Kontroversi PKPS Harus Segera Diakhiri

advertisement
Kontroversi PKPS Harus Segera Diakhiri
Kps:18-11-02
'' Kini sebagian (bahkan mungkin sebagian besar) aset yang telah
Clean dan clear dengan harga yang sangat murah ditengarai telah
kembali ke tangan pemilik lama.''
SEHARUSNYA para pengelola, serta pemilik bank pemangsa Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pelanggar batas maksimum
pemberian kredit (BMPK), sudah meringkuk di penjara. Kesalahan
mereka jauh lebih keji daripada para pelanggar HAM berat. Mereka bisa
diibaratkan seperti vampir yang terus-menerus menyedot darah dari
tubuh perekonomian.
Sebelum krisis, bank-bank itu menyedot dana
selanjutnya disalurkan berupa kredit ke kelompok
Dana yang didapat lewat cara ini masih jauh
merambah ke segala jenis usaha yang peluangnya
JS kedekatan dengan penguasa.
Faisal basri
masyarakat, lalu
usahanya sendiri.
dari cukup untuk
terbentang karena
Karena itu, mereka merambah ke bank-bank pemerintah. Bank-bank pelat merah ini
mengguyurkan kredit untuk membiayai proyek-proyek yang sudah digelembungkan. Kelebihan
dananya mereka tanam di luar negeri.
Pada puncak krisis, mereka pulalah yang diduga turut memperparah keadaan karena
menyerang rupiah dengan dana publik. Tatkala suku bunga melangit, lagi-lagi diduga mereka
yang turut menikmatinya karena penguasaan deposito mereka di bank-bank cukup berarti.
Tatkala diminta untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan tercela di masa lalu, mereka
bukannya membayar tunai. Akan tetapi, menyerahkan aset-aset yang telah digelembungkan
nilainya untuk meyakinkan publik bahwa mereka telah menutupi segala kewajibannya. Lalu
mereka menandatangani perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Kompensasi yang didapat dari penandatanganan itu ialah surat bebas dari segala tuntutan
hukum (release and discharge).
Sebaliknya, pemerintah menampung kredit busuk (non-performing loans)-akibat praktik
penggelembungan nilai proyek (mark up)-yang mereka tinggalkan di bank-bank yang diambil alih
pemerintah, sehingga tingkat pengembaliannya (recovery rate) sangat rendah.
Memang tidak semua pengusaha berperilaku seperti itu. Ada pula yang bertindak demikian,
namun membayar dengan cukup patut. Salahnya pemerintah tak melakukan verifikasi
secepatnya untuk menentukan siapa yang kooperatif dan siapa yang nakal. Kesalahan kedua
ialah membiarkan aset-aset yang seharusnya dikuasai negara tetap dikelola pemilik lama.
Sekadar menempatkan chief financial officer (CFO) pun tidak dilakukan. Akibatnya, penghasilan
dari aset-aset produktif mengalir sepenuhnya ke pemilik lama.
Kini sebagian (bahkan mungkin sebagian besar) aset yang telah clean and clear dengan harga
yang sangat murah ditengarai telah kembali ke tangan pemilik lama, lewat konco-konco dan kaki
tangan mereka. Bank-bank pemerintah kembali dijadikan alat untuk mendanai pembelian
kembali aset-aset tersebut. Krisis yang seharusnya menjadi momentum berharga untuk
merestrukturisasikan dunia usaha Indonesia agar menjadi tangguh dan berdaya saing, kini
hampir tinggal menjadi impian.
Bank-bank yang berada di dalam program penyehatan Badan penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) malah menjadi semakin parah. Kredit-kredit yang seharusnya direstrukturisasi
terbengkalai menjadi rongsokan dan berpotensi menjadi tumor ganas di dalam tubuh
perekonomian. Recovery rate yang rendah cuma merupakan konsekuensi logis saja dari
kegagalan total peran BPPN, khususnya dan kegagalan institusi pada umumnya.
