Kompas Senin, 15 April 2002 Paris Club III: Rutinitas Sukses yang Berbahaya ANALISIS EKONOMI SJAHRIR SEJAK awal saya bersama banyak teman sudah memprediksikan bahwa Pemerintah Indonesia akan berhasil memperjuangkan restrukturisasi utang pada pertemuan dengan negara-negara donor di Paris, akhir minggu lalu. Berbeda dengan berita-berita pers menjelang usainya pertemuan Paris Club III itu, dari awal sesungguhnya amat sulit membayangkan pertemuan tersebut akan gagal. Bukan saja karena keberhasilan itu sesuatu yang predictable, juga karena hubungan Indonesia dengan negara-negara donor hampir tak pernah jadi soal. Untuk pertemuan Paris Club III minggu lalu, kalaulah ada yang dapat "dibanggakan", itu adalah di-reschedule-nya pula bunga utang, tenggang masa penangguhan pembayaran yang lebih panjang, dan dimungkinkannya apa yang disebut pengalihan utang ke pembangunan (debt to development swap atau program konversi utang dalam overseas development assistance/ODA). Dengan begitu, skema seperti JPE debt to poverty eradication swap atau debt to nature conservation swap '' Kita tidak akan dapat dilaksanakan. Seberapa parahkah sebetulnya utang yang melilit mampu Indonesia? Mari kita lihat peranan utang di dalam anggaran negara. membersihkan diri sendiri tanpa Bila bunga utang dalam negeri dan bunga utang luar negeri yang harus membuka diri dibayar dijumlahkan dengan cicilan pokok utang luar negeri, maka total terhadap badan- kewajiban utang bunga dalam dan luar negeri serta cicilan utang luar badan internasional negeri mencapai Rp 132,5 trilyun. Berapa besarkah angka relatif dari yang mempunyai jumlah sebesar itu? kredibilitas seperti IRS dan Security and Seluruh kewajiban membayar bunga utang dalam negeri dan luar negeri Exchange ditambah cicilan pokok utang luar negeri dibandingkan dengan total Commission (SEC).'' pendapatan negara dalam tahun anggaran 2002 adalah 43,88 persen. Bila total kewajiban utang itu dibandingkan dengan total belanja - sjahrir pemerintah pusat, maka porsinya mencapai 53,86 persen. Persentase total utang terhadap total pengeluaran pembangunan mencapai 253,35 persen. Penjadwalan utang tersebut sudah diperhitungkan di dalam APBN 2002 sehingga sesungguhnya efek neto dari sisi bertambahnya kapasitas negara untuk meningkatkan belanja negara tidaklah berubah secara berarti. Harus diingat bahwa penjadwalan utang sebesar 5,4 milyar dollar AS hanyalah penangguhan utang yang dikonsolidasikan selama periode April 2002 sampai akhir Desember 2003. Total utang pemerintah per akhir 2001 adalah 71,4 milyar dollar AS, suatu jumlah yang sangat jauh di atas 5,4 milyar dollar AS yang disetujui restrukturisasinya. Dengan menyadari ini, kita harus melihat bahwa perjuangan di tahun-tahun mendatang tidak akan berkurang beratnya. Dari kesepakatan Paris Club III ini, akan terus-menerus terjadi "pergulatan" antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Pemerintah Indonesia. Di pihak lain, tekanan untuk meminta haircut dan bahkan penghapusan utang dari kalangan "nasionalis" akan kian kuat. Tuntutan untuk menghapuskan utang, menolak privatisasi BUMN, dan mengembangkan jargon "antiasing" seperti yang kita saksikan dewasa ini amatlah mengemuka. Bahkan, Ketua MPR yang juga Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyatakan bahwa dia menolak privatisasi BUMN. Padahal, kita tahu, dengan volume utang yang begitu besar, kewajiban untuk membiayai defisit melalui privatisasi BUMN dan penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) amat diperlukan. Akan tetapi, bagaimana konteks keberhasilan di Paris Club III ini dengan suasana ekonomi yang lebih luas dari sekadar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? Di sini kita harus masuk kepada hubungan kait-mengait yang tetap