BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Proses Penuaan Proses menua tidak terjadi dengan sendirinya tanpa penyebab, banyak faktor yang terjadi baik secara internal maupun eksternal yang berpengaruh mempercepat proses penuaan. Sejak tahun 1950 mulai diteliti berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas hidup agar tetap baik di usia lanjut. Modifikasi gaya hidup yang sehat harus dilakukan, seperti : tidak merokok, meningkatkan aktivitas fisik, mengatur pola makan, agar memiliki kualitas hidup yang baik di usia lanjut. Beberapa penelitian menyimpulkan diperlukan pemberdayaan diri, membudayakan pola hidup sehat akan meningkatkan kualitas hidup (Franklin, 2009) Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan menciptakan paradigma baru terhadap proses penuaan dan penanganannya. Ke depannya Ilmu Kedokteran AntiPenuaan memberikan janji untuk mengatasi ketidakmampuan, deformitas, nyeri, penyakit dan kesedihan di masa tua (Goldman dan Klatz, 2003). Penuaan dapat dianggap atau diperlakukan sebagai suatu penyakit yang dapat dicegah, diobati dan bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007) Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan, walaupun tidak ada yang menjelaskan secara lengkap mengapa terjadi proses penuaan. Teori tersebut saling melengkapi satu dengan yang lainnya. 2.1.1 Teori Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya, dapat bereaksi dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif (Goldman dan Klatz, 2003) Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak membran sel, DNA, dan protein. Beribu-ribu studi mendukung ide bahwa radikal bebas mempunyai konstribusi yang besar pada terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti penyakit jantung, hipertensi, kanker . Radikal bebas merusak struktur membran sel, menghasilkan produk sisa, termasuk substrat yang dikenal sebagai lipofuscins. Jumlah lipofuscins yang tinggi dalam tubuh akan memberikan warna kulit yang gelap pada daerah tertentu, dikenal sebagai age spots; indikasi residu metabolit yang besar bersumber dari kerusakan sel. Lipofuscins mengganggu sintesis DNA dan RNA, mempengaruhi sintesis protein (menurunkan energi dan menghambat pembentukan massa otot), merusak enzim seluler yang diperlukan untuk proses kimia vital dalam tubuh (Goldman dan Klatz, 2003). Kerusakan yang ditimbulkan akibat radikal bebas dimulai ketika lahir dan terus berlanjut hingga meninggal. Saat muda dampak yang ditimbulkan bersifat minimal, karena tubuh memiliki mekanisme perbaikan dan penggantian sel yang berfungsi baik. Dengan bertambahnya usia akumulasi kerusakan akibat radikal bebas akan mengganggu metabolisme sel, menyebabkan mutasi sel yang dapat menimbulkan kanker dan kematian. Radikal bebas akan memepengaruhi peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi MDA yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik protein tersebut. Radikal bebas juga berkaitan dengan penyakit usia lanjut seperti aterosklerosis, penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, dan gangguan fungsi kekebalan tubuh (Pangkahila, 2007). Radikal bebas terjadi akibat reaksi oksidasi yaitu proses penambahan oksigen kedalam substrat. Oksigen berlebih merupakan sumber radikal bebas. Substrat untuk mencegah efek buruk radikal bebas dikenal sebagai antioksidan. Antioksidan melindungi sel dengan menetralkan radikal bebas (Bagiada, 2001). 2.1.2 Teori Wear and Tear Ahli biologi dari Jerman, Dr.August Weisman, memperkenalkan teori ini pada tahun 1882. Menurut teori ini, tubuh dan sel akan rusak karena digunakan atau disalahgunakan. Organ tubuh seperti hati, ginjal, kulit, lambung akan menurun fungsinya karena toksik dalam makanan, lingkungan, sinar ultraviolet, stres fisik dan emosional. Kerusakan terjadi dalam sel sampai ke organ. Penyalahgunaan organ tubuh akan mempercepat kerusakan, oleh kerena penggunaan secara alamipun akan merusak organ. Pada masa muda sistem pemeliharaan dan perbaikan mampu melakukan kompensasi terhadap kerusakan berlebih. Dengan bertambahnya umur, tubuh mulai kehilangan kemampuan memperbaiki kerusakan. Teori ini meyakini pemberian suplement dan pengobatan yang lebih awal akan membantu mengendalikan proses penuaan. Mekanismenya dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel . 2.1.3 Teori Neuroendokrin Pada usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai fungsi organ tubuh, sehingga berfungsi optimal (Goldman and Klatz, 2003). Hormon bersifat vital dalam mengatur dan memperbaiki fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua, produksi hormon juga menurun, akibatnya berbagai fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang membantu pembentukan massa otot, testosteron, hormon tiroid akan menurun tajam pada usia tua. Ditandai dengan rasio lemak dan otot yang meningkat. Penurunan fungsi hormon yang tajam dapat diatasi dengan therapi sulih hormon yang membantu mengembalikan fungsi hormon tubuh sehingga memperlambat proses penuaan 2.1.4 Teori Kontrol Genetika Individu terlahir dengan kode genetika yang spesifik, yang mempengaruhi tipe fisik serta fungsi mental individu tersebut. Faktor genetik yang berperan menentukan umur harapan hidup dan proses penuaan masing masing individu. Di analogikan individu lahir dengan mesin yang terprogram untuk merusak diri sendiri. Tiap individu memiliki jam biologi yang telah diatur waktunya untuk hidup dalam waktu tertentu. Berhentinya jam biologi merupakan tanda individu mengalami proses penuaan kemudian meninggal (Goldman and Klatz, 2003). Teori ini terfokus pada pada kode genetik yang ada dalam DNA, meskipun seluruh aspek diwariskan dalam gen tiap individu, waktu jam biologis tergantung pula pada peristiwa dan pola hidup individu tersebut. Ilmu kedokteran anti penuaan melakukan upaya mencegah kerusakan gen serta memperbaiki kerusakan yang terjadi. Melalui terapi gen diharapkan dapat membantu membebaskan diri dari takdir genetika terhadap beberapa penyakit keturunan 2.2 Radikal Bebas 2.2.1 Definisi Radikal Bebas Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut oksidasi. Sementara proses penangkapan elektron disebut reduksi. Senyawa yang dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural Sering kali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama tetapi dengan proses yang berbeda (Winarsi, 2007). Walaupun ada kemiripan dalam sifatnya namun dari sudut kimia keduanya harus dibedakan. Oksidan dalam pengertian ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat menarik elektron. Sebaliknya radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan atom) yang memiliki elektron yang tidak berpasangan atau unpaired electron. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah kecenderungannya untuk menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas ( Suryohudoyo,2000) Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu : 1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa yang berasal dari proses fisiologis, namun oleh karena suatu sebab terdapat dalam jumlah banyak 2. Yang berasal dari proses peradangan. 3. Yang berasal dari luar tubuh seperti polutan, obat-obatan Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan non radikal . 2.2.2 Sifat-sifat Radikal Bebas Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu : 1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron. 2. Dapat mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal. Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas tersebut mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru. Bila radikal baru bertemu molekul lain akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Bila elektron yang berikatan dengan radikal bebas berasal dari senyawa yang berikatan kovalen akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan bersama–sama pada orbital luarnya. Umumnya senyawa yang memiliki ikatan kovalen adalah molekul-molekul besar seperti lipid, protein dan DNA. Diantara senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk memepertahankan integritas sel yaitu : 1. Asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran. 2. DNA, yang merupakan pembawa genetik sel 3. Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, sitoskeleton. Dari ketiga molekul target tersebut yang paling rentan terhadap serangan radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel. Akibatnya dinding sel menjadi rapuh.senyawa oksigen reaktif ini juga mampu merusak bagian dalam pembuluh darah sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis. Senyawa radikal bebas ini berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem info genetika, dan berlanjut pada pembentukan sel kanker. Jaringan lipid juga akan dirusak oleh senyawa radikal bebas sehingga terbentuk peroksida yang memicu munculnya penyakit degeneratif. Komponen terpenting membran sel adalah fosfolipid, glikolipid dan kolesterol. Dua komponen pertama mengandung asam lemak tak jenuh (asam linoleat, linolenat arakidonat) sangat rawan terhadap serangan radikal terutama radikal hidroksil, yang dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan Lipid peroxidation Peroksidase lipid LH : + • OH ------ H + H2O Asam lemak L• + Radikal lipid O2 ------ LOO• Radikal peroksilipid LOO• + LH -------- L• + L OOH dan seterusnya Akibat akhir dari rantai ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel, antara lain berbagai macam aldehide, seperti Malondialdehida (MDA). 