Kegagalan institusi dalam bentuk lembaga-lembaga penegak hukum yang korup, lemahnya
perundang-undangan, serta lembaga-lembaga politik yang bobrok menghasilkan penyelesaian
krisis dalam bentuk pengalihan beban utang privat menjadi beban publik. Lantas pemerintah dan
DPR sibuk melakukan reprofiling atas obligasi rekapitalisasi sehingga jatuh temponya digeser
lebih lama.
Untuk menopang program ini, maka dibuatlah Undang-Undang Surat Utang Negara (SUN). Akar
kegagalan institusinya tak diatasi, bahkan dijauhi, lalu dibuat institusi baru yang kalau tak
ditangani dengan hati-hati niscaya akan menjadi pemicu masalah baru di masa mendatang.
Harus diingat bahwa penyelesaian dengan memperkaya keberadaan financial instruments-yang
justru semakin menjauhi penyelesaian masalah struktural-disadari sebagai salah satu kontributor
terbesar dari kerapuhan sistem keuangan kapitalistik global, atau dikenal sebagai financially
driven capitalism. Sistem demikian kian menyeret perekonomian kapitalistik ke dalam bentukbentuk yang sangat artifisial atau semu.
***
MERASA sudah bertindak cukup memadai untuk mengamankan krisis fiskal (APBN), maka
sadar atau tak sadar pemerintah semakin memperlunak sikapnya terhadap para obligor kakap
yang terus saja membandel, dengan cara menunda penyelesaian pembayaran kewajibannya. Ini
berarti secara tidak langsung pemerintah memberikan insentif bagi pengemplang utang untuk
tidak memenuhi kewajibannya.
Persoalan bertambah keruh karena berbagai kepentingan menyusup masuk. Pembersihan asetaset BPPN dijadikan ajang transaksi untuk mengeruk dana politik dan juga memperkaya diri
ataupun kelompoknya sendiri. Pada tahap-tahap akhir penjualan aset-aset di BPPN yang masih
tersisa, sejumlah pihak bergegas memperebutkan kesempatan emas atas nama ketergesaan.
Politisi butuh dana banyak untuk pemilu mendatang. Para pengelola aset meluncurkan program
penjualan tanpa melalui prosedur yang akuntabel dan kredibel. Sementara itu, para pengusaha
memanfaatkan momentum untuk mengusai aset-asetnya kembali dengan harga murah.
Dengan demikian, kontroversi persoalan PKPS belakangan ini hanyalah riak-riak yang tak akan
pernah bisa dituntaskan. Pasalnya, keberadaannya hanya merupakan konsekuensi dari cara
penyelesaian yang tak kunjung menyentuh persoalan inti.
Sekarang tinggal satu harapan yang tersisa, yakni menghindarkan cara-cara seperti ini terjadi
kembali di masa mendatang. Untuk itu, tak boleh ada lagi kompromi bagi para pengemplang
utang. Satu-satunya cara ialah dengan membawa mereka lewat penyelesaian hukum, karena
mereka sudah cedera janji.
Tak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa krisis serupa tak akan terjadi lagi di masa
depan. Persoalannya ialah, bagaimana bangsa ini mampu menghadapi krisis yang mungkin
menghadang di masa depan. Dengan demikian, tak lagi terempas sebagaimana terjadi pada
krisis 1998. Penyelesaian dengan cara yang ditempuh pemerintah sekarang ini justru
memperbesar kemungkinan kita lebih tak mampu lagi menghadapinya.
Dengan menindak tegas para obligor yang tak kooperatif dan tak lagi memberi angin dengan
segala macam pembenaran baru, niscaya kalau terjadi lagi krisis, maka kemampuan kita untuk
menghadapinya akan lebih tangguh. Tidak lagi berdampak negatif yang berkepanjangan. Kalau
yang terakhir ini pun tak mampu kita tegakkan, maka pemerintahan sekarang sebetulnya sudah
kehilangan legitimasi untuk terus eksis. (*)
Download