penting, namun sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda adanya koordinasi. Yang saya maksud adalah kaitmengait antara kebijakan moneter, politik anggaran, dan situasi nilai tukar. Akhir-akhir ini kalangan sektor keuangan muncul dengan optimisme baru, yang tidak bisa dibantah oleh kaum yang paling skeptis sekalipun, dalam bentuk perbaikan-perbaikan yang amat konkret. Perbaikan nilai tukar rupiah yang mencapai level Rp 9.500-an untuk satu dollar AS, minggu lalu, tampaknya merupakan hal yang menggembirakan, sehingga asumsi APBN tentang nilai tukar untuk tahun 2002 sebesar Rp 9.000 bukan tidak mungkin tercapai. Selain itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun mencapai tingkat yang amat tinggi, di atas 550 poin. Kalangan yang membeli portofolio saham di awal Januari dan pembeliannya pada saham-saham liquid, kini menemukan potential gain antara 30 dan 40 persen. Sementara itu, tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) praktis bertahan, bahkan sedikit turun, sehingga secara keseluruhan berita baik dari Paris Club III mestinya memperkuat kondisi makroekonomi Indonesia. Tetapi itukah cerita keseluruhannya? Untuk itu barangkali kita harus melihat fenomena yang tidak kalah pentingnya, tapi kurang diperhatikan oleh banyak kalangan, yaitu inflasi. Meski angka inflasi Maret sudah terkendali karena di bulan April kita akan mengalami kenaikan harga, perkiraan tingkat inflasi untuk 2002 masih amat tinggi, yakni antara 12 dan 14 persen. Inilah kondisi yang betul-betul bersifat unik bagi Indonesia karena semua negara tetangganya tidak mengalami tingkat inflasi yang setinggi itu. Begitu juga dengan sendirinya tingkat suku bunga yang jauh melampaui negara-negara tetangga. Laporan Global Data Watch dari JP Morgan mencatat tingkat suku bunga tiga bulan untuk berbagai negara. Di situ disajikan perbandingan antarnegara. Suku bunga yang terjadi di Indonesia (17,28 persen) jauh lebih tinggi daripada tetangga-tetangga dekatnya seperti Filipina (5,49 persen), Singapura (1,06 persen), Malaysia (3,28 persen), dan Thailand (2,25 persen). Di sinilah timbul masalah yang cukup berat bagi masyarakat yang berpenghasilan tetap. Daya beli mereka nyata-nyata merosot karena kenaikan harga. Sementara itu, pihak yang ingin menggunakan jasa bank pun amat sulit berharap untuk memperoleh pengembalian investasi (return on investment) di atas 20 persen agar mampu membayar bunga bank. Terkait dengan ini, ada sebuah ilustrasi yang saya dapat minggu lalu ketika bertemu teman lama, seorang dokter spesialis. Dia bercerita tentang keadaan kesehatan masyarakat. Katanya, kini ditemukan penyakit-penyakit yang sudah 25 tahun tidak muncul seperti TBC, kekurangan gizi, dan penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan kemiskinan yang amat sangat. Tak lupa dia katakan bahwa di saat yang sama, tidak sedikit rekan dokternya yang mampu membeli Jaguar atau mobil mewah lainnya. Memang, kalau kita lihat angka-angka absolut yang ada di sisi makro, akan sulit untuk tidak mengakui berlangsungnya perbaikan kondisi dan situasi makro, kecuali yang menyangkut inflasi. Tetapi, kesenjangan ekonomi tidak selalu bisa dipantau semata-mata dari data seperti jumlah pengangguran terbuka ataupun rasio gini. Padahal, apa yang dikatakan dokter itu tampaknya dibenarkan oleh banyak dokter lain, keadaan diperparah oleh akibat banjir yang diderita penduduk Jakarta dan sekitarnya. Dalam kondisi begitu, bagaimana kita melihat suksesnya Paris Club III? Di sinilah kita kembali melihat bahwa setiap upaya selama ini tampaknya tetap bersifat ad hoc atau memecahkan persoalan sekeping demi sekeping. Kita bisa mengajukan tawaran restrukturisasi utang yang bersifat menyeluruh sehingga menyentuh keseluruhan total utang (debt