Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN
INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH
DISERTASI
EVI LISNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Guru bagiku adalah ibarat bulan purnama
yang bersinar di tengah
kegelapan malam
Ilmu membuat pemiliknya dapat membedakan
yang salah dengan yang benar,
Ilmu merupakan cahaya menuju surga,
Ilmu adalah teman di tengah padang pasir,
Ilmu adalah teman dalam kesunyian,
Ilmu adalah pendamping saat kita tidak ada teman,
Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan,
Ilmu membuat kita tabah dalam kesulitan.
(Sabda Nabi Muhammad SAW)
SURAT PERNYATAAN
Saya
menyatakan
dengan
sebenar-benarnya
bahwa
segala
pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK
KEBIJAKAN
KETENAGAKERJAAN TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA
DI ERA OTONOMI DAERAH
merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan
ketua dan anggota Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan
rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program
sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2007
EVI LISNA
NRP. A161020041/EPN
ABSTRAK
EVI LISNA. Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat
Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era Otonomi Daerah
(BONAR M. SINAGA selaku Ketua, SJAFRI MANGKUPRAWIRA dan
HERMANTO SIREGAR selaku Anggota Komisi Pembimbing).
Kebijakan ketenagakerjaan secara langsung mempengaruhi pasar tenaga
kerja dan kondisi perekonomian makro. Isu kebijakan ketenagakerjaan masih
menjadi topik penting untuk dibahas di era otda karena kebijakan ketenagakerjaan
merupakan masalah yang sensitif bagi buruh. Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda, (2) menganalisis
faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja
dan perekonomian lndonesia, (3) mengevaluasi dampak alternatif kebijakan
ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian
Indonesia di era otda tahun 2001-2004, dan (4) meramalkan dampak alternatif
kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan
perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dibangun model sistem persamaan
simultan yang terdiri dari 34 persamaan struktural dan 18 persamaan identitas.
Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2004. Data dianalisis
dengan analisis deskriptif, model ekonometrika, simulasi historis dan peramalan
yang menggunakan berbagai alternatif skenario kebijakan. Model diestimasi
dengan metode 2SLS menggunakan prosedur SYSLIN. Simuasi historis dan
peramalan menggunakan prisedur SIMNLIN.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: (1) beberapa kelemahan UndangUndang Ketenagakerjaan era otda cenderung menghambat penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, (2) meskipun upah minimum ditargetkan bagi
buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah
menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi buruh di semua tingkatan, peningkatan
tingkat pengangguran dan inflasi dan pada akhirnya menurunkan GDP, (3)
peningkatan kebijakan penyesuaian upah minimum, peningkatan kekuatan serikat
pekerja dan peningkatan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa berpengaruh
nyata terhadap investasi, penawaran agregat, pengangguran dan inflasi, dan (4)
diperkirakan upaya mencari solusi penyelesaian masalah hubungan industrial,
penurunan suku bunga dan pengeluaran infrastruktur tahun 2007-2010 akan lebih
efektif untuk menstimulasi peningkatan investasi dan produksi agregat serta
penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Bila pemerintah tetap
mempertahankan kebijakan upah minimum di era otda maka bersama
dengan serikat buruh dan pihak pengusaha perlu melakukan: (1) evaluasi
kembali penetapan upah minimum, (2) kontrol terhadap kekuatan serikat
pekerja dan (3) upaya peningkatan produktifitas TK agar tidak
memperburuk tingkat pengangguran dan perekonomian 2007-2010
mendatang.
Kata kunci: Kebijakan Ketenagakerjaan, Pengangguran, Model Persamaan
Simultan, Perekonomian Indonesia
ABSTRACT
EVI LISNA. The Impact of Labour Policy on Unemployment and
The Indonesian Economy in The Era of Regional Autonomy (BONAR M.
SINAGA as Chairman, SJAFRI MANGKUPRAWIRA and HERMANTO
SIREGAR as Members of the Advisory Committee).
Labour policy directly influences labour market and macroeconomic
condition. The issue of labour policy is still an important topic to be discussed in
the era of regional autonomy since it is a sensitive problem for the labours. The
objectives of this study are: (1) to evaluate the issues of labour policy in the era of
regional autonomy, (2) to analyze the influence of labour policy to labour market
and the Indonesian economy, (3) to evaluate the expost impacts of some
alternative labour policies on unemployment and Indonesian economy in the era
of regional autonomy (2001-2004), and (4) to forcast the exante impacts of some
alternative labour policies on unemployment as well as Indonesian economy in
the era of regional autonomy (2007-2010).
To reach those objectives, a simultaneous equation model containing 34
stuctural equations and 18 identity equations is constructed. The analysis used
annual time series data for the period 1980-2004. The descriptive analysis,
econometric model, historical and forcasting simulation using various alternative
policy scenarioes were used to analyze the data. The model was estimated by
using 2SLS Method and SYSLIN Procedure of the SAS package. Historical and
forcasting simulation used the SIMNLIN Procedure.
The research conclude that: (1) some weakness points of labour legislation
tend to obstruct the solution of industrial relation issues in the era of regional
autonomy, (2) although it is targeted to the labors without any experience and
have zero hour of work, minimum wage creates an increase for all the average
wages of labor at all level, increases unemployment level as well as inflation, and
decreases the GDP, (3) an increase of minimum wage policy, emergence of labour
union and strike cases affect significantly investment, agregate supply,
unemployment and inflation, and (4) solving industrial relation issues, decreasing
interest rate as well as increasing government expenditure on infrastructure are
potential to increase investment and agregate supply as well as to decrease
unemployment and inflation for the 2007-2010 period. Further, it is important to
consider the emergence of labor unions to participate in deciding and evaluating
the labour policy hoping that it will help encouraging changes of labour policies
toward a better condition for the welfare of the labours, the continuity of the
business as well as a better condition for the Indonesian economy (2007-2010).
Key words: Labour Policy, Unemployment, Simultaneous Equation Model,
Indonesian Economy
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN
TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN
DAN PEREKONOMIAN INDONESIA
DI ERA OTONOMI DAERAH
EVI LISNA
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Judul Disertasi
: Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan Terhadap Tingkat
Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era
Otonomi Daerah
Nama Mahasiswa
: Evi Lisna
Nomor Pokok
: A 161020041
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Ketua
Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira
Anggota
Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 22 Agustus 2007
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aceh Timur sebagai anak kedua dari Ayahanda
almarhum H. M. Natsir Muchlis dan Ibunda almarhumah Sakinah Usman.
Pada tahun 1986 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 3
Banda Aceh. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1991 di Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Pada
semester akhir kuliah, penulis lulus seleksi sebagai mahasiswa penerima
ikatan dinas dosen dan tahun 1991 diangkat sebagai Staf Pengajar di Jurusan
Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Nanggroe Aceh
Darussalam. Pada Tahun 1996 penulis mendapat kesempatan tugas belajar di
Marketing Laboratory, Agricultural Social Economics Department, Faculty
of Agriculture, Kyushu University, Jepang, dan selesai tahun 1998. Pada
tahun 2002 penulis menempuh Program Doktor di Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian (EPN) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menikah dengan Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M. Agric. Sc dan
dikarunia dua putra yaitu Faiz Yafie Naufal dan Wildan Dhia Yafie.
PRAKATA
Puji dan Syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis telah dapat menyelesaikan disertasi dengan
judul
DAMPAK
KEBIJAKAN
KETENAGAKERJAAN
TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI
ERA OTONOMI DAERAH. Penelitian dan disertasi ini dapat dilaksanakan
dan diwujudkan melalui arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari
banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing,
yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak telah mencurahkan waktu,
memberikan banyak arahan akademik sejak perkuliahan dan khususnya
dalam membimbing sejak mempersiapkan proposal, pengumpulan dan
pengolahan data, sampai penyusunan disertasi. Kendala dalam proses
mewujudkan disertasi selalu ada solusi setelah berkonsultasi dengan
Bapak. Cara Bapak membimbing, menjadikan saya kembali bersemangat
untuk melalui setiap proses sejak ujian kualifikasi satu dan dua, kolokium,
seminar, ujian tertutup, sampai ujian terbuka Program Doktor.
2. Prof. Dr. Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira selaku Anggota Komisi
Pembimbing, yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa
memberikan limpahan ilmu, pengalaman dan nasehat sehingga membuka
wawasan saya dan memberi spirit saya dalam mencari studi empiris
pendukung, juga mempertajam kemampuan saya dalam merumuskan
masalah dan dalam menyajikan hasil penelitian disertasi. Bapak memiliki
metode yang sangat bijaksana dalam mengembalikan semangat belajar dan
meningkatkan ketaqwaan saya agar selalu tawakal menghadapi masalah
sehingga cita-cita untuk menyelesaikan penelitian dan disertasi ini dapat
terwujud.
3. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M. Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing,
yang dengan ketulusan dan kesabaran Bapak senantiasa memberikan
bimbingan akademik selama perkuliahan dan senantiasa memberikan
tambahan wawasan dan mengarahkan setiap gagasan dalam penelitian dan
penyusunan disertasi. Bapak sangat bijaksana dan selalu menghargai
setiap gagasan, usaha dan kerja keras saya untuk kemudian memotivasi
agar saya lebih berusaha lagi mewujudkan disertasi ini menjadi lebih baik .
4. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS sebagai penguji luar komisi, Dr. Harianto
sebagai a.n. Ketua Program Studi, dan Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri
sebagai Pimpinan Sidang pada ujian tertutup yang telah memberikan
saran dan masukan demi perbaikan disertasi ini.
5. Prof. Dr. Payaman J. Simanjuntak dan Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan,
MSc sebagai penguji luar komisi dan Dr. Sri Hartoyo sebagai
pimpinan ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan
demi penyempurnaan disertasi ini.
6. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi EPN
dan seluruh Staf
Pengajar Sekolah Pascasarjana IPB yang telah
memberikan limpahan ilmu dan pengalaman bagi penulis.
7. Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala NAD
yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan
studi pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
8. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional yang telah memberikan bantuan beasiswa BPPS program
Doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB bagi penulis.
9. Pemda Nanggroe Aceh Darussalam dan Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) Aceh yang telah memberikan bantuan dana
penelitian pada saat BPPS telah berakhir.
10. DAAD yang telah memberikan bantuan SPP pada pasca bencana
tsunami Aceh.
11. Kepala dan Staf Depnakertrans, BPPS dan Bank Indonesia yang telah
membantu dalam penyediaan data.
12. Rekan-rekan mahasiswa Program Pascasarjana di Program Studi EPN IPB
khususnya EPN Angkatan 2002 yang telah memberikan sumbangan
pemikiran dalam penyelesaian penelitian dan pengolahan data.
13. Sekretariat Program Studi EPN (Mbak Rubi, Mbak Yani, Teteh dan
Mashusein), sahabat setia (Sri Hery Susilowati, Atien Priyanti, Anna
Fariyanti, Femy Hadidjah Elly serta Safrida dan Keluarga), adik-adik
kost, Adinda Adhiana, Ceuceu, dan Dek Mun, teman-teman Ikatan
Mahasiswa
Pascasarjana
Aceh
di
Institut
Pertanian
Bogor
(IKAMAPA) atas suasana kekeluargaan yang selama ini terbina.
14. Khusus kepada orangtua tercinta yang telah tiada Ayahanda almarhum H.
M. Natsir Muchlis dan Ibunda almarhumah Sakinah Usman serta
Almarhumah Mami Nuraini Muchlis yang telah memberikan pondasi
kuat pada ananda untuk selalu memprioritaskan investasi pendidikan.
15. Kepada Keluarga Mang Djudju, Keluarga Kang Ade, Keluarga Ceu
Otim, Keluarga Aa Endang, Keluarga Aa Elan, Keluarga Kang Iwan,
Keluarga Dek Yasa, Keluarga Makni Khairani Muchlis, Keluarga Papi
Adi Syahputra, Keluarga Om Rizal Lufty dan Adik-adik tersayang
semoga gelar ini menambah kebahagiaan keluarga besar kita.
16. Yang teramat spesial, suami tercinta Dr. Ir. Sofyan Samsudin, M.
Agric. Sc dan kedua putra tersayang Faiz Yafie Naufal dan Wildan
Dhia Yafie yang sepenuhnya mendukung agar saya dapat melanjutkan
studi sampai pada jenjang tertinggi. Dukungan dan perhatian keluarga
telah membuat saya tetap bersemangat meski harus terpisah jauh.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Terimakasih.
Bogor, Agustus 2007
Evi Lisna
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ……………………………………………………..
i
DAFTAR TABEL ……………………………………….……..
x
DAFTAR GAMBAR …………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..………………………………..……..
xv
I. PENDAHULUAN ………………………………………………
1
1.1. Latar Belakang Penelitian ………………………………….
1
1.2. Perumusan Masalah ………………………………………..
4
1.3. Tujuan Penelitian …………………………………………..
10
1.4. Kegunaan Penelitian ……………………………………….
10
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ………………
10
TINJAUAN PUSTAKA ……..………………………………..
12
2.1. Otonomi Daerah di Indonesia ……………………………..
12
2.2. Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda .……….…
13
2.3. Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia ……………….
17
2.3.1. Kesempatan Kerja …………………………………
17
2.3.2. Pengangguran ……………………………………..
19
2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan ……………………
21
2.4. Kebijakan Ketenagakerjaan ……………………………….
24
2.4.1. Upah Minimum ……………………………………
26
2.4.2. Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial …………………………………………..
27
2.4.3. Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja …………...
28
2.5. Tinjauan Studi Terdahulu ………………………………….
29
2.5.1. Kesempatan Kerja …………………………………
29
2.5.2. Tingkat Pengangguran …………………………….
30
2.5.3. Kebijakan Ketenagakerjaan ……………………….
32
II.
v
III. KERANGKA TEORI ………………………………………….
37
3.1. Pasar Tenaga Kerja …………………………………………
37
3.2. Kebijakan Upah Minimum …………………………………
41
3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing ...........................
43
3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni ................................
45
3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia ....
49
3.3. Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan
Ekonomi Makro ....................................................................
53
3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya …..
55
3.3.2. Pengangguran ……………………………………...
58
3.3.3. Inflasi ………………………………………………
61
3.3.4. Kurva Phillips ……………………………………...
63
3.4. Bagan Alur Penelitian ……………………………………...
66
IV. METODE PENELITIAN .……….…………………………….
68
4.1. Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian
Indonesia ...............................................................................
68
4.1.1. Blok Pasar Tenaga Kerja ..........................................
68
4.1.2. Blok Fiskal …............... ............................................
77
4.1.3. Blok Penawaran Agregat .........................................
77
4.1.4. Blok Permintaan Agregat .........................................
78
4.1.5. Blok Moneter ...........................................................
79
4.1.6. Blok Keseimbangan Makro ......................................
80
4.2. Prosedur Analisis ...................................................................
80
4.2.1. Identifikasi Model .....................................................
81
4.2.2. Metode Pendugaan Model ........................................
82
4.2.3. Validasi Model ..........................................................
83
4.2.4. Simulasi Kebijakan ...................................................
86
4.2.5. Defenisi Operasional Variabel ...................................
88
4.2.6. Jenis dan Sumber Data ……………………………..
91
vi
V. DESKRIPSI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI ERA
OTDA ............................................................................................
5.1. Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda ...................................
5.1.1. Kebijakan Upah Minimum ........................................
5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon ....
5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjaan di Tingkat Perusahaan
5.2.
Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda .............
5.2.1. Kebijakan Fiskal ........................................................
5.2.2. Kebijakan Moneter....................................................
5.2.3. Kebijakan Investasi ...................................................
92
93
94
98
102
104
104
106
108
VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA
DAN PEREKONOMIAN MAKRO ............................................
110
6.1. Keragaan Umum Model ........................................................
110
6.2. Kinerja pasar Tenaga Kerja ……………………...…………
111
6.2.1. Penawaran Tenaga Kerja …………………………..
111
6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja …………………………..
113
6.2.3. Upah Rata-rata ……………………………………..
117
6.3.
Kinerja Fiskal ……………………………………………...
119
6.4.
Kinerja Penawaran Agregat ………………………………..
121
6.5.
Kinerja Permintaan Agregat ……………………………….
123
6.6. Kinerja Moneter ……………………………………………
126
6.7.
Kinerja Keseimbangan Makro ……………………………..
128
VII. DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN
TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN
PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI
DAERAH ………………………………………………………..
129
7.1. Hasil Validasi Model .............................................................
129
7.2. Evaluasi Alternatif Simulasi Kebijakan Periode Historis
Tahun 2001-2004 ..................................................................
130
7.2.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai
Tahun 2000 .................................................................
130
7.2.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1
persen .........................................................................
vii
134
7.2.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar
8.83 persen .................................................................
136
7.2.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar
10 persen ....................................................................
138
7.2.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian
90 persen, Industri 2 persen, dan Jasa 2.5 persen ......
140
7.2.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen .......
142
7.2.7. Penurunan Suku Bunga 5 persen .................................
144
7.2.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 persen .......
146
7.2.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ........................................
148
7.2.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...................................
150
7.3. Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 2007-2010 ................
152
7.3.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai
Tahun 2006 .................................................................
156
7.3.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1
persen ..........................................................................
158
7.3.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar
6.64 persen ..................................................................
160
7.3.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8
persen ..........................................................................
162
7.3.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian
90 persen, Industri 1.5 persen, dan Jasa 2.5 persen ....
164
7.3.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 persen ........
166
7.3.7. Penurunan Suku Bunga 6 persen .................................
168
7.3.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 persen .......
170
7.3.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5 ........................................
172
7.3.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8 ...................................
174
7.3.11. Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 ...............................
176
7.3.12. Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 ...............................
178
7.4. Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Tingkat
Pengangguran dan Perekonomian .........................................
180
viii
7.5. Analisis Komprehensif Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan
Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian
Indonesia di Era Otda ...........................................................
189
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..........................
195
8.1.
Simpulan ...............................................................................
195
8.2. Implikasi Kebijakan .............................................................
198
8.3. Saran Penelitian Lanjutan ....................................................
199
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
202
LAMPIRAN ..................................................................................
208
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia …...
2
2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda ……...……
5
3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena
PHK di Era Otda ..............……………………………………………
6
4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda ...................................
15
5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda .....................
16
6. Perkembangan Produktivitas Sektoral di Era Otda .............................
22
7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran …….
36
8. Perubahan Perundang-undangan Tentang Kebijakan Upah Minimum
di Indonesia ..........................................................................................
42
9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan
Monopsoni ...........................................................................................
50
10. Pembagian Blok Persamaan Model Pasar TK dan Perekonomian
Indonesia ..............................................................................................
70
11. Defenisi Operasional Variabel ......................................................... …..
88
12. Isu-isu Kebijakan Dominan berkenaan dengan Industri Padat Karya
Berorientasi Ekspor ..............................................................................
97
13. Perkembangan Kebijakan Moneter di Era Otda .................................. 107
14. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK Tahun 1980-2004 ............. 112
15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah
Tahun 1980-2004 ................................................................................. 113
16. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Menengah
Tahun 1980-2004 ................................................................................. 115
17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi
Tahun 1980-2004 ................................................................................ 116
.
x
18. Hasil Estimasi Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004 ............. 118
19. Hasil Estimasi Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah
Tahun 1980-2004 ................................................................................. 120
20. Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004 122
21. Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun
1980-2004 ............................................................................................ 124
22. Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004 ......... 125
23. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang serta
Suku Bunga Tahun 1980-2004 ............................................................ 127
24. Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 19802004 ..................................................................................................... 128
25. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masingmasing Sebesar Nilai Tahun 2000 di Era Otda 2001-2004 ................. 131
26. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 1 Persen di Era Otda 2001-2004 ………………………... 135
27. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 8.83 Persen di Era Otda 2001-2004 ...…………………… 137
28. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 10 Persen di Era Otda 2001-2004 ......…………………… 139
29. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat
Pekerja Sektor Pertanian 90 Persen, Industri 2 Persen dan Jasa 2.5
Persen di Era Otda 2001-2004 .............................................….…….. 141
30. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan
50 Persen di Era Otda 2001-2004 ...…………………………………. 143
31. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 5
Persen di Era Otda 2001-2004 ........................................................…. 145
32. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran
Infrastruktur 25 Persen di Era Otda 2001-2004 ................................... 147
33. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 di
Era Otda 2001-2004 .............................................…………………… 149
34. Hasil Simulasi Historis (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 di
Era Otda 2001-2004 ...............................................………………….. 151
xi
35. Hasil Peramalan Peubah Endogen Tanpa Alternatif Kebijakan Tahun
2007-2010 …………………………………………………………… 153
36. Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masing-masing
Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ………………………………. 157
37. Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 ................................................ 159
38. Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ........................................... 161
39. Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 ................................................. 163
40. Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat Buruh
Tahun 2007-2010 ................................................................................. 165
41. Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50
Persen Tahun 2007-2010 ..................................................................... 167
42. Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen
Tahun 2007-2010 ................................................................................ 169
43. Hasil Simulasi (S8) Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 Persen
Tahun 2007-2010 ................................................................................. 171
44. Hasil Peramalan (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5 Tahun
2007-2010 ............................................................................................ 173
45. Hasil Peramalan (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8 Tahun
2007-2010 ............................................................................................ 175
46. Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8 Tahun
2007-2010 ............................................................................................ 177
47. Hasil Peramalan (Simulasi 12) Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8 Tahun
2007-2010 ............................................................................................ 179
48. Perbandingan Produktivitas Sektoral Berdasarkan simulasi
Peramalan Tahun 2007-2010 ............................................................... 180
49. Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 20072010 ..................................................................................................... 182
xii
50. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Terhadap Kepentingan
Pekerja, Pengusaha, dan Perekonomian Makro di Era Otda Tahun
2007-2010 ............................................................................................ 185
51. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Peramalan Terhadap Triple
Track Strategy Tahun 2007-2010 ........................................................ 188
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang ..................
37
2. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja .....................................................
40
3. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja Bersaing
43
4. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja
Monopsoni ..........................................................................................
47
5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni .................
49
6. Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi
Makro ..................................................................................................
54
7. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi .......................................
56
8. Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh Serikat
Pekerja .................................................................................................
62
9. Kurva Phillips ………………………………………………………..
64
10. Kerangka dan Bagan Alur Penelitian ………………………………...
67
11. Tahapan Membangun Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
69
12. Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia ....................................
73
13. Perkembangan Upah Minimum Sektoral Riil (Tahun Dasar 1990) di
Era Otda ...............................................................................................
132
14. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Kepentingan .......................
187
15. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Triple Track Strategy .........
189
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1a.
1b.
1c.
1d.
1e.
1f.
1g.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Halaman
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Undang-Undang Tahun 1956-2004 ….
208
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Peraturan Menteri Tahun 1985-2004 …
210
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Keputusan Presiden Tahun 1995-2004
211
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Instruksi Presiden ..………….………..
211
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Keputusan Menteri ………….………..
212
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Intruksi Menteri ………………….…...
215
Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia dalam Bentuk Keputusan Dirjen ………….………….
215
Program Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur
SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 .................
216
Hasil Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur
SYSLIN Metode 2SLS pada Program SAS/ETS 8.02 .................
219
Program Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
253
Hasil Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
257
Program Simulasi Historis Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02 ............................
262
Hasil Simulasi Skenario Upah Minimum Tetap Sebesar Nilai
Tahun 2000 Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode Newton
pada Program SAS/ETS 8.02 .......................................................
267
xv
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02………...
270
Hasil Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02………...
272
Program Peramalan Nilai Konstanta Endogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ………..
285
Program Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ….…….
286
Hasil Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02 ……….
292
Hasil Peramalan (Simulasi 1) Upah Minimum Tetap Masingmasing Sebesar Nilai 2006 Tahun 2007-2010 ....……………….
295
Hasil Peramalan (Simulasi 2) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 1 Persen Tahun 2007-2010 .........................................
297
Hasil Peramalan (Simulasi 3) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 6.64 Persen Tahun 2007-2010 ....................................
299
Hasil Peramalan (Simulasi 4) Upah Minimum Masing-masing
Dinaikkan 8 Persen Tahun 2007-2010 .........................................
301
Hasil Peramalan (Simulasi 5) Penurunan Kekuatan Serikat
Buruh Tahun 2007-2010 .............................................................
303
Hasil Peramalan (Simulasi 6) Penurunan Kasus Pemogokan 50
Persen Tahun 2007-2010 .............................................................
305
Hasil Peramalan (Simulasi 7) Penurunan Suku Bunga 6 Persen
Tahun 2007-2010 ........................................................................
307
Hasil Peramalan (Simulasi 8) Peningkatan Pengeluaran
Pembangunan Infrastruktur 40 Persen Tahun 2007-2010 ...........
309
Hasil Peramalan (Simulasi 9) Kombinasi Simulasi 4 dan 5
Tahun 2007-2010 ........................................................................
311
xvi
22.
23.
24.
Hasil Peramalan (Simulasi 10) Kombinasi Simulasi 7 dan 8
Tahun 2007-2010 ........................................................................
313
Hasil Peramalan (Simulasi 11) Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8
Tahun 2007-2010 ........................................................................
315
Hasil Peramalan (Simulasi 12) Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8
Tahun 2007-2010 ........................................................................
317
xvii
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya
menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius
(Depnakertrans, 2004a). Argumennya adalah karena pertumbuhan kesempatan
kerja dan pertumbuhan angkatan kerja masih relatif seimbang.
Pendapat itu
ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran
terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja.
Namun perkembangan angka pengangguran pada tahun 1990-an dan tahun
2000-an menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini tercermin
dari besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan
penambahan lapangan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa permasalahan
ketenagakerjaan Indonesia sepertinya masih akan sulit diatasi karena adanya
ketidakseimbangan antara pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan
angkatan kerja. Ketidakseimbangan ini dapat berakibat pada penyerapan angkatan
kerja yang relatif terbatas dan tidak proporsional sehingga angka penganguran
diperkirakan dapat terus bertambah. Jika perkiraan pertumbuhan ekonomi pada
2007 dan 2008 sebesar 5.91 persen dan 6.50 persen, maka angka pengangguran
terbuka tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 9.12 juta orang atau 8.00
persen dari angkatan kerja.
Di balik fakta permasalahan semakin meningkatnya angka pengangguran di
Indonesia, selanjutnya sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wewenang
2
Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia
Jumlah
Periode* Angkatan
Kerja (juta)
Pertumbuhan
Kerja Baru
Ekonomi
(juta)
(%)
Angkatan
Jumlah Orang
yang Bekerja
(juta)
Pertambahan
Tambahan Lapangan Kerja per
Lapangan 1 % Pertumbuhan
Kerja (juta)
Ekonomi (ribu)
Pengangguran
Terbuka
(juta)
(%)
1997
91.32
3.13
4.70
87.05
3.15
670.21
4.28
4.69
1998
92.73
1.41
-13.13
87.67
0.62
-47.22
5.06
5.46
1999
94.85
2.11
0.79
88.82
1.44
143.03
6.03
6.36
2000
95.65
0.94
4.92
89.84
1.00
208.25
5.81
6.07
2001
98.81
3.16
3.44
90.81
0.97
281.98
8.00
8.10
2002
100.78
1.97
3.66
91.65
0.84
229.51
9.13
9.06
2003
102.63
1.85
4.10
92.81
1.16
282.93
9.82
9.50
2004
103.97
1.34
5.05
93.72
0.91
180.20
10.25
9.86
2005
105.80
1.83
5.60
94.95
1.23
219.64
10.85
10.26
2006
106.28
0.48
6.11
95.18
0.23
37.64
11.11
10.44
2007
112.23
2.17
5.91
101.94
1.96
331.64
10.29
9.19
2008
114.37
2.14
6.50
105.25
3.31
509.23
9.12
7.97
*Keterangan:
Untuk
Untuk
Untuk
Untuk
tahun
tahun
tahun
tahun
1997-2004 menggunakan angka Sakernas-BPS.
2000 tanpa Provinsi Maluku.
2001-2006 menggunakan defenisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk Provinsi Maluku.
2007-2008 menggunakan angka proyeksi Bappenas.
Sumber:
Depnakertrans, 2007.
3
kepada daerah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya melalui UU No.
22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Otonomi daerah (otda)merupakan era
dimana pemerintah diharuskan melakukan pembangunan daerah dengan fokus
utama pada pelimpahan wewenang pemerintahan, perimbangan keuangan, dan
pengayaan politik dan sosial budaya penduduk daerah setempat (Oentarto, 2004).
Namun, diantara tiga aspek tersebut implikasi otonomi daerah bagi penduduk dan
sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian.
Fokus utama bidang ketenagakerjaan adalah penting karena salah satu
pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk.
Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan analisis situasi,
merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada
ketenagakerjaan. Dalam kaitan ini, semacam informasi ketenagakerjaan dan
perekonomian akan sangat membantu sebagai dasar perumusan alternatif
kebijakan. Potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis ekonomi secara
makro dalam era otda.
Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan kajian dampak kebijakan
pemerintah terhadap keragaan pasar tenaga kerja dan beberapa indikator ekonomi
makro Indonesia (Safrida, 1999; Adriani, 2000; Zulkifli, 2002; Hadi, 2002;
Suryahadi, 2003). Namun dalam studi sebelumnya belum dikaji secara eksplisit
bagaimana pengaruh perubahan di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan
ketenagakerjaan
terhadap
tingkat
pengangguran
perekonomian Indonesia di era otonomi daerah.
dan
transmisinya
pada
4
1.2.
Perumusan Masalah
Keberhasilan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dapat
diukur dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi makro. Indikator-indikator
tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat secara bertahap
sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan
tingkat pengangguran menjadi sekitar 5.1 persen dan menurunkan jumlah penduduk
miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Namun, data menunjukkan
bahwa sasaran kuantitatif tersebut tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.
Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada
tahun 2004 masih sekitar 5.13 persen. Sementara angka pengangguran menurut
Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 masih sekitar 9.86 persen dari
total angkatan kerja yang berjumlah 103.97 juta jiwa.
Sampai saat ini pasar tenaga kerja Indonesia masih dicirikan oleh adanya
ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Hasil kajian
Depnakertrans menyimpulkan bahwa pada tahun 1990-an Indonesia dikategorikan
sebagai Labour Surplus Economy yaitu negara yang mempunyai masalah dengan
jumlah angkatan kerja yang berlebih (Depnakertrans dan BPPS ,1999). Ekses
angkatan kerja ini berlangsung sampai saat memasuki era otda sehingga angka
pengangguran dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat.
Berdasarkan data statistik, karakteristik pengangguran Indonesia didominasi
oleh TK berpendidikan rendah seperti pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda
Tahun
Jumlah Pengangguran Berdasarkan Pendidikan (Ribu Orang)
Rendah
Menengah
Tinggi
2001
4 531.31
2 933.49
540.23
2002
5 368.13
3 244.13
519.84
2003
5 688.61
3 397.01
445.47
2004
5 970.49
3 695.51
585.36
Rata-rata
5 389.64
3 317.54
522.73
Sumber : BPS, 2007.
Menurut Depnakertrans, distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan,
tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia terus mengalami
perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi
dan pembangunan. Ada dua alasan mengapa terjadi pergeseran struktur tenaga
kerja yaitu : (i) terjadinya penurunan peran tenaga kerja pada sektor yang
mempunyai produktivitas rendah yaitu sektor pertanian dan (ii) perkembangan
yang cepat dari buruh penerima upah yang terkonsentrasi di sektor industri.
Perubahan distribusi tenaga kerja tersebut searah dengan dinamika pembangunan
ekonomi yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian kemudian beralih ke
sektor industri. Pada periode tahun 1970-an sumbangan sektor pertanian dalam
Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 45 persen dan pada tahun 2000-an telah
turun menjadi kurang dari 16 persen.
Selain karena bertambahnya angkatan kerja baru, pertambahan jumlah
penganggur Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan kasus Pemutusan
Hubungan Kerja atau PHK seperti pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja
Terkena PHK di Era Otda
Tahun
Jumlah PHK (orang)
Jumlah Pengangguran
Terbuka (000 orang)
2001
85 537.00
8 005.03
2002
116 176.00
9 132.10
2003
85 020.00
9 531.09
2004
66 009.00
10 251.35
Rata-rata
88 186.00
9299.89
Sumber: Depnakertrans, 2007.
Tabel 3 memperlihatkan selama tahun 2002 jumlah pekerja yang
kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang.
Jumlah ini telah mendekati
jumlah pekerja yang terkena PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat
sebanyak 127.735 orang. Secara umum rata-rata jumlah pekerja yang kehilangan
pekerjaan pada era otda lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelum
memasuki era otda.
Menekan angka pengangguran hingga mencapai tingkat sebagaimana
ditargetkan Propenas tentunya memerlukan upaya keras dan sistematis. Angka
pengangguran sampai tahun 2008 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 9.12
juta jiwa atau 7.97 persen dari total angkatan kerja. Seperti yang telah ditargetkan
Propenas untuk menurunkan angka pengangguran, target Propenas untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena
pada tahun 2007-2008 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan
hanya sekitar 6 persen.
Sejalan dengan permasalahan diatas, di sisi lain, pemerintah telah membuat
kebijakan-kebijakan
yang
berkaitan
dengan
ketenagakerjaan.
Kebijakan
7
ketenagakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi kebijakan
penyediaan lapangan kerja.
Sisi normatif merupakan kebijakan perlindungan
norma-norma sosial ketenagakerjaan yang diatur oleh Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Penyediaan lapangan kerja lebih banyak diatur secara bersamasama pada masing-masing sektor.
Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di
Indonesia meliputi: (1) kebijakan tentang pengupahan, (2) hubungan kerja antara
pekerja dan pengusaha serta pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk
didalamnya pemogokan kerja dan pengaturan tentang permutusan hubungan kerja
termasuk di dalamnya uang pesangon dan pengaturan jam kerja, dan (3) pengaturan
organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan
dan lain-lain. Berkaitan dengan kebijakan normatif ketenagakerjaan, ada dua pihak
yang seharusnya mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah dalam
memikirkan dan merealisasikan kebijakan sehingga tidak merugikan para pekerja
dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada
umumnya.
Sebagai contoh dari sisi pengupahan, pemerintah membuat peraturan Upah
Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahunnya disesuaikan dengan tingkat inflasi.
Di pihak pekerja, kebijakan ini bertujuan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan
hidup minimum (KHM). Tetapi dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum
(KHM) periode 2001-2004 penetapan nilai upah minimum hanya mampu
memenuhi rata-rata 89.63 persen dari KHM (BPS, 2006). Artinya kesejahteraan
buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Sementara
pihak pengusaha merasa diberatkan, seharusnya kebijakan tersebut tetap
8
memperhatikan kelangsungan perusahaan dan juga bagi perekonomian makro.
Peningkatan upah minimum dapat berdampak pada rendahnya penanaman modal
luar negeri dan memperburuk inflasi (karena upah yang meningkat akan dibebankan
pada harga output).
Selanjutnya pemerintah membuat keputusan Menteri no. 150 tahun 2000,
Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 dan Undang-undang no 2 / 2004
tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pihak pengusaha merasa
diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang
mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh
mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja
perempuan. Selanjutnya tentang adanya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI No. Kep – 226/ Men/ 2000 bahwa upah minimum untuk tingkat
provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota ditinjau ulang satu tahun sekali. Dalam
pelaksanaan keputusan ini memunculkan masalah yang menimbulkan pro kontra
diantara pihak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun kelompok masyarakat
lainnya (Simanjuntak, 2005).
Ada banyak kontroversi seputar kebijakan ketenagakerjaan di atas. Menurut
pihak pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan ternyata membuat beban pengusaha
dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan
pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran
berat (Wirahyoso, 2002). Disamping itu adanya UU Ketenagakerjaan no 13 tahun
2003 Pasal 76 tentang aturan mempekerjakan perempuan yang relatif dapat
meningkatkan hiaya operasional perusahaan dapat menjadi pemicu tingginya
tingkat pengangguran tenaga kerja perempuan. Demikian pula tentang kontroversi
9
keputusan upah yang terus berkepanjangan.
Kebijakan normatif memang
dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja.
Namun di sisi lain,
kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja.
Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja dan
perekonomian makro yang dapat tercermin pada tingginya tingkat pengangguran.
Diperlukan suatu kajian secara ilmiah agar kebijakan ketenagakerjaan secara
makro dapat memenuhi harapan pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk
perekonomian Indonesia di era otda yang akan datang.
Berkenaan dengan semakin meningkatnya permasalahan perburuhan,
tingkat pengangguran dan adanya berbagai kebijakan ketenagakerjaan oleh
pemerintah sebagai alat pemulihan perekonomian dan juga oleh pemerintah daerah
sebagai alat kebijakan sosial, maka secara umum pertanyaan yang muncul adalah
"Bagaimanakah dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran
dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah ?". Secara lebih spesifik, studi
ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah perilaku pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di
era otonomi daerah dengan adanya faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan?
2. Bagaimanakah kemungkinan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan
terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era
otonomi daerah di masa lalu dan di masa yang akan datang?
10
1.3.
Tujuan Penelitian
Fokus penelitian diarahkan pada era otonomi daerah (otda). Secara khusus
tujuan penelitian yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja didasarkan pada
disagregasi tingkat pendidikan dan sektor ekonomi.
1. Mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda.
2. Menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi
pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia.
3. Mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap
perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda
tahun 2001-2004.
4. Meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap
perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda
tahun 2007-2010.
1.4.
Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan perencanaan kebijakan ketenagakerjaan yang
lebih tepat dalam rangka menjaga kestabilan tingkat pengangguran dan
indikator ekonomi makro lainnya pada era otonomi daerah di
Indonesia, dan
2. Sebagai
referensi
pembanding
dan
stimulan
bagi
penelitian
ketenagakerjaan selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Dampak kebijakan yang dianalisis merupakan suatu analisis simulasi;
11
2. Kebijakan
ketenagakerjaan
yang
dianalisis
adalah
kebijakan
ketenagakerjaan dari sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan
kerja;
3. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada tingkat pengangguran
berdasarkan disagregasi tingkat pendidikan;
4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional;
5. Data penelitian dari tahun 1980 sampai tahun 2004;
6. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan upah minimum
dan kebijakan perselisihan hubungan industrial;
7. Cakupan sektoral dibatasi pada sektor pertanian, industri, dan jasa
kemasyarakatan;
8. Data penawaran TK menggunakan data jumlah angkatan kerja;
9. Disagregasi penawaran TK dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan rendah,
menengah, dan tinggi; dan
10. Memburuknya perselisihan hubungan industrial diproksi dengan data jumlah
kasus pemogokan dan unjuk rasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Otonomi Daerah di Indonesia
Pada masa pemulihan krisis ekonomi lalu muncul tuntutan ketidakpuasan
daerah dengan sistem sentralistik dan menyebabkan ancaman disintegrasi bangsa.
Pemerintah segera menanggapi gejala tersebut dengan mengeluarkan UU No. 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selanjutnya sejak 1
Januari 2001, dimulailah era otonomi daerah (otda) dengan harapan ada
perkembangan perekonomian bagi daerah yang selama ini terbelakang akibat
alokasi pendapatan yang tidak merata.
Otda memang telah menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan strategis di Indonesia.
Perubahan ini
memberikan nuansa baru bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah
kabupaten dan kota, untuk mengembangkan daerahnya secara optimal sesuai
dengan potensi yang dimiliki daerah.
Ada tiga matra utama yang menjadi fokus pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia dimana otonomi daerah mengharuskan:
1. Adanya pelimpahan wewenang dalam hal pengambilan keputusan
yang bersifat sektoral yang mencakup daerah (government power
sharing),
2. Adanya perimbangan keuangan yang rasional dan adil antara pusat dan
daerah serta perimbangan kemampuan dan potensi sumber daya
manusia dalam pembangunan (financial and manpower sharing), dan
13
3. Lahirnya perkembangan daerah sebagai satuan yang khas dalam
memperkaya kebhinnekaan negara (political and social cultural power
sharing) yang pada akhirnya diharapkan mampu mengenal penduduk
setempat (indigenous population).
Ketiga matra di atas merupakan kondisi yang dibutuhkan (necessary
condition) agar otonomi daerah berlangsung baik dan bisa memenuhi harapan
berbagai pihak. Kondisi cukup (sufficient condition) berupa undang-undang otda
beserta berbagai perangkat administratif dan hukum yang menjadi sistem otonomi
daerah juga harus terus dilengkapi sejalan dengan pelaksanaan otda.
Diantara tiga aspek yang telah diutarakan di atas, implikasi otda bagi
penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian.
Sebahagian besar fokus penelitian otonomi daerah lebih banyak menyoroti
government power sharing dan financial sharing. Sementara kita ketahui bahwa
salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah
penduduk. Secara luas, potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai
kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis
perekonomian secara makro dalam era otda. Hal ini disebabkan potensi penduduk
sebagai faktor produksi (tenaga kerja) dalam kegiatan perekonomian daerah
sangatlah penting.
2.2.
Permasalahan Hubungan Industrial di Era Otda
Salah satu permasalahan perekonomian makro Indonesia di era otda yang
berkaitan dengan TK adalah
masih tingginya tingkat pengangguran dan
banyaknya kasus permasalahan hubungan industrial. Menurut Simanjuntak (2004)
Industrial relations refer to the relationship among all stakeholders concerned
14
with or having an interest in the process of producing goods or services in a
company or enterprise. Ada dua hal penting yang dapat dijelaskan menyangkut
permasalahan hubungan industrial dewasa ini. Pertama, diberlakukannya otonomi
daerah (otda) sejak tahun 2001 telah merubah sistem pengambilan keputusan
dalam penetapan kebijakan upah minimum. Kedua, era kebebasan berserikat
sehingga muncul banyak serikat buruh yang merupakan representasi buruh dalam
hubungan industrial. Kedua hal tersebut telah membuka peluang bagi pekerja dan
serikat pekerja untuk berpartisipasi dalam perubahan kebijakan ketenagakerjaan.
Pada kenyataannya peluang partisipasi serikat pekerja dalam penetapan
kebijakan ketenagakerjaan belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Salah satu
faktor penyebab kecilnya peluang partisipasi serikat pekerja adalah kebijakan
pemerintah yang membuat mekanisme penentuan kebijakan itu sendiri yang tidak
demokratis bagi buruh (Wirahyoso, 2002).
Hasil jajak pendapat yang telah dilakukan Kompas (Mei 2007) tentang
posisi pekerja, pengusaha dan pemerintah memperkuat pernyataan tersebut.
Sebanyak 73.6 persen dari 832 sampel pekerja menjawab bahwa peran pemerintah
dalam penetapan standar upah minimum tidak memadai dan lebih jauh sebanyak
76.3 persen pekerja menganggap penetapan upah minimum yang layak oleh
pemerintah belum memadai. Jajak pendapat tersebut menyimpulkan bahwa
sebahagian responden menganggap seluruh kebijakan ketenagakerjaan selama ini
lebih banyak merugikan pekerja (Sultani, 2007). Meski pemerintah dan pengusaha
memberi peluang kepada pekerja untuk menuntut hak melalui kebebasan
berserikat namun perjuangan pekerja selama ini terperangkap diantara
kepentingan pemerintah dan pengusaha. Perusahaan cenderung membuat aturan
15
yang dapat menekan kesejahteraan pekerja untuk mempertahankan keuntungan.
Sementara pemerintah cenderung membatasi upah minimum pekerja untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi.
Tidak adanya dampak negatif bagi pekerja dan pengusaha serta tidak
memperburuk kondisi perekonomian adalah harapan para pelaku ekonomi dalam
memikirkan dan merealisasikan kebijakan ketenagakerjaan. Tetapi gejolak
ketenagakerjaan dewasa ini memang nyata terjadi. Berbagai tuntutan pekerja
untuk memperoleh imbalan kerja selalu menimbulkan ketegangan diantara pihak
pekerja, pengusaha dan pemerintah. Kuat dugaan ketiga pihak kokoh
memperjuangkan kepentingan masing-masing sehingga penyelesaian kasus
hubungan industrial menjadi konflik yang berkepanjangan.
Tabel 4. Perkembangan Kasus Pemogokan di Era Otda
Tahun
Kasus
Tenaga Kerja
Jam Kerja Hilang
Pemogokan
Terlibat (orang)
(jam)
(kasus)
2001
174
109 845
1 165 032
2002
220
97 325
769 142
2003
161
68 114
648 253
2004
112
48 092
497 780
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial (2007).
Gejolak ketenagakerjaan yang relatif sering terjadi adalah pemogokan atau
unjuk rasa. Pemogokan adalah upaya serikat pekerja untuk menekan dan
memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja (Simanjuntak, 2006).
Banyaknya kasus pemogokan setiap tahun seperti pada Tabel 4 mencerminkan
adanya: (1) ketidakpuasan di kalangan pekerja karena tuntutan pekerja tidak
16
dipenuhi pihak perusahaan,dan (2) ketidakharmonisan hubungan antara pekerja
dan pengusaha.
Penyebab utama dari sejumlah kasus pemogokan selama era otda
bersumber
dari
ketidakpuasan
pekerja
tentang
upah.
Hasil
penelitian
Depnakertrans (2005) faktor utama pemicu kasus pemogokan tenaga kerja adalah
masalah upah yang tidak mencukupi biaya hidup pekerja. Hal ini bisa dipahami,
meskipun setiap tahun pemerintah telah berupaya melakukan penyesuaian upah
minimum yang secara nominal terus meningkat namun nilai riil hanya mampu
memenuhi rata-rata 89.63 persen dari Kebutuhan Hidup Minimum (BPS, 2006).
Beberapa faktor penyebab lain kasus pemogokan adalah adalah katidakpuasan
kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan tunjangan kerja,
permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan terhadap metode
kerja baru yang diterapkan perusahaan.
Berdasarkan sektor, jumlah kasus pemogokan lebih sering terjadi pada
sektor industri seperti pada Tabel 5.
Tabel 5. Perkembangan Kasus Pemogokan Sektoral di Era Otda
Kasus
Sektor
Perkembangan (%)
2001
2002
2003
2004
2001
2002
2003
2004
6
3
1
2
3.45
1.36
0.62
1.79
Industri
127
163
125
91
72.99
74.09
77.64
81.25
Jasa
28
52
33
16
16.09
23.64
20.50
14.29
Lain
13
2
2
3
7.47
0.91
1.24
2.68
174
220
161
112
100
100
100
100
Pertanian
Total
Sumber : Depnakertrans, Ditjen Binawas (2007).
17
Pada dasarnya pemogokan tenaga kerja (TK) dibenarkan olah pemerintah
berdasarkan UU No. 13 tahun 2003. Dinyatakan bahwa pemogokan TK dapat
dibenarkan bila dilakukan secara sah, tertib, damai dan sebagai akibat gagalnya
perundingan. Namun pada kenyataannya, kasus pemogokan TK yang terjadi tidak
selaras dengan yang diatur dalam UU ketenagakerjaan. Kasus pemogokan relatif
sering terjadi disertai dengan tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas
umum, dan mengganggu kepentingan umum.
Maraknya kasus pemogokan dewasa ini tidak dapat dipandang hanya
sebagai masalah
antara pihak pekerja dan pihak perusahaan dalam proses
produksi. Masalah kasus pemogokan terkait dan mempengaruhi keadaan
perekonomian,
kestabilan
politik,
keamanan,
produktifitas
kerja
dan
perkembangan investasi. Artinya perubahan keseimbangan di pasar TK
berdampak pada perubahan keseimbangan makro.
2.3.
Keragaan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia
2.3.1. Kesempatan Kerja
Ada beberapa masalah mendasar struktural yang secara langsung
mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja di Indonesia. Permasalahan tersebut
(i) menyangkut kebijaksanaan kependudukan, (ii) berkaitan dengan penyebaran
penduduk antara Pulau Jawa dan luar Jawa, (iii) menyangkut kualitas tenagakerja,
(iv) berkaitan dengan adanya kesenjangan antara program pendidikan dengan arah
pembangunan, (v) kurang berkembangnya informasi pasar tenagakerja sehingga
menimbulkan kesenjangan permintaan dan penawaran tenagakerja dan (vi)
berkaitan dengan perkembangan di sektor pertanian dan industri.
18
Menyangkut permasalahan mendasar yang terakhir, memasuki tahun 2000,
sektor pertanian masih merupakan sektor penting meskipun pangsanya dalam total
perekonomian dari tahun ke tahun mengecil. Tampaknya pekerjaan di sektor
pertanian tidak menarik bagi tenaga tenaga terdidik, sehingga tingkat kesempatan
kerja sektor pertanian menurun dengan meningkatnya jenjang pendidikan. Artinya
sebagian besar golongan tenaga terdidik memilih menganggur sambil menunggu
terbukanya lapangan pekerjaan yang dikehendaki. Hal tersebut mengakibatkan
tingkat pengangguran semakin tinggi dengan jenjang pendidikan .
Jumlah penduduk usia kerja sampai dengan akhir tahun 2004 mencapai
152.65 juta orang, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 67.7 persen merupakan angkatan kerja yang juga mengalami
peningkatan. Namun peningkatan jumlah angkatan kerja tersebut masih belum
diikuti oleh peningkatan kualitas yang tercermin dari masih besarnya proporsi
angkatan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu mencapai 63.5 persen.
Survey dari United Nation Development Program (UNDP) menunjukkan bahwa
Human Development Index (HDI) Indonesia masih berada pada peringkat 109
dari 147 negara (BI, 2005).
Ditinjau berdasarkan lapangan usaha terjadi penurunan jumlah pekerja di
sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Meskipun mengalami penurunan, sektor
pertanian masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar (42.5 persen),
disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran (19.6 persen), sektor industri
pengolahan (13.7 persen), dan sektor jasa-jasa (11.9 %). Sejalan dengan dominasi
sektor pertanian sebagai penyedia lapangan kerja, jenis pekerjaan juga didominasi
oleh tenaga usaha pertanian (42.1 persen). Disusul tenaga produksi (25.4 persen),
19
dan tenaga usaha penjualan (18.4 persen). Jumlah pekerjaan yang berprofesi
sebagai tenaga kepemimpinan dan tenaga profesional masih sangat kecil, yaitu
masing-masing 0.4 persen dan 3.5 persen dari penduduk yang bekerja (BI, 2005).
Meskipun jumlah penduduk yang bekerja tercatat meningkat, jumlah
penduduk yang bekerja dengan status formal mengalami penurunan, sedangkan
jumlah penduduk yang bekerja dengan status informal mengalami peningkatan.
Perkembangan ini mengindikasikan adanya peralihan pekerja dari sektor formal
ke sektor informal sehingga pangsa pekerja di sektor formal semakin menurun
sebagaimana kecenderungan yang terjadi sejak tahun 1997.
Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal bersumber dari
penurunan jumlah penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan, yang
merupakan status pekerjaan terbanyak. Di sisi lain, terjadi peningkatan pada
jumlah penduduk yang berusaha dengan dibantu buruh tetap. Perkembangan
tersebut mengindikasikan bahwa jumlah unit usaha formal sebenarnya mengalami
peningkatan pada tahun 2004 namun secara keseluruhan usaha formal tersebut
mempekerjakan lebih sedikit karyawan dibandingkan tahun 2003. Sementara itu
jumlah penduduk yang bekerja di sektor informal mengalami peningkayan sebesar
1.6 persen, yang disebabkan oleh terjadinya kenaikan jumlah pekerja bebas dan
jumlah orang yang berusaha sendiri tanpa dibantu anggota keluarga atau buruh
tetap.
2.3.2. Pengangguran
a. Indonesia
Pengangguran tidak hanya menampilkan masalah ekonomi Indonesia,
tetapi juga membawa dampak luas di bidang sosial, keamanan dan politik yang
20
pada gilirannya menimbulkan gangguan, stabilitas nasional dan akhirnya menjadi
ketegangan dalam hubungan antar bangsa-bangsa di kawasan sekitar Indonesia.
Melambatnya kegiatan ekonomi 2004 sebagai dampak dari rendahnya investasi,
meningkatnya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta masih rendahnya
tingkat
pendidikan
angkatan
kerja
mengakibatkan
angka
pengangguran
diperkirakan semakin meningkat. Jumlah penganggur sampai dengan akhir 2004
mencapai 38.4 juta orang, yang terdiri dari 9.5 juta orang penganggur terbuka dan
28.9 juta orang setengah penganggur.
Masih tingginya jumlah penganggur tersebut tidak terlepas dari rendahnya
tingkat pertumbuhan yang hanya mampu menyerap penambahan tenaga kerja
sebanyak 0.8 juta orang, sementara penambahan angkatan kerja baru periode yang
sama mencapai 1.7 juta. Hal ini mengakibatkan tingkat pengangguran terbuka
meningkat dari 9.50 persen pada tahun 2003 menjadi 9.86 persen pada tahun
2004.
