability», working paper, Universidad Torcuato Di Tella. Yilanci, V. dan B. Ozcan, 2008, ≈External Debt Sustainability of Turkey: A Nonlinear ApproachΔ, International Research Journal of Finance and Economics, 20: 91-98. 454 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 halaman ini sengaja dikosongkan Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 455 MONETARY TRANSMISSION OF PERSISTENT SHOCK TO THE RISK PREMIUM: THE CASE OF INDONESIA Akhis R. Hutabarat 1 Abstract This paper investigates the relative importance of monetary transmission channel to inflation of passing persistent shock to the risk premium. The findings show that nominal exchange rate depreciation, triggered by a more persistent shock to interest risk premium, worsens the state of the economy in the short- and long-run. Such distinctive shocks effect is transmitted through the economy that typifies lack of response of consumer price disinflation to interest rate tightening caused by high real rigidity, strong cost channel of interest rate, strong cost channel of exchange rate pass-through and weak demand-side channel of exchange rate pass-through. This study suggests a proper monetary policy response, which is the smallest interest rate increases within the feasible set of monetary policy responses that the model recommends, to minimize the adverse effects of the shocks. JEL Classification: F41; E52; D58 Keywords: Exchange rate, Balance of Payment, Monetary transmission and policy, Dynamic General Equilibrium. 1 Ekonom senior, Bank Indonesia, email [email protected]. Makalah ini berdasarkan hasil penelitian di Departemen Ekonomi, University of Leicester antara 2006 dan 2008. Pendapat yang muncul di makalah ini merupakan opini penulis dan tidak merepresentasikan pandangan Bank Indonesia 456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 I. PENDAHULUAN Guncangan yang berpengaruh negatif pada nilai tukar kerap melanda Indonesia. Guncangan seperti ini dapat terjadi dalam sekali waktu atau dapat pula bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Krisis mata uang yang menimpa Indonesia pada tahun 1997-1998 dapat dianggap sebagai guncangan parah terhadap premi resiko yang mendevaluasi nilai tukar dan mengubah keseimbangan dinamis perekonomian nasional. Kita harus terus belajar untuk mencapai pengelolaan moneter yang lebih baik dalam mengantisipasi kemungkinan terulangnya krisis tersebut. Karenanya, pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme transmisi moneter dan konsekuensinya terhadap keterbatasan kebijakan moneter menjadi suatu kebutuhan yang akan bermanfaat. Jalur biaya transmisi kebijakan moneter telah banyak dieksplorasi dalam kasus-kasus perekonomian negara-negara maju. Barth dan Ramey (2001) memberikan bukti empiris untuk jalur biaya kebijakan moneter berdasarkan data pada level industri. Ravenna dan Walsh (2006) menunjukkan bahwa jika penyesuaian tingkat suku bunga nominal secara langsung mempengaruhi biaya marjinal riil, maka kebijakan tingkat suku bunga secara langsung akan mempengaruhi inflasi. Mereka juga menunjukkan bahwa setiap guncangan ekonomi yang disertai kehadiran saluran tersebut akan menghasilkan trade-off antara stabilisasi inflasi dan stabilisasi kesenjangan output. Chowdhury, et al. (2006) menerapkan pendekatan struktural untuk menemukan bahwa efek perkiraan biaya langsung dari tingkat suku bunga nominal jangka pendek secara signifikan akan memberikan kontribusi pada dinamika inflasi di sebagian besar negara-negara G7. Agénor dan Montiel (2008) mencatat bahwa saluran biaya suku bunga telah diusulkan sebagai penjelasan atas fenomena ≈price puzzle ≈, istilah yang diberikan oleh Eichenbaum (1992), mengacu pada adanya korelasi positif antara peningkatan suku bunga dalam jangka pendek dengan tingkat harga di hasil temuan anomali empiris dari Sims «(1992). Studi empiris mengenai transmisi moneter di Indonesia yang disusun oleh Warjiyo dan Juda Agung (2002), tidak menyertakan saluran biaya suku bunga. Namun, penelitian ini, yang memakai metode VAR, menemukan ≈price puzzleΔ dalam kaitannya dengan pengetatan kebijakan moneter. Fenomena ini biasanya dihubungkan dengan kesalahan spesifikasi pada VAR atau adanya kemungkinan jalur biaya kebijakan moneter yang kuat. Sebagai kekuatan ekonomi yang muncul dengan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, ada kemungkinan dimana akumulasi modal telah menjadi sumber utama pertumbuhan output di Indonesia. Hossain (2006) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan menemukan bahwa akumulasi modal merupakan 60 persen sumber pertumbuhan di Indonesia selama empat puluh tahun terakhir. Dalam tulisannya, Young (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan di negara-negara Asia Timur terutama didorong oleh tingginya tingkat pembentukan modal. Dikombinasikan dengan suku Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 457 bunga pinjaman yang lebih tinggi, produktivitas modal yang lebih rendah, dan upah lebih rendah dibandingkan dengan negara maju, kita dapat berargumen bahwa pangsa modal (pendapatan pemilik modal sebagai fraksi dari PDB) lebih besar daripada pangsa tenaga kerja. Argumen ini mendorong pentingnya menyelidiki saluran biaya transmisi kebijakan moneter. Penelitian ini menggunakan model keseimbangan umum dinamis New Keynesian pada perekonomian kecil yang terbuka yang melibatkan empat pelaku ekonomi domestik, yaitu rumah tangga, perusahaan-produsen, pemerintah, dan bank sentral, yang berinteraksi dengan ekonomi asing. Model ini mencirikan uang yang dimasukkan kedalam fungsi kepuasan rumah tangga (money in utility function) dan elastisitas substitusi yang konstant dalam proses produksi perusahaan yang menggunakan tenaga kerja, barang modal, dan bahan baku domestik dan impor. Kebijakan tingkat suku bunga diterjemahkan ke inflasi jenis kurva New Keynesian Phillips melalui saluran permintaan agregat, pass-through nilai tukar, dan biaya modal. Penulis berasumsi bahwa saluran ekspektasi atas kebijakan moneter sepenuhnya kredibel. Hal ini terkait dengan harapan rasional agen terhadap harga dan otoritas moneter yang sangat kredibel, yang menerapkan aturan kebijakan suku bunga yang sederhana pada saat guncangan terjadi. Guncangan terhadap premi resiko suku bunga diberlakukan melalui penetapan nilai tukar sesuai paritas terlindung suku bunga (covered interest rate parity). Model ini diadaptasi dan dikembangkan dari model optimasi dengan kondisi staggered price dan staggered wage, yang telah banyak digunakan dalam literatur mengenai inflasi dan kebijakan moneter2. Model ini digunakan untuk melihat pengaruh shock yang pesisten dalam jangka pendek terhadap premi resiko dari performa perekonomian, yang dimaksudkan agar lebih dekat dengan struktur dan perilaku ekonomi Indonesia. Fokus penelitian ini pertama adalah urutan pentingnya jalur-jalur transmisi moneter yang menyalurkan guncangan dan respon suku bunga terhadap inflasi dan kedua, bagaimana kebijakan moneter merespon secara optimal terhadap jenis dan keadaan guncangan tertentu, dan dengan kondisi jalur transmisi moneter yang berbeda-beda. Paper ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan persisten pada premium resiko bunga, akan memperburuk kondisi perekonomian dalam jangka pendek dan jangka panjang. Guncangan ini mempengaruhi perekonomian yang ditandai dengan kurangnya respon disinflasi harga konsumen terhadap kontraksi kebijakan moneter. Hal ini disebabkan oleh kekakuan riil yang tinggi, saluran biaya suku bunga yang kuat, saluran biaya dari pass-through nilai tukar yang kuat, lemahnya saluran sisi permintaan atas pass-through nilai tukar, dan lemahnya saluran penawaran agregat dari suku bunga. 2 Lihat,£ sebagai contoh,£ Ravenna dan Walsh (2006), Christiano et al. (2005), Smets dan Wouters (2003), Erceg dan Levin ( 2003), Woodford ( 2003), dan Murchison ( 2004). Dua saluran biaya bunga pertama yang disertakan pada kebijakan moneter. 458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Studi ini menunjukkan respon kebijakan moneter yang tepat adalah dalam bentuk peningkatan suku bunga sekecil mungkin diantara set pilihan respon kebijakan moneter yang layak yang direkomendasikan oleh model untuk meminimalisasi dampak guncangan. Kebijakan ekonomi lainnya mungkin diperlukan untuk melengkapi ruang yang terbatas dari kebijakan moneter, yang pada gilirannya dapat membantu memperkuat saluran permintaan agregat dari suku bunga. Yang paling penting adalah kebijakan yang dapat membantu mengurangi pangsa modal dari output perekonomian dan secara berurut dapat melemahkan saluran biaya dari suku bunga. Susunan makalah ini adalah sebagai berikut: Bagian kedua menyajikan model keseimbangan dinamis dalam kondisi harga dan upah yang kaku. Bagian ketiga menyajikan skenario simulasi, kalibrasi parameter dan solusi model. Bagian keempat menganalisis hasil simulasi, sementara bagian kelima menyimpulkan hasil penelitian dan menyimpulkan beberapa rekomendasi kebijakan. II. TEORI Tulisan ini meneliti pentingnya saluran transmisi moneter untuk inflasi dalam meneruskan guncangan yang persisten kepada premi resiko. Ada banyak literatur mengenai topik ini dan salah satu pendekatan yang berkembang cepat adalah kerangka keseimbangan umum dinamis. Penelitian ini memperluas model ekuilibrium umum dinamis yang digunakan dan dijelaskan rinci oleh Hutabarat (2007) dan makalah ini memperbesar jangkauan model dengan memasukkan premi suku bunga resiko atas aset mata uang asing sebagai fungsi dari rasio utang luar negeri bersih terhadap PDB. Kemudian, neraca blok pembayaran dikembangkan yang menghasilkan persamaan neraca berjalan, neraca modal, neraca perdagangan dan jasa, dan aset asing bersih. Selain itu, penulis berasumsi bahwa pemerintah juga mengumpulkan pajak penghasilan atas barang pemilik modal dan dividen pemilik perusahaan selain pajak pendapatan upah dalam model sebelumnya. Penulis juga mengubah teknologi produksi CobbDouglas dengan teknologi Constant Elasticity Substitution (CES) untuk memungkinkan elastisitas permintaan input yang lebih rendah terhadap harga. Pengembangan model ini diuraikan dalam bagian lebih lanjut. 