outstanding) yang jumlahnya memang amat besar. Bila kita lihat bahwa utang luar negeri per akhir 2001 meninggalkan stok sebanyak 71,4 milyar dollar AS dan utang luar negeri dari swasta mencapai 59,8 milyar dollar AS, ditambah lagi dengan utang pemerintah di dalam negeri sekitar Rp 650 trilyun, maka jelas harus ada suatu rekonstruksi utang yang benar-benar bersifat menyeluruh, efektif, dan mampu membuat anggaran kembali menjadi instrumen bagi ekspansi ekonomi. Di situlah ada masalah yang kita hadapi, karena hingga kini yang berlangsung tetap pendekatan ad hoc, tanpa merasa perlu pembedahan yang mendasar terhadap cara kita hidup bernegara dan memerintah. Mari kita ambil contoh pendaftaran kekayaan pejabat negara dan sidang pengadilan yang berlangsung bagi para pejabat serta pengusaha. Kita tahu juga bahwa kini instansi pajak meminta kepada setiap wajib pajak untuk menyerahkan daftar seluruh kekayaannya, hal yang tidak terjadi sebelumnya. Bila ini dilaksanakan, dan kita hubungkan dengan UU pembuktian terbalik, maka bisa dibayangkan betapa hebatnya kerja keras yang harus dilaksanakan kejaksaan, polisi, dan aparatur pajak. Kalaupun Ibu Kota diubah menjadi penjara besar, bisa dipastikan penjara yang tersedia itu tetap tidak cukup dibandingkan dengan jumlah orang yang harus masuk. Inilah "pesta besar" yang kembali akan ditemukan aparatur pajak, polisi, jaksa, hakim, dan jangan lupa para pengacara. Begitukah cara kita keluar dari krisis? Kalau kita mau jujur, barangkali tidak bisa kita mengandalkan kemampuan pemerintah, badan yudikatif, dan badan legislatif untuk membuat normal negara kita ini. Karena itulah di dalam keputusan MPR tentang rancangan ketetapan (rantap) rekonstruksi dan pemulihan ekonomi terdapat pasal-pasal yang mengundang badan pajak seperti Internal Revenue Service (IRS) untuk berkiprah bersama-sama Pemerintah Indonesia dalam menegakkan kehidupan perpajakan yang baik dan bersih. Kita tidak akan mampu membersihkan diri sendiri tanpa membuka diri terhadap badan-badan internasional yang mempunyai kredibilitas seperti IRS dan Security and Exchange Commission (SEC). Apabila kita kini teriak-teriak tentang penolakan privatisasi, menghapuskan utang secara sepihak, maka ini adalah sikap yang tidak mengakui kelemahan mencolok dari diri kita sebagai bangsa. Kelemahan itu adalah besarnya semangat dan jiwa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam sanubari segenap penduduk Indonesia dewasa. Yang pasti, pertemuan Paris Club III yang sukses ini setidak-tidaknya memberi napas bagi tim ekonomi di bawah pimpinan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti untuk menghadapi tugas-tugas mendatang, termasuk evaluasi oleh IMF dalam menilai keberhasilan Indonesia melaksanakan letter of intent (LoI) serta persiapan bagi pembuatan LoI yang baru, yang penuh dengan onak duri karena tingginya politisasi di antara para pejabat dan elite politik kita. Tak lama lagi kita kembali akan menghadapi isu yang pasti "seru" dan menimbulkan heboh tiada henti, ketika semua kita bersikap sebagai orang yang paling suci. Sementara, isu-isu tersebut sesungguhnya sudah tidak diperhatikan lagi oleh rakyat kecil yang menderita karena tekanan inflasi, mengidap TBC, dan kekurangan gizi. Keberhasilan Paris Club III bisa menjadi rutinitas yang berbahaya. Kita bisa terlena dibuatnya, seolah-olah sudah keluar dari krisis, padahal yang dibutuhkan untuk keluar dari krisis adalah tingkat pertumbuhan minimal enam persen yang hingga kini belum tampak tanda-tandanya untuk terjadi. Itu semua menjadi demikian karena politisasi yang terus-menerus dalam proses perumusan kebijakan ekonomi maupun "penegakan hukum" yang sebenarnya sekadar mencari orang yang dapat dihukum demi uang yang nilainya tidaklah seketip dua ketip.*