2.2.3 Tahapan terbentuknya Radikal Bebas Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3 tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu: 1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas. Misal: Fe ++ + H2O2 -----. Fe +++ + OH - + • OH 2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. 3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah. Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer). Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Kendala yang mengharuskan oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya dua hal yaitu : 1. Kurangnya reaktif oksigen 2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O2 • ( ion peroksida), H2O2 ( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil) Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawasenyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat dapat sebagai berikut : O2 + e- -------- O2 - • • OOH O2 + e- + H+ ------ O2 + 2e- + 2 H + ------- H2O2 O2 + 3 e- + 3H + -------- • OH + H2O O2 + 4 e- + 4H+ -------- 2 H2O Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen. 2.2.4 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal bebas (Saxena dan Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam tak jenuh ganda pada membran sel. Akibatnya sel menjadi rapuh (Pasupathi, 2009). Berbagai kemungkinan bisa diakibatkan oleh kerja radikal bebas.radikal bebas memiliki reaktivitas tinggi, sangat tidak stabil dan berumur singkat, sehingga keberadaannya sulit dideteksi. Dengan reaktivitasnya yang tinggi, radikal bebas akan segera menyerang komponen seluler yang berada di sekelilingnya, baik berupa senyawa lipid, lipoprotein, (protein, karbohidrat, RNA maupun DNA). Senyawa radikal bebas dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel, sehingga mengakibatkan dinding sel menjadi rapuh. Senyawa ini juga berpotensi merusak basa DNA sehingga mengacaukan sistem informasi genetika dan berlanjut pada pembentukan sel kanker, yang berkibat lebih jauh adalah terjadinya kerusakan struktur dan fungsi sel. Akibat ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein (enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007). Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging) dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007) Radikal bebas menyebabkan kerusakan oksidatif pada lipid, protein, dan asam nukleat. Ketidakseimbangan antara antioksidan dan senyawa oksigen reaktif menghasilkan stress oksidatif, penyebab kanker, penuaan, artherosclerosis, cedera iskemik, peradangan dan penyakit degeneratif ( Parkinson dan Alzheimer) (Pangkahila,2007) . 2.3. Stres Oksidatif 2.3.1 Keadaan yang menimbulkan stres oksidatif Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel/ jaringan. Bila terjadi dalam waktu yang berkepanjangan akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang menyebabkan sel/jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan hasil kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur, merupakan penyebab utama proses penuaaan (Bagiada, 2001) Prinsip dasar teori ini adalah kehilangan fungsi pada proses penuaan disebabkan oleh bertambah dan menumpuknya secara irreversible molekul molekul hasil perusakan oksidatif oleh radikal bebas. Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, secara potensial dapat menyebabkan kerusakan. Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme aerobik normal, namun dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan patofisiologis . Salah satunya adalah aktivitas fisik yang berat atau berlebih dapat meningkatkan stress oksidatif . Senyawa oksigen reaktif dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stress maupun tidak. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antra proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres, pembentukan senyawa reaktif lebih tinggi di bandingkan pemusnahannya. Oksigen tereduksi akan membentuk radikal superoksida, hidrogen peroksida dan hidroksil. Apabila kondisi keseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan kerusakan oksidatif (oxidative stress). Stress oksidatif di definisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat oksigen reaktif yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen (Arief, 2010). Pada keadaan inilah terjadi perusakan dalam tubuh oleh radikal bebas. 