2.1 Rumah Tangga Kendala dinamis anggaran dinyatakan dalam mata uang domestik nominal dan riil sebagai berikut. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia H* Pt ct + ( M td − M td−1 ) + ( BtHG − BtHG − st −1 BtH−1* ) + Pt (k t − (1 − δ )k t −1 ) −1 ) + ( st Bt ~* H* m ≤ it −1 BtHG −1 + it −1 st Bt −1 + Pt imt + (1 − τ t )(Wt lt + z t −1 Pt k t −1 + Pt Π t ) H* ct + (mtd − mtd−1 ) + (btHG − btHG − qt −1btH−1* ) + (kt − (1 − δ )kt −1 ) ≤ −1 ) + ( qt bt − 459 (1) (2) πt H* m ~* mtd−1 + rt −1btHG −1 + rt −1qt −1bt −1 + pt imt + (1 − τ t )( wt lt + zt −1kt −1 + Π t ) 1+ πt Sumber pendapatan rumah tangga adalah pendapatan dari penyediaan jasa tenaga kerja (upah), penjualan barang impor, penyewaan barang modal ke perusahaan, kepemilikan perusahaan (dividen) dan penjualan barang modal yang susut pada periode sebelumnya, serta pendapatan bunga atas obligasi pemerintah dan aset asing. Penulis berasumsi bahwa aset asing bersih dari rumah tangga berada dalam posisi negatif, (Bt H* < 0) yang berarti rumah tangga merupakan debitur bersih dari aset asing. Penulis lebih lanjut berasumsi bahwa investor asing memerlukan premi resiko, κt , untuk tingkat suku bunga, it * , dari pinjaman dalam mata uang asing yang disalurkan ke rumah tangga domestik, sehingga (1+ it * ) = (1+ it * ) (1+ κt). Dengan demikian, maka pendapatan pokok dan bunga dari aset H* asing sebesar (1+ i*t-1 ) = (1+ κt-1 )stBt-1 < 0. Penulis mengikuti Al-EYD dan Hall (2006), Murchison, et. al (2004), dan Schmitt-Grohe dan Uribe (2003) dalam menentukan premi resiko negara tertentu, κt , yang bergantung pada rasio utang bersih asing terhadap PDB. Premi resiko juga terpengaruh oleh guncangan, εκt , mewakili perubahan yang tidak dapat diperkirakan dalam preferensi investor asing terhadap aset domestik. ⎛ − st Bt* ⎞ ⎜ Py ⎟ κ κ t = ς ⎜ e t t − 1⎟ + ε t ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ (3) dimana ς merupakan scaling parameter. Persamaan diatas menjelaskan bahwa premi resiko suku bunga dari aset asing tergantung pada utang luar negeri bersih, nilai tukar, output, dan guncangan eksogen pada premi resiko: Sebuah peningkatan pada utang luar negeri bersih (atau penurunan aset luar negeri bersih) secara negatif mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar utang.; Penyusutan nilai tukar akan meningkatkan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan, pada gilirannya, memperburuk kemampuan masyarakat untuk membayar utang luar negeri mereka,; Penurunan pendapatan riil turut memperburuk kemampuan perekonomian dalam membayar utang luar negeri. 460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Premi resiko pada utang luar negeri tidak muncul saat aset luar negeri seimbang dengan utang luar negeri dan bernilai negatif jika aset luar negeri bersih bernilai positif. Kondisi ini berarti bahwa rumah tangga domestik dapat menikmati tarif yang lebih rendah dari bunga dunia untuk utang luar negeri mereka. Dari maksimisasi fungsi utilitas rumah tangga yang berkenaan dengan penawaran tenaga kerja dan konsumsi, kita dapat menurunkan biaya kerja marjinal riil dalam bentuk sebagai berikut: ⎛A w mct = ⎜ t ⎜ ⎝ λ (ν −1) σ λ 1 νλ ⎞ +1 ct (α L yt ) ⎟ ⎟ 1−τt ⎠ (4) Rumah tangga menyewakan barang modal kepada perusahaan dengan tingkat sewa modal riil, Zt, yang diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi utilitas terhadap stok modal riil dan obligasi domestik nominal sebagai berikut: zt = rt + δ 1 − Etτ t +1 (5) Harga sewa riil dari modal yang dikenakan oleh pemilik modal rumah tangga kepada perusahaan harus mencakup tingkat bunga riil, tingkat depresiasi modal dan tarif pajak yang diharapkan kedepannya. Biaya marjinal riil dari impor setara dengan persamaan harga impor riil ketika harga sepenuhnya fleksibel, yang sama dengan nilai tukar riil. mctm = qt (6) Nilai tukar nominal diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi utilitas rumah tangga, terhadap obligasi nominal dalam dan luar negeri. Kondisi ini mencerminkan paritas suku bunga terlindung (covered interest rate parity), ⎛ 1 + it* ⎞ ⎟(1 + κ t ) st = Et st +1 ⎜ ⎜ 1 + it ⎟ ⎝ ⎠ (7) Dalam rangka mendapatkan aset keuangan dan neraca keuangan rumah tangga, kita bisa menguraikan persamaan kendala anggaran nominal (persamaan 2) dengan mengganti keuntungan riil perusahaan, (Πt = yt - wtlt - ptmimt - zt-1kt-1), persamaan akumulasi modal, [ kt = (1 Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 461 - δ)kt-1 + ivt ], dan dekomposisi dari investasi riil menjadi barang modal dalam negeri dan impor (ivt = ivtd + imtkg) . Selanjutnya kita dapat menggantikan dekomposisi barang impor sebagai barang jadi, barang setengah jadi dan barang modal (imt = imtrm + imtcg + imtkg ), termasuk mendekomposisi output domestik, yt, menjadi bagian yang dipasok kepada rumah tangga domestik sebagai barang konsumsi (cdt), kepada perusahaan sebagai barang modal tambahan (ivtd), kepada pemerintah sebagai barang konsumsi dan investasi (gt), dan kepada importir luar negeri sebagai barang ekspor (xt). Substitusi ini menghasilkan batasan anggaran riil dinamis dari rumah tangga yang dapat disusun kembali untuk mendapatkan aset keuangan riil dari rumah tangga dalam bentuk: ⎛ d md H HG * H* bt = ( xt − qt imt ) + g t + [(1 + rt −1 )bt −1 + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )qt bt −1 ] − τ t yt − ⎜ mt − t −1 ⎜ 1+ πt ⎝ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ (8) dimana btH adalah investasi keuangan riil dari rumah tangga dalam bentuk obligasi pemerintah dan obligasi luar negeri pada periode t. Hal ini sama dengan pendapatan bersih riil mereka sebagai eksportir dan importir dan sebagai pemasok barang kepada pemerintah, ditambah dengan pendapatan pokok dan pendapatan bunga riil dari investasi keuangan pada periode sebelumnya, dikurangi pengeluaran pajak penghasilan riil dan perubahan dalam kepemilikan uang riil. 2.2 Perusahaan-Produsen Perusahaan menghasilkan output dengan menggunakan teknologi produksi Constant Elasticity of Substitution (CES) yang menggunakan tenaga kerja, modal, dan barang setengah jadi baik yang diproduksi di dalam negeri dan dari luar negeri sebagai input produksi. Output riil agregat dari perekonomian mengikuti Murchison et al. (2004) untuk mendapatkan bentuk: ν ν −1 ν −1 ν −1 ν −1 1 1 ⎛ 1 ⎞ yt = ⎜⎜ α L ν ( At ltd ) ν + α K ν (ut k t −1 ) ν + α M ν (imtrm ) ν ⎟⎟ ⎝ ⎠ (9) di αL, αK, αM mana merupakan pangsa tenaga kerja, modal dan impor, yang masing-masing diasumsikan konstan dan membentuk teknologi produksi Constan Return to Scale (CRS), dan v merupakan elastisitas subtitusi antara input. Tujuan perusahaan adalah untuk memilih tingkat input yang memaksimalkan present value dari keuntungan riil seumur hidup, yang merupakan selisih dari pendapatan riil total terhadap total biaya riil. 462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 ν ν −1 ν −1 ν −1 ⎞ν −1 ⎛ 1 1 1 d ν rm ν ⎟ d m rm ν ⎜ − wt lt − pt imt − zt −1kt −1 Π t = α Lν ( At lt ) + α K ν (ut kt −1 ) + α M ν (imt ) ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ (10) Persamaan permintaan tenaga kerja diperoleh dari turunan pertama terhadap tenaga kerja: d lt = α L Atν −1 yt (11) wtν Dari kondisi turunan pertama dari maksimisasi keuntungan perusahaan, kita bisa mendapatkan permintaan untuk barang setengah jadi impor dalam bentuk rm imt = α M yt (12) mν pt Stok barang modal perusahaan yang dibutuhkan untuk produksi diperoleh dari turunan pertama dari maksimisasi keuntungan perusahaan terhadap modal: kt = βα K Et ut +1ν −1Et yt +1 (13) ztν Biaya marjinal riil dari produksi barang diturunkan dari proses minimisasi biaya riil dimana perusahaan memilih tingkat input yang meminimalkan total biaya riil, tct = wtlt + ptmimtrm +zt-1kt-1, dengan kendala fungsi produksi CES (persamaan 9). Biaya marjinal riil agregat dari perusahaan, mctd, dinyatakan sebagai fungsi dari upah riil, harga sewa riil dari modal, harga impor riil dan tingkat teknologi dalam bentuk: d mct = ⎛ 1 ⎛ wt ⎜ ⎜ 1+ 1 ⎜ α L ⎜⎝ At ⎜ Atα Lν −1 ⎝ wt ν −1 ⎛ ⎞ ⎟⎟ ⎠ ν −1 ⎜ ⎛⎜ ut ⎞⎟ ⎜⎜ α K ⎜ z ⎟ ⎝ t −1 ⎠ ⎝ 1 − ν −1 ⎞ ⎞ ν −1 ⎛ 1 ⎞ + αM ⎜ m ⎟ ⎜p ⎟ ⎝ t ⎠ ⎟⎟ ⎟⎟ ⎟⎟ ⎠⎠ (14) Deviasi Kurva Phillips Keynesian yang baru dari kondisi steady state, mengikuti mekanisme staggered price dari Calvo (Calvo, 1983). ⎛ (1 − θ )(1 − βθ ) ⎞ ˆ d πˆtd = βEtπˆ td+1 + ⎜ ⎟mct θ ⎝ ⎠ (15) dimana, πtd = ln Ptd - ln Pdt-1, πtd = Pdt - Pdt-1 dan θ merupakan derajat kekakuan harga barang yang diproduksi di dalam negeri. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 463 Mengganti biaya marjinal riil dengan perbedaan output aktual dengan output alami (kesenjangan output) dianggap tidak tepat dalam model kesetimbangan dinamis umum karena kesenjangan output (yt / ytn) pada model tersebut bukanlah suatu ukuran dari siklus bisnis yang bisa dikaitkan dengan pergerakan biaya marjinal riil. Output alami akan unggul jika kekakuan nominal tidak hadir. Sebagai contoh, Clarida, et al. (1999, hal 1665) mendefinisikan ≈tingkat outputalamiahΔ sebagai ≈tingkat output yang akan timbul jika upah dan harga sangat fleksibelΔ. Kita dapat menafsirkan output alami sebagai output yang sesuai dengan kondisi dimana semua perusahaan menjadi kompetitif dengan cara menetapkan harga mereka pada biaya marjinal nominal, yang menyiratkan mark-up yang konstan. Output alami ( ytn ) dalam model ekuilibrium umum dinamis tidak merepresentasikan tingkat kecenderungan dari output aktual di pasar kompetitif yang monopolistik dengan kekakuan nominal. 2.3 Otoritas Fiskal Pengeluaran pemerintah dibiayai melalui pajak penghasilan yang ditarik dari importir, pemilik barang modal, dividen pemilik perusahaan atau dari penerbitan obligasi dalam mata uang domestik dan asing. Batasan anggaran dinamis nominal dari pemerintah dinyatakan sebagai berikut: GH Bt G* s s * GH G* + st Bt + τ t Pt yt + M t − M t −1 = (1 + it −1 ) Bt −1 + (1 + it −1 )(1 + κ t −1 ) st Bt −1 + Pt g t (16) dimana BtG = BtGH + stBtG* adalah penerimaan pemerintah dari penerbitan obligasi domestik (BtGH ) dan obligasi asing (BtG* ), τtPtyt merupakan pendapatan pajak, ( Mts- Mts-1 ) merupakan pendapatan hak pemilik tanah, gt adalah belanja riil pemerintah, dan st merupakan nilai tukar nominal. Utang riil pemerintah, yang meliputi utangnya kepada rumah tangga dan perekonomian asing, btG = btGH + qtbtG* , dapat diformulasikan sebagai berikut G bt = gt + ( GH (1 + rt −1 )bt −1 * G* + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )bt −1qt ) ⎛ s mts−1 − τ t yt − ⎜ mt − ⎜ 1+ πt ⎝ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ (17) Aturan kebijakan fiskal mengambil bentuk berupa fungsi reaksi laju pajak yang menjamin keberlanjutan keseimbangan fiskal. Tujuan pemerintah adalah untuk mencapai dan mempertahankan rasio tetap dari defisit fiskal primer terhadap PDB. ⎛ g − τ t yt ⎞ τ t = τ t −1 + Θ⎜⎜ t − ψ ⎟⎟ yt ⎝ ⎠ (18) 464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 dimana τt adalah respon atas kebijakan tarif pajak, gt adalah konsumsi riil pemerintah, yt adalah output riil, Θ adalah parameter respon kebijakan fiskal, dan ψ adalah parameter konstan yang mewakili target dari rasio defisit fiskal primer riil terhadap PDB. 2.4 Utang Riil Bersih Luar Negeri dan Neraca Keuangan Utang riil bersih luar negeri, dt* , diperoleh dari batasan anggaran riil dari rumah tangga dan pemerintah. Hal ini digunakan untuk membiayai defisit perdagangan dan membayar utang luar negeri dari periode sebelumnya. * * * d t = (imt − xt / qt ) + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )d t −1 (19) Neraca keuangan (aliran utang luar negeri), , adalah total perubahan pada utang luar negeri bersih pemerintah dan perubahan dalam utang luar negeri bersih dari sektor swasta. Kita bisa mendapatkan aliran utang nasional dari rumah tangga dan batasan anggaran nominal pemerintah dengan mengasumsikan bahwa utang dalam negeri pemerintah sama dengan kepemilikan rumah tangga pada obligasi pemerintah ( BtGH = BtHG ), dan bahwa warga asing tidak memiliki obligasi pemerintah dalam mata uang dalam negeri, serta terciptanya keseimbangan pasar uang. FAt = ( Pt*imt − Pt xt / st ) − [(1 + it*−1 )(1 + κ t −1 ) − 1]Bt*−1 (20) 2.5 Kesetimbangan Pasar Barang Kesetimbangan pasar barang didefinisikan oleh batasan sumber daya yang menyeimbangkan permintaan agregat dengan penawaran agregat dari output (persamaan 9) dalam bentuk berikut ct + g t + ivt + ν −1 ⎛ 1 d ν ⎜ xt − imt = α Lν ( At lt ) ⎜ ⎝ 1 ν −1 ν + α K ν (ut kt −1 ) ν ν −1 ⎞ν −1 1 rm + α M ν (imt ) ν ⎟ ⎟ ⎠ (21) 2.6 Kebijakan Moneter Bank sentral secara implisit merupakan bagian dari pemerintah yang mengedarkan uang ke rumah tangga melalui konsumsi pemerintah. Karenanya, saluran peminjaman bank tidak ada dalam model ini. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 465 Bank sentral mempengaruhi inflasi melalui permintaan agregat, penawaran agregat, nilai tukar, dan saluran biaya atas kebijakan tingkat suku bunga. Bank Sentral menggunakan aturan kebijakan tingkat bunga tipe Taylor yang bersifat forward looking, sebagaimana didefinisikan oleh Clarida, et al. (1999). Ini adalah respon tingkat bunga nominal jangka pendek terhadap perkiraan kesenjangan inflasi periode berikutnya, yang merupakan deviasi dari proyeksi inflasi ke depan dari target inflasi, yang juga mempertimbangkan kelancaran pergerakan tingkat bunga. it = χit −1 + (1 − χ )[r + π + απ (π t +1 − π tT+1 )] (22) dimana r adalah tingkat kondisi steady state dari suku bunga riil dan πtT merupakan jalur target inflasi pada periode t, χ adalah smoothing parameter untuk tingkat suku bunga, dan απ merupakan parameter respon kebijakan moneter. Kebijakan moneter tidak merespon perbedaan antara output aktual dan output alami (kesenjangan output). Jika kebijakan moneter merespon suatu ukuran kesenjangan output, tujuannya adalah untuk mencapai tingkat harga output yang fleksibel dalam pasar persaingan sempurna, yang lebih tinggi dari tren output aktual dalam kondisi pasar persaingan monopolistic dengan harga yang tidak fleksibel (ytn > yt). Jika otoritas moneter mencapai target output alami, akan ada kecenderungan untuk melakukan kebijakan yang bias-inflasi karena akan bisa terus menerus menghasilkan inflasi ( πt > Etπt ) , dengan besaran rata-rata guncangan suplai bernilai nol (Sorensen et al, 2005.). Dengan menggunakan aturan kebijakan yang hanya tanggap terhadap kesenjangan inflasi, maka diasumsikan bahwa kebijakan moneter tidak hanya bertujuan untuk mencapai target inflasi secara langsung, tetapi juga menargetkan output secara tidak langsung. Namun, target output untuk kebijakan stabilisasi yang dihasilkan dari New Keynesian Phillip Curve, merupakan tren dari output aktual ( yt ). Kebijakan tingkat suku bunga diteruskan ke permintaan agregat melalui tiga saluran transmisi. Pertama, suku bunga riil yang mempengaruhi konsumsi melalui efek substitusi dan pendapatan. Kedua, suku bunga riil yang menentukan biaya pengadaan barang modal, yang mempengaruhi permintaan untuk investasi. Ketiga, kebijakan suku bunga yang memiliki efek pada nilai tukar nominal dan kemudian ditransmisikan ke nilai tukar riil sebagai penentu permintaan luar negeri untuk barang-barang domestik. Yang terakhir ini juga disebut sebagai transmisi moneter melalui efek pass-through tidak langsung dari nilai tukar. Kebijakan moneter ditransmisikan ke inflasi konsumen melalui tiga saluran. Pertama, saluran permintaan agregat atas kebijakan tingkat suku bunga yang diteruskan ke inflasi domestik melalui perubahan upah dan marjin profit. Saluran kedua adalah biaya bunga dari 466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 saluran produksi, secara khusus yaitu biaya tingkat bunga dari pengadaan barang modal, baik yang dibiayai oleh modal atau pinjaman3. Ketiga, kebijakan moneter yang mempengaruhi inflasi konsumen melalui dua saluran nilai tukar. Yang pertama adalah melalui biaya impor barang setengah jadi dengan harga dalam negeri dan satu lainnya adalah melalui inflasi dari barangbarang konsumsi impor. Keduanya disebut sebagai, secara berturut-turut, intermediate direct pass-through effect dan immediate direct pass-through effect dari nilai tukar terhadap harga konsumen. III. METODOLOGI 3.1. Metode Solusi Model Penelitian ini memberikan solusi kondisi steady state statis dan model dinamik linear dalam penyimpangan dari kondisi steady state dengan menggunakan solver CONOPT dibawah sistem GAMS. Solver ini menggunakan metode solusi Generalized Reduced Gradient untuk masalah pemrograman nonlinier (Rosenthal, 2006 dan Drud, 2006), dan didefinisikan sebagai: min or max f(z)=J=0 (performance index) (23) dengan kendala vektor fungsi log-linear implisit: ⎡ g1,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x) ⎤ ⎥ ⎢ M g (z ) = gt (y t −1 , y t , y t +1 , xt ; θ, y, x) = ⎢ ⎥= 0 ⎢⎣ g m,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x)⎥⎦ (24) l<z<u (25) dimana z adalah vektor variabel optimasi, l dan u merupakan vektor batas bawah dan batas atas, yang beberapa di antaranya mungkin minus atau positif tak terhingga, dan f dan g adalah fungsi nonlinear terdiferensialkan yang membentuk model. Kendala (6.2) adalah kendala umum dan (6.3) adalah batasan variabel. Fungsi objektif f adalah variabel yang akan diminimalisir atau dimaksimalkan, m adalah jumlah persamaan dan n menunjukkan jumlah variabel. Vektor z terdiri dari yt-1, yt , yt+1 dan xt, 3 Biaya bunga saluran ekuitas modal juga dapat disebut ≈saluran profitabilitas perusahaan≈. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan suku bunga sepenuhnya secara simetris dilalui dalam jangka pendek untuk biaya modal ekuitas, yang juga menyebabkan penyesuaian marjin laba. Dimasukkannya biaya ekuitas dalam saluran biaya bunga bergantung pada dua asumsi. Pertama, bahwa rasio utang terhadap ekuitas dari perusahaan di unit bisnis non-keuangan di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara maju. Kedua, bahwa kekuatan perusahaan dalam pasar perekonomian sebelumnya lebih kuat daripada di kemudian hari, yang menyebabkan kemungkinan tingkat penegembalian ekuitas yang lebih besar dari pada biaya bunga ekuitas. Hal ini sejalan dengan pandangan Chowdhury et al. (2006), yakni logika efek tingkat suku bunga pada biaya perusahaan juga berlaku bila perusahaan dibiayai terutama oleh dana internal. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 467 yang secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen, variabel endogen contemporaneous, variabel lead endogen dan variabel eksogen yang telah ditentukan. θ adalah vektor parameter, y adalah vektor nilai steady-state variabel endogen, dan x adalah vektor nilai steady-state variabel eksogen. Untuk periode solusi T, seluruh persamaan implisit untuk semua periode digabungkan untuk memperoleh sistem yang mengandung persamaan M = mT dan variabel N = nT. ⎡ g1,1 (y 1,0 , y 1,1 , y 1,2 , x1,1 ) ⎤ ⎢ ⎥ M ⎢ ⎥ ⎢ g m,1 (y m,0 , y m,1 , y m,2 , x m,1 ) ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ g1,2 (y 1,1 , y 1,2 , y 1,3 , x1,2 ) ⎥ ⎡ g1 (y 0,y 1 , y 2,x1 ; θ, y , x) ⎤ ⎢ ⎥ M ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ g (y y , y x ; θ, y , x ) 2 1, 2 3, 2 ⎥ = ⎢ g (y , y , y , x ) ⎥ = 0 g(z) = ⎢⎢ m,1 m,2 m,3 m,2 m,2 ⎥ ⎢ M ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ M ⎥ ⎢⎣g T (y T -1,y T , y T +1,x T ; θ, y , x ⎥⎦ ⎢ ⎥ M ⎢ ⎥ ⎢ g1,T (y 1,T−1 , y 1,T , y 1,T+1 , x1,T ) ⎥ ⎢ ⎥ M ⎢ ⎥ ⎢g m,T (y m,T−1 , y m,T , y m,T+1 , x m,T )⎥ ⎣ ⎦ (26) Dimana y0 + yT+1 dan secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen pada t = 1 dan vektor variabel lead endogen pada t = T, yang telah ditentukan sebelumnya dalam kondisi steady state. 3.2. Skenario Simulasi dan Pengaturan Parameter Penulis melakukan simulasi dengan memberikan satu persen guncangan eksogen positif terhadap persamaan premi resiko selama delapan kwartal. Jenis, besar dan lamanya guncangan dimaksudkan untuk menyerupai krisis mata uang rata-rata. Tujuan simulasi adalah untuk mengevaluasi pengaruh guncangan tersebut terhadap kinerja ekonomi, khususnya nilai tukar, neraca pembayaran dan respon kebijakan moneter. Dengan menerapkan satu jenis guncangan, secara implisit diasumsikan bahwa tidak ada jenis lain dari guncangan dan perekonomian tidak sedang menargetkan disinflasi. Penulis menerapkan simulasi guncangan ke model versi log-terlinearisasi dalam penyimpangan dari nilai-nilai kondisi steady state. Karena variabel-variabel lag dependen mengambil nilai kondisi steady state mereka, itu berarti guncangan saat simulasi terjadi dalam 468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 kondisi steady state ekonomi, di mana tingkat variabel riil dan variabel pertumbuhan, seperti inflasi, tidak mengalami perubahan, dan tingkat pertumbuhan variabel nominal berada pada tingkat yang konstan bukan nol. Oleh karenanya kita perlu menginterpretasikan hasil simulasi untuk guncangan aktual yang menghantam perekonomian sebelum kondisi steady state, di mana tingkat variabel riil dan nominal dapat tumbuh pada tingkat bukan-nol dan tingkat pertumbuhan variabel tidak selalu konstan. xt Deviation of dynamic equilibrium of the level of real variable x from its steady-state equilibrium (xt - xss) xss A one-time shock in steady-state contract the level of xt A one-time shock before steady-state decreases the growth of xt (can be contracting) Steady-state t History Projection Grafik 1. Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Riil Ketika kita memberikan satu kali guncangan dalam kondisi steady state, deviasi yang dihasilkan dari variabel riil dari nilai konstan kesetimbangan steady state dapat berarti ekspansi atau kontraksi atas nilai variabel riil tersebut. Namun, ketika guncangan terjadi pada kondisi dinamis perekonomian, sebelum kondisi steady state, biasanya akan timbul baik tingkat percepatan atau perlambatan dari variabel rill kecuali jika guncangan cukup besar untuk menggerakkan variabel rill. Oleh karenanya, kita bisa menafsirkan ekspansi atau kontraksi suatu variabel riil dalam kondisi steady state sebagai peningkatan atau penurunan pertumbuhan variabel riil sebelum kondisi steady state. Grafik 1 mengilustrasikan interpretasi dari efek kontraksi pada variabel riil saat diberikan satu kali simulasi guncangan saat kondisi steady state. Kita bisa menyimpulkan interpretasi yang sama untuk sebuah variabel nominal dalam kasus satu kali guncangan, dalam kondisi steady state (Grafik 2). Sementara itu, penafsiran efek pada variabel pertumbuhan atas satu kali guncangan pada saat kondisi steady state adalah sama dengan satu kali guncangan sebelum kondisi steady state. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 469 xt Deviation of dynamic equilibrium of the level of nominal variable X from its steady-state equilibrium (Xt - Xtss) A one-time shock before steady-state decreases the growth of Xt Xtss A one-time shock in steady-state decreases the growth of Xt (in this case, a negative growth) Steady-state t History Projection Grafik 2. Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Nominal Tabel 1 menampilkan parameter kalibrasi. Keuntungan masa depan bagi perusahaan, importir dan penentu upah didiskon dengan discount factor β = 0.99. Dari persamaan konsumsi Euler, kita mendapatkan suku bunga riil kondisi steady state yang sama dengan tingkat preferensi waktu dari rumah tangga. Pengaturan suku bunga riil pada angka 0,02 sesuai dengan discount factor rumah tangga, ϑ, pada angka 0,98. Struktur output perekonomian dan permintaan untuk output diasumsikan untuk mengikuti kisaran angka saat ini. Pangsa barang modal, tenaga kerja dan barang setengah jadi yang diimpor dalam output agregat dari perekonomian ditetapkan pada besaran αK = 0.5, αL = 0.35, dan αM = 0.15. Rasio belanja pemerintah terhadap PDB ditetapkan pada level αg = 0,18 dan rasio ekspor terhadap PDB pada. Pangsa barang konsumsi yang diimpor dalam total konsumsi, αmcg , dan barang modal impor dalam total investasi, αmkg , keduanya sebesar 0,14. Bagian obligasi pemerintah dalam aset rumah tangga, αHG , diasumsikan sama dengan 0,5, dan bagian utang dalam negeri terhadap kewajiban pemerintah, αGH , adalah 0,6. Rasio utang terhadap PDB dalam kondisi steady state adalah 20%. Penulis mengatur elastisitas antarwaktu dari konsumsi riil dengan besaran substitusi pada σ −1 = 0.004. Asumsi efek substitusi yang rendah ini sejalan dengan temuan Kusmiarso et al. (2002) yang secara tersirat menunjukkan adanya efek pendapatan yang kuat. Studi mereka di saluran suku bunga dari transmisi moneter dengan menggunakan VAR menemukan bahwa peningkatan suku bunga pada awalnya direspon dengan pertumbuhan negatif dari konsumsi. 470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Tabel 1. Kalibrasi Model Parameter Deskripsi Nilai ϑ discount factor rumah tangga β discount factorperusahaan, importir dan penentu tingkat upah 0,99 σ −1 elastisitas konsumsi antarwaktu dari substitusi 0,004 ρ −1 elastisitas suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil 0,008 λ −1 0,98 elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja 0,015 δ depresiasi tingkat modal 0,01 v elastisitas dari substitusi antara input faktor 0,3 αK pangsa modal 0, 5 αL pangsa tenaga kerja 0,35 αM pangsa barang setengah jadi 0,15 α∗M pangsa ekspor produk domestik dalam permintaan total dari seluruh dunia αmcg pangsa barang konsumsi impor 0,14 αmkg pangsa investasi barang modal impor 0,14 αg rasio pengeluaran-output pemerintah 0,08 αx rasio ekspor-output 0,28 η elastisitas nilai tukar riil dari ekspor 0,2 θ derajat kekakuan harga 0,35 0,00018 θm derajat kekakuan harga impor 0,1 θw derajat kekakuan upah 0,75 γw derajat indeksasi upah terjadap lag inflasi 0,9 ψ target dari rasio defisit fiskal 2% χ derajat inersia suku bunga απ parameter respon kebijakan moneter Θ parameter respon kebijakan fiskal ς parameter pengukuran premi resiko 0,5 large 0,5 0,00000001 αHG pangsa obligasi pemerintah pada aset rumah tangga 0,5 αGH pangsa obligasi domestik terhadap kewajiban pemerintahan 0,6 Namun, konsumsi rumah tangga ikut menurun ketika suku bunga mulai menurun. Elastisitas suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil ditetapkan sebesar ρ −1 = 0.008, yang mencerminkan tingkat yang lebih rendah dari ekonomi tanpa uang cash dibandingkan dengan negara-negara maju. Elastisitas terhadap nilai tukar riil dari ekspor ditentukan sebesar η = 0,2 sesuai dengan koefisien yang terkait dalam model makroekonometrik BI. Penulis mengkalibrasi elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja pada angka λ−1 = 0,002. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan elastisitas di negara-negara maju yang biasa digunakan dalam penelitian serupa. Hal ini mencerminkan pasar tenaga kerja yang ditandai dengan pendapatan upah riil rendah, kelebihan pasokan tenaga kerja dan apresiasi rendah untuk waktu luang. Elastisitas konstan dari substitusi antara input faktor ditetapkan sebesar v = 0,3. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 471 Tingkat kekakuan harga barang produksi dalam negeri, θ , dibuat sebesar 0,35 yang berarti bahwa waktu rata-rata antara penyesuaian harga domestik adalah sekitar satu setengah triwulan. Harga domestik dari barang impor dianggap lebih tidak kaku dibandingkan barang produksi dalam negeri ( θ m = 0,1), yang menunjukkan bahwa durasi rata-rata dari suatu harga impor adalah sekitar 3,3 bulan. Dalam menetapkan parameter kekakuan, penulis merujuk pada survei penetapan harga usaha bagi perekonomian Indonesia oleh Darsono et al. (2002), yang menemukan bahwa harga barang-barang manufaktur bertahan selama rata-rata 4,6 bulan dan perubahan nilai tukar diteruskan kepada harga impor di triwulan yang sama. Kekakuan upah diasumsikan sebesar θ w = 0,75, sesuai dengan perubahan upah nominal tahunan. Namun, acuan untuk perubahan upah sangat bergantung pada inflasi upah sebelumnya, bukan pada penetapan harga optimal yang bergerak maju. Fenomena ini tercermin dalam parameter γ w pada kisaran nilai 0,9. Parameter umpan balik inflasi dalam aturan suku bunga sederhana, ditetapkan pada nilai yang meminimalkan nilai sekarang dari kerugian kesejahteraan dinamis terdiskon, setelah lebih dari 100 triwulan pasca guncangan. Fungsi kerugian bersifat simetris dalam bentuk, ∞ ( L = Et ∑ β L (π t + s − π ) 2 + ( yt + s − y ) 2 s =0 s ) di mana para pembuat kebijakan moneter memiliki preferensi yang sama terhadap inflasi dan stabilisasi output. Koefisien umpan balik inflasi bergantung pada besar dan luasnya guncangan terhadap premi resiko. Penulis mencari koefisien umpan balik kebijakan yang optimal dengan menetapkan smoothing coefficient suku bunga sebesar χ = 0,5, yang mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking yang sama dari otoritas moneter dalam merumuskan kebijakan tingkat suku bunga. Loss 4 3 2 1 Infeasible Solution 0 -1 -2 -3 -1 4 9 14 19 24 29 34 39 44 49 54 59 64 69 74 79 84 89 94 99 Response Parameter Total PDV of welfare loss Interest rate gap at period 1 Sonsumer inflation gap at period 1 Output gap at period 1 Grafik 3. Jangkauan Parameter Respon yang Dapat Digunakan 472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Grafik 3 menunjukkan berbagai parameter umpan balik inflasi yang dapat digunakan saat suku bunga menanggapi kesenjangan inflasi di waktu masa depan. Angka-angka diatas menunjukkan bahwa himpunan dari respon otoritas moneter yang tepat terhadap kejutan premi resiko adalah tingkat suku bunga yang menaik. Namun, respon yang optimal, yang menghasilkan efek inflasi terendah dan kontraksi output terkecil dalam jangka pendek, adalah kenaikan suku bunga terkecil diantara himpunan yang layak. Kenaikan suku bunga tertinggi dalam himpunan tersebut berkesesuaian dengan respon yang paling tidak optimal. Jika memungkinkan, respon yang optimal digambarkan oleh garis putus-putus pada grafik. IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1 Nilai Tukar dan Neraca Pembayaran Grafik 4-5 dan Grafik 7-14 menunjukkan tanggapan variabel ekonomi terhadap satu persen guncangan untuk premi resiko selama delapan triwulan. Nilai tukar nominal tertekan diawal sebagai respon terhadap guncangan premi resiko, tetapi pengaruhnya diperkecil oleh respon suku bunga yang cepat. Nilai tukar nominal pada akhirnya mencapai kondisi steady state yang baru yang lebih lemah ketika suku bunga nominal kembali stabil pada tingkat awal, dan meninggalkan jalur ekspektasi bekerja sendirian. Kesetimbangan jangka panjang nilai tukar nominal menjadi lebih lemah untuk mengimbangi harga yang relatif lebih rendah dari barang dalam negeri dan asing sehingga nilai tukar riil tidak berubah dalam jangka panjang. Ekspor rill mengikuti pergerakan nilai tukar riil bila tidak ada perubahan permintaan asing. Dengan elastisitas ekspor riil terhadap nilai tukar riil yang rendah, maka ekspor rill hanya bergerak naik sekitar 0,027%, yang kemudian turun dibawah kondisi steady state awal saat Percent 0.25 Percent Nominal Exchange Rate 0.2 0.15 Real Exchange Rate 0.1 0.15 0.05 0.1 0.05 0 0 -0.05 -0.1 -0.05 Optimal Response Non Optimal Response -0.15 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106 -0.1 Optimal Response Non Optimal Response -0.15 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100 Grafik 4. Respon Nilai Tukar terhadap Satu Persen Guncangan Premi Resiko Selama Delapan Triwulan Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Percent Percent Real Exports 0.03 473 Real Imports 1.5 1 0.02 0.5 0.01 0 -0.5 0 -1 -0.01 Optimal Response -0.02 Non Optimal Response -0.03 -1.5 Optimal Response -2 Non Optimal Response -2.5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106 Percent Percent Real Import Price 1 Real Imported Intermediate Goods 1.5 1 0.5 0.5 0 0 -0.5 -0.5 -1 -1 -1.5 -1.5 -2 -2 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Grafik 5. Respon Ekspor dan Impor nilai tukar riil menguat beberapa triwulan setelah guncangan. Dalam Jangka Panjang, ekspor kembali ke level kondisi steady state awal . Menyusul peningkatan dari harga impor riil, impor riil turun sebesar 1,6%, jauh lebih besar daripada pertumbuhan ekspor riil pada periode awal saat terjadinya guncangan. Nilai harga asing dari impor juga menurun tajam sejak inflasi triwulan dari harga asing tidak mengalami perubahan. Di sisi lain, nilai harga asing dari barang ekspor turut menurun seiring depresiasi nilai tukar nominal yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada ekspor riil dan harga konsumen. Efek bersihnya adalah sebuah lompatan besar dalam surplus perdagangan, yang menunjukkan fenomena kurva J-terbalik. Surplus perdagangan Indonesia serta ekspor dan impor riil pada periode krisis mata uang, telah membuktikan hasil simulasi, pada sisi tertentu, yakni dalam hal arah dari variabel yang terkait. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada masa setelah krisis moneter tahun 1998, ketika nilai tukar nominal tertekan 123%, ekspor riil meningkat 11,2% dan impor riil menyusut 2,9%, mengakibatkan kenaikan surplus perdagangan sebesar 83%. 474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 log of billion Rp 10,5 6,6 6,4 10,0 6,2 9,5 6 9,0 5,8 5,6 8,5 2006 2005 2004 2003 2002 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 7,5 1990 8,0 2001 Trade Surplus (US$) Real Exports Real Imports Exchange Rate (Rp/US$) 5,4 5,2 5 Grafik 6. Ekspor Riil, Impor Riil dan Surplus Perdagangan Indonesia Hasil ini sejalan dengan studi empiris pada efek kurva J. Dengan menggunakan model VECM pada data triwulan Indonesia dan mitra-mitra dagang terkait, Husman (2005) menyimpulkan bahwa fenomena kurva J tidak ditemukan dalam data tingkat agregat. Hal ini hanya ditemukan dalam neraca perdagangan bilateral dengan Jepang, Korea Selatan dan Jerman. Pergerakan output, harga impor riil dan inflasi konsumen mempengaruhi pola siklus neraca perdagangan berikut ini. Impor riil mengalami rebound seiring dengan pulihnya permintaan dan output agregat, serta turunnya harga impor riil, yang berakibat nilai impor dalam mata uang asing yang lebih tinggi. Sebaliknya, permintaan eksternal untuk barangbarang domestik menurun karena apresiasi nilai tukar riil yang menyebabkan nilai ekspor dalam mata uang asing lebih rendah. Surplus perdagangan lebih rendah dibandingkan nilai awal dalam jangka menengah dan akhirnya stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang sedikit lebih rendah dari nilai kondisi steady state awal. Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinamika surplus perdagangan. Depresiasi nilai tukar lebih mempengaruhi volume impor dibandingkan ekspor karena harga impor lebih tidak kaku dibandingkan harga barang domestik yang diekspor. Selain itu, impor jatuh secara lebih signifikan dibandingkan peningkatan ekspor dalam jangka pendek karena komposisi impor yang cukup tinggi dalam struktur produksi. Selain itu, elastisitas impor riil terhadap harga, lebih tinggi dari elastisitas ekspor terhadap nilai tukar riil sehingga jumlah nilai elastisitas kurang dari satu. Faktor terakhir ini menjelaskan mengapa kondisi Marshall-Lerner tidak bertahan. Oleh karenanya guncangan premi resiko bisa memperburuk neraca perdagangan dalam jangka panjang. Tidak seperti hasil simulasi model ini, Husman (2005) justru berpendapat bahwa kondisi Marshall-Lerner terpenuhi dalam sampel secara keseluruhan, yang menunjukkan bahwa Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Percent Percent Trade Account Surplus 12000 475 Trade Account Surplus 20 10000 0 8000 -20 6000 -40 4000 -60 2000 -80 0 -2000 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -100 Percent Percent Trade Account Surplus 25 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Service Account Deficit 12 10 20 8 15 6 10 4 5 2 0 0 -2 -5 -10 -4 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -6 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent Percent Current Account Deficit 2000 Financial Account Surplus 1600 1400 0 1200 -2000 1000 -4000 800 -6000 600 400 -8000 200 -1000 -12000 0 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -200 Percent 1600 Percent Financial Account Surplus 14 1400 12 1200 10 Real Net Foreign Debt 8 1000 6 800 4 600 2 400 0 200 -2 0 -4 -200 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Optimal Response Non Optimal Response -6 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Grafik 7. Respon Komponen Neraca Pembayaran 476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 depresiasi nilai tukar Rupiah akan meningkatkan ekspor Indonesia dalam jangka-panjang. Husman lebih lanjut menemukan bahwa meskipun kondisi Marshall-Lerner terpenuhi, elastisitas nilai tukar dari neraca perdagangan bilateral cukup kecil. Satu persen perubahan nilai tukar riil hanya akan meningkatkan rasio ekspor terhadap impor sebesar 0,37%. Temuan yang berbeda mengenai kondisi Marshall-Lerner mungkin memperlihatkan over estimasi elastisitas harga dari impor atau elastisitas harga dari ekspor yang under-estimated. Perbaikan jangka-pendek dari surplus neraca perdagangan memungkinkan perekonomian untuk mengurangi utang bersih luar negeri. Setelahnya, sebagaimana surplus neraca perdagangan memburuk dalam jangka menengah dan pada akhirnya kembali stabil di bawah tingkat kondisi steady state-nya, perekonomian harus meningkatkan utang luar negeri bersih secara terus menerus dalam jangka-panjang. Sejalan dengan dinamika utang luar negeri bersih, defisit neraca jasa membaik dalam jangka-pendek dan memburuk dalam jangka-panjang, menjadi divergen dari tingkat kondisi steady state awal. Secara keseluruhan, neraca berjalan yang defisit berkurang dalam jangka-pendek karena surplus neraca perdagangan yang lebih baik, yang dipicu oleh defisit neraca jasa yang lebih kecil. Pada akhirnya, defisit neraca berjalan menjadi stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang lebih buruk. Surplus neraca keuangan mengalami penurunan dalam jangka-pendek, kemudian meningkat dalam jangka menengah dan akhirnya mencapai surplus kondisi steady state yang lebih tinggi dalam jangka-panjang. 