Ditinjau dari komposisi tingkat pendidikan, penganggur terbuka
didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (tidak berpendidikan hingga
berpendidikan SD dan berpendidikan SLTP).
b.
Indonesia Dibanding Negara Tetangga
Diantara beberapa negara yang diamati (Malaysia, Philippina, Thailand
dan Korea Selatan), Philippina menduduki peringkat teratas dalam hal tingkat
pengangguran.
Pengamatan secara data saja memanglah tidak tepat karena
konsep dasar tentang penganggur di tiap negara yang diamati tidaklah persis
sama. Menurut Brooks (2002), laju kesempatan kerja Philippina tidak mencukupi
untuk menurunkan angka pengangguran karena pertumbuhan populasi dan
peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja yang pesat.
Dalam papernya
21
Brooks memperlihatkan bahwa pertumbuhan kesempatan kerja dan penurunan
pengangguran Philippina berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan GDP dan
berkorelasi secara negatif dengan upah minimum riil.
Tingkat pengangguran di Malaysia menunjukkan penurunan yang nyata
sampai dengan menjelang resesi di akhir tahun 1990.
Thailand relatif
berfluktuasi, sementara Korea Selatan menunjukkan kecenderungan yang relatif
stabil. Krisis yang melanda asia telah menyebabkan suatu lompatan terhadap
tingkat pengangguran di kelima negara, namun kemudian tingkat pengangguran
di Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan relatif cepat kembali menurun. Tidak
demikian halnya dengan Indonesia dan Philippina.
2.3.3. Permasalahan Ketenagakerjaan
a. Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas adalah rasio output dan input suatu proses produksi dalam
periode tertentu (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007). Produktivitas input tenaga
kerja (TK) menggambarkan kemampuan individu TK dalam menghasilkan output
nasional (produktivitas parsial TK). Gambaran perubahan produktivitas TK
Indonesia secara sektoral sangat dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi
Indonesia. Adanya perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang menitik
beratkan pada sektor industri moderen yang padat modal sementara menempatkan
sektor pertanian sebagai sektor pendukung sangat mempengaruhi produktivitas
TK secara sektoral.
Produktivitas sektoral selama periode sebelum dan selama otda
diperlihatkan pada Tabel 6.
22
Tabel 6. Perkembangan Produktifitas Sektoral di Era Otda
Tahun
Produktivitas Sektoral
Pertanian
Industri
Jasa
Pertumbuhan Produktivitas Sektoral
Total
Pertanian
Industri
Jasa
Total
2001
1.31
7.20
4.61
3.63
4.06
0.66
-9.44
2.35
2002
1.30
7.43
5.07
3.73
-0.23
3.22
10.10
2.74
2003
1.29
8.53
5.65
3.92
-0.86
14.70
11.26
5.09
2004
1.39
8.93
5.55
3.99
7.60
4.81
-1.63
1.83
Rata-rata
1.32
8.02
5.22
3.82
2.65
5.52
2.57
3.00
Sumber: Data sekunder diolah.
Tabel 6 memperlihatkan produktivitas rata-rata secara sektoral maupun
secara total meningkat setelah memasuki era otda. Produktivitas terendah pada
sektor pertanian yang hanya mencapai 1.30 juta rupiah per TK per tahun sebelum
otda dan meningkat hanya menjadi 1.32 juta rupiah per TK per tahun pada era
otda. Pertumbuhan produktivitas sektoral rata-rata pada era otda meningkat di
banding sebelum memasuki era otda.
Hasil kajian depnakertrans tentang produktivitas TK sektor pertanian
menyimpulkan kecil kemungkinan dapat merealisasikan harapan rencana TK
nasional
bahwa
sektor
pertanian
menjadi
harapan
mengurangi
jumlah
pengangguran. Rata-rata angka produktivitas sektor pertanian paling rendah
diantara sektor lainnya di era otda.
Beberapa faktor penyebab rendahnya produktivitas sektor pertanian dapat
dianalisa dari segi umur dan tingkat pendidikan TK sektor pertanian. Hasil kajian
Managara (2004) menyimpulkan sebaran tenaga kerja pertanian (di luar perikanan
dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa, sebagian
besar berada pada umur 25-44 tahun (46 persen), kemudian kelompok umur diatas
45 tahun (38 persen), dan kelompok umur kurang dari 25 tahun (16 persen).
23
Mengamati komposisi umur tenaga kerja tersebut dikhawatirkan sektor pertanian
akan kekurangan TK di masa depan. Sektor pertanian menunjukan tren aging
agriculture , yaitu suatu kondisi dimana tenaga kerja yang berada di pertanian
adalah tenaga kerja yang berusia lanjut. Dari sisi umur, TK pertanian sampai saat
ini masih didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah,
yang jumlahnya mencapai 81% dari tenaga kerja pertanian.
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan produktivitas dari sisi makro adalah pertumbuhan dalam persediaan
modal dan perubahan teknologi. Persediaan modal (stock of capital) adalah
jumlah total modal yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Adanya
peningkatan modal menyebabkan setiap pekerja dapat memproduksi output lebih
banyak. Perubahan teknologi menggambarkan perkembangan teknologi baru yang
memungkinkan pekerja berproduksi lebih efektif dan menghasilkan output yang
lebih berkualitas. Sebagai contoh perkembangan teknologi komputer pada
dasarnya membuka peluang bagi pertumbuhan produktivitas. Namun sejalan
dengan perkembangan teknologi diperlukan pekerja yang lebih berkualitas pula.
b. Pemogokan Tenaga Kerja
Masih banyaknya pengusaha yang belum memenuhi ketentuan UMP dan
tuntutan lainnya telah memicu terjadinya kasus pemogokan buruh di Indonesia.
Sampai dengan tahun 2004, tercatat 112 kasus pemogokan yang melibatkan
48092 pekerja dan menyebabkan 497780 jam kerja hilang. Meskipun
jumlah
kasus pemogokan mengalami peningkatan, dampak pemogokan terhadap
penurunan produktivitas mengalami penurunan karena jam kerja yang hilang lebih
sedikit dibandingkan pada kasus pemogokan tahun 2003. Selain disebabkan oleh
24
masalah pemenuhan UMP, beberapa faktor lain pemicu kasus pemogokan adalah
katidakpuasan kerja, perlakuan tidak adil, tuntutan perbaikan fasilitas dan
tunjangan kerja, permasalahan gender, masalah uang Jamsostek dan penolakan
terhadap metode kerja baru yang diterapkan perusahaan.
c. Permasalahan TKI
Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri pada tahun
2004 ditandai dengan diberlakukannya kebijakan baru pemerintah Malaysia yang
lebih keras terhadap tenaga kerja ilegal. Hal ini memicu eksodus besar-besaran
TKI ilegal di Malaysia untuk kembali ke tanah air. Pemberlakuan kebijakan baru
pemerintah Malaysia ini sangat berdampak terhadap TKI Indonesia mengingat
negara ini merupakan negara tujuan terbesar bagi TKI. Selain berdampak pada
meningkatnya jumlah pencari kerja di tanah air, pemulangan TKI ilegal tersebut
diperkirakan mempengaruhi perekonomian desa yang selama ini bergantung pada
kiriman uang dari TKI (BI, 2005).
2.4.
Kebijakan Ketenagakerjaan
Pemerintah telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi
warga negara sebagaimana diamanatkan dalam ayat (2) Pasal 27 UUD 1945 :
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.
Dalam amandemen UUD 1945 tentang ketenagakerjaan juga
disebutkan dalam pasal 28d UUD 1945.
Hal tersebut berimplikasikan pada
kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negara agar dapat memperoleh
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk itu perlu perencanaan di bidang
ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara.
25
Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan pasal 2 serta
pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000, telah menetapkan kewenangan
yang besar di bidang ketenagakerjaan bagi pemerintah, propinsi dan kabupaten/
kota yang meliputi perencanaan sampai pengendalian. Pada era otonomi daerah
ini UU No. 13 tahun 2000 tentang ketenagakerjaan telah memberikan landasan
yang kuat atas kedudukan dan peranan Perencanaan Tenaga Kerja dan informasi
ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 yang menggariskan
Perencanaan Tenaga Kerja sebagai pedoman penyusunan strategi kebijakan dan
pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
Kebijakan normatif ketenagakerjaan mengkaji hubungan antara pekerja
dan pengusaha. Hubungan ini merupakan suatu sistem sikap dan perilaku yang
terbentuk diantara para pelaku proses produksi barang dan jasa, yaitu pekerja,
pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Hubungan ini dapat digambarkan dalam
bentuk pola kerja sama, konflik dan penyelesaian konflik antara pekerja dan
pengusaha.
Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di
Indonesia meliputi kebijakan tentang pengupahan, hubungan kerja antara pekerja
dan
pengusaha,
pengaturan
tentang
penyelesaian
perselisihan
termasuk
didalamnya pemogokan kerja, pengaturan tentang pemutusan hubungan kerja
termasuk didalamnya uang pesangon, pengaturan jam kerja, pengaturan organisasi
pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lainlain. Sebagai contoh, keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang
ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 dan Undang-undang no. 2 / 2004 tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketiga kebijakan ini membuat beban
26
pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK)
ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan
pelanggaran berat.
2.4.1. Upah Minimum
Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh masih tingginya jumlah
pengangguran terbuka antara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar
(bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah. Hal ini tercermin dari relatif
kecilnya kenaikan UMP yang ditetapkan. Upah minimum di Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Secara rata-rata UMP tahun 2004 mencapai
Rp.476932 per bulan atau meningkat 7.4 persen dibanding tahun 2003.
Meskipun terjadi peningkatan UMP di tahun 2004, namun peningkatan ini
secara riil masih lebih rendah dibandingkan peningkatan Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM) yang pada tahun 2004 mencapai sekitar Rp 500763 per bulan
atau meningkat 8.6 persen dibanding tahun 2003. Relatif tingginya indeks harga
konsumen menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pekerja sebagaimana
terlihat dari kenaikan UMP riil yang melambat dari 22.4 persen pada tahun 2003
menjadi 7.3 persen pada tahun 2004.
Secara sektoral, UMP sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor keuangan menempati urutan teratas.
Sementara untuk propinsi, UMP tertinggi ada di beberapa propinsi seperti
Kalimantan Tengah, Irian Jaya, Maluku, dan Maluku Utara pada sektor
pertambangan.
27
2.4.2.
Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-undang no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial telah diberlakukan pada bulan April tahun 2004. UU ini
ditetapkan sebagai dasar hukum baru setelah UU N0. 22 tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU No. 12 tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dianggap sudah tidak sesuai
denga kebutuhan masyarakat. UU lama dianggap oleh berbagai pihak terlalu
didominasi pemerintah dalam hubungan industrial sehingga tidak sesuai bagi
Indonesia yang semakin demokratis dan terdesentralisasi. Disamping itu UU baru
ini dilatar belakangi era industrialisasi yang ditandai dengan semakin
kompleksnya masalah perselisihan hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja
dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.
Ada banyak kontroversi panjang seputar UU No. 2 tahun 2004 ini. Kedua
belah pihak yaitu pihak pengusaha dan pihak buruh sama-sama keberatan dengan
argumen yang berbeda. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai
kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK,
uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan
juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Sementara pihak buruh
yang diwakili oleh Komite Anti Penindasan Buruh (KAPB) merasa UU ini tidak
berpihak pada buruh dan masih bernuansa legalisasi perbudakan modern.
Menurut Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Saepul Tavip (dalam Kompas)
ada beberapa alasan yang mendasari KAPB tidak sepakat dengan UU No. 2 tahun
2004, diantaranya secara substansi perlindungan terhadap buruh masih rendah.
28
Di satu sisi, kebijakan dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi
pekerja.
Namun, di sisi lain kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat
mengurangi daya serap pasar kerja.
Pada akhirnya hal tersebut justru akan
berdampak negatif bagi pekerja.
2.4.3.
Kebijakan Penyediaan Lapangan Kerja
Pemerintah telah berupaya melakukan penanganan semakin meningkatnya
tingkat penganguran. Penanganan dilakukan baik melalui: (i) Program Jaring
Pengaman Sosial (JPS), (ii) program penanggulangan pengangguran akut, (iii)
program penanggulangan pengangguran baru dan (iv) program penanggulangan
pengangguran marjinal (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Namun terkesan upayaupaya tersebut hanya mampu mengalihkan tenaga kerja berlebih ke sektor-sektor
padat karya dalam rangka memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Dengan
demikian, kebijakan penyediaan lapangan kerja yang telah diberlakukan hanya
bersifat jangka pendek (Hadi, 2002).
Disamping itu untuk menciptakan lapangan kerja, yang utama dibutuhkan
adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi yang jauh
dari target maka adalah tepat jika pemerintah merasa perlu memikirkan strategi
pertumbuhan melalui iklim usaha yang kondusif berupa pembenahan peraturan di
pasar kerja dan bidang lainnya. Pengalaman masa lalu dimana sejumlah investor
asing (PT. Doson dan megaindustri elektronik Sony) menutup usahanya di
Indonesia jelas telah berakibat hilangnya sebahagian lapangan pekerjaan.
29
2.5.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.5.1.
Kesempatan Kerja
Lucas (1969), telah menganalisis tentang upah riil, kesempatan kerja, dan
inflasi (Lucas dalam Mankiw, 2000).
Ia menyimpulkan bahwa keputusan
penawaran tenaga kerja sebagai pilihan yang dibuat pekerja antara bekerja atau
menganggur. Pekerja mempunyai beberapa pemahaman mengenai upah riil yang
akan mereka terima dari bekerja. Mereka kemudian memutuskan apakah akan
bekerja atau tidak dengan membandingkan upah riil dengan keuntungan yang
didapat dari waktu istirahatnya. Jika upah riil yang diharapkan lebih tinggi dari
biasanya pekerja akan mempunyai semangat untuk bekerja. Sebaliknya jika upah
lebih kecil dari biasanya pekerja akan memilih untuk menganggur dan menunggu
sampai upah riil naik. Da1am pengertian ini, pengangguran diterangkan sebagai
pilihan sukarela oleh pekerja yang menunggu naiknya upah riil sampai di atas
tingkat normal.
Calvo-Armengol dan Jackson (2004) mengembangkan sebuah model
datam penelitiannya tentang dampak social net work pada kesempatan kerja dan
ketidak adilan. Mereka menyimpulkan bahwa kesempatan kerja secara positif
berkaitan dengan waktu dan agen.
Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kesempatan kerja di wilayah Jawa (tanpa DKI Jaya) dan Bali. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kesempatan kerja di setiap sektor umumnya dipengaruhi
PDB regional masing-masing sektor. Kesempatan kerja sektor dipengaruhi faktor
investasi untuk sektor-sektor jasa perkotaan, pertanian dan jasa pedesaan,
sedangkan upah kerja menentukan kesempatan kerja sektor pertanian perkotaan.
30
Di beberapa kasus dilaporkan penggunaan mesin industri dan traktor berperan
sebagai substitusi tenaga kerja.
Sukwika
(2003)
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesempatan kerja di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan bahwa
kesempatan kerja sektor industri di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh investasi
sektor industri, pendapatan regional sektor industri dan jumlah pengangguran.
Kesempatan kerja sektor pertanian di Kabupaten Bogor dipengaruhi oleh upah riil
sektor pertanian, investasi sektor pertanian dan jumlah pengangguran.
Kalangi (2006) dalam penelitian yan berjudul Penaran Investasi di Sektor
Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan TK dan Distribusi Pendapatan
telah menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan investasi di sektor
pertanian dan agroindustri terhadap kesempatan kerja. Penelitian tersebut
menyimpulkan perkiraan kesempatan kerja yang dapat diciptakan pada tahun
2007 berkisar antara 1.8 juta sampai4.9 juta orang, atau rata-rata sebesar 2.5 juta
orang. Setiap kenaikan satu persen PDB, tambahan kesempatan kerja yan tercipta
rata-rata 419 ribu orang.
2.5.2.
Tingkat Pengangguran
Samuelson dan Solow (1960), telah menganalisis kebijakan anti inflasi
untuk kasus Amerika Serikat (Samuelson dan Solow dalam Mankiw, 2000).
Mereka menerangkan bahwa karena upah adalah sebuah komponen utama biaya
(sekitar 60 - 70 persen untuk sebagian besar negara maju), dan karena biaya tinggi
direfleksikan dalam harga yang tinggi, maka tingkat inflasi seharusnya
berhubungan secara terbalik dengan tingkat pengangguran.
Semakin tinggi
tingkat inflasi maka semakin rendah tingkat pengangguran dan semakin rendah
31
tingkat inflasi maka semakin tinggi tingkat penganggurannya. Penelitian tersebut
telah mengembangkan hubungan kurva Phillips yang kita kenal dewasa ini.
Brooks (2002) telah menganalisis secara detail tentang mengapa tingkat
pengangguran Philippina relatif tinggi dibandingkan dengan beberapa negara asia
lain (Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia).
Ia juga telah
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja dan upah
nominal di Philippina. Hasil analisis Brooks menunjukkan bahwa pertumbuhan
kesempatan kerja dan pengangguran berkaitan erat dengan GDP rill. Peningkatan
10 persen GDP riil akan meningkatlkan total kesempatan kerja sebesar 7-9 persen.
Hubungan yang sama juga ditunjukkan pada sektor pertanian, industri, dan jasa.
Tingkat pengangguran berhubungan secara negatif dengan pertumbuhan GDP.
Hubungan antara kesempatan kerja dan upah minimum menunjukkan korelasi
yang relatif rendah. Peningkatan upah minimum 10 persen akan menyebabkan
penurunan agregat kesempatan kerja sebesar 5 - 6 persen. Analisis berdasarkan
sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian kurang sensitif dan sektor jasa lebih
sensitif terhadap upah minimum dibandingkan dengan kesempatan kerja di sektor
industri. Tingkat pengangguran juga berkorelasi positif dengan peningkatan upah
minimum riil.
Sukwika (2003) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
pengangguran di Kabupaten Bogor. Hasil analisis menyimpulkan peningkatan
jumlah pengangguran dipengaruhi oleh peningkatan jumlah angkatan kerja dan
penurunan kesempatan kerja.
Erisman (2003) dalam penelitian yang berjudul Analisis Ekonomi Pasar
TK di Wilayah DKI Jakarta, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
32
jumlah pengangguran di DKI Jakarta. Hasil penelitian menyimpulkan faktor yang
paling berpengaruh terhadap peningkatan jumlah pengangguran di Wilayah DKI
Jakarta adalah peningkatan jumlah penduduk.
2.5.3. Kebijakan Ketenagakerjaan
Pada dasarnya, kajian mengenai kebijakan ketenajakerjaan dapat dilihat
dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi penyediaan lapangan kerja. Dari berbagai
aspek normatif kebijakan ketenagakerjaan ini, upah minimum lebih banyak
mendapat perhatian para peneliti sebelumnya. Kajian-kajian tersebut meliputi
kajian dari sisi dampak upah minimum secara agregrat maupun secara individu.
Hasil penelitian Syafrida (1999) selama periode 1970-1997 menunjukkan
bahwa peningkatan upah minimum berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga
kerja. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di antara sektor pertanian, industri dan jasa,
peningkatan upah minimum berpengaruh cukup besar terhadap permintaan tenaga
kerja di sektor pertanian dan jasa.
Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Peneliti Semeru terhadap 200
pekerja di lebih dari 40 perusahaan di wilayah Jabotabek dan Bandung
menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang
tidak sama terhadap semua jenis pekerja. Pengaruh negatif terutama terjadi pada
tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan
terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya tenaga kerja perempuan,
pekerja muda usia, pekerja dengan tingkat pendidikan rendah dan pekerja kasar.
Hadi (2002), dalam studinya yang berjudul Dampak Kebijakan
Pemerintah terhadap Keragaan Pasar Kerja dan Migrasi pada periode Krisis dan
Sebelum Krisis, menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kesempatan kerja
33
sektoral, pengangguran dan upah riil sektoral pada periode krisis dan sebelum
krisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrika dan data seluruh
propinsi di Indonesia kecuali DKI dari tahun 1990 – 1999. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa: (i) jumlah penciptaan kesempatan kerja khususnya sektor
industri lebih besar pada periode sebelum krisis ekonomi dibandingkan periode
krisis ekonomi tetapi sebaliknya untuk sektor pertanian dan jasa, (ii) jumlah
pengangguran lebih responsif terhadap kesempatan kerja dan (iii) upah riil
sektoral lebih responsif terhadap upah minimum regional sektoral dan kebutuhan
hidup minimum dibandingkan faktor tingkat inflasi.
Suryahadi dkk (2003) memperlihatkan peningkatan upah minimum
berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sekfor formal perkotaan.
Penerapan kebijakan tersebut hanya menguntungkan kelompok pekerja kerah
putih. Penelitian yang menggunakan data Survei Tenaga Kerja Nasional Badan
Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1988 hingga tahun 2000 ini memperlihatkan
bahwa untuk semua pekerja secara umum, perkiraan elastisitas penyediaan
lapangan kerja total terhadap upah minimum adalah minus 0.1.
Dari semua
kelompok pekerja yang mengalami dampak negatif terbesar dari kebijakan upah
minimum yang dijalankan pemerintah saat ini adalah kelompok perempuan
pekerja, pekerja usia muda, dan pekerja kurang terdidik.
Besaran elastisitas
penyediaan lapangan kerja total terhadap upah minimum untuk kelompok pekerja
perempuan dan pekerja usia muda adalah minus 0.307. Adapun besaran elastisitas
untuh pekerja yang kurang terdidik adalah sebesar minus 0.196. Satu-satunya
yang diuntungkan dari kebijakan upah minimum adalah kelompok pekerja kerah
putih yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas penyediaan lapangan kerja terhadap
34
upah minimum sebesar positif 1 persen. Penelitian ini meyimpulkan, penerapan
upah minimum menyebabkan terjadinya substitusi pekerjaan yang berbeda.
Ketika upah minimum meningkat, perusahaan mengganti pekerja mereka dengan
pekerja kerah putih yang lebih terdidik dengan investasi untuk proses produksi
yang lebih padat modal dan dengan keterampilan lebih tinggi.
Card dan Krueger (1994) melakukan survey dampak peningkatan upah
minimum pada 410 restoran siap saji di New Jersey dan Pensylvania berkaitan
dengan peningkatan upah minimum di New Jersey dari $ 4.25 menjadi $ 5.0l per
jam. Mereka juga melakukan studi perbandingan kesempatan kerja, upah dan
harga pada sampel restoran sebelum dan sesudah terjadinya peningkatan upah
minimum. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan upah minimum di New
Jersey tidak menurunkan kesempatan kerja pada restoran siap saji. Kesimpulan
ini tentunya berlawanan dengan model-model upah minimum secara teoritis.
Kesimpulan penelitian tersebut banyak menimbulkan reaksi dari penelitipeneliti lain. Sebagai contoh Kennan (1995) melakukan penelitian pada restoran
siap saji yang serupa (Burger King, Wendy’s dan KFC) di negara bagian ini untuk
waktu yang berbeda (Card dan Krueger awal Maret sedangkan Kennan pada bulan
Nopember dan Desember). Penelitian Kennan menyimpulkan bahwa kenaikan
upah minimum menurunkan kesempatan kerja.
Hasil kajian Neumark dan
Waschr (2000) dan Levin-Waldman, Oren M (2002) juga menghasilkan
kesimpulan yang sama dengan Kennan dan mereka berpendapat bahwa metode
yang digunakan dalam penelitian Card dan Krueger tidak mengeksplorasi
konsekuensi kenaikan upah minimum terhadap pasar-pasar yang terkait.
35
Zavodny (2000) melakukan kajian tentang dampak upah minimum
terhadap kesempatan kerja dan jam kerja dengan menggunakan data negara
bagian dan individual panel data di Amerika serikat. Rata-rata data tahunan
negara bagian digunakan untuk mengetahui efek upah minimum pada keseluruhan
kesempatan kerja dan rata-rata jam kerja per minggu para pekerja muda. Data
individu digunakan untuk mengetahui apakah pekerja muda kehilangan jam kerja
dengan upah yang tinggi sejalan dengan peningkatan upah minimum.
Ia
menyimpulkan bahwa : (a) pada level negara bagian, peningkatan upah minimum
dapat menurunkan kesempatan kerja tetapi tidak menurunkan jam kerja,
sedangkan (b) pada level individu, tidak menunjukkan bahwa peningkatan upah
minimum memberi dampak negatif pada jam kerja.
Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya
adalah penelitian ini mengkaji secara eksplisit bagaimana pengaruh shock di pasar
tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat
pengangguran dan transmisinya pada keseimbangan ekonomi makro pada era
otonomi daerah berdasarkan disagregrasi yang lebih detail dalam rangka lebih
menggambarkan kondisi nyata perilaku pasar tenaga kerja di Indonesia.
36
Tabel 7. Studi Terdahulu Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran
No. Studi Empiris
Model
Kekhususan Studi
Dalam Negeri
1.
Safrida (1999)
Makroekonomi
Dampak kebijakan makroekonomi terhadap perilaku
pasar kerja dan indikator makroekonomi Indonesia.
2.
Erisman (2003)
Pasar Tenaga
Kerja
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pasar
kerja dan terjadinya pengangguran di DKI Jakarta.
3.
Hadi (2002)
Pasar Kerja dan
Migrasi
Dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar
kerja dan migrasi pada periode krisis da sebelum krisis
ekonomi di Indonesia.
4.
Kalangi (2006)
Input-Output
Menganalisis efek pengganda dari adanya kegiatan
investasi di sektor pertanian dan agroindustri terhadap
kesempatan kerja
5.
Mangkuprawira
(2000)
Perilaku Pasar
kerja
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
angkatan kerja, kesempatan kerja, upah riil dan
produktivitas kerja di wilayah Jawa dan Bali.
6.
Sukwika (2003)
Pasar Tenaga
Kerja dan
Migrasi
Menganalisis keterkaitan pasar TK dan migrasi di
kabupaten Bogor meliputi angkatan kerja, kesempatan
kerja, pengangguran dan upah terhadap perubahan
struktur dan pengembangan wilayah.
7.
Suryahadi (2003)
Distribusi Upah
dan penyerapan
Tenaga Kerja
Survey dampak peningkatan upah minimum terhadap
penyerapan TK di sektor formal perkotaan (Jabotabek
dan Bandung).
Luar Negeri
8.
Card dan Krueger Upah minimum
(1994)
Survey (awal maret) dampak peningkatan upah
minimum thd pekerja di restoran siap saji di New
Jersey dan Pensylvania.
9.
Kennan (1985)
Upah minimum
Survey (Nov dan Des) dampak peningkatan upah
minimum thd pekerja di restoran siap saji di New
Jersey dan Pensylvania.
10.
Neumark dan
Waschr (2000)
Upah minimum
Survey dampak peningkatan upah minimum thd
pekerja di restoran siap saji di New Jersey dan
Pensylvania.
11.
Zavodny (2000)
Upah minimum
Dampak upah minimum terhadap kesempatan kerja di
AS (data negara bagian dan panel individu).
12.
Levin-Waldman
Oren M (2002)
Struktur Upah
Regional
Pengaruh upah minimum thd struktur upah regional di
AS.
III. KERANGKA TEORI
3.1.
Pasar Tenaga Kerja
Pasar tenaga kerja adalah pasar dimana ada sejumlah pembeli dan penjual
faktor produksi tenaga kerja. Pembeli input tenaga kerja adalah perusahaan dan
penjual input tenaga kerja adalah rumah tangga.
Perusahaan diasumsikan
menentukan jumlah tenaga kerja yang akan dibeli dalam upaya mendapatkan
keuntungan maksimal. Sementara rumah tangga diasumsikan sebagai pihak yang
memiliki input tenaga kerja untuk dijual kepada perusahaan.
Dalam analisis pasar tenaga kerja, perilaku pihak pemilik input tenaga
kerja diilustrasikan sebagai kurva penawaran tenaga kerja. Kurva penawaran
tenaga kerja menunjukkan hubungan antara jumlah jam kerja per hari yang
bersedia ditawarkan pada berbagai tingkat upah (Arfida, 2005).
Upah (W)
S
C
W2
W1
B
A
W0
O
L0
L1
Waktu Kerja
(Jam per hari)
Gambar 1. Penawaran Tenaga Kerja yang Melengkung ke Belakang
Sumber : Pindyck and Rubinfeld, 2001 (dimodifikasi).
38
Kurva penawaran tenaga kerja mempunyai kemiringan positif karena dengan
kenaikan upah seseorang mungkin secara sukarela bersedia untuk mengurangi
waktu luang (leisure) untuk bekerja lebih lama seperti pada Gambar 1.
Namun, kurva penawaran tenaga kerja dapat melengkung ke belakang
(backward-bending) karena bila tingkat upah terus meningkat pada akhirnya jam
kerja yang ditawarkan dapat turun karena orang memilih untuk menikmati lebih
banyak waktu luang dan lebih sedikit bekerja. Gambar 1 diasumsikan bahwa
seorang pekerja mempunyai fleksibilitas untuk memilih berapa jam per hari harus
bekerja. Upah mengukur jumlah uang yang harus dikorbankan pekerja untuk
menikmati waktu luang. Pada tingkat upah di W0, jumlah jam kerja yang
ditawarkan L0. Bila upah naik, misalkan di W1, jumlah jam kerja yang ditawarkan
meningkat menjadi L1. Bila upah meningkat lagi, misalkan di W2, jumlah jam
kerja yang ditawarkan menurun menjadi L0. Mengapa terjadi penurunan jumlah
jam kerja yang ditawarkan? Hal tersebut disebabkan pada tingkat upah di W1,
kebutuhan pekerja telah terpenuhi sebesar OW1BL1. Pada saat upah meningkat
misalkan di W2, meskipun kebutuhan pekerja telah dapat terpenuhi perssis sebesar
OW1BL1, jumlah jam kerja yang ditawarkan pekerja menurun menjadi L0 dan
memilih lebih banyak menikmati waktu luang karena kebutuhan telah terpenuhi.
Namun yang harus kita cermati adalah standar kebutuhan setiap individu berbeda.
Studi kasus yang dilakukan di negara maju menunjukkan elastisitas
peningkatan upah terhadap penawaran jam kerja pada kelompok keluarga dengan
sumber penghasilan suami dan istri dengan maupun tanpa anak menunjukkan nilai
negatif. Artinya kelompok keluarga tersebut berada pada bagian kurva penawaran
yang melengkung ke belakang. Namun, perekonomian makro Indonesia dicirikan
39
oleh nilai upah minimum yang hanya mampu memenuhi 89.63 persen KHM dan
tingkat pengangguran serta inflasi yang relatif tinggi. Dengan karakteristik
tersebut untuk kasus Indonesia secara agregat, kuat dugaan nilai elastisitas
penawaran jam kerja akibat kenaikan upah masih positif. Artinya penawaran
agregat tenaga kerja Indonesia masih pada kurva yang melengkung ke atas.
Kurva permintaan faktor input tenaga kerja adalah permintaan turunan
(derived demand). Permintaan tenaga kerja bergantung pada dan berasal dari
tingkat output yang dihasilkan dan biaya input tenaga kerja itu sendiri. Kurva
permintaan tenaga kerja menunjukkan jumlah input tenaga kerja yang akan dibeli
oleh perusahaan pada berbagai tingkat upah.
Jika diasumsikan perusahaan
menjual outputnya pada pasar persaingan sempurna maka perusahaan adalah
sebagai penerima harga di pasar output. Dengan demikian nilai produksi marjinal
tenaga kerja adalah sama dengan produk marjinal tenaga kerja (MVPL) dikalikan
harga output (PY), secara matematis: MVPL = MPL .PY . Karena kenaikan hasil
yang semakin berkurang terhadap input tenaga kerja maka produk marjinal tenaga
kerja turun ketika jumlah jam kerja bertambah. Dengan demikian, kurva nilai
produk marjinal akan turun melengkung ke bawah meskipun harga output tetap
konstan. Kurva MVPL ini disebut sebagai kurva permintaan input tenaga kerja.
Keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai sebagai hasil interaksi antara
rumah tangga sebagai penjual dengan perusahaan sebagai pembeli input tenaga
kerja (Nicholson, 2002). Secara grafis, keseimbangan pada pasar tenaga kerja
digambarkan oleh perpotongan antara kurva penawaran tenaga kerja dan kurva
permintaan tenaga kerja. Dari perpotongan ini akan diperoleh jumlah tenaga kerja
yang diserap pasar dan upah keseimbangan pasar seperti pada Gambar 2.
40
Upah
S0
S1
E0
W0
Wminimum
E1
W1
D
L0
L1
Jumlah Tenaga
Kerja
Gambar 2. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 2 memperlihatkan bahwa upah keseimbangan (W0) pada pasar
tenaga kerja ditentukan oleh penawaran tenaga kerja (S0) dan permintaan tenaga
kerja (D). Kondisi keseimbangan E0 sangat sulit dicapai di Indonesia. Hal ini
disebabkan jumlah tenaga kerja yang masuk ke pasar kerja Indonesia (S0) tidak
sebanding dengan jumlah ketersediaan lapangan kerja (D). Pergeseran kurva
penawaran tenaga kerja menjadi S1 akan menurunkan upah menjadi W1 meskipun
jumlah tenaga kerja yang terserap di pasar kerja bertambah menjadi L1. Dalam
kondisi seperti ini diperlukan kebijakan upah minimum yang merupakan standar
normatif dan jaring pengaman (safety net) bagi pekerja/ buruh. Standar normatif
artinya upah minimum telah ditetapkan dalam bentuk undang-undang yang
memiliki aturan sanksi secara hukum bila tidak dilaksanakan oleh perusahaan.
Jaring pengaman dimaksud agar tingkat upah tidak terus menurun pada level
terendah dan mencegah terjadinya eksploitasi pekerja/ buruh.
41
3.2.
Kebijakan Upah Minimum
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
memberi pengertian pada upah sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan (Depnakertrans, 2004b). Pemerintah Indonesia telah melakukan
intervensi terhadap penentuan upah dalam bentuk penetapan kebijakan upah
minimum sejak tahu 1970. Pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an kebijakan
upah minimum belum bersifat normatif. Disamping itu pemerintah mengontrol
secara ketat (hanya ada satu serikat pekerja).
Ada dua alasan utama mengapa sejak awal tahun 1990-an terjadi
perubahan besar pada kebijakan ketenagakerjaan. Pertama, serikat independen
mulai didirikan yang hingga saat ini sudah mencapai 68 organisasi pekerja (Smeru
Research Team, 2004). Kedua, pemerintah mulai memperkuat pelaksanaan upah
minimum dan nilai upah minimum terus meningkat karena adanya tekanan dari
dalam dan luar negri. Dari dalam negri, pengambil keputusan dalam pemerintahan
bependapat bahwa para pekerja tidak memperoleh bagian yang adil dari kue
pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pernah dialami Indonesia. Dari luar negri,
Amerika Utara dan Uni Eropa menuduh Indonesia mengeksploitasi para pekerja
dengan memberikan kondisi kerja buruk, upah rendah, dan menghalangi hak
pekerja untuk membentuk serikat pekerja. Dengan latar belakang tersebut,
kebijakan ketenagakerjaan dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-
42
undangan dan telah mengalami beberapa perubahan perundang-undangan yang
berlaku seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Perundang-undangan tentang Kebijakan Upah
Minimum di Indonesia.
No. Bentuk Peraturan
Tanggal
1.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-01/ Men/ 12 januari 1999
1999
2.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI 5 Oktober 2000
No. Kep-226/ men/ 2000
Sumber : Depnakertrans, 2005.
Pada dasarnya, kebijakan upah minimum di Indonesia merupakan salah
satu upaya perlindungan terhadap para pekerja/ buruh baru yang berpendidikan
rendah, tidak mempunyai pengalaman, mempunyai masa kerja di bawah satu
tahun, dan lajang/ belum berkeluarga (Priyono, 2002).
Tujuannya untuk
mencegah tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan dalam memberikan
upah kepada pekerja/ buruh baru dengan kondisi tersebut.
Namun dalam
pelaksanaannya penegakan kebijakan upah minimum ini telah melatarbelakangi
keputusan pengusaha yang mempekerjakan buruh untuk menaikkan upah secara
individu di semua golongan pekerja (Wirahyoso, 2002). Fenomena ini disebut
upah sundulan, yaitu mengacu pada fenomena pendorong naiknya upah semua
buruh sebagai dampak naiknya upah buruh yang sebelumnya berada di bawah
upah minimum akibat kebijakan upah minimum (Priyono, 2002).
43
3.2.1. Pasar Tenaga Kerja yang Bersaing
Studi terdahulu juga secara teori belum dapat menyimpulkan secara pasti
besarnya dampak kebijakan upah minimum terhadap kesempatan kerja di
Indonesia.
Namun secara teoritis dapat dipastikan bahwa kebijakan upah
minimum akan memberikan dampak yang berbeda pada struktur pasar yang
berbeda. Dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif, penetapan upah minimum di
atas tingkat upah keseimbangan pasar akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang
terserap oleh pasar tenaga kerja sehingga akan menyebabkan pengangguran.
Kajian teoritis ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.
Upah
Upah
S
WM
F
’
ME = AE’= S’
Upah minimum
E
*
WC = MVPL*
ME= AE= S
D = MVPL
LM
LC
*
LM’
(a)
Jumlah Tenaga
Kerja
D = MVPL
LM
LC
*
Jumlah Tenaga
Kerja
(b)
Gambar 3. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja
Bersaing
Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 3 memperlihatkan bahwa (a) keseimbangan pasar tenaga kerja
dalam struktur persaingan sempurna dan (b) penggunaan input tenaga kerja oleh
44
perusahaan dengan modal tetap pada struktur persaingan sempurna. Pada struktur
pasar tenaga kerja yang bersaing, penawaran tenaga kerja yang dihadapi
perusahaan bersifat elastis sempurna dan identik dengan kurva pengeluaran
marjinal (ME) dan juga kurva pengeluaran rata-rata (AE).
Pada upah
keseimbangan pasar (WC*) perusahaan akan memepekerjakan input tenaga kerja
sebanyak LC*. Pada struktur pasar tenaga kerja yang bersaing ini jelas terlihat
bahwa upah buruh dibayar sesuai dengan produktifitas buruh tersebut
( WC* = MVPL* ).
Intervensi pemerintah pada upah dalam bentuk kebijakan upah minimum
pada struktur pasar persaingan sempurna akan menyebabkan tingkat upah WM
berada di atas upah keseimbangan.
Pada tingkat upah WM (Gambar 3.2.b),
perusahaan akan mengurangi penggunaan input tenaga kerja dari LC* menjadi LM.
Jika perusahaan tetap menggunakan tenaga kerja sebanyak LC*, perusahaan tidak
akan memaksimumkan keuntungan.
Hal ini disebabkan pada tingkat upah
minimum yang lebih tinggi tersebut, tenaga kerja yang digunakan dapat lebih
sedikit karena perusahaan mampu mendapatkan produktifitas fisik marjinal yang
lebih tinggi dari tenaga kerja yang digunakannya. Ketika hanya ada satu input
yang dapat dirubah, asumsi produktifitas marjinal tenaga kerja menjamin bahwa
peningkatan upah tenaga kerja akan menyebabkan lebih sedikit tenaga kerja yang
digunakan perusahaan (Nicholson, 2002). Pada saat yang bersamaan (Gambar
3.2.a), lebih banyak tenaga kerja yang ditawarkan pada tingkat upah WM. Dalam
struktur pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna, intervensi pemerintah dalam
bentuk penetapan upah minimum dapat menyebabkan terjadinya kelebihan
penawaran tenaga kerja sebesar LM’-LM. Dapat disimpulkan bahwa pada pasar
45
tenaga kerja yang bersaing, penerapan kebijakan upah minimum dapat
menyebabkan pengangguran sebesar LM’- LM.
3.2.2. Pasar Tenaga Kerja Monopsoni
Perusahaan yang berada dalam struktur pasar tenaga kerja monopsoni
menghadapi kurva penawaran pasar untuk seluruh input dan berslope positif.
Namun pada struktur pasar monopsoni, kurva penawaran tenaga kerja yang
dihadapi perusahaan tidak identik dengan kurva pengeluaran marjinal. Kurva
penawaran pasar tenaga kerja tersebut memperlihatkan berapa banyak tenaga
kerja yang harus perusahaan bayarkan per unit sebagai fungsi jumlah total unit
tenaga kerja yang dibeli perusahaan. Dengan kata lain kurva penawaran tenaga
kerja tersebut adalah kurva pengeluaran rata-rata perusahaan (AE). Karena kurva
AE berslope positif maka kurva pengeluaran marginal perusahaan (ME) harus
terletak di atas kurva S. Keputusan untuk membeli satu unit tambahan tenaga
kerja menaikkan harga yang harus dibayarkan untuk semua unit tenaga kerja,
bukan hanya untuk satu unit tambahan tenaga kerja tersebut.
Untuk memperoleh kurva pengeluaran marjinal secara matematis adalah
sebagai berikut:
E = W ⋅ L ................................................................................................. (1)
Pengeluaran marjinalnya:
ME =
∂E
⎛ ∂W
= W + L⎜
∂L
⎝ ∂L
⎞
⎟ ......................................................................... (2)
⎠
Karena kurva penawaran berslope positif maka ∂W/∂L adalah positif dan
pengeluaran marjinalnya lebih besar daripada pengeluaran rata-rata.
46
Selanjutnya jika perusahaan bertujuan untuk mencapai manfaat ekonomi
semaksimal mungkin, maka secara defenisi perusahaan akan berusaha membuat
perbedaan sebesar mungkin antara nilai penerimaan dan nilai pengeluaran dari
pembelian tenaga erja. Secara matematis, manfaat bersih (NB) perusahaan dari
pembelian tenaga kerja adalah sebagai berikut:
NB = V − E ............................................................................................. (3)
Keterangan:
V = nilai penerimaan perusahaan dari pembelian tenaga kerja
E = nilai pengeluaran perusahaan dari pembelian tenaga kerja
Manfaat bersih dapat dimaksimalkan apabila:
∂NB
∂L
= 0 , maka:
∂NB
∂L
=
∂V ∂E
−
∂L ∂L
= 0 ...................................................................... (4)
MV − ME
= 0 ...................................................................... (5)
MV
= ME .................................................................. (6)
Persamaan (6) menunjukkan bahwa untuk memaksimumkan manfaat, perusahaan
seharusnya mempekerjakan tenaga kerja dimana manfaat tambahan pembelian
satu tenaga kerja adalah tepat sama dengan biaya marjinal atas penggunaan
tambahan satu tenaga kerja.
Namun, pada kasus dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni,
perusahaan akan menghadapi kurva penawaran tenaga kerja yang berarah positif.
Akibatnya perusahaan membeli tenaga kerja dengan jumlah yang lebih sedikit dan
upah yang lebih rendah dibandingkan yang terjadi dalam struktur pasar tenaga
kerja yang bersaing. Selanjutnya juga akan diuraikan secara teoritis bahwa dalam
pasar tenaga kerja dimana perusahaan mempunyai kekuatan monopsoni,
47
penetapan upah minimum di atas tingkat upah monopsoni tetapi masih di bawah
tingkat upah struktur pasar bersaing akan meningkatkan kesempatan kerja seperti
pada Gambar 4.
Upah
ME
S = AE
E
MVPL
F
WM
WN
Upah Minimum
*
D = MVPL
LN
*
LM
Jumlah Tenaga
Kerja
Gambar 4. Dampak Kebijakan Upah Minimum di Pasar Tenaga Kerja
Monopsoni
Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 4 memperlihatkan bahwa pada syarat keseimbangan ME = MVPL
jumlah tenaga kerja yang dapat dipekerjakan perusahaan adalah sebanyak LN* dan
upah yang dibayarkan adalah sebesar WN*.
Upah yang dibayarkan oleh
perusahaan monopsoni ditentukan dari kurva penawarannya (upah WN* sendirilah
yang menimbulkan penawaran LN*). Akibatnya terlihat bahwa biaya marjinal atas
penggunaan tambahan satu tenaga kerja melebihi upah pasar. Demikian pula WN*
dan LN* lebih sedikit dibandingkan dengan upah dan jumlah tenaga kerja yang
seharusnya berlaku dalam suatu pasar yang bersaing. Dapat dikatakan bahwa
pada LN* perusahaan membayar upah buruh kurang dari yang seharusnya
dibayarkan. Perbedaan antara produktifitas buruh dengan upah yang diterima
tersebut menggambarkan eksploitasi tenaga kerja (buruh).
48
Kondisi perbedaan antara upah dan produktifitas akan semakin merugikan
pekerja bila kurva penawaran tenaga kerja yang dihadapi perusahaan monopsoni
semakin inelastis.
Jika penawaran tenaga kerja semakin kurang responsif
terhadap upah rendah maka perusahaan monopsoni dapat mengambil keuntungan
yang semakin banyak pada situasi tersebut (Pindyck, 2001).
Pendekatan
matematis dari kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila persamaan (2)
dikalikan W dan dibagi W maka akan menjadi:
⎛ L ∆W ⎞
ME = W + W ⎜ ⋅
⎟ ......................................................................... (7)
⎝ W ∆L ⎠
berdasarkan persamaan (6) maka:
⎛ 1
MV = W + W ⎜⎜
⎝ εS
MV − W ⎛ 1
= ⎜⎜
W
⎝ εS
⎞
⎟⎟ ................................................................................. (8)
⎠
⎞
⎟⎟ .................................................................................... (9)
⎠
Berdasarkan persamaan (9), suatu pasar yang bersaing memiliki elastisitas
penawaran tenaga kerja ε S = 0 sehingga MV = W .
Namun, jika perusahaan
memiliki kekuatan monopsoni, maka perusahaan dapat membeli tenaga kerja
dengan upah di bawah nilai marjinalnya. Sejauhmana upah diturunkan di bawah
nilai marjinalnya bergantung pada elastisitas penawaran tenaga kerja yang
dihadapi perusahaan sebagai pembeli. Jika penawaran sangat leastis ( ε S besar )
maka penurunan upah akan kecil dan perusahaan akan mempunyai kekuatan
monopsoni yang kecil (upah akan mendekati apa yang seharusnya terjadi dalam
pasar persaingan sempurna). Sebaliknya jika elastisitas penawaran tenaga kerja
tidak elastis maka penurunan upah menjadi besar dan perusahaan sebagai pembeli
tenaga kerja akan mempunyai kekuatan monopsoni yang sangat besar.
49
3.2.3. Dampak Kebijakan Upah minimum di Indonesia
Penjelasan sebelumnya telah membuktikan bahwa kekuatan monopsoni
mengakibatkan upah dan penyerapan tenaga kerja yang lebih rendah. Pemerintah
dapat melakukan intervensi untuk membuat posisi pekerja tidak terlalu dirugikan.
Akan dilakukan pendekatan secara teoritis alasan pentingnya penetapan kebijakan
upah minimum terhadap pekerja dengan status 4 (buruh/ karyawan) di Indonesia.
Pendekatan yang akan digunakan adalah dengan membandingkan surplus
konsumen dan surplus produsen yang berasal dari struktur pasar persaingan
sempurna dengan surplus yang terjadi ketika perusahaan monopsoni adalah satusatunya pembeli seperti pada Gambar 5.
Upah
ME
S = AE
A
B
WC
WN
*
Deadweight Loss
C
D
E
D = MVPL
LN
*
LC
Jumlah Tenaga
Kerja
Gambar 5. Surplus Produsen dan Konsumen pada Pasar Monopsoni
Sumber : Nicholson, 2002 (dimodifikasi).
Gambar 5 memperlihatkan keuntungan perusahaan monopsoni dapat
dimaksimumkan dengan membeli tenaga kerja sebanyak LN* dengan upah WN*
sehingga nilai penerimaan marjinal akan sama dengan nilai pengeluaran marjinal
50
perusahaan.
Selanjutnya akan dianalisis bagaimana surplus konsumen dan
produsen berubah bila upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar yang bersaing
(WC dan LC) kita rubah menjadi upah dan jumlah tenaga kerja pada pasar
monopsoni (WN* dan LN* ), seperti pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Surplus Produsen dan Surplus Konsumen dari Kekuatan
Monopsoni
Surplus
Pasar Persaingan Pasar Monopsoni
Sempurna
Selisih
Konsumen (Perusahaan) A+B
A+D
+D-B
Produsen (Pekerja)
E
-C-D
C+D+E
Surplus Bersih
-B-C
Sumber : Gambar 5.
Dengan monopsoni maka upah akan lebih rendah dan tenaga kerja yang
terserap di pasar kerja lebih sedikit. Karena upah yang lebih rendah, pekerja
kehilangan sejumlah surplus yang diberikan oleh segi empat D.
Selain itu,
pekerja sebagai penjual jasa tenaga kerja kehilangan surplus yang diberikan oleh
segi tiga C karena penjualan yang berkurang. Oleh karena itu, total kerugian
surplus pekerja sebagai produsen jasa tenaga kerja adalah sebesar C+D.
Perusahaan sebagai pembeli jasa tenaga kerja memperoleh surplus yang diberikan
oleh segi empat D dengan membeli tenaga kerja dengan upah yang lebih rendah.
Namun, perusahaan membeli lebih sedikit tenaga kerja (LN*-LC) sehingga
kehilangan surplus sebesar segi tiga B. Total kelebihan surplus bagi perusahaan
adalah D-B. Secara keseluruhan terdapat kerugian bersih surplus sebesar luas segi
tiga B+C (deadweight loss) akibat kekuatan monopsoni. Deadweight loss adalah
51
biaya sosial yang ditanggung oleh pekerja karena adanya ketidakefisienan pasar
monopsoni tenaga kerja.
Dari perbandingan teoritis dua struktur pasar di atas jelas terlihat bahwa
pada pasar tenaga kerja monopsoni, adalah beralasan bagi pemerintah untuk
menerapkan kebijakan upah minimum sebesar WM = WC untuk menghilangkan
deadweight loss dari kekuatan monopsoni.
Dengan penetapan ini dapat
meningkatkan upah dari WN* menjadi WM sementara penyerapan tenaga kerja
juga akan meningkat dari LN* menjadi LM. Berbeda dengan dampak penetapan
kebijakan upah minimum pada struktur pasar persaingan sempurna, kebijakan
upah minimum pada pasar monopsoni justru berdampak pada peningkatan upah
maupun penyerapan tenaga kerja.
Menurut hasil kajian Suryahadi (2003) belum ada bukti empiris yang
menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia secara umum bersifat
monopsoni.
Ada beberapa kecenderungan adanya kekuatan monopsoni pada
perusahaan-perusahaan besar di daerah-daerah yang relatif terisolasi di luar jawa.
Namun, untuk membangun gambaran realistis tentang bagaimana identifikasi
struktur pasar tenaga kerja secara umum di Indonesia dapat diamati melalui data
jumlah pencari kerja dan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Data tenaga kerja
(BPS, 2005) menunjukkan bahwa jumlah lapangan pekerjaan formal yang tersedia
(29.2 juta pekerja) jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerja
(102.9 juta pekerja). Diperkuat pula dengan studi empiris oleh Priyono (2002)
bahwa indikasi di lapangan memperlihatkan bahwa kekuatan tawar menawar
(bargaining power) pengusaha di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan
52
kekuatan buruh. Dari dua karakteristik di atas dapat diasumsikan bahwa struktur
pasar tenaga kerja Indonesia cenderung mengarah pada struktur pasar monopsoni.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan sistem pengupahan yaitu
Upah Minimum yang terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap.
Penetapan upah minimum pada prinsipnya didasarkan atas faktor-faktor : (1)
Kebutuhan dasar hidup pekerja dengan keluarganya, (2) Tingkat upah pada
sektor-sektor industri dan usaha-usaha lainnya, (3) Keadaan perekonomian pada
umumnya dan perusahaan pada khususnya yang dikaitkan dengan pembangunan
daerah dan pembangunan nasional, (4) Kemampuan perusahaan di sektor yang
bersangkutan.
Dalam penetapan upah minimum di Indonesia didasarkan pada kebutuhan
hidup pekerja lajang yang telah mengalami dua kali perubahan.
penetapan upah minimum yang didasarkan
(KFM) dan kedua, didasarkan
Pertama,
pada Kebutuhan Fisik Minimum
pada Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Kebutuhan fisik Minimum adalah kebutuhan minimum seorang pekerja yang
diukur menurut jumlah kalori, protein, vitamin-vitamin, dan bahan mineral
lainnya yang diperlukan sesuai dengan tingkat kebutuhan minimum seorang
pekerja dengan syarat-syarat kesehatan (Depnakertrans, 2004b).