2.3.2 Malondialdehid (MDA) sebagai biomaker stres oksidatif Asam lemak tak jenuh (PUFA) yang memungkinkan untuk fluiditas membran, berlimpah di membran selular. Sebuah radikal bebas mengambil elektron dari membran lipid di sel, memulai serangan radikal bebas pada sel yang dikenal sebagai peroksidasi lipid. Lipid peroksida dinilai dengan pengukuran thiobatbituric acid reactive substance (TBARS) di dalam plasma dengan metode Yagi. Peroksidasi lipid merupakan reaksi rantai yang diinisisasi oleh serangan radikal bebas pada fosdolipid dan polyunsaturated fatty acid pada membran seluler atau organel subseluler, menghasilkan pembentukan suatu komplek aldehid, keton dan hasil polimerisasi yang bereaksi dan merusak biomolekul, enzim dan asam nukleat yang dapat menyebabkan penuaan (aging). Malondialdehid merupakan salah satu maker yang baik dan banyak digunakan untuk peroksidasi lipid, diantara aldehid yang reaktif (Saxena & Lal, 2006). Salah satu konversi oksidatif dari polyunsaturated fatty acid menjadi produk yang disebut malondialdehid (MDA) atau lipid peroksida. Lipid peroksida tersebut ditemukan juga pada manusia sehat, yang mengindikasikan bahwa radikal bebas oksigen juga diproduksi dalam metabolisme tubuh normal (Pasupathi, 2009). Target senyawa oksigen reaktif pada ikatan rangkap asam lemak tak jenuh ganda. Ikatan rangkap pada karbon melemahkan ikatan hidrogen yang memungkinkan untuk disosiasi hidrogen dengan mudah oleh radikal bebas. Sebuah radikal bebas akan mengambil elektron tunggal dari hidrogen yang terkait dengan karbon pada ikatan rangkap, kemudian elektron yang tidak berpasangan akan menjadi radikal bebas. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Radikal bebas dan peroksidasi lipid merupakan produk dengan waktu paruh yang sangat singkat dan sulit diperiksa secara langsung. MDA bersifat lebih stabil dan merupakan produk degradasi peroksidasi lipid yang memiliki waktu hidup lebih lama, sehingga dapat digunakan sebagai biomaker stres oksidatif yang terjadi. 2.4 Peroksidasi Lipid Stres oksidatif terjadi pada sel akibat ketidakseimbangan antara prooksidan dan antioksidan menyebabkan kerusakan pada biomolekul seperti asam nukleat, protein, struktur karbohidrat dan lemak. Diantara target ini peroksidasi lipid pada dasarnya bersifat sangat destruktif karena menghasilkan radikal bebas. Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Catala, 2006). Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk radikal hidroksil (.OH), alkoxyl (RO), peroksil (ROO) mungkin juga H2O. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron, sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan (Catala, 2006). Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen. Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2) membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen. Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permiabilitas, mengubah transport ion serta menghambat reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid. Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan disfungsi sel yang signifikan. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA, 4-hydroxy-2-noneal(HNE), 4-hydroxy-2-hexenal(4-HHE) Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah memeriksa hilangnya lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti MDA dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell, 2002). Banyak cara tersedia untuk mengukur peroksidasi pada membran, lipoprotein atau asam lemak. Tiap teknik mengukur sesuatu yang berbeda dan tidak ada metode tunggal sebagai standar baku untuk mengukur peroksidasi lipid. 2.5 Aktivitas Fisik Berlebih Olahraga yang teratur dan tepat dapat memepertahankan kebugaran fisik. Kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi frekuensi,intensitas,tipe dan waktu sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada pelatihan olahraga.Frekuensi pelatihan yang dianjurkan 3-4 kali seminggu dengan intensitas 72%-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur) dengan variasi 10 denyut permenit.Dengan waktu maximum 300 jam dalam seminggu Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan stres oksidatif,karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skletal. Meskipun O2 sangat dibutuhkan ternyata juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan Senyawa Oksigen Reaktif (SOR). Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury ,yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas Aktivitas fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urine, protein carbonil (73%), catalase (96), glutation peroxidase serta glutathione teroksidasi (25%). Dapat disimpulkan aktivitas fisik berlebih merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis,et al 2007). Proses penuaan mengakibatkan penurunan sistem imun, meningkatkan resiko infeksi. Secara teori, aktivitas fisik sedang dapat menangkal efek proses penuaan akibat penurunan sistem imun. Hasil study yang dilakukan yang dilakukan Shepard dan Shek menunjukan aktivitas fisik sedang dapat ditoleransi dengan baik oleh individu lanjut usia. Pada individu berusia lanjut aktivitas fisik sedang menunjukan penurunan stimulasi proliferasi limfosit.Aktivitas fisik yang teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik.Takaran pelatihan yang tepat u setiap individu meliputi frequensi,intensitas,tipe dan waktu, sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maximal dan resiko yang minimal pada pelatihan olahraga (Pangkahila,2009). Peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh selama berolahraga berat dapat meningkat sepuluh sampai duapuluh kali atau lebih. Dibawah stres yang tinggi,dalam serat otot terjadi peningkatan penggunaan oksigen diatas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001) Pelatihan fisik yang berlebih diakibatkan oleh 1) volume pelatihan yang terlalu banyak ; 2) intensitas pelatihan yang terlalu banyak ; 3) durasi pelatihan yang terlalu panjang ; 4) frekwensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001). Pelatihan fisik yang berlebih menyebabkan terjadi penumpukan asam laktat dalam otot sehingga dapat menyebabkan stres fisik . Untuk itu diperlukan masa pemulihan yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk kembali kekeadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan . 2.6 Antioksidan 2.6.1 Definisi Antioksidan Antioksidan adalah suatu senyawa yang dalam jumlah kecilpun dapat menghambat atau pencegah reaksi oksidasi dari suatu senyawa lainnya (Packer dan Cadenas; 2002). Dalam pengertian kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (elektron donor). Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas, yaitu merupakan senyawa–senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan (radikal bebas), termasuk enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila, 2007) 2.6.2 Jenis-jenis Antioksidan Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : 1. Antioksidan enzymatis / antioksidan primer / antioksidan endogenus / chainbreaking-antioxidant misalnya : enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. 2. Antioksidan non – enzimatis dibagi 2 kelompok lagi yaitu a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, qinon, dan bilirubin. b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, protein pengikat heme. Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja antioksidan dalam tubuh. Berdasarkan dua mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan dapat dibagi menjadi 2 golongan (Kaur, Kapoor. 2001) yaitu: 1. Antioksidan pencegah (preventive antioksidan) Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2•, agar reaksi Fenton ((Fe ++ (Cu+) ) + H2O2 Fe +++ ( Cu ++ ) + OH - + •OH tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+ atau Cu+ bebas . Diperlukan peran beberapa protein penting, yaitu : a. Untuk Fe : transferin atau feritin b. Untuk Cu : seruplasmin atau albumin Penimbunan O2•- dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu dengan mengkatalisa reaksi dismutasi O2• - : 2O2• - + 2H -------- H2O2 + O2 Penimbunan H2O2 dicegah melalui aktivitas dua enzim yaitu : a. Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutase H2O2 2H2O2 ---------- 2 H2O2 + O 2 b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut: R + H2O2 -------- RO + H2O 2. Antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidan) Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitamin E, caroten, flavonoid, quinon bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glatation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol. Tabel 2.1 Spesies oksigen reaktif dan antioksidannya Spesies reaktif O2 Oksigen singlet O2 - • Radikal bebas superoksida Antioksidan Vitamin A, ß karoten, vitamin E Superoksida Dismutase, ß-karoten, Vitamin E, Flavonoid OH • Radikal bebas hidroksil Flavonoid, Albumin. ROO• Radikal bebas peroksil Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid H2O2 Hidrogen Peroksida Katalase, Glutation Peroksidase, Flavonoid LOOH Lipid peroksida Glutation peroksidase, Flavonoid. 