4.2 Permintaan dan Penawaran Input-Output Saluran permintaan agregat dari kebijakan tingkat suku bunga bekerja melalui ekspor, konsumsi dan investasi. Konsumsi turun diawal sebagaimana konsumsi di masa datang yang diperkirakan lebih rendah melampaui sedikit penurunan pada suku bunga riil saat ini. Lebih lanjut terjadi penurunan di beberapa periode lainnya dikarenakan kenaikan suku bunga riil pada periode tersebut. Saat suku bunga menjadi stabil dalam jangka-panjang, yang lebih rendah dibandingkan saat kondisi steady state awal, maka konsumsi menjadi stabil pada kondisi steady state baru yang lebih tinggi. Permintaan stok barang modal untuk digunakan pada periode berikutnya mengalami penurunan ketika guncangan terhadap premi resiko menghantam perekonomian. Permintaan agregat yang diperkirakan melemah pada periode berikutnya merupakan penyebab dibalik keputusan perusahaan untuk mengurangi stok modalnya. Hal ini sering disebut sebagai saluran neraca perusahaan dari suku bunga terhadap permintaan agregat. Permintaan eksternal yang lebih kuat terhadap barang domestik dan permintaan domestik untuk barang setengah jadi Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Percent Percent 0.002 477 Real Consumption Real Investment 100 0.001 80 0 60 40 -0.001 20 -0.002 0 -0.003 -20 -0.004 -40 -0.005 -60 -0.006 -80 -0.007 -100 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent 1 Real Output 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 Optimal Response Non Optimal Response -2 -2.5 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106 Grafik 8. Respon Permintaan dan Penawaran Output dan barang jadi domestik, akan mengurangi kontraksi permintaan investasi. Efek bersihnya adalah penurunan permintaan agregat terhadap output domestik setelah terjadinya guncangan. Dengan demikian, depresiasi nilai tukar yang dipicu oleh guncangan sementara terhadap premi resiko berakibat pada menyusutnya output. Permintaan untuk input faktor lainnya juga mengalami penurunan. Karena harga impor lebih tidak kaku, nilai tukar riil yang tertekan menyebabkan harga impor riil menjadi lebih mahal. Dikombinasikan dengan penurunan contemporaneous permintaan agregat, maka permintaan terhadap barang impor setengah jadi akan mengalami penurunan. Tingkat penyerapan tenaga kerja turut jatuh karena lebih dipengaruhi oleh permintaan agregat yang menurun, dibanding karena upah riil yang sedikit lebih murah. Hasil ini disebabkan oleh elastisitas permintaan tenaga kerja terhadapoutput riil yang bernilai satu dan rendahnya elastisitas penawaran tenaga kerja terhadap upah riil. 478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 Percent Percent Labour Demand 1 Labour Supply 0.003 0.5 0.002 0 -0.5 0.001 -1 0 -1.5 -2 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -0.001 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent 0.015 Percent Unemployment Real Capital Goods 0.5 Optimal Response Non Optimal Response 0.01 0 0.005 -0.5 0 -1 0.005 -1.5 -0.001 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -2 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percentage Point Real Rental Rate of Capital 0.25 0.2 0.15 0.1 1.05 0 -0.05 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Grafik 9. Respon Permintaan dan Pasokan Input 4.3 Biaya, Harga dan Inflasi Permintaan tenaga kerja yang menurun memberi tekanan menurun terhadap biaya kerja marjinal riil. Di sisi lain, waktu luang juga menurun karena permintaan untuk konsumsi juga menurun dan karenanya pasokan tenaga kerja meningkat dan menekan biaya marjinal riil kerja. Karena upah nominal cukup rigid dan sangat terpaku pada inflasi di masa lampau, maka upah nominal menjadi tidak responsif terhadap perubahan biaya kerja marjinal riil akibat penyesuaian langsung pada konsumsi dan output. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Percent 0.4 479 Percent Real Wage Nominal Wage 0.6 0.3 0.5 0.2 0.4 Optimal Response Non Optimal Response 0.3 0.1 0.2 0 0.1 -0.1 0 -0.2 -0.1 -0.3 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -0.2 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent 0.1 Wage Inflation (qtq) 0.08 0.06 0.04 0.02 0 -0.02 -0.04 -0.06 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Grafik 10. Respon Upah Riil dan Nominal terhdap Satu Persen Guncangan Upah riil mengalami penurunan karena harga output yang naik dan lebih fleksibel dibandingkan upah. Oleh karenanya, respon langsung inflasi domestik terhadap permintaan agregat yang lebih rendah adalah mengalami penurunan. Pada periode guncangan berikutnya, investasi mulai meningkat dan konsumsi menguat, yang menyebabkan tekanan ke atas terhadap biaya kerja marjinal riil dan inflasi upah. Upah riil sementara waktu masih di bawah tingkat kondisi steady state awal disebabkan oleh harga output yang lebih fleksibel dibandingkan upah. Oleh karena itu, sepanjang sisa periode guncangan, respon dari inflasi domestik terhadap permintaan agregat yang lebih tinggi adalah menurun. Kekakuan yang rendah dari upah riil akibat kekakuan upah nominal yang tinggi dan kekakuan harga yang rendah dapat dikaitkan dengan kekakuan riil yang tinggi. Romer (2006) mendefinisikan kekakuan riil sebagai keengganan perusahaan untuk merubah harga relatif mereka dalam merespon perubahan dalam output riil akibat variasi permintaan agregat riil. Kekakuan riil yang lebih besar berarti pertimbangan yang lebih besar terhadap harga pesaing dalam perilaku penetapan harga. Ini menunjukkan bahwa saat kekakuan riil tinggi, setiap perusahaan ingin harganya bergerak lebih dekat dengan harga lainnya. Survei pengaturan 480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 harga usaha oleh Bank Indonesia (Darsono et al, 2002.) mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis biaya adalah strategi penetapan harga yang paling banyak diadopsi oleh perusahaanperusahaan manufaktur dan perdagangan. Temuan ini dapat membenarkan keberadaan kekakuan harga. Ini mencerminkan keengganan perusahaan untuk mengubah harga bila tidak ada perubahan biaya yang terjadi. Survei tersebut juga menemukan bahwa strategi penentuan harga berikutnya adalah «biaya plus marjin variabel dari profit» dan «harga pesaing» untuk perusahaan manufaktur dan ritel, sementara «kondisi pasar» saat ini bukan faktor penting dalam menetapkan kebijakan harga. Hasil survei ini dapat diartikan sebagai adanya kekakuan harga yang rendah dalam menanggapi perubahan biaya dan perubahan harga pesaing. Yang terakhir ini berarti kekakuan riil yang tinggi4. Depresiasi niai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko diteruskan ke inflasi barangbarang buatan dalam negeri menggunakan tiga saluran. Pertama, direct pass-through melalui biaya barang impor setengah jadi, yang berefek pada peningkatan inflasi domestik. Kedua, indirect pass-through melalui permintaan untuk input impor, yang memiliki efek penurunan terhadap inflasi domestik. Ketiga, indirect pass-through melalui permintaan eksternal untuk output domestik. Yang terakhir ini memiliki pengaruh pada penurunan inflasi domestik dikarenakan peningkatan ekspor akan memberikan sedikit tekanan ke atas terhadap upah yang kaku. Sehingga, dengan harga output yang tidak terlalu kaku, akan ada penurunan biaya riil dari penyerapan tenaga kerja. Sebuah direct cost-push pass-through dari nilai tukar terhadap inflasi domestik sangat mendominasi demand side pass-through yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konten impor yang tinggi dalam struktur produksi. Kedua, elastisitas nilai tukar riil yang rendah dari ekspor. Ketiga, tingkat kekakuan upah nominal yang tinggi, artinya elastisitas permintaan agregat yang rendah terhadap inflasi upah. Keempat, elastisitas harga impor riil dari permintaan barang impor setengah jadi. Nilai tukar yang diteruskan ke inflasi konsumen bahkan lebih tinggi karena merupakan kombinasi dari net-cost push pass-through untuk inflasi domestik dan direct cost- push pass-through dari barang impor konsumsi terhadap inflasi konsumen. Besarnya biaya modal mencerminkan saluran biaya yang kuat dari kebijakan suku bunga, yang memberikan tekanan ke atas terhadap inflasi domestik. Ini memperkuat yang perpanjangan pass-through yang kuat dari depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko terhadap harga dalam negeri yang lebih tinggi. 4 Romer (2006) menjelaskan bahwa, dengan asumsi kurva permintaan agregat yang sudah dimodifikasi, ln y = ln M - ln P (di mana P mencerminkan faktor-faktor yang menggeser permintaan agregat), ekspresi kekakuan riil untuk harga relative yang memaksimalkan keuntungan atas perwakilan perusahaan itu, ln Pi* - ln P = φ ln y, menunjukkan, ln Pi* = φ ln M + (1-φ) ln P di mana kekakuan riil tinggi ditunjukkan dengan rendahnya φ. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia Percentage Point Percentage Point Imported Goods Inflation (qtq) 0.8 481 Domestic Inflation (qtq) 0.15 0.6 0.1 0.4 0.2 0.05 0 -0.2 0 -0.4 -0.6 -0.05 -0.8 -1 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -0.1 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent Percent Real Marginal Cost 0.08 Import Price 1 0.06 0.5 0.04 0.02 0 0 -0.02 -0.5 -0.04 -1 -0.06 -0.08 -1.5 -0.1 -0.12 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 -2 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percentage Point Percent Consumer Inflation (qtq) 0.1 Optimal Response 0.08 Consumer Price 0.16 0.14 Non Optimal Response 0.12 0.06 0.1 0.04 0.08 0.08 0.02 0.04 Optimal Response 0 0.02 -0.02 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106 Non Optimal Response 0 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent Percent 0.35 Real Domestic Price 0.5 0.3 0.45 0.3 0.4 0.2 0.35 0.15 0.3 0.1 0.25 0.05 0.2 0 0.15 -0.05 0.1 -0.1 0.05 Domestic Price Optimal Response Non Optimal Response 0 -0.15 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Grafik 11. Respon Harga, Inflasi dan Biaya Marginal 482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 4.4 Pajak dan Utang Pemerintah Sebagai konsekuensi dari permintaan agregat yang lebih kecil dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi, pemerintah harus menghadapi basis pajak yang berkurang dan pembayaran bunga yang lebih tinggi atas utang yang ada. Dengan demikian, otoritas fiskal perlu menaikkan tarif pajak dan meningkatkan pembayaran utang untuk menjaga pengeluaran konsumsi agar tetap konstan di tengah tekanan defisit primer yang meningkat. Karena aturan pajak merespon defisit primer, pembayaran utang bunga yang lebih tinggi tidak memiliki efek penguatan pada kenaikan pajak. Dengan demikian, utang pemerintah tetap berkelanjutan, tetapi perekonomian memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan utang pemerintah. Kenaikan tarif pajak memiliki efek kecil dalam meredam penawaran tenaga kerja yang tidak elastis, dan menyebabkan sedikit tekanan ke atas terhadap biaya kerja marjinal riil. Namun, besaran pass-through terhadap upah tetap jauh lebih kecil karena upah cukup kaku namun terindeksasi oleh inflasi. Karena harga output lebih fleksibel dibandingkan upah, respon langsung inflasi domestik terhadap suku bunga mengalami penurunan tetapi sangat lemah. Respon langsung ini lebih tinggi melalui saluran penawaran tenaga kerja agregat atas kebijakan tingkat suku bunga. Percent Percentage Point 0.05 Tax Rate Fiscal Defisit 3 2.5 0.04 2 0.03 1.5 0.02 1 0.01 0.5 0 0 -0.5 -0.01 -1 -0.02 -1.5 -0.03 -0.03 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Percent 0.2 Governmen Debt 0.18 Optimal Response 0.16 Non Optimal Response 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Grafik 12. Respon Pajak, Utang Pemerintah dan Defisit Fiskal Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 483 4 .5 Suku Bunga Model ini merekomendasikan bank sentral untuk menaikkan tingkat bunga pertahun sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni 1,33 persen lebih tinggi dari tingkat awal setahun setelah guncangan awal. Angka ini harus kembali diturunkan namun tetap di atas nilai kondisi steady state selama sembilan triwulan sebelum akhirnya stabil di kisaran tingkat awal sebesar 7%. Respon suku bunga ini menyebabkan lompatan 0,09 persen pada inflasi konsumen tahun ke tahun. Karena suku bunga nominal meningkat dengan lebih dari satu peningkatan inflasi konsumen, suku bunga riil ex-ante naik sementara sampai tingkat 1,27 persen lebih tinggi di atas level kondisi steady state awal sebesar 2%. Penting untuk menyorot dampak pelaksanaan respon kebijakan moneter yang tidak optimal, yang dikarenakan kenaikan suku bunga tertinggi di antara parameter respons yang dapat digunakan. Hasil respon kebijakan macam ini memperburuk keadaan ekonomi dalam jangka pendek dalam bentuk suku bunga nominal yang lebih tinggi, inflasi konsumen yang lebih persisten, kontraksi output yang lebih dalam, lebih banyak pengangguran, neraca uang yang lebih tinggi dan harga serta upah yang lebih mahal. Perekonomian juga menjadi lebih buruk dalam jangka-panjang diakibatkan nilai tukar nominal yang susut, harga dan upah yang lebih mahal, utang luar negeri bersih yang lebih tinggi, utang pemerintah yang lebih tinggi, neraca uang riil yang lebih besar, surplus neraca perdagangan yang lebih kecil, defisit neraca berjalan yang lebih besar dan surplus neraca finansial yang lebih besar. Simulasi ini mengungkapkan seberapa kuat saluran biaya dari kebijakan moneter. Peningkatan suku bunga menghasilkan tekanan pada inflasi domestik melalui peningkatan biaya modal. Sumber utama tekanan ke bawah terhadap inflasi domestik dan konsumen adalah biaya riil dari impor barang yang disebabkan oleh nilai tukar yang terapresiasi dalam Percentage Point Percentage Point 1.6 1.4 1.2 1 Nominal Interest Rate (p.a) Real Interest Rate (p.a) 1.4 Optimal Response : Very Large Response Parameter Non Optimal Response : Smallest Feasible Response Parameter 0.8 Optimal Response 1.2 Non Optimal Response 1 0.8 0.6 0.6 0.4 0.4 0.2 0.2 0 0 -0.2 -0.2 -0.4 -0.4 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Grafik 13. Respon Suku Bunga 484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 perekonomian yang memiliki harga impor yang lebih fleksibel dibandingkan harga domestik, serta konten impor yang tinggi. Saluran biaya yang kuat dari kebijakan tingkat suku bunga, upah yang lebih kaku dibandingkan harga output dan indeksasi upah yang tinggi terhadap inflasi masa lalu menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kurangnya respon disinflasi harga konsumen terhadap kenaikan suku bunga. Hal ini sejalan dengan sifat-sifat model makroekonometrik kecil Bank Indonesia yang memperkirakan lemahnya pengaruh dari pengetatan suku bunga dalam menurunkan inflasi konsumen. Ini menunjukkan bahwa satu persen kenaikan suku bunga hanya dapat mengurangi inflasi konsumen sekitar 0,06 persen. 4.6 Neraca Uang Permintaan uang riil, menurun dalam jangka pendek dan mencapai nilai kondisi steady state yang lebih tinggi dalam jangka panjang. Respon langsung tidak disebabkan oleh kenaikan suku bunga melainkan hanya mengikuti pola konsumsi riil. Hal ini disebabkan oleh elastisitas konsumsi riil yang tinggi terhadap permintaan uang riil yakni sebesar σ / ρ = 2,2. Di sisi lain, elastisitas permintaan uang riil terhadap tingkat suku bunga nominal yang rendah ( 1/ρ = 0,0083 ), meredam pengaruh kenaikan tingkat suku bunga yang relatif cukup besar. Oleh karena itu, melemahnya permintaan atas barang konsumsi, akan berpengaruh besar terhadap penurunan permintaan memegang uang. Percent 0.008 Percent Real Money Balance Nominal Money Balance 0.16 0.14 0.004 0.12 0 0.1 0.08 -0.004 0.06 -0.008 -0.012 Optimal Response Non Optimal Response -0.016 0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 0.04 Optimal Response 0.02 Non Optimal Response 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Grafik 14. Respon Neraca Uang Dalam jangka pendek, penurunan permintaan uang riil, lebih rendah dibandingkan kenaikan harga konsumen. Karenanya, ketika bank sentral merespon guncangan premi resiko dengan menaikkan suku bunga, penawaran uang nominal harus lebih tinggi untuk Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 485 Tabel 2. Korelasi antara Pertumbuhan Mata Uang dan Tingkat Bunga Koefisien Korelasi Periode tingkat SBI 1 bulan tingkat deposit 3 bulan 1990Q1-1997Q2 -0,33 1997Q3-1998Q4 0,84 -0,65 0,42 1999Q1-2007Q1 -0,13 -0,28 meyeimbangkan pasar uang. Dalam hal ini, arah uang dan tingkat bunga saling berkebalikan, dalam artian bahwa kebijakan moneter ketat terhadap tingkat suku bunga, namun longgar terhadap pasokan uang. Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berkorelasi positif dengan pertumbuhan uang selama krisis. Namun, hubungan itu sebagian besar dikarenakan peningkatan besar-besaran dalam bantuan likuiditas dikombinasikan dengan peningkatan suku bunga yang signifikan. Lebih lanjut, Grafik 15 memperlihatkan bahwa kenaikan (atau penurunan) pada suku bunga kebijakan Bank Indonesia (tingkat SBI), yang secara positif sangat berhubungan dengan perubahan tingkat deposito, tidak serta merta memperlambat (atau mempercepat) pertumbuhan mata uang yang beredar selama periode pasca-krisis. Korelasi negatif antara suku bunga dan pertumbuhan mata uang melemah selama periode observasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Karena pertumbuhan dan suku bunga kebijakan bisa bergerak dalam arah yang sama, dan pengetatan atau pelonggaran kebijakan moneter seharusnya hanya diwakili dan jelas dikomunikasikan dalam bentuk kebijakan suku bunga. % 3.00 2.00 1.00 (1.00) (2.00) Increase (decrease) in SBI rate Acceleration (deceleration) of Currency in Circulation 2000q01 2000q02 2000q03 2000q04 2001q01 2001q02 2001q03 2001q04 2002q01 2002q02 2002q03 2002q04 2003q01 2003q02 2003q03 2003q04 2004q01 2004q02 2004q03 2004q04 2005q01 2005q02 2005q03 2005q04 2006q01 2006q02 2006q03 2006q04 2007q01 2007q02 (3.00) Grafik 15. Arah Suku Bunga dan Pertumbuhan Mata Uang di Indonesia 486 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 V. KESIMPULAN Studi ini menemukan bahwa meski dengan respon kebijakan moneter yang optimal, depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan premi resiko suku bunga selama dua tahun, memberikan dampak bagi perekonomian dalam bentuk inflasi yang lebih tinggi, output yang lebih rendah, suku bunga riil dan nominal yang lebih tinggi, biaya modal yang lebih tinggi, investasi yang lebih rendah, utang dan defisit pemerintahan yang lebih tinggi, tingkat pajak yang lebih tinggi, dan pengangguran yang lebih