Menurut Depnakertrans, dengan perkembangan teknologi dan sosial
ekonomi yang cukup pesat maka dirasakan penetapan upah minimum didasarkan
pada KFM sudah tidak sesuai lagi. Pemerintah beranggapan dasar kebutuhan
hidup layak dapat lebih meningkatkan produktifitas kerja dan produktifitas
perusahaan sehingga pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas
nasional. Namun pada awalnya penetapan upah minimum berdasarkan KHM
53
mendapat koreksi yang relatif besar dari pekerja karena mereka beranggapan hal
tersebut dapat berimplikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan
masyarakat terutama para pekerja level bawah.
3.3.
Keterkaitan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan Ekonomi Makro
Teori ekonomi makro tradisional difokuskan pada analisis variabel
ekonomi agregat tertentu. Teori tersebut cenderung mengagregatkan ekonomi
menjadi empat pasar yaitu : (1) Pasar barang, (2) Pasar uang, (3) Pasar Obligasi
dan (4) pasar tenaga kerja. Terkait dengan hukum Walras maka hanya tiga dari
keempat pasar ini yang independen. Dengan demikian salah satu dari pasar ini
dapat dihapuskan, karena keseimbangannya dapat dijamin oleh keseimbangan
ketiga pasar yang lainnya.
Secara tradisional, pasar obligasilah yang akan
dihilangkan dan analisisnya difokuskan pada ketiga pasar yang lainnya. Dengan
demikian, defenisi teori ekonomi makro dapat dikembangkan dalam konteks pasar
barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja.
Menurut Romer (1996) dikotomi dalam sistem klasik sudah pecah.
Perubahan keseimbangan pada salah satu pasar dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan di pasar lainnya melalui mekanisme transmisi. Secara keseluruhan
sistem dalam ekonomi makro saling berhubungan (Mankiw, 2000). Pasar tenaga
kerja dan pasar lainnya secara makro ikut menentukan jumlah penyerapan tenaga
kerja. Pada khususnya, ini berarti bahwa kebijakan moneter dan fiskal dapat
mempengaruhi tingkat pengangguran dan output nasional begitu pula sebaliknya.
Sebagai contoh, diberlakukannya kebijakan peningkatan upah minimum.
Secara makro, upah berpengaruh terhadap pendapatan nasional baik secara
54
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, upah akan mempengaruhi
produktivitas kerja dan mengakibatkan output yang dihasilkan meningkat. Secara
kumulatif hal ini akan meningkatkan produksi nasional dan pada akhirnya
meningkatkan pendapatan nasional. Secara tidak langsung, peningkatan upah
akan meningkatkan daya beli pekerja untuk mengkonsumsi barang-barang. Hal
ini mengakibatkan permintaan barang meningkat, sehingga mendorong pengusaha
untuk meningkatkan produksinya.
Peningkatan produksi akan memperluas
kesempatan kerja, dan akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional.
Hubungan ini dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6.
AE=C+I+G+X-M
Eq Ps
IS
AE=Y
AD
MD=L(r,Y)
Eq Ps Uang
Equilibrium Makro
LM
MS/P=MD
AS = AD
Fungsi
Produksi
AS
Indikator Makro:
1. Pengangguran
2. Inflasi
3. Output nasional
DTK=P.f(L)
Eq Ps TK
STK = DTK
STK=Pe.g(L)
Gambar 6. Skema Hubungan Pasar Tenaga Kerja dan Keseimbangan
Ekonomi Makro
Sumber: Mankiw, 2000.
55
3.3.1. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisinya
Teori ekonomi makro tradisional dapat dirangkumkan sebagai berikut
(Mankiw, 2000):
Keseimbangan pasar tenaga kerja
: Pe . g (L) = P . f (L)
Fungsi produksi
: Y = f (L)
Keseimbangan pasar barang (IS)
: Y = C (Y – T) + I (r) + G + X – M
Keseimbangan pasar uang (LM)
: MS/P = MD (r,Y)
Keterangan:
Pe
= Ekspektasi indeks harga umum.
P
= Indeks harga umum.
L
= Jumlah tenaga kerja.
Y
= Output nasional.
C
= Konsumsi.
T
= Pajak.
I
= Investasi.
r
= Suku bunga.
G
= Pengeluaran pemerintah.
X
= Ekspor.
M
= Impor.
MS/P = Penawaran uang riil.
MD
= Permintaan uang.
Secara teoritis, idealnya output selalu berada pada tingkat penggunaan
tenaga kerja penuh atau full employment (Branson, 1976). Namun pada
kenyataannya kondisi ketenagakerjaan (digambarkan oleh pasar tenaga kerja)
tampaknya menyesuaikan diri secara lambat terhadap perubahan permintaan
agregat. Dalam dunia nyata informasi adalah tidak sempurna. Para pengusaha
mengetahui informasi harga dengan sempurna sementara tidak demikian halnya
dengan para pekerja. Akibatnya besar pergeseran kurva permintaan tenaga kerja
tidak sama besar dengan pergeseran kurva penawaran tenaga kerja. Keadaan ini
lebih jelas diperlihatkan pada contoh kasus seperti pada Gambar 7.
56
WS1 = P1e.g(L)
W
WS0 = P0e.g(L)
W0
B
W2
A
1
W
1
WD0 = P0.f(L)
WD1 = P1.f(L)
L2
AS
L1
L0
A
Y
Y0
L
Y= f (L)
B
Y1
(a) Pasar TK dan Fungsi
Produksi
L2 L1
r
r
L0
L
LM (P1)
r
LM (P0)
r2
r0
B
r2
A
r2
A
r0
I (r)
I1 I0
M
P0
r1
B
r0
M
P1
B
A
IS
Y1
I
Y0
Yriil
LD0
LD1
MS, MD
P
AS1
AS0
P1
B
P0
A
A
(b) Pasar Barang, Pasar
Uang dan Keseimbangan
Makro
AD0
Y1
Y0
Yriil
Gambar 7. Shock di Pasar Tenaga Kerja dan Transmisi
57
Gambar 7 memperlihatkan keseimbangan awal pada setiap pasar berada
pada titik A. Adanya kebijakan pemerintah yang menyesuaikan Upah Minimum
Propinsi
(UMP)
dengan
tingkat
inflasi
ditambah
kebijakan-kebijakan
ketenagakerjaan antara lain: (i) Keputusan Menteri no. 150 tahun 2000 tentang
pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan, (ii) Undang-undang
ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 tentang aturan mempekerjakan perempuan dan
(iii) Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dapat meningkatkan biaya operasional perusahaan sehingga menjadi
pemicu berkurangnya permintaan tenaga kerja.
Mekanisme perubahan
keseimbangan di pasar tenaga kerja akan mempengaruhi keseimbangan di semua
pasar secara makro.
Permintaan tenaga kerja berkurang, kurva permintaan tenaga kerja
bergeser ke kiri (D0 ke D1). Pada saat upah tetap di W0 akan terjadi kelebihan
penawaran tenaga kerja sehingga upah keseimbangan cenderung turun menjadi
W1. Bila diasumsikan adanya kebijakan upah minimum merupakan kendala bagi
perusahaan untuk menurunkan upah sementara diasumsikan informasi bersifat
tidak sempurna dan adanya kekuatan serikat pekerja untuk menuntut kenaikan
upah maka kurva penawaran tenaga kerja akan bergeser ke kiri atas (S0 ke S1).
Kesempatan kerja berkurang. Keseimbangan di pasar tenaga kerja terjadi pada
titik B (W2,L2). Pada fungsi produksi terlihat output berkurang (Y0 ke Y1).
Pada keseimbangan makro, penurunan output nasional karena efek di
pasar tenaga kerja di ilustrasikan dari pergeseran penawaran agregat AS ke kiri
atas (AS0 ke AS1). Pada indeks harga umum yang konstan di P0 terjadi kelebihan
58
(P0 ke P1).
permintaan agregat sehingga harga cenderung meningkat
Keseimbangan makro bergeser ke titik B (P1,Y1). Peningkatan indeks harga-harga
umum ke P1 menyebabkan perubahan keseimbangan di pasar uang dan pasar
barang. Kurva penawaran uang bergeser ke kiri (M/P0 ke M/P1), LM bergeser ke
kiri (LM(P0) ke LM(P1)). Keseimbangan IS-LM bergeser ke titik B(r2,Y1).
Kesimpulan dari adanya pemberlakuan kebijakan ketenagakerjaan pada
kasus di atas menimbulkan beberapa dampak secara makro. Dampak tersebut
adalah : i) penurunan growth dari Y0 ke Y1, ii) inflasi karena peningkatan indeks
harga-harga umum dari P0 ke P1, iii) penurunan kesempatan kerja dari L0 ke L2,
dan iv) peningkatan jumlah pengangguran sebesar selisih L0 dan L2.
3.3.2. Pengangguran
Dalam
pembahasan
ekonomi
makro
dibedakan
berbagai
jenis
pengangguran. Keynes membedakan pengangguran berdasarkan kesediaan
bekerja menjadi pengangguran yang disengaja (voluntary unemployment) dan
pengangguran yang tidak disengaja (unvoluntary unemployment). Pengangguran
yang disengaja terjadi bila ada pekerjaan tetapi orang yang menganggur tidak mau
menerima pekerjaan dengan upah yang berlaku untuk pekerjaan tersebut.
Pengangguran yang tidak disengaja terjadi bila seseorang bersedia menerima
pekerjaan dengan upah yang berlaku tetapi pekerjaannya tidak ada.
Menurut Lucas dalam Romer (1996), pengangguran disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha. Pekerja membuat
kesalahan mengenai upah riil dan melepas pekerjaannya atau menolak pekerjaan
59
yang ditawarkan karena upah yang terlalu rendah. Pengusaha juga membuat
kesalahan tentang permintaan dan kadang-kadang memproduksi dalam jumlah
yang terlalu kecil dan terlalu sedikit mempekerjakan pekerja.
Tetapi karena
manusia adalah mahluk rasional, yang melihat kedepan dalam membuat
pengharapan, kesalahan akan diperbaiki dengan segera dan pengangguran akan
hilang.
Keynes mengemukakan pendapat mengawali “The General Theory” -nya
dengan
menyerang
Hukum
Say,
yaitu
pandangan
bahwa
“penawaran
menciptakan permintaannya sendiri”. Menurut hukum ini, pengangguran adalah
hal yang tidak mungkin, karena setiap ada penawaran tenaga kerja (atau setiap ada
penawaran barang dalam ekonomi) maka akan ada permintaan untuk tenaga kerja
tersebut (atau permintaan untuk barang tersebut). Keynes kemudian berpendapat
bahwa permintaan agregat atau permintaan total menentukan penawaran dari
output dan tingkat tenaga kerja. Ketika permintaan tinggi, ekonomi akan makmur,
perusahaan akan berkembang dan mempekerjakan lebih banyak lagi tenaga kerja
dan masalah pengangguran akan terpecahkan. Tetapi ketika permintaan rendah,
perusahaan tidak akan mampu menjual barang mereka sehingga terpaksa
mengurangi produksi dan tenaga kerja. Apabila keadaan semakin memburuk,
maka akan tejadi pemecatan besar-besaran dan pengangguran yang tinggi.
Kondisi tingkat permintaan tenaga kerja yang rendah dibandingkan dengan
penawaran tenaga kerja tercermin di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertumbuhan
angkatan kerja Indonesia yang tinggi tidak dibarengi dengan pertumbuhan dan
skala ekonomi yang tinggi. Kondisi seperti ini terus berlangsung di Indonesia.
60
Sekarang
Indonesia
dikategorikan
sebagai
Labour
Surplus
Economy
Depnakertrans dan BPPS, 1999)
Pengangguran di Indonesia merupakan masalah ketenagakerjaan dan
masalah ekonomi yang serius karena menyangkut pemborosan dalam penggunaan
sumberdaya (Depnakertrans dan BPPS, 1999). Pemborosan ini terjadi sebagai
akibat belum dimanfaatkannya sumberdaya tenaga kerja ke arah kegiatan
produktif.
Kerugian akibat pemborosan akan merupakan beban yang harus
ditanggung negara, masyarakat dan individu. Beban yang ditanggung negara
menyangkut biaya pemeliharaan keamanan, ketenangan dan stabilitas kehidupan
masyarakat yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari pengangguran.
Masyarakat harus mengeluarkan biaya untuk penghidupan tenaga kerja yang
belum dimanfaatkan secara produktif. Individu akan menanggung beban moral,
merasa terasing, rendah diri, kehilangan kepercayaan dan penghargaan keluarga
dan masyarakat.
Dari berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pengangguran
dapat menyebabkan timbulnya keresahan dalam kehidupan masyarakat.
Pengangguran juga telah menyebabkan masyarakat kehilangan sebagian
produksi barang dan jasa akibat belum digunakannya sumberdaya tenaga kerja
tersebut. Sebagai contoh, kerugian akibat pengangguran siklis bagi masyarakat
adalah adanya output yang hilang karena perekonomian tidak beroperasi pada
tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Ukuran pertama atas kerugian itu adalah
seperti pada hukum Okun. Hukum Okun menyatakan bahwa untuk setiap laju
pertumbuhan GNP riil sebesar 2.2 persen di atas tingkat trend yang telah dicapai
61
pada tahun tertentu tingkat pengangguran akan menurun sebesar 1 persen
(Mankiw, 2000).
Terdapat kerugian tambahan bagi masyarakat akibat pengangguran, yang
sangat sulit untuk diukur. Kerugian itu timbul dari distribusi beban pengangguran
yang tidak merata antar penduduk yang ada. Pengangguran cenderung terpusat
pada kaum miskin dan hal ini membuat aspek distribusi pengangguran menjadi
masalah yang serius.
Pengangguran ini tidak dapat kita ukur secara mudah
meskipun seharusnya tidak boleh diabaikan.
3.3.3. Inflasi
Menurut Mankiw (2000) inflasi adalah peningkatan dalam seluruh tingkat
harga.
Inflasi dapat disebabkan oleh reaksi dari sisi permintaan dan sisi
penawaran.
Inflasi dorongan biaya disebut juga inflasi dari sisi penawaran
(supply shock inflation). Ada tiga faktor yang menyebabkan inflasi dari sisi
penawaran. Pertama, disebabkan oleh kenaikan upah yang merupakan tuntutan
serikat pekerja, yang disebut juga wage-push inflation.
Kedua, disebabkan
penetapan harga yang tinggi oleh industri monopolistik atau oligopolistik, yang
disebut juga profit-push inflation. Ketiga, disebabkan adanya transmisi inflasi
dari negara pengekspor ke negara pengimpor (import driven).
Prasyarat terjadinya wage-push adanya pasar tenaga kerja yang tidak
kompetitif, terutama dengan adanya serikat pekerja. Sementara prasyarat profit-
push inflation adanya pasar persaingan tidak sempurna. Penetapan harga, melalui
administered price yang jauh lebih besar dari biaya, dapat juga menyebabkan
62
inflasi. Peningkatan harga faktor, dengan cara yang sama seperti wage-push
menyebabkan bergesernya kurva penawaran agregat ke kiri menyebabkan inflasi
yang disebut cost-push inflation (Shapiro, 1978).
Mekanisme pergeseran kurva penawaran agregat, akibat terjadi perubahan
di pasar tenaga kerja, dalam hal ini tuntutan serikat pekerja untuk menaikan upah
dapat dilihat pada Gambar 8.
S1
W
P
AS1
S0
AS0
B
B
W1
P1
A
W0
A
P0
D0
L1
Y
L0
A
Y0
Y1
AD0
L
Y = f (L)
Y0
Y1
Yriil
Y
Y0
B
A
B
Y1
Gambar 8. Inflasi Dorongan-Biaya akibat Tuntutan Kenaikan Upah oleh
Serikat
L L
L Pekerja
Y Y
Y
1
0
1
0
riil
Sumber : Shapiro, 1978.
Gambar 8 memperlihatkan pada kondisi kurva AD tertentu, keseimbangan
awal terjadi pada saat kurva AD0 berpotongan dengan kurva AS0 pada tingkat
upah W0, tenaga kerja L0, produksi Y0 dan harga P0.
Jika serikat pekerja
63
menuntut kenaikan upah, pada tingkat harga tetap di P0, permintaan tenaga kerja
tetap di D0, sedangkan
upah meningkat dari W0 ke W1.
penawaran tenaga kerja bergeser ke kiri dari S0 ke S1.
Akibatnya kurva
Peregeseran kurva
penawaran tenaga kerja ke kiri menyebabkan jumlah faktor yang digunakan
menurun dari L0 ke L1, sehingga output menurun dari Y0 ke Y1. Dengan harga
tetap di P0, penurunan output dari Y0 ke Y1 menyebabkan kurva penawaran
agregat bergeser dari AS0 ke AS1.
Akibatnya terjadi excess demand yang
menyebabkan harga meningkat dari P0 ke P1. Kenaikan harga ini disebut wage-
push inflation.
Grafik sebelah kiri bawah merupakan kurva produksi dan grafik di kiri
atas merupakan kurva penawaran dan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga
kerja.
Pada permintaan tenaga kerja yang tetap, perubahan W menyebabkan
pergeseran kurva penawaran tenaga kerja, S. Hal ini menyebabkan kurva AS
bergeser. Dengan demikian shifter AS adalah upah, W. Jika dianalogkan upah
sebagai input, maka harga input lain juga merupakan shifter kurva AS. Dalam
jangka panjang, perubahan teknologi juga akan menggeser kurfa AS ke kanan
yang dapat menurunkan tingkat harga.
3.3.4. Kurva Phillips
Kurva Phillips dapat diterjemahkan kedalam kurva yang mengaitkan
perubahan upah dengan senjang keluaran dengan memperhatikan bahwa
pengangguran dan senjang ini mempunyai hubungan negatif.
Senjang resesi
berkaitan dengan tingkat pengangguran tinggi, dan senjang inflasi berkaitan
64
dengan tingkat pengangguran rendah. Kurva Phillips diperlihatkan pada Gambar
9.
(+)
(+)
Laju Perubahan
Laju Perubahan
W0
0
U0
U*
W0
0
Tingkat Pengangguran (%)
(-)
Y*
Y0
Pendapatan Nasional Riil
(-)
Gambar 9. Kurva Phillips
Sumber: Mankiw, 2000.
Kedua kurva di atas memberikan informasi yang sama. Senjang inflasi
(yang berkaitan dengan pengangguran rendah) berkaitan dengan kenaikan upah
relatif terhadap produktifitas. Sementara senjang resesi (yang berkaitan dengan
tingkat pengangguran tinggi) berkaitan dengan penurunan upah relatif terhadap
produktifitas.
Kurva Phillips menunjukkan bahwa laju inflasi upah menurun dengan
naiknya pengangguran. Laju inflasi upah dapat dinyatakan sebagai berikut
(Dornbusch, 1997):
gW =
W − W−1
W−1
…………………………………………………….. (10)
keterangan :
gW
= Laju inflasi upah
W
= Tingkat upah dalam periode ini
65
W-1
= Tingkat upah periode yang lalu
Kurva Phillips menyiratkan bahwa upah dan harga-harga menyesuaikan
diri secara lambat terhadap perubahan permintaan agregrat.
Mengapa bisa
demikian? Dimisalkan perekonomian berada dalam keadaan equilibrium dengan
tingkat harga yang stabil dan pengangguran dengan tingkat alamiahnya. Sekarang
ada kenaikan uang beredar sebanyak 10 persen.
Harga-harga dan upah
semestinya naik sebesar 10 persen agar perekonomian tersebut kembali kepada
keadaan equilibriumnya. Akan tetapi kurva Phillips menunjukkan bahwa bila
upah naik 10 persen angka pengangguran akan merosot. Ini akan mengakibatkan
tingkat upah mulai menanjak. Tingkat upah mulai naik, harga juga meningkat,
dan akhirnya perekonomian akan kembali kepada kondisi permulaan tenaga kerja
penuh.
Namun sementara itu, kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan
turunnya jumlah pengangguran.
Kurva Phillips yang digunakan para ekonom dewasa ini berbeda dalam
tiga hal dari hubungan yang dipelajari Phillips. Pertama, kurva Phillips modern
mensubtitusi inflasi harga untuk inflasi upah. Perbedaan ini tidak penting, karena
inflasi harga dan inflasi upah terkait erat. Dalam periode ketika upah meningkat
pesat, harga-harga juga meningkat pesat.
Kedua, kurva Phillips modern
mencakup inflasi yang diharapkan. Penambahan ini mengacu pada hasil kerja
Milton Friedman dan Edmund Phelps. Dalam mengembangkan model kesalahan
persepsi pekerja pada tahun 1960-an kedua ekonom ini menekankan pentingnya
harapan pada penawaran agregrat.
Ketiga, kurva Phillips modern mencakup
goncangan penawaran. Kredit untuk penambahan ini diberikan kepada OPEC,
66
organisasi negara-negara pengekspor minyak.
Pada tahun 1970-an, OPEC
menyebabkan kenaikan besar dalam harga minyak dunia yang membuat para
ekonom lebih menyadari pentingnya goncangan terhadap penawaran agregrat.
Kurva Phillips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan yaitu : 1).
Inflasi yang diharapkan (expected
inflation), 2). Defiasi pengangguran dari tingkat alamiah atau disebut
pengangguran siklikal (cyclical unemployment) dan 3). Goncangan penawaran
(supply shock). Tiga kekuatan ini ditunjukan dalam persamaan berikut (Mankiw,
2000):
π = π e − β (u − u n ) + v …………………………………..………….. (11)
dimana : π = Tingkat inflasi aktual
πe = Tinggat inflasi yang diharapkan
β = Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap pengangguran
siklikal
u = tingkat pengangguran aktual
un = tingkat pengangguran alamiah
v = goncangan tingkat pengangguran
3.4.
Bagan Alur Penelitian
Berdasarkan kerangka teori tentang keterkaitan pasar tenaga kerja dengan
keseimbangan di pasar uang, pasar barang dan keseimbangan makro maka
penelitian ini diharapkan mampu menjawab dampak kebijakan ketenagakerjaan
67
terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era
otonomi daerah. Bagan alur penelitian diilustrasikan seperti pada Gambar 10.
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN
1. Upah Minimum: → 89.63 % KHM.
→ Upah sundulan → Peningkatan W.
2. Kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial: Pekerja
dan pengusaha sama-sama diberatkan dengan argumen berbeda
→ Pemogokan dan unjuk rasa.
→ Maraknya sistem kontrak dan Outsourching.
Produksi Sektoral
Keseimbangan
Pasar TK
Penawaran
Agregat
Permintaan
Agregat
Keseimbangan
Pasar Barang
Keseimbangan
Makro
Keseimbangan
Pasar Uang
Indikator:
1. Tingkat Pengangguran
2. Tingkat Inflasi
3. Output Nasional
Gambar 10. Kerangka dan Bagan Alur Penelitian
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Model Ekonomi Pasar Tenaga Kerja dan Perekonomian Indonesia
Model merupakan suatu penjelasan dari fenomena aktual sebagai suatu
sistem atau proses (Koutsoyiannis, 1977). Model pasar TK dan perkonomian
Indonesia dibangun berdasarkan teori ekonomi dan kajian studi terdahulu. Pada
tahap awal dikaji fenomena ekonomi yang diduga akan terjadi jika pemerintah
memberlakukan berbagai kebijakan ketenagakerjaan. Tahapan membangun model
diilustrasikan seperti pada Gambar 11.
Model penelitian ini disusun dalam bentuk sistem persamaan simultan
yang terdiri dari 52 persamaan, yaitu 34 persamaan strukrtural dan 18 persamaan
identitas. Secara umum model dibagi dalam enam blok yaitu : (1) Blok Pasar
Tenaga Kerja, (2) Blok Fiskal, (3) Blok Penawaran Agregat, (4) Blok Permintaan
Agregat, (5) Blok Moneter, dan (6) Blok Keseimbangan Makro seperti pada Tabel
10. Keterkaitan peubah endogen diilustrasikan seperti pada Gambar 12.
4.1.1
Blok Pasar Tenaga Kerja
Blok pasar TK didisagregasi berdasarkan tingkat pendidikan dan sektor.
Disagregasi tingkat pendidikan didasarkan pada konsep bahwa hasil dari proses
pekerjaan dipengaruhi oleh faktor personal atau individu TK (Mangkuprawira dan
Hubeis, 2007). Dalam studi ini faktor personal TK diukur dari unsur pengetahuan
yang diproksi dengan tingkat pendidikan. Disagregasi sektor didasarkan pada
konsep bahwa perubahan keseimbangan di pasar TK mempunyai respon yang
berbeda pada setiap sektor (Sukwika, 2003).
69
Kebijakan Ketenagakerjaan di
Era Otda
Masalah dan Tujuan Penelitian
Teori Ekonomi
Kerangka Pemikiran
Studi Terdahulu
Model Pasar TK dan
Perekonomian Indonesia
Spesifikasi Model
Identifikasi dan Estimasi Model
Evaluasi/ Validasi Model
Aplikasi Model
ƒ Peubah yang relevan
ƒ Tanda dan besaran
Hipotesis
ƒ Sistem Persamaan
Simultan
Data time series
Kriteria:
ƒ Ekonomi
ƒ Statistika
ƒ Ekonometrika
ƒ Analisis Struktural
ƒ Evaluasi Kebijakan
Historis
ƒ Analisis Peramalan
Gambar 11. Tahapan Membangun Model Pasar TK dan
Perekonomian Indonesia
70
Tabel 10. Pembagian Blok Persamaan Model Pasar TK dan Perekonomian
Indonesia
Blok/ Persamaan
Jenis
Persamaan
1. Blok Pasar Tenaga kerja
A. Penawaran Tenaga Kerja (1-4)
(1). Penawaran TK berpendidikan rendah
Struktural
(2). Penawaran TK berpendidikan menengah
Struktural
(3). Penawaran TK berpendidikan tinggi
Struktural
(4). Penawaran TK total
Identitas
B. Permintaan Tenaga Kerja (5-20)
(5). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian
Struktural
(6). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor industri
Struktural
(7). Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor jasa
Struktural
(8). Permintaan TK berpendidikan rendah
Identitas
(9). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian
Struktural
(10). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor industri
Struktural
(11). Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor jasa
Struktural
(12). Permintaan TK berpendidikan menengah
Identitas
(13). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor pertanian
Struktural
(14). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor industri
Struktural
(15). Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor jasa
Struktural
(16). Permintaan TK berpendidikan tinggi
Identitas
(17). Permintaan TK di sektor pertanian
Identitas
(18). Permintaan TK di sektor industri
Identitas
(19). Permintaan TK di sektor jasa
Identitas
(20). Permintaan TK total
Identitas
C. Tingkat Pengangguran (21-24)
(21). Tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah
Identitas
71
(22). Tingkat pengangguran TK berpendidikan menengah
Identitas
(23). Tingkat pengangguran TK berpendidikan tinggi
Identitas
(24). Tingkat pengangguran total
Identitas
D. Upah Rata-rata (25-28)
(25). Upah rata-rata sektor pertanian
Struktural
(26). Upah rata-rata sektor industri
Struktural
(27). Upah rata-rata sektor jasa
Struktural
(28). Upah rata-rata
Struktural
2. Blok Fiskal (29-35)
(29). Penerimaan pajak
Struktural
(30). Penerimaan pemerintah total
Identitas
(31). Pengeluaran pembangunan sektor pertanian
Struktural
(32). Pengeluaran pembangunan sektor industri
Struktural
(33). Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur
Struktural
(34). Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan Struktural
(35). Pengeluaran pemerintah total
Identitas
3. Blok Penawaran Agregat (36-38)
(36). Nilai produksi sektor pertanian
Struktural
(37). Nilai produksi sektor industri
Struktural
(38). Nilai produksi sektor jasa
Struktural
4. Blok Permintaan Agregat (39-45)
(39). Konsumsi
Struktural
(40). Investasi sektor pertanian
Struktural
(41). Investasi sektor industri
Struktural
(42). Investasi sektor jasa
Struktural
(43). Investasi total
Identitas
(44). Nilai ekspor
Struktural
(45). Nilai impor
Struktural
72
5. Blok Moneter (46-48)
(46). Permintaan Uang
Struktural
(47). Penawaran Uang
Struktural
(48). Suku bunga
Struktural
6. Blok Keseimbangan Makro (49-52)
(49). Permintaan agregat
Identitas
(50). Penawaran agregat
Identitas
(51). Indeks harga konsumen
Struktural
(52). Inflasi nasional
Identitas
4.1.1.1.Penawaran Tenaga Kerja (St)
Penawaran tenaga kerja berpendidikan rendah:
SPRt
= ao + a1 (Wt-Wt-1) + a2 (PHKt-PHKt-1) + a3 POPt + a4 SPRt-1
+ U1t ..................................................................................
(1)
Penawaran tenaga kerja berpendidikan menengah:
SPMt = bo + b1 Wt + b2 POPt + b3 GEPKt-1 + b4 SPMt-1 + U2t ........
(2)
Penawaran tenaga kerja berpendidikan tinggi:
SPTt
= co + c1 Wt + c2 POPt + c3 GEPKt-1 + c4 SPTt-1 + U3t ….....
(3)
Penawaran tenaga kerja total:
St
= SPRt + SPMt + SPTt ..............................................................
Parameter dugaan yang diharapkan:
a1, a2, a3 >0; 0 < a4 <1
c1, c2, c3 >0; 0 < c4 <1
b1, b2, b3 >0; 0 < b4 <1
(4)
73
S
Kebijakan:
− Upah
minimum
− Serikat
Buruh
UT
W
GTR
GEP
TAX
GEI
D
GEIS
1. Blok Pasar Tenaga Kerja
GDPP
GEP
CPI
2. Blok Fiskal
Kebijakan
pengeluaran
pembanguna
n untuk
infrastruktu
r
Kebijakan:
− Suku
Bunga
− Kasus
Pemogoka
GDPI
AS
GDPJ
AD
3. Blok Penawaran
Agregat
6. Blok
Keseimbang
an Makro
IP
C
MD
II
TI
SB
INF
MS
5. Blok Moneter
IJ
X
4. Blok
Permintaan
Agregat
M
Gambar 12. Model Pasar TK dan Perekonomian Indonesia
GET
74
4.1.1.2.Permintaan Tenaga Kerja (Dt)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor pertanian:
DPRPt = do + d1 WPt + d2 GDPPt + d3 TKIPt + d4 DPRPt-1 + U4t ...
(5)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor industri:
DPRIt = eo + e1 WIt + e2 GDPIt + e3 JPt + e4JPKt + e5 TKIIt
+ e6 DPRIt-1 + U5t ………………………………...............
(6)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah di sektor jasa:
DPRJt = fo + f1 (WJt-WJt-1) + f2 GDPJt + f3 PNSRt + f4 DPRJt-1
+ U6t ...................................................................................
(7)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan rendah:
DPRt = DPRPt + DPRIt + DPRJt + DPRLt
..................................
(8)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor pertanian:
DPMPt = go + g1 WPt + g2 GDPPt + g3 TKMIt + g4 DPMPt-1 + U7t ...
(9)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor industri:
DPMIt = ho + h1 WIt-1 + h2 GDPIt + h3 JPKt + h4 DPMIt-1 + U8t .......
(10)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah di sektor jasa:
DPMJt = io + i1 WJt + i2 GDPJt + i3 TKFJt + i4 DPMJt-1 + U9t ........
(11)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah:
DPMt = DPMPt + DPMIt + DPMJt + DPMLt .................................
(12)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor pertanian:
DPTPt = jo + j1 WPt + j2 GDPPt + j3 TKTIt + j4 DPTPt-1 + U10t .......
(13)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor industri:
DPTIt = ko + k1 WIt + k2 GDPIt + k3 JPKt + k4 DPTIt-1 + U11t .......
(14)
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi di sektor jasa:
DPTJt = lo + l1 (WJt-WJt-1) + l2 GDPJt + l3 DPTJt-1 + U12t ..............
(15)
75
Permintaan tenaga kerja berpendidikan tinggi:
DPTt = DPTPt + DPTIt + DPTJt + DPTLt .....................................
(16)
Permintaan tenaga kerja sektor pertanian:
DPt
= DPRPt + DPMPt + DPTPt ................................................... (17)
Permintaan tenaga kerja sektor industri:
DIt
= DPRIt + DPMIt + DPTIt ...................................................
(18)
Permintaan tenaga kerja sektor jasa:
DJt
= DPRJt + DPMJt + DPTJt ....................................................
(19)
Permintaan tenaga kerja total:
Dt
= DPRt + DPMt + DPTt …………......................................…
(20)
Parameter dugaan yang diharapkan:
d2, d3 > 0 ; d1 < 0 ; 0 <d4< 1
e2, e3, e4, e5 > 0 ; e1 < 0 ; 0 <e6< 1
f2, f3 >0 ; f1 <0 ; 0<f4<1
g2, g3 > 0 ; g1 < 0 ; 0 <g4< 1
h2, h3 > 0 ; h1 < 0 ; 0 <h4< 1
i2, i3 >0 ; i1 <0 ; 0<i4<1
j2, j3 > 0 ; j1 < 0 ; 0 <j4< 1
k2, k3 > 0 ; k1< 0 ; 0<k4< 1
l2 >0 ; l1 <0 ; 0<l3<1
4.1.1.3.Tingkat Pengangguran (UTt)
Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan rendah:
UPRt =
SPRt − DPRt
* 100 ...........................................................
St
(21)
Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan menengah:
UPM t =
SPM t − DPM t
* 100 ........................................................
St
(22)
76
Tingkat pengangguran tenaga kerja berpendidikan tinggi:
UPTt =
SPTt − DPTt
* 100 .............................................................
St
(23)
Tingkat pengangguran total:
UTt = UPRt + UPM t + UPTt ............................................................
(24)
4.1.1.4.Upah Rata-rata (Wt)
Upah rata-rata sektor pertanian:
WPt
= mo + m1 UMPt + m2 KHMt + m3 DEFPt + m4 TKFPt + m5 St
+ m6 WPt-1 + U13t .............................................................
(25)
Upah rata-rata sektor industri:
WIt
= no + n1 UMIt + n2 KHMt + n3 DEFIt + n4 TKFIt + n5 St
+ n6 WIt-1 + U14t ............................................................... (26)
Upah rata-rata sektor jasa:
WJt
= oo+ o1UMJt + o2KHMt + o3DEFJt + o4TKFt-1 + o5St
+ o6WJt-1 + U15t …………………………………………. (27)
Upah rata-rata:
Wt
= po + p1 (UMRt-UMRt-1)+ p2 WPt + p3WIt + p4(WJt-WJt-1)
+ p5 WLt + p6 Wt-1 + U16t ………………………………
Parameter dugaan yang diharapkan:
m1, m2, m3, m4 > 0; m5 < 0; 0 < m6 < 1
n1, n2, n3, n4 > 0; n5 < 0; 0 < n6 < 1
o1, o2, o3, o4 > 0 ; o5 < 0 ; 0 < o6 < 1
p1, p2, p3, p4, p5 > 0; 0 < p6 < 1
(28)
77
4.1.2. Blok Fiskal
Penerimaan pajak:
TAXt = q0 + q1 ASt +q2 TAXt-1 + U17t ............................................
(29)
Penerimaan pemerintah total:
GTRt = TAXt + NTAXt ..................................................................
(30)
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian:
GEPt = ro + r1 (GTRt-GTRt-1) + r2 INFt-1 + r3 (GDPt/ ASt) + U18t ..
(31)
Pengeluaran pembangunan sektor industri:
GEIt
= so + s1 (GTRt-GTRt-1) + s2 INFt-1 + s3 GRIt + U19t ...........
(32)
Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur:
GEISt = to + t1 (GTRt-GTRt-1) + t2 INFt-1 + t3 GEISt-1 + U20t ..........
(33)
Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan:
GEPKt = uo+ u1(UTt-UTt-1) + u2 GTRt + u3 INFt-1 + u4 GEPKt-1
+ U21t ...............................................................................
(34)
Pengeluaran pemerintah total:
GETt = GEPt + GEIt + GEISt + GEPKt + GELt ..............................
(35)
Parameter dugaan yang diharapkan:
q1 > 0 ; 0 < q2 < 1
r1, r2, r3 > 0
s1, s2, s3 > 0
t1, t2 > 0 ; 0 < t3< 1
u1, u2, u3 > 0; 0 < u4< 1
4.1.3. Blok Penawaran Agregat
Nilai produksi sektor pertanian:
GDPPt = vo + v1 DPt + v2 DEFPt + v3 (IPt-IPt-1) + v4 (GEPt-GEPt-1)
+ v5 (GEISt-GEISt-1) + v6 GDPPt-1 + U22t .......................
(36)
78
Nilai produksi sektor industri:
GDPIt = wo + w1 DIt + w2 DEFIt + w3 IIt + w4 (GEIt-GEIt-1)
+ w3 KUKt + w6 GEISt + w7 GDPIt-1 + U23t ..................
(37)
Nilai produksi sektor jasa:
GDPJt = xo + x1 (DJt-DJt-1) + x2DEFJt-1 + x3 IJt + x4 GEISt-1
+ x5 GDPJt-1 + U24t .............................................................
(38)
Parameter dugaan yang diharapkan:
v1, v2, v3, v4, v5 > 0 ; 0 < v6 < 1
w1, w2, w3, w4, w5 > 0; 0 < w7 < 1
x1, x2, x3, x4 > 0 ; 0 < x5 < 1
4.1.4. Blok Permintaan Agregat
Konsumsi:
Ct = y0 + y1 (ASt /POPt) + y2 INF + y3 Ct-1 + U25t …...…...........….
(39)
Parameter dugaan yang diharapkan : y1 > 0 ; y2 < 0 ; 0 < y3 < 1.
Investasi sektor pertanian:
IPt = zo + z1 (SBt-SBt-1) + z2 UMRt + z3 ASt-1 + z4 (KPt-KPt-1)
+ z5 DDF + z6 IPt-1 + U26t .......................................................
(40)
Investasi sektor industri:
IIt = aao + aa1 (SBt-SBt-1) + aa2 UMRt + aa3 ASt + aa4 KPt
+ aa5 DDF + aa6 IIt-1 + U27t .....................................................
(41)
Investasi sektor jasa:
IJt = abo + ab1 SBt + ab2 UMRt-1 + ab3 ASt + ab4 KPt-1 + ab5 DDF
+ ab6 IJt-1 + U28t .......................................................................
(42)
79
Investasi total:
TIt = IPt + IIt + IJt + ILt
....……….....………………...………...
(43)
Parameter dugaan yang diharapkan:
z3, z5 > 0 z1, z2, z4 < 0 ; 0 < z6 < 1
aa3, aa5 > 0 ; aa1, aa2, aa4 < 0 ; 0< aa6 < 1
ab3, ab5 > 0 ; ab1, ab2, ab4 < 0 ; 0< ab6 < 1
Nilai Ekspor:
Xt = ac0 + ac1 ERt + ac2 ASt + ac3 Xt-1 + U29t .................................
(44)
Parameter dugaan yang diharapkan: ac1, ac2 > 0; 0 < ac3 < 1.
Nilai Impor:
Mt = ad0 + ad1 ERt + ad2 ASt + ad3 Mt-1 + U30t ......................…….
(45)
Parameter dugaan yang diharapkan: ad2 > 0; ad1<0 ; 0 < ad3 < 1
4.1.5. Blok Moneter
Permintaan uang:
MDt
= ae0 + ae1 ADt + ae2 (SBt-SBt-1) + ae3 DKE + ae4 MDt-1
+ U31t ................................................................................
(46)
Parameter dugaan yang diharapkan: ae1, ae3 > 0; ae2< 0; 0 < ae4< 1
Penawaran uang:
MSt
= af0 + af1 ADt + af2 SBt + af3 (ERt-ERt-1) + af4 MSt-1
+ U32t ................................................................................
Parameter dugaan yang diharapkan: af1, af2, af3 > 0; 0 < af4< 1
(47)
80
Suku bunga:
SBt
= ag0 + ag1 (MSt-MSt-1) + ag2 ADt-1 + ag3 INFt-1 + ag4 SBt-1
+ U33t .................................................................................
(48)
Parameter dugaan yang diharapkan: ag2, ag3 > 0; ag1 < 0; 0 < ag4< 1
4.1.6. Blok Keseimbangan Makro
Permintaan Agregat:
ADt
= Ct + TIt + GETt + Xt – Mt ………………………............
(49)
Penawaran Agregat:
ASt
= GDPPt + GDPIt + GDPJt + GDPLt ................................... (50)
Indeks harga konsumen:
CPIt
= aho + ah1 SBt-1 + ah2 Wt-1 + ah3 CPIt-1 + U34t .....................
(51)
Inflasi nasional:
INFt =
CPI t − CPI t −1
× 100 ............................................................... (52)
CPI t −1
Parameter dugaan yang diharapkan: ah1, ah2 > 0; 0 < ah3< 1
4.2.
Prosedur Analisis
Untuk menjawab tujuan penelitian pertama digunakan analisis deskriptif.
Analisis tersebut menguraikan permasalahan pokok kebijakan ketenagakerjaan di
era otda yang dirangkum dari lokakarya kebijakan pasar tenaga kerja dan
hubungan industrial untuk memperluas kesempatan kerja yang dilaksanakan pada
tanggal 16 September 2003.
81
4.2.1. Identifikasi Model
Indentifikasi model ditentukan atas dasar
“order condition” sebagai
syarat keharusan dan “rank condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural
berdasarkan order condition ditentukan oleh:
(K - M) > (G - 1)
Keterangan:
K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah
predetermined.
M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan
tertentu dalam model, dan
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model.
Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai
berikut.
( K – M ) > ( G – 1 ) = maka
persamaan
dinyatakan
teridentifikasi
secara
berlebih (overidentified)
(K – M ) = ( G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi
secara tepat (exactly identified ), dan
(K – M ) < (G – 1 ) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi
(unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly
identified atau overidentified
untuk dapat menduga parameter-parameternya.
Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu
tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat
82
perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi
yang menyatakan, bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya
jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determinan bukan nol pada
order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam
persamaan tersebut. Kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan
struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977)
Model yang dirumuskan terdiri 52 peubah endogen (G), dan 71 peubah
predetermined variable terdiri dari 34 peubah eksogen dan 37 lag endogenous
variabel. Sehingga total peubah dalam model (K) adalah 123, jumlah maksimum
peubah dalam persamaan (M) adalah 7 peubah. Maka berdasarkan kriteria order
condition maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over
identified.
4.2.2. Metode Pendugaan Model
Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan over identified,
dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage
Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares). Metode pendugaan model
yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan
2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah,
sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan
lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran
maupun kesalahan spesifikasi
model (Syafa’at, 1999).
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap
persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing
83
variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka
pada setiap persamaan digunakan uji statistik t taraf nyata 25 persen selanjutnya
uji serial korelasi dengan menggunakan statistik dw (Durbin-Waston Statistics).
4.2.3. Validasi Model
Asumsi dapat mempengaruhi kebenaran suatu teori (Woodhouse, 2006).
Asumsi yang digunakan dalam membangun model dalam studi ini adalah sebagai
berikut:
1. Upah minimum ditargetkan untuk buruh berpendidikan rendah, tanpa
pengalaman, nol masa kerja dan berstatus lajang. Diasumsikan nilai upah
minimum ditetapkan di atas upah keseimbangan pasar sehingga persamaan
identitas tingkat pengangguran dalam model menggambarkan kondisi
disequilibrium pasar TK.
2. Diasumsikan upah di pasar TK kaku pada tingkat tertentu dan tidak
meningkat ketika permintaan TK bergeser (Sticky Wages). Akibatnya, bila
perekonomian melemah, kurva permintaan TK bergeser ke kiri dan terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja. Sebaliknya, bila terjadi pergeseran kurva
permintaan TK ke kanan, kesempatan kerja meningkat tetapi tingkat upah
relatif tidak berubah. Peningkatan upah di pasar TK disebabkan karena
adanya tuntutan serikat pekerja.
3. Kekuatan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah diproksi dengan
peubah jumlah tenaga kerja di sektor formal. Diasumsikan tenaga kerja
formal adalah pekerja dengan status pekerjaan utama sebagi buruh tetap/
karyawan/ pegawai. Sementara tenaga kerja informal adalah tenaga kerja
dengan status pekerjaan utama: (1) berusaha sendiri tanpa dibantu orang
84
lain, (2) berusaha sendiri dengan dibantu anggota rumah tangga, (3)
pekerja bebas pertanian, (4) pekerja bebas di non pertanian, dan (5)
pekerja tidak dibayar.
4. Diasumsikan tidak ada perubahan struktural selama tahun 2007-2010 ke
depan.
Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu
simulasi alternatif kebijakan maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan
tujuan untuk menganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia
nyata (Pindyck and Rubinfield, 1991). Kriteria statistik untuk validasi nilai
pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Squares
Error (RMSE), (Root Mean Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil’s
Inequality Coefficient (U).
RMSE adalah rata-rata kuadrat dari perbedaan nilai estimasi dengan nilai
observasi suatu variabel. Jika nilai RMSE semakin kecil maka estimasi model
atau variabel tersebut semakin valid. Nilai statistik RMSE adalah:
T
RMSE = (1 / T )∑ (Ys − Ya) 2
t =1
RMSPE adalah rata-rata kuadrat dari proporsi perbedaan nilai estimasi
dengan nilai observasi suatu variabel. Jika nilai RMSPE semakin kecil maka
estimasi model atau variabel tersebut semakin valid. Nilai statistik RMSPE
adalah:
T
RMSPE = (1 / T )∑ [(Ys − Ya) / Ya] 2
t =1
U adalah perbandingan RMSE dengan penjumlahan rata-rata kuadrat nilai
estimasi dan rata-rata kuadrat nilai observasi suatu model atau variabel. Nilai U
85
maksimum adalah satu (estimasi model atau variabel naif) dan nilai U minimum
nol (estimasi model atau variabel sempurna). Jika nilai U mendekati nol maka
estimasi model atau variabel tersebut semakin valid. Nilai koefisien Theil (U)
berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna, jika U =1
maka pendugaan model naif. Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan UTheil’s dan makin besar nilai R², maka pendugaan model semakin baik.
Nilai statistik U adalah:
T
U =
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2
t =1
T
T
t =1
t =1
(1 / T )∑ Ys 2 + (1 / T )∑ Ya 2
Nilai U terdiri dari tiga komponen, yaitu proporsi bias (UM), proporsi
varians (US) dan proporsi kovarians. UM adalah perbandingan selisih nilai ratarata estimasi dan nilai rata-rata observasi kuadrat suatu model atau variabel
dengan rata-rata kuadrat dari selisih nilai estimasi dan nilai observasi suatu model
atau variabel. Menurut Pyndick and Rubinfeld [1991], suatu estimasi model atau
variabel dikatakan valid jika UM < 0,20 karena UM merupakan systematic error.
Nilai statistik UM adalah:
(Y s − Ya )
UM =
(1 / T )∑ (Ys − Ya)
2
T
2
t =1
US adalah perbandingan antara kuadrat selisih standar deviasi nilai
estimasi dan standar deviasi nilai observasi suatu model atau variabel dengan ratarata kuadrat dari selisih nilai estimasi dan nilai observasi suatu model atau
variabel. Jika nilai US semakin kecil maka estimasi model atau variabel semakin
valid. Nilai statistik US adalah:
86
US =
(σ s − σ a )
T
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2
t =1
UC adalah ukuran unsystematic error dari estimasi suatu model atau
variabel. Semakin besar nilai UC semakin valid estimasi suatu model atau
variabel. Nilai statistik UC adalah:
UC =
[2(1 − ρ )σ sσ a ]
T
(1 / T )∑ (Ys − Ya) 2
t =1
UM + US + UC = 1
dimana T, Ys, YsM, Ya, YaM, σs, σa dan ρ masing-masing adalah jumlah
observasi, nilai estimasi model, nilai rata-rata estimasi model, nilai observasi
model, nilai ratarata observasi model, standar deviasi nilai estimasi model, standar
deviasi nilai observasi model dan koefisien korelasi antara nilai estimasi dengan
nilai observasi model. Validasi dilakukan dengan hasil estimator 2 SLS.
4.2.4. Simulasi Kebijakan
Simulasi kebijakan era otonomi daerah yang dilakukan adalah simulasi
historis (ex-post simulation) tahun 2001-2004 dan simulasi peramalan (ex-ante
simulation) tahun 2007-2010. Alternatif simulasi kebijakan historis tahun 20012004 yang dilakukan:
Simulasi 1 : Upah minimum tetap masing-masing sebesar nilai tahun 2000
(tidak ada penyesuaian nilai upah minimum sejak tahun 2001).
Simulasi 2 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1
persen, dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi
2001-2004.
87
Simulasi 3 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar
8.83 persen yang sama dengan rata-rata tingkat inflasi 2001-2004.
Simulasi 4 : Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 10
persen, dimana kenaikan tersebut lebih besar dari rata-rata tingkat
inflasi 2001-2004.
Simulasi 5 : Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 2
persen, dan TKF 2,5 persen.
Simulasi 6 : Penurunan kasus pemogokan 50 persen.
Simulasi 7 : Penurunan suku bunga 5 persen.
Simulasi 8 : Peningkatan pengeluaran infrastruktur 25 persen.
Simulasi 9 : Kombinasi simulasi 4 dan 5.
Simulasi 10 : Kombinasi simulasi 7 dan 8.
Alternatif kebijakan simulasi peramalan tahun 2007-2010 yang dilakukan:
Simulasi 1
: Upah minimum tetap masing-masing sebesar nilai tahun 2006
(tidak ada penyesuaian nilai upah minimum sejak tahun 2007).
Simulasi 2
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1
persen, dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi
2007-2010.
Simulasi 3
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar
6.64 persen yang sama dengan rata-rata tingkat inflasi 2007-2010.
Simulasi 4
: Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 8
persen, dimana kenaikan tersebut lebih besar dari rata-rata tingkat
inflasi 2007-2010 sebesar 8 persen.
Simulasi 5
: Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5
persen, dan TKF 2,5 persen.
Simulasi 6
: Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen.
Simulasi 7
: Penurunan suku bunga 6 persen.
Simulasi 8
: Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
Simulasi 9
: Kombinasi simulasi 4 dan 5.
Simulasi 10 : Kombinasi simulasi 7 dan 8.
88
Simulasi 11 : Kombinasi simulasi 4, 5 dan 8.
Simulasi 12 : Kombinasi simulasi 6, 7 dan 8.
4.2.5. Defenisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan variabel kualitatif dan kuantitatif. Variabel
kualitatif yaitu variabel Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) dan Dummy Krisis
Ekonomi (DKE). Variabel kuantitatif yang diukur dalam nilai rupiah, seluruhnya
telah diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990 seperti pada Tabel 11.
Tabel 11. Defenisi Operasional Variabel
No.
Notasi
Definisi Variabel
A. Variabel Endogen
Satuan
1.
SPR
Penawaran TK berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
2.
SPM
Penawaran TK berpendidikan menengah
Ribu org/ tahun
3.
SPT
Penawaran TK berpendidikan tinggi
Ribu org/ tahun
4.
S
Penawaran TK total
Ribu org/ tahun
5.
DPRP
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor pertanian
Ribu org/ tahun
6.
DPRI
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor industri
Ribu org/ tahun
7.
DPRJ
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor jasa
Ribu org/ tahun
8.
DPR
Permintaan TK berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
9.
DPPMP
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor pertanian Ribu org/ tahun
10.
DPMI
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor industri
Ribu org/ tahun
11.
DPMJ
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor jasa
Ribu org/ tahun
12.
DPM
Permintaan TK berpendidikan menengah
Ribu org/ tahun
13.
DPTP
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor pertanian
Ribu org/ tahun
14.
DPTI
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor industri
Ribu org/ tahun
15.
DPTJ
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor jasa
Ribu org/ tahun
16.
DPT
Permintaan TK berpendidikan tinggi
Ribu org/ tahun
17.
DP
Permintaan TK sektor pertanian
Ribu org/ tahun
18.
DI
Permintaan TK sektor industri
Ribu org/ tahun
19.
DJ
Permintaan TK sektor jasa
Ribu org/ tahun
89
20.
D
Permintaan TK total
Ribu org/ tahun
21.
UPR
Tingkat pengangguran berpendidikan rendah
Persen/tahun
22.
UPM
Tingkat pengangguran berpendidikan menengah
Persen/tahun
23.
UPT
Tingkat pengangguran berpendidikan tinggi
Persen/tahun
24.
UT
Tingkat pengangguran total
Persen/tahun
25.
WP
Upah rata-rata sektor pertanian
Rupiah/ tahun *
26.
WI
Upah rata-rata sektor industri
Rupiah/ tahun *
27.
WJ
Upah rata-rata sektor jasa
Rupiah/ tahun *
28.
W
Upah rata-rata
Rupiah/ tahun *
29.
TAX
Penerimaan pajak
Milyar Rp./thn *
30.
GTR
Penerimaan pemerintah total
Milyar Rp./thn *
31.
GEP
Pengeluaran pembangunan sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
32.
GEI
Pengeluaran pembangunan sektor industri
Milyar Rp./thn *
33.
GEIS
Pengeluaran pembangunan infrastruktur
Milyar Rp./thn *
34.
GEPK
Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan dan kesehatan
Milyar Rp./thn *
35.
GET
Pengeluaran pemerintah total
Milyar Rp./thn *
36.
GDPP
Nilai produksi sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
37.
GDPI
Nilai produksi sektor industri
Milyar Rp./thn *
38.
GDPJ
Nilai produksi sektor jasa
Milyar Rp./thn *
39.
C
Konsumsi
Milyar Rp./thn *
40.
IP
Investasi sektor pertanian
Milyar Rp./thn *
41.
II
Investasi sektor industri
Milyar Rp./thn *
42.
IJ
Investasi sektor jasa
Milyar Rp./thn *
43.
TI
Investasi total
Milyar Rp./thn *
44.
X
Nilai ekspor
Milyar Rp./thn *
45.
M
Nilai impor
Milyar Rp./thn *
46.
MD
Total permintaan uang
Milyar Rp./thn *
47.
MS
Total penawaran uang
Milyar Rp./thn *
48.
SB
Suku bunga nominal
Persen/tahun
49.
AD
Permintaan agregat
Milyar Rp./thn *
50.
AS
Penawaran agregat
Milyar Rp./thn *
51.
CPI
Indeks Harga Konsumen
90
52.
INF
Inflasi nasional
Persen/tahun
B. Variabel Eksogen
1.
DDF
Dummy desentralisasi fiskal tahun >2001=1, lainnya= 0
2.
DEFI
Indeks harga sektor industri
3.
DEFP
Indeks harga sektor pertanian
4.
DEFJ
Indeks harga sektor jasa
5.
DPML
Permintaan TK berpendidikan menengah di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
6.
DPRL
Permintaan TK berpendidikan rendah di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
7.
DPTL
Permintaan TK berpendidikan tinggi di sektor lainnya
Ribu org/ tahun
8.
DKE
Dummy krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998=1, tahun lainnya= 0
9.
ER
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Rp./$US
10.
GDPL
Nilai produksi sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
11.
GEL
Pengeluaran pembangunan sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
12.
GR
Pertumbuhan ekonomi
Persen/tahun
13.
GRI
Pertumbuhan sektor industri
Persen/tahun
14.
IL
Investasi total sektor lainnya
Milyar Rp./thn *
15.
JP
Jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri
Perushn/ tahun
16.
JPK
Jumlah penyelesaian kasus hubungan industri
Kasus/ tahun
17.
KHM
Kebutuhan hidup minimum
Rupiah/ tahun *
18.
KUK
Kredit usaha kecil
Milyar Rp./thn *
19.
NTAX
Penerimaan pemerintah di luar pajak
Milyar Rp./thn *
20.
PHK
Jumlah PHK
Orang/tahun
21.
PNSR
Jumlah PNS berpendidikan rendah
Ribu org/ tahun
22.
POP
Jumlah penduduk Indonesia
Ribu org/ tahun
23.
TAX
Nilai penerimaan pajak
Milyar Rp./thn *
24.
TKF
Jumlah TK di sektor formal
Ribu org/ tahun
25.
TKIP
Jumlah TK di sektor informal pertanian
Ribu org/ tahun
26.
TKFP
Jumlah TK di sektor formal pertanian
Ribu org/ tahun
27.
TKMI
Jumlah TK berpendidikan menengah di sektor informal
Ribu org/ tahun
28.
TKFJ
Jumlah TK di sektor formal jasa
Ribu org/ tahun
29.
TKTI
Jumlah TK berpendidikan Tinggi di sektor
Ribu org/ tahun
91
30.
UMI
Upah minimum industri
Rupiah/ tahun *
31.
UMJ
Upah minimum jasa
Rupiah/ tahun *
32.
UMP
Upah minimum pertanian
Rupiah/ tahun *
33.
UMR
Upah Minimum Rata-rata
Rupiah/ tahun *
34.
WL
Rata-rata upah sektor lainnya
Rupiah/ tahun *
Keterangan : * nilai diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990.
4.2.6. Jenis dan Sumber Data
Studi ini menggunakan data sekunder time series tahunan dari tahun 1980
sampai dengan tahun 2004. Sumber data sekunder berasal dari Badan Pusat Statistisk,
Bank Indonesia, Litbang Kompas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Nota
Keuangan Departemen Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Dirjen
Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja. Sumber data isuisu kebijakan era otda berasal dari laporan hasil lokakarya kebijakan pasar tenaga
kerja yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian SMERU dan Bappenas pada
tanggal 16 September 2003 di Surabaya.
V. DESKRIPSI KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI ERA OTDA
Pemerintah Indonesia telah melakukan intervensi pada pasar tenaga kerja
dalam bentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan sejak tahun 1956 (Lampiran 1).
Namun, perkembangan kebutuhan masyarakat di era industrialisasi yang
kompleks dan era otonomi daerah telah mendorong pemerintah untuk melakukan
penyesusuain undang-undang.
Menurut Bappenas, undang-undang ketenagakerjaan di era otonomi daerah
khususnya UU No.13 Tahun 2003 telah memberikan sumbangan positif terhadap
pasar tenaga kerja Indonesia.
Undang-undang tersebut telah sejalan dengan
berbagai konvensi ILO yang telah diratifikasi.
Dalam undang-undang
ketenagakerjaan khususnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial
mengatur kelembagaan, aturan-aturan dan prosedur guna menyelesaikan
perselisihan hubungan industial. Undang-undang tersebut juga menetapkan baik
mekanisme
pengadilan
maupan
mekanisme
diluar
pengadilan
untuk
menyelesaikan perselisihan industrial antara pemberi kerja dan pekerja/ serikat
pekerja serta menyelesaikan perselisihan diantara serikat pekerja.
Undang-undang tersebut membedakan berbagai jenis perselisihan yaitu:
a. Perselisihan kepentingan (contoh: perselisihan perjanjian kerja bersama baru).
b. Perselisihan hak (contoh: hak lembur, hak cuti, hak atas upah minimum).
c. Perselisihan akibat PHK.
d. Perselisihan antara sesama serikat pekerja diperusahaan yang sama.
93
5.1.
Kebijakan Ketenagakerjaan Era Otda
Ada beberapa aspek positif dalam Undang-undang ketenagakerjaan era
otonomi daerah terutama yang menyangkut kerangka hubungan industrial.
Pertama, undang-undang tersebut menjamin kebebasan dan hak serikat pekerja.
Kedua, undang-undang tersebut mendorong perundingan bersama ditingkat
perusahan dan mewajibkan pemberi kerja menegosiasikan perjanjian kerja
bersama dengan serikat pekerja di perusahaan-perusahaan yang memiliki pekerja
lebih dari 10 orang.
Ketiga, undang-undang tersebut juga menghilangkan
ketidakpastian mengenai masalah representasi oleh serikat pekerja dalam proses
perundingan bersama yang tidak diatur dalam UU No. 21/200 tentang Serikat
Pekerja/ Serikat Buruh.
Meskipun demikian, dalam kerangka hubungan industrial era otonomi
daerah terdapat beberapa kelemahan yang berpotensi menghambat perkembangan
perundingan bersama dan penyelesaian perselisihan secara sukarela yang sehat
dalam jangka panjang. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
1. UU ketenagakerjaan tersebut mengatur berbagai jenis perlindungan dan
standar ketenagakerjaan dalam ruang lingkup luas, sehingga kurang
tersedia ruang untuk dapat berbagi hal yang sebetulnya bisa diperoleh dari
proses negosiasi oleh pihak pekerja dan pihak perusahaan.
2. UU ketenagakerjaan tersebut tidak membuat kerangka yang jelas untuk
mendorong pihak pemberi kerja, pekerja dan serikat pekerja untuk
bertindak dengan itikad baik dalam menjalin hubungan di antara mereka.
3. Melalui UU tersebut banyak pihak berpendapat bahwa pemerintah
berupaya membentuk suatu sistem hubungan industrial dimana pemerintah
94
terlibat secara berlebihan dalam administrasi dan pelaksanaannya. Hal ini
sangat berbeda dengan praktek internasional dalam hubungan industrial
yang semakin mengarah pada penyelesaian perselisihan secara sukarela
dan perundingan bersama di tingkat perusahaan agar diperoleh
perlindungan ketenagakerjaan sekaligus pertumbuhan produktivitas.
Secara umum, ada beberapa bagian dari UU ketenagakerjaan era otonomi
daerah yang dalam pelaksanaannya telah mengurangi fleksibilitas pasar tenaga
kerja.
Hal ini disebabkan pelaksanaan UU tersebut tidak melihat kondisi
perusahaan dan jenis usaha. Berbagai pelaksanaan UU tersebut dapat dibagi
dalam tiga kelompok yaitu: (1) kebijakan upah minimum, (2) ketentuan PHK dan
pemberian uang pesangon serta (3) ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan
ketenagakerjan di tingkat perusahaan.
5.1.1. Kebijakan Upah Minimum
Penetapan kebijakan upah minimum telah mengalami perubahan mendasar
pada era otonomi daerah.
Upah minimum ditetapkan gubernur berdasarkan
rekomendasi walikota/ bupati serta komisi pengupahan. Penetapan besaran upah
minimum mengacu kepada KHM pekerja lajang per bulan sebagaimana yang
diputuskan Kepmenaker 81/95.
Komisi Pengupahan pada semua level adalah
lembaga tripartit yang terdiri dari pemerintah, serikat pengusaha dan serikat
pekerja, yang melakukan negoisasi untuk merekomendasikan upah minimum
yang ditetapkan. Rekomendasi upah minimum oleh Komisi Pengupahan Kota/
Kabupaten kepada Walikota/ Bupati didasarkan pada survey bersama terhadap
95
harga kebutuhan hidup minimum melalui proses dialog dan negosiasi dengan
memperhatikan angka inflasi upah daerah sekitar.
Perubahan-perubahan ketentuan dalam penetapan besaran upah minimum
telah menyebabkan kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi
daerah. Hasil penelitian Lembaga Penelitian Smeru menunjukkan bahwa secara
rata-rata kenaikan upah minimum ril telah mencapai 20 persen pada era otonomi
daerah. Selanjutnya dilaporkan bahwa rasio upah minimum terhadap upah ratarata di pasar tenaga kerja telah mendekati 64 persen untuk pekerja perempuan, 70
persen untuk pekerja berpendidikan rendah dan 80 persen untuk pekerja usia
muda (Lembaga Penelitian Smeru, 2004).
Pelaksanaan kebijakan upah minimum pada era otonomi daerah telah
menyebabkan peningkatan upah minimum yang terlalu cepat tanpa melihat
kondisi perekonomian, perusahaan dan produktivitas pekerja.
Hasil kajian
Lembaga Penelitian Smeru menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum yang
relatif tinggi pada era otonomi daerah di seluruh Indonesia disebabkan oleh
sejumlah kelemahan dalam proses penetapan besaran upah minimum. Faktorfaktor tersebut diantaranya: (1) ketergantungan yang besar terhadap indeks
kebutuhan hidup minimum, (2) penetapan indeks secara kurang hati-hati sejak
diberlakukannya otonomi daerah, (3) tidak adanya pedoman mengenai bagaimana
menggunakan kriteria lain dalam penetapan upah minimum, dan (4) rendahnya
partisipasi stakeholder utamanya dalam proses penetapan upah.
Beberapa
pengamat ketenagakerjaan juga menyimpulkan proses penetapan upah minimum
menjadi semakin rumit sejak penyerahan kewenangan penetapan upah minimum
kepada pemerintah daerah di era otonomi.
96
Kebijakan upah minimum era otonomi daerah dapat dianggap telah
melebihi tujuan yang dimaksudkan sebagai jaring pengaman bagi kelompok
pekerja marjinal. Kenaikan upah minimum yang tinggi pada era otonomi daerah
mulai berdampak pada keunggulan komparatif Indonesia pada industri-industri
padat karya. Kenaikan biaya upah yang tinggi sejak tahun 2001 dan ketidak
pastian dalam lingkungan hubungan industrial telah mempengaruhi daya saing
beberapa industri utama padat karya yang kemudian mulai berdampak terhadap
investasi di sektor tersebut (Smeru research Team, 2004).
Dengan demikian, kuat dugaan bahwa kebijakan upah minimum dan
buruknya lingkungan hubungan industrial merupakan dua faktor penting yang
mempengaruhi daya saing.
Disamping itu faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi daya saing seperti yang dilaporkan hasil survey Bappenas,
diantaranya: (1) hambatan infrastruktur, (2) biaya operasi pelabuhan yang tinggi,
(3) korupsi dalam administrasi pabean dan pajak, dan (4) pungutan pajak yang
dilakukan pemerintah daerah seperti pada Tabel 12.
Hasil kajian Lembaga Penelitian Smeru melaporkan bahwa kenaikan upah
minimum yang terlalu cepat pada saat kondisi pertumbuhan ekonomi rendah tidak
saja berpengaruh negatif terhadap prospek pekerja memperoleh pekerjaan di
sektor formal, tetapi juga terhadap pendapatan penduduk miskin yang semakin
banyak memadati sektor informal.
Selain itu tingkat pengangguran terbuka
menjadi lebih tinggi terutama di kalangan angkatan kerja usia muda.
97
Tabel 12. Isu-isu Kebijakan Dominan Berkenaan dengan Industri Padat
Karya Berorientasi Ekspor
Isu
Pokok
Persoalan
Tanggapan
1. Kebijakan
Ketenagakerjaan
Kebijakan upah
minimum
− Kenaikan upah minimum terlalu tinggi dan terlalu
cepat melebihi pertumbuhan produktivitas.
− Kenaikan yang terjadi baru-baru ini menyebabkan
pekerja mengharapkan kenaikan yang besar di masa
mendatang.
− Ketidakpastian ini mendorong banyak perusahaan
untuk
melakukan
penggunaan
mesin
untuk
produksinya.
Ketentuan uang
Pesangon
Ketentuan uang pesangon berpotensi menimbulkan biaya
tinggi.
Keberadaan lebih
dari satu serikat
pekerja di perusahaan yang sama
Keberadaan lebih dari satu serikat pekerja di perusahaan
yang sama dipandang sebagai masalah utama asalkan ada
peraturan yang jelas untuk memilih serikat pekerja yang
mewakili pekerja dalam perundingan kolektif.
Pajak barang
Mewah
Pajak atas barang mewah yang terlalu tinggi mendorong
penyelundupan barangbarang tertentu.
2. Perpajakan
Administrasi pajak Ketidakpuasan terhadap petugas pajak
Kenaikan biaya
jasa pelabuhan
Biaya jasa pelabuhan Tanjung Priok dewasa ini termasuk
paling tinggi di kawasan Asia Tenggara.
Ketidakefisienan
Pelabuhan
Produktivitas pelabuhan Tanjung Priok termasuk yang
terendah di kawasan Asia Tenggara,
4. Hak kepemilikan
Kepemilikan
lahan
Peraturan mengenai hak guna lahan pertanian seperti
jangka waktu sewa maksimum selama 30 tahun dalam
jangka panjang dapat menghalangi pembangunan sektor
ekspor berbasis pertanian modern.
5. Kebijakan ekspor
Fasilitas
BINTEK
− Memakan waktu lebih dari 12 bulan bagi eksportir
untuk mendapatkan restitusi pajak pabean dan PPn.
− Ketidakpastian mengenai status BINTEK
3. Operasi
pelabuhan
Sumber : Survey Bappenas terhadap eksportir di Jabotabek pada Juli 2002.
Studi yang dilakukan pada masa sebelum otonomi daerah menunjukkan
bahwa kenaikan upah minimum selama periode 1990 hingga 1999 tidak
mengurangi
kesempatan
kerja
bagi
pekerja
laki-laki
dewasa,
pekerja
berpendidikan tinggi atau para profesional. Sebaliknya kenaikan upah minimu
98
tersebut telah mengurangi kesempatan kerja bagi para pekerja perempuan, pekerja
usia muda dan pekerja kurang terdidik (yaitu pekerja yang berpendidikan dasar
atau lebih rendah). Sebaliknya studi yang dilakukan pada era otonomi daerah
menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum riil secara rata-rata sebesar 20
persen tahun 2002 telah menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan sektor
formal di daerah perkotaan sebesar 2 persen. Lapangan pekerjaan bagi pekerja
perempuan dan pekerja usia muda berkurang masing-masing sebesar 6 persen dan
bagi pekerja kurang terdidik sebesar 4 persen.
Kenaikan upah minimum
memberikan dampak yang lebih besar terhadap lapangan pekerjaan bagi
kelompok pekerja marjinal karena upah minimum telah mendekati tingkat upah
rata-rata kelompok tersebut di pasar tenaga kerja.
5.1.2. Ketentuan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah mengatur
kembali peraturan-peraturan mengenai PHK. Semua kasus PHK ditetapkan harus
terlebih dahulu diajukan ke pengadilan perselisihan idustrial untuk memperoleh
penetapan PHK tanpa membedakan kondisi perusahaan. Perusahaan diwajibkan
mengambil tindakan yang dapat dilakukan.
Apabila pihak berwenang
berpendapat bahwa tindakan tersebut tidak terpenuhi, maka kasus PHK tersebut
harus diajukan ke pengadilan perselisihan industrial.
Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah telah memperbaiki
ketentuan mengenai pekerja yang berhak mendapat uang pesangon. Undangundang ketenagakerjaan era otonomi daerah tersebut mewajibkan perusahaan
membayar pesangon/ uang pisah kepada pekerja yang mengundurkan diri secara
99
sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan
melalui proses perundingan bersama. Perusahaan tidak diwajibkan membayar
uang pesangon kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau
dipecat karena pelanggaran berat (pencurian atau melakukan kekerasan di tempat
kerja). Undang-undang tersebut juga menaikkan tingkat uang pesangon sebesar
antara 19 persen sampai 63 persen bagi pekerja dengan masa kerja mencapai 5
tahun atau lebih.
Kerangka aturan yang berlaku sebelum dikeluarkannya undang-undang
ketenagakerjaan era otda memang dianggap mempersulit pihak perusahaan untuk
memecat atau memberhentikan pekerja. Hal tersebut disebabkan pengurangan
pekerja di masa lalu menimbulkan biaya tinggi karena setiap kasus pengurangan
pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya.
Baik
pemberi kerja maupun pekerja dirugikan oleh proses pengambilan keputusan oleh
panitia penyelesaian perselisihan perburuhan di tingkat provinsi maupun pusat
yang lamban serta diliputi ketidakpastian. Proses pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan PHK tidak transparan dan juga tidak konsisten, sehingga
menciptakan ketidakpastian dan membuka celah bagi pejabat pemerintah, pemberi
kerja maupun serikat pekerja untuk melakukan moral hazard.
Namun, Undang-undang ketenagakerjaan era otonomi daerah dinilai
berbagai pihak belum memberikan kewenangan kepada manajemen dalam
memutuskan penerimaan dan pemecatan pekerja. Keputusan tersebut seharusnya
tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang
menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang
memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian
100
perselisihan industrial.
Meskipun dalam UU ketenagakerjaan keputusan
dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan jelas, persetujuan terlebih dahulu
untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan
internasional
dan
tidak
diatur
oleh
ketenagakerjaan era otonomi daerah.
sebahagian
besar
undang-undang
Persetujuan terlebih dahulu hendaknya
hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan
pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja. Menurut pihak pengusaha,
keseluruhan peraturan-peraturan terkait dengan pemecatan, yang pada awalnya
diperkenalkan lebih dari 30 tahun lalu untuk melindungi iklim ekonomi dalam
menjalankan usaha sudah tidak sesuai lagi untuk kondisi saat ini dan hendaknya
tidak diatur dalam UU ketenagakerjaan (Lembaga Penelitian Smeru, 2004).
Selanjutnya menyangkut pembayaran uang pesangon, jumlah yang
ditetapkan sebesar antara 19 persen sampai 63 persen dirasakan banyak pihak
pengusaha terlalu tinggi. Besaran tersebut termasuk tertinggi di kawasan asia.
Ada beberapa poin penting yang dapat dirangkum dari lokakarya ketenagakerjaan
yang diselenggarakan oleh Bapenas, Partnership Economic Growth dan Lembaga
Penelitian Smeru yang menyangkut ketentuan pesangon, yaitu:
1. Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan
peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah
minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan
insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan
pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu.
2. Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak
di bidang ketenagakerjaan. karena pemberi kerja harus membayar uang
101
pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi
pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai
pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat
mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
3. Di Indonesia, uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja
pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja.
Perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua
usianya meskipun kurang produktif dibandingkan pekerja muda karena
biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih
mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi
menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
4. Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif
pemberi kerja untuk berinvestasi dalam sumber daya manusia terutama
jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya
adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut
untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi
perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif
untuk berinvestasi bagi pekerjanya.
5. Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial
karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan
pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk
menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun
pekerja sudah tidak produktif lagi.
102
5.1.3. Pengaturan Ketenagakerjan di Tingkat Perusahaan
Undang-undang ketenagakerjaan era otda mengatur berbagai persyaratan
penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan.
Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada
pihak luar (outsourcing) dan penerimaan tanaga kerja melalui agen penempatan
tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu. Sebagai contoh pekerja hanya diperbolehkan menjadi
pekerja kontrak selama tiga tahun hanya untuk pekerjaan yang bersifat sementara
atau selesai dalam waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa
pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama
perusahaan.
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut untuk memberikan
perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor formal.
Pengalaman negara luar menunjukkan bahwa pembatasan ketat terhadap
penggunaan pekerja kontrak untuk waktu tertentu dan pembatasan pemborongan
pekerjaan produksi akan mengurangi lapangan kerja formal. Dalam konteks pasar
kerja dualistik, penting diingat bahwa akan selalu ada kaitan antara penciptaan
lapangan kerja formal dengan sektor informal yang besar. Ditinjau dari perspektif
tersebut, pekerja kontrak untuk waktu tertentu dapat menjadi pembuka jalan untuk
memasuki hubungan kerja yang lebih permanen di sektor formal sekaligus
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perusahaan-perusahaan untuk
mendapatkan fleksibilitas dalam produksi maupun ekspor.
Di samping mengorbankan lapangan kerja, tidaklah realistik mencoba
membagi pasar tenaga kerja menjadi dua segmen yang terpisah yaitu, sektor
formal modern yang bercirikan hubungan kerja permanen yang dilindungi dan
103
sektor tradisional di mana lapangan pekerjaan temporer merupakan hal lumrah.
Pekerja kontrak cenderung memperoleh tingkat upah lebih tinggi dan penghasilan
lebih stabil dengan bekerja di sektor formal daripada bekerja lebih berat dengan
upah yang lebih di sektor informal.
Terdapat masalah dalam pengaturan-pengaturan mengenai pekerja kontrak
untuk waktu tertentu dan pemborongan pekerjaan.
Pekerja kontrak memiliki
kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak
termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan.
Bukti di negara-negara lain menunjukkan bahwa para pekerja kontrak seringkali
merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka, dan seringkali mengeluhkan jadwal
kerja yang tidak fleksibel dengan tugas-tugas pekerjaan yang monoton. Namun,
terlepas dari pendeknya jangka waktu pekerja kontrak biasanya mereka terus
memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap. Tetapi hal ini
jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Berbagai kebijakan yang memfasilitasi perpindahan dari pekerja kontrak
ke pekerja tetap hanya dimungkinkan bagi pekerjaan tertentu. Bagaimanapun,
membuat regulasi yang meminta pemberi kerja merubah pekerja kontrak menjadi
pekerjaan tetap adalah kontraproduktif karena berbagai alasan yang telah dibahas
di atas. Di beberapa negara, pesatnya pertumbuhan pekerja kontrak sebenarnya
justru disebabkan oleh adanya berbagai kebijakan perlindungan tenaga kerja yang
berlebihan. Formalisasi pekerjaan melalui perjanjian dengan pemberi kerja yang
lebih permanen, dapat didorong melalui investasi sektor publik di bidang
sumberdaya manusia dan dengan mempertahankan fleksibilitas pasar kerja,
termasuk penetapan ketentuan PHK yang tidak menimbulkan biaya tinggi
104
maupun melalui perrtumbuhan ekonomi yang mendorong tumbuhnya unit-unit
ekonomi besar.
5.2.
Kebijakan Terkait Pasar Tenaga Kerja di Era Otda
5.2.1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi pada
pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur. Pembatasan fokus analisis
disebabkan pentingnya infrastruktur sebagai modal publik dalam memberikan
hasil dalam bentuk jasa yang bernilai dimasa depan sementara perhatian
pemerintah dalam menyediakan infrastruktur relatif kurang. Setelah krisis
ekonomi tahun 1997/1998, pemerintah lebih menfokuskan pada permasalahan
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah
pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan kembali
kondis politik sosial sehingga perhatian pada penyediaan infrastruktur khususnya
di wilayah di luar jawa sangat kurang (Tambunan, 2006).
Permasalahan umum infrastruktur di Indonesia (ISEI, 2005 dalam
Tambunan, 2006): (1) menurunnya belanja untuk infrastruktur karena salah
satunya akibat keterbatasan dana, (2) rendahnya kinerja infrastruktur, (3)
rendahnya tingkat recovery infrastruktur, (4) kesenjangan pembangunan
infrastruktur antar wilayah, (5) kesenjangan aksesibilitas infrastruktur, dan (6)
inefisiensi penyediaan infrastruktur. Nilai rasio pengeluaran pembangunan untuk
infrastruktur terhadap PDB Indonesia setelah diterapkannya kebijakan otda ratarata bernilai kurang dari 2 persen (Siregar dan Nely, 2005). Dengan nilai tersebut
Indonesia, Kamboja dan Filipina berada dalam jajaran negara dengan nilai rasio
105
terendah di antara negara-negara berkembang lainnya (Winoto, 2005 dalam
Tambunan 2006).
Memasuki era otda, ada kecenderungan pengeluaran pemerintah daerah
untuk infrastruktur meningkat sementara pengeluaran pemerintah pusat untuk
infrastruktur mengalami penurunan. Akibatnya secara nasional, rasio pengeluaran
untuk infrastruktur dan PDB turun dari 3.8 persen tahun 1994 menjadi 0.8 persen
tahun 2002. Gambaran nyata sebagai contoh, jalan raya masih terbatas, hanya 1
kilometer per 1000 penduduk, dan hampir 50 persen dalam kondisi buruk
terutama di tingkat kabupaten (Bank Indonesia, 2006). Kondisi ini akan
mempengaruhi kelancaran bisnis karena efisiensi waktu yang rendah dan biaya
transportasi yang tinggi. Infrastruktur yang buruk, baik yang terkait dengan
masalah transportasi, energi, maupun pengairan, dapat memicu gangguan
distribusi dan produksi. Dengan prospek sisi permintaan yang membaik,
keterbatasan sisi pasokan akan mengakibatkan pemanasan ekonomi (overheating)
yang memicu gejolak harga.
Hal yang membuat optimis adalah pemerintah telah menyadari bahwa
infrastruktur Indonesia sangat tidak memadai dan telah menjadi kendala dalam
kegiatan investasi infrastruktur. Komitmen pemerintah telah terlihat pada butir
penting dalam program 100 hari pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan
infrastruktur. Disamping itu pemerintah telah melakukan revisi 11 Peraturan
Pemerintah (PP) dan 3 Peraturan Presiden yang terkait dengan infrastruktur yang
mencerminkan bahwa perbaikan infrastruktur adalah hal mendasar yang segera
perlu dilaksanakan.
106
5.2.2. Kebijakan Moneter
Kebijakan
moneter
adalah
kebijakan
otoritas
moneter
untuk
mengendalikan jumlah uang beredar dan perubahan suku bunga (Dornbusch,
1989). Tujuan utama kebijakan moneter di Indonesia menurut pasal 7 UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Artinya kebijakan moneter bertujuan menjaga stabilitas harga (inflasi) dan
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Langkah yang ditempuh Bank Indonesia untuk mengatasi fluktuasi
perekonomian adalah melalui Inflation Targeting. Inflation Targeting disebut juga
target tunggal kebijakan moneter untuk langkah antisipasi fluktuasi harga.
Inflation Targeting dilakukan dengan cara memproyeksikan penetapan inflasi
setiap tahun guna meredam jumlah uang beredar, suku bunga dan harga-harga.
Pengendalian jumlah uang beredar dilakukan Bank Indonesia dengan
beberapa instrumen, yaitu: (1) Operasi pasar terbuka (Open Market Operation),
(2) Cadangan wajib (Required Reserve Ratio) dan Pengendalian langsung
(Discount rate). Kontraksi moneter melalui operasi pasar terbuka (tight money
policy) dilakukan Bank Indonesia melalui penerbitan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) sehingga suku bunga SBI naik dan jumlah uang beredar di masyarakat
berkurang. Sebaliknya pada saat likuiditas perekonomian berkurang Bank
Indonesia melakukan kebijakan moneter ekspansif melalui peningkatan jumlah
uang beredar dengan cara membeli surat berharga pasar uang milik pemerintah.
Akibatnya SBI menurun investasi meningkat dan sektor riil menjadi tumbuh.
Tumbuhnya sektor riil menyebabkan kesempatan kerja meningkat dan berarti
mengurangi tingkat pengangguran. Artinya kebijakan moneter dapat digunakan
107
sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam mempengaruhi perubahan indikator
makro tingkat pengangguran dan tingkat inflasi (Tabel 13).
Tabel 13. Perkembangan Kebijakan Moneter di Era Otda
Periode
Inflasi (%)
Target Inflasi (%)
Tingkat
Pengangguran
Terbuka (%)
2001
12.55
4.0 - 6.0
8.10
2002
10.10
9.0 - 10.0
9.06
2003
5.10
-
9.50
2004
6.4
4.5-6.5
9.86
Sumber : Bank Indonesia, 2006.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan inflasi antara lain adalah
ekspektasi inflasi masyarakat yang cenderung meningkat. Peningkatan ekspektasi
inflasi ini sehubungan dengan kemungkinan dinaikkannya administered price
(bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik), walaupun arah perkembangan nilai
tukar rupiah cenderung memberikan pengaruh positif. Selain itu, perkembangan
permintaan domestik diperkirakan berpotensi memberikan tekanan inflasi, karena
output aktual semakin mendekati output potensialnya, sebagaimana tercermin
pada semakin meningkatnya kapasitas terpakai industri beberapa tahun terakhir.
Perkembangan
faktor
perkembangan inflasi
nonfundamental
yang
umumnya
mempengaruhi
adalah dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga
(administered price) berupa misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak dan
tarif dasar listrik.
108
5.2.3. Kebijakan Investasi
Tinggi rendahnya nilai investasi dipengaruhi oleh optimisme dunia usaha
terhadap perkiraan ekonomi ke depan. Peningkatan gairah investasi swasta, baik
domestik maupun luar negeri, juga ditunjang oleh komitmen pemerintah untuk
menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif sangat diperlukan. Hal tersebut
disebabkan terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan infrastruktur
serta penyempurnaan berbagai peraturan dan penyiapan peraturan yang berkaitan
dengan investasi.
Survei yang dilakukan oleh JETRO terhadap perusahaan-perusahaan
Jepang mengenai problem utama terkait dengan pasar tenaga kerja dalam
investasi di Indonesia adalah upah dan isu tenaga kerja (Kompas, 2006). Upah
yang ddianggap semakin mahal terkait dengan kebijakan penyesuaian upah
minimum, adanya upah sundulan yang tidak diikuti dengan peningkatan
produktivitas tenaga kerja. Sementara isu tenaga kerja terkait dengan maraknya
kasus pemogokan dan unjuk rasa yang mencerminkan resiko ketidakpastian pasar
tenaga kerja yang relatif tinggi. Kinerja peningkatan investasi swasta perlu
ditopang oleh semakin stabilnya kondisi pasar tenaga kerja.
Kinerja peningkatan investasi swasta juga perlu ditopang oleh kegiatan
investasi pemerintah terkait dengan infrastruktur dan peraturan pemerintah terkait
dengan investasi. Sebagai contoh, diperlukan: (i) merevisi 11 Peraturan
Pemerintah (PP) dan 3 Peraturan Presiden yang terkait dengan infrastruktur, (ii)
mengusulkan penghapusan perizinan menjadi hanya registrasi pada RUU
Penanaman Modal, (iii) menyiapkan sejumlah insentif pajak bagi para pelaku
usaha, yang meliputi investment allowance, percepatan penyusutan (accelerate of
109
depreciation), kompensasi kerugian (off-setting losses), dan penurunan pajak
dividen (Bank Indonesia 2006).
Pesatnya kegiatan investasi memerlukan dukungan pembiayaan dari
masyarakat. Dengan semakin terbatasnya keuangan negara, maka peran serta
masyarakat dalam pembiayaan investasi diharapkan akan semakin meningkat.
Sumber pembiayaan investasi dalam negri rata-rata berasal dari penyaluran kredit
perbankan maupun penggunaan dana sendiri. Menurut Bank Indonesia (2006),
sejalan dengan membaiknya perkiraan situasi perekonomian ke depan diharapkan
pembiayaan dari sisi nonperbankan, baik berupa penerbitan saham maupun
obligasi, diperkirakan diperkirakan dapat ditingkatkan. Dari luar negeri, sumber
pembiayaan umumnya berasal dari utang luar negeri maupun penanaman modal
asing. Seiring dengan membaiknya kepercayaan investor terhadap prospek
ekonomi Indonesia, Bank Indonesia optimis bahwa porsi penanaman modal asing
diharapkan akan semakin besar.
VI. HASIL ESTIMASI MODEL PASAR TENAGA KERJA DAN
PEREKONOMIAN MAKRO
Hasil estimasi yang terdapat dalam bab ini merupakan hasil akhir setelah
mengalami berkali-kali respesifikasi. Hasil ini telah dianggap baik karena telah
memenuhi kriteria ekonomi, kriteria statistik dan kriteria ekonometrik.
6.1.
Keragaan Umum Model
Hasil pendugaan model dengan metoda 2SLS terhadap persamaan
struktural menunjukkan indikator statistik yang relatif baik.
Nilai koefisien
determinasi (R2) umumnya lebih besar dari 0.70, kecuali persamaan struktural
permintaan TK berpendidikan rendah sektor pertanian (DPRJ), pengeluaran
pembangunan sektor pertanian (GEP), pengeluaran pembangunan sektor industri
(GEI), pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur (GEIS), investasi sektor
pertanian (IP) dan investasi sektor jasa (IJ).
Sebagian besar persamaan
menghasilkan nilai F-hitung lebih besar dari 8.00.
Ini mengindikasikan
sebahagian besar peubah penjelas memiliki hubungan relatif baik terhadap peubah
endogen. Nilai Prob>F pada sebahagian besar persamaan bernilai <.0001 yang
menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel penjelas dapat
menjelaskan variabel endogennya secara signifikan.
Persamaan struktural nilai produksi sektor jasa (GDPJ) menghasilkan nilai
Statistik Durbin-Watson 0.96 yang mengindikasikan adanya masalah autokorelasi.
Masalah autokorelasi banyak dijumpai dalam penelitian bidang ekonomi
disebabkan keterkaitan antar variabel. Mempertimbangkan bahwa model yang
dibangun dalam penelitian ini adalah model ekonomi dan untuk kepentingan
111
ekonomi, penulis memprioritaskan kriteria ekonomi di atas persyaratan statistik
dan ekonometrika.
6.2.
Kinerja Pasar Tenaga Kerja
6.2.1. Penawaran Tenaga kerja
Hasil pendugaan parameter pada persamaan penawaran TK berdasarkan
tingkat pendidikan memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen.
Artinya variasi penawaran TK peubah penjelas dalam masing-masing persamaan
mampu menjelaskan di atas 96 persen fluktuasi peubah penawaran TK
berdasarkan pendidikan. Peubah endogen dalam persamaan penawaran TK
berpendidikan rendah, menengah dan berpendidikan tinggi dipengaruhi secara
nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01. Sesuai
dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, penawaran TK secara umum
dipengaruhi oleh upah rata-rata (W) dan jumlah populasi penduduk (POP).
Seluruh peubah penjelas berpengaruh positif dengan signifikansi yang bervariasi
seperti pada Tabel 14.
Hasil estimasi pada Tabel 14 memperlihatkan peubah jumlah populasi
penduduk berpengaruh positip dan signifikan terhadap penawaran TK
berependidikan rendah (SPR). Hal tersebut tercermin dari nilai parameter dugaan
sebesar 0.18, artinya peningkatan jumlah populasi penduduk 1000 orang akan
meningkatkan jumlah SPR sebanyak 180 orang.
Pada persamaan penawaran TK berpendidikan menengah (SPM), peubah
upah rata-rata (W), Jumlah populasi penduduk (POP) dan lag pengeluaran
pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan (LGEPK) berpengaruh positip
terhadap SPM.
112
Tabel 14. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran TK* Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Prob
>
|T|
Jangka
Jangka
Estimasi
Pendek Panjang
SPR (penawaran TK berpend rendah)
Intercept
∆W (perubahan upah rata-rata)
∆PHK (perubahan jumlah PHK)
POP (jumlah populasi penduduk)
LSPR (lag penawaran TK berpendidikan rendah)
7696.893
0.054218
0.006907
0.183286
0.381599
F-Hitung = 97.67
R2 = 0.95596
SPM (penawaran TK berpend menengah)
Intercept
W (upah rata-rata)
POP (jumlah populasi penduduk)
LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan)
LSPM (lag penawaran TK berpendidikan menengah)
-11854.5
0.149701
0.071511
24.39220
0.670890
F-Hitung = 487.33
R2 = 0.99085
SPT (penawaran TK berpend tinggi)
Intercept
W (upah rata-rata)
POP (jumlah populasi penduduk)
LGEPK (lag pengeluaran pendidikan kesehatan)
LSPT (lag penawaran TK berpendidikan tinggi)
-3456.16
0.028160
0.019892
6.405164
0.715552
F-Hitung = 248.79
R2 = 0.98223
0.0117
0.3998
0.3106
0.0017
0.0095
0.5151
0.8330
DW = 2.059907
0.0450
0.0495
0.0633
0.0887
0.0003
0.1625
1.1831
0.0021
0.4937
3.5949
0.0063
DW = 2.468268
0.0326
0.2056
0.0486
0.1572
<.0001
0.1411
1.5193
0.0912
0.4961
5.3413
0.3208
DW = 2.263288
Catatan: * Penawaran TK menggunakan data angkatan kerja.
Apabila terjadi peningkatan jumlah populasi penduduk sebanyak 1000 orang
maka SPM berpotensi meningkat 71 orang. Faktor lain yang berpengaruh
terhadap SPM adalah LGPK. Peningkatan LGPK satu milyar rupiah akan
meningkatkan SPM sebanyak 24 ribu orang. Sementara pada persamaan
penawaran TK berependidikan Tinggi (SPT) menunjukkan peningkatan jumlah
populasi penduduk 1000 orang maka SPT berpotensi meningkat 20 orang.
Peubah W berpengaruh positif dan nyata terhadap SPM dengan elastisitas
jangka pendek 0.16 persen dan jangka panjang 0.49 persen. Dapat dikatakan
respon penawaran TK berpendidikan menengah terhadap perubahan upah rata-rata
113
bersifat inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Artinya walaupun SPM Indonesia dipengaruhi oleh peubah upah rata-rata, tetapi
pengaruhnya relatif kecil meskipun dalam jangka panjang.
6.2.2. Permintaan Tenaga Kerja
a.
Berpendidikan Rendah
Hasil pendugaan parameter pada persamaan permintaan TK berpendidikan
rendah (DPR) berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2)
bervariasi seperti pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Rendah
Tahun 1980-2004
Peubah
DPRP (permintaan TK berpend. rend sekt pertanian)
Intercept
WP (upah rata-rata sektor pertanian)
GDPP (nilai produksi sektor pertanian)
TKIP (jumlah TK informal sektor pertanian)
LDPRP (lag permintaan TK berpend. rendah sekt pertanian)
F-Hitung = 96.59
DPRI (permintaan TK berpend. rend sekt industri)
Intercept
WI (upah rata-rata sektor industri)
GDPI (nilai produksi sektor industri)
JP (jumlah perusahaan besar dan sedang dalam industri)
JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial)
TKII (jumlah TK informal sektor industri)
LDPRI (lag permintaan TK berpend. rendah sekt industri)
F-Hitung = 55.34
DPRJ (permintaan TK berpend. rendah sekt jasa)
Intercept
∆WJ (upah rata-rata sektor jasa)
GDPJ (nilai produksi sektor jasa)
PNSR (jumlah PNS berpendidikan rendah)
LDPRJ (lag permintaan TK berpend. rendah sekt jasa)
F-Hitung = 6.51
Parameter
Prob > |T|
Estimasi
13996.67
-0.68812
0.017205
0.602612
0.175688
<.0001
0.0151
0.3749
<.0001
0.0175
R2 = 0.95549
1501.583
-0.03733
0.007087
0.048144
2.044707
1.126923
0.064549
R2 = 0.59122
-0.1186
-0.1439
0.5419
0.6574
DW = 1.706572
0.1106
0.2759
0.3137
0.1814
0.0321
<.0001
0.3456
R2 = 0.95403
310.3759
-0.01115
0.015119
2.319582
0.478377
Elastisitas
Jangka Jangka
Pendek Panjang
0.4325
0.4598
0.2806
0.0514
0.0142
0.1188
0.0498
0.5555
0.1270
0.0533
0.5938
DW = 2.295689
0.3418
0.6553
DW = 1.784429
114
Pada persamaan DPRP dan DPRI mencapai 95 persen sementara pada persamaan
DPRJ hanya mencapai 59 persen. Secara umum variasi peubah penjelas dalam
masing-masing persamaan DPR berdasarkan sektor mampu menjelaskan fluktuasi
peubah DPR lebih baik (di atas 94 persen). Peubah endogen di dalam persaman
DPR berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara
bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 15 memperlihatkan respon penurunan permintaan TK berpendidikan
rendah akibat peningkatan upah rata-rata di masing-masing sektor tidak elastis
dan signifikan hanya pada persamaan permintaan TK berpendidikan rendah di
sektor pertanian (DPRP). Artinya peningkatan upah rata-rata sektor pertanian
sebesar satu persen akan menurunkan DPRP 0.12 persen.
b.
Berpendidikan Menengah
Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan menengah (DPM)
berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen.
Artinya peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan
95 persen fluktuasi peubah DPM di setiap sektor. Peubah endogen di dalam
persaman DPM berdasarkan sektor dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas
secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 16 memperlihatkan bahwa DPMI lebih responsif terhadap
peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan
menurunkan permintaan TK berpendidikan menengah untuk sektor pertanian 0.32
persen, industri 0.46 persen dan sektor jasa 0.13 persen. Sebaliknya, permintaan
TK berpendidikan menengah di sektor pertanian (DPMP) lebih responsif terhadap
peningkatan GDP sektor pertanian (GDPP). Peningkatan GDP masing-masing
115
sektor sebesar satu persen akan meningkatkan DPM untuk sektor pertanian 1.29
persen, industri 0.37 persen dan sektor jasa 0.26 persen.
Tabel 16. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan
Menengah Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka
Pendek Panjang
DPMP (permint TK berpend. men sekt pertanian)
Intercept
-790.640
WP (upah rata-rata sektor pertanian)
-0.06189
GDPP (nilai produksi sektor pertanian)
0.036499
TKMI (jumlah TK berpend. menengah sekt informal) 0.152310
LDPMP (lag permintaan TK berpend. Menengah sekt pertanian) 0.271813
F-Hitung = 220.69
0.0391
0.0853
0.0135
0.0037
0.0780
R2 = 0.98002
-0.3196
1.2927
0.4201
-0.4389
1.7753
0.5770
DW = 2.470703
DPMI (permint TK berpend. men sektor industri)
Intercept
LWI (lag upah rata-rata sektor industri)
GDPI (nilai produksi sektor industri)
JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial)
LDPMI (lag permint. TK berpend. menengah sekt. industri)
491.7278
-0.06035
0.010516
0.040753
0.818900
F-Hitung = 394.76
R2 = 0.98873
0.0076
0.0018
0.0090
0.4508
<.0001
-0.4618
0.3717
-2.5497
2.0523
DW = 2.197437
DPMJ (permintaan TK berpend men sektor jasa)
Intercept
WJ (upah rata-rata sektor jasa)
GDPJ (nilai produksi sektor jasa)
TKFJ (jumlah TK formal sektor jasa)
LDPMJ (lag permint. TK berpend. menengah sektor jasa)
-75.0290
-0.02904
0.022429
0.235430
0.366813
F-Hitung = 77.45
R2 = 0.94509
0.4466
0.2129
0.0808
0.0020
0.0081
-0.1287
0.2586
0.5333
-0.2033
0.4084
0.8422
DW = 1.473021
Secara umum dapat dikatakan bahwa elastisitas peningkatan kesempatan
kerja bagi TK berpendidikan menengah akibat peningkatan GDP lebih tinggi (dan
elastis) pada sektor pertanian. Hasil kajian tentang elastisitas kesempatan kerja
akibat perubahan GDP yang telah dilakukan oleh Kalangi (2006) memperlihatkan
nilai elastisitas rata-rata kesempatan kerja sektor pertanian (1999-2003) juga
elastis, mencapai 1.49 persen.
116
c. Berpendidikan Tinggi
Pendugaan parameter permintaan TK berpendidikan tinggi (DPT)
berdasarkan sektor memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 95 persen
seperti pada Tabel 17. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas di
dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan 95 persen fluktuasi peubah DPT di
setiap sektor. Peubah endogen di dalam persaman DPT dipengaruhi secara nyata
oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 17. Hasil Estimasi Persamaan Permintaan TK Berpendidikan Tinggi
Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Prob
>
|T|
Jangka
Jangka
Estimasi
Pendek Panjang
DPTP (permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian)
-53.4439
Intercept
-0.00364
WP (upah rata-rata sektor pertanian)
0.002483
GDPP (nilai produksi sektor pertanian)
TKTI (jumlah TK berpend. tinggi sektor informal) 0.016213
LDPTP (lag permintaan TK berpend. tinggi sekt pertanian) 0.505083
F-Hitung = 79.58
R2 = 0.94648
DPTI (permintaan TK berpend tinggi sektor industri)
Intercept
WI (upah rata-rata sektor industri)
GDPI (nilai produksi sektor industri)
JPK (jumlah penyelesaian kasus hubungan industrial)
LDPTI (lag permintaan TK berpend tinggi sektor industri)
39.20398
-0.00658
0.001347
0.067873
0.817348
F-Hitung = 104.40
R2 = 0.95868
0.0754
0.1623
0.0286
0.2863
0.0148
-0.3390
1.5860
-0.6850
3.2047
DW = 1.933074
0.2200
0.1029
0.0619
0.2267
<.0001
-0.4241
0.4011
0.0601
-2.3220
2.1958
0.3289
DW = 2.030049
DPTJ (permintaan TK berpend tinggi sektor jasa)
Intercept
∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa)
GDPJ (nilai produksi sektor jasa)
LDPTJ (lag permintaan TK berpendidikan tinggi sektor jasa)
-279.070
-0.02304
0.014701
0.838590
F-Hitung = 157.86
R2 = 0.96143
0.0627
0.1600
0.0179
<.0001
-0.2614
0.4338
-1.6195
2.6875
DW = 2.723394
Tabel 17 memperlihatkan bahwa DPTI lebih responsif terhadap
peningkatan upah rata-rata. Artinya peningkatan upah rata-rata sektoral akan
menurunkan permintaan TK berpendidikan tinggi untuk sektor pertanian 0.34
117
persen, industri 0.42 persen dan sektor jasa 0.26 persen. Sejalan dengan hasil
penelitian ini, Yudhoyono (2004) juga menyimpulkan kenaikan upah rata-rata
sektor pertanian sebesar 1 rupiah per bulan akan menurunkan penyerapan TK
sektor pertanian sebanyak 5 ribu orang dan untuk TK non pertanian sebanyak 2
ribu orang. Di antara sektor yang diamati, elastisitas permintaan TK
berpendidikan tinggi terhadap peningkatan GDP lebih elastis pada sektor
pertanian yaitu 1.59 persen. Artinya peningkatan GDP sektor pertanian sebesar
satu persen akan meningkatkan DPTP sebesar 1.59 persen. Hasil analisis ini
sejalan dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Kalangi (2006) yang
menyimpulkan bahwa respon peningkatan kesempatan kerja sektor pertanian
akibat peningkatan nilai GDP pertanian mencapai 1.49 persen (1999-2003).
6.2.3. Upah Rata-rata
Hasil pendugaan parameter persamaan upah rata-rata berdasarkan sektor
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 84 persen. Artinya variasi
peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 84
persen fluktuasi peubah upah rata-rata berdasarkan sektor. Peubah endogen dalam
persamaan upah rata-rata sektor pertanian, industri dan jasa dipengaruhi secara
nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 18 memperlihatkan bahwa hasil pendugaan persamaan upah ratarata sektoral secara nyata dipengaruhi oleh upah minimum masing-masing sektor.
Hal tersebut tercermin pada nilai parameter yang berarti peningkatan upah
minimum rata-rata sektoral untuk pekerja yang menjadi target kebijakan upah
minimum sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor pertanian
186 rupiah, industri 180 rupiah dan sektor jasa 261 rupiah.
118
Tabel 18. Hasil Estimasi Persamaan Upah Rata-rata Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Prob
>
|T|
Jangka
Jangka
Estimasi
Pendek Panjang
WP (upah rata-rata sektor pertanian)
Intercept
UMP (upah minimum sektor pertanian)
KHM (Kebutuhan Hidup Minimum)
DEFP (deflator GDP sektor pertanian)
TKFP (jumlah TK formal sektor pertanian)
S (jumlah penawaran TK total)
LWP (lag upah rata-rata sektor pertanian)
4351.285
0.186011
0.235748
7.722205
0.026872
-0.07680
0.347304
F-Hitung = 32.31
R2 = 0.92375
WI (upah rata-rata sektor industri)
Intercept
UMI (upah minimum sektor industri)
KHM (Kebutuhan Hidup Minimum)
DEFI (deflator GDP sektor industri)
TKFI (jumlah TK formal sektor industri)
S (jumlah penawaran TK total)
LWI (lag upah rata-rata sektor industri)
5358.180
0.180116
1.007071
3.237797
2.135565
-0.28723
0.502053
F-Hitung = 22.11
R2 = 0.89239
WJ (upah rata-rata sektor jasa)
Intercept
UMJ (upah minimum sektor jasa)
KHM (Kebutuhan Hidup Minimum)
DEFJ (deflator GDP sektor jasa)
LTKF (lag jumlah TK formal)
S (jumlah penawaran TK total)
LWJ (lag upah rata-rata sektor jasa)
5380.282
0.260546
0.753300
15.60628
0.166095
-0.18927
0.454715
F-Hitung = 13.82
R2 = 0.83822
W (upah rata-rata)
Intercept
L∆UMR (lag perubahan upah minimum rata-rata)
WP (upah rata-rata sektor pertanian)
WI (upah rata-rata sektor industri)
∆WJ (perubahan upah rata-rata sektor jasa)
WL (upah rata-rata sektor lainnya)
LW (lag upah rata-rata)
847.4541
0.062092
0.358429
0.461737
0.258188
0.059693
0.221975
F-Hitung = 67.97
R2 = 0.96225
0.0857
<.0001
0.0888
0.0014
0.4379
0.0131
0.0115
0.3311
0.3383
0.2532
0.5074
0.5183
0.3879
-0.9868
-1.119
DW = 2.147441
0.0414
0.0630
0.0046
0.1847
0.0002
0.0005
0.0003
0.2531
0.7616
0.0502
0.9223
-1.9448
0.5084
1.5294
0.1009
1.8523
-3.9057
DW = 2.354692
0.1585
0.0139
0.0483
0.0129
0.1718
0.0566
0.0084
0.2786
0.4369
0.2015
0.2603
-0.9828
0.5109
0.8012
0.3695
0.4774
-1.8023
DW = 1.583527
0.1545
0.3374
0.1767
0.0034
0.0438
0.0548
0.0703
0.1825
0.4461
0.3253
0.0971
0.2345
0.5734
0.4181
0.1248
DW = 2.34477
119
Fenomena
ini
juga
ditemui
dalam
studi
terdahulu
yang
menyimpulkan bahwa kebijakan upah minimum meskipun secara normatif
ditargetkan pada buruh tanpa pengalaman, berpendidikan rendah dan
mempunyai masa kerja di bawah satu tahun, namun dalam pelaksanaannya
telah menyebabkan kenaikan upah bagi buruh secara keseluruhan atau
dalam kajian ketenagakerjaan disebut upah sundulan (Wirahyoso, 2002).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap upah rata-rata sektoral adalah
KHM. Secara umum terlihat perbaikan pemenuhan upah rata-rata pada sektor
industri relatif lebih baik dibandingkan sektor pertanian dan jasa. Artinya
peningkatan KHM sebesar 1000 rupiah akan meningkatkan upah rata-rata sektor
pertanian 236 rupiah, industri 1007 rupiah dan jasa 753 rupiah.
Faktor tuntutan serikat pekerja yang diproksi dengan peubah jumlah TK
formal di masing-masing sektor juga mempengaruhi nilai upah rata-rata sektoral.
Secara umum upah rata-rata sektor industri lebih respon terhadap tuntutan serikat
pekerja. Artinya peningkatan tuntutan serikat pekerja sebesar satu persen di
masing-masing sektor akan meningkatkan upah rata-rata di sektor pertanian 0.02
persen, industri 0.92 persen dan jasa 0.26 persen. Hasil penelitian terdahulu
juga menyimpulkan bahwa fenomena upah sundulan merupakan dampak
dari kekuatan serikat pekerja untuk menaikkan upah buruh diluar target
kebijakan upah minimum (Priyono,2002).
6.3.
Kinerja Fiskal
Pendugaan
parameter
penerimaan
dan
pengeluaran
pemerintah
berdasarkan sektor pembangunan memberikan koefisien determinasi (R2)
bervariasi antara 26 persen sampai 94 persen seperti pada Tabel 19.
120
Tabel 19. Hasil Estimasi Persamaan Penerimaan dan Pengeluaran
Pemerintah Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka
Pendek Panjang
TAX (penerimaan pajak)
Intercept
AS (penawaran agregat)
LTAX (lag penerimaan pajak)
-126.326
0.001324
0.197561
F-Hitung = 163.31
R2 = 0.94230
GEP (pengeluaran pemb sektor pertanian)
Intercept
∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total)
LINF (lag inflasi nasional)
GDPP/AS (share GDP pertanian thd agregat suplai)
14.98551
0.034337
0.592019
17.57876
F-Hitung = 12.60
R2 = 0.66551
GEI (pengeluaran pemb sektor industri)
Intercept
∆GTR (perubahan penerimaan pemerintah total)
LINF (lag inflasi nasional)
GRI (pertumbuhan sektor industri)
1.898281
0.007940
0.035231
0.100363
F-Hitung = 2.21
R2 = 0.25908
GEIS (pengeluaran pemb untuk infrastruktur)
Intercept
L∆GTR (lag perubahan penerimaan pemerintah total)
LINF (lag inflasi nasional)
LGEIS (lag pengeluaran pemb untuk infrastruktur)
8.594533
0.053636
0.074659
0.829220
F-Hitung = 13.70
R2 = 0.68383
0.0029
0.0004
0.1769
1.3413
1.6716
DW = 1.488553
0.0058
0.0495
<.0001
0.2689
-
0.0173
0.0080
DW = 1.738171
0.0052
0.1521
0.1839
0.0264
-
0.0207
0.0025
0.0061
DW = 2.347546
0.1708
0.1700
0.3928
<.0001
0.0214
0.1254
DW = 1.702487
GEPK (pengeluaran pemb pend dan kesehatan)
Intercept
LUT (lag tingkat pengangguran total)
GTR (penerimaan pemerintah total)
LINF (lag inflasi nasional)
LGEPK (lag pengeluaran pemb untuk pendidikan dan kesehatan)
-0.48610
1.177960
0.011670
0.286771
0.676046
F-Hitung = 23.61
R2 = 0.83993
0.4636
0.1362
0.2659
0.0213
<.0001
0.1563
0.4852
0.0885
0.2732
DW = 1.090124
Peubah endogen di dalam persaman TAX, GEP, GEIS dan GEPK dipengaruhi
secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01
sementara pada persamaan GEI nyata pada taraf 0.1.
121
Tabel 19 memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (TAX) dipengaruhi
secara postif oleh penawaran agregat (AS). Jika AS meningkat satu milyar rupiah
maka TAX akan meningkat sebesar 1.3 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun
jangka panjang penerimaan pajak responsif terhadap peubah AS.
Faktor yang mempengaruhi nilai pengeluaran pembangunan pertanian,
industri, infrastruktur serta pendidikan dan kesehatan adalah penerimaan
pemerintah. Peningkatan penerimaan pemerintah satu milyar rupiah akan
meningkatkan pengeluaran pembangunan sektor pertanian 34 juta rupiah, sektor
industri 7.9 juta rupiah, sektor infrastruktur 53.6 juta rupiah serta sektor
pendidikan dan kesehatan 11.7 juta rupiah. Besarnya pengaruh penerimaan
pemerintah terhadap pengeluaran infrastruktur bisa dipahami karena merupakan
salah satu faktor penting menggerakkan perekonomian.
Lag inflasi juga berpengaruh nyata terhadap besarnya pengeluaran
pembangunan untuk sektor pertanian serta pendidikan dan kesehatan. Artinya
kenaikan laju inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan
meningkatnya nilai peneluaran pembangunan sektor pertanian 590 juta rupiah dan
sektor pendidikan dan kesehatan 290 juta rupiah dalam rangka mempertahankan
nilai riil pengeluaran pemerintah.
6.4.
Kinerja Penawaran Agregat
Hasil pendugaan parameter nilai produksi sektoral memberikan nilai
koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel 20. Artinya variasi
peubah penjelas dalam masing-masing persamaan mampu menjelaskan di atas 96
persen fluktuasi peubah nilai produksi sektor pertanian, industri maupun sektor
jasa.
122
Tabel 20. Hasil Estimasi Persamaan Nilai Produksi Sektoral Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Prob
>
|T|
Jangka
Jangka
Estimasi
Pendek Panjang
GDPP (nilai produksi sektor pertanian)
Intercept
DP (permintaan TK sektor pertanian)
DEFP (deflator GDP sektor pertanian)
∆IP (perubahan investasi sektor pertanian)
∆GEP (perubahan pengeluaran pemb sektor pertanian)
∆GEIS (perubahan pengeluaran pemb infrastruktur)
LGDPP (lag nilai produksi sektor pertanian)
-1574.86
0.098317
0.323054
0.026704
8.215004
7.864306
0.973710
F-Hitung = 394.22
R2 = 0.99328
GDPI (nilai produksi sektor industri)
Intercept
DI (permintaan TK sektor industri)
DEFI (deflator GDP sektor industri)
II (investasi sektor industri)
∆GEI (perubahan pengeluaran pemb sektor industri)
KUK (kredit usaha kecil)
GEIS (pengeluaran pemb infrastruktur)
LGDPI (lag nilai produksi sektor industri)
464.9194
0.918193
38.69647
0.088450
164.7634
32.56100
15.05642
0.609806
F-Hitung = 222.99
R2 = 0.99048
GDPJ (nilai produksi sektor jasa)
Intercept
∆DJ (perubahan permintaan TK sektor jasa)
LDEFJ (lag deflator GDP sektor jasa)
IJ (investasi sektor jasa)
LGEIS (lag pengeluaran pemb sektor pertanian)
LGDPJ (lag nilai produksi sektor jasa)
3889.881
0.265636
7.080491
0.142993
28.04410
0.861724
F-Hitung = 83.80
R2 = 0.96101
0.2489
0.0710
0.4287
0.3062
0.3054
0.2746
<.0001
0.0861
3.2743
DW = 2.028915
0.4706
0.2613
0.1513
0.2619
0.2949
0.0374
0.3786
0.0053
0.1300
0.3331
0.0711
0.1822
DW = 1.275885
0.0489
0.3275
0.1586
0.3540
0.2373
<.0001
0.0351
0.2542
0.7008
5.0685
DW = 0.96101
Peubah endogen dalam persamaan nilai produksi sektor pertanian, industri dan
jasa dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada
taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 20 memperlihatkan permintaan tenaga kerja sektor pertanian (DP)
berpengaruh positip dan nyata terhadap nilai produksi sekroe pertanian (GDPP).
Artinya peningkatan kesempatan kerja di sektor pertanian sebanyak 1 orang akan
123
meningkatkan nilai produksi sektor pertanian sebesar 98.3 juta rupiah. Jika
dibandingkan dengan sektor industri dan jasa maka sektor pertanian menempati
urutan terendah dalam hal produktivitas tenaga kerja sementara sektor industri
menempati urutan teratas. Pada persamaan GDPI, kredit usaha kecil (KUK)
berpengaruh nyata dalam meningkatkan GDPI. Artinya peningkatan KUK sebesar
satu milyar rupiah akan meningkatkan GDPI 32.6 milyar rupiah.
6.5.
Kinerja Permintaan Agregat
Pendugaan parameter persamaan konsumsi (C), ekspor (X) dan impor (M)
memberikan koefisien determinasi (R2) di atas 88 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa peubah-peubah penjelas di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan
99 persen fluktuasi peubah C, 95 persen fluktuasi peubah X dan 88 persen
fluktuasi peubah M. Peubah endogen di dalam persaman C, X, dan M dipengaruhi
secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 21 memperlihatkan bahwa faktor penawaran agregat per kapita
(AS/POP) berpengaruh positif
terhadap pengeluaran konsumsi. Peningkatan
AS/POP satu milyar rupiah akan meningkatkan pengeluaran konsumsi nasional 46
triliun rupiah. Sementara inflasi berpengaruh negatif
terhadap pengeluaran
konsumsi. Peningkatan inflasi sebesar satu persen akan menurunkan pengeluaran
konsumsi nasional 225 milyar rupiah.
Nilai ekspor dipengaruhi secara positif oleh nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan meningkatkan nilai
ekspor 1.04 milyar rupiah rupiah. Demikian pula penawaran agregat (AS)
berpengaruh positip terhadap nilai ekspor. Peningkatan AS satu milyar rupiah
akan meningkatkan nilai ekspor 0.30 milyar rupiah.
124
Tabel 21. Hasil Estimasi Persamaan Konsumsi, Ekspor dan Impor Tahun
1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Estimasi Prob > |T| Jangka Jangka
Pendek Panjang
C (konsumsi)
Intercept
AS/POP (pendapatan per kapita)
INF (inflasi nasional)
LC (lag konsumsi)
-19490.6
45985.72
-224.958
0.796406
F-Hitung = 1747.91
R2 = 0.99639
X (nilai ekspor)
Intercept
ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika)
AS (penawaran agregat)
LX (lag nilai ekspor)
-9074.23
1.042679
0.300933
0.039729
F-Hitung = 133.87
R2 = 0.95483
M (nilai impor)
Intercept
ER (nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika)
AS (penawaran agregat)
LM (lag nilai impor)
-9694.45
-1.24392
0.220442
0.427867
F-Hitung = 48.29
R2 = 0.88405
0.0004
<.0001
0.0049
<.0001
0.3854
-0.0161
1.8929
-0.0791
DW = 1.447554
0.0578
0.0844
<.0001
0.4081
0.0547
1.0216
0.0569
1.0639
DW = 2.636538
0.1152
0.1093
0.0004
0.0063
-0.0695
0.7973
-0.1215
1.3936
DW = 2.127146
Nilai impor dipengaruhi secara negatif oleh nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS (ER). Peningkatan ER satu rupiah per dollar akan menurunkan nilai
impor 1.25 milyar rupiah rupiah. Sebaliknya penawaran agregat (AS) berpengaruh
positip terhadap nilai impor. Peningkatan AS satu milyar rupiah akan
meningkatkan nilai impor 0.22 milyar rupiah.
Tabel 22 memperlihatkan hasil pendugaan parameter pada persamaan
nilai investasi berdasarkan sektor memberikan nilai koefisien determinasi (R2)
bervariasi yaitu sektor pertanian 58 persen, industri 76 persen sementara jasa
hanya 37 persen. Artinya variasi peubah penjelas dalam masing-masing
persamaan mampu menjelaskan fluktuasi peubah investasi untuk sektor pertanian
58 persen, industri 76 persen sementara jasa hanya 37 persen.
125
Tabel 22. Hasil Estimasi Persamaan Investasi Sektoral Tahun 1980-2004
Peubah
Elastisitas
Parameter
Prob
>
|T|
Jangka
Jangka
Estimasi
Pendek Panjang
IP (investasi sektor pertanian)
Intercept
∆SB (perubahan suku bunga)
UMR (upah minimum rata-rata)
LAS (lag penawaran agregat)
∆KP (perubahan jumlah kasus pemogokan)
DDF (dummy desentralisasi fiskal)
LIP (lag investasi sektor pertanian)
1321.929
-49.5038
-1.34291
0.025921
-5.32200
3653.718
0.614324
F-Hitung = 3.79
R2 = 0.58679
II (investasi sektor industri)
Intercept
∆SB (perubahan suku bunga)
UMR (upah minimum rata-rata)
AS (penawaran agregat)
KP (jumlah kasus pemogokan)
DDF (dummy desentralisasi fiskal)
LII (lag investasi sektor industri)
-7936.68
-82.6170
-2.26652
0.246194
-23.2645
-24116.6
0.139976
F-Hitung = 8.58
R2 = 0.76298
IJ (investasi sektor jasa)
Intercept
SB (suku bunga)
LUMR (lag upah minimum rata-rata)
AS (lag upah minimum rata-rata)
LKP (perubahan jumlah kasus pemogokan)
DDF (dummy desentralisasi fiskal)
LIJ (lag investasi sektor jasa)
-254.735
-2.75548
-0.35560
0.012588
-0.94728
2692.560
0.091524
F-Hitung = 1.58
R2 = 0.37198
0.3778
0.3108
0.0880
0.1918
0.3379
0.1655
0.0029
-0.3045
0.9693
-0.7895
2.5133
DW = 1.562349
0.2417
0.3607
0.1589
0.0095
0.2405
0.0121
0.2821
-0.0796
1.4254
-0.0899
-0.0925
1.6574
-0.1045
DW = 2.380518
0.4438
0.4802
0.1294
0.1235
0.4196
0.0614
0.3576
-0.2794
1.6311
-0.3075
1.7954
DW = 1.539115
Peubah endogen dalam persamaan nilai investasi sektor pertanian dan industri
dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf
nyata (α) 0.01 kecuali pada sektor jasa hanya 0.2.
Persamaan investasi sektoral dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga
nominal dan faktor ketidakpastian di pasar TK yaitu upah minimum rata-rata
(UMR) dan jumlah kasus pemogokan (KP). Peningkatan suku bunga nominal
sebesar satu persen akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 49.5 milyar
126
rupiah, industri 82.6 milyar rupiah dan jasa 2.8 milyar rupiah. Peningkatan UMR
sebesar satu rupiah per tahun akan menurunkan nilai investasi sektor pertanian 1.3
milyar rupiah, industri 2.3 milyar rupiah dan jasa 0.4 milyar rupiah. Selanjutnya
peningkatan jumlah kasus pemogokan satu kasus per tahun akan menurunkan nilai
investasi sektor pertanian 5.3 milyar rupiah, industri 23.3 milyar rupiah dan jasa
1.0 milyar rupiah.
Pada kenyataannya, sektor pertanian mempunyai rata-rata nilai investasi
paling rendah di era otda yang telah lalu, yaitu 3.46 persen dari total investasi
dibanding sektor lain tahun 2001-2004. Hasil penelitian Kalangi (2006) juga
menyimpulkan hal serupa ( 2.04 persen), karena dianggap sektor pertanian kurang
menguntungkan bagi investor asing. Namun, sumbangan sektor pertanian
terhadap PDB relatif besar, rata-rata di era otda yang telah lalu mencapai 15.73
persen tahun 2001-2004. Sumbangan terhadap peningkatan kesempatan kerja
pada periode yang sama mencapai 44.42 persen.
6.6.
Kinerja Moneter
Pendugaan parameter persamaan penawaran uang (MS), permintaan uang
(MD) dan suku bunga nominal (SB) memberikan koefisien determinasi (R2) di
atas 84 persen seperti pada Tabel 23. Artinya peubah-peubah penjelas di dalam
persamaan tersebut dapat menjelaskan 99 persen fluktuasi peubah MS dan MD,
dan 84 persen fluktuasi peubah SB. Peubah endogen di dalam persaman MS, MD
dan SB dipengaruhi secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada
taraf nyata (α) 0.01.
127
Tabel 23. Hasil Estimasi Persamaan Penawaran dan Permintaan Uang
serta Suku Bunga Tahun 1980-2004
Peubah
Parameter
Estimasi Prob > |T|
Elastisitas
Jangka Jangka
Pendek Panjang
MS (penawaran uang)
Intercept
AD (permintaan agregat)
SB (suku bunga)
∆ER (perubahan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika)
LMS (lag penawaran uang)
-485.902
0.004305
3.060249
0.026827
0.454207
F-Hitung = 892.35
R2 = 0.99498
<.0001
<.0001
0.0555
0.0208
0.9622
0.0501
0.0926
1.7630
0.0919
0.1697
DW = 1.342731
MD (permintaan uang)
Intercept
AD (permintaan agregat)
∆SB (perubahan suku bunga)
DKE (dummy krisis ekonomi)
LMD (lag permintaan uang)
-341.791
0.003544
-1.63250
48.77867
0.554641
F-Hitung = 774.43
R2 = 0.99422
0.0002
<.0001
0.1065
0.1525
<.0001
0.7921
-0.0105
1.7786
-0.0236
DW = 1.192748
SB (suku bunga)
Intercept
∆MS (perubahan penawaran uang)
LAD (lag permintaan agregat)
LINF (lag inflasi nasional)
LSB (lag suku bunga)
3.015449
-0.00527
5.074E-6
0.630957
0.455050
F-Hitung = 23.22
R2 = 0.83765
0.1614
0.2581
0.2839
<.0001
0.0002
0.3829
0.7026
DW = 1.403858
Tabel 23 memperlihatkan permintaan agregat (AD) berpengaruh potitif
terhadap penawaran uang (MS), permintaan uang (MD) dan suku bunga nominal
(SB). Peningkatan AD satu milyar rupiah akan meningkatkan MS 4.3 juta rupiah,
MD 3.5 juta rupiah dan suku bunga nominal 0.00001 persen. Peningkatan SB satu
persen menyebabkan peningkatan MS 3.1 milyar rupiah, sebaliknya terjadi
penurunan MD 1.6 milyar rupiah. Nilai tukar berpengaruh positif terhadap MS.
Peningkatan selisih nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun sekarang dan
tahun lalu sebesar satu rupiah per dollar akan meningkatkan MS 26.8 juta rupiah.
128
Tingkat suku bunga juga dipengaruhi secara positif oleh lag inflasi. Peningkatan
inflasi tahun sebelumnya sebesar satu persen akan menyebabkan peningkatan
suku bunga nominal 0.63 persen. Respon peningkatan suku bunga akibat
peningkatan lag inflasi tidak elastis dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang.
6.7.
Kinerja Keseimbangan Makro
Hasil pendugaan parameter persamaan indeks harga konsumen (CPI)
memberikan nilai koefisien determinasi (R2) di atas 96 persen seperti pada Tabel
24. Artinya variasi peubah penjelas dalam persamaan mampu menjelaskan 96
persen fluktuasi peubah CPI. Peubah endogen dalam persamaan CPI dipengaruhi
secara nyata oleh peubah penjelas secara bersama-sama pada taraf nyata (α) 0.01.
Tabel 24. Hasil Estimasi Persamaan Indeks Harga Konsumen Tahun 19802004
Parameter
Estimasi
Prob > |T|
Intercept
LSB (lag suku bunga)
LW (lag upah rata-rata)
LCPI (lag indeks harga konsumen)
-55.1704
0.065295
0.006445
0.904354
0.0358
0.4584
0.0067
<.0001
F-Hitung = 143.18
R2 = 0.95764
Peubah
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
CPI (indeks harga konsumen)
0.5455
5.7031
DW = 2.469837
Tabel 24 memperlihatkan faktor lag upah (LW) berpengaruh positif
terhadap peningkatan CPI. Peningkatan LW satu rupian per tahun akan
meningkatkan CPI sebesar 0.007. Respon peningkatan CPI akibat peningkatan lag
upah tidak elastis dalam jangka pendek tetapi elastis dalam jangka panjang.
VII. DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP
TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN
INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH
Bab ini akan membahas penerapan model pasar TK dan perekonomian
Indonesia yang telah diestimasi pada bab sebelumnya. Simulasi dilakukan melalui
beberapa alternatif kebijakan dengan tujuan untuk mengevaluasi perubahan
terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otda yang telah
berlalu dan era otda di masa yang akan datang. Evaluasi kebijakan dilakukan
dengan membandingkan dampak yang ditimbulkan oleh alternatif kebijakan
(simulasi kebijakan) dengan tanpa alternatif kebijakan (simulasi dasar).
Diharapkan hasil evaluasi tersebut dapat menjadi landasan untuk memberi saran
langkah-langkah antisipasi dan perbaikan dalam rangka menghindari dampak
negatif dan mengupayakan peningkatan dampak positif di era otda masa yang
akan datang.
7.1.
Hasil Validasi Model
Validasi model ekonometrika pasar TK dan perekonomian Indonesia
dilakukan untuk periode pengamatan 2001-2004 (era otda). Hasil validasi
berdasarkan kriteria statistik memiliki nilai RMS % Error di bawah 20
persen (45 persamaan) sementara 7 persamaan memiliki nilai RMS % Error
antara 40-65 persen seperti pada Lampiran 5. Bias (UM), Reg (UR) dan Var
(US) secara keseluruhan mendekati nilai nol. Nilai U-Theil secara
keseluruhan mendekati nol yang mengindikasikan bahwa simulasi model
mendekati data aktualnya dengan baik (Sitepu dan Sinaga, 2006).
130
Berdasarkan kriteria tersebut model yang dibangun mempunyai daya ramal
cukup valid untuk melakukan simulasi historis dan simulasi peramalan.
Mempertimbangkan bahwa nilai riil upah pekerja berpengaruh
terhadap kemampuan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, studi ini
melakukan beberapa simulasi kebijakan upah minimum yang berkaitan
dengan tingkat inflasi. Selanjutnya juga dilakukan simulasi dampak lanjutan
dari permasalahan upah yang menyebabkan semakin rumitnya permasalahan
hubungan industrial di era otda.
7.2.
Evaluasi Alternatif Simulasi Kebijakan Periode Historis Tahun
2001-2004
7.2.1. Upah Minimum Tetap Msing-masing Sebesar Nilai Tahun 2000
Simulasi 1 menggambarkan jika sejak tahun 2001 tidak ada penyesuaian
terhadap nilai upah minimum. Artinya nilai upah minimum tahun 2001-2004 tetap
sebesar nilai upah minimum riil tahun 2000 (nilai upah minimum diriilkan dengan
GDP deflator tahun dasar 1990) yaitu upah minimum sektor pertanian 9985
rupiah per tahun, industri 14732 rupiah per tahun, jasa 14852 rupiah per tahun,
dan upah minimum rata-rata 6837 rupiah per tahun. Simulasi ini ingin melihat
bagaimana arti penting kebijakan upah minimum yang selama era otda lalu tetap
diterapkan pemerintah. Diilhami dari pepatah ”you will never appreciate health
until you are sick”, simulasi ini dapat memperlihatkan dampak tidak adanya
penyesuaian nilai upah minimum setiap tahun terhadap perekonomian Indonesia
di era otda seperti pada Tabel 25. Melihat dari sisi kepentingan, simulasi ini lebih
mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan investasi.
131
Tabel 25
132
Hasil simulasi 1 secara umum memperlihatkan dampak positif terhadap
tingkat pengangguran total, inflasi dan penawaran agregat seperti pada Tabel 25.
Tingkat pengangguran total berkurang 0.23 persen (menurun menjadi 9.23
persen). Berdasarkan tingkat pendidikan terjadi penurunan paling besar pada
pengangguran TK berpendidikan menengah yang mencapai 0.21 persen (menurun
menjadi 2.95 persen).
Yang menarik dan merupakan temuan dalam penelitian ini adalah simulasi
1 justru berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran berpendidikan
rendah. Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai Upah Minimum
Pertanian (UMP) yang setiap tahun meningkat secara nominal. Tetapi nilai riil
UMP (diriilkan dengan GDP deflator tahun dasar 1990) memperlihatkan
penurunan sejak tahun 1997-2004 seperti pada Gambar 13.
Upah Minimum Riil (Rp./tahun)
30000.00
25000.00
20000.00
15000.00
10000.00
5000.00
0.00
1997
1998
1999
UMJ
2000
UMP
2001
2002
UMR
2003
2004
Tahun
UMI
Gambar 13. Perkembangan Upah Minimum Sektoral Riil
(Tahun Dasar 1990) di Era Otda
Sumber: depnakertrans, 2007 (diolah).
Kecenderungan penurunan nilai upah minimum riil juga dialami oleh
sektor industri dan jasa serta UMR. Di masa krisis ekonomi tahun 1997-1998
133
terjadi penurunan nilai upah minimum untuk seluruh sektor dan UMR seperti
pada Gambar 12. Setelah krisis ekonomi nilai upah minimum riil kembali
meningkat tetapi tidak demikian halnya untuk sektor pertanian. Kecenderungan
nilai UMP yang menurun menyebabkan simulasi penyesuaian nilai upah
minimum sampai tahun 2000 menyebabkan nilai rata-rata UMP yang lebih tinggi
dibandingkan
pada
simulasi
dasar
(2001-2004).
Dampak
selanjutnya
menyebabkan upah rata-rata sektor pertanian meningkat dan kesempatan kerja
berdasarkan pendidikan dan sektor
memperlihatkan hanya pada tenaga kerja
berpendidikan rendah dan di sektor pertanian yang menurun. Dampak selanjutnya
adalah hanya tingkat pengangguran berpendidikan rendah yang justru meningkat.
Simulasi 1 dapat membuka peluang bagi perusahaan untuk semakin
mengeksploitasi buruh dengan cara membayar pekerja pada upah yang semakin
rendah dibandingkan dengan produktifitas pekerja. Simulasi 1 berdampak positif
terhadap penurunan tingkat inflasi 0.50 persen (turun menjadi 5.74 persen) dan
peningkatan penawaran agregat 1.37 persen. Peningkatan nilai penawaran agregat
disebabkan oleh meningkatnya nilai investasi dan kesempatan kerja sektoral.
Investasi total dapat meningkat 46.13 persen (bertambah 44.4 triliun rupiah).
Kesempatan kerja total dapat meningkat 0.14 persen (bertambah 135 ribu orang).
Secara
umum
simulasi
1
menghasilkan
penurunan
tingkat
pengangguran total, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi yang relatif
stabil. Kuat dugaan membaiknya indikator ekonomi makro tersebut akan
direspon oleh pekerja secara fisik dan emosional yang dapat terwujud dalam
bentuk maraknya kasus pemogokan dan unjuk rasa. Oleh organisasi buruh
dunia (ILO) fenomena tersebut disebabkan stres pekerja.
134
7.2.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 Persen
Simulasi 2 ingin mengevaluasi dampak dari kebijakan yang secara
nominal terlihat seolah-olah pemerintah telah mencoba mempertimbangkan
kepentingan pekerja tetapi secara riil belum mampu meningkatkan kesejahteraan
buruh. Tabel 26 memperlihatkan peningkatan upah minimum rata-rata 1
persen (dimana kenaikan tersebut dibawah rata-rata tingkat inflasi 2001-2004
yaitu 8.83 persen) berdampak pada peningkatan tingkat pengangguran total
sebesar 0.04 persen (mencapai 9.50 persen). Dari persentase tersebut
peningkatan pengagguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan
rendah (4.35 persen). Sejalan dengan hasil penelitian ini, Suryahadi (2003)
juga menyimpulkan bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial
terpukul oleh kebijakan upah minimum karena para pekerja tersebut sangat
rentan terhadap perubahan dalam pasar TK.
Dampak peningkatan upah minimum satu persen atau kenaikan di
bawah rata-rata tingkat inflasi menyebabkan penurunan nilai investasi total
0.53 persen. Penurunan nilai investasi tertinggi pada sektor pertanian yang
mencapai 6.96 persen (menurun 260 milyar rupiah per tahun). Kesempatan
kerja sektoral pertanian menurun -0.05 persen, industri -0.06 persen dan
jasa -0.04 persen. Sejalan dengan penurunan kesempatan kerja sektoral
tersebut,
nilai produksi sektor pertanian menurun 0.02 persen, sektor
industri -0.05 persen dan jasa -0.02 persen. Selanjutnya agregasi nilai
produksi sektoral menghasilkan penurunan nilai penawaran agregat 0.02
persen dan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 0.06 persen.
135
Tabel 26
136
7.2.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8.83 Persen
Simulasi 3 ingin mengevaluasi dampak dari kebijakan seandainya
pemerintah mencoba mempertahankan kesejahteraan buruh. Artinya pekerja
Indonesia
tidak
membutuhkan
tambahan
dana
untuk
mempertahankan
kesejahteraan pada kondisi tingkat inflasi yang setiap tahun meningkat.
Hasil simulasi 3 seperti pada Tabel 27 memperlihatkan dampak
tingkat pengangguran total meningkat 0.36 persen (mencapai 9.82 persen).
Hal ini disebabkan semakin besarnya jarak antara peningkatan penawaran
TK yang meningkat 0.11 persen sementara kesempatan kerja total
berkurang -0.29 persen. Secara sektoral, kesempatan kerja sektor pertanian
menurun -0.42 persen, industri -0.49 persen, dan jasa -0.36 persen.
Peningkatan UMR di atas rata-rata tingkat inflasi 2001-2004 telah
menyebabkan semakin meningkatnya faktor resiko ketidakpastian di pasar
tenaga kerja. Karena nilai investasi cenderung bergantung pada harapan
akan masa yang akan datang maka pandangan investor tentang masa depan
pasar tenaga kerja akan sangat memainkan peranan. Penurunan nilai
investasi sektoral dan total selanjutnya menurunkan nilai produksi sektor
pertanian 0.16 persen (menurun 86 milyar rupiah), industri 0.44 persen
(menurun 403 milyar rupiah), dan jasa 0.18 persen (menurun 95 milyar
rupiah). Penawaran agregat menurun -0.17 persen (menurun 584 milyar
rupiah). Inflasi meningkat 0.53 persen (mencapai 6.77 persen). Secara
umum, upaya mempertahankan kesejahteraan buruh melalui upah minimum
pada simulasi 3 menghasilkan trade off berupa memburuknya kondisi
perekonomian makro.
137
Tabel 27
138
7.2.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 10 Persen
Simulasi 4 ingin mengevaluasi kebijakan yang mempertimbangkan
bagaimana upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja melalui peningkatan upah secara riil. Syamsudin (2003)
menyatakan bahwa semakin tinggi selisih persentase peningkatan upah
minimum dengan tingkat inflasi semakin efektif kebijakan upah dapat
meningkatkan
kesejahteraan
menunjukkan
peningkatan
pekerja.
kesejahteraan
Namun
hasil
pekerja
penelitian
yang
ini
disebabkan
peningkatan upah minimum di atas tingkat inflasi menghasilkan trade off
berupa peningkatan tingkat pengangguran seperti pada Tabel 28.
Tabel 28 memperlihatkan peningkatan upah minimum rata-rata 10
persen (diatas tingkat inflasi rata-rata 2001-2004 sebesar 8.83 persen)
menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran total sebesar 0.41 persen
(mencapai 9.87 persen). Dari persentase tersebut peningkatan pengagguran
didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah (4.53 persen).
Sejalan dengan hasil penelitian ini, Suryahadi (2003) juga menyimpulkan
bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial terpukul oleh kebijakan
upah minimum karena para pekerja tersebut sangat rentan terhadap
perubahan dalam pasar TK.
Dari sisi perusahaan, peningkatan upah minimum di atas tingkat
inflasi menyebabkan penurunan kesempatan kerja sektoral pertanian -0.48
persen (berkurang 198 ribu orang), industri -0.55 persen (berkurang 64 ribu
orang) dan jasa -0.41 persen (berkurang 41 ribu orang).
139
Tabel 28
140
Sejalan dengan hal tersebut, nilai produksi sektor pertanian menurun 0.18
persen (turun 98 milyar rupiah), sektor industri -0.5 persen (turun 456
milyar rupiah) dan jasa -0.2 persen (turun 107 milyar rupiah). Selanjutnya
agregasi nilai produksi sektoral menghasilkan penurunan nilai penawaran
agregat dan menyebabkan peningkatan indeks harga konsumen. Pada
akhirnya perubahan tersebut menyebabkan inflasi sebesar 0.6 persen
(mencapai 6.84 persen) dan peningkatan suku bunga 0.38 persen (mencapai
14.58 persen).
7.2.5. Penurunan Kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 Persen,
Industri 2 Persen, dan Jasa 2,5 Persen
Simulasi 5 ingin mengevaluasi kebijakan seandainya pemerintah pada era
otda yang telah lalu meningkatkan peran sebagai regulator untuk membuat
peraturan yang dapat mengontrol kekuatan serikat pekerja untuk menuntut
kenaikan upah pada saat pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap upah
minimum seperti pada Tabel 29. Berdasarkan hasil survey Depnakertrans, pihak
pengusaha merasa diberatkan dengan adanya tuntutan peningkatan upah pekerja
diluar kesepakatan peningkatan upah minimum yang ditetapkan pemerintah dab
berarti terjadi peningkatan biaya produksi.
Dampak penurunan kekuatan serikat buruh dalam menuntut kenaikan upah
berpengaruh langsung pada penurunan upah rata-rata pekerja diluar target
kebijakan upah minimum. Dibandingkan pada sektor pertanian dan jasa, dampak
penurunan kekuatan serikat pekerja terhadap tuntutan rata-rata upah di sektor
industri paling tinggi.
141
Tabel 29
142
Meskipun simulasi penurunan kekuatan serikat pekerja untuk sektor industri
paling rendah, yaitu hanya 1.5 persen, tetapi dampak terhadap peningkatan upah
rata-rata sektor industri mencapai 3.11 persen. Hal tersebut disebabkan karena
respon peningkatan upah rata-rata sektor industri akibat kekuatan serikat pekerja
untuk menuntut kenaikan upah mencapai 0.92 persen dalam jangka pendek dan
1.85 persen dalam jangka panjang yang berarti paling tinggi dibandingkan pada
sektor pertanian dan jasa. Artinya kontrol pemerintah dan perusahaan terhadap
kekuatan serikat pekerja di sektor industri lebih berpengaruh terhadap besaran
sundulan upah di sektor industri dibandingkan pada sektor jasa dan sektor
pertanian. Penurunan upah rata-rata selanjutnya akan berdampak pada
peningkatan kesempatan kerja, nilai produksi, dan nilai investasi.
7.2.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan 50 Persen
Simulasi 6 mencerminkan peran pemerintah sebagai mediator yang dapat
berperan dalam menyelesaikan permasalahan antara pekerja dan pengusaha.
Berdasarkan adata aktual, setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kasus
pemogokan yang tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003. kasus
pemogokan sering disertai tindakan pengrusakan fasilitas perusahaan, fasilitas
publik, dan mengganggu kepentingan umum (Depnakertrans, 2007).
Selain tingkat suku bunga, pandangan investor tentang masa depan pasar
tenaga kerja memainkan peran besar terhadap keputusan investasi. Waktu adalah
faktor kunci dalam keputusan investasi karena nilai investasi memiliki masa hidup
beberapa tahun (Case and Fair, 2004). Penurunan kasus pemogokan secara
langsung akan menurunkan faktor ketidak pastian dalam pasar tenaga kerja.
143
Tabel 30
144
Dampak penurunan kasus pemogokan 50 persen akan meningkatkan nilai
investasi total 2.33 persen seperti pada Tabel 30. Peningkatan nilai investasi total
selanjutnya berdampak pada penambahan kapasitas produksi yang tercermin pada
peningkatan penawaran agregat 0.12 persen dan peningkatan kesempatan kerja
total 0.02 persen. Terjadi perbaikan perekonomian secara makro yang dapat kita
amati dari penurunan tingkat pengangguran total 0.013 persen dan penurunan
tingkat inflasi 0.001 persen.
7.2.7. Penurunan Suku Bunga 5 Persen
Simulasi 7 menggambarkan instrumen kebijakan yang dapat dilakukan
pemerintah untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi.
Penurunan tingkat suku bunga 5 persen dapat meningkatkan nilai investasi sektor
pertanian dengan nilai prosentase peningkatan paling tinggi dibandingkan sektor
industri, jasa dan total seperti pada Tabel 31. Tetapi secara nominal peningkatan
nilai investasi sektor industri paling tinggi yang mencapai 489 milyar rupiah.
Hasil penelitian Kalangi (2000) juga memperlihatkan rendahnya pangsa
perolehan investasi pertanian. Selama kurun waktu 1999-2003 sektor pertanian
mendapat bagian penanaman modal asing maupun dlam negri paling kecil (2.04.5 persen). Sementara di dalam penelitian yang sama disimpulkan bahwa sektor
pertanian sangat berperan sebagai katup penelamat perekonomian Indonesia
ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997/1998.
Simulasi 7 juga berdampak positif terhadap perbaikan pasar TK. Terjadi
penurunan Pengangguran TK di semua jenjang pendidikan tetapi tingkat
pengangguran masih didominasi oleh TK berpendidikan rendah.
145
Tabel 31
146
Instrumen pada simulasi 7 terlihat efektif untuk menurunkan tingkat
pengangguran melalui peningkatan nilai investasi, peningkatan nilai produksi dan
kesempatan kerja. Simulasi 7 juga berdampak positif dalam menurunkan inflasi
nasional 0.1 persen sehingga turun menjadi 6.14 persen.
7.2.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 25 persen
Pemerintah dapat mempengaruhi kondisi perekonomian makro melalui
kebijakan fiskal. Salah satunya adalah melalui pengeluaran infrastruktur.
Pengeluaran pembangunan infrastruktur adalah salah satu upaya yang dapat
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan modal publik untuk memproduksi barang dan jasa. Infrastruktur
dalam penelitian ini disebut juga modal publik yang merujuk pada jalan,
jembatan, PDAM, pelabuhan dan lain-lain yang secara kolektif menyumbang
kepada barang publik (Case and Fair, 2004). Sebuah jembatan di atas sungai di
lokasi yang sulit dapat menghemat biaya transportasi orang yang melalui dan
biaya pengangkutan barang. Hasil dalam bentuk jasa yang bernilai di masa depan
itulah yang seharusnya memberikan dorongan kepada pemerintah dalam
meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur.
Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur secara langsung berdampak
pada sisi penawaran agregat melaui nilai produksi sektoral seperti pada Tabel 32.
Nilai produksi sektor jasa meningkat 0.58 persen (meningkat 312.4 milyar rupiah
per tahun). Sementara pengeluaran infrastruktur sebesar 25 persen belum mampu
meningkatkan nilai produksi sektor pertanian dan industri. Masih menurunnya
nilai produksi sektor pertanian dan industri menyebabkan kesempatan kerja di
sektor tersebut juga menurun.
147
Tabel 32
148
Sementara terhadap total permintaan tenaga kerja total telah miningkat, demikian
pula pada total nilai produksi agregat. Simulasi 8 telah mampu menurunkan
tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan dan tingkat pengangguran total
0.02 persen dan juga menurunkan tingkat inflasi 0.0002 persen.
7.2.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5
Simulasi 9 menggambarkan upaya yang dapat dilakukan pemerintah
agar skenario 4 dapat lebih efektif dengan cara mengontrol kekuatan serikat
buruh agar sundulan upah dapat diredam. Kekuatan serikat buruh ini
menjadi penting untuk diperhitungkan mengingat sejak reformasi dan
demokratisasi setelah tahun 1997 serikat buruh semakin banyak dan
menguat terutama dalam hal menuntut kenaikan upah.
Secara empiris dinyatakan bahwa bila upah minimum ditingkatkan
tanpa memenuhi tuntutan serikat pekerja untuk meningkatkan upah bagi
buruh diluar target kebijakan upah minimum maka pada dasarnya
perusahaan
dapat
melakukan
penyesuaian
terhadap
biaya
produksi.
Akibatnya terjadi peningkatan rata-rata upah sektor pertanian 1.66 persen,
industri -0.13 persen dan jasa 1.94 persen yang relatif kecil dibandingkan
pada simulasi 4 seperti pada Tabel 33. Demikian pula penurunan kesempatan
kerja, penurunan nilai produksi sektoral dan penurunan produksi agregat
relatif lebih kecil dibandingkan pada simulasi 4. Simulasi 9 menunjukkan
perbedaan peningkatan tingkat suku bunga yang relatif kecil, hanya 0.145
persen (mencapai 14.33 persen), lebih rendah dibandingkan pada simulasi 4
yang meningkat 0.38 persen.
149
Tabel 33
150
Demikian pula tingkat inflasi pada simulasi 8 yang meningkat 0.13 persen
(mencapai 6.37 persen), lebih rendah dibandingkan peningkatan inflasi pada
simulasi 4 yang mencapai 0.60 persen dari simulasi dasar tingkat inflasi
yaitu 6.24 persen.
7.2.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8
Kombinasi simulasi penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan
pengeluaran infrastruktur memperlihatkan dampak positif pada penurunan tingkat
pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai investasi dan penawaran agregat.
Namun, besaran kombinasi simulasi tersebut belum mampu meningkatkan nilai
produksi sektor pertanian. Sejalan dengan penurunan nilai produksi pada sektor
tersebut, juga terjadi penurunan kesempatan kerja di sektor pertanian. Meski
Simulasi 10 dapat meningkatkan prosentase nilai investasi sektor pertanian paling
tinggi tetapi secara nominal hanya meningkat 435 milyar rupiah (lebih rendah
dibandingkan sektor industri yang meningkat 526 milyar rupiah. Namun secara
agregat terjadi peningkatan kesempatan kerja total disebabkan adanya
peningkatan nilai produksi sektor jasa dan peningkatan nilai investasi pada
seluruh sektor. Tingkat pengangguran menurun
0.02 persen dan masih
didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah yang mencapai 4.33 persen.
Simulasi 10 merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk
menggerakkan sektor riil melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter. Dari
kedua kebijakan tersebut, kebijakan fiskal melaui instrumen peningkatan
pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur terlihat lebih efektif memperbaiki
kondisi perekonomian makro dilihat dari indikator tingkat pengangguran, tingkat
inflasi dan penawaran agregat.
151
Tabel 34
152
7.3.
Simulasi Kebijakan Peramalan Tahun 2007-2010
Hasil simulasi dasar ex-ante tanpa alternatif kebijakan memperlihatkan
periode
2007-2010
diperkirakan
pertumbuhan
penawaran
TK
dan
kesempatan kerja belum seimbang. Pertumbuhan penawaran TK meningkat
2.04 persen sementara pertumbuhan kesempatan kerja hanya meningkat
0.69
persen
seperti
pada
Tabel
35.
Konsekuensinya
pertumbuhan
peningkatan tingkat pengangguran total diperkirakan mencapai 8.83 persen
per
tahun.
Berdasarkan
tingkat
pendidikan,
pertumbuhan
tingkat
pengangguran TK berpendidikan tinggi terlihat dominan mencapai 14.19
persen per tahun. Fenomena ini desebabkan keberhasilan dunia pendidikan
dalam menciptakan tenaga kerja berpendidikan tinggi yang lebih besar dari
daya serap pasar TK. Disamping itu, studi yang dilakukan Depnakertrans
(1998-2004) menyimpulkan tingginya pertumbuhan pengangguran TK
berpendidikan tinggi dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) ada
ketidaksepadanan antara persyaratan lowongan kerja yang tersedia dengan
kualifikasi TK berpendidikan tinggi, (2) keterbatasan informasi pasar dalam
mengisi lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi, dan (3)
tingginya preferensi pencari kerja berpendidikan tinggi sehingga semakin
cenderung selektif dalam memilih pekerjaan.
Pertumbuhan nilai produksi sektoral lebih tinggi pada sektor industri
yang mencapai 1.76 persen, sektor jasa 0.96 persen dan sektor pertanian
0.41 persen. Tingginya pertumbuhan nilai produksi sektor industri tersebut
sejalan dengan tingginya pertumbuhan kesempatan kerja di sektor industri
yang mencapai 1.73 persen per tahun. Pertumbuhan penawaran agregat
meningkat mencapai 1.88 persen per tahun.
153
Tabel 35
154
Tabel 35
155
Pertumbuhan indeks harga konsumen meningkat 9.65 persen diikuti
dengan peningkatan pertumbuhan suku bunga 4.57 persen per tahun.
Selanjutnya pertumbuhan investasi sektoral menurun dan penurunan
terendah pada sektor jasa. Tingkat inflasi relatif tinggi namun cenderung
stabil pada 9.5 persen. Tetapi pertumbuhan tingkat inflasi diperkirakan akan
relatif menurun sekitar -0.06 persen per tahun.
Tabel 35 memperlihatkan nilai produksi agregat dan nilai investasi total
diperkirakan semakin meningkat tahun 2007-2010. Sejalan dengan peningkatan
nilai produksi agregat dan nilai investasi total, tingkat pengangguran total tahun
2007-2010 diperkirakan juga akan semakin meningkat mencapai 11.49 persen.
Kondisi tersebut disebabkan rata-rata pertumbuhan output nasional 2007-2010
(2.91 persen) masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan kelebihan
penawaran TK (10.81 persen). Sumber permasalahan dampak tersebut adalah
peningkatan upah minimum yang tidak dibarengi dengan peningkatan
produktifitas pekerja. Peningkatan upah minimum pada produktivitas TK yang
relatif konstan meningkatkan biaya rata-rata produksi (harga jual), menurunkan
volume produksi yang pada akhirnya justru menurunkan kesempatan kerja. Studi
ini melakukan beberapa simulasi peramalan dampak penurunan faktor resiko
ketidakpastian pasar TK dalam upaya meningkatkan investasi. Peningkatan
investasi diharapkan mampu menambah kapasitas produksi dan meningkatkan
nilai produksi agregat dan pada akhirnya diharapkan dapat memperluas
kesempatan kerja.
156
7.3.1. Upah Minimum Tetap Masing-masing Sebesar Nilai Tahun 2006
Simulasi 1 merupakan kebijakan penyesuaian nilai upah minimum
tetap sebesar tahun 2006 yaitu UMP Rp 13039, UMI Rp 19906, UMJ Rp
19421 dan UMR Rp 9961. Simulasi 1 menggambarkan seandainya
pemerintah lebih memihak kelangsungan bisnis tanpa memperhatikan
perlunya perlindungan buruh yang selama ini menjadi target kebijakan upah
minimum. Meskipun pada dasarnya simulasi 1 akan sangat ditentang oleh
buruh, namun
diperlukan untuk melihat arti penting kebijakan upah
minimum bagi buruh, kelangsungan bisnis dan perekonomian makro.
Hasil simulasi 1 seperti pada Tabel 36 memperlihatkan bahwa ratarata penawaran TK total berkurang -0.12 persen (berkurang 143 ribu orang)
sementara kesempatan kerja total bertambah 0.82 persen (bertambah 843
ribu orang). Tingkat pengangguran total berkurang -8.27 persen (mencapai
9.32 persen). Berdasarkan tingkat pendidikan, penurunan pengangguran TK
berpendidikan rendah lebih tinggi (-15.89 persen) disebabkan tingginya
peningkatan kesempatan kerja bagi TK berpendidikan rendah yang
mencapai 0.91 persen (diramalkan mencapai 501 ribu orang per tahun).
Secara umum simulasi 1 menghasilkan penurunan tingkat pengangguran
total, peningkatan tingkat suku bunga dan tingkat inflasi yang relatif stabil.
Namun, membaiknya kondisi perekonomian makro tersebut diramalkan
harus
dibayar
dengan
semakin
memburuknya
kesejahteraan
buruh.
Penurunan kesejahteraan buruh yang bersumber dari penurunan upah dapat
menstimulasi maraknya kasus pemogokan dan unjuk rasa. Pada akhirnya
permasalahan hubungan industrial diduga kuat akan semakin sulit untuk
diselesaikan.
157
Tabel 36
158
7.3.2. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 1 Persen
Simulasi 2 menggambarkan jika pemerintah tetap melanjutkan pola
kebijakan penyesuaian upah minimum seperti yang selama ini dilakukan
pemerintah. Nilai upah minimum di era otda yang lalu secara nominal
meningkat tetapi secara riil kesejahteraan buruh menurun. Hasil simulasi
menunjukkan penawaran TK total meningkat
0.01 persen (rata-rata
bertambah 17 ribu orang), sementara Permintaan TK total berkurang-0.05
persen (rata-rata berkurang 49 ribu orang), seperti pada Tabel 37. Tingkat
pengangguran total meningkat 0.05 persen (rata-rata mencapai 10.21 persen
per tahun). Tingkat pengangguran diramalkan masih didominasi TK
berpendidikan rendah dan menengah.
Dampak simulasi terhadap nilai investasi menunjukkan penurunan.
Nilai investasi sektoral maupun total menurun disebabkan peningkatan
tingkat suku bunga 0.04 persen dan dampak langsung dari peningkatan upah
mimimum. Penurunan nilai investasi juga penurunan kesempatan kerja juga
berdampak pada penurunan nilai produksi sektoral maupun agregat.
Dampak selanjutnya terlihat pada peningkatan tingkat inflasi yang
meningkat 0.06 persen.
Upaya
unruk
meningkatkan
kesejahteraan
pekerja
melalui
peningkatan nilai upah minimum berdampak pada memburuknya kondisi
perekonomian makro.,Indikator penurunan tersebut dapat terlihat pada
peningkatan tingkat pengangguran, peningkatan tingkat inflasi, dan
penurunan output nasional baik dari sisi permintaan maupun dari sisi
penawaran.
159
Tabel 37
160
7.3.3. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 6.64 Persen
Simulasi 3 menggambarkan bila pemerintah hanya berupaya
mempertahankan kesejahteraan buruh dengan mempertahankan nilai riil
upah minimum. Dampak simulasi memperlihatkan terjadi peningkatan
tingkat pengangguran total diramalkan meningkat 0.37 persen (mencapai
10.52 persen) seperti pada Tabel 38. Hal ini disebabkan semakin besarnya
jarak antara peningkatan penawaran TK yang meningkat 0.1 persen
(bertambah 114 ribu orang) sementara kesempatan kerja berkurang -0.31
persen (berkurang 323 ribu orang). Tingkat pengangguran didominasi oleh
angkatan kerja berpendidikan rendah dan menengah.
Tabel 38 juga memperlihatkan bahwa secara sektoral, kesempatan
kerja sektor pertanian menurun -0.54 persen, industri -0.35 persen, dan jasa
-1.52 persen. Dari sisi nilai investasi juga terjadi penurunan nilai investasi
baik sektoral maupun nilai investasi total. Penurunan kesempatan kerja dan
nilai investasi tersebut selanjutnya menurunkan nilai produksi sektoral
maupun total. Penawaran agregat menurun -0.12 persen (menurun 529
milyar rupiah per tahun. Inflasi meningkat 0.37 persen (mencapai 7.01
persen).
Secara umum, upaya mempertahankan kesejahteraan buruh harus
dibayar dengan memburuknya kondisi perekonomian makro. Selanjutnya,
jika dibandingkan dengan simulasi 2, pertimbangan pemerintah untuk
semakin
berupaya
mempertahankan
kesejahteraan
buruh
melalui
peningkatan upah minimum berdampak pada semakin memburuknya
indikator makroekonomi.
161
Tabel 38
162
7.3.4. Kenaikan Upah Minimum Masing-masing Sebesar 8 Persen
Simulasi 4 menggambarkan kebijakan yang memihak kepada buruh
tanpa mempertimbangkan kelangsungan bisnis dan kondisi perekonomian
makro. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sundulan upah relatif tinggi
dapat menyebabkan kesempatan kerja menurun -0.38 persen (berkurang 389
ribu orang) seperti pada Tabel 39. Sejalan dengan hal tersebut tingkat
pengangguran diramalkan juga meningkat 0.44 persen (mencapai 10.59
persen).
Tingkat
pengangguran
didominasi
oleh
angkatan
kerja
berpendidikan rendah dan meningkat dengan prosentase yang relatif lebih
tinggi, mencapai 0.24 persen. Hal tersebut disebabkan kelompok tenaga
kerja
berpendidikan
rendah
merupakan
sasaran
utama
bila
terjadi
pengurangan kesempatan kerja.
Efek lanjutan dari pasar tenaga kerja terlihat pada penurunan nilai
produksi baik secara sektoral maupun secara agregat. Penurunan nilai
produksi agregat tertinggi pada sektor industri. Inflasi meningkat relatif
tinggi 0.45 persen dibandingkan nilai dasar disebabkan tingginya penurunan
nilai produksi secara agregat.
Seperti pada skenario sebelumnya upaya peningkatan kesejahteraan
buruh melalui kebijakan peningkatan nilai upah minimum menyebabkan
trade off berupa peningkatan tingkat pengangguran justru bagi buruh yang
menjadi target kebijakan upah minimum serta memperburuk perekonomian
secara makro.
163
Tabel 39
164
7.3.5. Penurunan kekuatan Serikat Buruh Sektor Pertanian 90 Persen,
Industri 1.5 Persen, dan Jasa 2,5 Persen
Isu tenaga kerja/ buruh seperti kasus pemogokan dan unjuk rasa
merupakan masalah utama rendahnya nilai investasi Jepang di Indonesia
(Kompas, 2006). Hasil simulasi 5 meperlihatkan dampak positif terhadap tingkat
penangguran, inflasi, nilai investasi dan penawaran agregat . Diramalkan simulasi
5 seperti pada Tabel 40 berdampak pada penurunan tingkat pengangguran total
yang mencapai 1.24 persen. Penurunan tingkat pengangguran total maupun
berdasarkan tingkat pendidikan disebabkan karena penurunan kekuatan serikat
buruh dalam menuntut kenaikan upah rata-rata bagi buruh di luar target kebijakan
upah minimum. Upah rata-rata riil baik sektoral maupun upah rata-rata menurun.
Dampak lanjutan diramalkan dapat meningkatkan kesempatan kerja baik
berdasarkan sektoral maupun tingkat pengangguran berdasarkan tingkat
pendidikan. Pada akhirnya tingkat pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan
menurun. Pengangguran diramalkan masih didominasi oleh angkatan kerja
berpendidikan rendah.
Peningkatan kesempatan kerja berdampak pada peningkatan nilai produksi
sektoral. Peningkatan tertinggi pada sektor industri yang mencapai 0.59 persen.
Hal tersebut disebabkan produktivitas TK sektor industri relatif lebih tinggi
dibandingkan pada sektor lainnya. Rata-rata produktivitas sektor industri
mencapai 8.02 juta rupiah per TK per tahun.
Simulasi 5 berdampak pada penurunan tingkat inflasi 2.73 persen.
Penurunan tingkat inflasi tersebut disebabkan penurunan dari sisi penawaran yang
bersumber dari penurunan rata-rata upah riil.
165
Tabel 40
166
7.3.6. Penurunan Jumlah Kasus Pemogokan dan Unjuk Rasa 50 Persen
Penurunan kasus pemogokan dan unjuk secara langsung akan menurunkan
faktor ketidak pastian dalam pasar tenaga kerja. Dampak penurunan tersebut
diramalkan akan meningkatkan nilai investasi sektor pertanian 3.19 persen
(meningkat sebesar 82.01 milyar rupiah per tahun), sektor industri 5.89 persen
(meningkat sebesar 3358.42 milyar rupiah per tahun), sektor jasa 3.40 persen
(meningkat sebesar 126.26 milyar rupiah per tahun) seperti pada Tabel 41.
Peningkatan investasi akibat menurunnya faktor ketidakpastian di pasar TK lebih
tinggi pada sektor industri disebabkan kasus pemogokan lebih sering terjadi pada
sektor industri dibandingkan pada sektor pertanian dan jasa. Investasi total
meningkat 2.84 persen atau meningkat sebesar 3566.69 milyar rupiah per tahun.
Peningkatan investasi selanjutnya berdampak pada peningkatan nilai
produksi sektoral maupun penawaran agregat karena terjadi peningkatan kapasitas
produksi. Dampak lanjutan dari peningkatan nilai produksi adalah peningkatan
kesempatan kerja di seluruh sektor dan berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat
pengagguran total menurun 0.02 persen (mencapai 10.14 persen). Tingkat
pengangguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah dan
menengah (rata-rata hampir mencapai 4 persen).
Indikator tingkat inflasi relatif tidak mengalami perubahan. Hal tersebut
disebabkan terjadi peningkatan output nasional dari sisi permintaan dan dari sisi
penawaran. Penawaran agregat meningkat 0.13 persen yang dapat menurunkan
indeks harga umum. Sementara permintaan agregat juga meningkat 0.88 persen
yang dapat meningkatkan indeks harga umum. Keseimbangan makro pada
akhirnya kembali di sekitar indeks harga umum nilai dasar sementara terjadi
peningkatan output nasional.
167
Tabel 41
168
7.3.7. Penurunan Suku Bunga 6 Persen
Simulasi penurunan suku bunga diduga dapat meningkatkan kesempatan
kerja melalui peningkatan ivestasi. Namun dalam simulasi peramalan upaya
peningkatan investasi dengan menggunakan instrumen penurunan tingkat suku
bunga 6 persen hanya mampu merangsang peningkatan nilai investasi sektor
pertanian dengan prosentase paling tinggi dibanding pada sektor industri dan jasa.
Namun peningkatan nilai investasi sektor pertanian hanya mencapai 373 milyar
per tahun, lebih rendah dibandingkan peningkatan nilai investasi sektor industri
yang mencapai 461 milyar per tahun seperti pada Tabel 42.
Peningkatan nilai investasi pada simulasi 7 hanya mampu meningkatkan
nilai produksi sektoral dengan prosentase yang relatif kecil. Daampak terhadap
peningkatan nilai produksi sektoral tertinggi pada sektor industri yaitu 0.05 persen
(mencapai 63 milyar rupiah per tahun. Prosentase peningkatan nilai produksi
sektoral yang relatif kecil tersebut hanya mampu meningkatkan kesempatan kerja
yang relatif kecil. Dampak lanjutan terlihat pada tingkat pengangguran yang
relatif tidak berubah. Tingkat inflasi menurun 0.2 persen yang lebih disebabkan
oleh deflasi dari sisi suplai dimana penawaran agregat meningkat 0.02 persen.
Dibandingkan pada simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan
unjuk rasa, dampak terhadap peningkatan investasi akibat simulasi terdahulu lebih
besar dibandingkan dampak akibat penurunan tingkat suku bunga. Hal ini
menunjukkan bahwa investasi lebih respon terhadap penurunan faktor
ketidakpastian di pasar tenaga kerja dibandingkan dengan penurunan suku bunga.
169
Tabel 42
170
7.3.8. Peningkatan Pengeluaran Infrastruktur 40 Persen
Pengeluaran
pembangunan
infrastruktur
diramalkan
dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan modal publik.
Pengeluaran pembangunan sektor infrastruktur secara langsung berdampak pada
sisi penawaran agregat melalui nilai produksi sektoral seperti pada Tabel 43. Nilai
produksi sektor jasa meningkat paling tinggi 2.42 persen (meningkat 1.6 triliun
rupiah per tahun). Sementara nilai produksi sektor pertanian meningkat paling
rendah 0.17 persen (meningkat 105 milyar rupiah per tahun). Nilai produksi
sektor industri meningkat 0.77 persen (meningkat 929 milyar rupiah per tahun).
Hasil penelitian Yudhoyono (2004) juga memperlihatkan kecenderungan yang
sama dimana peningkatan pengeluaran infrastruktur menyebabkan peningkatan
PDB sektor pertanian dengan prosentase lebih rendah dibandingkan sektor non
pertanian.
Dampak lanjutan dari peningkatan nilai produksi sektoral adalah
peningkatan kesempatan kerja di masing-masing sektor. Peningkatan kesempatan
kerja tertinggi pada sektor jasa yang meningkat 1.01 persen (meningkat 118 ribu
orang per tahun), sektor industri 0.19 persen (meningkat 27 ribu orang per tahun),
sektor pertanian meningkat 0.02 persen (meningkat 7 ribu orang per tahun).
Kesimpulan yang sama juga ditemui pada penelitian Yudhoyono (2004) dimana
peningkatan penyerapan tenaga kerja lebih condong pada penyerapan tenaga kerja
sektor non pertanian.
Simulasi 8 telah mampu menurunkan tingkat pengangguran berdasarkan
pendidikan dan tingkat pengangguran total 0.13 persen dan mempertahankan nilai
inflasi pada tingkat 6.64 persen.
171
Tabel 43
172
7.3.9. Kombinasi Simulasi 4 dan 5
Kombinasi simulasi penyesuaian upah minimum sektoral dan upah
minimum rata-rata dengan diatas rata-rata
tingkat inflasi 2007-2010 sebesar 8
persen dan penurunan kekuatan serikat buruh diramalkan memberikan dampak
positif pada penurunan tingkat pengangguran dan inflasi. Tingkat pengangguran
total diramalkan menurun 0.79 persen (mencapai 9.37 persen) seperti pada Tabel
44. Penurunan tingkat pengangguran total tersebut disebabkan peningkatan
kesempatan kerja yang secara total meningkat 0.29 persen (meningkat 298 ribu
orang TK per tahun). Berdasarkan tingkat pendidikan, pengangguran angkatan
kerja berpendidikan rendah mencapai 3.89 persen (terjadi peningkatan 0.02
persen) sementara pada tingkat pengangguran TK berpendidikan menengah dan
rendah justru menurun). Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu, juga
disimpulkan bahwa TK berpendidikan rendah sangat potensial dikeluarkan
dari pasar kerja akibat perubahan dalam pasar TK.
Nilai investasi sektoral maupun total diramalkan menurun. Penurunan
nilai investasi tersebut disebabkan karena peubah nilai upah minimum
berpengaruh langsung secara negatif pada nilai investasi. Penurunan nilai
investasi selanjutnya berdampak pada penurunan nilai produksi sektoral. Pada
sektor pertanian dan jasa. Peningkatan nilai produksi sektoral hanya terjadi pada
sektor industri, disebabkan tingginya peningkatan kesempatan kerja di sektor
industri yang mencapai 3.36 persen. Tingkat inflasi diramalkan menurun 2.26
persen (mencapai 4.38 persen). Kombinasi simulasi ini tidak menghasilkan trade
off antara tingkat pengangguran total dan inflasi. Kedua indikator makroekonomi
tersebut menurun.
173
Tabel 44
174
7.3.10. Kombinasi Simulasi 7 dan 8
Kombinasi simulasi penurunan tingkat suku bunga dan peningkatan
pengeluaran infrastruktur merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah
untuk menggerakkan sektor riil melalui kombinasi kebijakan fiskal dan moneter.
Simulasi 10 memperlihatkan dampak positif pada peningkatan nilai investasi dan
nilai produksi sektoral. Nilai investasi sektor pertanian meningkat dengan
prosentase yang lebih tinggi tetapi secara nominal hanya meningkat 427 milyar
rupiah seperti pada Tabel 45. Sementara investasi sektor industri meningkat 1.2
triliun rupiah. Nilai produksi sektor jasa meningkat paling tinggi yang mencapai
2.42 persen (meningkat 1.6 triliun rupiah per tahun). Penawaran agregat menurun
0.62 persen.
Sejalan dengan peningkatan nilai produksi pada seluruh sektor, juga terjadi
peningkatan kesempatan kerja di seluruh sektor dan terjadi penurunan tingkat
pengangguran. Peningkatan kesempatan kerja tertinggi pada sektor jasa yang
mencapai 1.01 persen (meningkat 118 ribu orang TK per tahun). Tingkat
pengangguran total menurun 0.14 persen (mencapai 10.02 persen) dan
pengangguran didominasi oleh angkatan kerja berpendidikan rendah dan
menengah.
Simulasi 10 dapat memperbaiki indikator makro, terlihat pada penurunan
tingkat pengangguran dan inflasi juga peningkatan nilai investasi dan penawaran
agregat. Tingkat inflasi menurun 0.02 persen yang disebabkan peningkatan
penawaran agregat.
175
Tabel 45
176
7.3.11. Kombinasi Simulasi 4, 5 dan 8
Kombinasi simulasi Penyesuaian UMP, UMI, UMJ, dan UMR dengan
diatas rata-rata tingkat inflasi 2007-2010 sebesar 8 persen, Penurunan kekuatan
serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan TKF 2,5 persen, dan
Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen memperlihatkan dampak positif
pada penurunan tingkat pengangguran, tingkat inflasi, dan penawaran agregat
seperti pada Tabel 46.
Pengangguran TK berpendidikan rendah menurun 0.02 persen (menjadi
3.85 persen), berpendidikan menengah menurun 0.735 persen (menjadi 3.17
persen), berpendidikan tinggi menurun 0.17 persen (menjadi 2.22 persen). Tingkat
pengangguran total menurun 0.92 persen (menjadi 9.24 persen).
Penurunan
tingkat pengangguran total disebabkan peningkatan kesempatan kerja total yang
meningkat 0.44 persen (mencapai 450 ribu orang TK per tahun). Peningkatan
kesempatan kerja tertinggi pada sektor industri yang mencapai 3.55 persen
(mencapai 489 ribu orang TK per tahun).
Nilai investasi sektoral dan total diramalkan mengalami penurunan. Hal
tersebut disebabkan peningkatan penawaran agregat belum mampu menstimulasi
peningkatan investasi. Dalam model penelitian ini, peningkatan nilai investasi
lebih repon terhadap penurunan faktor resiko ketidapastian di pasar tenaga kerja.
Kombinasi simulasi ini berdampak positif pada penurunan tingkat inflasi
dan penawaran agregat. Dampak positif terlihat pada terjadinya penurunan inflasi
nasional 2.26 persen atau mencapai 4.38 persen. Penurunan tingkat inflasi
disebabkan peningkatan penawaran agregat meningkat 0.63 persen atau
meningkat 2.74 triliun rupiah per tahun.
177
Tabel 46
178
7.3.12. Kombinasi Simulasi 6, 7 dan 8
Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa
50 persen, penurunan suku bunga 6 persen, dan peningkatan pengeluaran
infrastruktur
40
persen
memperlihatkan
dampak
positif
pada
tingkat
pengangguran, tingkat inflasi nilai investasi dan penawaran agregat seperti pada
Tabel 47. Tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah diramalkan menurun
0.04 persen (menjadi 3.83 persen), berpendidikan menengah menurun 0.07 persen
(menjadi 3.83 persen), berpendidikan tinggi menurun 0.03 persen (menjadi 2.35
persen). Tingkat pengangguran total diramalkan menurun 0.15 persen (menjadi
10.01 persen). Tingkat pengangguran diramalkan didominasi angkatan kerja
berpendidikan rendah dan menengah.
Nilai investasi total diramalkan meningkat 4.14 persen atau meningkat 5.2
trilliun rupiah per tahun. Prosentase peningkatan nilai investasi sektor pertanian
paling tinggi yang mencapai 19.77 persen tetapi secara nominal hanya mencapai
508 milyar rupiah. Sementara secara prosentase sektor industri hanya meningkat
7.94 persen tetapi dengan nilai investasi paling tinggi yang mencapai 4.5 triliun
rupiah.
Tingkat inflasi nasional menurun 0.02 persen yang disebabkan oleh
peningkatan nilai produksi secara agregat. Penawaran agregat meningkat 0.75
persen yang dapat menurunkan indeks harga umum. Sementara permintaan
agregat juga meningkat 1.49 persen yang dapat meningkatkan indeks harga
umum. Keseimbangan makro pada akhirnya kembali pada indeks harga umum
yang lebih rendah dibandingkan nilai dasar.
179
Tabel 47
180
7.4.
Rangkuman Dampak Simulasi Kebijakan Terhadap Tingkat
Pengangguran dan Perekonomian
Para penganut peningkatan kesejahteraan berpendapat bahwa peningkatan
kesejahteraan pekerja penting dilakukan untuk mendorong naiknya produktivitas
pekerja (Syamsudin, 20030). Berikut akan dianalisis dampak peningkatan
kesejahteraan pekerja yang dilakukan melalui peningkatan upah minimum secara
riil. Rangkuman hasil simulasi penyesuaian upah minimum dengan rata-rata
tingkat inflasi tahun 2007-2010 secara umum dapat menyebabkan peningkatan
produktifitas tenaga kerja seperti pada Tabel 48.
Tabel 48. Perbandingan Produktivitas Sektoral Berdasarkan Simulasi
Peramalan Tahun 2007-2010
Uraian
Nilai
Dasar
Sektor Pertanian:
Nilai Produksi
Permintaan TK
Produktifitas
Sektor Industri:
Nilai Produksi
Permintaan TK
Produktifitas
Sektor Jasa:
Nilai Produksi
Permintaan TK
Produktifitas
Penawaran Agregat:
Nilai Produksi Total
Permintaan TK Total
Produktifitas
Sumber: Data sekunder
Satuan
Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi
1
2
3
4
62496.51
43116.75
Milyar Rp/tahun
1.45
Juta Rp/TK/tahun
121268.55
13752.13
Milyar Rp/tahun
8.82
Juta Rp/TK/tahun
8.84
8.82
8.82
8.83
65715.49
11712.08
Milyar Rp/tahun
65766.48
11788.24
65701.77
11705.91
65624.34
11671.06
65605.67
11662.66
5.61
Juta Rp/TK/tahun
5.58
5.61
5.62
5.63
432438.95
103146.30
Milyar Rp/tahun
ooo Orang
ooo Orang
ooo Orang
ooo Orang
4.19 Juta Rp/TK/tahun
1980-2004 (diolah).
62676.94
43893.09
62482.86
43081.53
62405.89
42882.90
62387.33
42834.99
1.43
1.45
1.46
1.46
121498.71 121216.21 120921.01 120849.83
13742.49 13744.85 13703.80 13693.90
432900.53 432359.23 431909.64 431801.22
103989.15 103097.62 102823.09 102756.89
4.16
4.19
4.20
4.20
Tabel 48 memperlihatkan produktivitas total meningkat dari 4.19
juta rupiah per TK per tahun menjadi 4.20 juta rupiah per TK per tahun.
Namun semakin pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan buruh
(simulasi 2 sampai dengan simulasi 4), secara agregat produktivitas relatif
tidak berubah (4.20 juta rupiah per TK). Artinya peningkatan produktivitas
181
TK tidak efektif hanya distimulasi dari upaya peningkatan upah minimum
secara riil. Bila pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan buruh
melalui
peningkatan
upah
minimum
tetapi
tetap
mementingkan
kelangsungan produksi maka peningkatan produktivitas TK masih harus
menjadi perhatian.
Tabel 48 juga memperlihatkan produktivitas sektor pertanian paling
rendah diantara sektor lainnya. Menurut Kalangi (2006) upaya peningkatan
kesejahteraan petani dapat dilakukan melalui peningkatan produktiivitas
sektor pertanian baik secara output fisik maupun satuan input. Selanjutnya
dinyatakan
ada
empat
hal
yang
diperlukan
untuk
meningkatkan
produktivitas sektor pertanian, yaitu: (1) peningkatan kepadatan investasi/
satuan luas unit usaha pertanian, (2) mengadakan restrukturisasi usaha
pertanian menuju skala yang kompetitif dan mendukung kemandirian
ekonomi dan dapat dijalankan dalam skala individual dan kelompok/
koperasi/ perusahaan, (3) Kembalikan pola pertanian dengan model
kesatuan yang terkait dengan industri pengolahan dan ekspor, dan (4) Perlu
ada reorientasi kebijakan bahwa tujuan pembangunan pertanian adalah
kesejahteraan petani dan sejalan dengan semangat keterbukaan.
Hasil rangkuman seluruh simulasi kebijakan peramalan 2007-2010
memperlihatkan dampak yang bervariasi pada tingkat pengangguran, inflasi,
investasi dan penawaran agregat seperti pada Tabel 49. Bila pemerintah
mempertimbangkan hanya tingkat penurunan tingkat pengangguran maka
simulasi 1, 5, 6, 8, 9, 10, 11 dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan.
182
Tabel 49
183
184
Bila pemerintah mempertimbangkan hanya tingkat penurunan tingkat
inflasi maka simulasi 1, 5, 9, 11 dan simulasi 12 lebih baik dilaksanakan.
Bila pemerintah mempertimbangkan hanya peningkatan penawaran agregat
maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan simulasi 12 lebih baik
dilaksanakan. Bila pemerintah mempertimbangkan hanya peningkatan
investasi maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 10, dan simulasi 12 lebih baik
dilaksanakan.
Alternatif simulasi kebijakan yang terbaik sangat tergantung pada
pemenuhan kepentingan pekerja, pengusaha dan perekonomian makro. Bila
pemerintah mempertimbangkan perbaikan perekonomian makro dari sisi
penurunan tingkat pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai
investasi dan penawaran agregat maka simulasi 1, 5, 6, 7, 8, 10, 11 dan
simulasi 12 memberikan dampak perbaikan terhadap perekonomian makro
seperti pada Tabel 50.
Bila
pemerintah
berupaya
mempertimbangkan
kepentingan
pengusaha dan perbaikan perekonomian makro dari sisi penurunan tingkat
pengangguran dan inflasi serta peningkatan nilai investasi dan penawaran
agregat maka simulasi 1, 8 dan simulasi 10 memenuhi harapan pengusaha
dan pebaikan perekonomian makro. Selanjutnya bila pemerintah ingin
memenuhi harapan pekerja dan pengusaha tetapi dapat memberikan
perbaikan terhadap perekonomian makro maka simulasi 6, 11 dan simulasi
12 memenuhi harapan pekerja, pengusaha dan pebaikan perekonomian
makro.
185
Tabel 50
186
Tabel 50
187
Pilihan alternatif simulasi kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan
tersebut dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 14.
Kepentingan
Pekerja
Kepentingan
Pengusaha
,
S2, S3,
S9
S4
S6, S11
S12
S1
S8,S10
S5, S7
Perekonomian Makro
Gambar 14. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Kepentingan
Selanjutnya terkait dengan strategi pembangunan perekonomian
nasional yang dicanangkan Presiden RI Tahun 2004-2009, pada Tabel 51
dan Gambar 15 disajikan gambaran pilihan alternatif simulasi kebijakan
yang memenuhi harapan Triple Track Strategy. Triple Track Strategy
adalah rumusan pembangunan ekonomi Indonesia oleh Presiden Susilo
Bambang Yudoyono yang tertuang dalam prinsip pro-growth, pro-job, propoor (Yudhoyono, 2007). Track pertama, dilakukan dengan meningkatkan
pertumbuhan dengan mengutamakan ekspor dan investasi. Track kedua,
menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja. Track ketiga,
merevitalisasi pertanian, kehutanan, dan kelautan serta ekonomi pedesaan
untuk mengurangi kemiskinan.
188
Tabel 51. Dampak Alternatif Simulasi Kebijakan Peramalan Terhadap
Triple Track Strategy 2007-2010
Simulasi
(S)
Triple Track Strategy
Pertumbuhan
Kesempatan Kerja
Revitalisasi Pertanian
1
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
2
− Investasi menurun
− Kesempatan Kerja
− Investasi sektor pertanian
menurun
menurun
− Ekspor menurun
− Agregat Supply menurun − Pengangguran meningkat − GDP pertanian menurun
3
− Investasi menurun
− Kesempatan Kerja
− Investasi sektor pertanian
menurun
menurun
− Ekspor menurun
− Agregat Supply menurun − Pengangguran meningkat − GDP pertanian menurun
4
− Investasi menurun
− Kesempatan Kerja
− Investasi sektor pertanian
menurun
menurun
− Ekspor menurun
−
Pengangguran
meningkat
−
GDP pertanian menurun
− Agregat Supply menurun
5
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
menigkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
6
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
7
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja tetap − Investasi sektor pertanian
meningkat
− Ekspor meningkat
− Pengangguran tetap
− GDP pertanian meningkat
− Agregat Supply meningkat
8
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
9
− Investasi menurun
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
menurun
− GDP pertanian menurun
10
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
11
− Investasi menurun
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
−
Pengangguran menurun
− Agregat Supply meningkat
− Investasi sektor pertanian
menurun
− GDP pertanian meningkat
12
− Investasi meningkat
− Kesempatan Kerja
meningkat
− Ekspor meningkat
− Agregat Supply meningkat − Pengangguran menurun
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
Keterangan:
− Investasi sektor pertanian
meningkat
− GDP pertanian meningkat
S1= Upah minimum tetap sebesar nilai tahun 2006.
S2 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 1 persen.
S3 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 6.64 persen.
S4 = Kenaikan UMP, UMI, UMJ, dan UMR masing-masing sebesar 8 persen.
189
S5 = Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5 persen, dan
TKF 2,5 persen.
S6 = Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen.
S7 = Penurunan suku bunga 6 persen.
S8 = Peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
S9 = Kombinasi simulasi 4 dan 5.
S10 = Kombinasi simulasi 7 dan 8.
S11 = Kombinasi simulasi 4, 5 dan 8.
S12 = Kombinasi simulasi 6, 7 dan 8.
Pertumbuhan
S9, S11
Kesempatan
Kerja
S1,S5,S6
S8,S10
S7
S12
Revitalisasi Sektor
Pertanian
Gambar 15. Pilihan Simulasi Kebijakan Berdasarkan Triple Track
Strategy
Gambar 15 mengilustrasikan pilihan Simulasi 2, 3 dan 4 diramalkan
tidak mampu memenuhi target pertumbuhan, kesempatan kerja dan
privatisasi sektor pertanian. Simulasi 7, 9, dan 11 diramalkan hanya mampu
menambah kesempatan kerja melalui penurunan sundulan upah rata-rata
tetapi belum mampu meningkatkan investasi dan nilai produksi sektoral.
Simulasi 1, 5, 6, 8, 10 dan simulasi 12 diramalkan dapat: (1) meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada ekspor dan investasi, (2)
memicu sektor riil yang meningkatkan kesempatan kerja, dan (3)
revitalisasi pertanian melalui peningkatan investasi sektor pertanian.
190
7.5.
Analisis Komprehensif Dampak Kebijakan Ketenagakerjaan
Terhadap Tingkat Pengangguran dan Perekonomian Indonesia di Era
Otda.
Harapan bahwa era otda dapat memberi spirit utama di tingkat kabupaten
dan kota untuk mengoptimalkan sumberdaya belum nyata terlihat. Permasalahan
perekonomian makro terkait dengan pasar TK masih berupa tingginya angka
pengangguran dan maraknya kasus perselisihan hubungan industrial yang dapat
diproksi dari data masih tingginya kasus pemogokan dan unjuk rasa yang tidak
sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003. Intervensi pemerintah pada pasar TK
berupa penerapan kebijakan ketenagakerjaan di era otda masih belum dapat
menjembatani kepentingan yang berbeda antara pihak pekerja dan pengusaha
sehingga perselisihan hubungan industrial masih berkepanjangan.
Sumber utama permasalahan kasus pemogokan dan unjuk rasa adalah
upah. Di satu sisi setiap tahun pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap
upah minimum. Namun nilai penetapan upah minimum di era otda 2001-2004
rata-rata hanya mampu memenuhi 89.63 persen Kebutuhan Hidup Minimum.
Artinya kesejahteraan pekerja yang menjadi target kebijakan upah minimum
masih rendah. Di sisi lain dengan kebebasan berserikat, ada reaksi dari serikat
buruh menuntut kenaikan upah setiap tahun pemerintah melakukan penyesuaian
terhadap nilai upah minimum (fenomena ini disebut sebagai upah sundulan).
Perusahaan merasa dirugikan terkait produktivitas TK dan upah sundulan.
Besaran nilai upah minimum dirasakan memberatkan perusahaan karena
peningkatan nilai upah minimum setiap tahun tidak dibarengi dengan peningkatan
produktivitas pekerja. Selanjutnya adanya tuntutan serikat buruh terhadap upah
sundulan menyebabkan perusahaan harus menanggung biaya TK yang lebih tinggi
191
di luar target berdasarkan kesepakatan awal penetapan upah minimum oleh
pemerintah. Bila perusahaan tetap mempertahankan keuntungan pada nilai
tertentu maka biaya tenaga kerja harus dibatasi, artinya pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindari (pengangguran bertambah). Sebaliknya bila perusahaan
tetap beroperasi pada biaya tenaga kerja yang lebih tinggi tanpa dibarengi dengan
peningkatan produktivitas TK maka kalangsungan proses produksi dapat terhenti
(pengangguran juga dapat bertambah).
Penelitian ini menganalisis fenomena perubahan pasar TK akibat
penerapan kebijakan ketenagakerjaan di era otda secara pendekatan makro
ekonomi.
Hasil
analisis
deskriptif
terhadap
kebijakan
ketenagakerjaan
menunjukkan masih terdapat kelemahan dalam kebijakan ketenagakerjaan era
otda yang dapat menghambat kelangsungan usaha dari sisi besaran penetapan nilai
upah minimum yang dianggap pengusaha tidak dibarengi dengan peningkatan
produktivitas pekerja. Sementara dari sisi pekerja, masih terdapat kelemahan
dalam kebijakan ketenagakerjaan yang menyangkut pengaturan ketenagakerjaan
melalui sistem kontrak dan pemborongan pekerja yang dirasakan merugikan
pekerja. Kekecewaan pekerja tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena
kebebasan berserikat dapat dijadikan wadah untuk merespon secara fisik dan
emosional yang dapat tercermin secara makro pada maraknya jumlah kasus
pemogokan dan unjuk rasa. Demikian pula keberatan pengusaha tidak dapat
dibiarkan berlarut-larut karena dapat berdampak pada terhambatnya kelangsungan
usaha yang pada akhirnya dapat memperburuk perekonomian.
Analisis
pengaruh
penerapan
kebijakan
ketenagakerjaan
terhadap
perubahan di pasar TK dan perekonomian Indonesia memperlihatkan adanya
192
fenomena upah sundulan di sektor pertanian, industri dan jasa. Namun respon
peningkatan upah rata-rata akibat tuntutan kekuatan serikat pekerja paling tinggi
pada sektor industri. Artinya reaksi kekuatan serikat pekerja di sektor industri
akibat penyesuaian nilai upah minimum sektor industri oleh pemerintah harus
sangat diperhitungkan agar target penyesuaian nilai upah minimum mencapai
sasaran dan tidak menimbulkan masalah baru antara pihak pekerja dan pengusaha
di sektor industri.
Mengapa upah sundulan bisa terjadi tidak lain karena kurangnya
keterbukaan dan pemahaman pihak buruh yang diwakili serikat buruh, pihak
pengusaha dan pemerintah terhadap mekanisme penetapan nilai upah minimum.
Kuat dugaan kenaikan upah minimum setiap tahun yang dilakukan pemerintah
selama era otda lalu hanya upaya sesaat untuk meredam berkembangnya tuntutan
pekerja untuk memperoleh kenaikan upah. Pengusaha merasa diberatkan dengan
adanya tuntutan kenaikan upah dari pekerja di tingkat yang lebih tinggi dari
pekerja penerima upah minimum (kenaikan upah sundulan). Untuk kasus di
sektor industri, tuntutan serikat buruh justru menuntut kenaikan yang sama
dengan kenaikan upah minimum. Pengusaha semakin merasa diberatkan dengan
penyesuaian nilai upah minimum yang setiap tahun meningkat karena telah
menyebabkan peningkatan pada iuran jamsostek, upah lembur, tunjangan hari
raya, tunjangan lain-lain yang didasarkan pada upah pokok yang meningkat.
Permasalahan pokok adalah kenaikan upah sundulan tidak diatur oleh perundangundangan yang ada tetapi diserahkan pada perusahaan. Bila upah sundulan tidak
diselesaikan maka kasus pemogokan dan unjuk rasa semakin marak dan dapat
mengurangi produktivitas usaha.
193
Hasil analisis menunjukkan kebijakan upah minimum berpengaruh negatif
dan nyata terhadap nilai investasi di sektor pertanian, industri dan jasa. Artinya
semakin pemerintah melakukan peningkatan terhadap nilai upah minimum dapat
meningkatkan faktor ketidakpastian kebijakan di pasar TK dan menyebabkan
penurunan nilai investasi. Faktor jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa yang
juga mencerminkan resiko ketidakpastian pasar TK bepengaruh nyata pada
investasi sektor industri.
Pada Lokakarya Kebijakan Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk
Memperluas Kesempatan Kerja yang dilaksanakan oleh Bappenas dan SMERU
dilaporkan terjadi pro dan kontra tentang upaya merubah mekanisme penentuan
upah menjadi dibebaskan pada pasar. Pro dan kontra tersebut lebih disebabkan
karena adanya dua pihak dengan kepentingan yang berbeda. Pengusaha merasa
lebih fair bila intervensi pemerintah dalam penentuan upah ditiadakan. Sementara
pekerja dapat semakin dirugikan karena rendahnya posisi tawar TK dapat
menyebabkan upah keseimbangan semakin menurun.
Hasil simulasi historis seandainya sejak tahun 2001-2004 pemerintah tidak
melakukan penyesuaian terhadap nilai upah minimum memperlihatkan dampak
berbeda pada kesempatan kerja di sektor pertanian. Perbedaan dampak tersebut
disebabkan perkembangan nilai upah minimum riil sektor pertanian yang terus
menurun sejak tahun 1998-2004. Dampak selanjutnya adalah menurunnya
kesempatan kerja berpendidikan rendah di sektor pertanian dan dapat
menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran TK berpendidikan rendah.
Hasil simulasi historis menunjukkan bahwa mekanisme penentuan upah
tanpa intervensi pemerintah pada era otda yang lalu dapat menyebabkan tingginya
194
tingkat penangguran TK berpendidikan rendah. Namun intervensi pemerintah
dengan besaran nilai upah minimum seperti yang ditetapkan selama ini tidak
meningkatkan kesejahteraan dan tidak menstimulasi produktivitas pekerja yang
menjadi target kebijakan upah minimum. Artinya harapan pekerja dan pengusaha
sama-sama tidak terpenuhi dan justru semakin diperparah dengan fenomena upah
sundulan. Bila dibiarkan upah meningkat lebih besar dari pertumbuhan
produktivitas maka permintaan agregat dapat bergeser ke kanan akibat
peningkatan konsumsi sementara penawaran agregat dapat bergeser ke kiri akibat
penurunan produktivitas. Pergeseran keduanya memperburuk tingkat inflasi.
Diramalkan, intervensi pemerintah dalam bentuk penyesuaian nilai upah
minimum masih diperlukan. Upah adalah bagian dari pendapatan pekerja yang
terkait langsung dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang
pada akhirnya mempengaruhi produktivitas kerja. Tetapi mekanisme penentuan
nilai upah minimum harus tetap didasarkan pada tingkat inflasi dan kontrol
terhadap kekuatan serikat pekerja. Artinya pemerintah perlu mengevaluasi
kembali mekanisme penetapan nilai upah minimum agar kesejahteraan dan
produktivitas pekerja meningkat.
Diramalkan pula, kebijakan ketenagakerjaan normatif tersebut juga harus
dibarengi dengan kebijakan yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan investasi dan peningkatan modal publik. Investasi dapat
meningkatkan kapasistas produksi dan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan
berarti mengurangi pengangguran. Peningkatan modal publik melalui perbaikan
infrastruktur dapat meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran produk
sehingga dapat meningkatkan nilai produksi secara agregat dan kesempatan kerja
yang berarti penurunan tingkat pengagguran dan inflasi.
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,
dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut:
1.
Undang-undang ketenagakerjaan era otda memiliki aspek positif
dalam hal adanya jaminan pekerja untuk membentuk serikat pekerja
dan mendorong penyelesaian intern antara pekerja dan pengusaha
melalui perundingan. Namun masih terdapat beberapa keberatan: (1)
dari sisi perusahaan dalam hal peningkatan nilai upah minimum
tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan dalam hal
proses PHK serta pembayaran uang pesangon, dan (2) dari sisi
pekerja dalam hal sistem kontrak dan pemborongan pekerja di
tingkat perusahaan.
2.
Jumlah
populasi
peningkatan
penduduk
jumlah
berpengaruh
penawaran
TK
lebih
tinggi
berpendidikan
pada
rendah
dibandingkan dengan penawaran TK berpendidikan menengah dan
berpendidikan tinggi.
3.
Peningkatan upah rata-rata sektor pertanian berpengaruh negatif
pada
penurunan:
(1)
permintaan
TK
berpendidikan
rendah,
menengah, dan berpendidikan tinggi di sektor pertanian, (2)
permintaan TK berpendidikan menengah dan berpendidikan tinggi di
sektor industri, dan (3) permintaan TK berpendidikan menengah dan
berpendidikan tinggi di sektor jasa.
196
4.
Peningkatan nilai produksi sektor pertanian, industri dan jasa
berpengaruh positif pada permintaan TK berpendidikan menengah
dan berpendidikan tinggi di masing-masing sektor.
5.
Upah minimum sektor pertanian, industri dan jasa berpengaruh pada
meningkatkan
fenomena
upah
upah
rata-rata
sundulan
masing-masing
dimana
sektor.
penerapan
Terdapat
kebijakan
upah
minimum dan adanya tuntutan kekuatan serikat pekerja telah
menyebabkan kenaikan upah rata-rata bagi pekerja di luar target
kebijakan upah minimum.
6.
Upah minimum berpengaruh pada nilai investasi di sektor pertanian,
industri dan jasa. Sementara jumlah kasus pemogokan berpengaruh
pada investasi sektor industri. Peubah kebijakan upah minimum yang
setiap tahun dinaikkan dan maraknya jumlah kasus pemogokan dan
unjuk rasa menggambarkan tingginya resiko ketidakpastian di pasar
tenaga kerja dan berpengaruh negatif terhadap nilai investasi.
7.
Penetapan upah minimum di atas tingkat inflasi rata-rata pada
prinsipnya dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang menjadi
terget kebijakan upah minimum. Namun kebijakan upah minimum
tanpa adanya kontrol terhadap kekuatan serikat pekerja pada periode
otonomi daerah 2001-2004 telah menyebabkan peningkatan tingkat
pengangguran terutama pengangguran berpendidikan rendah dan
menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian makro.
8.
Permasalahan hubungan industrial yang diproksi dengan jumlah kasus
pemogokan
dan
unjuk
rasa
menyebabkan
peningkatan
faktor
197
ketidakpastian di pasar TK. Penyelesaian permasalahan tersebut dapat
berdampak pada peningkatan investasi dan nilai produksi agregat serta
penurunan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi di era otda 2001-2004.
9.
Diramalkan peningkatan nilai upah minimum tahun 2007-2010
berdampak positif terhadap kesejahteraan pekerja tetapi berdampak
negatif
terhadap
pengusaha
dan
perekonomian
disebabkan
peningkatan upah tidak dibarengi peningkatan produktivitas pekerja.
10.
Diperkirakan upaya mencari solusi penyelesaian masalah hubungan
industrial,
penurunan
suku
bunga
dan
peningkatan
pengeluaran
infrastruktur tahun 2007-2010 akan lebih efektif untuk menstimulasi
peningkatan nilai investasi dan produksi agregat serta penurunan tingkat
pengangguran dan tingkat inflasi.
11.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan terbaik yang dapat dipilih agar dapat
memenuhi harapan pihak pekerja, pengusaha, dan tidak memperburuk
perekonomian Indonesia di era otda 2007-2010 yang akan datang adalah:
(1) Simulasi 6: Penurunan jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50
persen, dan (2) Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan jumlah kasus
pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6 persen dan
peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
12.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan yang dapat memenuhi Triple Track
Strategy adalah: (1) Simulasi 1: Upah minimum tetap sebesar nilai tahun
2006 (tidak ada penyesuaian upah minimum sejak tahun 2007), (2)
Simulasi 5: Penurunan kekuatan serikat buruh TKFP 90 persen, TKFI 1.5
persen, dan TKF 2,5 persen, (3) Simulasi 6: Penurunan jumlah kasus
198
pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, (4) Simulasi 8: Peningkatan
pengeluaran infrastruktur 40 persen, (5) Simulasi 10: Kombinasi simulasi
penurunan suku bunga 6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur
40 persen, dan (6) Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan jumlah
kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga 6
persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
13.
Pilihan simulasi kebijakan peramalan terbaik agar dapat memenuhi
harapan pihak pekerja, pengusaha, dan tidak memperburuk perekonomian
Indonesia juga memenuhi Triple Track Strategy di era otda 2007-2010
yang akan datang adalah Simulasi 12: Kombinasi simulasi penurunan
jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa 50 persen, penurunan suku bunga
6 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur 40 persen.
8.2.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan simpulan, disusun implikasi kebijakan sebagai berikut:
1.
Bila pemerintah tetap mempertahankan kebijakan upah minimum di
era otda yang akan datang maka bersama dengan serikat buruh,
pengusaha dan pihak perguruan tinggi perlu melakukan evaluasi
terkait dengan: (1) nilai upah minimum, (2) tuntutan serikat pekerja
dan (3) upaya peningkatan produktivitas TK. Upaya peningkatan
produktivitas
TK
dapat
dilakukan
melalui
perbaikan
kondisi
perekonomian dan industri, perbaikan regulasi pemerintah dan perbaikan
karakteristik
angkatan
kerja
agar
tidak
memperburuk
pengangguran dan perekonomian 2007-2010 mendatang.
tingkat
199
2.
Agar masalah hubungan indutrial di era otda yang akan datang dapat
mencapai penyelesaian yang memenuhi harapan pihak pekerja dan
pengusaha diperlukan peran pemerintah sebagai regulator dan mediator
yang adil untuk meningkatkan kepercayaan kedua belah pihak.
3.
Bila pemerintah ingin mewujudkan peningkatan investasi di era otda
yang akan datang maka kebijakan yang sebaiknya dilakukan adalah
menurunkan resiko ketidakpastian di pasar TK, menurunkan suku bunga
dan meningkatkan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur.
Penurunan resiko dapat dilakukan melalui evaluasi ulang sistem penetapan
kebijakan upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial
yang dapat memenuhi keinginan pekerja dan pengusaha.
4.
Bila di era otda yang akan datang pemerintah ingin: (1) mencapai
pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada investasi, (2) memicu sektor
riil yang memperluas kesempatan kerja, dan (3) meningkatkan investasi
sektor pertanian, maka penurunan resiko ketidakpastian di pasar tenaga
kerja dan peningkatan pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur
adalah upaya yang seharusnya dilakukan segera oleh pemerintah untuk
masa yang akan datang.
8.3.
Saran Penelitian Lanjutan
Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan dalam penelitian ini,
disarankan:
1.
Kebijakan ketenagakerjaan memberikan pengaruh berbeda pada setiap
kelompok TK. Oleh karena itu, perlu penelitian lanjutan yang lebih
spesifik dengan mendisagregasi TK berdasarkan wilayah, sektor formal
200
dan informal, jenis kelamin, serta daerah perkotaan dan pedesaan di era
otda yang akan datang.
2.
Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dan Undang-undang
No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial
memberatkan pihak pengusaha dalam hal mempekerjakan TK perempuan.
Perlu analisis dampak kebijakan ketenagakerjaan yang lebih spesifik
terhadap isu gender.
3.
Terdapat pengaruh jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa terhadap
investasi, juga pengaruh kekuatan serikat pekerja terhadap peningkatan
upah rata-rata yang relatif besar pada sektor industri dibandingkan pada
sektor lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang
lebih mendisagregasi sektor industri di era otda yang akan datang.
4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber permasalahan hubungan
industrial yang tercermin pada penyebab kasus pemogokan adalah upah.
Di sisi lain setiap tahun pemerintah telah melakukan penyesuaian nilai
upah minimum. Terdapat kesenjangan antara harapan pihak pekerja,
keinginan pihak pengusaha dan kebijakan yang telah ditetapkan
pemerintah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
preferensi
pekerja,
pengusaha
dan
pemerintah
terhadap
sistem
penyesuaian upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan
industrial agar dapat memenuhi harapan kedua belah pihak dan
memperbaiki kondisi perekonomian makro di era otda yang akan
datang.
201
5.
Perlu penelitian lanjutan yang lebih spesifik tentang upaya penurunan
tingkat pengangguran di era otda yang akan datang melalui kebijakan
sumbangan pendidikan dan pelatihan, kebijakan menaikkan tabungan
nasional, kebijakan untuk meningkatkan penelitian dan pengembangan,
dan Undang-undang ketenagakerjaan tentang perselisihan hubungan
industrial yang lebih spesifik pada setiap subsektor industri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Arfida, B. R. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Bank Indonesia. 2002-2006. Laporan Tahunan 2002-2006. Bank Indonesia,
Jakarta.
Bellante, D. dan M. Jackson. 1990. Ekonomi Ketenagakerjaan. Terjemahan.
Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Borjas, G. J. 1996. Labor Economics. McGraw-Hill Inc, Singapore.
Branson W.H and J.M. Litvack. 1976. Macroeconomics. Harper International
Edition. Harper & Row Publisher, New York.
Branson. W.L. 1979. Macroeconomic Theory and Policy. Second Edition.
Harper & Row Publisher, New York.
Case and Fair. 2004. Prinsip-prinsip Ekonomi Makro. Edisi lima. Terjemahan. PT.
Indeks, Jakarta.
Depnakertrans dan BPPS. 1999. Analisis Program Aksi Penanggulangan
Pengangguran. BPS, Jakarta.
Depnakertrans. 1998. Profil Sumber Daya Manusia Indonesia (The Human resource
Profile in Indonesia). Pusat Perencanaan dan Informasi Tenaga Kerja,
Badan Perencanaan dan Pengembangan, Depnakertrans RI, Jakarta.
Dornbush, R. and S. Fischer. 1997. Macroeconomics. Fifth Edition. McGraw-Hill.
Inc., Singapore.
Fokusmedia. 2006. Undang-Undang Ketenagakerjaan. Edisi Lengkap. Fokusmedia,
Bandung.
Graziano, A.M. and M. L. Raulin. 1989. Research Methods: A Process of Inquiry.
Harper Collins Publishers, New York.
Khakim, A. SH.2006. Aspek Hukum Pengupahan Berdasarkan UU No. 13 Tahun
2003. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometric Method. Second Edition. The MacMillan Press Ltd, London.
203
Mangkuprawira, S. dan A. V. Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya
Manusia. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomic. Fourth Edition. Worth Publishers Inc, New
York.
Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi 8.
Erlangga, Jakarta.
Oentarto, S. M., I. M. Suwandi, D., Riyadmadji. 2004. Menggagas Format Otonomi
Daerah Masa Depan. Samitra Media Utama, Jakarta.
Pindyck, R. S and D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Fifth Edition. Prentice
Hall International Inc, New Jersey.
____________________________. 1991. Econometric Models and Economic
Forcasts. Third Edition. McGraw-Hill Inc, New York.
Romer, David. 1996. Advance Macroeconomics. McGraw-Hill Companies Inc.
United State of America.
Shapiro, E. 1978. Macroeconomic Analysis. Fourth Edition. Harcourt Brace
Jovanovich Inc, New York. United States.
Simanjuntak, P.J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Fakultas
Ekanomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Sitepu, R. K. dan B. M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika:
Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS.
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Squire, Lyn. 1982. Kebijaksanaan Kesempatan Kerja di Negeri-negeri Sedang
Berkembang: Sebuah Survey Masalah-masalah dan Bukti-bukti. UI-Press,
Jakarta.
Woodhouse, M. B. 2006. Berfilsafat, Sebuah Langkah Awal. Kanisius, Yogyakarta.
Jurnal (dipublikasi):
Anarita, Popon. 2002. Kemampuan Negosiasi Serikat Buruh dalam
Memperjuangkan Upah Minimum di dalam Institusi Dewan Pengupahan.
Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 65-76.
Brodjonegoro, Bambang P. S. 2000. Pemulihan Ekonomi,Otonomi Daerah Dan
Kesempatan Kerja di Indonesia. Warta Demografi, 30 (3): 21-27.
204
Calvo-Armengol, A. and M. O. Jackson. 2004. The Effects of Social Networks on
employment and Inequality. The American Economic Review, 94 (3): 426454.
Card, David and A. B. Krueger. 1994. Minimum Wages and Employment: A Case
Studv of the Fast-Food Industry in New Jersey and fennsylvania. The
American Economic Review, September: 772-793.
____________________________.2000. Minimum Wages and Employment: A
Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania:
Reply. The American Economic Review, December: 1397-1420.
Figart, Deborah M. 2003. Labor Market Policy: One Institutionalist’s Agenda.
Journal of Economic Issues, 37 (2): 315-323.
Fuglie, Keith O. 2004. Productivity Growth in Indonesian Agriculture, 1961-2000:
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40 (2): 209-225.
Hendarmin, Ari. 2002. Kesejahteraan Buruh dan Kelangsungan Usaha: Upah
Minimum dari Sisi Pandang Pengusaha. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 95110.
Kennan, John. 1995. The Elusive Effects of Minimum Wages. Journal of Economic
Literature, 33: 1949-1965.
Kuncoro, Ari. 2003. SDM dan Sisi Permintaan Tenaga Kerja Masa Depan di
Indonesia. Warta Demografi, 33 (1): 33 – 41.
Levin-Waldman, Oren M. 2002. The Minimum Wage and Regional Wage
Structure: Implications for Income Distribution. Journal of Economic
Issues, 36 (3): 636-657.
Mangara, R. T. 2004. Sektor Pertanian Menganggung Beban Berat dalam
Penciptaan Kesempatan Kerja. Warta Ketenagakerjaan, 11 (November): 9.
Depnakertran, Jakarta.
Mangkuprawira, Sjafri. 2000. Analisis Perilaku Pasar Kerja di Wilayah Jawa dan
Bali. Mimbar Sosek, 3 (1): 60-78.
___________________. 2001. Perempuan dan Pasar Kerja di Wilayah Jawa dan
Bali: Sebelum Krisis dan Selama Krisis Ekonomi. Mimbar Sosek, 14 (1): 132.
Manning, Chris. 2000. Labour Market Adjustment to Indonesia's Economic Crisis:
Contex, Trends and Implications. Bulletin of Indonesian Economic Studies,
36 (1): 105-136.
205
Neumark, David and W. Wascher. 2000. Minimum Wages and Employment: A
Case Study of the Fast-Food Industry in New Jersey and Pennsylvania:
Comment. The American Economic Revicw, December: 1362-1396.
Nuryati, Y., H. Siregar, A. Ratnawaty. 2006. Dampak Kebijakan Inflation Targeting
terhadap beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan, 9 (1).
Priyono, Edi. 2002. Situasi Ketenagakerjaan Indonesia dan Tinjauan Kritis. Jurnal
Analisis Sosial, 7 (1): 1-15.
Rama, Martin. 1998. How Bad is Unemployment in Tunisia? Assessing Labor
Market Efficiency in a Developing Country. The World Bank Economic
Observer, 13 (1): 59-77.
Siregar, H. dan Nely. 2005. Infrastruktur Dasar dan Pembiayaannya. Agrimedia, 10
(2): 26-37.
Suryahadi, Asep. 1999. Wage Inequality Between Skilled and Unskilled labor in
Indonesian Manufacturing. Ekonomi dan keuangan Indonesia, 67 (3): 271288.
Suryahadi, Asep. 2000. Changes in the Structure of Wages in Indonesia during the
Crisis. Ekonomi dan keuangan Indonesia, 68 (4): 355-367.
Suryahadi, A., W, Widyanti, D., Penwira, and S., Sumarto. 2003. Minimum Wage
Policy and Its Impact on Employment in The Urban Formal Sector.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39 (l): 29-50.
Syafa'at, Nizwar. 1996. Pendugaan Parameter Persamaan Simultan dengan Metode
Pendugaan OLS, 2SLS, LIML dan 3SLS. Ekonomi dan keuangan
Indonesia, XLIV (4): 321 - 339.
Tjiptoherijanto, Prijono. 2000. Kebijakan Upah: Tantangan di Tengah Suasana
krisis Ekonomi. Perencanaan Pembangunan, (18): 53-63.
Wirahyoso, Bambang. 2002. Upah Minimum Bagi Buruh dan Strategi Perjuangan
Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Jurnal Analisis Sosial, 7 (1): 77-93.
Zavodny, Madeline. 2000. The Effect of the Minimum Wage on Employment and
Hours. Labour Economics, (7): 729-750.
Lainnya:
Adriani. 2000. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar Kerja dan
Migrasi pada Periode Krisis Ekonomi di Indonesia. Thesis Magister Sains.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
206
Brooks, Ray. 2002. Why Is Unemployment High in the Philippines? IMF Working
Paper. http:// www.imf.org/external/pubs/fl/wp/2002/wp0223.pdf.
Depnakertrans. 2005. Merancang Strategi Ketenagakerjaan. Nakertrans, 8 (XXV):
5-11.
Depnakertrans. 1998-2007. Depnakertrans Situasi Tenaga Kerja dan kesempatan
Kerja di Indonesia. Depnakertrans RI, Jakarta.
____________. 2004a. Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) 2004 - 2009.
Majalah Nakertrans, 03 (XXIV), http:// www.nakertrans. go. Id/ arsi_
berita/naker/ rtkn_ acuan.php.
____________. 2004b. Perkembangan Upah Minimum Propinsi. http://www.
nakertrans.go.Id/b_penting/warta_naker/perkembangan_ump.php
Erisman, 2003. Analisis Ekonomi pasar Tenaga Kerja di Wilayah DKI Jakarta.
Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Hadi, Supri. 2002. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keragaan Pasar Kerja dan
Migrasi pada Periode Krisis dan Sebelum Krisis Ekonomi di Indonesia. Thesis
Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ISEI. 2005. Rekomendasi ISEI-Langkah-langkah Strategis Pemulihan Ekonomi
Indonesia. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta.
Kalangi, L. S. 2006. Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalm
Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan. Thesis Magister Sains.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kompas. 2006. Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan. Bisnis & Keuangan.
Rabu, 15 februari 2006.
Margono, Hery. 2005. Analisis Produktivitas dan Ketenagakerjaan: Suatu
Pendekatan Makro-Mikro Ekonomi. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Safrida. 1999. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Laju Inflasi,
Kesempatan Kerja, Serta Keragaan Permintaan dan Penawaran Agregat.
Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sasono, Adi, L. E. Lubis, A. S. Ruky, M. J. Hidayat. 1994. Pembaruan Sistem
Upah. Depnakertrans – Centre for Information and Development Studies,
Jakarta.
Setiawan, Usep. 2007. Nasib Buruh dan Reformasi Agraria. Kompas, Senin 7 Mei
2007.
207
Simanjuntak, D. S. 2005. Upah Kompromi 2006. Kompas, Senin 21 November
2005.
Simanjuntak, P.J. 2004. Industrial Relations System in Indonesia. Indonesian
Human Resources Development Association, Jakarta.
. 2006. Administrasi Ketenagakerjaan Indonesia. Depnakertrans
RI dan ILO/USA Declaration Project Indonesia.
Sipayung, T. 2000. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor Pertanian
dalam Membangun Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Smeru Research Team. 2004. Laporan Pelaksanaan Lokakarya Kebijakan Pasar
Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas kesempatan
Kerja. http:// www.smeru.or.id.
Sukwika, T. 2003. Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Migrasi di Kabupaten Bogor.
Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Sultani. 2007. Pekerja dalam Pusaran Negara dan Pengusaha. Kompas, Senin 7 Mei
2007.
Syamsudin, M. Syaufii. 2003. Efektivitas Penetapan Upah Minimum dalam
Meningkatkan
Kesejahteraan
Pekerja.
Badan
Penelitian,
Pengembangan dan Informasi depnakertrans, Jakarta.
Tambunan, Tulus. 2006. Kondisi Infrastruktur di Indonesia. http://www.
kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-1577-02032007.
pdf.
Winoto, J. dan H. Siregar. 2005. Peranan Pembangunan Infrastruktur dalam
menggerakkan Sektor Riil. Makalah dalam Sidang Pleno ISEI XI. 22-23
Maret 2005, Jakarta.
Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya
Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik
Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana,
Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
. 2007. Triple Track Strategy: Upaya Mengurangi Pengangguran
dan Kemiskinan. www.presidenri.go.id.
Zulkifli. 2002. Analisis Ketenagakerjaan Sebelum dan Semasa Krisis
Ekonomi di Indonesia. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
208
Lampiran 1a. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Undang-Undang Tahun 1956–2004
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1
2
3
1.
Undang-Undang No. 39 Tahun 2004
Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri
2.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah
3.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
4.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
(English version)
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
5.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2003
Pengawasan Ketenagakerjaan dalam
Industri dan Perdagangan
6.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
(English version)
Ketenagakerjaan
7.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002
Hak Cipta
8.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2002
Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
9.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2000
Penetapan PP Pengganti UU No. 3 / 2000
10.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000
(English version)
Serikat Pekerja / Serikat Buruh
11.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2000
Pelanggaran dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak
12.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia
13.
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
14.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Pemerintahan Daerah
15.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1999
Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan
16.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1999
Usia Minimum Untuk Diperbolehkan
Bekerja
209
17.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1999
Penghapusan Kerja Paksa
18.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
19.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1992
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
20.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
Pengelolaan Lingkungan Hidup
21.
Undang-Undang No. 20 Tahun 1997
Penerimaan Negara Bukan Pajak
22.
Undang-Undang No. 16 Tahun 1997
Statistik
23.
Undang-Undang No. 15 Tahun 1997
Ketransmigrasian
24.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1992
Dana Pensiun
25.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1992
Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera
26.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
thd. Wanita
27.
Undang-Undang No. 7 Tahun 1981
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan
28.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970
Keselamatan Kerja
29.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1964
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan
Swasta
30.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1958
Penempatan Tenaga Kerja Asing
31.
Undang-Undang No. 80 Tahun 1957
Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita
Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
32.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
33.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1956
Berlakunya Dasar-Dasar Dari Hak Untuk
Berorganisasi dan Untuk Berunding
Bersama
210
Lampiran 1b. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Peraturan Menteri Tahun 1985–2004
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Peraturan Pemerintah No. 41 th.
2004
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada
Mahkamah Agung
2.
Peraturan Pemerintah No. 23 th.
2004
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
3.
Peraturan Pemerintah No. 22 th.
2004
Pengelolaan dan Investasi Dana Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
4.
Peraturan Pemerintah No. 11 th.
2000
Perubahan atas PP No. 98/2000 tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
5.
Peraturan Pemerintah No. 2 th.
1999
Penyelenggaraan Transmigrasi
6.
Peraturan Menteri No. 1 th.
1999
Upah Minimum
7.
Peraturan Pemerintah No. 79 th.
1998
Perubahan atas PP No. 14 Th. 1989 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
8.
Peraturan Menteri No. 06 th.
1998
Pencabutan Permenaker No. PER01/MEN/1994 tentang Serikat Pekerja di
Tingkat Perusahaan
9.
Peraturan Menteri No. 01 th.
1985
Pelaksanaan Tata Cara Pembuatan
Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
211
Lampiran 1c. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Presiden Tahun 1995–2004
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Keppres No. 25 tahun 2004
Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas
Ketenagakerjaan, Perantara Hubungan
Industrial dan Pengantar Kerja
2.
Keppres No. 9 tahun 2003
Tim Koordinasi Telematika Indonesia
3.
Keppres No. 111 tahun 2001
Perubahan Keppres 3/2001 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi
4.
Keppres No. 3 tahun 2001
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi
5.
Keppres No. 29 tahun 1999
Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia
6.
7.
Keppres No. 83 tahun 1998
Keppres No. 75 tahun 1995
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Untuk Berorganisasi
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara
Asing Pendatang
Lampiran 1d. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Intruksi Presiden
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Instruksi Presiden No. 4 th.
2004
Pengambilan Kebijakan di Tingkat
Kementerian Negara dan Lembaga
Pemerintah Non Departemen
2.
Instruksi Presiden No. 3 th. 2003
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan E-Government
3.
Instruksi Presiden No. 6 th.
2001
Pengembangan & Pendayagunaan Telematika
di Indonesia
212
Lampiran 1e. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Menteri
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1
2
3
1.
Kepmen
No. 362 TAHUN 2004
No. KEP.119/MEN/VII/2004
No. SKB/02/M.PAN/7/2004
Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama
Tahun 2005
2.
Kepmen No.
KEP.261/MEN/VII/2004
Perusahaan yang Wajib Melaksanakan
Pelatihan Kerja
3.
Kepmen No.
KEP.220/MEN/VII/2004
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan
Lain
4.
Kepmen No. KEP.187/MEN IX/2004 Iuran Anggota Serikat Pekerja/Serikat
Buruh
5.
Kepmen No.
KEP.115/MEN/VII/2004
Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan
Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat
dan Minat
6.
Kepmen No.
KEP.112/MEN/VII/2004
Perubahan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi RI Nomor :
Kep.226/MEN/2003 tentang Tata Cara
Perizinan Penyelenggaraan Program
Pemagangan di Luar Wilayah Indonesia
7.
Kepmen No.
KEP.96A/MEN/VI/2004
Pedoman Penyiapan dan Akreditasi
Lembaga Sertifikasi Profesi
8.
Kepmen No. KEP.69/MEN/2004
Perubahan Lampiran Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor:
KEP.227/MEN/2003 tentang Tata Cara
Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional
9.
Kepmen No. KEP.68/MEN/2004
Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS di Tempat Kerja
10.
Kepmen No. KEP.21/MEN/2004
Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai
Pemandu Nyanyi/Karaoke
213
11.
Kepmen No. KEP.20/MEN/2004
Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
12.
Kepmen No. KEP.246/MEN/2003
Prosedur dan Kriteria Penyiapan Lokasi
Permukiman Transmigrasi
13.
Kepmen No. KEP.182/MEN/2003
Tata Cara Penyusunan Rencana, Program
dan Anggaran Pembangunan Tahunan
Bidang Ketransmigrasian
14.
Kepmen Pelaksanaan UU No. 13
Tahun 2003
• Kepmen No. KEP. 223/MEN/2003
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
tentang Jabatan-Jabatan di Lembaga
Pendidikan yang Dikecualikan dari
Kewajiban Membayar Kompensasi
Kepmen No. KEP. 224/MEN/2003
tentang Kewajiban Pengusaha yang
Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan
antara Pukul 23.00 s/d 07.00
Kepmen No. KEP. 225/MEN/2003
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja
Kepmen No. KEP. 226/MEN/2003
tentang Tata Cara Perijinan
Penyelenggaraan Program Pemagangan di
Luar Wilayah Indonesia
Kepmen No. KEP. 227/MEN/2003
tentang Tata Cara Penetapan Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
Kepmen No. KEP. 228/MEN/2003
tentang Tata Cara Pengesahan Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Kepmen No. KEP. 229/MEN/2003
tentang Tata Cara Perijinan dan Pendaftaran
Lembaga Pelatihan Kerja
Kepmen No. KEP. 230/MEN/2003
tentang Golongan & Jabatan Tertentu Yang
Dapat dipungut Biaya Penempatan Tenaga
Kerja
Kepmen No. KEP. 231/MEN/2003
tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan
Upah Minimum
Kepmen No. KEP. 232/MEN/2003
tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang
Tidak Sah
Kepmen No. KEP. 233/MEN/2003
tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan Yang
Dijalankan Secara Terus Menerus
Kepmen No. KEP. 234/MEN/2003
tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada
Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya
Mineral pada Daerah Tertentu
214
• Kepmen No. KEP. 235/MEN/2003
•
•
•
•
•
•
•
tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang
Membahayakan Kesehatan, Keselamatan
atau Moral Anak
Kepmen No. KEP. 255/MEN/2003
tentang Tata Cara Pembentukan dan
Susunan Keanggotaan Lembaga Kerjasama
Bipartit
Kepmen No. KEP. 48/MEN/2004
Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
Kepmen No. KEP. 49/MEN/2004
Ketentuan Struktur dan Skala Upah
Kepmen No. KEP. 51/MEN/2004
Istirahat Panjang pada Perusahaan Tertentu
Kepmen No. KEP.100/MEN/VI/2004
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu
Kepmen No. KEP.101/MEN/VI/2004
Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia
Jasa Pekerja/Buruh
Kepmen No. KEP.102/MEN/VI/2004
Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja
Lembur
15.
Kepmen No. KEP.231/MEN/2002
Kriteria Usulan Program Penyiapan
Permukiman, Perpindahan dan Penempatan
serta Pemberdayaan Masyarakat Binaan
Dalam Penyelenggaraan Transmigrasi
16.
Kepmen No. KEP.109//MEN/2002
Tim Penanggulangan Kemiskinan
17.
Kepmen No. KEP.104A//MEN/2002
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke
Luar Negeri
18.
Kepmen No. KEP.17//MEN/2002
Pedoman Sistem Pelaporan Bidang
Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian
19.
Kepmen No. KEP.06/MEN/1999
Tingkat Perkembangan Permukiman
Transmigrasi dan Kesejahteraan
Transmigrasi
20.
Kepmen No. KEP.15A/MEN/1994
Petunjuk Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial & Pemutusan
Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan
Pemerantaraan
215
Lampiran 1f. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Instruksi Menteri
No.
1.
Bentuk Kebijakan
Instruksi Menteri Nomor
INS.01/MEN/2001
Perihal
PENDAYAGUNAAN WEBSITE
"Nakertrans.go.id" UNTUK
PENYEBARAN DAN PELAYANAN
INFORMASI DALAM RANGKA
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
SERTA PENGAMANAN JARINGAN
KOMUNIKASI INTRANET/ INTERNET
Lampiran 1g. Berbagai Kebijakan yang Berkaitan dengan Ketenagakerjaan di
Indonesia Dalam Bentuk Keputusan Dirjen
No.
Bentuk Kebijakan
Perihal
1.
Keputusan Dirjen P3TKDN No.
KEP- 106/D.P3TKDN/XI/2002
Petunjuk Teknis Akreditasi Lembaga
Pelatihan Kerja Kejuruan Menjahit
2.
Keputusan Dirjen P3TKDN No.
KEP- 107/D.P3TKDN/XI/2002
Petunjuk Teknis Akreditasi Lembaga
Pelatihan Kerja Kejuruan Otomotif
216
Lampiran 2. Program Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur
SYSLIN Metode 2 SLS pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber;
data tkm;
set analisis;
S
= SPR + SPM + SPT;
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
GTR = TAX + NTAX;
GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
TI
= IP + II + IJ + IL;
AD
= C + TI + GET + X - M;
AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
LCPI = LAG (CPI);
INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100;
LPHK = LAG (PHK);
LGET = LAG (GET);
LTI=LAG (TI);
LUMR=LAG (UMR);
LMS =LAG (MS);
LW
= LAG (W);
LTKFP = LAG (TKFP);
LDP=LAG (DP);
LDJ=LAG (DJ);
LGTR=LAG (GTR);
LGDPI=LAG (GDPI);
LLLP=LAG (LLP);
LGEIS=LAG (GEIS);
LKP=LAG (KP);
evi0 = PHK-LPHK;
evi2 = UMR-LUMR;
evi4 = SB-LSB;
evi7 = WJ-LWJ;
evi9 = GEI-LGEI;
evi15 = DJ-LDJ;
evi20 = GDPP/AS;
evi23 = GEIS-LGEIS;
LSPR=LAG (SPR);
LSPM=LAG (SPM);
LDPRP=LAG (DPRP);
LDPRJ=LAG (DPRJ);
LAS
= LAG (AS);
LIP=LAG (IP);
LWJ=LAG (WJ);
LSB=LAG (SB);
LS
= LAG (S);
LD
= LAG (D);
LTKF
= LAG (TKF);
LDI=LAG (DI);
LUMJ=LAG (UMJ);
LGDPP=LAG (GDPP);
LINF=LAG (INF);
LGEP=LAG (GEP);
LGEI=LAG (GEI);
LER=LAG (ER);
evi1 = AS/POP;
evi3 = ER-LER;
evi6 = IP-LIP;
evi8 = W-LW;
evi10 = MS-LMS;
evi17 = GTR-LGTR;
evi22 = GEP-LGEP;
evi26 = KP-LKP;
LPHK=LAG (PHK);
LSPT=LAG (SPT);
LDPRI=LAG (DPRI);
LDPMP=LAG (DPMP);
217
LDPMI=LAG (DPMI);
LDPTP=LAG (DPTP);
LDPTJ=LAG (DPTJ);
LWI=LAG (WI);
LPOIL=LAG (POIL);
LGEPK=LAG (GEPK);
LC=LAG (C);
LIJ=LAG (IJ);
LM =LAG (M);
LAD =LAG (AD);
LINF = LAG (INF);
LJP=LAG (JP);
LTI=LAG (TI);
LUMI=LAG (UMI);
LUT=LAG (UT);
LDEFP=LAG (DEFP);
Levi2=LAG (evi2);
Levi6=LAG (evi6);
Levi8=LAG (evi8);
Levi10=LAG (evi10);
Levi17=LAG (evi17);
GRI = ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100;
GRJ = ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
run;
LDPMJ=LAG (DPMJ);
LDPTI=LAG (DPTI);
LWP=LAG (WP);
LW=LAG (W);
LTAX=LAG (TAX);
LGDPJ=LAG (GDPJ);
LII=LAG (II);
LX =LAG (X);
LMD =LAG (MD);
LCPI=LAG (CPI);
Levi1=LAG (evi1);
LUMR=LAG (UMR);
LUMP=LAG (UMP);
LUMJ=LAG (UMJ);
LTKFJ=LAG (TKFJ);
LDEFJ=LAG (DEFJ);
Levi4=LAG (evi4);
Levi7=LAG (evi7);
Levi9=LAG (evi9);
Levi15=LAG (evi15);
Levi22=LAG (evi22);
PROC SYSLIN 2SLS DATA=tkm outest=hasil;
Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ
DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK
GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM
KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR
WL;
/* 1. Blok Pasar
MODEL SPR
=
MODEL SPM
=
MODEL SPT
=
IDENTITY S
=
MODEL DPRP
=
MODEL DPRI
=
MODEL DPRJ
=
IDENTITY DPR
=
MODEL DPMP
=
MODEL DPMI
=
MODEL DPMJ
=
IDENTITY DPM
=
MODEL DPTP
=
MODEL DPTI
=
MODEL DPTJ
=
IDENTITY DPT
=
IDENTITY DP
=
Tenaga Kerja*/
Levi8 evi0 POP LSPR/DW;
W POP LGEPK LSPM/DW;
W POP LGEPK LSPT/DW;
SPR + SPM + SPT;
WP GDPP TKIP LDPRP/DW;
WI GDPI JP JPK TKII LDPRI/DW;
evi7 GDPJ PNSR LDPRJ/DW;
DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
WP GDPP TKMI LDPMP/DW;
LWI GDPI JPK LDPMI/DW;
WJ GDPJ TKFJ LDPMJ/DW;
DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
WP GDPP TKTI LDPTP/DW;
WI GDPI JPK LDPTI/DW;
evi7 GDPJ LDPTJ/DW;
DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DPRP + DPMP + DPTP;
218
IDENTITY
IDENTITY
IDENTITY
IDENTITY
IDENTITY
IDENTITY
IDENTITY
MODEL WP
MODEL WI
MODEL WJ
MODEL W
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
DPRI + DPMI + DPTI;
DPRJ + DPMJ + DPTJ;
DPR + DPM + DPT;
UPR + 0;
UPM + 0;
UPT + 0;
UT + 0;
UMP KHM DEFP TKFP S
UMI KHM DEFI TKFI S
UMJ KHM DEFJ LTKF S
Levi2 WP WI evi7 WL
LWP/DW;
LWI/DW;
LWJ/DW;
LW/DW;
/* 2. Blok Fiskal*/
MODEL TAX
= AS LTAX/DW;
IDENTITY GTR
= TAX + NTAX;
MODEL GEP
= evi17 LINF evi20 /DW;
MODEL GEI
= evi17 LINF GRI /DW;
MODEL GEIS
= Levi17 LINF LGEIS/DW;
MODEL GEPK
= LUT GTR LINF LGEPK/DW;
IDENTITY GET
= GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/* 3.
MODEL
MODEL
MODEL
Blok Penawaran Agregat*/
GDPP
= DP DEFP evi6 evi22 evi23 LGDPP/DW;
GDPI
= DI DEFI II evi9 KUK GEIS LGDPI/DW;
GDPJ
= evi15 LDEFJ IJ LGEIS LGDPJ/DW;
/* 4. Blok Permintaan Agregat*/
MODEL C
= EVI1 INF LC/DW;
MODEL IP
= evi4 UMR LAS evi26 DDF LIP/DW;
MODEL II
= evi4 UMR AS KP DDF LII/DW;
MODEL IJ
= SB LUMR AS LKP DDF LIJ/DW;
IDENTITY TI
= IP + II + IJ + IL;
MODEL X
= ER AS LX /DW;
MODEL M
= ER AS LM /DW;
/* 5.
MODEL
MODEL
MODEL
Blok Moneter*/
MD
= AD evi4 DKE LMD/DW;
MS
= AD SB evi3 LMS /DW;
SB
= evi10 LAD LINF LSB /DW;
/* 6. Blok Keseimbangan Makro*/
IDENTITY AD
= C + TI + GET + X - M;
IDENTITY AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
MODEL CPI
= LSB LW LCPI/DW;
IDENTITY INF
= INF + 0;
RUN;
219
Lampiran 3. Hasil Estimasi Parameter Model Menggunakan Prosedur
SYSLIN Metode 2 SLS pada Program SAS/ETS 8.02
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
SPR
SPR
SPR
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
8.3409E8
38429668
8.7252E8
2.0852E8
2134982
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1461.15761
68037.4904
2.14758
F Value
Pr > F
97.67
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
Levi8
evi0
POP
LSPR
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
7696.893
0.054218
0.006907
0.183286
0.381599
3104.135
0.210486
0.013739
0.054410
0.148036
2.48
0.26
0.50
3.37
2.58
0.0233 Intercept
0.7996
0.6212
0.0034 POP
0.0190
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.059907
23
-0.03813
0.95596
0.94617
220
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
SPM
SPM
SPM
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
7.2065E8
6654492
7.273E8
1.8016E8
369694.0
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
608.02468
12017.0374
5.05969
F Value
Pr > F
487.33
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
W
POP
LGEPK
LSPM
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-11854.5
0.149701
0.071511
24.39220
0.670890
6614.453
0.086014
0.044641
17.37402
0.157408
-1.79
1.74
1.60
1.40
4.26
0.0899 Intercept
0.0989 W
0.1266 POP
0.1774
0.0005
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.468268
23
-0.26003
0.99085
0.98882
221
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
SPT
SPT
SPT
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
57787411
1045247
58832658
14446853
58069.30
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
240.97572
2621.82783
9.19113
F Value
Pr > F
248.79
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
W
POP
LGEPK
LSPT
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-3456.16
0.028160
0.019892
6.405164
0.715552
1759.424
0.033469
0.011366
6.188237
0.139538
-1.96
0.84
1.75
1.04
5.13
0.0651 Intercept
0.4112 W
0.0971 POP
0.3143
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.263288
23
-0.24584
0.98223
0.97829
222
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPRP
DPRP
DPRP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
1.7557E8
8179206
1.8375E8
43892660
454400.3
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
674.09221
36907.2209
1.82645
F Value
Pr > F
96.59
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WP
GDPP
TKIP
LDPRP
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
13996.67
-0.68812
0.017205
0.602612
0.175688
1752.374
0.292534
0.053114
0.078171
0.077055
7.99
-2.35
0.32
7.71
2.28
<.0001
0.0302
0.7497
<.0001
0.0350
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WP
GDPP
TKIP
1.706572
23
0.097808
0.95549
0.94560
223
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPRI
DPRI
DPRI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
36647772
1765822
38413594
6107962
110363.9
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
332.21061
6885.90783
4.82450
F Value
Pr > F
55.34
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WI
GDPI
JP
JPK
TKII
LDPRI
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
1501.583
-0.03733
0.007087
0.048144
2.044707
1.126923
0.064549
1179.454
0.061407
0.014319
0.051383
1.028377
0.225026
0.159530
1.27
-0.61
0.49
0.94
1.99
5.01
0.40
0.2212
0.5517
0.6274
0.3627
0.0642
0.0001
0.6911
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WI
GDPI
JP
JPK
TKII
2.295689
23
-0.15712
0.95403
0.93679
224
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPRJ
DPRJ
DPRJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
17932054
12398785
30330838
4483013
688821.4
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
829.95263
5274.52435
15.73512
F Value
Pr > F
6.51
0.0020
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi7
GDPJ
PNSR
LDPRJ
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
310.3759
-0.01115
0.015119
2.319582
0.478377
1799.994
0.108892
0.025535
1.349085
0.200636
0.17
-0.10
0.59
1.72
2.38
0.8650 Intercept
0.9196
0.5612 GDPJ
0.1027 PNSR
0.0283
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.784429
23
0.08443
0.59122
0.50037
225
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPMP
DPMP
DPMP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
11780915
240222.8
12021138
2945229
13345.71
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
115.52365
1292.92304
8.93508
F Value
Pr > F
220.69
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WP
GDPP
TKMI
LDPMP
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-790.640
-0.06189
0.036499
0.152310
0.271813
423.2608
0.043359
0.015161
0.050327
0.183530
-1.87
-1.43
2.41
3.03
1.48
0.0781
0.1706
0.0270
0.0073
0.1559
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WP
GDPP
TKMI
2.470703
23
-0.31979
0.98002
0.97558
226
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPMI
DPMI
DPMI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
23228035
264782.0
23492817
5807009
14710.11
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
121.28525
1661.03130
7.30180
F Value
Pr > F
394.76
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
LWI
GDPI
JPK
LDPMI
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
491.7278
-0.06035
0.010516
0.040753
0.818900
183.1849
0.017938
0.004041
0.324939
0.102710
2.68
-3.36
2.60
0.13
7.97
0.0151 Intercept
0.0035
0.0180 GDPI
0.9016 JPK
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.197437
23
-0.13385
0.98873
0.98622
227
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPMJ
DPMJ
DPMJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
13998192
813297.1
14811489
3499548
45183.17
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
212.56333
3641.16391
5.83779
F Value
Pr > F
77.45
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WJ
GDPJ
TKFJ
LDPMJ
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-75.0290
-0.02904
0.022429
0.235430
0.366813
550.7067
0.035638
0.015362
0.071112
0.138198
-0.14
-0.81
1.46
3.31
2.65
0.8931
0.4258
0.1615
0.0039
0.0161
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WJ
GDPJ
TKFJ
1.473021
23
0.221686
0.94509
0.93289
228
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPTP
DPTP
DPTP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
32149.02
1817.897
33966.92
8037.256
100.9943
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
10.04959
71.37174
14.08063
F Value
Pr > F
79.58
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WP
GDPP
TKTI
LDPTP
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-53.4439
-0.00364
0.002483
0.016213
0.505083
35.61881
0.003591
0.001222
0.028214
0.213766
-1.50
-1.01
2.03
0.57
2.36
0.1508
0.3246
0.0572
0.5726
0.0296
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WP
GDPP
TKTI
1.933074
23
0.012856
0.94648
0.93459
229
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPTI
DPTI
DPTI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
449160.9
19359.56
468520.4
112290.2
1075.531
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
32.79529
197.58696
16.59790
F Value
Pr > F
104.40
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
WI
GDPI
JPK
LDPTI
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
39.20398
-0.00658
0.001347
0.067873
0.817348
49.63871
0.005014
0.000834
0.088570
0.150672
0.79
-1.31
1.61
0.77
5.42
0.4399
0.2058
0.1238
0.4534
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WI
GDPI
JPK
2.030049
23
-0.02869
0.95868
0.94950
230
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
DPTJ
DPTJ
DPTJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
14782371
593062.7
15375433
4927457
31213.83
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
176.67436
1453.69130
12.15350
F Value
Pr > F
157.86
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi7
GDPJ
LDPTJ
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-279.070
-0.02304
0.014701
0.838590
179.9477
0.022559
0.006506
0.093278
-1.55
-1.02
2.26
8.99
0.1374 Intercept
0.3200
0.0358 GDPJ
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.723394
23
-0.43276
0.96143
0.95534
231
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
WP
WP
WP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
28165772
2324795
30490568
4694295
145299.7
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
381.18199
6315.32957
6.03582
F Value
Pr > F
32.31
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
UMP
KHM
DEFP
TKFP
S
LWP
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
4351.285
0.186011
0.235748
7.722205
0.026872
-0.07680
0.347304
3037.561
0.039320
0.167123
2.182597
0.169018
0.031320
0.138093
1.43
4.73
1.41
3.54
0.16
-2.45
2.52
0.1713
0.0002
0.1775
0.0027
0.8757
0.0261
0.0230
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
UMP
KHM
DEFP
TKFP
S
2.147441
23
-0.08971
0.92375
0.89516
232
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
WI
WI
WI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
98584221
11887589
1.1047E8
16430704
742974.3
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
861.95958
11943.3974
7.21704
F Value
Pr > F
22.11
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
UMI
KHM
DEFI
TKFI
S
LWI
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
5358.180
0.180116
1.007071
3.237797
2.135565
-0.28723
0.502053
2894.873
0.111573
0.339237
3.505363
0.475679
0.071445
0.118820
1.85
1.61
2.97
0.92
4.49
-4.02
4.23
0.0827
0.1260
0.0091
0.3694
0.0004
0.0010
0.0006
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
UMI
KHM
DEFI
TKFI
S
2.354692
23
-0.20368
0.89239
0.85204
233
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
WJ
WJ
WJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
1.6351E8
31558834
1.9507E8
27251611
1972427
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1404.43124
15433.0713
9.10014
F Value
Pr > F
13.82
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
UMJ
KHM
DEFJ
LTKF
S
LWJ
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
5380.282
0.260546
0.753300
15.60628
0.166095
-0.18927
0.454715
5207.397
0.107599
0.426650
6.349244
0.170188
0.112932
0.170218
1.03
2.42
1.77
2.46
0.98
-1.68
2.67
0.3169
0.0277
0.0965
0.0258
0.3436
0.1132
0.0167
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
UMJ
KHM
DEFJ
S
1.583527
23
0.161522
0.83822
0.77755
234
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
W
W
W
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
1.2241E8
4802680
1.2722E8
20402069
300167.5
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
547.87546
12694.0096
4.31602
F Value
Pr > F
67.97
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
Levi2
WP
WI
evi7
WL
LW
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
847.4541
0.062092
0.358429
0.461737
0.258188
0.059693
0.221975
806.2918
0.145269
0.374921
0.148448
0.141912
0.035232
0.143134
1.05
0.43
0.96
3.11
1.82
1.69
1.55
0.3089
0.6748
0.3533
0.0067
0.0876
0.1096
0.1405
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
WP
WI
WL
2.34477
23
-0.22235
0.96225
0.94809
235
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
TAX
TAX
TAX
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
2
20
22
389873.0
23872.85
413745.9
194936.5
1193.642
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
34.54913
254.40957
13.58012
F Value
Pr > F
163.31
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
AS
LTAX
DF
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-126.326 40.88286
0.001324 0.000337
0.197561 0.208115
-3.09
3.92
0.95
0.0058 Intercept
0.0008 AS
0.3538
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.488553
23
0.223332
0.94230
0.93653
236
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GEP
GEP
GEP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
673.2839
338.3914
1011.675
224.4280
17.81008
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
4.22020
24.46652
17.24887
F Value
Pr > F
12.60
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi17
LINF
evi20
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
14.98551
0.034337
0.592019
17.57876
5.361844
0.019793
0.102282
28.01660
2.79
1.73
5.79
0.63
0.0116 Intercept
0.0990
<.0001
0.5378
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.738171
23
0.115862
0.66551
0.61270
237
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GEI
GEI
GEI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
16.35251
46.76402
63.11653
5.450836
2.461264
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1.56884
3.25826
48.14967
F Value
Pr > F
2.21
0.1196
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi17
LINF
GRI
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
1.898281
0.007940
0.035231
0.100363
0.666907
0.007519
0.038181
0.048602
2.85
1.06
0.92
2.06
0.0103 Intercept
0.3042
0.3677
0.0528
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.347546
23
-0.18845
0.25908
0.14210
238
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GEIS
GEIS
GEIS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
7475.342
3456.313
10931.65
2491.781
181.9112
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
13.48745
59.48696
22.67295
F Value
Pr > F
13.70
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
Levi17
LINF
LGEIS
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
8.594533
0.053636
0.074659
0.829220
8.810614
0.054804
0.270443
0.130738
0.98
0.98
0.28
6.34
0.3416 Intercept
0.3400
0.7855
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.702487
23
0.141579
0.68383
0.63390
239
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GEPK
GEPK
GEPK
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
3616.534
689.2200
4305.754
904.1335
38.29000
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
6.18789
36.04522
17.16702
F Value
Pr > F
23.61
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
LUT
GTR
LINF
LGEPK
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-0.48610
1.177960
0.011670
0.286771
0.676046
5.241782
1.040253
0.018305
0.131367
0.119361
-0.09
1.13
0.64
2.18
5.66
0.9271 Intercept
0.2723
0.5318 GTR
0.0425
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.090124
23
0.431594
0.83993
0.80436
240
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GDPP
GDPP
GDPP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
1.3265E9
8973295
1.3355E9
2.2109E8
560830.9
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
748.88645
43953.0909
1.70383
F Value
Pr > F
394.22
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
DP
DEFP
evi6
evi22
evi23
LGDPP
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-1574.86
0.098317
0.323054
0.026704
8.215004
7.864306
0.973710
2270.042
0.063655
1.768980
0.051679
15.82350
12.84807
0.044469
-0.69
1.54
0.18
0.52
0.52
0.61
21.90
0.4978 Intercept
0.1420 DP
0.8574 DEFP
0.6124
0.6108
0.5491
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.028915
23
-0.06883
0.99328
0.99076
241
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GDPI
GDPI
GDPI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
7
15
22
1.625E10
1.5614E8
1.64E10
2.3212E9
10409593
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
3226.39006
58224.3839
5.54130
F Value
Pr > F
222.99
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
DI
DEFI
II
evi9
KUK
GEIS
LGDPI
DF
1
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
464.9194
0.918193
38.69647
0.088450
164.7634
32.56100
15.05642
0.609806
6193.074
1.402265
36.24242
0.135499
299.1055
17.00688
47.79611
0.208865
0.08
0.65
1.07
0.65
0.55
1.91
0.32
2.92
0.9412
0.5225
0.3025
0.5238
0.5898
0.0748
0.7571
0.0106
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
DI
DEFI
II
KUK
GEIS
1.275885
23
0.241726
0.99048
0.98604
242
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
GDPJ
GDPJ
GDPJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
5
17
22
2.8725E9
1.1655E8
2.989E9
5.745E8
6855988
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
2618.39415
41944.7070
6.24249
F Value
Pr > F
83.80
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi15
LDEFJ
IJ
LGEIS
LGDPJ
DF
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
3889.881
0.265636
7.080491
0.142993
28.04410
0.861724
2219.461
0.583929
6.871331
0.375315
38.35196
0.101329
1.75
0.45
1.03
0.38
0.73
8.50
0.0977 Intercept
0.6549
0.3172
0.7079 IJ
0.4746
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.480039
23
0.240834
0.96101
0.94954
243
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
C
C
C
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
8.013E10
2.9035E8
8.042E10
2.671E10
15281414
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
3909.14489
157403.998
2.48351
F Value
Pr > F
1747.91
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi1
INF
LC
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-19490.6
45985.72
-224.958
0.796406
4922.742
7433.079
78.26069
0.039034
-3.96
6.19
-2.87
20.40
0.0008 Intercept
<.0001
0.0097 INF
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.447554
23
0.243859
0.99639
0.99582
244
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
IP
IP
IP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
2.4914E8
1.7544E8
4.2459E8
41523870
10965193
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
3311.37329
6830.50304
48.47920
F Value
Pr > F
3.79
0.0154
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi4
UMR
LAS
evi26
DDF
LIP
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
1321.929
-49.5038
-1.34291
0.025921
-5.32200
3653.718
0.614324
4174.072
98.35652
0.948550
0.028925
12.49117
3643.958
0.192617
0.32
-0.50
-1.42
0.90
-0.43
1.00
3.19
0.7556 Intercept
0.6216
0.1760 UMR
0.3835
0.6757
0.3309 DDF
0.0057
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.562349
23
0.204832
0.58679
0.43184
245
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
II
II
II
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
3.91E9
1.2146E9
5.1246E9
6.5166E8
75913263
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
8712.82177
42783.5304
20.36490
F Value
Pr > F
8.58
0.0003
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi4
UMR
AS
KP
DDF
LII
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-7936.68
-82.6170
-2.26652
0.246194
-23.2645
-24116.6
0.139976
11061.14
227.6311
2.197956
0.094414
32.23465
9688.923
0.237653
-0.72
-0.36
-1.03
2.61
-0.72
-2.49
0.59
0.4834
0.7214
0.3178
0.0190
0.4809
0.0242
0.5641
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
UMR
AS
KP
DDF
2.380518
23
-0.25095
0.76298
0.67410
246
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
IJ
IJ
IJ
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
6
16
22
24695898
41694364
66390262
4115983
2605898
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
1614.27933
2025.86043
79.68364
F Value
Pr > F
1.58
0.2167
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
SB
LUMR
AS
LKP
DDF
LIJ
DF
1
1
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-254.735
-2.75548
-0.35560
0.012588
-0.94728
2692.560
0.091524
1771.816
54.50865
0.303674
0.010474
4.593981
1652.584
0.246301
-0.14
-0.05
-1.17
1.20
-0.21
1.63
0.37
0.8875
0.9603
0.2587
0.2469
0.8392
0.1228
0.7151
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
Intercept
SB
AS
DDF
1.539115
23
0.198037
0.37198
0.13647
247
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
X
X
X
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
1.78E10
8.4198E8
1.864E10
5.9324E9
44314647
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
6656.92478
73894.6917
9.00866
F Value
Pr > F
133.87
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
ER
AS
LX
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-9074.23
1.042679
0.300933
0.039729
5502.617
0.728813
0.054212
0.168543
-1.65
1.43
5.55
0.24
0.1156 Intercept
0.1688 ER
<.0001 AS
0.8162
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.636538
23
-0.32534
0.95483
0.94769
248
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
M
M
M
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
1.333E10
1.7479E9
1.507E10
4.4422E9
91995286
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
9591.41732
69460.8270
13.80838
F Value
Pr > F
48.29
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
ER
AS
LM
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-9694.45
-1.24392
0.220442
0.427867
7824.417
0.977513
0.054615
0.155088
-1.24
-1.27
4.04
2.76
0.2304 Intercept
0.2185 ER
0.0007 AS
0.0125
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.127146
23
-0.11975
0.88405
0.86574
249
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
MD
MD
MD
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
9536643
55414.51
9592058
2384161
3078.584
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
55.48499
1158.67565
4.78866
F Value
Pr > F
774.43
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
AD
evi4
DKE
LMD
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-341.791
0.003544
-1.63250
48.77867
0.554641
76.88527
0.000598
1.264528
46.20155
0.075045
-4.45
5.93
-1.29
1.06
7.39
0.0003 Intercept
<.0001 AD
0.2130
0.3050 DKE
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.192748
23
0.288593
0.99422
0.99294
250
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
MS
MS
MS
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
9543929
48128.67
9592058
2385982
2673.815
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
51.70895
1158.67565
4.46276
F Value
Pr > F
892.35
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
AD
SB
evi3
LMS
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-485.902
0.004305
3.060249
0.026827
0.454207
100.2179
0.000647
1.825574
0.012226
0.082639
-4.85
6.65
1.68
2.19
5.50
0.0001 Intercept
<.0001 AD
0.1110 SB
0.0416
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.342731
23
0.135047
0.99498
0.99387
251
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
SB
SB
SB
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
4
18
22
997.1941
193.2679
1190.462
249.2985
10.73710
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
3.27675
18.00087
18.20330
F Value
Pr > F
23.22
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
evi10
LAD
LINF
LSB
DF
1
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
3.015449
-0.00527
5.074E-6
0.630957
0.455050
2.965648
0.007959
8.718E-6
0.070522
0.101147
1.02
-0.66
0.58
8.95
4.50
0.3227 Intercept
0.5161
0.5678
<.0001
0.0003
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
1.403858
23
0.272849
0.83765
0.80158
252
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
Dependent Variable
Label
CPI
CPI
CPI
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
Corrected Total
3
19
22
158651.1
7017.654
165668.8
52883.72
369.3502
Root MSE
Dependent Mean
Coeff Var
19.21849
153.59304
12.51260
F Value
Pr > F
143.18
<.0001
R-Square
Adj R-Sq
Parameter Estimates
Variable
Intercept
LSB
LW
LCPI
DF
1
1
1
1
Parameter Standard
Variable
Estimate
Error t Value Pr > |t| Label
-55.1704
0.065295
0.006445
0.904354
28.90623
0.615719
0.002362
0.072027
-1.91
0.11
2.73
12.56
0.0715 Intercept
0.9167
0.0133
<.0001
Durbin-Watson
Number of Observations
First-Order Autocorrelation
2.469837
23
-0.24832
0.95764
0.95095
253
Lampiran 4. Program Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber;
data tkm;
set analisis;
S
= SPR + SPM + SPT;
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
GTR = TAX + NTAX;
GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
TI
= IP + II + IJ + IL;
AD
= C + TI + GET + X - M;
AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
LCPI = LAG (CPI);
INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100;
LPHK = LAG (PHK);
LGET = LAG (GET);
LTI=LAG (TI);
LUMR=LAG (UMR);
LMS =LAG (MS);
LW
= LAG (W);
LTKFP = LAG (TKFP);
LDP=LAG (DP);
LDJ=LAG (DJ);
LGTR=LAG (GTR);
LGDPI=LAG (GDPI);
LLLP=LAG (LLP);
LGEIS=LAG (GEIS);
LKP=LAG (KP);
evi0 = PHK-LPHK;
evi2 = UMR-LUMR;
evi4 = SB-LSB;
evi7 = WJ-LWJ;
evi9 = GEI-LGEI;
evi15 = DJ-LDJ;
evi20 = GDPP/AS;
evi23 = GEIS-LGEIS;
LSPR=LAG (SPR);
LSPM=LAG (SPM);
LDPRP=LAG (DPRP);
LAS
= LAG (AS);
LIP=LAG (IP);
LWJ=LAG (WJ);
LSB=LAG (SB);
LS
= LAG (S);
LD
= LAG (D);
LTKF
= LAG (TKF);
LDI=LAG (DI);
LUMJ=LAG (UMJ);
LGDPP=LAG (GDPP);
LINF=LAG (INF);
LGEP=LAG (GEP);
LGEI=LAG (GEI);
LER=LAG (ER);
evi1 = AS/POP;
evi3 = ER-LER;
evi6 = IP-LIP;
evi8 = W-LW;
evi10 = MS-LMS;
evi17 = GTR-LGTR;
evi22 = GEP-LGEP;
evi26 = KP-LKP;
LPHK=LAG (PHK);
LSPT=LAG (SPT);
LDPRI=LAG (DPRI);
254
LDPRJ=LAG (DPRJ);
LDPMI=LAG (DPMI);
LDPTP=LAG (DPTP);
LDPTJ=LAG (DPTJ);
LWI=LAG (WI);
LPOIL=LAG (POIL);
LGEPK=LAG (GEPK);
LC=LAG (C);
LIJ=LAG (IJ);
LM =LAG (M);
LAD =LAG (AD);
LINF = LAG (INF);
LJP=LAG (JP);
LTI=LAG (TI);
LUMI=LAG (UMI);
LUT=LAG (UT);
LDEFP=LAG (DEFP);
Levi2=LAG (evi2);
Levi6=LAG (evi6);
Levi8=LAG (evi8);
Levi10=LAG (evi10);
Levi17=LAG (evi17);
GRI
GRJ
LDPMP=LAG (DPMP);
LDPMJ=LAG (DPMJ);
LDPTI=LAG (DPTI);
LWP=LAG (WP);
LW=LAG (W);
LTAX=LAG (TAX);
LGDPJ=LAG (GDPJ);
LII=LAG (II);
LX =LAG (X);
LMD =LAG (MD);
LCPI=LAG (CPI);
Levi1=LAG (evi1);
LUMR=LAG (UMR);
LUMP=LAG (UMP);
LUMJ=LAG (UMJ);
LTKFJ=LAG (TKFJ);
LDEFJ=LAG (DEFJ);
Levi4=LAG (evi4);
Levi7=LAG (evi7);
Levi9=LAG (evi9);
Levi15=LAG (evi15);
Levi22=LAG (evi22);
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100;
= ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
run;
proc simnlin data=tkm stat outpredict theil;
Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ
DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK
GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM
KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR
WL;
parm
/*1. Blok Pasar TK*/
a0 7696.893 a1 0.054218
b0 -11854.5 b1 0.149701
c0 -3456.16 c1 0.028160
d0 13996.67 d1 -0.68812
a2
b2
c2
d2
0.006907
0.071511
0.019892
0.017205
a3
b3
c3
d3
0.183286
24.39220
6.405164
0.602612
a4
b4
c4
d4
0.381599
0.670890
0.715552
0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0
g0
h0
i0
j0
k0
l0
310.3759
-790.640
491.7278
-75.0290
-53.4439
39.20398
-279.070
f1
g1
h1
i1
j1
k1
l1
-0.01115
-0.06189
-0.06035
-0.02904
-0.00364
-0.00658
-0.02304
f2
g2
h2
i2
j2
k2
l2
0.015119
0.036499
0.010516
0.022429
0.002483
0.001347
0.014701
f3
g3
h3
i3
j3
k3
l3
2.319582
0.152310
0.040753
0.235430
0.016213
0.067873
0.838590
f4
g4
h4
i4
j4
k4
0.478377
0.271813
0.818900
0.366813
0.505083
0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304
n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053
o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715
p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
255
/*2. Blok Fiskal*/
q0 -126.326 q1 0.001324
r0 14.98551 r1 0.034337
s0 1.898281 s1 0.007940
t0 8.594533 t1 0.053636
u0 -0.48610 u1 1.177960
q2
r2
s2
t2
u2
0.197561
0.592019
0.035231
0.074659
0.011670
r3
s3
t3
u3
17.57876
0.100363
0.829220
0.286771 u4 0.676046
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710
w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724
/*4. Permintaan Agregat*/
y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406
z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324
aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976
ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729
ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867
/*5. Blok Moneter*/
ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5
af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207
ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050
/*6. Blok Keseimbangan Makro*/
ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ;
/* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/
SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR);
SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM);
SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT);
S
= SPR + SPM + SPT;
DPRP = d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP);
DPRI = e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI);
DPRJ = f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ);
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPMP = g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP);
DPMI = h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI);
DPMJ = i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ);
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPTP = j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP);
DPTI = k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI);
DPTJ = l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ);
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
WP
= m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP);
WI
= n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI);
256
WJ
W
= o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ);
= p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
/*2.
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
Blok Fiskal*/
= q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX);
= TAX + NTAX;
= r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS);
= s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI;
= t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS);
= u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK);
= GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
GDPP
GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP);
= w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ);
/*4. Blok Permintaan Agregat*/
C
= y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C);
IP
II
IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP);
= aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II);
= ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI
X
M
= IP + II + IJ + IL;
= ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X);
= ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5.
MD
MS
SB
Blok Moneter*/
= ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD);
= af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS);
= ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
/*6.
AD
AS
CPI
INF
Blok Keseimbangan Makro*/
= C + TI + GET + X - M;
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
= ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI);
= ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
Range Tahun=2001 to 2004;
RUN;
257
Lampiran 5. Hasil Validasi Model Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables
Endogenous
Parameters
Range Variable
Equations
Number of Statements
Program Lag Length
52
52
183
TAHUN
52
52
2
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA=
TKM
Solution Summary
Variables Solved
Simulation Lag Length
Solution Range
First
Last
Solution Method
CONVERGE=
Maximum CC
Maximum Iterations
Total Iterations
Average Iterations
52
2
TAHUN
2001
2004
NEWTON
1E-8
1.67E-15
2
8
2
Observations Processed
Read
Lagged
Solved
First
Last
6
2
4
22
25
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 2001 To 2004
258
Descriptive Statistics
Variable
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
N Obs
N
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Actual
Mean
Std Dev
76152.3
19839.1
4978.9
100970
38324.3
7927.9
4004.7
70762.7
2309.8
3206.5
3764.8
16521.5
112.6
414.1
2636.3
4456.2
40746.7
11548.5
10405.8
91740.4
5.3314
3.2821
0.5174
9.1308
7635.7
15184.1
20322.1
15529.2
454.8
639.3
21.6875
2.8500
39.9025
44.2850
724.5
53919.3
92267.6
54176.7
238540
2565.1
34331.6
3941.8
96036.8
107669
92465.8
1900.0
1900.0
14.4425
350504
350504
291.5
8.8275
1090.3
994.4
356.7
2171.0
755.9
668.6
421.5
799.3
195.7
69.2337
95.7498
687.4
8.7675
14.9235
211.0
304.2
933.1
637.3
518.2
1380.7
0.5291
0.2497
0.0527
0.7600
338.8
1068.6
1207.0
929.4
45.0124
37.4461
2.5145
0.9351
11.9259
4.7983
21.0060
1960.1
5083.6
3317.0
12821.4
840.6
8710.3
3103.6
10164.5
6121.3
10799.3
19.5185
19.5185
1.3776
19108.4
19108.3
28.0772
3.3491
Predicted
Mean
Std Dev
75835.6
19842.3
6354.3
102032
39226.3
7985.9
3683.4
71401.3
2323.8
3203.5
3856.2
16624.1
124.5
437.4
2472.9
4327.9
41674.6
11626.8
10012.5
92353.3
4.3345
3.1519
1.9728
9.4592
7438.1
14719.0
19356.8
15181.4
411.7
596.3
21.2077
2.5835
55.9200
47.1379
742.6
54478.1
92133.3
54131.8
235457
3104.5
34051.7
3902.3
96256.9
110417
94424.7
1943.3
1895.0
14.2002
348448
350884
262.2
6.2418
1088.7
925.5
896.4
2893.2
543.4
399.5
302.7
741.2
120.1
25.6672
70.8219
771.7
4.9294
3.1915
151.1
222.0
623.0
396.7
212.5
1558.9
0.7703
0.2079
0.6310
1.4923
428.0
604.9
1552.8
797.7
33.8882
28.3568
0.6591
0.1139
1.6058
5.3710
23.9066
1686.2
3635.3
2890.4
9398.0
879.6
2400.7
184.5
18267.5
4844.5
7184.6
101.6
120.8
0.7426
25115.1
17004.4
23.8859
2.1522
Label
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
259
Statistics of fit
Variable
N
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Mean
Error
Mean % Mean Abs Mean Abs
Error
Error % Error
-316.7 -0.4119
3.2133
0.0301
1375.4 27.6638
1061.9
1.0452
902.0
2.3624
57.9325
0.9943
-321.3 -7.6930
638.6
0.9044
14.0683
0.9154
-2.9582 -0.0618
91.4524
2.4638
102.6
0.6167
11.8924 11.2276
23.3307
5.7258
-163.5 -5.9941
-128.2 -2.7522
927.9
2.2918
78.3049
0.7829
-393.3 -3.6579
612.9
0.6666
-0.9968 -18.8887
-0.1302 -3.7521
1.4554
287.0
0.3284
3.2310
-197.5 -2.6300
-465.1 -2.8863
-965.3 -4.8066
-347.8 -2.2030
-43.0624 -9.3497
-43.0624 -6.6844
-0.4798 -1.4016
-0.2665 -1.7096
16.0175 50.2181
2.8529
6.4621
18.1241
2.5058
558.9
1.0523
-134.3 -0.0815
-44.8477 -0.0467
-3083.2 -1.2378
539.4 35.4694
-279.9
4.1275
-39.4355 73.4590
220.1 -0.2748
2748.2
2.6153
1958.9
2.6777
43.2827
2.2558
-4.9533 -0.2937
-0.2423 -0.8927
-2055.7 -0.6431
379.7
0.1329
-29.3183 -9.9938
-2.5857 -13.4769
738.5
78.7595
1375.4
1199.3
902.0
262.7
321.3
638.6
115.9
45.6324
91.4524
240.9
12.1341
23.3307
190.2
187.1
927.9
261.3
410.1
612.9
0.9968
0.1528
1.4554
0.6799
197.5
527.7
1020.9
347.8
43.0624
43.0624
1.7959
0.7910
16.0175
2.8529
18.1241
590.9
1056.0
379.9
3158.8
1115.4
7559.8
2310.0
6996.1
2748.2
6855.4
67.5831
80.7121
1.1015
7030.8
2026.7
29.3183
4.5300
0.9714
0.4011
27.6638
1.1842
2.3624
3.3977
7.6930
0.9044
4.8671
1.4123
2.4638
1.4356
11.4291
5.7258
7.0781
4.1575
2.2918
2.2970
3.8303
0.6666
18.8887
4.4204
287.0
7.2963
2.6300
3.3435
5.0731
2.2030
9.3497
6.6844
8.1741
27.1833
50.2181
6.4621
2.5058
1.1089
1.1219
0.6808
1.2715
53.9366
22.6309
106.9
7.2082
2.6153
7.5546
3.5355
4.2329
7.5269
1.9879
0.5730
9.9938
47.5406
RMS
Error
750.4
89.6066
1531.9
1572.0
922.6
330.1
408.4
723.8
131.0
57.0927
120.9
267.7
15.9137
25.9552
209.1
195.0
978.4
305.3
513.5
702.7
1.0923
0.2330
1.5587
0.8551
214.6
689.3
1148.5
397.0
44.1724
44.1724
1.8768
0.8408
19.6980
3.3716
21.1887
674.1
1343.5
494.3
4322.5
1250.2
7959.6
2533.0
8412.7
3308.6
7339.6
87.7547
91.0442
1.5348
7922.7
2184.9
30.0582
5.2813
RMS %
Error R-Square
0.9881
0.4545
30.9281
1.5568
2.4237
4.3046
9.7078
1.0278
5.3583
1.7535
3.2885
1.5754
15.1763
6.4483
7.6999
4.2935
2.4247
2.6961
4.7602
0.7649
20.6655
6.5840
310.6
9.0516
2.9019
4.3269
5.7163
2.4845
9.4621
6.8105
8.4205
27.2929
63.9024
7.4602
2.9332
1.2640
1.3952
0.8715
1.7164
65.9457
23.9381
144.0
8.7068
3.1564
8.2113
4.5718
4.7574
10.2185
2.2303
0.6099
10.1842
50.8409
0.3684
0.9892
-23.59
0.3009
-.9862
0.6750
-.2520
-.0933
0.4023
0.0933
-1.126
0.7977
-3.393
-3.033
-.3097
0.4524
-.4660
0.6940
-.3094
0.6546
-4.682
-.1603
-1168
-.6877
0.4652
0.4452
-.2073
0.7567
-.2840
-.8554
0.2572
-.0778
-2.637
0.3417
-.3566
0.8423
0.9069
0.9704
0.8485
-1.950
-.1134
0.1119
0.0867
0.6105
0.3841
-25.95
-28.01
-.6550
0.7708
0.9826
-.5281
-2.316
260
Theil Forecast Error Statistics
Variable
N
MSE
Corr
(R)
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
563055
8029.3
2346731
2471102
851218
108955
166804
523834
17164.8
3259.6
14619.5
71683.5
253.2
673.7
43731.2
38008.9
957351
93219.7
263733
493825
1.1932
0.0543
2.4297
0.7312
46038.1
475182
1319128
157607
1951.2
1951.2
3.5223
0.7069
388.0
11.3674
449.0
454349
1804894
244345
18684012
1563117
63355706
6415944
70772839
10946616
53870321
7700.9
8289.1
2.3556
62769707
4773714
903.5
27.8918
0.74
1.00
0.51
0.90
0.99
0.87
0.72
0.87
0.64
0.31
0.43
0.93
-0.55
0.63
0.70
0.84
0.97
0.88
0.76
0.97
0.74
0.54
-0.22
0.87
1.00
0.90
0.89
0.98
1.00
0.98
0.71
0.19
-0.80
0.92
0.85
0.98
0.99
0.99
1.00
-0.15
-0.07
0.97
0.92
0.95
0.65
0.74
0.84
-0.30
0.96
1.00
0.97
-0.86
MSE Decomposition Proportions
Bias
Reg
Dist
Var Covar
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
(UC)
0.18
0.00
0.81
0.46
0.96
0.03
0.62
0.78
0.01
0.00
0.57
0.15
0.56
0.81
0.61
0.43
0.90
0.07
0.59
0.76
0.83
0.31
0.87
0.15
0.85
0.46
0.71
0.77
0.95
0.95
0.07
0.10
0.66
0.72
0.73
0.69
0.01
0.01
0.51
0.19
0.00
0.00
0.00
0.69
0.07
0.24
0.00
0.02
0.07
0.03
0.95
0.24
0.11
0.40
0.16
0.27
0.04
0.23
0.00
0.00
0.00
0.00
0.04
0.18
0.28
0.04
0.00
0.02
0.06
0.23
0.10
0.07
0.09
0.07
0.13
0.71
0.13
0.20
0.13
0.06
0.05
0.03
0.28
0.00
0.24
0.06
0.06
0.10
0.83
0.50
0.46
0.48
0.10
0.94
0.84
0.07
0.00
0.74
0.99
0.43
0.56
0.66
0.01
0.68
0.72
0.60
0.03
0.27
0.01
0.74
0.38
0.22
0.99
0.99
0.38
0.67
0.16
0.15
0.39
0.55
0.04
0.71
0.32
0.17
0.08
0.61
0.00
0.14
0.02
0.34
0.17
0.17
0.00
0.02
0.66
0.90
0.10
0.23
0.21
0.22
0.16
0.50
0.03
0.33
0.89
0.06
0.16
0.24
0.93
0.02
0.01
0.55
0.37
0.31
0.04
0.08
0.00
0.44
0.09
0.16
0.04
0.50
0.06
0.00
0.25
0.44
0.03
0.07
0.04
0.15
0.06
0.13
0.08
0.47
0.27
0.05
0.04
0.02
0.10
0.55
0.13
0.34
0.07
0.08
0.05
0.03
0.73
0.72
0.21
0.02
0.01
0.12
0.87
0.56
0.47
0.00
0.47
1.00
0.70
0.11
0.18
0.66
0.93
0.13
0.43
0.70
0.01
0.04
0.82
0.56
0.10
0.39
0.00
0.47
0.32
0.22
0.74
0.56
0.40
0.78
0.40
0.04
0.33
0.43
0.03
0.47
0.15
0.19
0.13
0.66
0.02
0.30
0.02
0.21
0.23
0.15
0.00
0.02
0.20
0.18
0.13
0.26
0.25
0.19
0.12
0.43
0.02
0.81
0.53
0.00
0.30
0.20
0.75
0.10
0.07
0.85
0.50
0.27
0.03
0.72
Inequality Coef
U1
U
0.0099
0.0045
0.3071
0.0156
0.0241
0.0415
0.1016
0.0102
0.0566
0.0178
0.0321
0.0162
0.1411
0.0627
0.0791
0.0437
0.0240
0.0264
0.0493
0.0077
0.2041
0.0708
3.0010
0.0934
0.0281
0.0453
0.0564
0.0255
0.0968
0.0690
0.0861
0.2838
0.4779
0.0758
0.0292
0.0125
0.0145
0.0091
0.0181
0.4689
0.2264
0.5309
0.0872
0.0307
0.0790
0.0462
0.0479
0.1059
0.0226
0.0062
0.1028
0.5684
0.0049
0.0023
0.1345
0.0077
0.0119
0.0207
0.0529
0.0051
0.0282
0.0089
0.0159
0.0081
0.0670
0.0305
0.0409
0.0222
0.0119
0.0132
0.0251
0.0038
0.1122
0.0361
0.6074
0.0457
0.0142
0.0230
0.0289
0.0129
0.0508
0.0357
0.0436
0.1515
0.2027
0.0367
0.0144
0.0062
0.0073
0.0046
0.0091
0.2132
0.1149
0.2919
0.0434
0.0152
0.0391
0.0228
0.0240
0.0535
0.0113
0.0031
0.0541
0.3341
261
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Variable
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
Relative Change
Corr
N
MSE
(R)
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
0.000100
0.000022
0.1025
0.000244
0.000577
0.00158
0.0130
0.000105
0.00325
0.000315
0.00104
0.000262
0.0208
0.00389
0.00767
0.00221
0.000571
0.000669
0.00282
0.000059
0.0643
0.00479
10.3771
0.00928
0.000904
0.00197
0.00394
0.000668
0.0113
0.00491
0.00884
1.6872
0.2787
0.00558
0.000874
0.000167
0.000216
0.000084
0.000323
0.3502
0.0392
1.3905
0.00944
0.00103
0.00727
0.00213
0.00230
0.0114
0.000540
0.000041
0.0123
1.2672
0.95
0.98
0.48
0.70
0.99
0.89
0.96
0.97
0.94
0.80
0.50
0.76
0.58
0.80
0.91
0.95
0.99
0.91
0.99
0.97
0.87
0.68
0.30
0.65
0.71
0.99
0.95
0.97
1.00
0.99
0.86
1.00
0.37
0.91
0.99
0.61
-0.60
0.16
-0.96
0.41
0.82
0.51
0.76
0.87
0.67
0.46
0.52
0.74
0.78
0.24
0.77
0.15
MSE Decomposition Proportions
Bias
Reg
Dist
Var Covar
(UM)
(UR)
(UD)
(US)
(UC)
Inequality Coef
U1
U
0.19
0.00
0.81
0.45
0.96
0.03
0.60
0.78
0.00
0.00
0.57
0.14
0.56
0.80
0.61
0.44
0.90
0.07
0.57
0.76
0.82
0.33
0.85
0.10
0.82
0.44
0.71
0.80
1.00
0.98
0.02
0.24
0.60
0.77
0.77
0.69
0.00
0.00
0.52
0.04
0.00
0.02
0.00
0.69
0.07
0.24
0.00
0.04
0.08
0.04
0.96
0.23
0.3944
0.1376
2.9336
0.5864
0.9731
0.5079
0.6709
0.5633
0.5382
0.5567
1.4611
0.5419
1.6073
1.3314
0.6995
0.4693
0.8370
0.4896
0.5640
0.4217
0.8599
0.8663
19.2121
0.5372
0.8171
0.5141
0.7057
0.3805
0.5312
0.9156
0.5805
0.3032
2.0576
0.7961
0.2105
0.4774
0.3468
0.1945
0.4415
0.8629
0.5639
0.9732
0.8659
0.6503
0.6363
4.0773
4.2352
0.6839
0.5612
0.1538
1.1941
1.0689
0.47
0.54
0.13
0.00
0.02
0.20
0.25
0.04
0.59
0.03
0.13
0.02
0.19
0.00
0.16
0.24
0.06
0.25
0.37
0.00
0.00
0.59
0.15
0.02
0.05
0.53
0.18
0.10
0.00
0.01
0.59
0.72
0.21
0.05
0.01
0.00
0.55
0.01
0.47
0.01
0.04
0.31
0.71
0.06
0.01
0.72
0.96
0.00
0.89
0.00
0.01
0.01
0.35
0.45
0.06
0.54
0.02
0.77
0.15
0.18
0.41
0.97
0.31
0.84
0.26
0.19
0.22
0.32
0.04
0.69
0.05
0.24
0.18
0.08
0.00
0.88
0.13
0.03
0.11
0.10
0.00
0.01
0.40
0.04
0.20
0.18
0.22
0.31
0.45
0.99
0.01
0.95
0.95
0.67
0.29
0.25
0.93
0.04
0.03
0.96
0.03
0.95
0.03
0.75
0.60
0.66
0.04
0.11
0.03
0.44
0.31
0.06
0.77
0.03
0.00
0.04
0.03
0.01
0.26
0.34
0.07
0.46
0.39
0.00
0.01
0.42
0.12
0.08
0.01
0.51
0.23
0.08
0.00
0.01
0.35
0.73
0.02
0.09
0.01
0.10
0.36
0.54
0.00
0.27
0.25
0.01
0.42
0.14
0.26
0.53
0.77
0.17
0.78
0.53
0.00
0.42
0.21
0.34
0.15
0.44
0.01
0.53
0.09
0.16
0.22
0.97
0.43
0.82
0.41
0.19
0.13
0.22
0.03
0.48
0.03
0.24
0.16
0.25
0.03
0.82
0.17
0.05
0.06
0.12
0.00
0.02
0.64
0.03
0.38
0.14
0.22
0.21
0.63
0.46
0.48
0.70
0.74
0.97
0.58
0.17
0.68
0.23
0.23
0.79
0.14
0.43
0.04
0.35
0.2375
0.0701
0.6541
0.2594
0.4306
0.3075
0.3996
0.2607
0.3504
0.2918
0.6528
0.2616
0.5979
0.5862
0.4867
0.2918
0.3957
0.2965
0.3485
0.1873
0.5256
0.4335
0.9333
0.2616
0.5430
0.2507
0.5085
0.2106
0.3104
0.4708
0.2605
0.1782
0.7015
0.3347
0.1011
0.2029
0.1791
0.0987
0.2607
0.4994
0.3245
0.4543
0.3538
0.2755
0.3375
0.7312
0.7526
0.3987
0.2733
0.0761
0.8376
0.8193
262
Lampiran 6. Program Simulasi Historis Menggunakan Prosedur SIMNLIN
Metode Newton pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber;
data tkm;
set analisis;
S
= SPR + SPM + SPT;
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
GTR = TAX + NTAX;
GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
TI
= IP + II + IJ + IL;
AD
= C + TI + GET + X - M;
AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
LCPI = LAG (CPI);
INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100;
LPHK = LAG (PHK);
LGET = LAG (GET);
LTI=LAG (TI);
LUMR=LAG (UMR);
LMS =LAG (MS);
LW
= LAG (W);
LTKFP = LAG (TKFP);
LDP=LAG (DP);
LDJ=LAG (DJ);
LGTR=LAG (GTR);
LGDPI=LAG (GDPI);
LLLP=LAG (LLP);
LGEIS=LAG (GEIS);
LKP=LAG (KP);
evi0 = PHK-LPHK;
evi2 = UMR-LUMR;
evi4 = SB-LSB;
evi7 = WJ-LWJ;
evi9 = GEI-LGEI;
evi15 = DJ-LDJ;
evi20 = GDPP/AS;
evi23 = GEIS-LGEIS;
LSPR=LAG (SPR);
LSPM=LAG (SPM);
LDPRP=LAG (DPRP);
LAS
= LAG (AS);
LIP=LAG (IP);
LWJ=LAG (WJ);
LSB=LAG (SB);
LS
= LAG (S);
LD
= LAG (D);
LTKF
= LAG (TKF);
LDI=LAG (DI);
LUMJ=LAG (UMJ);
LGDPP=LAG (GDPP);
LINF=LAG (INF);
LGEP=LAG (GEP);
LGEI=LAG (GEI);
LER=LAG (ER);
evi1 = AS/POP;
evi3 = ER-LER;
evi6 = IP-LIP;
evi8 = W-LW;
evi10 = MS-LMS;
evi17 = GTR-LGTR;
evi22 = GEP-LGEP;
evi26 = KP-LKP;
LPHK=LAG (PHK);
LSPT=LAG (SPT);
LDPRI=LAG (DPRI);
263
LDPRJ=LAG (DPRJ);
LDPMI=LAG (DPMI);
LDPTP=LAG (DPTP);
LDPTJ=LAG (DPTJ);
LWI=LAG (WI);
LPOIL=LAG (POIL);
LGEPK=LAG (GEPK);
LC=LAG (C);
LIJ=LAG (IJ);
LM =LAG (M);
LAD =LAG (AD);
LINF = LAG (INF);
LJP=LAG (JP);
LTI=LAG (TI);
LUMI=LAG (UMI);
LUT=LAG (UT);
LDEFP=LAG (DEFP);
Levi2=LAG (evi2);
Levi6=LAG (evi6);
Levi8=LAG (evi8);
Levi10=LAG (evi10);
Levi17=LAG (evi17);
GRI
GRJ
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100;
= ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
/* Simulasi historis 1;
UMP = 9985.03;
UMI = 14731.56;
UMJ = 14851.60;
UMR = 6836.74;
Simulasi historis 2;
UMP = 1.01* UMP;
UMI = 1.01* UMI;
UMJ = 1.01* UMJ;
UMR = 1.01* UMR;
Simulasi historis 3;
UMP = 1.0883* UMP;
UMI = 1.0883* UMI;
UMJ = 1.0883* UMJ;
UMR = 1.0883* UMR;
Simulasi historis 4;
UMP = 1.1* UMP;
UMI = 1.1* UMI;
UMJ = 1.1* UMJ;
UMR = 1.1* UMR;
Simulasi historis 5;
TKFP = 0.1* TKFP;
TKFI = 0.98* TKFI;
TKF = 0.975* TKF;
LDPMP=LAG (DPMP);
LDPMJ=LAG (DPMJ);
LDPTI=LAG (DPTI);
LWP=LAG (WP);
LW=LAG (W);
LTAX=LAG (TAX);
LGDPJ=LAG (GDPJ);
LII=LAG (II);
LX =LAG (X);
LMD =LAG (MD);
LCPI=LAG (CPI);
Levi1=LAG (evi1);
LUMR=LAG (UMR);
LUMP=LAG (UMP);
LUMJ=LAG (UMJ);
LTKFJ=LAG (TKFJ);
LDEFJ=LAG (DEFJ);
Levi4=LAG (evi4);
Levi7=LAG (evi7);
Levi9=LAG (evi9);
Levi15=LAG (evi15);
Levi22=LAG (evi22);
264
Simulasi historis 6;
KP = 0.5* KP;
Simulasi historis 7;
SB = SB-5;
Simulasi historis 8;
GEIS = 1.25* GEIS;
Simulasi historis 9;
UMP = 1.1* UMP;
UMI = 1.1* UMI;
UMJ = 1.1* UMJ;
UMR = 1.1* UMR;
TKFP = 0.1* TKFP;
TKFI = 0.98* TKFI;
TKF = 0.975* TKF;
Simulasi historis 10;
SB = SB-5;
GEIS = 1.25* GEIS; */
run;
proc simnlin data=tkm stat outpredict theil;
Endogenous
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ
DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK
GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
Instruments
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM
KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR
WL;
parm
/*1. Blok Pasar TK*/
a0 7696.893 a1 0.054218
b0 -11854.5 b1 0.149701
c0 -3456.16 c1 0.028160
d0 13996.67 d1 -0.68812
a2
b2
c2
d2
0.006907
0.071511
0.019892
0.017205
a3
b3
c3
d3
0.183286
24.39220
6.405164
0.602612
a4
b4
c4
d4
0.381599
0.670890
0.715552
0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0
g0
h0
i0
j0
k0
l0
310.3759
-790.640
491.7278
-75.0290
-53.4439
39.20398
-279.070
f1
g1
h1
i1
j1
k1
l1
-0.01115
-0.06189
-0.06035
-0.02904
-0.00364
-0.00658
-0.02304
f2
g2
h2
i2
j2
k2
l2
0.015119
0.036499
0.010516
0.022429
0.002483
0.001347
0.014701
f3
g3
h3
i3
j3
k3
l3
2.319582
0.152310
0.040753
0.235430
0.016213
0.067873
0.838590
f4
g4
h4
i4
j4
k4
0.478377
0.271813
0.818900
0.366813
0.505083
0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304
n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053
o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715
p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
/*2. Blok Fiskal*/
q0 -126.326 q1 0.001324 q2 0.197561
r0 14.98551 r1 0.034337 r2 0.592019 r3 17.57876
s0 1.898281 s1 0.007940 s2 0.035231 s3 0.100363
265
t0 8.594533 t1 0.053636 t2 0.074659 t3 0.829220
u0 -0.48610 u1 1.177960 u2 0.011670 u3 0.286771 u4 0.676046
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710
w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724
/*4. Permintaan Agregat*/
y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406
z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324
aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976
ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729
ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867
/*5. Blok Moneter*/
ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5
af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207
ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050
/*6. Blok Keseimbangan Makro*/
ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ;
/* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/
SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR);
SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM);
SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT);
S
= SPR + SPM + SPT;
DPRP = d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP);
DPRI = e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI);
DPRJ = f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ);
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPMP = g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP);
DPMI = h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI);
DPMJ = i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ);
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPTP = j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP);
DPTI = k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI);
DPTJ = l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ);
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
WP
= m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP);
WI
= n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI);
WJ
= o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ);
W
= p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
266
/*2.
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
Blok Fiskal*/
= q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX);
= TAX + NTAX;
= r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS);
= s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI;
= t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS);
= u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK);
= GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
GDPP
GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP);
= w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ);
/*4. Blok Permintaan Agregat*/
C
= y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C);
IP
II
IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP);
= aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II);
= ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI
X
M
= IP + II + IJ + IL;
= ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X);
= ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5.
MD
MS
SB
Blok Moneter*/
= ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD);
= af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS);
= ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
/*6.
AD
AS
CPI
INF
Blok Keseimbangan Makro*/
= C + TI + GET + X - M;
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
= ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI);
= ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
Range Tahun=2001 to 2004;
RUN;
267
Lampiran 7. Hasil Simulasi Skenario Upah Minimum Tetap Sebesar Nilai
Tahun 2000 Menggunakan Prosedur SIMNLIN Metode
Newton pada Program SAS/ETS 8.02
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables
Endogenous
Parameters
Range Variable
Equations
Number of Statements
Program Lag Length
The SAS System
52
52
183
TAHUN
52
52
2
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA=
TKM
Solution Summary
Variables Solved
Simulation Lag Length
Solution Range
First
Last
Solution Method
CONVERGE=
Maximum CC
Maximum Iterations
Total Iterations
Average Iterations
52
2
TAHUN
2001
2004
NEWTON
1E-8
5.78E-16
2
8
2
Observations Processed
Read
6
Lagged
2
Solved
4
First
22
Last
25
The SAS System
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 2001 To 2004
268
Descriptive Statistics
Variable
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
N Obs
N
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Actual
Mean
Std Dev
76152.3
19839.1
4978.9
100970
38324.3
7927.9
4004.7
70762.7
2309.8
3206.5
3764.8
16521.5
112.6
414.1
2636.3
4456.2
40746.7
11548.5
10405.8
91740.4
5.3314
3.2821
0.5174
9.1308
7635.7
15184.1
20322.1
15529.2
454.8
639.3
21.6875
2.8500
39.9025
44.2850
724.5
53919.3
92267.6
54176.7
238540
2565.1
34331.6
3941.8
96036.8
107669
92465.8
1900.0
1900.0
14.4425
350504
350504
291.5
8.8275
1090.3
994.4
356.7
2171.0
755.9
668.6
421.5
799.3
195.7
69.2337
95.7498
687.4
8.7675
14.9235
211.0
304.2
933.1
637.3
518.2
1380.7
0.5291
0.2497
0.0527
0.7600
338.8
1068.6
1207.0
929.4
45.0124
37.4461
2.5145
0.9351
11.9259
4.7983
21.0060
1960.1
5083.6
3317.0
12821.4
840.6
8710.3
3103.6
10164.5
6121.3
10799.3
19.5185
19.5185
1.3776
19108.4
19108.3
28.0772
3.3491
Predicted
Mean
Std Dev
75820.8
19753.7
6339.0
101914
39118.9
8042.6
3700.6
71367.9
2333.4
3301.8
3876.4
16752.0
125.3
454.0
2493.3
4365.8
41577.6
11798.4
10070.3
92485.8
4.3586
2.9467
1.9242
9.2295
7587.7
13912.5
19454.2
14755.9
418.9
603.5
21.1678
2.5987
56.1121
47.2056
742.9
54949.9
95606.4
54992.5
237401
22060.4
56592.8
6812.2
140664
111899
95835.8
2194.0
2171.6
13.4474
394871
355689
260.2
5.7403
1079.0
842.1
882.3
2787.7
523.1
372.4
290.0
749.9
125.1
106.0
66.0775
877.0
5.4393
10.8786
169.7
253.8
603.3
309.0
175.4
1697.6
0.7555
0.2187
0.5910
1.3067
465.7
526.5
1503.5
514.7
37.6179
30.4964
0.7385
0.1242
1.7516
5.3698
24.0475
1853.4
5225.4
3378.0
10800.7
6507.7
6007.3
457.3
29641.9
5538.2
8002.2
217.6
230.8
0.6855
37902.6
19249.7
21.4893
1.6868
Label
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
269
Statistics of fit
Variable
N
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
II
IJ
TI
X
M
MD
MS
SB
AD
AS
CPI
INF
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
Mean
Error
Mean % Mean Abs Mean Abs
Error
Error % Error
-331.6 -0.4314
-85.3530 -0.4016
1360.2 27.3650
943.2
0.9291
794.6
2.0829
114.7
1.7386
-304.0 -7.2411
605.2
0.8572
23.6173
1.3206
95.2884
2.9956
111.6
3.0075
230.5
1.3724
12.7848 12.0439
39.9245
9.7559
-143.1 -5.2443
-90.3621 -1.9223
831.0
2.0544
249.9
2.3128
-335.5 -3.0936
745.4
0.8095
-0.9728 -18.4047
-0.3354 -9.7297
1.4068
277.6
0.0987
0.8596
-47.9272 -0.6842
-1271.5 -8.0116
-867.9 -4.3175
-773.3 -4.8537
-35.8365 -7.8115
-35.8365 -5.5698
-0.5197 -1.5359
-0.2513 -1.2286
16.2096 50.7975
2.9206
6.6129
18.3593
2.5377
1030.6
1.9200
3338.8
3.6219
815.8
1.5056
-1139.1 -0.4447
19495.2
873.6
22261.3 74.3945
2870.4
218.8
44626.9 45.6230
4230.6
3.9719
3370.0
4.1703
294.0 15.4210
271.6 14.2356
-0.9951 -6.1063
44366.8 12.4760
5185.2
1.4810
-31.2533 -10.6083
-3.0872 -21.9572
743.9
142.5
1360.2
1083.9
794.6
312.0
304.0
605.2
119.3
95.2884
111.6
291.8
12.9002
39.9245
182.6
172.6
831.0
416.1
388.9
745.4
0.9728
0.3354
1.4068
0.5411
87.2772
1281.3
938.6
773.3
35.8365
35.8365
1.9303
0.7827
16.2096
2.9206
18.3593
1030.6
3338.8
815.8
1471.4
19495.2
22261.3
3704.1
44626.9
4230.6
6859.3
294.0
271.6
1.3877
44366.8
5185.2
31.2533
4.0764
0.9783
0.7042
27.3650
1.0715
2.0829
4.0553
7.2411
0.8572
5.0321
2.9956
3.0075
1.7354
12.1401
9.7559
6.8502
3.8871
2.0544
3.6879
3.6413
0.8095
18.4047
9.7297
277.6
5.8745
1.1805
8.0830
4.6564
4.8537
7.8115
5.5698
8.7912
27.0201
50.7975
6.6129
2.5377
1.9200
3.6219
1.5056
0.5922
873.6
74.3945
229.4
45.6230
3.9719
7.7048
15.4210
14.2356
9.1784
12.4760
1.4810
10.6083
39.4639
RMS
Error
RMS %
754.0
167.6
1513.6
1450.9
820.7
366.5
395.1
697.3
131.8
136.8
143.5
369.9
16.8590
43.2309
194.4
176.3
888.8
460.5
477.0
867.9
1.0700
0.4663
1.5014
0.7061
124.1
1650.0
1046.6
901.6
36.4693
36.4693
2.0262
0.8285
19.9109
3.4083
21.3535
1085.3
3412.8
890.2
2160.4
20311.3
24832.6
4191.7
48291.6
4591.6
7843.6
343.3
330.0
1.8349
47451.3
5362.7
32.1077
5.1652
0.9925
0.8201
30.5785
1.4391
2.1588
4.8367
9.3472
0.9903
5.4385
4.3092
3.9029
2.1632
16.0567
10.6425
7.2439
3.9812
2.2051
4.1361
4.4085
0.9422
20.1871
13.2217
299.6
7.5310
1.7087
10.3585
5.1949
5.5798
7.8654
5.6322
9.0958
27.1217
64.6160
7.5496
2.9545
2.0245
3.7021
1.6459
0.8545
1001.9
87.1994
323.3
48.5238
4.3404
8.9786
17.9518
17.2307
11.7076
13.1694
1.5316
10.7985
46.0374
Error
R-Square
0.3624
0.9621
-23.01
0.4045
-.5715
0.5993
-.1717
-.0148
0.3955
-4.205
-1.994
0.6138
-3.930
-10.19
-.1318
0.5520
-.2097
0.3038
-.1298
0.4732
-4.452
-3.649
-1083
-.1508
0.8210
-2.179
-.0026
-.2548
0.1248
-.2647
0.1343
-.0466
-2.717
0.3273
-.3778
0.5912
0.3991
0.9040
0.9621
-777.5
-9.837
-1.432
-29.10
0.2498
0.2966
-411.4
-380.1
-1.366
-7.222
0.8950
-.7436
-2.171
270
Lampiran 8. Program Peramalan Variabel Eksogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber;
data tkm;
set analisis;
S
= SPR + SPM + SPT;
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
GTR = TAX + NTAX;
GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
TI
= IP + II + IJ + IL;
AD
= C + TI + GET + X - M;
AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
LCPI = LAG (CPI);
INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100;
LPHK = LAG (PHK);
LGET = LAG (GET);
LTI=LAG (TI);
LUMR=LAG (UMR);
LMS =LAG (MS);
LW
= LAG (W);
LTKFP = LAG (TKFP);
LDP=LAG (DP);
LDJ=LAG (DJ);
LGTR=LAG (GTR);
LGDPI=LAG (GDPI);
LLLP=LAG (LLP);
LGEIS=LAG (GEIS);
LKP=LAG (KP);
evi0 = PHK-LPHK;
evi2 = UMR-LUMR;
evi4 = SB-LSB;
evi7 = WJ-LWJ;
evi9 = GEI-LGEI;
evi15 = DJ-LDJ;
evi20 = GDPP/AS;
evi23 = GEIS-LGEIS;
LSPR=LAG (SPR);
LSPM=LAG (SPM);
LAS
= LAG (AS);
LIP=LAG (IP);
LWJ=LAG (WJ);
LSB=LAG (SB);
LS
= LAG (S);
LD
= LAG (D);
LTKF
= LAG (TKF);
LDI=LAG (DI);
LUMJ=LAG (UMJ);
LGDPP=LAG (GDPP);
LINF=LAG (INF);
LGEP=LAG (GEP);
LGEI=LAG (GEI);
LER=LAG (ER);
evi1 = AS/POP;
evi3 = ER-LER;
evi6 = IP-LIP;
evi8 = W-LW;
evi10 = MS-LMS;
evi17 = GTR-LGTR;
evi22 = GEP-LGEP;
evi26 = KP-LKP;
LPHK=LAG (PHK);
LSPT=LAG (SPT);
271
LDPRP=LAG (DPRP);
LDPRJ=LAG (DPRJ);
LDPMI=LAG (DPMI);
LDPTP=LAG (DPTP);
LDPTJ=LAG (DPTJ);
LWI=LAG (WI);
LPOIL=LAG (POIL);
LGEPK=LAG (GEPK);
LC=LAG (C);
LIJ=LAG (IJ);
LM =LAG (M);
LAD =LAG (AD);
LINF = LAG (INF);
LJP=LAG (JP);
LTI=LAG (TI);
LUMI=LAG (UMI);
LUT=LAG (UT);
LDEFP=LAG (DEFP);
Levi2=LAG (evi2);
Levi6=LAG (evi6);
Levi8=LAG (evi8);
Levi10=LAG (evi10);
Levi17=LAG (evi17);
GRI
GRJ
LDPRI=LAG (DPRI);
LDPMP=LAG (DPMP);
LDPMJ=LAG (DPMJ);
LDPTI=LAG (DPTI);
LWP=LAG (WP);
LW=LAG (W);
LTAX=LAG (TAX);
LGDPJ=LAG (GDPJ);
LII=LAG (II);
LX =LAG (X);
LMD =LAG (MD);
LCPI=LAG (CPI);
Levi1=LAG (evi1);
LUMR=LAG (UMR);
LUMP=LAG (UMP);
LUMJ=LAG (UMJ);
LTKFJ=LAG (TKFJ);
LDEFJ=LAG (DEFJ);
Levi4=LAG (evi4);
Levi7=LAG (evi7);
Levi9=LAG (evi9);
Levi15=LAG (evi15);
Levi22=LAG (evi22);
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100;
= ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
run;
proc forecast data=tkm method=stepar trend=2 out=eksogen outdata lead=6;
id TAHUN;
Var
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT DP DI
DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI GDPJ C
IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE
ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM KUK NTAX PHK PNSR POP TKF TKIP TKFP TKMI
TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR WL;
run;
title1 'Nilai Variabel Independent';
Title2 'Dari Tahun 2007 - 2010';
proc print data=eksogen;
run;
285
Lampiran 10. Program Peramalan Nilai Konstanta Endogen Tahun 2005-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
data tkmbr;
set eksogen;
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
IF _TYPE_='FORECAST'
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
SPR=1;
SPT=1;
DPRP=1;
DPRJ=1;
DPMP=1;
DPMJ=1;
DPTP=1;
DPTJ=1;
DP=1;
DJ=1;
UPR=1;
UPT=1;
WP=1;
WJ=1;
TAX=1;
GEP=1;
GEIS=1;
GET=1;
GDPI=1;
C=1;
II=1;
TI=1;
M=1;
MS=1;
AD=1;
CPI=1;
IF TAHUN <2001 then delete;
run;
proc print data=tkmbr;
run;
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
IF
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
_TYPE_='FORECAST'
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
THEN
SPM=1;
S=1;
DPRI=1;
DPR=1;
DPMI=1;
DPM=1;
DPTI=1;
DPT=1;
DI=1;
D=1;
UPM=1;
UT=1;
WI=1;
W=1;
GTR=1;
GEI=1;
GEPK=1;
GDPP=1;
GDPJ=1;
IP=1;
IJ=1;
X=1;
MD=1;
SB=1;
AS=1;
INF=1;
286
Lampiran 11. Program Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010
Menggunakan Prosedur FORECAST Metode Trend-linier
Stepwise Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
option nodate nonumber;
data tkm;
set analisis;
S
= SPR + SPM + SPT;
DPR = DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
DPM = DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
DPT = DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DP
= DPRP + DPMP + DPTP;
DI
= DPRI + DPMI + DPTI;
DJ
= DPRJ + DPMJ + DPTJ;
D
= DPR + DPM + DPT;
UPR = ((SPR - DPR)/S)* 100;
UPM = ((SPM - DPM)/S)* 100;
UPT = ((SPT - DPT)/S)* 100;
UT
= UPR + UPM + UPT;
GTR = TAX + NTAX;
GET = GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
TI
= IP + II + IJ + IL;
AD
= C + TI + GET + X - M;
AS
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
LCPI = LAG (CPI);
INF = ((CPI - LCPI)/LCPI) * 100;
LPHK = LAG (PHK);
LGET = LAG (GET);
LTI=LAG (TI);
LUMR=LAG (UMR);
LMS =LAG (MS);
LW
= LAG (W);
LTKFP = LAG (TKFP);
LDP=LAG (DP);
LDJ=LAG (DJ);
LGTR=LAG (GTR);
LGDPI=LAG (GDPI);
LLLP=LAG (LLP);
LGEIS=LAG (GEIS);
LKP=LAG (KP);
evi0 = PHK-LPHK;
evi2 = UMR-LUMR;
evi4 = SB-LSB;
evi7 = WJ-LWJ;
evi9 = GEI-LGEI;
evi15 = DJ-LDJ;
evi20 = GDPP/AS;
evi23 = GEIS-LGEIS;
LAS
= LAG (AS);
LIP=LAG (IP);
LWJ=LAG (WJ);
LSB=LAG (SB);
LS
= LAG (S);
LD
= LAG (D);
LTKF
= LAG (TKF);
LDI=LAG (DI);
LUMJ=LAG (UMJ);
LGDPP=LAG (GDPP);
LINF=LAG (INF);
LGEP=LAG (GEP);
LGEI=LAG (GEI);
LER=LAG (ER);
evi1 = AS/POP;
evi3 = ER-LER;
evi6 = IP-LIP;
evi8 = W-LW;
evi10 = MS-LMS;
evi17 = GTR-LGTR;
evi22 = GEP-LGEP;
evi26 = KP-LKP;
287
LSPR=LAG (SPR);
LSPM=LAG (SPM);
LDPRP=LAG (DPRP);
LDPRJ=LAG (DPRJ);
LDPMI=LAG (DPMI);
LDPTP=LAG (DPTP);
LDPTJ=LAG (DPTJ);
LWI=LAG (WI);
LPOIL=LAG (POIL);
LGEPK=LAG (GEPK);
LC=LAG (C);
LIJ=LAG (IJ);
LM =LAG (M);
LAD =LAG (AD);
LINF = LAG (INF);
LJP=LAG (JP);
LTI=LAG (TI);
LUMI=LAG (UMI);
LUT=LAG (UT);
LDEFP=LAG (DEFP);
Levi2=LAG (evi2);
Levi6=LAG (evi6);
Levi8=LAG (evi8);
Levi10=LAG (evi10);
Levi17=LAG (evi17);
GRI
GRJ
= ((GDPI - LGDPI)/LGDPI) * 100;
= ((GDPJ - LGDPJ)/LGDPJ) * 100;
/* Simulasi peramalan 1;
UMP = 13038.65;
UMI = 19905.47;
UMJ = 19431.28;
UMR = 9960.82;
Simulasi peramalan 2;
UMP = 1.01* UMP;
UMI = 1.01* UMI;
UMJ = 1.01* UMJ;
UMR = 1.01* UMR;
Simulasi peramalan 3;
UMP = 1.0664* UMP;
UMI = 1.0664* UMI;
UMJ = 1.0664* UMJ;
UMR = 1.0664* UMR;
Simulasi peramalan 4;
UMP = 1.08* UMP;
UMI = 1.08* UMI;
UMJ = 1.08* UMJ;
UMR = 1.08* UMR;
LPHK=LAG (PHK);
LSPT=LAG (SPT);
LDPRI=LAG (DPRI);
LDPMP=LAG (DPMP);
LDPMJ=LAG (DPMJ);
LDPTI=LAG (DPTI);
LWP=LAG (WP);
LW=LAG (W);
LTAX=LAG (TAX);
LGDPJ=LAG (GDPJ);
LII=LAG (II);
LX =LAG (X);
LMD =LAG (MD);
LCPI=LAG (CPI);
Levi1=LAG (evi1);
LUMR=LAG (UMR);
LUMP=LAG (UMP);
LUMJ=LAG (UMJ);
LTKFJ=LAG (TKFJ);
LDEFJ=LAG (DEFJ);
Levi4=LAG (evi4);
Levi7=LAG (evi7);
Levi9=LAG (evi9);
Levi15=LAG (evi15);
Levi22=LAG (evi22);
288
Simulasi peramalan 5;
TKFP = 0.1* TKFP;
TKFI = 0.85* TKFI;
TKF = 0.75* TKF;
Simulasi peramalan 6;
KP = 0.5* KP;
Simulasi peramalan 7;
SB = SB-6;
Simulasi peramalan 8;
GEIS = 1.4* GEIS;
Simulasi peramalan 9;
UMP = 1.08* UMP;
UMI = 1.08* UMI;
UMJ = 1.08* UMJ;
UMR = 1.08* UMR;
TKFP = 0.1* TKFP;
TKFI = 0.85* TKFI;
TKF = 0.75* TKF;
Simulasi peramalan 10;
SB = SB-6;
GEIS = 1.4* GEIS;
Simulasi peramalan 11;
UMP = 1.08* UMP;
UMI = 1.08* UMI;
UMJ = 1.08* UMJ;
UMR = 1.08* UMR;
TKFP = 0.1* TKFP;
TKFI = 0.85* TKFI;
TKF = 0.75* TKF;
GEIS = 1.4* GEIS;
Simulasi peramalan 12;
KP = 0.5* KP;
SB = SB-6;
GEIS = 1.4* GEIS; */
run;
title1 'Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro';
Title2 'Dari Tahun 2007 - 2010';
proc simnlin data=tkmbr simulate out=endo;
Endo
SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ
DPT DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK
GET GDPP GDPI GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
289
Exo
parm
DDF DEFI DEFP DEFJ DPML DPRL DPTL DKE ER GDPL GEL GR GRI IL JP JPK KHM
KUK NTAX PHK PNSR POP TAX TKF TKIP TKFP TKMI TKFJ TKTI UMI UMJ UMP UMR
WL;
/*1. Blok Pasar TK*/
a0 7696.893 a1 0.054218
b0 -11854.5 b1 0.149701
c0 -3456.16 c1 0.028160
d0 13996.67 d1 -0.68812
a2
b2
c2
d2
0.006907
0.071511
0.019892
0.017205
a3
b3
c3
d3
0.183286
24.39220
6.405164
0.602612
a4
b4
c4
d4
0.381599
0.670890
0.715552
0.175688
e0 1501.583 e1 -0.03733 e2 0.007087 e3 0.048144 e4 2.044707 e5 1.126923 e6 0.064549
f0
g0
h0
i0
j0
k0
l0
310.3759
-790.640
491.7278
-75.0290
-53.4439
39.20398
-279.070
f1
g1
h1
i1
j1
k1
l1
-0.01115
-0.06189
-0.06035
-0.02904
-0.00364
-0.00658
-0.02304
f2
g2
h2
i2
j2
k2
l2
0.015119
0.036499
0.010516
0.022429
0.002483
0.001347
0.014701
f3
g3
h3
i3
j3
k3
l3
2.319582
0.152310
0.040753
0.235430
0.016213
0.067873
0.838590
f4
g4
h4
i4
j4
k4
0.478377
0.271813
0.818900
0.366813
0.505083
0.817348
m0 4351.285 m1 0.186011 m2 0.235748 m3 7.722205 m4 0.026872 m5 -0.07680 m6 0.347304
n0 5358.180 n1 0.180116 n2 1.007071 n3 3.237797 n4 2.135565 n5 -0.28723 n6 0.502053
o0 5380.282 o1 0.260546 o2 0.753300 o3 15.60628 o4 0.166095 o5 -0.18927 o6 0.454715
p0 847.4541 p1 0.062092 p2 0.358429 p3 0.461737 p4 0.258188 p5 0.059693 p6 0.221975
/*2. Blok Fiskal*/
q0 -126.326 q1 0.001324
r0 14.98551 r1 0.034337
s0 1.898281 s1 0.007940
t0 8.594533 t1 0.053636
u0 -0.48610 u1 1.177960
q2
r2
s2
t2
u2
0.197561
0.592019
0.035231
0.074659
0.011670
r3
s3
t3
u3
17.57876
0.100363
0.829220
0.286771 u4 0.676046
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
v0 -1574.86 v1 0.098317 v2 0.323054 v3 0.026704 v4 8.215004 v5 7.864306 v6 0.973710
w0 464.9194 w1 0.918193 w2 38.69647 w3 0.088450 w4 164.7634 w5 32.56100 w6 15.05642 w7 0.609806
x0 3889.881 x1 0.265636 x2 7.080491 x3 0.142993 x4 28.04410 x5 0.861724
/*4. Permintaan Agregat*/
y0 -19490.6 y1 45985.72 y2 -224.958 y3 0.796406
z0 1321.929 z1 -49.5038 z2 -1.34291 z3 0.025921 z4 -5.32200 z5 3653.718 z6 0.614324
aa0 -7936.68 aa1 -82.6170 aa2 -2.26652 aa3 0.246194 aa4 -23.2645 aa5 -24116.6 aa6 0.139976
ab0 -254.735 ab1 -2.75548 ab2 -0.35560 ab3 0.012588 ab4 -0.94728 ab5 2692.560 ab6 0.091524
ac0 -9074.23 ac1 1.042679 ac2 0.300933 ac3 0.039729
ad0 -9694.45 ad1 -1.24392 ad2 0.220442 ad3 0.427867
/*5. Blok Moneter*/
ae0 -341.791 ae1 0.003544 ae2 -1.63250 ae3 48.77867 ae4 0.554641 ae5
af0 -485.902 af1 0.004305 af2 3.060249 af3 0.026827 af4 0.454207
ag0 3.015449 ag1 -0.00527 ag2 5.074E-6 ag3 0.630957 ag4 0.455050
/*6. Blok Keseimbangan Makro*/
ah0 -55.1704 ah1 0.065295 ah2 0.006445 ah3 0.904354 ;
/* 1. Blok Pasar Tenaga Kerja*/
SPR = a0 + a1*(W - LAG (W)) + a2*(PHK-LAG (PHK)) + a3*POP + a4*LAG (SPR);
SPM = b0 + b1*W + b2*POP + b3*LAG (GEPK) + b4*LAG (SPM);
SPT = c0 + c1*W + c2*POP + b3*LAG (GEPK) + c4*LAG (SPT);
290
S
DPRP
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
DPT
DP
DI
DJ
D
UPR
UPM
UPT
UT
WP
WI
WJ
W
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
SPR + SPM + SPT;
d0 + d1*WP + d2*GDPP + d3*TKIP + d4*LAG (DPRP);
e0 + e1*WI + e2*GDPI + e3*JP + e4*JPK + e5*TKII + e6*LAG (DPRI);
f0 + f1*(WJ-LAG (WJ)) + f2*GDPJ + f3*PNSR + f4*LAG (DPRJ);
DPRP + DPRI + DPRJ + DPRL;
g0 + g1*WP + g2*GDPP + g3*TKMI + g4*LAG (DPMP);
h0 + h1*LAG (WI) + h2*GDPI + h3*JPK + h4*LAG (DPMI);
i0 + i1*WJ + i2*GDPJ + i3*TKFJ + i4*LAG (DPMJ);
DPMP + DPMI + DPMJ + DPML;
j0 + j1*WP + j2*GDPP + j3*TKTI + j4*LAG (DPTP);
k0 + k1*WI + k2*GDPI + k3*JPK + k4*LAG (DPTI);
l0 + l1*(WJ-LAG (WJ)) + l2*GDPJ + l3*LAG (DPTJ);
DPTP + DPTI + DPTJ + DPTL;
DPRP + DPMP + DPTP;
DPRI + DPMI + DPTI;
DPRJ + DPMJ + DPTJ;
DPR + DPM + DPT;
((SPR - DPR)/S)* 100;
((SPM - DPM)/S)* 100;
((SPT - DPT)/S)* 100;
UPR + UPM + UPT;
m0 + m1*UMP + m2*KHM + m3*DEFP + m4*TKFP + m5*S + m6*LAG(WP);
n0 + n1*UMI + n2*KHM + n3*DEFI + n4*TKFI + n5*S + n6*LAG (WI);
o0 + o1*UMJ + o2*KHM + o3*DEFJ+ o4*LAG(TKF)+ o5*S + o6*LAG (WJ);
p0 + p1*LAG(UMR-LAG(UMR)) + p2*WP + p3*WI + p4*(WJ-LAG (WJ))+ p5*WL + p6*LAG(W);
/*2.
TAX
GTR
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
Blok Fiskal*/
= q0 + q1*AS + q2*LAG (TAX);
= TAX + NTAX;
= r0 + r1*(GTR-LAG(GTR)) + r2*LAG (INF) + r3*(GDPP/AS);
= s0 + s1*(GTR-LAG(GTR)) + s2*LAG (INF) + s3*GRI;
= t0 + t1*LAG(GTR-LAG(GTR)) + t2*LAG (INF) + t3*LAG (GEIS);
= u0 + u1*LUT + u2*GTR + u3*LAG (INF) + u4*LAG (GEPK);
= GEP + GEI + GEIS + GEPK + GEL;
/*3. Blok Penawaran Agregat*/
GDPP
GDPI
= v0+v1*DP+v2*DEFP+v3*(IP-LAG(IP))+v4*(GEP-LAG(GEP))+v5*(GEIS-LAG(GEIS))+ v6*LAG(GDPP);
= w0 + w1*DI + w2*DEFI + w3*II + w4*(GEI-LAG(GEI)) + w5*KUK + w6*GEIS + w7*LAG (GDPI);
GDPJ = x0 + x1*(DJ-LAG(DJ)) + x2*LAG(DEFJ) + x3*IJ + x4*LAG(GEIS) + x5*LAG (GDPJ);
/*4. Blok Permintaan Agregat*/
C
= y0 + y1*(AS/POP) + y2*INF + y3*LAG (C);
IP
II
IJ
= z0 + z1*(SB-LAG(SB)) + z2*UMR + z3*LAG (AS) + z4*(KP-LAG(KP)) + z5*DDF + z6*LAG(IP);
= aa0 + aa1*(SB-LAG(SB)) + aa2*UMR + aa3*AS + aa4*KP + aa5*DDF + aa6*LAG (II);
= ab0 + ab1*SB + ab2*LAG (UMR) + ab3*AS + ab4*LAG (KP) + ab5*DDF + ab6*LAG (IJ);
TI
X
M
= IP + II + IJ + IL;
= ac0 + ac1*ER + ac2*AS + ac3*LAG (X);
= ad0 + ad1*ER + ad2*AS + ad3*LAG (M);
/*5.
MD
MS
SB
Blok Moneter*/
= ae0 + ae1*AD + ae2*(SB-LAG (SB))+ ae3*DKE + ae4*LAG(MD);
= af0 + af1*AD + af2*SB + af3*(ER-LAG(ER)) + af4*LAG(MS);
= ag0 + ag1*(MS-LAG (MS)) + ag2*LAG(AD) + ag3*LAG(INF) + ag4*LAG(SB);
291
/*6.
AD
AS
CPI
INF
Blok Keseimbangan Makro*/
= C + TI + GET + X - M;
= GDPP + GDPI + GDPJ + GDPL;
= ah0 + ah1*LAG(SB) + ah2*LAG(W) + ah3*LAG (CPI);
= ((CPI - LAG (CPI))/LAG (CPI))*100;
range tahun=2007 to 2010;
run;
proc print data=endo;
var TAHUN SPR SPM SPT S DPRP DPRI DPRJ DPR DPMP DPMI DPMJ DPM DPTP DPTI DPTJ DPT
DP DI DJ D UPR UPM UPT UT WP WI WJ W TAX GTR GEP GEI GEIS GEPK GET GDPP GDPI
GDPJ C IP II IJ TI X M MD MS SB AD AS CPI INF;
run;
292
Lampiran 12. Hasil Peramalan Nilai Endogen Tahun 2007-2010 Menggunakan
Prosedur FORECAST Metode Trend-linier Stepwise
Autoregressive Pada Program SAS/ETS 8.02
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro
Dari Tahun 2007 - 2010
The SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables
Endogenous
Exogenous
Parameters
Range Variable
Equations
Number of Statements
Program Lag Length
113
52
61
183
TAHUN
52
52
2
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro
Dari Tahun 2007 - 2010
The SIMNLIN Procedure
Dynamic Simultaneous Simulation
Data Set Options
DATA=
OUT=
TKMBR
ENDO
Solution Summary
Variables Solved
Simulation Lag Length
Solution Range
First
Last
Solution Method
CONVERGE=
Maximum CC
Maximum Iterations
Total Iterations
Average Iterations
52
2
TAHUN
2007
2010
NEWTON
1E-8
1.36E-15
2
8
2
Observations Processed
Read
Lagged
Solved
First
Last
6
2
4
28
31
293
Nilai Peramalan Model Pasar TK dan Perekonomian Makro
Dari Tahun 2007 - 2010
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
TAHUN
SPR
SPM
SPT
S
DPRP
2007
2008
2009
2010
80490.92
81026.63
81768.55
82592.35
23605.75
24552.98
25497.43
26419.01
6988.25
7991.29
8835.46
9550.37
111084.92
113570.90
116101.43
118561.73
40222.70
40175.26
39875.43
39971.26
DPRI
DPRJ
DPR
DPMP
DPMI
9093.21
9310.36
9515.04
9711.54
3798.88
3670.55
3609.34
3566.89
76211.41
76761.28
77586.37
77532.50
2760.04
2857.13
2950.58
3044.46
3649.42
3771.61
3894.99
4030.94
DPMJ
DPM
DPTP
DPTI
DPTJ
4493.38
4633.81
4756.49
4870.95
19606.50
20224.08
20840.44
21475.18
143.87
150.16
155.55
160.55
474.66
495.38
518.31
543.05
3141.66
3285.22
3435.68
3585.47
DPT
DP
DI
DJ
D
5249.33
5467.42
5698.22
5932.45
43126.61
43182.55
42981.56
43176.28
13217.29
13577.35
13928.33
14285.53
11433.91
11589.59
11801.51
12023.32
101067.25
102452.78
104125.04
104940.13
UPR
UPM
UPT
UT
WP
3.85
3.76
3.60
4.27
3.60
3.81
4.01
4.17
1.57
2.22
2.70
3.05
9.02
9.79
10.32
11.49
8687.48
9095.48
9425.03
9727.96
WI
WJ
W
TAX
GTR
16069.56
16559.14
16780.41
16889.88
21888.83
23070.02
23778.60
24260.53
17194.31
17582.48
17819.67
18019.16
521.09
541.29
561.71
581.48
676.73
696.49
716.47
735.80
294
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
Obs
1
2
3
4
GEP
GEI
GEIS
GEPK
GET
18.52
22.17
22.40
22.12
2.44
2.66
2.66
2.62
48.35
50.01
51.66
53.00
54.64
57.12
59.02
59.87
760.83
786.13
808.33
829.34
GDPP
GDPI
GDPJ
C
IP
60604.48
61905.20
63131.37
64344.98
113661.40
118961.14
123947.33
128504.32
63720.24
65093.48
66398.53
67649.72
277670.21
284510.88
291403.98
298259.13
3407.96
2780.95
2269.14
1832.90
II
IJ
TI
X
M
52983.38
56046.16
58470.95
60476.74
3716.60
3688.34
3712.34
3749.07
121262.92
124124.63
127122.59
130049.03
130869.45
135367.41
139641.20
143762.96
116737.14
121268.47
125510.55
129497.91
MD
MS
SB
AD
AS
2360.92
2476.96
2577.53
2670.07
2342.50
2456.23
2553.98
2642.34
13.88
15.04
15.97
16.24
413826.27
423520.57
433465.55
443402.56
413592.13
426488.79
438894.79
450780.10
CPI
INF
339.55
363.62
387.98
411.59
6.68
7.09
6.70
6.09
Download