2.6.3 Pengukuran antioksidan Pemeriksaan status antioksidan tubuh sekarang telah menjadi suatu piranti diagnostik yang amat penting. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui pengukuran: 1. Status Antioksidan Total : a. Total Antioxidant Activity b. Kerusakan akibat oksigen reaktif dengan : F2 isoprostan, MDA 2. Enzim-enzim Antioksidan : a. Superoxide Dismutase b. Glutation Peroksidase (GPx) dan status selenium 2.7 Mahkota Dewa 2.7.1 Deskripsi Tanaman Mahkota (Phaleria macrocarpa) Pohon Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) dikenal sebagai salah satu tanaman obat di Indonesia. Mahkota dewa merupakan tanaman jenis pohon yang berkembang dan tumbuh sepanjang tahun, dan mampu mencapai ketinggian 3-4 m. Batang bergetah terdiri dari kulit yang berwarna coklat kehijauan dan batang kayu berwarna putih, dan berakar tunjang. Mahkota dewa sudah lama digunakan sebagai tanaman obat oleh para bangsawan Jawa. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama Makuto Dewo. Klasifikasi Buah Mahkota Dewa : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Rosidae Ordo : Myrtales Famili : Thymelaeaceae Genus : Phaleria Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff Boerl). Gambar 2.1 Buah Mahkota Dewa (Rostinawati,2004) 2.7.2 Senyawa Bioaktif dan Manfaat Hampir seluruh bagian pohon mahkota dewa memiliki kandungan kimia yang dapat bermanfaat untuk dijadikan obat. Pada daun, misalnya, mengandung antihistamin, alkaloid, saponin dan polifenol (lignan), pada kulit buat terdapat kandungan alkaloid, saponin dan flavonoid, sedangkan buahnya mengandung alkanoid, tanin, flavonoid, fenol, saponin, lignan, minyak asiri dan sterol. Flavonoid sebagai senyawa yang terbanyak didapat pada daging buah mahkota dewa. Flavonoid merupakan suatu antoksidan golongan phenol yang banyak ditemukan di sayuran, buah-buahan, kulit pohon, akar, bunga, teh dan wine. Ada empat golongan utama flavonoid yaitu Flavon, Flavanones, Catechins, Anthocyanin. Flavonoid dapat membantu memberikan perlindungan terhadap beberapa penyakit bersama dengan vitamin, antioksidan dan enzim, untuk pertahanan antioksidan total dalam tubuh. Sebuah penelitian oleh Dr Van Acker di Belanda menunjukan bahwa flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai pemecah rantai anti-oksidan didalam membran hati. Konstribusi flavonoid untuk sistem pertahanan antioksidan sangat besar mengingat total asupan harian flavonoid dapat berkisar 50-800 mg, konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata asupan harian diet antioksidan lain seperti vitamin C (70 mg), vitamin E (7-10) atau keratenoid (2-3 mg). Asupan Flavonoid tergantung pada asupan buah–buahan, sayuran dan miuman tertentu seperti red wine, teh, bir (Buhler & Miranda, 2000). Efek penting flavonoid adalah sebagai pemusnah oksigen yang membawa radikal bebas. Salah satu kelompok flavonoid adalah antosianin. Antosianin banyak ditemukan di buah beri, anggur, dan buah lainnya yang berwarna merah keunguan (Nijveldt, 2001; Spormann et al., 2010). Kandungan terpenting yang dimiliki oleh hampir setiap kelompok flavonoid adalah kapasitas mereka sebagai antioksidan untuk membantu tubuh melawan oksigen reaktif (Spormann, 2008). Flavonoid memiliki kemampuan menambah efek dari susunan pemusnah endogen tersebut. Flavonoid bisa mengganggu sistem produksi radikal bebas atau bisa juga dengan meningkatkan fungsi antioksidan endogen. Flavonoid bisa mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dengan beberapa cara. Salah satunya adalah memakan radikal bebas secara langsung. Flavonoid dioksidasi oleh radikal, menghasilkan radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif. Flavonoid menstabilkan senyawa oksigen reaktif dengan bereaksi dengan susunan reaktif dari radikal tersebut (Nijveidt et al., 2001) Beberapa flavonoid tertentu dapat mengurangi aktivasi komplemen, sehingga menurunkan adesi sel inflamasi ke endothelium, menyebabkan berkurangnya respon inflamasi. Hal penting lain dari flavonoid adalah mengurangi pelepasan dari peroksidase, yang menghambat produksi reactive oxygen species