tinggi. Guncangan yang terus-menerus juga memperburuk perekonomian dalam jangka-panjang. Hal ini ditandai dengan kesetimbangan jangka panjang nilai tukar nominal yang lebih lemah , harga domestik, impor serta upah yang lebih mahal, dan neraca pembayaran yang lebih buruk (surplus neraca perdagangan yang lebih rendah, defisit neraca berjalan yang lebih tinggi, arus masuk modal yang lebih tinggi, utang luar negeri bersih yang lebih besar, utang pemerintah yang lebih tinggi namun berkelanjutan). Namun, respon kebijakan moneter yang tepat, yakni kenaikan suku bunga terkecil dalam himpunan respon suku bunga yang layak, mampu mengurangi dampak merugikan tersebut. Karateristik guncangan seperti ini terjadi karena kurangnya respon disinflasi terhadap kenaikan pada kebijakan suku bunga, yang disebabkan oleh kombinasi kekakuan riil yang tinggi dan kuatnya saluran biaya atas suku bunga dan pass-through nilai tukar. Baik saluran permintaan agregat atas suku bunga dan saluran sisi permintaan atas pass-through dari nilai tukar mempunyai efek yang lemah terhadap inflasi. Beberapa implikasi kebijakan mungkin sesuai, namun karakteristik transmisi moneter seperti ini menyulitkan respon kebijakan moneter yang optimal. Akan lebih baik bagi bank sentral untuk mengejar inflasi yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh permintaan, ketika guncangan yang merusak tidak muncul atau ketika terdapat guncangan pasokan yang menguntungkan. Ketika disinflasi berhasil, suku bunga pada gilirannya dapat diturunkan dan akhirnya dapat membantu mengurangi biaya jalur suku bunga dan memperkuat saluran permintaan agregat. Karena guncangan nilai tukar dan cost-push sering kali merugikan perekonomian, maka diperlukan kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan moneter untuk memperkuat saluran permintaan agregat dari kebijakan moneter. Penting untuk diketahui bahwa saluran biaya suku bunga perlu diturunkan. Ini menyiratkan bahwa proporsi pendapatan domestik untuk pemilik modal, investor atau pemberi pinjaman, harus dikurangi. Perombakan struktur produksi dengan menambah produsen barang yang padat karya, bisa menjadi kebijakan industri yang tepat untuk membantu mengurangi proporsi modal dalam output. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 487 Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah yang terkait dengan upaya pengurangan biaya modal. Model dan hasil simulasi tidak dapat merekomendasikan kebijakan yang secara langsung dapat mengurangi biaya modal, karena tidak adanya saluran pinjaman bank yang menunjukkan kesetaraan suku bunga kebijakan bank sentral dan suku bunga pinjaman bank. Namun, ketika saluran itu muncul, rekomendasi kebijakan yang mendorong pengurangan biaya marjin perantara keuangan dan marjin profit, mungkin dapat mengurangi biaya modal. Kebijakan lainnya adalah yang membantu mengurangi inflasi yang disebabkan alasan non-moneter, yang dalam praktiknya, secara tidak langsung akan mengurangi biaya modal pada tingkat bunga riil tertentu dan spread antara pinjaman dan suku bunga deposito. Dalam kerangka pemodelan dari studi ini, keberhasilan dari kebijakan ini secara langsung akan mengurangi baik suku bunga pinjaman maupun suku bunga kebijakan. Mengingat bahwa harga sama dengan biaya marjinal ditambah marjin keuntungan, kebijakan seperti ini dapat memiliki bentuk (i) mengurangi biaya marjinal yang dipicu alasan non-moneter, (ii) mengurangi marjin profit, dan (iii) meningkatkan fleksibilitas marjin profit terhadap peningkatan biaya5. Biaya marjinal yang dipicu alasan non-moneter, yang tidak dimodelkan dalam penelitian ini, mungkin mengambil bentuk biaya marjinal atas «tenaga kerja eksternal»6 dan juga penentu lain dari biaya marjinal yang tidak dimasukkan dalam persamaan biaya marjinal (2.6). Dan pada akhirnya, penting untuk menelusuri keterbatasan model yang harus dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil simulasi untuk tujuan pengeluaran kebijakan. Model ini masih memiliki kekurangan di saluran pinjaman banknya yang berarti menyiratkan tidak adanya bank dan bahwa bank sentral merupakan bagian dari pemerintah. Akan menarik untuk mengetahui bagaimana perekonomian bereaksi dengan kehadiran bank sebagai perantara keuangan. 5 Harga barang produksi dalam negeri dapat ditetapkan sebagai biaya marjinal nominal dikalikan dengan marjin laba kotor, P = MCd ( 1 + μ), yakni mcd = mcdm + mcdnm , di mana mcdm adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan moneter, seperti pada (II.14), adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan non-moneter dan μ adalah marjin laba bersih . 6 Biaya « tenaga kerja eksternal « adalah biaya tambahan harus dikeluarkan perusahaan terus-menerus, untuk alasan apapun, bagi orang-orang yang bukan pegawai perusahaan atau tidak memasok tenaga kerja mereka dalam bentuk input produksi. 488 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 DAFTAR PUSTAKA Agénor, Pierre-Richard dan Peter J. Montiel (2008). Development Macroeconomics, Third Edition. Princeton University Press. Al-Eyd, Ali dan Stephen G. Hall (2006). ≈Financial Crisis, Effective Policy Rules and Bounded Rationality in a New keynesian FrameworkΔ. NIESR Discussion Paper No. 272. Barth, M.J., Ramey, V. (2001).Δ≈The Cost Channel of Monetary TransmissionΔ. NBER Macroeconomic Annual,Δhal. 199√239. Calvo, Guillermo (1983).√≈Staggered Process in A Utility Maximizing FrameworkΔ, Journal of Monetary Economics 12 (1983), hal. 89-100. Chowdhury, Ibrahim, Mathias Hoffmanna, dan Andreas Schabert (2006). ≈Inflation dynamics and the cost channel of monetary transmissionΔ. European Economic Review 50, hal. 995√ 1016 Christiano, Lawrence J., Martin Eichenbaum, dan Charles L. Evans (2005).√≈Nominal Rigidities and the Effects of a Shock to Monetary Policy,ΔΔJournal of Political Economy, Vol. 113(1), 1"45. Clarida, R., J. Gali, M. Gertler (1999). ≈The Science of Monetary Policy: A New Keynessia PerspectiveΔ. Journal of Economic Literature, Vol.37, Issue 4, 1661-1707. Darsono, Akhis R. Hutabarat, Diah Esti Handayani, Hery Indratno, Retno Muhardini (2002). ≈Survey of Bussiness Price Setting BehaviorΔ. Makalah dipresentasikan pada The 26th CIRET Conference, Taipei, October 2002. Drud, Arne (2006). ≈CONOPTΔ, GAMS √ The Solver Manuals, ARKI Consulting and Development A/S, Bagsvaerd, Denmark. Eichenbaum, M. (1992). ≈Comment on «Interpreting the macroeconomic time series facts: the effects«of monetary policy» by C.A. SimsΔ.ΔEuropean Economic Review, 36, pp. 1001√1011. Erceg, Christopher J., Andrew T. Levin (1983). ≈Imperfect credibility and inflation persistenceΔ, Journal of Monetary Economics 50 (2003), hal. 915-955. Hall, Simon, Mark Walsh, Anthony Yates (1997). ≈How do UK companies set prices?Δ. Bank of England Working Paper 8905. Hossain, A (2006). ≈Sources of Economic Growth in Indonesia, 1966-2003Δ Journal of Applied Econometrics and International Development, Vol.6 Issue 2. Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia 489 Husman, Jardine A. (2005). ≈Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-CurveΔ. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia (Volume 8 No.3). Hutabarat, Akhis R. (2007). ≈Monetary policy response to transient exchange rate and cost shocksΔ. Working Paper, University of Leicester.ΔTidak dipublikasikan. Murchison, Stephen, Andrew Rennison, dan Zhenhua Zhu (2004). ≈A Structural Small OpenEconomy Model for CanadaΔ. Bank of Canada Working Paper 2004-4. Ravenna, Federico, Carl E. Walsh (2006). ≈Optimal monetary policy with the cost channelΔ. Journal of Monetary Economics Vol. 53, pp. 199-216. Romer, D. (2006). Advanced Macroeconomics, 3rd edn. New York: McGraw-Hill. Rosenthal, Richard E. (2006). ≈GAMS≈ƒ A User»s GuideΔ. GAMS Development Corporation, Washington, DC, USA Sims, Christopher A. (1992). ≈Interpreting the macroeconomic time series facts: the effects of monetary policyΔ. European Economic Review, 36, hal. 975√1000. Smets, Frank, dan Raf Wouters (2003). ≈An estimated stochastic dynamic general equilibrium model of the Euro areaΔ, ECB Working Paper No.171. Sorensen, Peter Birch, Hans Jorgen Whitta-Jacobsen (2005). ≈Introducing Advanced Macroeconomics √ Growth and Business CyclesΔ. The McGraw-Hill Companies. Young, Alwyn (1995). ≈The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East Asian Growth ExperienceΔ. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 110, No.3, hal.641-680. Woodford, M (2003). ≈Interest and Prices. Foundations of a Theory of Monetary PolicyΔ. Princeton University Press. Warjiyo, Perry dan Juda Agung (2002). ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in IndonesiaΔ, Bank Indonesia: Direktorat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter. 490 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011 halaman ini sengaja dikosongkan PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan softcopy anda ke: [email protected] (Cc. to: [email protected].) Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut, 492 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, April 2011 I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human CapitalΔ, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange RatesΔ, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous FertilityΔ. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?Δ, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6Δ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by KindnessΔ, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.