oleh neutrofil dengan interfering dengan aktivasi α1-antitripsin. Efek lain yang juga menarik dari flavonoid adalah menghambat metabolisme araccnoid acid. Hal tersebut memberikan efek antiinflamasi dan antitrombotik pada flavonoid. Pelepasan aracnoid acid merupakan awal penting untuk terjadi untuk terjadinya respon inflamasi secara umum. Beberapa penelitian klinis menyebutkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara asupan flavonoid dan total konsentrasi kolesterol plasma. Stres oksidatif dan kerusakan vaskular diperkirakan memegang peranan pada dimensia, dan asupan flavonoid dilaporkan memiliki hubungan terbalik dengan resiko insiden demensia. Flavonoid banyak tersedia secara luas dibuah-buahan maupun sayuran. Kandungan flavonoid dalam ektrak buah mahkota dewa didapatkan 1,7647 mg/L atau 2,2334 mg/kg pada buah yang masak (Rohyami, 2008). Penelitian Lisdawati, mendapatkan dosis ekstrak buah mahkota dewa berfungsi sebagai hepatoprotektor pada tikus yang mendapat perlakuan pemberian parasetamol selama 2 minggu. Antosianin merupakan salah satu antioksidan kuat yang mampu mencegah berbagai kerusakan akibat stress oksidatif sehingga dapat melindungi sel dari radikal bebas (Cao, 2001). Pigmen antosianin bertanggung jawab untuk warna merah, ungu dan biru dari buah, sayuran dan bunga. Antosianin merupakan salah satu kelas flavonoid, yang secara luas terdistribusi sebagai polifenol pada tanaman (Mervat and Hanan, 2009). Bahan kimia yang terkandung dalam flavonoid ini dipercaya berhubungan dengan kapasitas antioksidan dan kemampuan mereka dalam menangkap dan memakan radikal bebas yang merusak biomolekul (Wreistad, 2001) Di antara kelas flavonoid, antosianin adalah sekelompok pigmen yang larut air, yang banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran (Toufektsian., et al 2008). Antosianin merupakan pigmen alami yang bertanggungjawab jawab terhadap warna biru, ungu, merah dan orange pada buah dan sayuran. Lebih dari 500 antosianin berbeda telah ditemukan. Antosianin tersedia utamanya dialam dalam bentuk heteroside. Bentuk aglycone dari antosianin, yang disebut antosianidine, secara struktural berdasar pada favillium atau kation 2-phenylbenzopyrilium, dengan group hidroksil dan metoksil yang berada pada posisi berbeda pada struktur dasar. Bermacam antosianin didefinisikan berdasarkan jumlah dan posisi dari group hydroxyl dan methoxyl. Antosianin merupakan antioksidan kuat. Antosianin memakan O2-, OH., Roo., dan asam nitrat oksida serta menghambat peroksidasi lipid yang diinduksi oleh Cu, asam askorbat yang ditambahkan dengan Fe2+, doxorubicin dan radiasi cahaya ultraviolet. Antosianin melindungi LDL terhadap tembaga dan oksidasi radikal yang menginduksi peroksil (Cao, et al., 2001). Kadar antosianin total plasma maksimum dalam kisaran 1-120 nmol/L, dengan dosis 0,7-10,9 mg/kg (Prior, 2003). Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak daging buah mahkota dewa dengan metode DPPH didapatkan 76,81% dengan kadar antosianin sebesar 33,78 mg/100gram. Uji toksisitas didapatkan LD 50 > 150.000 mg/kg BB (Lisdawati,2002). Klasifikasi LD 50( mg/Kg BB) berdasarkan cara masuk kedalam tubuh (oral) (Widikarsana, 2010) Supertoxic <5 Extremely Toxic 5- 50 Very Toxic 50- 500 Moderately Toxic 500-5000 Slightly Toxic > 5.000 2.8 Hewan Coba Tikus Penggunaan tikus (Rattus novergicus) telah diketahui sifat sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague-dawley yang berwarna albino putih berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor lebih pendek. Tikus laboratorium jarang berkelahi dan dapat tinggal sendirian dalam kandang asal dapat melihat dan mendengar tikus lainnya. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus ini lebih tenang dan mudah ditangani dilaboratorium. Karena hewan ini lebih besar dari mencit, maka untuk beberapa macam percobaan, tikus lebih menguntungkan . Klasifikasi tikus Wistar : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Jika tikus liar dapat hidup selama 4-5 tahun, tikus laboratorium jarang hidup lebih dari 3 tahun Umumnya berat tikus laboratorium lebih ringan dari tikus liar. Biasanya umur empat minggu beratnya 35-40 gram, dan berat dewasa rata-rata 180-200 gram, bervariasi tergantung galur. Tikus jantan tua dapat mencapai 500 gram tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 gram. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain yaitu tikus tidak gampang muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu.