@ Mr. Theo van Boven Tentang Mereka yang Menjadi Korban: Kajian Terhadap Hak Korban Atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi Judul asli: Study Concerning The Right to Restitution, Compensation and Rehabilitasion for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms Penulis dan Penerbit Edisi Inggris: Mr. Theo van Boven, seorang Special Rapporteur; Commission on Human Rights, Economic and Social Council, United Nations, 2 Juli 1993 – tersedia juga di alamat website berikut: http://www.law.duke.edu/journals/lcp/articles/lcp59dFall1996p283.htm Penerjemah (edisi Indonesia): Tim Penerjemah ELSAM Editor: Eddie Sius R. Laggut Desain Sampul: Layout: Cetakan Pertama, Agustus 2001 Hak terjemahan dalam bahasa Indonesia ada pada ELSAM Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia, selain sebagai bagian dari usaha pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Penerbit ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jln. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp.(021) 797 2662, 7919 2519, 7919 2564; Facs. (021) 7919 2519 E-mail: [email protected], [email protected] Daftar Isi Prakata Seri Pengantar Penerbit Daftar Isi Kata Pengantar 1 Membangun Kepedulian Terhadap Korban Pelanggaran Berat Perorangan dan Kolektivitas Sebagai Korban Masalah-Masalah Khusus yang Menarik Minat dan Perhatian 2 Perlindungan Terhadap Korban Norma-Norma Hak Asasi Manusia Internasional Norma-Norma Dalam Hal Pencegahan Kejahatan dan Keadilan Pidana Norma Hukum Humaniter Internasional Tanggung Jawab Negara 3 Pandangan Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional Komite Hak Asasi Manusia Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial Komite Menentang Penyiksaan Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Komisi Penyelidik yang Dibentuk Berdasarkan Konstitusi ILO Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia 4 Hukum Nasional dan Prakteknya 5 Impunitas dan Hak Korban Atas Reparasi 6 Kompensasi Bagi Para Korban: Studi Kasus Terhadap Invasi Irak Atas Kuwait Dasar Hukum Bagi Kewajiban Irak untuk Membayar Kompensasi Kerugian, Kerusakan Atau Cedera yang Diderita Dalam Hubungan Dengan Pelanggaran Berat Terhadap Hak Asasi Manusia Pemerintah dan Pribadi Sebagai Subjek yang Mengajukan Klaim Beberapa Komentar 7 Penutup: Kesimpulan, Rekomendasi, Prinsip Dasar dan Pedoman Kata Pengantar Sub-Komisi Perlindungan dan Pencegahan Diskriminasi Minoritas (selanjutnya diringkas Sub-Komisi), dalam sidangnya yang ke-41, dan berdasarkan resolusi nomor 1989/13, telah mempercayakan Theo van Boven untuk melakukan studi mengenai hak korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Hak tersebut mencakupi hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Studi itu sendiri dilakukan dengan mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia internasional yang ada mengenai kompensasi, merujuk berbagai keputusan terkait dan pandangan badan-badan hak asasi manusia internasional. Tujuannya adalah untuk menyelidiki kemungkinan mengembangkan beberapa prinsip dan pedoman dasar berkenaan dengan hak-hak korban. Dalam sidang ke-42 Sub-Komisi tersebut, Pelapor Khusus menyajikan laporan awal (E/CN.4.Sub.2/1990/10). Ia menyerahkan laporan perkembangan pertama pada sidang ke-43 (E/CN. 4/Sub.2/1991/7). Dan laporan perkembangan kedua pada sidang ke-44 (E/CN.4/Sub.2/1992/8). Pada sidangnya yang ke-44, dengan resolusinya 1992/32, Sub-Komisi meminta van Boven melanjutkan studinya. Studi tersebut tetap mempertimbangkan komentar-komentar yang telah dibuat dalam pembahasan laporan awal dan laporan perkembangannya. Dan kesemuanya itu harus diserahkan berupa laporan akhir kepada Sub-Komisi dalam sidangnya yang ke-45. Laporan akhir tersebut mencakup serangkaian kesimpulan dan rekomendasi yang ditujukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Laporan akhir, yang sebagian didasarkan atas laporan terdahulu terdiri atas bagian-bagian berikut ini: Bagian pertama menggarisbawahi tujuan dan ruang lingkup studi dan menangani masalah khusus yang relevan dan memang membutuhkan perhatian. Bagian kedua mencakup norma-norma internasional dalam bidang hak asasi manusia, pencegahan kejahatan, peradilan pidana, dan hukum humaniter internasional. Bagian ketiga berhubungan dengan masalah tanggung jawab negara. Bagian keempat meninjau berbagai keputusan dan pandangan badan-badan hak asasi manusia internasional yang tentu saja dalam menjalankan kegiatannya disesuaikan dengan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Buruh i Internasional (ILO). Selain itu, disesuaikan juga dengan tingkat sistem perlindungan hak asasi manusia regional. Bagian kelima membahas masalah kompensasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakibatkan oleh invasi dan pendudukan tidak sah atas Kuwait oleh Irak. Bagian keenam menyajikan informasi dan beberapa analisis hukum nasional dan prakteknya di beberapa negara. Dalam bagian ketujuh dikemukakan pandangan mengenai masalah impunitas yang dilawankan dengan reparasi terhadap korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Bagian kedelapan berisi komentar akhir; di sini disajikan kesimpulan serta rekomendasi. Bagian kesembilan mengusulkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar. Pelapor Khusus mengemukakan harapan bahwa prinsip dan pedoman dasar yang dicakup dalam bagian IX dapat bermanfaat dan diterima oleh PBB selama Dekade Hukum Internasional saat ini. Prinsip dan pedoman dasar tersebut merupakan serangkaian ketentuan dasar yang memperkuat hak korban-pelanggaran-berat hak asasi manusia atas reparasi. Pelapor Khusus dapat menarik manfaat yang cukup berarti dari seminar mengenai hak atas restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi dari korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diselenggarakan dari tanggal 11 sampai 15 Maret 1992 di Universitas Limburg, Maastricht, Negeri Belanda. Proses seminar diterbitkan dalam suatu terbitan khusus majalah tiga-bulanan Negeri Belanda mengenai hak asasi manusia (SIM khusus No. 12, 1992), dan akan dirujuk dalam studi ini sebagai laporan Seminar Maastricht. Seminar Maastricht sangat bermanfaat bagi Pelapor Khusus, terutama dalam usahanya menyusun bagian akhir studi ini, yaitu prinsip-prinsip dan pedoman dasar. ii Pengantar Penerbit “Erangan kesakitan di halaman-halaman buku ini tidak pernah disuarakan oleh korban yang paling menderita dan sengsara. Selama berabad-abad mereka terdiam membisu. Di mana pun hak asasi manusia telah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuan dan kepasifan merajalela, tidak meninggalkan jejak dalam sejarah; karena sejarah hanya mencatat perkataan dan perbuatan mereka yang mampu – meskipun hanya sekelumit – mengatur nasib mereka sendiri, atau paling tidak mencoba berbuat demikian. Masih sangat banyak – dan kini pun demikian – pria, wanita, dan anak-anak yang sebagai akibat kemiskinan, teror, atau kebohongan, telah dipaksa melupakan martabat yang sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskan usaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh yang lain. Mereka membisu. Kebanyakan korban yang mengeluh dan didengarkan adalah yang bernasib mujur. (René Maheu, dalam: Preface to Birthright of Man, sebuah antologi karangan tentang hak asasi manusia yang disiapkan berdasarkan permintaan Jeanne Hersch - UNESCO, 1968). Buku ini, yang merupakan laporan dari hasil studi yang dilakukan Mr. Theo van Boven, seorang pelapor khusus (special rapporteur) PBB, kami terbitkan dalam rangkaian seri “Transitional Justice” mengingat inti dari setiap upaya penegakan keadilan terutama keadilan berdasarkan kebenaran masa lampau adalah kepentingan korban langsung dan tidak langsung (sanak famili korban). Kita menyadari bahwa upaya keadilan bagi korban pada gilirannya akan sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan kita sekarang dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap harkat, martabat, dan hak asasi manusia. Budaya keadilan – kalau bisa kita mengatakannya demikian – dimulai dari tumbuhnya rasa hormat kita pada korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk dan ungkapan. Rasa hormat terhadap korban dimulai dari ditepiskannya mitos yang memandang korban sebagai scape goat – mereka menjadi korban (dikorbankan) karena mereka memang layak untuk dikorbankan. Layak demi apa dan karena apa? Demikian juga, para korban kekerasan dan ketidakadilan masa lampau (dan mungkin juga masa sekarang dan masa depan) sudah bukan saatnya lagi untuk dipandang sebagai sang Pharmakos (istilah “farmasi” dalam i dunia medisin dan kedokteran berasal dari kata Yunani ini) yang berarti sebagai “biang keladi” kekacauan sosial; mengorbankan sang Pharmakos akan mengobati penyakit sosial yang ada. Sang Pharmakos adalah racun sekaligus obat. Tidak. Kita menolak itu. Kita berupaya mentransformasikan mitos menjadi etis. Itu berarti harkat, martabat, dan hak asasi manusia menjadi pesan sentral dalam setiap tapakan kemanusiaan kita kapan dan di mana pun. Dengan terbitnya buku ini, kami berharap bahwa wacana hak asasi manusia semakin menemukan bentuknya yang elegan dalam perjuangan demokratisasi di negeri ini. Konsep hak asasi manusia adalah elemen inti dari demokrasi itu sendiri. Baik konsep hak asasi manusia maupun demokrasi sama-sama menolak setiap sikap (entah terbahasakan dalam berbagai cara) yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Keadilan harus ditegakkan. Korban harus dipulihkan dan dihormati. Itulah pesan utama dalam praktek kehidupan kita ke depan terutama di masa transisi ini. Akhirnya, menghindari kesan menggurui pembaca yang terhormat, kami mempersilahkan Anda membaca. Selamat. ii Prakata Seri Setelah lebih 32 tahun hidup di bawah kekuasaan pemerintahan yang otoriter dengan dukungan ideologi militerisme yang menindas, dan kembali memasuki era keterbukaan, reformasi dan demokrasi, bangsa Indonesia sepertinya tidak peduli dengan apa yang terjadi pada masa lalu. Bahkan perbincangan sistematis tentang upaya-upaya penyelesaian hukum dan politis belum menjadi agenda utama banyak kalangan, baik DPR maupun pemerintah. Kalaupun ada, orang cenderung bersikap pragmatis dan seadanya, sehingga mengabaikan prosedur dan sasaran yang sesungguhnya. Kita pun belum memiliki perangkat yang memadai untuk menangani berbagai dampak traumatik dari akibat pelanggaran HAM masa lalu. Sementara di sisi lain, dampak traumatik tersebut semakin kelihatan seperti dalam munculnya aksi-aksi kekerasan masyarakat, resistensi ataupun ketidakpatuhan (social disobedience), atau bahkan melalui keinginan dan upaya untuk melepaskan diri dari negara RI Salah satu masalah penting yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini adalah bagaimana menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu secara tepat dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahasan mengenai penyelesaian pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu seyogianya berada di dalam bingkai wacana “transitional justice” karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tersebut adalah pergantian rezim dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. Lalu, apa sebenarnya transitional justice? Pertanyaan ini penting karena wacana transitional justice lebih luas daripada “sekadar” penyelesaian kasus demi kasus pelanggaran hak asasi manusia. Landasan moralnya adalah pembentukan pemerintahan dan masyarakat yang menghormati martabat dan hak asasi manusia melalui langkah-langkah demokratis, tanpa kekerasan, dan mengacu ke tertib hukum, sehingga menjamin peristiwa serupa tidak akan terulang di masa depan. Persoalannya adalah, apa dan bagaimana sikap kita terhadap tindakan pelanggaran HAM masa lalu tersebut? Apakah dengan menghukum atau memaafkan? Apakah yang harus dibuat untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut? Bagaimana dampaknya bila tidak terselesaikan? Bagaimana nasib para korban? Dan bagaimana kita dapat menjamin untuk menghindari terjadinya kekerasan atau pelanggaran HAM yang sama pada masa depan? Banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab bersama itulah yang menggugah kami, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menerbitkan buku seri transitional justice ini. Selama ini, debat wacana tentang masalah keadilan pada masa transisi selalu mengacu pada literatur negara lain yang nota bene terbatas penggunaannya sebagai bahan komparasi semata. Perkembangan literatur dan bahan bacaan tentang transitional justice dengan konteks Indonesia untuk keperluan konsumsi umum memang masih sangat terbatas. Untuk itulah, seri ini hadir. Untuk mengisi ruang kosong dalam wacana kajian umum tentang “bagaimana kita sebaiknya menyikapi masa lalu” yang selama ini seolah-olah terpinggirkan. Kiranya perlu dicatat bahwa berbagai tawaran dalam seri kali ini bukanlah dimaksudkan sebagai semacam pedoman penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu. Seri ini diterbitkan dengan maksud untuk mengajak kita semua menyadari bahwa ada persoalan mendasar dan mendesak yang harus kita benahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia – yang menjadi korban kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Mendesak, karena yang dipertaruhkan adalah pelurusan sejarah, eksistensi kekinian manusia, selain tentu saja masa depan kemanusiaan kita. Pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama adalah masalah kemanusiaan yang secara prinsip merupakan masalah universal, bukan melulu menjadi masalah kajian satu bidang ilmu tertentu. Itulah mengapa, kendatipun semua uraiannya menukik pada satu tema yang sama, namun pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini sangat multidimensional dengan karakter komprehensionalitas bahasan yang cukup kental. Sekaligus hal ini menggambarkan bahwa betapa sangat rumitnya kekerasan masa lalu itu baik pada tataran teoritis maupun praktis. Tidak kurang di sini ada pendekatan filosofis yang mencoba menelusup jauh ke dalam wilayah kelam kekerasan itu. Ia mempertanyakan berbagai ide dasar, gagasan, konsep, keyakinan yang menjadi pembungkus wajah keras masa lalu itu, termasuk mempertanyakan pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri. Ada pula pendekatan historis yang menawarkan penjelajahan ruang dan waktu dengan menampilkan berbagai pengalaman negeri lain dalam penyelesaian tindak kejahatan hak asasi manusia di masa lalu. Selain itu, ada pula yang membedahnya dengan pisau analitis – sebab bagaimanapun, karakter kekerasan itu sendiri sangat beragam – namun tetap dalam bingkai komprehensif. Itulah beberapa di antara berbagai pendekatan yang ditawarkan dalam seri ini. Akhirnya, selamat membaca. Dewan Redaksi Ifdhal Kasim (Ketua) Agung Putri Astrid Kartika Abdul Haris Semendawai Agung Yudhawiranata Atnike Nova Sigiro Chandra Amiruddin Edisius Riyadi 1 Membangun Kepedulian Terhadap Korban Sesuai dengan mandat, Pelapor Khusus ditugaskan untuk menyelidiki kemungkinan mengembangkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar dalam hubungannya dengan hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi korban-pelanggaran-berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar (Resolusi Sub-Komisi 1989/13). Tujuan ini selalu menjadi pemikiran Pelapor Khusus agar, dalam laporan akhirnya, berhasil menawarkan prinsip-prinsip dan pedoman dasar yang diharapkan dapat menarik perhatian PBB dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Ketika menyiapkan studi, Pelapor Khusus didekati sejumlah orang dan organisasi tertentu. Mereka berpikir bahwa Pelapor Khusus, selain tugas di atas, juga dipercayakan tugas untuk menangani klaim-klaim khusus menyangkut kompensasi. Perkiraan ini berangkat dari kesalahpahaman tentang sifat dan tujuan mandat Pelapor Khusus. Sedangkan Pelapor Khusus itu sendiri tetap teguh dan percaya pada tujuan umum studi ini, yakni bahwa kesimpulan, rekomendasi, dan prinsip-prinsip serta pedoman dasar yang dikemukakannya dapat membantu mereka yang berusaha memperoleh reparasi atas penderitaan yang mereka alami karena pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Pelanggaran Berat Salah satu faktor yang menentukan dalam ruang lingkup studi ini adalah ketentuan mandat yang dengan tegas mengacu pada frase “pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar”. Menurut sejumlah instrumen hukum hak asasi manusia internasional, setiap pelanggaran terhadap ketentuan instrumen-instrumen itu mengakibatkan adanya kewajiban pelanggar untuk memberikan reparasi selayaknya kepada korban. Studi ini dititikberatkan pada pelanggaran berat hak asasi manusia yang dianggap berbeda dengan pelanggaran yang lain. Namun demikian, 2 belum ada definisi yang disepakati secara umum mengenai “pelanggaran berat hak asasi manusia”. Kelihatannya kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran”, yaitu menunjukkan betapa parahnya akibat pelanggaran yang dilakukan. Tetapi kata “berat” juga berhubungan dengan jenis hak asasi manusia yang dilanggar.1 Dalam hal ini, pedoman yang bermanfaat bisa didapatkan dari Komisi Hukum Internasional; sebuah komisi yang menyiapkan Rancangan Ketetapan Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Perdamaian dan Keselamatan Umat Manusia. Pada pembahasan pertamanya, ada beberapa pasal yang diterima sementara oleh Komisi tersebut: genosida (pasal 19), apartheid (pasal 20), dan pelanggaran sistematik atau massal terhadap hak asasi manusia (pasal 21).2 Dalam kategori ini pula, Komisi telah memasukkan pasal tentang pembunuhan; penyiksaan; pemaksaan atau penerapan secara paksa status perbudakan, perhambaan atau kerja paksa; penganiayaan atas dasar alasan-alasan sosial, politik, rasial, keagamaan, atau budaya dengan cara yang sistematik atau massal; pembuangan atau pemindahan paksa penduduk. Pedoman lainnya bisa juga didapatkan dari pasal 3 Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yang berisi standar minimum yang harus dihormati “kapan pun dan di mana pun” dan melarang tindakan-tindakan berikut ini: (a) Kekerasan terhadap kehidupan dan induvidu, terutama pembunuhan dalam segala bentuknya, mutilasi (penghilangan anggota badan tertenut), perlakuan kejam dan penyiksaan; (b) Penyanderaan; (c) Perkosaan terhadap martabat pribadi terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan harkat; (d) Dijatuhkannya hukuman dan pelaksanaan eksekusi tanpa pertimbangan pendahuluan yang biasanya dilakukan oleh pengadilan yang dianggap tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat beradab.3 1 Dalam studinya: The Battle of Human Rights: Gross, Systematic Violations and the Inter-American System, dalam Bab II, Cecilia Medina Quiroga mengajukan proposal mengenai definisi “pelanggaran hak asasi manusia yang berkategori berat dan sistematik”. Karena pengertian “sistematik” tidak dijadikan sebagai cakupan dari mandat studi ini, maka definisi yang diusulkan oleh Cecilia tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya untuk tujuan yang sekarang ini. Namun demikian, apa yang dapat dipertahankan dari rumusan yang disarankan oleh Cecilia adalah elemen-elemen yang memiliki karakter serupa, seperti jenis dan sifat pelanggarannya. Mengenai jenis hak yang dilanggar, ia menyebut hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi dan hak atas kebebasan pribadi. 2 Laporan Komisi Hukum Internasional mengenai hasil kerjanya pada sidangnya yang ke-43 (A/46/10), Bab IV D (draf pasal-pasal dan komentar yang diterima sementara oleh Komisi). 3 Serangkaian standar kemanusiaan minimal yang lebih elaboratif terdapat pada pasal 75 Protokol I Konvensi Jenewa, 12 Agustus 1949, dan Deklarasi Turku mengenai Standar Kemanusiaan Minimal yang diterima sekelompok pakar pada 2 Desember 1990 (direproduksi di E/CN.4/Sub.2/1991/55). 3 Berbagai kategori pelanggaran berat hak asasi manusia yang dikutip di atas diambil dari instrumen-instrumen hukum pidana internasional dan juga dari standar hukum humaniter dasar (diterapkan pada konflik-konflik bersenjata internasional dan non-internasional). Selain itu, bisa juga ditarik dari perspektif tanggung jawab negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia menurut hukum kebiasaan internasional. Jadi menurut Restatemen Ketiga Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat (Bagian 702), “Suatu negara melanggar hukum internasional jika, sebagai kebijakan, negara mempraktekkan dan mendorong atau mengampuni: (a) genosida; (b) perbudakan atau perdagangan budak; (c) pembunuhan atau penghilangan paksa; (d) penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; (e) penahanan sewenang-wenang dalam waktu yang lama; (f) diskriminasi rasial yang sistematik; (g) pelanggaran terus-menerus terhadap hak asasi manusia yang diakui internasional”. Patut dicatat bahwa hampir semua contoh pelanggaran berat hak asasi manusia yang dikutip dalam paragraf-paragraf sebelumnya, yang diambil dari sumber-sumber yang berbeda, semuanya dicakup oleh berbagai perjanjian hak asasi manusia. Dan semuanya mengharuskan adanya pertanggungjawaban negara yang melakukan pelanggaran. Selain itu, negara terebut wajib memberi reparasi kepada korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Karena hak asasi manusia tidak bisa dipisahkan dan saling bergantung, maka pelanggaran berat dan sistematik terhadap suatu jenis hak asasi manusia yang disebutkan di atas sering juga mempengaruhi jenis hak asasi manusia lainnya, termasuk juga hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian pula, praktek-praktek sistematik dan kebijakan intoleransi dan diskriminasi keagamaan akan memunculkan hak untuk memperoleh reparasi bagi korban. Ruang lingkup studi ini akan dibatasi secara tidak pantas jika pengertian mengenai “pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar” hanya dipahami dalam pengertian yang statis dan tidak berkembang. Preferensi (pilihan paling baik) harus diberikan pada rumusan yang bersifat indikatif atau ilustratif. Namun itu dilakukan tanpa harus membuat ruang lingkup studi ini diperluas sedemikian jauh sehingga tidak ada kesimpulan yang dapat diterapkan secara umum dalam hal hak dan tanggung jawab yang dapat ditarik dari studi ini. Maka ditetapkan – meskipun menurut hukum internasional, setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan 4 menimbulkan hak atas reparasi 4 bagi korban – perhatian khusus studi ini tertuju pada pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang mencakup genosida; perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai perbudakan; hukuman mati secara sumir atau sewenang-wenang; penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; penghilangan paksa; penahanan sewenang-wenang dan dalam waktu lama; deportasi atau pemindahan paksa penduduk; dan diskriminasi sistematik terutama yang didasarkan atas ras atau gender. Perorangan dan Kolektivitas Sebagai Korban Tidak dapat disangkal bahwa baik perorangan maupun kelompok sering menjadi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Kebanyakan pelanggaran berat yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya, secara tak terpisahkan, akan mempengaruhi hak-hak perorangan dan kelompok. Hal ini juga disimpulkan dalam resolusi Sub-Komisi No. 1989/13 yang memberi pedoman bermanfaat mengenai siapa saja yang berhak atas reparasi. Dalam hal ini, pada bagian mukadimah paragraf pertama, resolusi tersebut menyebut “perorangan, kelompok, dan masyarakat”. Dalam uraian selanjutnya dari bagian ini, yang menangani masalah khusus yang menarik minat dan perhatian, dinyatakan bahwa, dalam banyak hal, aspek-aspek perorangan dan kelompok dari para korban berhubungan erat satu sama lain. Koinsidensi atau kesamaan watak kasus dari aspek perorangan dan kelompok ini terutama tampak sekali dalam hal hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu, dan dengan latar belakang seperti ini, maka di samping sarana untuk memperoleh reparasi bagi perorangan, perlu diberikan ketentuan yang memadai yang mencakup hak-hak kelompok atau masyarakat yang menjadi korban untuk mengajukan tuntutan bersama: tuntutan terhadap kerugian yang dialami dan tuntutan untuk mendapatkan reparasi kolektif yang selayaknya. Untuk keperluan penentuan pengertian tentang korban, baik perorangan maupun kelompok, sangatlah bermanfaat untuk mengacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice 4 Kata “reparasi” dalam studi ini berarti segala jenis penggantian (redress) yang bersifat material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu istilah-istilah “restitusi”, “kompensasi” dan “rehabilitasi” mencakup aspek-aspek tertentu dari reparasi. 5 for Victims of Crime and Abuse of Power)5 terutama pada frase-frase dari paragraf 1 dan 2. Berikut ini kutipannya: “Korban berarti orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kejahatan, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka”. “… Istilah korban juga termasuk – sejauh dipandang tepat – keluarga langsung atau orang yang secara langsung berada di bawah tanggungan para korban dan orang-orang yang telah mengalami penderitaan dalam membantu para korban yang sengsara atau dalam mencegah orang-orang agar tidak menjadi korban”. Masalah-Masalah Khusus yang Menarik Minat dan Perhatian Dalam paragraf-paragraf berikut ini, sejumlah masalah-masalah khusus akan ditinjau karena hal itu penting untuk orientasi umum studi ini. Juga karena hal itu telah diangkat dalam tahap-tahap awal pembahasan Sub-Komisi mengenai laporan awal dan laporan perkembangan yang berhubungan dengan studi ini. Oleh karena masalah-masalah khusus ini tidak mudah dilingkup oleh konteks bab-bab lainnya, maka masalah ini paling sesuai ditempatkan dalam bab ini. Hampir semua masalah khusus ini menunjukkan bahwa parameter studi saat ini dibentuk oleh pengertian kerugian serius dan pukulan berat terhadap martabat manusia, terutama integritas fisik dan moral pribadi manusia dan terhadap keberadaan kelompok, masyarakat, dan rakyat itu sendiri, yang berakibat pada tuntutan yang sah akan reparasi bagi mereka yang menjadi korban. Yang sangat penting bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat adat adalah hak-hak atas tanah dan hak-hak yang berhubungan dengan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. Hukum internasional yang ada dan yang baru muncul mengenai hak-hak masyarakat adat memberikan penekanan khusus terhadap perlindungan hak-hak bersama ini. Hukum internasional itu juga menetapkan hak masyarakat adat atas kompensasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh pelaksanaan program-program eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan 5 Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/34 tertanggal 29 November 1985. 6 terhadap tanah mereka, 6 dan dalam pemindahan masyarakat adat 7 . Rancangan deklarasi mengenai hak-hak masyarakat adat mengakui hak mereka atas restitusi. Atau bilamana hal ini tidak memungkinkan, maka harus diusahakan kompensasi selayaknya dan adil terhadap tanah dan wilayah mereka yang telah disita, diduduki, dimanfaatkan, atau dirusak secara paksa tanpa perkenan dan izin mereka; dan ketika izin itu diminta, maka itu harus dilakukan dengan tetap menghormati kebebasan mereka serta didahului pemberian informasi yang memadai dan jelas tentang alasan mengapa tanah mereka diminta. Kompensasi sebaiknya dalam bentuk tanah dan wilayah yang mutu, luas, dan status hukumnya paling sedikit sama dengan tanah atau wilayah yang telah diambil.8 Dalam hal kerusakan lingkungan yang dapat mempengaruhi serangkaian hak asasi manusia, terutama hak atas kehidupan dan standar hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan, maka sangatlah bermanfaat untuk memperhatikan Delarasi Rio Mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development) yang diadopsi pada tanggal 14 Juni 1992 oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Lingkungan dan Pembangunan.9 Prinsip atau Ketentuan 13 Deklarasi Rio – yang sebagian besar didasarkan atas Prinsip 22 Deklarasi Stockholm pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Lingkungan Hidup Manusia – berbunyi sebagai berikut: “Negara harus mengembangkan Undang-Undang Nasional mengenai kewajiban menyediakan restitusi dan kompensasi bagi para korban polusi dan kerusakan lingkungan. Negara-negara juga harus bekerja sama dengan cara yang cepat dan efisien serta lebih tekun untuk mengembangkan hukum internasional lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan restitusi dan kompensasi atas efek-efek yang merugikan dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan di dalam wilayah atau kekuasaan mereka, yang efeknya meluas ke luar daerah wilayah mereka”. Keadaan yang tak menyenangkan dari orang-orang yang selamat dari Kamp Konsentrasi NAZI dan yang telah menjadi korban beberapa percobaan ilmiah mendapat perhatian khusus pada suatu 6 Konvensi ILO No. 169 mengenai masyarakat adat dan kesukuan di negara-negara merdeka, pasal 15 ayat 2 (kompensasi yang adil). 7 Ibid., pasal 16 ayat 4 dan 5 (kompensasi penuh). 8 E/CN.4/Sub.2/1992/28, Bagian III, paragraf draf operatif 17. 9 A/CONF.151/26 (Jilid I), Bab 1, Resolusi 1, Lampiran I. 7 waktu dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Persoalan ini diangkat oleh Komisi Mengenai Status Kaum Perempuan dalam sidangnya yang keempat,10 dan kemudian diterima oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusinya No. 353 (XII) tertanggal 19 Maret 1951. Dalam resolusi tersebut Dewan memohon pada penguasa Jerman yang berwenang untuk memberi reparasi sepenuhnya atas penderitaan yang dialami di bawah rezim Nazi oleh orang-orang yang dijadikan kelinci percobaan ilmiah di kamp-kamp konsentrasi. Dalam jawabannya,11 Pemerintah Republik Federasi Jerman menyatakan bahwa mereka telah siap, dalam kasus-kasus khusus, untuk memberi bantuan praktis kepada para korban percobaan ilmiah itu yang kemudian tinggal di luar negeri, yang dikejar-kejar karena alasan ras, agama, pandangan atau keyakinan politik, dan tidak memenuhi persyaratan restitusi di bawah Undang-Undang Kompensasi yang berlaku di Republik Federasi Jerman karena mereka bukan penduduk tetap atau batas waktu pengajuan telah lewat. Bagi para korban percobaan ilmu pengetahuan yang tak memenuhi persyaratan restitusi karena alasan-alasan lain, permohonan mereka untuk mendapatkan bantuan tidak akan ditolak. Terutama bila kesehatan mereka telah mengalami gangguan tetap akibat perlakuan yang tidak mengacuhkan hak asasi manusia. Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusinya No. 386 (XIII) tertanggal 15 September 1951 menyambut baik keputusan yang telah diambil Pemerintah Republik Federasi Jerman dalam kesediaannya untuk memikul tanggung jawab. Dewan juga memohon kepada Pemerintah Republik Federasi Jerman – dan pemerintah memang bersedia melakukannya – untuk memberi bantuan semurah hati mungkin. Perbuatan dan kegiatan pihak-pihak dalam situasi konflik bersenjata yang menyebabkan kerugian dan kerusakan sering menimbulkan tuntutan kompensasi. Jadi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukung dalam serangkaian resolusi di bawah judul “sisa-sisa perang”, atas tuntutan negara-negara berkembang yang mengalami kerugian karena penanaman ranjau di tanah mereka dengan segala akibatnya kepada negara-negara yang menanam ranjau tersebut.12 Baru-baru ini, Dewan Keamanan menegaskan kembali bahwa Irak harus bertanggung jawab di bawah Hukum Internasional atas setiap kerugian langsung, kerusakan, termasuk kerusakan lingkungan dan menipisnya sumber daya, serta kerugian yang dialami para 10 E/1712, paragraf 77-79. 11 Surat tertanggal 30 Juli 1951 di E/2087, Lampiran H. 12 Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 35/71 tertanggal 5 Desember 1980, No. 36/168 tertanggal 17 Desember 1981, No. 37/215 tertanggal 20 Desember 1982, No. 38/162 tertanggal 19 Desember 1983, dan No. 39/167 tertanggal 17 Desember 1984, dan No. 40/197 tertanggal 17 Desember 1985. 8 pemerintah, bangsa, dan perusahaan asing sebagai akibat penyerangan dan pendudukan yang tidak sah atas Kuwait; dan memutuskan untuk menyediakan dana untuk membayar kompensasi atas tuntutan-tuntutan yang termasuk kategori ini dan membentuk komisi untuk menyalurkan dana tersebut.13 Masalah ini akan ditinjau secara lebih rinci dalam Bab 6 laporan ini. Masalah pemindahan dan pengusiran paksa baru-baru ini menjadi agenda hak asasi manusia internasional karena hal ini dianggap sebagai praktek yang membawa kerugian berat dan bencana terhadap hak-hak dasar sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejumlah besar orang baik perseorangan maupun kelompok.. Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Komentar Umum 4 (diterima pada sidangnya yang ke-6 pada tahun 1991) mengenai hak atas perumahan yang memadai memberi petunjuk tatacara hukum dalam usaha mendapat kompensasi setelah pengusiran tidak sah dengan menggunakan tuntutan atas perumahan yang memadai (hak atas tempat tinggal yang layak).14 Komisi Hak Asasi Manusia dalam resolusinya No. 1993/77 dalam masalah pengusiran paksa, merekomendasikan bahwa semua pemerintah memberi restitusi segera, kompensasi dan/atau akomodasi alternatif yang selayaknya dan memadai atau tanah, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka, kepada orang-orang dan masyarakat yang telah diusir paksa, mengikuti perundingan yang memuaskan kedua belah pihak yaitu orang-orang atau kelompok yang terkena pengusiran tersebut (paragraf 4). Masalah kekerasan terhadap kaum perempuan telah menjadi keprihatinan yang mendesak dan meluas, dan sangat berkaitan dengan konteks studi saat ini mengenai hak atas reparasi bagi para korban. Dalam draf Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan, yang disiapkan dan diadopsi (disahkan) dalam bulan Maret 1993 oleh Komisi Status Kaum Perempuan, dan kemudian diserahkan untuk disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara diserukan untuk dengan cara yang memadai dan tanpa ditunda-tunda lagi memberlakukan kebijakan penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan. Draf Deklarasi merinci “kekerasan terhadap kaum perempuan” sebagai “setiap perbuatan kekerasan atas dasar gender yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan kerugian atau penderitaan fisik, seksual atau psikologis pada kaum perempuan, termasuk ancaman perbuatan sedemikian, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, yang terjadi baik pada kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan” (pasal 1). Di antara 13 Resolusi Dewan Keamanan No. 687 (1991), paragraf 16 dan 18. 14 HRI/GEN/I, Bagian II, Komentar Umum 4, paragraf 17. 9 langkah-langkah pemulihan dan penyantunan yang merupakan bagian dari kebijakan penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan, pasal 4 draf Deklarasi memuat, antara lain, hal-hal sebagai berikut: a. Menahan diri dari tindakan melakukan kekerasan terhadap kaum perempuan (sub-paragraf (b)). b. Dengan tekun mencegah, menyelidiki dan menghukum perbuatan kekerasan terhadap kaum perempuan (sub-paragraf (c)). c. Penyediaan akses mekanisme untuk mendapatkan keadilan dan kepatutan serta pemulihan yang efektif bagi para korban kekerasan (sub-paragraf (d)). d. Pengembangan pendekatan-pendekatan preventif untuk memastikan bahwa kaum perempuan tidak menjadi korban kembali karena adanya undang-undang yang tidak peka gender, praktek-praktek penegakan hukum yang juga tidak peka gender, serta campur tangan lainnya. e. Memastikan bahwa bantuan khusus seperti rehabilitasi, bantuan pemeliharaan dan perawatan anak, pengobatan, saran, pelayanan kesehatan dan sosial, kemudahan dan program, maupun struktur pendukung dan langkah-langkah lain demi keselamatan dan rehabilitasi fisik serta psikologi para perempuan yang menjadi korban dan anak-anak mereka tersedia (sub-paragraf (g)). Deklarasi juga merekomendasikan penerimaan semua langkah yang selayaknya terutama dalam bidang pendidikan, untuk mengubah pola sosial dan budaya perilaku kaum laki-laki dan perempuan untuk menghilangkan prasangka, adat, dan praktek-praktek lainnya yang didasarkan atas keunggulan atau kekurangan salah satu seks serta peran stereotip kaum laki-laki dan perempuan (pasal 4, sub-paragraf (j)), harus segera dilakukan. Mengenai bentuk-bentuk perbudakan kontemporer, Kelompok Kerja (Working Group) untuk masalah ini pada sidangnya yang ke-17 telah meminta Pelapor Khusus untuk bekerja sama dan membuat rekomendasi terutama dalam hubungan dengan bentuk-bentuk perbudakan kontemporer. Kerja sama itu juga dimaksudkan untuk mempertimbangkan bersama soal kebutuhan kompensasi moral bagi para korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk 10 perbudakan awal lainnya.15 Dalam kaitannya dengan hal ini, Pelapor Khusus ingin menjelaskan bahwa ia menilai praktek-praktek yang ingin dicegah, dihapus, dan diperangi oleh Kelompok Kerja mengenai bentuk-bentuk Perbudakan Kontemporer, yaitu perdagangan anak-anak, pelacuran anak-anak, pekerja anak, ikatan hutang, penyelundupan manusia, dan eksploitasi pelacuran dan sejenisnya, merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia yang secara umum dilingkup oleh studi ini. Sedangkan mengenai remedi (pemulihan) dan reparasi (perbaikan) bagi para korban praktek-praktek ini, Pelapor Khusus pertama-tama mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman dasar yang diusulkan dan yang tercakup pada Bab 7 studi ini (bagian “Prinsip Dasar dan Pedoman yang Diusulkan”), yang dimaksudkan untuk dapat diterapkan secara umum. Di samping itu, ciri-ciri khusus yang intrinsik dari praktek jahat ini harus dipertimbangkan, seperti kerawanan luar biasa dari para korban dan aspek trans-nasional dari praktek-praktek ini. Dengan cara yang sama seperti pada masalah kekerasan terhadap kaum perempuan, Pelapor Khusus lebih menyukai penerapan yang luas dari remedi khusus dan langkah reparasi, mulai dari restitusi dan kompensasi sampai rehabilitasi, pemuasan, pencegahan, dan jaminan bahwa hal serupa tidak akan terulang lagi. Tugas ini harus dilaksanakan dengan dasar pengetahuan yang akrab mengenai masalah-masalah tersebut. Kelompok Kerja untuk Bentuk-Bentuk Perbudakan Kontemporer menekankan perlunya kompensasi moral bagi para korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk awal perbudakan. Masalah ini juga disinggung oleh dua orang anggota Sub-Komisi asal Afrika dalam hubungan dengan masalah kompensasi bagi orang-orang Afrika keturunan para korban pelanggaran berat hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial. 16 Dalam hal ini, Pelapor Khusus mengarahkan perhatian para anggota terhadap laporan Sekretaris Jenderal mengenai dimensi internasional hak untuk berkembang sebagai hak asasi manusia di mana serangkaian aspek etik hak untuk berkembang dicatat, antara lain kewajiban moral para bekas penguasa kolonial untuk menyantuni sebagai penebus dosa eksploitasi di masa lalu dan beberapa kewajiban lain. Sekretaris Jenderal mencatat bahwa penerimaan kewajiban moral tersebut sama sekali tidak bersifat universal.17 Barangkali yang lebih mendekati masalah ini ialah beberapa 15 E/CN.4/Sub.2/1992/34, Bagian VII, Rekomendasi Umum. 16 E/CN.4/Sub.2/1992/SR.27, paragraf 46 (Nyonya Mbonu) dan E/CN.4/Sub.2/1992/SR31, paragraf 1-2 (Nyonya Ksentini). 17 E/CN.4/1334, paragraf 52-54. 11 rekomendasi yang tercakup dalam studi mengenai pencapaian yang dibuat dan halangan yang dijumpai selama Dekade Memerangi Rasisme dan Diskriminasi Rasial, yang disiapkan oleh Pelapor Khusus Asbjorn Eide18. Dalam bagian rekomendasi yang berhubungan dengan situasi yang ditimbulkan oleh perbudakan, hal-hal berikut ini adalah tepat sesuai dengan konteks saat ini: a. Penelitian harus terus dilakukan di negara-negara tersebut untuk menentukan sampai sejauh mana keturunan para budak tersebut menderita rintangan atau pelecehan sosial (rekomendasi 17). b. Tindakan dukungan efektif harus dilakukan sampai para anggota kelompok ini tidak mengalami rintangan atau pelecehan lagi. Tindakan dukungan ini jangan sampai menjadi diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang dominan (rekomendasi 18). Meskipun agak sulit dan kompleks untuk melaksanakan dan melakukan kewajiban hukum untuk membayar kompensasi bagi para keturunan korban perdagangan budak dan bentuk-bentuk lain perbudakan awal lainnya, Pelapor Khusus saat ini setuju bahwa tindakan dukungan yang efektif diperlukan pada kasus-kasus yang berkenaan sebagai kewajiban moral. Sebagai tambahan, catatan yang akurat mengenai sejarah perbudakan termasuk catatan perbuatan dan kegiatan para pelaku dan kaki tangannya, dan juga penderitaan para korban, harus mendapat peliputan luas melalui media, buku sejarah dan bahan-bahan pendidikan. Akhirnya Kelompok Kerja untuk Bentuk-Bentuk Perbudakan Kontemporer meminta Sekretaris Jenderal supaya menyerahkan informasi yang diterima Kelompok Kerja mengenai situasi kaum perempuan yang dipaksa menjadi pelacur selama masa perang kepada Pelapor Khusus. Permohonan ini didukung oleh Sub-Komisi dalam resolusinya No. 1992/2 paragraf 18. Mengenai masalah ini Pelapor Khusus mengacu pada surat yang ia telah tulis kepada Kelompok Kerja di mana dia menyatakan kesediaannya untuk melakukan studi mengenai Situasi kaum perempuan yang dipaksa menjadi pelacur selama masa perang atas dasar dokumentasi yang diterima dan dalam hubungan dengan prinsip-prinsip dan pedoman dasar yang diusulkan, yang 18 E/CNM.4/Sub.2/1989 dan Lampiran 1. 12 juga dicakup oleh laporan yang sekarang ini.19 Pelapor Khusus menegaskan bahwa ia bersedia melakukan studi seperti itu dalam kapasitasnya sebagai pakar perseorangan jika ia diminta berbuat demikian. 19 E/CN.4/Sub.2/AC.2/1993/9. 2 Perlindungan Terhadap Korban: Norma Internasional dan Tanggung Jawab Negara Norma-Norma Hak Asasi Manusia Internasional (Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia Global dan Regional) Sejumlah instrumen Hak Asasi Manusia, baik yang universal maupun yang regional, mengandung ketentuan yang berhubungan dengan hak setiap orang untuk mendapat “remedi yang efektif” oleh suatu pengadilan nasional yang berwenang untuk menangani remedi atas pelanggaran hak asasi manusia; remedi yang dimaksud adalah remedi yang dijamin oleh konstitusi atau undang-undang. Rumusan seperti itu termaktub dalam pasal 8 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pengertian “remedi yang efektif” juga tercantum dalam pasal 2(3)(a) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Beberapa instrumen hak asasi manusia mengacu pada “hak untuk memperoleh restitusi sesuai dengan undang-undang” (pasal 10 Konvensi Amerika Mengenai Hak Asasi Manusia) yang lebih khusus atau “hak untuk mendapat kompensasi yang memadai” (pasal 21 (2) Piagam Afrika Mengenai Hak Asasi Manusia dan Rakyat). Yang lebih khusus adalah ketentuan pasal 9(5) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan pasal 5(5) Konvensi Eropa Mengenai Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, yang mengacu pada “hak atas kompensasi yang dapat diberlakukan”. Demikian juga halnya dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Lainnya (CAT = Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or 14 Punishment). Konvensi ini mengandung ketentuan yang memberikan kepada korban penyiksaan suatu penggantian dan hak yang dapat diberlakukan untuk suatu kompensasi yang adil dan memadai, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin (pasal 14(1)). Juga, Deklarasi Mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Declaration on the Protection af All Persons from Enforced Disappearence) memberi kepada korban penghilangan paksa dan keluarganya suatu penggantian dan kompensasi yang memadai, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin (pasal 19). Pada beberapa instrumen, terdapat ketentuan khusus yang menunjukkan bahwa kompensasi diwajibkan menurut hukum atau hukum nasional (pasal 14 (6) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan pasal 11 Deklarasi Mengenai Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Lainnya). Ketentuan yang berhubungan dengan reparasi atau pemuasan sebagai akibat kerugian-kerugian tersebut terkandung pada pasal 6 Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD = International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) yang memberi hak untuk mendapatkan “reparasi atau pemuasan yang adil dan memadai untuk setiap kerugian yang diderita”. Konvensi ILO mengenai masyarakat adat dan kesukuan di negara-negara merdeka juga mengacu pada “kompensasi yang adil atas setiap kerugian” (pasal 15 (2)), “kompensasi dalam bentuk uang” serta “di bawah jaminan selayaknya” (pasal 16 (4)), dan kompensasi penuh “atas setiap kerugian dan perbuatan tidak adil” (pasal 16 (5)). Konvensi Amerika Mengenai Hak Asasi Manusia juga mengandung “kerugian yang harus dikompensasi” (pasal 68) serta menentukan bahwa para korban pelanggaran hak atau kebebasan “berhak atas pemulihan dan kompensasi yang adil” (pasal 63 (1)). Konvensi Mengenai Hak Anak mengandung ketentuan yang mewajibkan negara-negara penandatangan (Negara Pihak) mengambil langkah selayaknya untuk menjamin “pemulihan fisik dan psikologis dan reintegrasi sosial dari anak yang menjadi korban” (pasal 39). 15 Norma-Norma Dalam Hal Pencegahan Kejahatan dan Keadilan Pidana Ketentuan substantial yang berhubungan dengan masalah restitusi, kompensasi dan bantuan bagi para korban kejahatan terkandung dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Para Korban Kejahatan dan Penyalah-gunaan Kekuasaan (Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/34 tertanggal 29 November 1985). Deklarasi tersebut mengandung ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Para korban berhak untuk mendapatkan penggantian segera atas kerugian yang mereka derita. b. Mereka harus diberitahu tentang hak mereka untuk mendapat penggantian. c. Para pelaku atau pihak ketiga harus memberi restitusi yang adil bagi para korban, keluarga, dan tanggungan mereka. Penggantian demikian harus mencakup pengembalian hak milik atau pembayaran atas derita atau kerugian yang dialami, penggantian atas biaya-biaya yang dikeluarkan sebagai akibat viktimisasi tersebut, dan penyediaan pelayanan serta pemulihan hak-hak. d. Bilamana kompensasi tidak sepenuhnya didapat dari pelaku atau sumber-sumber lainnya, negara harus berusaha menyediakan kompensasi keuangan. e. Para korban harus mendapat dukungan dan bantuan material, pengobatan, psikologis dan sosial yang diperlukan. Deklarasi juga menentukan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut harus meninjau kembali praktek-praktek, peraturan dan undang-undang mereka untuk mempertimbangkan restitusi sebagai pilihan penjatuhan vonis dalam kasus-kasus kejahatan, di samping sanksi pidana (prinsip 9). Peraturan Standar Minimal Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Tata Laksana Keadilan Bagi Anak-Anak (“The Beijing Rules”) mengandung ketentuan khusus yakni 16 bahwa: “untuk memfasilitasi kebijakan mengenai kasus anak-anak, maka harus ada upaya yang dilakukan untuk membekali para pelaksana program kemasyarakatan dengan hal-hal seperti: pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi dan kompensasi bagi para para korban (peraturan 11.4)”. Norma Hukum Humaniter Internasional Pasal 3 Konvensi Den Haag (The Hague) Mengenai Hukum dan Adat-Istiadat Bidang Pertanahan mewajibkan para penanda tangan untuk membayar ganti rugi jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan. Pasal 41 Peraturan Den Haag yang dicakup dalam Konvensi yang sama juga memberikan hak untuk menuntut restitusi karena kerugian-kerugian yang dialami akibat pelanggaran terhadap klausula gencatan senjata oleh perorangan. Empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949 mengandung pasal-pasal yang sama yang menyatakan bahwa “Tidak satu pun pihak penanda tangan yang diizinkan untuk membebaskan diri sendiri atau pihak penanda tangan lainnya dari tanggung jawab akibat perbuatannya atau perbuatan pihak penanda tangan lainnya”, untuk kasus pelanggaran berat hak asasi manusia seperti “pembunuhan, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi termasuk percobaan biologis yang dilakukan dengan sengaja, dan dengan sengaja pula menyebabkan penderitaan besar atau kerugian serius terhadap jasmani atau kesehatan, termasuk perusakan besar-besaran dan perampasan hak milik, yang tidak dapat dibenarkan menurut kebutuhan militer dan dilaksanakan secara tidak sah dan ceroboh”.1 Pasal 68 Konvensi Jenewa Tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang mengandung ketentuan-ketentuan khusus mengenai tuntutan kompensasi bagi tawanan perang. 1 Lihatlah pasal 50 dan 51 Konvensi Jenewa Mengenai Perbaikan Keadaan Prajurit Angkatan Bersenjata yang Luka-Luka dan Sakit di Medan Tempur; pasal 51 dan 52 Konvensi Jenewa Mengenai Perbaikan Keadaan Para Prajurit Angkatan Bersenjata yang Luka-Luka Sakit dan Kapalnya Tenggelam di Lautan; pasal 130 dan 131 Konvensi Jenewa Mengenai Perlakuan Terhadap Tawanan Perang; dan pasal 147 dan 148 mengenai Perlindungan Warga Sipil di Waktu Perang. 17 Pasal 55 Konvensi Jenewa Mengenai Perlindungan Terhadap Warga Sipil Pada Waktu Perang menentukan bahwa tentara pendudukan “harus menjamin harga yang wajar untuk setiap barang yang diambil”. Akhirnya, Protokol I (Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yang berhubungan dengan perlindungan para korban konflik bersenjata internasional) menyatakan dalam pasal 91 bahwa pihak yang dalam konflik bersenjata melanggar ketentuan konvensi atau protokol ini “wajib membayar kompensasi”. Tanggung Jawab Negara Dalam hukum internasional, tanggung jawab negara (state responsibility) timbul sebagai akibat dari pelanggaran hukum internasional oleh negara. Elemen-elemen yang menyalahi hukum internasional antara lain adalah: (a) melakukan (action) tindakan yang tidak dibolehkan, atau tidak melakukan (omission) tindakan yang menjadi kewajiban negara, berdasarkan ketentuan hukum internasional; dan (b) melakukan tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap kewajiban internasional suatu negara.2 Komisi Hukum Internasional lebih jauh memberikan rincian mengenai pelanggaran terhadap kewajiban internasional dan membedakan antara kejahatan internasional (international crimes) dan delik internasional (international delicts). Kejahatan internasional adalah pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang demikian penting untuk perlindungan kepentingan-kepentingan masyarakat internasional dan dianggap sebagai kejahatan oleh masyarakat itu secara keseluruhan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah, antara lain, pelanggaran berat kewajiban internasional yang penting untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup manusia dan – yang paling berkaitan dengan konteks studi sekarang ini – pelanggaran berat terhadap “sejumlah besar kewajiban internasional yang penting untuk keselamatan umat manusia, seperti pelarangan perbudakan, genosida, 2 Rancangan pasal-pasal tentang tanggung jawab negara, Bagian I, pasal 3, Buku Tahunan Komisi Hukum Internasional 1980, jilid II (bagian dua), halaman 30-34. 18 dan apartheid”. 3 Delik internasional adalah tindakan yang salah secara internasional tetapi bukan merupakan kejahatan. Dalam kaitan dengan hukum internasional untuk hak asasi manusia, masalah tanggung jawab negara mengemuka bila negara melanggar kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Kewajiban seperti itu mempunyai dasar hukum pada perjanjian-perjanjian internasional, terutama perjanjian-perjanjian tentang hak asasi manusia internasional, dan/atau hukum kebiasaan internasional (international customary law), 4 khususnya norma-norma hukum kebiasaan internasional yang mempunyai sifat pasti (jus cogens).5 Pandangan yang secara umum diterima adalah bahwa negara tidak hanya mempunyai kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia yang diakui secara internasional tetapi juga kewajiban untuk memastikan penerapan hak-hak tersebut, yang mungkin menyiratkan kewajiban untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban-kewajiban internasional oleh para pribadi dan kewajiban untuk mencegah pelanggaran. 6 Jika pemerintah gagal untuk memberikan tindakan yang memadai atau tidak mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, maka pemerintah tersebut harus bertanggung jawab secara moral. 7 3 Ibid., bagian 1, pasal 19 terutama ayat 3 (c). 4 Menurut Restatemen Ketiga untuk Undang-Undang Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat tahun 1987, suatu negara melanggar hukum internasional yang biasa, jika sebagai kebijakan negara, negara mempraktekkan dan mendorong atau mengampuni: (a) genosida; (b) perbudakan atau perdagangan budak; (c) pembunuhan atau penghilangan orang-orang; (d) penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman kejam lain yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat; (e) penahanan sewenang-wenang dalam waktu yang lama; (f) diskriminasi rasial yang sistematik; (g) pelanggaran terus-menerus terhadap hak asasi manusia yang diakui internasional (§ 702). 5 Meskipun tidak semua norma hak asasi manusia membentuk bagian dari jus cogens, norma-norma yang dicatat dalam klausa (a) sampai dengan (f) catatan kaki sebelumnya biasanya dianggap sebagai termasuk kategori norma-norma pasti (Restatemen Undang-Undang, § 702, komentar 12). 6 Lihat Restatemen Ketiga Undang-Undang, § 702, catatan pelapor 2. Lebih jauh lihatlah karya Theodor Heron, Human Rgihts and Humanitarian Norms as Customary Law, 1989, halaman 165; dan karya Naomi Roht-Arriaza, “State resposibility to investigate and prosecute grave human rights violations in international law”, dalam California Law Review, vol. 78 (1990), halaman 451-513 (pada halaman 471). Para komentator sering mengacu konteks ini untuk kasus Velásquez Rodriguez, yang mana Mahkamah Antar-Amerika menyatakan bahwa dalam hubungan dengan pasal 1 ayat 1 Konvensi Amerika, kewajiban “memastikan” menyiratkan kewajiban dari negara-negara penanda tangan untuk mengorganisir sistem perlindungan masyarakat dengan cara sedemikian sehingga “mereka dapat secara hukum memastikan penikmatan hak asasi manusia secara bebas dan penuh”. (Judgement, Inter-American Court of Human Rights, Seri C, nomor 4 (1988), paragraf 166). 7 Lihat karya Meron, catatan 24 pada halaman 171 dan karya Roht-Arriaza, catata 24 halaman 471. 19 Masalah yang timbul sekarang ialah kepada siapakah negara bertanggung jawab ketika negara melanggar kewajiban hak asasi manusia menurut hukum internasional. Dalam hukum internasional yang tradisional, negara yang melanggar bertanggung jawab atas tindakannya terhadap negara yang dirugikan di tingkat antar-negara. Ini berarti dalam kaidah hak asasi manusia, adalah menjadi tanggung jawab negara jika negara itu melanggar hak asasi manusia warga negara suatu negara lain, sebagaimana halnya jika negara tersebut melanggar hak asasi manusia yang diakui secara internasional dari setiap orang lainnya. Dalam hukum internasional tradisional, pihak yang menderita kerugian bukanlah para pribadi orang perorangan, atau kelompok orang-orang, melainkan negara di mana orang atau kelompok orang-orang tersebut menjadi warga-negaranya. Dalam hal ini, negara tersebut dapat mengajukan tuntutan reparasi kepada negara pelanggar, tetapi para korban itu sendiri tidak mempunyai hak untuk mengajukan klaim atau tuntutan internasional.8 Namun demikian, harus diperhatikan bahwa Komisi Hukum Internasional dalam babak kedua pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai tanggung jawab negara yang diterima Komisi pada pembahasannya yang pertama, dalam pemberian konsep “negara yang dirugikan”, Komisi tidak membatasi konsep tersebut hanya pada hak dan kepentingan negara yang dilanggar saja, tetapi juga memakai konsep tersebut untuk pelanggaran hak berdasarkan perjanjian multilateral atau peraturan hukum kebiasaan internasional, yang telah diciptakan atau ditegakkan untuk perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar.9 Sebagaimana dinyatakan dalam Komentar yang berkaitan dari Komisi Hukum Internasional, kepentingan yang akan dilindungi oleh ketentuan-ketentuan hak asasi manusia bukanlah kepentingan suatu negara; jadi perlu dipertimbangkan pada kesempatan pertama apakah setiap negara penanda tangan konvensi multilateral atau hukum kebiasaan internasional, dapat dianggap sebagai “negara yang dirugikan”. 10 Kemungkinan aspek kolektif pertanggungjawaban juga disoroti lebih jauh oleh Komisi Hukum Internasional ketika Komisi itu menyatakan 8 Nigel Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, 1987, halaman 97. 9 Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, Bagian 2, pasal 5 paragraf 2(e)(iii), Yearbook of the International Law commission 1985, Jilid II (Bagian II), halaman 24-25. 10 Komentar terhadap draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, ibid., paragraf (20), halaman 27. 20 konteks “negara yang dirugikan” juga dapat dapat berarti negara penanda tangan perjanjian multilateral jika hak yang dilanggar itu telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut untuk kepentingan bersama negara penanda tangan.11 Sebagai tambahan, Komisi Hukum Internasional menghubungkan konsep “negara yang dirugikan” pada negara-negara lain selain negara yang melanggar jika tindakan yang salah secara internasional itu termasuk kejahatan internasional.12 Penentuan aspek kolektif dalam pertanggungjawaban negara, sebagaimana terbukti dari pekerjaan-pekerjaan draf Komisi Hukum Internasional, adalah sesuai dengan kecenderungan yang tumbuh dalam hukum hak asasi manusia internasional. Di sana dinyatakan bahwa suatu negara tunduk dan bertanggung jawab di bawah perjanjian-perjanjian hak asasi manusia multilateral atau hukum kebiasaan internasional bukan hanya karena adanya “negara yang dirugikan”, tetapi juga karena hal itu menjadi keprihatinan masyarakat bangsa-bangsa. Ini juga merupakan prinsip yang mendasari pandangan Komisi Hak Asasi Manusia Eropa mengenai Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa: negara yang menuntut pelanggaran terhadap Konvensi, sebenarnya, bukan hanya menegakkan hak-haknya sendiri atau hak bangsanya sendiri, melainkan demi mempertahankan ketertiban umum di Eropa: “Dalam menandatangani suatu Konvensi, suatu negara juga mengikatkan diri bersama-sama Negara Penanda Tangan lainnya, untuk mengamankan hak-hak dan kebebasan yang didefinsikan di Bagian I (Konvensi Eropa Mengenai Hak Asasi Manusia) bagi setiap orang di dalam wilayah kekuasaannya, tanpa memandang kebangsaan atau statusnya …. Dan negara itu mengikat diri untuk mengamankan hak-hak dan kebebasan tersebut tidak hanya bagi bangsanya atau bangsa-bangsa lain dari Negara Penanda Tangan tetapi juga bagi bangsa-bangsa dari negara-negara yang bukan penanda tangan Konvensi tersebut serta bagi para warga tanpa kewarganegaraan… Kewajiban yang harus dilakukan oleh Negara-Negara Penanda -Tangan Konvensi garis besarnya bersifat objektif, yang dirancang untuk melindungi hak-hak dasar setiap pribadi dari pelanggaran oleh setiap 11 Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, Bagian 2 pasal 5 paragraf 2(f), ibid., halaman 24-25. 12 Draf pasal-pasal mengenai Tanggung Jawab Negara, ibid., Bagian 2 Pasal 5 paragraf 3. 21 Negara Penanda Tangan dan bukannya diciptakan untuk kepentingan subjektif dan tukar-menukar Negara-Negara Penanda Tangan itu sendiri.”13 Prinsip yang mendasari pertanggungjawaban negara di bawah perjanjian-perjanjian hak asasi manusia multilateral mengakibatkan kewajiban kolektif atau kewajiban masyarakat bangsa-bangsa yang harus menghormati dan menjamin penegakan hak-hak yang tercakup dalam perjanjian tersebut. Hal itu juga berlaku jika kewajiban-kewajiban tersebut berasal dari hukum internasional mengenai hak asasi manusia, sesuai dengan ketentuan Keputusan Pengadilan Internasional Barcelona, di mana Pengadilan menyatakan bahwa semua negara berhak mempertahankan kewajiban erga omnes. Dinyatakan oleh Pengadilan: “……sangat penting untuk membedakan kewajiban negara terhadap masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan, dan yang timbul dalam hubungan dengan negara lain di bidang perlindungan diplomatik. Menurut sifatnya yang disebut terdahulu adalah kepentingan semua negara. Karena sifat hak-hak yang terlibat dipandang penting, maka semua negara dapat dianggap mempunyai kepentingan hukum atas perlindungan hak-hak tersebut; kewajiban mereka disebut erga omnes. Kewajiban demikian berasal, misalnya, dari hukum internasional kontemporer, yang menyatakan tindakan agresi, genosida, perbudakan, dan diskriminasi rasial sebagai tindakan-tindakan menyalahi hukum. Beberapa hak yang dilindungi ini telah masuk hukum internasional umum, sedangkan yang lain dinyatakan oleh instrumen-instrumen sebagai mempunyai sifat quasi-universal atau universal.14 Jadi dapat disimpulkan, jika suatu negara melanggar kewajiban erga omnes, maka negara itu merugikan hukum internasional dan ketertiban umum sebagai suatu keseluruhan dan akibatnya setiap negara mempunyai hak dan kepentingan untuk menuntut negara yang melanggar itu.15 13 Austria versus Italia. Penerapan No. 788/60. Yearbook of the European Convention of Human Rights 1961, (Nyjhoff, Den Haag, 1962), halaman 166 ff., (pada halaman 140). 14 Kasus Perusahaan Penerangan dan Listrik Barcelona (Tahap Kedua, Belgia vs. Spanyol), Laporan ICJ 1970, halaman 32. 15 Lihat juga karya Meron, catatan 24 halaman 191 dan karya Menno T. Kamminga, Inter-State Accountability for Violations of Human Rights, 1992, halaman 156. 22 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep tanggung jawab negara untuk pelanggaran standar hak asasi manusia yang diakui internasional mempunyai dampak hukum dalam hal “negara yang dirugikan” dalam pengertian tradisional, dan – sesuai kasusnya – juga dampak terhadap semua negara penanda tangan perjanjian multilateral jika hak-hak dan kepentingan negara-negara tersebut juga “dirugikan”. Dengan demikian, dampak tersebut juga menimpa seluruh masyarakat internasional, terutama suatu negara telah melanggar kewajiban hak asasi manusia, kewajiban yang mempunyai sifat erga omnes. Pertanyaan dengan aspek lain muncul, apakah negara yang melanggar tersebut hanya bertanggung jawab terhadap Negara-Negara Penanda Tangan ataukah juga secara lebih langsung terhadap orang-orang yang dilanggar hak asasi manusianya di dalam negara itu. Berkenaan dengan hukum perjanjian hak asasi manusia, Mahkamah Antar-Amerika menyatakan bahwa Konvensi Amerika Mengenai Hak Asasi Manusia harus melindungi para individu yang menjadi korban dan juga mengharuskan negara yang melakukannya bertanggung jawab. Dalam sarannya, Mahkamah Antar-Amerika berpendapat: “….perjanjian hak asasi manusia modern pada umumnya, dan Konvensi Amerika pada khususnya, bukanlah perjanjian multilateral tradisional yang dicapai dengan saling tukar hak untuk kepentingan bersama Negara-Negara Penanda Tangan. Maksud dan tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak dasar manusia, tanpa memandang kebangsaan, baik terhadap negara di mana dia menjadi warga negara maupun terhadap Negara-Negara Penanda Tangan lainnya. Dalam menyimpulkan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia ini, negara-negara dapat dikatakan telah menyerahkan diri mereka pada ketertiban hukum. Dengan begitu, untuk kebaikan bersama, mereka telah menyanggupi untuk melakukan berbagai kewajiban, bukan dalam hubungan ke negara lainnya, melainkan terhadap para individu di daerah kekuasaannya..."16 Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional memberikan hak pada pribadi atau kelompok pribadi yang menjadi korban dalam wilayah 16 Efek dari Persyaratan-Persyaratan Dalam Pemberlakuan Konvensi Amerika, Pengadilan Antar-Amerika, Pandangan Saran OC-2/82 tertanggal 24 September 1982, Pengadilan Antar-Amerika Mengenai Hak Asasi Manusia, Seri A, Penilaian dan Pandangan, No.2, paragraf 29. Juga lihat karya Alejandro Artucio, “Impunity of Perpetrators”, dalam Report of the Maastricht Seminar, halaman 190. 23 negara itu untuk mendapatkan remedi yang efektif dan reparasi yang adil, sesuai dengan hukum internasional. Di bawah hukum internasional, suatu negara yang telah melanggar kewajiban hukum akan diminta untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan memberikan reparasi, termasuk – disesuaikan dengan keadaan – restitusi dan kompensasi untuk kerugian dan penderitaan. 17 Sebagaimana dikemukakan pada paragraf-paragraf sebelumnya, pihak yang dirugikan, yang mendapat hak atas reparasi itu mungkin saja negara yang dirugikan langsung, atau kelompok negara – terutama dalam hal pelanggaran kewajiban erga omnes – dan/atau pribadi/perorangan atau kelompok-kelompok pribadi, yang kesemuanya itu merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Dalam konteks studi saat ini, pribadi atau kelompok yang dirugikan, dalam arti korban pelanggaran berat hak asasi manusia, telah menjadi pusat perhatian. Orang-orang tersebut mungkin warga negara dari negara pelanggar itu sendiri, warga negara dari negara-negara lainnya, atau tidak berkewarganegaraan. Dalam tinjauan norma-norma hak asasi manusia terkait, sebagaimana disebutkan dalam Bab 2 studi ini, acuan dibuat untuk mengekspresikan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia universal dan regional yang mengakui hak atas “remedi efektif” dari pengadilan nasional yang berwenang atas pelanggaran hak asasi manusia yang dialaminya. Komisi Hukum Internasional, dalam melanjutkan kerjanya pada topik tanggung jawab negara, telah menerima dari Komite Perancang sejumlah pasal yang diterima pada pembahasan pertamanya, yaitu dari Bagian Dua pasal-pasal rancangannya yang khusus berkaitan dengan studi saat ini.18 Pasal-pasal ini berkenaan dengan penghentian tindakan yang salah itu (pasal 6), remedi (pasal 6 bis), restitusi dan sejenisnya (pasal 7), kompensasi (pasal 8), pemuasan (pasal 10), dan kepastian serta jaminan tidak akan diulanginya perbuatan tersebut (pasal 10 bis). 19 Rancangan ini masih dalam pertimbangan awal Komisi Hukum Internasional dan dibuat terutama dalam perspektif hubungan antarnegara; dan oleh karena itu, tidak ditujukan untuk hubungan antarnegara 17 Lihat Restatemen Ketiga Undang-Undang tersebut, § 901 (Ganti-Rugi Dalam Pelanggaran Hukum Internasional). 18 Laporan Komisi Hukum Internasional mengenai pekerjaannya pada sidangnya yang ke-44 (A/47/10), alinea 12. 19 Lihat A/CN.4/L.472 24 dan pribadi. Diharapkan dalam penyusunan selanjutnya pekerjaan yang berkaitan dengan “tanggung jawab negara”, perhatian lebih banyak diberikan kepada aspek kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin hak asasi manusia. Namun demikian, pasal-pasal ini, meskipun dibuat dengan perspektif yang berlainan, mengandung elemen yang tepat untuk konteks studi saat ini. Beberapa elemen itu harus disoroti. Pertama, perlunya penghentian tindakan yang salah bila hal ini memiliki efek sinambung dan pemberian hak kepada pihak yang dirugikan untuk mendapat jaminan tidak akan diulanginya perbuatan itu (pasal 6 dan 10 bis). Kedua, reparasi penuh dapat berupa restitusi dalam segala bentuknya, kompensasi, pemuasan, dan pemberian keyakinan dan jaminan tidak akan diulanginya perbuatan itu. Juga ditetapkan bahwa negara yang telah melakukan tindakan pelanggaran tidak boleh menggunakan ketentuan-ketentuan hukum dalam negerinya untuk membenarkan ketidakmampuannya menyediakan reparasi secara penuh (pasal 6 bis). Ketiga, restitusi dalam bentuk memulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadinya tindakan pelanggaran (pasal 7), dan jika kerusakan tidak dapat diperbaiki dengan restitusi dalam segala bentuknya, maka diberikan kompensasi yang mencakupi semua kerugian ekonomi yang diderita oleh korban (pasal 8). Keempat, pemuasan atas kerugian, terutama kerugian moral, ditujukan untuk sedapat mungkin memberikan reparasi sepenuhnya. Reparasi itu bisa dilakukan dalam bentuk: (a) permintaan maaf, (b) penggantian kerugian nominal, (c) dalam hal pelanggaran berat terhadap hak, ganti kerugian itu harus mencerminkan beratnya pelanggaran, (d) jika ada perilaku yang sangat buruk atau tindak kejahatan, maka harus dilakukan tindakan disiplin atau penghukuman kepada yang bertanggung jawab (pasal 10). Badan-badan yudisial internasional seperti Komite Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asai Antar-Amerika – dengan mempertimbangkan keluhan-keluhan para korban pelanggaran hak asasi manusia yang diakui dan dijamin dalam berbagai bentuk perjanjian hak asasi manusia internasional – telah membuat serangkaian ketetapan hukum. Dalam ketetapan hukum tersebut mereka telah mendefinisikan tanggung jawab negara berupa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh negara pelanggar. Ketetapan hukum itu ditinjau lagi dalam Bab 3 studi ini dengan mengikuti pola yang digariskan dalam paragraf-paragraf terdahulu. Salah satu pengungkapan paling jelas dalam hal ini 25 dapat kita temukan dalam penilaian Pengadilan Antar-Amerika untuk kasus Velásquez Rodriguez, di mana Pengadilan menyatakan: “Negara mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk: mencegah pelanggaran hak asasi manusia; memanfaatkan sarana-sarana yang ada padanya untuk melakukan penyelidikan yang serius mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di wilayah kedaulatannya; menentukan siapa yang bertanggung jawab; memberikan hukuman yang selayaknya; dan memastikan bahwa korban mendapatkan kompensasi.”20 20 Judgement, Inter-American Court of Human Rights, Seri C, nomor 4 (1988), paragraf 174. Lebih jauh lihatlah karya Juan E. Méndez dan José Miguel Vivanco, “Disappearances and the Inter-American Court: reflections on a litigation experience”, dalam Hamline Law Review, vol. 13 (1990), halaman 507-577. 3 Pandangan Lembaga Hak Asasi Manusia Internasioanl Komite Hak Asasi Manusia Berdasarkan Protokol Opsional pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Komite Hak Asasi Manusia dapat menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari perorangan yang mengklaim telah menjadi korban dari suatu pelanggaran oleh Negara Pihak terhadap suatu hak yang ditetapkan dalam Kovenan. Keputusan-keputusan Komite Hak Asasi Manusia diacu sebagai “pandangan” dalam Pasal 5 ayat 4 Protokol Opsional. Setelah Komite membuat temuan mengenai suatu pelanggaran terhadap satu atau lebih ketentuan dari Kovenan, biasanya Komite langsung meminta kepada Negara Pihak tersebut untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk melakukan remedi (upaya perbaikan) terhadap pelanggaran itu. Dasar untuk remedi itu adalah Pasal 2 ayat 3 Kovenan. Menurut ketentuan tersebut setiap Negara Pihak berusaha untuk memastikan bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana diakui dalam Kovenan itu dilanggar harus mendapat remedi yang efektif. Ketentuan tentang kompensasi yang lebih spesifik terdapat dalam Pasal 9 ayat 5 Kovenan. Di situ ditetapkan bahwa setiap orang yang telah menjadi korban dari penangkapan atau penahanan secara melawan hukum akan mempunyai suatu hak atas kompensasi. Selain itu, berdasarkan Pasal 14 ayat 6 yang menetapkan tentang kompensasi, hak tersebut didapatkan ketika seseorang telah mengalami hukuman sebagai akibat penerapan keadilan yang salah. Dengan kesimpulan dari sidangnya ke-45 (Juli 1992), Komite Hak Asasi Manusia telah merumuskan pandangannya berdasarkan Pasal 5 ayat 4 Protokol Opsional berkenaan dengan komunikasi 138. 1 Sekalipun kasus hukum dari Komite Hak Asasi Manusia telah menangani 1 Laporan Komite Hak Asasi Manusia, Catatan Resmi dari Majelis Umum, Sidang ke-47, Suplemen No. 40 (A/47/40), paragraf 609. 27 sebagian besar ketentuan Kovenan, isu untuk memberikan remedi, termasuk kepada para korban pelanggaran terhadap Kovenan tampak paling menonjol berkenaan dengan: a. Hak untuk hidup (ps. 6 Kovenan); b. Hak untuk tidak dikenai penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau menurunkan martabat manusia (ps. 7); c. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (ps. 9), termasuk: i. Hak untuk tidak dikenai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (ps. 9); ii. Hak untuk diajukan dengan segera ke depan hakim dan diadili dalam suatu jangka waktu yang masuk akal (ps. 9[3]); iii. Hak seseorang untuk menentang penangkapan dan penahanan atas dirinya (atau remedi habeas corpus – hak untuk diperiksa di depan hakim) (ps. 9[4]); d. Hak untuk diperlakukan secara manusiawi selama dipenjarakan (ps. 10); e. Hak atas pemeriksaan yang adil (ps. 14), termasuk: i. Pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh suatu mahkamah yang kompeten, independen dan tidak memihak (ps. 14 [1]); ii. Jaminan minimum dalam penentuan suatu tuduhan kriminal, terutama hak untuk berkomunikasi dengan penasihat hukum (ps. 14[3][b]); iii. Hak atas bantuan hukum yang dipilihnya sendiri (ps. 14 [3][b] dan [d]); iv. Hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak beralasan (ps. 14 [3][c]); v. Hak atas diperiksanya para saksi (ps. 14 [3][e]); vi. Hak untuk tidak memberatkan diri sendiri (ps. 14 [3][g]); vii. Hak untuk meninjau keputusan bersalahnya seseorang beserta hukumannya (ps. 14[5]).2 Dalam kebanyakan komunikasi di mana Komite Hak Asasi Manusia bertindak berdasarkan Pasal 5 ayat 4 Protokol Opsional, Komite mendapati bahwa ternyata isi atau ketentuan dalam Kovenan 2 Ketentuan-ketentuan penting lainnya dari Kovenan yang merupakan subjek dari kasus hukum yang cukup menarik adalah, antara lain, hak untuk melakukan kegiatan politik (ps. 25), persamaan di depan hukum, prinsip non-diskriminasi (ps. 26) dan hak dari golongan minoritas (ps. 27). 28 telah dilanggar secara tidak tunggal. Artinya bahwa pelanggaran tersebut tidak hanya menyinggung salah satu dari ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, tetapi sejumlah di antaranya sekaligus. Bukanlah tujuan dari studi ini untuk menelaah substansi dari ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Bukan pula untuk meneliti kasus-kasus yang telah ditangani Komite Hak Asasi Manusia sejauh Komite tersebut telah menerapkan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan Kovenan. Studi ini dimaksudkan hanya untuk menemukan, apabila Komite berpendapat bahwa Kovenan telah dilanggar, bagaimana Komite menangani masalah pemulihan, termasuk kompensasi. Tanpa mengabaikan pandangan Komite berkenaan dengan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan lain dalam Kovenan, Pelapor Khusus berpendapat bahwa suatu seleksi dari komunikasi-komunikasi tersebut adalah paling diperlukan bagi tujuan sekarang ini. Fakta-fakta yang ada terutama mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 6 (hak untuk hidup) dan/atau Pasal 7 (hak untuk tidak dikenai siksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat). Sebagaimana pernah ditunjukkan Komite Hak Asasi Manusia, pelanggaran-pelanggaran ini mempunyai pemberatan khusus (kasus No. 194/1985 Jean Miango Miuyo vs. Zaire). Kasus-kasus berikut ini berkaitan dengan hak untuk hidup: a. Dalam kasus No. 30/1978 (Irene Bleier Lewenhoff dan Rosa Valino de Bleier vs. Uruguay) Komite berpendapat bahwa Pasal 7, 9 dan 10 (1) dari Kovenan telah dilanggar dan bahwa terdapat alasan-alasan serius untuk percaya bahwa pada akhirnya pelanggaran terhadap Pasal 6 telah dilakukan oleh para pejabat Uruguay. Berkenaan dengan hal yang tersebut belakangan Komite mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali posisisinya dalam kasus ini dan mengambil langkah-langkah efektif, (i) untuk menetapkan apa yang terjadi kepada Eduardo Bleier sejak Oktober 1975, untuk mengajukan ke pengadilan setiap orang yang terbukti bertanggung jawab atas kematiannya, hilangnya atau perlakuan buruk kepadanya, dan untuk membayar kompensasi kepadanya atau kepada keluarganya atas kerugian yang telah dideritanya; dan (ii) memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak berulang lagi di masa depan; 29 b. Dalam kasus No. 45/1979 (Pedro Pablo Camargo vs. Colombia) Komite berpendapat bahwa semua pelanggaran lain yang mungkin telah terjadi dalam kasus tersebut dimasukkan ke dalam pelanggaran yang lebih serius lagi terhadap Pasal 6. Dengan demikian Komite berpendapat bahwa Negara Pihak seyogianya mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memberi kompensasi kepada suami/istri dari orang yang terbunuh sebagai akibat dari tindakan polisi yang sembrono) dan untuk memastikan hak untuk hidup dilindungi dengan semestinya dengan melakukan amendemen terhadap undang-undang; c. Dalam kasus No. 84/1981 (Guilermo Ignacio Dermit Barbato dan Hugo Haroldo Dermit Barbato vs. Uruguay) Komite berpendapat bahwa, berkenaan dengan satu orang, Pasal 6 telah dilanggar sebab para pejabat gagal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk melindungi hidupnya selama dalam penahanan. Berkenaan dengan orang lain, Komite berpendapat bahwa fakta-fakta mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 9 (3) dan 14 (3)(c). Dengan demikian, Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah efektif: (i) untuk menetapkan fakta-fakta mengenai kematian itu, membawa ke pengadilan setiap orang yang terbukti bertanggung jawab atas kematian itu dan membayar kompensasi yang layak kepada keluarganya; (ii) berkenaan dengan orang lain, Negara Pihak seharusnya memastikan kepatuhan secara ketat terhadap semua jaminan prosedural yang diatur dalam Pasal 14, maupun hak dari orang-orang yang ditahan sebagaimana diatur dalam Pasal 7, 9 dan 10; (iii) mengirimkan satu salinan dari pendapat ini kepada orang yang bersangkutan; dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa depan; d. Dalam kasus No. 107/1981 (Elena Quinteros Almeida dan Maria del Carmen Almeida de Quinteros vs. Uruguay), Komite berpendapat bahwa ibu dari anak perempuan yang hilang itu hidup dalam suasana kesedihan mendalam dan ketegangan yang disebabkan oleh hilangnya anak perempuannya dan ketidak-pastian yang terus-menerus mengenai nasib dan keberadaannya. Ibu itu berhak untuk tahu apa yang terjadi dengan anak perempuannya. Dalam hal ini ibu tersebut juga merupakan seorang korban pelanggaran terhadap Kovenan yang diderita oleh anak perempuannya, terutama Pasal 7. Mengenai anak perempuan 30 tersebut, Komite menyimpulkan bahwa tanggung jawab atas hilangnya jatuh ke pihak para pejabat Uruguay dan bahwa, sebagai akibatnya, pemerintah harus mengambil langkah-langkah segera dan efektif: (i) untuk menetapkan apa yang terjadi dengan orang yang hilang tersebut sejak 18 Juni 1986, dan memastikan pembebasannya; (ii) untuk membawa ke depan pengadilan setiap orang yang terbukti bertanggung jawab atas hilangnya anak perempuan tersebut; (iii) untuk membayar kompensasi atas kesalahan yang diderita; dan (iv) memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak akan terulang lagi di masa depan; e. Dalam kasus No. 146/1983 dan 148-154/1983 (John Khemraadi Baboeram dkk. vs. Suriname) Komite berpendapat bahwa para korban diingkari secara sewenang-wenang hak mereka untuk hidup dengan melanggar Pasal 6. Komite mendesak Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah efektif, (i) untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan bulan Desember 1982; (ii) untuk membawa ke depan pengadilan setiap orang yang kedapatan bertanggung jawab atas kematian para korban; (iii) untuk membayar kompensasi kepada keluarga yang masih hidup; dan (iv) untuk memastikan bahwa hak untuk mendapat perlindungan yang semestinya di Suriname. f. Dalam kasus No. 161/1983 (Joaquin David Herrera Rubio vs. Colombia) Komite menyimpulkan bahwa Pasal 6 dari Kovenan telah dilanggar sebab Negara Pihak telah gagal mengambil tindakan yang semestinya untuk mencegah hilangnya dan kemudian pembunuhan terhadap kedua orang tua dari penulis komunikasi dan untuk menyelidiki secara efektif tanggung jawab atas pembunuhan mereka. Tambahan pula, Komite berpendapat bahwa, berkenaan dengan penulis komunikasi, Pasal 7 dan 10, ayat 1, telah dilanggar sebab ia telah dikenai siksaan dan perlakuan buruk selama ia ditahan. Dengan demikian Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Kovenan, untuk mengambil tindakan-tindakan efektif untuk memberi remedi terhadap pelanggaran yang telah diderita penulis dan selanjutnya untuk menyelidiki pelangaran tersebut, untuk mengambil tindakan terhadap masalah tersebut dengan semestinya dan untuk mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan; 31 g. Dalam kasus No. 194/1985 (Jean Miango Nuiyo vs. Zaire) Komite mendapati bahwa fakta-fakta mengungkapkan pelanggaran terhadap Pasal 6 dan 7 Kovenan. Komite mendesak Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah efektif (i) untuk menyelidiki keadaan mengenai kematian korban; (ii) untuk membawa ke depan pengadilan setiap orang yang ternyata bertanggung jawab atas kematiannya; dan (iii) untuk membayar kompensasi kepada keluarganya; h. Dalam kasus No. 181/1984 (A. dan H. Sanjuan Arevalo vs. Colombia) Komite mendapati bahwa hak untuk hidup yang diabadikan dalam Pasal 6 Kovenan dan hak atas kebebasan dan keamanan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 Kovenan ternyata belum mendapatkan perlindungan secara efektif oleh Negara Pihak yang bersangkutan. Komite menyatakan bahwa pihaknya akan menyambut baik informasi mengenai setiap tindakan relevan yang diambil oleh Negara Pihak berkenaan dengan pandangan Komite dan, secara khusus, mengundang Negara Pihak tersebut untuk memberi informasi kepada Komite mengenai perkembangan lebih lanjut dalam penyelidikan tentang hilangnya Sanjuan bersaudara; Kasus-kasus berikut ini berkaitan dengan hak untuk tidak dikenai siksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. a. Dalam kasus No. 63/1979 (Vileta Setelich vs.Uruguay) Komite Hak Asasi Manusia menemukan pelanggaran terhadap Pasal 7 dan 10 (1), 9 (3), 14 (3)(a – e) Kovenan. Komite berpendapat bahwa langkah-langkah Negara segera guna Pihak mempunyai memastikan kewajiban kepatuhan yang untuk ketat mengambil terhadap ketentuan-ketentuan Kovenan dan untuk memberikan tindakan efektif kepada korban, dan terutama untuk memberikan kepada korban (Raul Sendic) perlakuan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 dan 10 Kovenan untuk orang-orang yang ditahan. Selain itu, Negara Pihak juga berkewajiban untuk memberikan kepada korban (yang ditahan) sidang pengadilan baru dengan semua jaminan prosedural yang disebutkan dalam Pasal 14 32 Kovenan. Negara Pihak juga harus memastikan bahwa korban menerima dengan segera semua perawatan medis yang perlu. b. Dalam kasus No. 25/1978 (Carmen Amendola dan Graciela Baritussio vs. Uruguay) Komite menemukan, berkenaan dengan seorang korban, pelanggaran terhadap Pasal 7 dan 10 (1) dan Pasal 9 (1) Kovenan dan, berkenaan dengan korban lainnya, pelanggaran terhadap Pasal 9 (1) dan 9 (4). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk memberi remedi yang efektif kepada para korban, termasuk kompensasi, atas pelanggaran yang mereka diderita. Negara Pihak juga didesak untuk menyelidiki pernyataan mengenai siksaan yang dilakukan terhadap orang-orang dalam kasus itu. c. Dalam kasus No. 80/1980 (Elena Beatriz Vasilakis vs. Uruguay) Komite menemukan pelanggaran terhadap ketentuan Kovenan, yakni Pasal 7 dan 10 (1), dan Pasal 14 (1), 14 (3)(b) dan (d) dan 14 (3)(a)). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah segera (i) untuk memastikan dipatuhinya secara ketat ketentuan-ketentuan Kovenan dan untuk memberi perbaikan yang efektif kepada korban dan, secara khusus, untuk memperluasnya kepada orang-orang dalam Pasal 10 dari Kovenan; (ii) untuk memastikan bahwa ia menerima semua perawatan medis yang perlu; (iii) untuk menyampaikan satu salinan dari pandangan ini kepada korban; (iv) untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang. d. Dalam kasus No. 88/1981 (Gustavo Raul Larrosa Beguio vs. Uruguay) Komite menemukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Kovenan berkenaan dengan korban, terutama Pasal 7 dan 10 (1). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah segera (i) untuk memastikan kepatuhan secara ketat terhadap ketentuan-ketentuan Kovenan dan menyediakan perbaikan efektif kepada korban, terutama, untuk memberikan kepada korban perlakuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 untuk orang-orang yang ditahan; (ii) untuk memastikan bahwa ia menerima semua perawatan medis yang perlu; (iii) untuk menyampaikan satu salinan dari pandangan ini kepadanya; dan (iv) untuk mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang. 33 e. Dalam kasus No. 110/1981 (Antonio Vienna Acosta vs. Uruguay) Komite menyimpulkan bahwa ketentuan Kovenan Pasal 7 dan 10 (1), maupun Pasal 14 (3)(b) dan (d) dan 14 (3)(c) telah dilanggar. Komite berpendapat bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk memberikan kepada korban remedi efektif dan, terutama, kompensasi atas luka-luka dan penderitaan fisik dan mental yang ditimbulkan kepada korban oleh perlakuan tidak manusiawi yang dikenakan kepadanya. f. Dalam kasus No. 124/1982 (Tahitenge Nuteba vs. Zaire) Komite menemukan pelanggaran terhadap Pasal 7 dan 10 (1) dan terhadap Pasal 9 (3), 9 (4), 14 (3)(b), (c) dan (d) dan 19. Komite berpendapat bahwa Negara Pihak itu berkewajiban untuk memberikan kepada korban remedi yang efektif, termasuk kompensasi, atas pelanggaran-pelanggaran yang dideritanya, untuk melakukan penyelidikan mengenai keadaan penyiksaan yang dialaminya, untuk menghukum orang-orang yang ternyata bersalah atas penyiksaan itu dan mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang. g. Dalam kasus No. 176/1984 (Walter Lafuente Pefiarrieta dkk. vs. Bolivia) Komite menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap Kovenan telah terjadi berkenaan dengan Pasal 7 dan Pasal 9 (9) dan 10 (1) serta Pasal 14 (3)(b). Komite berpendapat bahwa Negara Pihak itu berkewajiban, sesuai dengan ketentuan Pasal 2, untuk mengambil tindakan efektif untuk meremedi pelanggaran yang diderita oleh para korban, untuk memberi kompensasi kepada mereka, untuk menyelidiki pelanggaran, untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran itu dengan semestinya,dan mengambil langkah-langkah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa depan. Tinjauan di atas terhadap kasus hukum dari Komite Hak Asasi Manusia, yang menyangkut tindakan-tindakan, terutama, dari Pasal 6 dan 7 Kovenan, mengungkapkan bahwa ada suatu kaitan definitif antara pemberian remedi efektif yang menjadi hak (para) korban, remedi yang ditujukan untuk mencegah berulangnya pelanggaran serupa dan isu tindak lanjut yang ditempuh 34 oleh Negara Pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pemberian remedi yang diserukan dalam pandangan Komite. Adalah berguna untuk memberi perhatian lebih lanjut lagi kepada tiga unsur tersebut. Berkenaan dengan kewajiban Negara Pihak untuk memastikan bahwa orang-orang yang hak dan kebebasannya dilanggar mendapat pemulihan yang efektif (Pasal 2 ayat 3), maka Komite menyatakan pandangannya bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil tindakan efektif untuk memperbaiki akibat-akibat pelanggaran. Di samping itu, Komite juga telah mengemukakan jenis-jenis khusus remedi yang diserukan, tergantung pada sifat pelanggaran dan kondisi (para) korban. Akibatnya, Komite Hak Asasi Manusia berkali-kali menyatakan pandangan bahwa Negara Pihak mempunyai suatu kewajiban: a. Untuk menyelidiki fakta-fakta; b. Untuk mengambil tindakan terhadap pelanggaran itu dengan semestinya; c. Untuk membawa ke depan pengadilan orang-orang yang terbukti bertanggung jawab; d. Untuk memberikan perlakuan kepada (para) korban sesuai dengan ketentuan dan jaminan sebagaimana termaktub dalam Kovenan; e. Untuk memberikan perawatan medis kepada (para) korban; f. Untuk membayar kompensasi kepada (para) korban atau keluarganya. Berkenaan dengan kewajiban untuk membayar kompensasi, Komite Hak Asasi Manusia telah menggunakan berbagai perumusan: a. Kompensasi kepada korban (orang hilang) atau keluarganya atas setiap kerugian yang dideritanya (No. 30/1978); b. Kompensasi kepada suami atas kematian istrinya (No. 45/1979); c. Kompensasi yang layak kepada keluarga dari orang yang terbunuh (No. 84/1981); d. Kompensasi atas penderitaan korban yang salah (No. 107/1981); 35 e. Kompensasi atas kerugian dan penderitaan fisik dan mental yang ditimbulkan kepada korban oleh perlakuan tidak manusiawi yang dikenakan kepadanya (No. 110/1981); f. Kompensasi kepada keluarga yang selamat (No. 146/1983 dan 148-154/1983). Dalam hubungan ini, dua pengamatan harus dilakukan. Pertama, dapat dianggap bahwa dalam pandangan Komite dasar untuk menentukan jumlah atau sifat dari kompensasi bukan hanya soal cedera atau kerugian fisik semata, melainkan juga cedera atau kerugian mental. Kedua, tidak jelas sepenuhnya apakah Komite mengakui, dalam kasus kematian atau hilangnya seseorang, bahwa para anggota keluarga dengan sendirinya berhak atas kompensasi karena penderitaan dan kesedihan yang mereka alami sendiri, atau bahwa para anggota keluarga berhak untuk mendapatkan kompensasi atas cedera yang ditimbulkan pada korban langsung. Setidak-tidaknya dalam satu kasus (No. 107/1981) Komite memutuskan bahwa ibu dari orang yang hilang itu sendiri juga merupakan seorang korban. “Komite memahami kesedihan dan ketegangan yang ditimbulkan pada sang ibu atas kehilangan anak perempuannya dan dengan ketidak-pastian terus-menerus mengenai nasib dan keberadaan anak perempuannya. Penulis komunikasi berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dengan anak perempuannya. Dalam hal ini, ia juga seorang korban pelanggaran terhadap ketentuan Kovenan yang diderita oleh anak perempuannya, terutama terhadap Pasal 7”. (paragraf 14). Komite mendesak agar kompensasi dibayarkan atas kesalahan yang diderita, yang diperkirakan atas kesalahan yang diderita oleh anak perempuan yang hilang itu maupun oleh ibunya. Aspek preventif remedi senantiasa digaris-bawahi oleh Komite Hak Asasi Manusia dalam seruannya yang sering dikeluarkan kepada Negara Pihak “untuk mengambil langkah-langkah guna memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa datang”. Demikian pula, Komite berkali-kali telah menyatakan pandangan bahwa Negara Pihak berkewajiban untuk mengambil langkah segera guna memastikan kepatuhan yang ketat terhadap ketentuan-ketentuan Kovenan. Lebih khusus lagi berkenaan dengan hak untuk hidup, Komite mendesak, dengan jalan tindakan preventif, hendaknya Negara Pihak yang bersangkutan memastikan perlindungan yang semestinya terhadap hak itu dengan melakukan amendemen terhadap undang-undangnya (No. 45/1979). 36 Setelah menyatakan pandangannya berdasarkan Protokol Opsional terhadap Kovenan, Komite Hak Asasi Manusia dalam banyak kasus tetap tidak mengetahui apakah Negara Pihak dalam kenyataan mematuhi pandangan tersebut. Sering kali Komite menerima informasi atau mempunyai alasan untuk beranggapan bahwa Negara Pihak tidak memberikan remedi yang memadai sebagaimana diminta oleh Komite. Komite telah mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengatasi keadaan yang tidak memuaskan ini. Satu Negara Pihak tertentu yang mula-mula mengabaikan pandangan Komite diminta berulang-ulang oleh Komite untuk menyampaikan satu salinan dari pandangannya kepada (para) korban yang bersangkutan. Lebih belakangan ini, Komite telah berusaha untuk mengembangkan suatu dialog dengan Negara Pihak yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mendorong pelaksanaan dari tindakan-tindakan pemulihan. Misalnya, Komite menyatakan dalam suatu kasus tertentu (No. 181/1984) bahwa pihaknya akan menyambut baik informasi mengenai setiap tindakan terkait yang diperkenalkan oleh Negara Pihak berkaitan dengan pandangan-pandangan Komite dan, secara khusus, mengundang Negara Pihak tersebut untuk memberi informasi kepada Komite mengenai perkembangan lebih lanjut dalam penyelidikan mengenai hilangnya para korban. Agar dapat mengikuti secara lebih sistematik ada-atau-tidaknya perkembangan berkenaan dengan pelaksanaan tindakan-tindakan perbaikan setelah Komite mengeluarkan pandangannya, maka Komite memutuskan pada tanggal 24 Juli 1990 untuk menunjuk seorang Pelapor Khusus; penunjukkannya dimaksudkan untuk menindak-lanjuti pandangan-pandangan tersebut.3 Salah satu tugas dari Pelapor Khusus adalah memberi rekomendasi kepada tindakan Komite terhadap semua surat pengaduan yang diterima dari individu-individu yang dianggap – dalam pandangan Komite berdasarkan Protokol Opsional – merupakan para korban pelanggaran, dan yang menyatakan bahwa tidak ada remedi yang memadai yang telah diberikan. Isu pemantauan tindak lanjut ini penting sekali terutama demi memberikan keadilan pemulihan kepada para korban dan untuk menegakkan martabat dari suatu badan hak asasi manusia yang penting seperti misalnya Komite Hak Asasi Manusia. Isu itu juga menjadi penting karena ia merupakan unsur penting untuk diingat dalam kerangka yang lebih luas dari studi mengenai hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi untuk para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. 3 Laporan Komite Hak Asasi Manusia, Official Records of the General Assembly, Sidang ke-45, Suplemen No. 40 (A/45/40), Vol. II, lamp. XI. 37 Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial Berdasarkan Pasal 14 dari Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD = International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), baik orang perorangan atau kelompok orang yang mengklaim bahwa sebagian dari haknya yang diuraikan dalam Konvensi telah dilanggar oleh suatu Negara Pihak, dan yang telah menempuh semua upaya perbaikan domestik yang tersedia namun tanpa hasil, dapat mengajukan komunikasi tertulis kepada Komite tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial untuk memperoleh pertimbangan. Sampai 1 Januari 1993, di antara 132 Negara yang telah meratifikasi atau menyetujui Konvensi hanya 16 Negara yang menyatakan bahwa mereka mengakui kompetensi Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi berdasarkan Pasal 14 Konvensi. Komite baru menangani beberapa komunikasi saja. Yang relevan dari sudut pandang pemberian bantuan remedi adalah kasus No. 1/1984 (Yilmaz-Dogan vs. Belanda), di mana Komite, yang bertindak berdasarkan Pasal 14 ayat 7 Konvensi, menyimpulkan bahwa pengaju petisi tidak diberi perlindungan berkenaan dengan kesetaraan di depan hukum mengenai haknya untuk bekerja (Pasal 5[a][1] Konvensi). Komite menyarankan agar Negara Pihak memperhitungkan hal ini dan merekomendasikan agar Negara Pihak memastikan apakah pengaju petisi sementara ini telah mendapat pekerjaan penuh dan, kalau tidak, agar Negara menggunakan jasa baiknya untuk menjamin lapangan kerja alternatif baginya dan/atau memberinya bantuan lain yang dapat dianggap adil. Dalam kasus yang lebih baru, No. 4/1991 (L. Karim vs. Belanda) Komite menemukan bahwa mengingat tanggapan yang kurang memadai di pihak para pejabat Belanda terhadap peristiwa-peristiwa rasial di mana pengaju petisi adalah seorang korbannya, polisi dan sidang pengadilan tidak memberikan kepada pengaju petisi perlindungan efektif dan remedi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Konvensi tersebut. Salah satu rekomendasi Komite adalah agar Negara Pihak memberikan kepada pengaju petisi bantuan yang sepadan dengan kerugian moral yang telah dideritanya. 38 Komite Menentang Penyiksaan Berdasarkan Pasal 22 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT = Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), perorangan yang mengklaim bahwa sebagian dari haknya yang diuraikan dalam Konvensi telah dilanggar oleh suatu Negara Pihak dan yang telah menempuh semua upaya perbaikan domestik yang tersedia namun tidak berhasil, dapat mengajukan komunikasi tertulis kepada Komite Menentang Penyiksaan untuk mendapatkan pertimbangannya. Sampai 1 Januari 1993, 28 dari 70 Negara Pihak telah menyatakan bahwa mereka mengakui kompetensi Komite untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi berdasarkan Pasal 22 Konvensi. Dalam kasus No. 1/1988, 2/1988, 3/1988 (O.R., H.M. dan M.S. vs. Argentina) para pengaju petisi, keluarga dari tiga korban yang meninggal karena penyiksaan, menentang pemberlakuan "Undang-Undang Ketaatan Sebagai Haknya" dan "Titik Akhir" karena tidak sejalan dengan kewajiban Negara Pihak berdasarkan Konvensi. Komite menyatakan bahwa komunikasi-komunikasi itu ratione temporis tidak dapat diterima sejauh bahwa Konvensi tidak dapat diterapkan secara retroaktif. Tetapi dalam suatu obiter dictum luar biasa yang paling relevan dengan pokok masalah dari studi ini, Komite mengamati bahwa hukum yang bersangkutan bertentangan dengan semangat dan tujuan Konvensi. Komite mendesak Negara Pihak untuk tidak membiarkan para korban penyiksaan dan orang-orang yang menjadi tanggungannya tanpa suatu remedi. Komite merasa bahwa kalau tuntutan perdata untuk memperoleh kompensasi tidak mungkin lagi karena batas waktu untuk mengajukan perkara tersebut telah habis, Komite akan menyambut baik, dalam semangat Pasal 14 Konvensi (yang menangani hak yang dapat diterapkan untuk memperoleh kompensasi yang adil dan memadai), diambilnya tindakan-tindakan yang tepat untuk memungkinkan kompensasi yang memadai. Komite mengindikasikan bahwa pihaknya akan menyambut baik penerimaan dari Negara Pihak informasi rinci mengenai jumlah klaim yang berhasil untuk kompensasi bagi para korban tindak penyiksaan selama berlangsungnya "perang kotor" atau untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, termasuk kriteria untuk dapat 39 menerima kompensasi tersebut. Segera setelah merumuskan pandangan-pandangannya, Komite menerima suatu jawaban yang sesungguhnya dari Pemerintah Argentina.4 Dua aspek harus disoroti berkenaan dengan kasus-kasus tersebut di atas. Pertama, sekalipun ada kenyataan bahwa Komite Menentang Penyiksaan menyatakan bahwa komunikasi-komunikasi itu ratione temporis tidak dapat diterima, namun Komite ini – yang sangat menaruh perhatian terhadap prinsip-prinsip penting yang terlibat dalam kasus-kasus tersebut – memilih untuk membuat diketahuinya pandangan-pandangannya yang kuat tentang substansi komunikasi dan untuk menimbulkan kesan kepada Pemerintah yang bersangkutan soal perlunya mengambil tindakan perbaikan, termasuk disediakannya kompensasi yang memadai. Kedua, mengikuti kebijakan dan praktek dari Komite Hak Asasi Manusia, Komite Menentang Penyiksaan menyediakan diri untuk mengadakan dialog dengan Pemerintah yang bersangkutan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan remedi dan pemulihan untuk para korban dan keluarga mereka. Komite untuk Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Komite ini dibentuk berdasarkan Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW = Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) dengan tujuan untuk mempertimbangkan kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Konvensi (Pasal 17). Komite belum mengembangkan hukum yang berkaitan dengan keputusan terhadap kasus-kasus terdahulu karena Komite belum mempunyai kewenangan untuk menerima dan memeriksa komunikasi yang menyatakan terjadinya pelanggaran terhadap Konvensi. Tetapi, Komite telah mengesahkan sejumlah besar rekomendasi umum sesuai dengan Pasal 21 Konvensi. Satu naskah penting adalah Rekomendasi Umum No. 19 tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang disahkan oleh Komite pada sidangnya ke-11 tahun 1992. 5 Haruslah diingat kembali bahwa Komisi untuk Status Perempuan telah mengesahkan suatu rancangan deklarasi 4 Laporan Komite Menentang Penyiksaan, Official Records of the General Assembly, Sidang ke-45, Suplemen No. 44 (A/45/44), lamp. VI. 5 HRI/GEN/1, Bagian III, Rekomendasi Umum No. 19. 40 tentang pokok masalah yang sama. Rekomendasi Umum No. 19 berisi suatu pernyataan penting tentang tanggung jawab Negara: "Berdasarkan hukum internasional umum dan kovenan khusus untuk masalah hak asasi manusia, Negara juga dapat bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi kalau mereka gagal untuk bertindak dengan semestinya untuk mencegah pelanggaran terhadap hak-hak atau untuk menyelidiki dan menghukum tindak kekerasan, dan untuk menyediakan kompensasi".6 Rekomendasi Umum No. 19 merupakan suatu tinjauan terinci dan mendalam mengenai isu kekerasan terhadap perempuan yang mengandung komentar umum, yakni komentar tentang Pasal khusus mengenai Konvensi dan rekomendasi-rekomendasi khusus. Untuk keperluan studi ini rekomendasi-rekomendasi khusus itu sangat relevan, terutama yang bekenaan dengan tindakan-tindakan protektif dan preventif, kompensasi dan rehabilitasi. Rekomendasi-rekomendasi khusus, antara lain, memberikan: a. Pelayanan protektif dan dukungan yang layak bagi para korban (paragraf 24 [b]); b. Tindakan preventif dan rehabilitasi (paragraf 24 [h]); c. Prosedur pengaduan dan upaya perbaikan yang efektif, termasuk kompensasi (paragraf 24 [1]); d. Rehabilitasi dan konseling/pemberian nasihat (paragraf 24 [k]); e. Terjangkaunya pelayanan bagi korban yang hidup di daerah-daerah terpencil (paragraf 24 [o]); f. Pelayanan untuk memastikan keselamatan dan keamanan para korban dan program rehabilitasi (paragraf 24 [r]); g. Tindakan hukum efektif, termasuk ketentuan-ketentuan tentang kompensasi, tindakan preventif, tindakan protekif (paragraf 24 [t]). Komisi Penyelidik yang Dibentuk Berdasarkan Konstitusi ILO 6 Lihat juga Bab 2 (bagian “Tanggung Jawab Negara”) dari studi ini, khususnya paragraf 41. 41 Komisi Penyelidik dibentuk berdasarkan Pasal 26 ayat 4 Konstitusi ILO (International Labour Organisation = Organisasi Buruh Internasional). Awal pembentukannya terutama dikaitkan dengan upaya untuk memeriksa pengaduan berkenaan dengan kepatuhan Rumania terhadap ketentuan Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Jabatan), 1958 (No. 111), termasuk suatu bab khusus mengenai "Reparasi". Berdasarkan itu, laporan ini dan terutama bab khusus tentang ketentuan reparasi (pemulihan) tersebut sangat relevan dengan studi sekarang ini; dan oleh karena itu akan ditinjau secara lebih terinci.7 Sebelum memasuki persoalan reparasi, ada yang penting untuk digarisbawahi: kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah terhadap perjanjian (dalam hal ini: konvensi ILO) yang dapat juga berarti, sesuai dengan kasusnya, pemberian remedi dan reparasi.8 Dalam hubungan ini, Komisi Penyelidik mengacu kepada makna dan ruang-lingkup kewajiban yang dinyatakan dalam Pasal 19, ayat 5 (d) Konstitusi ILO, di mana berdasarkan ketentuan-ketentuannya para anggota yang meratifikasi suatu Konvensi "akan mengambil tindakan yang mungkin perlu untuk mengefektifkan ketentuan Konvensi tersebut". Komisi Penyelidik menganggap bahwa perundang-undangan yang sesuai dengan persyaratan Konvensi No. 111 harus diberlakukan sepenuhnya dan secara ketat, yang "mengandung arti adanya pelayanan pemberlakuan hukum administratif yang efektif dan, secara khusus, adanya tindakan-tindakan yang memungkinkan inspeksi menyeluruh oleh para pejabat yang dapat bertindak dengan kemandirian sepenuhnya. Hal itu juga berarti bahwa ketentuan-ketentuan dari perundang-undangan tersebut dijadikan perhatian oleh semua orang yang bersangkutan", dan "bahwa prosedur keluhan yang efektif harus menjamin hak untuk mengajukan keluhan mengenai pelanggaran hukum, dalam kondisi yang independen dan tidak memihak, tanpa harus mengalami rasa takut terhadap pembalasan dari hal apa pun". 9 Komisi Penyelidik menambahkan secara berarti bahwa di mana "kondisi tersebut tidak dipatuhi sepenuhnya, suatu Pemerintah tidak dapat mengelakkan tanggung jawab atas perbuatan (actions/comission) atau tidak melakukan 7 Laporan mengenai Komisi Penyelidik, Kantor Perburuhan Internasional, Official Bulletin, Vol. LXXIV, 1991, Seri B, Suplemen, paragraf 471-506. 8 Lihat lebih lanjut Loie Picard, "Normes internationales du travail et droit à réparation", Report of the Maastricht Seminar, hlm. 47-60. 9 Laporan dari Komisi Penyelidik, paragraf 576. 42 perbuatan (omission) di pihak para pejabatnya, atau atas perilaku para majikan atau bahkan perilaku pribadi-pribadi swasta".10 Bentuk-Bentuk Reparasi (Pemulihan) Komisi Penyelidik meninjau berbagai tindakan reparasi yang dilakukan oleh Pemerintah Rumania sejauh bahwa tindakan tersebut dirancang untuk memperbaiki akibat-akibat dari praktek diskriminatif di bidang-bidang yang dicakup oleh Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Jabatan). Tindakan ini mencakup: amnesti, pembentukan komite ad hoc untuk menyelesaikan kasus dari orang-orang yang menyatakan telah dikenai tindakan salah, pengesahan peraturan-peraturan yang dirancang untuk menghilangkan tindakan-tindakan diskriminatif, memeriksa kembali keputusan tertentu, dan kompensasi yang diputuskan oleh mahkamah. Tindakan amnesti yang diberikan oleh Dekrit Legislatif No. 3 tertanggal 4 Januari 1990 mencakup pelanggaran politik di bawah rezim terdahulu, terutama tindakan-tindakan dalam hubungan dengan ungkapan oposisi terhadap kediktatoran dan kultus individu, terorisme dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang memegang kekuasaan politik. Tindakan amnesti itu juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dalam hubungan dengan penghormatan kepada hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dengan tuntutan untuk hak-hak sipil dan politik, sosial dan budaya, dan penghapusan praktek-praktek diskriminatif. Suatu tindakan perbaikan lain adalah diciptakannya pada bulan Februari 1990 suatu komite khusus "untuk menyelidiki penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dasar dan untuk merehabilitasi korban kediktatoran". Selama tiga bulan persidangannya, komite khusus ini menerima lebih dari 18.000 klaim untuk perbaikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah terdahulu. Komite memeriksa dan menyelesaikan antara 4.000 dan 5.000 kasus. Komisi Penyelidik melaporkan bahwa menurut seorang saksi, "tidaklah mungkin bagi Komite untuk melaksanakan persidangannya secara efektif, terutama disebabkan oleh kurangnya personil dan jumlah kasus yang luar biasa banyaknya". Acuan juga 10 Ibid., paragraf 578. 43 dilakukan "kepada kurangnya kerja sama tertentu di pihak orang-orang yang tugasnya adalah membantu memecahkan kasus-kasus itu".11 Tindakan pemulihan ketiga diawali dengan disahkannya suatu Dekrit Legislatif pada tanggal 30 Maret 1990 untuk memberikan hak kepada orang-orang yang dituntut karena alasan-alasan politik di bawah rezim kediktatoran yang dibentuk pada tanggal 6 Maret 1945. Orang-orang yang dicakup dalam dekrit ini dan berhak untuk menarik manfaat dari ketentuan-ketentuannya adalah orang-orang yang dipekerjakan atau yang sudah pensiun yang dituduh telah melakukan pelanggaran politik dan yang telah menderita dari satu di antara enam keadaan berikut ini: a. Dicabutnya kebebasan, yang diumumkan atas dasar keputusan final dari pengadilan atau atas dasar suatu perintah penahanan dengan tuduhan melakukan pelanggaran yang bersifat politis; b. Dicabutnya kebebasan sebagai akibat tindakan administratif atau untuk melayani kebutuhan suatu penyelidikan dengan kekuatan represi; c. Pengasingan psikiatrik; d. Penahanan rumah; e. Pemindahan paksa dari satu tempat ke tempat lain; f. Ketidak-mampuan derajat pertama atau kedua yang timbul selama atau mengikuti salah satu dari lima situasi di atas, dan menghalangi orang tersebut untuk mencari pekerjaan. Perbaikan yang disediakan berdasarkan Dekrit Legislatif terdiri dari tiga jenis: diperhitungkannya jangka waktu penganiayaan atau akibat-akibatnya dalam perhitungan senioritas lapangan kerja; ganti rugi finansial yang proporsional dengan lamanya penganiayaan; dan perolehan hak berkenaan dengan perawatan medis dan akomodasi perumahan. Instrumen yang dibangun untuk pelaksanaan Dekrit Legislatif terdiri dari komite-komite yang dibentuk di tingkat kabupaten dan tersusun dari para pejabat pemerintah dan wakil partai-partai yang bersangkutan, termasuk Perhimpunan Bekas Tahanan Politik dan Para Korban Kediktatoran. Suatu komite nasional bertanggung jawab atas pertalian dari seluruh prosedur. Komisi Penyelidik melaporkan bahwa menurut informasi yang diterima dari Pemerintah Rumania, pada 11 Ibid., paragraf 476. 44 bulan Agustus 1990 sekitar 9.300 klaim reparasi telah terdaftar, di antaranya 5.400 klaim telah diselesaikan.12 Tindakan perbaikan lain berkenaan dengan penghapusan ketidak-adilan tertentu dalam pendidikan tinggi, yang diwarisi dari kurun waktu kediktatoran. Para mahasiswa yang sebelumnya ditolak masuk dalam pendidikan tinggi karena alasan politik atau agama dimasukkan kembali ke dalam universitas-universitas mereka. Juga, para guru yang sebelumnya mengalami penganiayaan karena alasan politik atau keagamaan telah dipulihkan kedudukan mereka dan memperoleh hak mereka secara penuh. Tetapi, Komisi Penyelidik tidak berhasil mengumpulkan informasi terinci mengenai jumlah maha siswa dan guru yang dipulihkan haknya untuk menempuh suatu pendidikan, tanpa diskriminasi berdasarkan pandangan politik atau agama yang dianutnya.13 Komisi Penyelidik juga memeriksa tindakan-tindakan yang diambil demi kepentingan golongan-golongan minoritas nasional. Sesuai dengan seksi 16 dari Undang-Undang No. 18 tertanggal 19 Februari 1991 mengenai kepemilikan tanah, "warga negara Rumania yang termasuk minoritas Jerman, yang telah dideportasikan atau dipindahkan atau dirampas tanahnya oleh peraturan yang berlaku setelah tahun 1944", kalau mereka mengajukan permintaan, akan diberi prioritas dalam pengalokasian tanah atau menerima sejumlah saham yang proporsional dengan nilai tanah yang menjadi hak mereka. Akhirnya, Komisi Penyelidik memeriksa sejumlah kasus khusus yang diajukan kepadanya. Komisi menerima informasi terinci "mengenai situasi kaum buruh di Brasov yang, pada bulan November 1987 telah berdemonstrasi menentang Pemerintah yang berkuasa". Mahkamah Distrik Brasov pada bulan Desember 1987 menjatuhkan hukuman kepada "61 orang buruh atas kebiadaban yang mereka lakukan terhadap kesusilaan dan gangguan kepada kedamaian umum (hooliganisme)". Sebagian besar buruh yang dinyatakan bersalah "telah dipindahkan secara paksa ke daerah-daerah lain, ke bidang pekerjaan yang lebih berat dan dengan upah yang lebih rendah. Selanjutnya para buruh ini menyatakan bahwa mereka mendapat perlakuan buruk selama penangkapan dan penahanan mereka" dan mereka khawatir bahwa "mereka telah terkena radiasi selama penahanan mereka setelah diekspos dengan benda-benda radioaktif". Pada tanggal 23 Februari 1990, Mahkamah Pengadilan Agung telah mengubah keputusan hukuman dari 12 Ibid., paragraf 496. 13 Ibid., paragraf 497-498. 45 Mahkamah Distrik Brasov, dan orang-orang yang terpidana tersebut akhirnya dibebaskan. Tetapi, orang-orang yang dibebaskan itu tetap merasa bahwa keputusan tersebut tidak cukup memberikan keadilan kepada kasus mereka. Lewat "Perhimpunan 15 November 1987" suatu permintaan telah diajukan kepada para pejabat untuk membayar kerugian finansial yang diderita para korban sebagai akibat mereka dinyatakan bersalah dan akibat pemindahan mereka. Sebagai jawaban, Kementerian Perburuhan memberikan kompensasi kepada para korban berdasarkan perhitungan terinci.14 Rekomendasi Oleh Komisi Penyelidik Komisi Penyelidik memasukkan ke dalam laporannya serangkaian rekomendasi yang dihimpun dalam dua kategori: "dasar pemikiran terpenting" untuk memperoleh ketaatan penuh terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Diskriminasi (Lapangan Kerja dan Jabatan), 1958 (No. 111), dan tindakan-tindakan yang harus diambil berdasarkan dasar pikiran ini. Di antara dasar pikiran terpenting tersebut isu-isu fundamental disebut sebagai memperkuat penegakan hukum; pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif; badan peradilan independen; akses yang setara untuk memperoleh keadilan; jaminan konstitusional terhadap hak-hak yang diakui untuk semua orang oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan-Kovenan Internasional; kebebasan untuk berkumpul dan hak untuk melakukan tawar-menawar secara kolektif; struktur permanen untuk dialog antara manajemen dan serikat buruh; dan – yang terutama relevan dengan perspektif studi ini – "bahwa suatu badan kompeten diberi kepercayaan dengan tugas untuk menerima dan menyelesaikan kira-kira 14.000 keluhan yang masih tertunda setelah pembubaran Komisi dari Dewan Sementara untuk Persatuan Nasional untuk menyelidiki penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia fundamental dan untuk merehabilitasi para korban kediktatoran".15 Kategori lain dari rekomendasi mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan untuk: mengakhiri pengaruh dari tindakan-tindakan diskriminatif dalam lapangan kerja dan mengembalikan kepada orang-orang yang bersangkutan kesempatan dan perlakuan sama yang 14 Ibid., paragraf 504. 15 Ibid., paragraf 616. 46 telah ditunda atau diubah; menjamin suatu tindak-lanjut yang efisien dan tidak memihak terhadap permintaan untuk pemeriksaan medis yang diajukan oleh orang-orang yang melakukan pemogokan tanggal 5 Nopember 1987 di Brasov dan yang telah direhabilitasi oleh pengadilan;mempekerjakan kembali para buruh itu yang – berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perburuhan tentang orang-orang yang dipenjarakan selama lebih dari dua bulan – kehilangan pekerjaan mereka sebagai akibat ditahan karena ikut dalam demonstrasi bulan Juni 1990 dan tidak dilepaskan setelah lebih dari dua bulan, sekalipun tidak ada bukti; membantu para warga yang ingin membangun kembali rumah mereka yang telah hancur sebagai akibat kebijakan sistematisasi yang ditempuh oleh rezim sebelumnya; memberi informasi kepada badan-badan pengawas dari Organisasi Perburuhan Internasional mengenai hasil-hasil yang dicapai berkenaan dengan remedi atas diskriminasi yang diderita oleh para anggota golongan minoritas nasional atau oleh orang-orang yang dianiaya karena alasan politik.16 Beberapa Komentar Bab mengenai reparasi dari laporan Komisi Penyelidik bersifat sangat instruktif dan berguna untuk tujuan studi ini. Pertama, bab itu menekankan arti penting dari persyaratan dan kondisi prosedural, seperti misalnya pemberitahuan kepada semua orang yang bersangkutan, keberadaan prosedur pengaduan yang efektif, dan kondisi-kondisi tidak memihak dan independen. Kedua, bab itu menyoroti dan merekomendasikan berbagai sarana remedi dan reparasi (diacu dalam Bab 3 buku ini bagian “Rekomendasi Oleh Komisi Penyelidik”) yang dirancang untuk memenuhi persyaratan keadilan dan untuk memenuhi kebutuhan khusus dan beraneka ragam dari para korban. Ketiga, bab itu menghasilkan bahwa hak atas reparasi harus didesakkan apabila diskriminasi sistematik telah diterapkan tidak hanya di bidang hak-hak sipil dan politik tetapi juga di bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa 16 Ibid., paragraf 617. 47 Berdasarkan Pasal 50 Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, maka Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa – ketika menemukan bahwa pelanggaran terhadap Konvensi oleh suatu Negara penanda tangan telah terjadi – dapat memberikan keadilan yang memadai kepada korban ("pihak yang menderita"), asalkan akibat-akibat pelanggaran itu memang tidak dapat sepenuhnya diperbaiki menurut hukum nasional negara yang bersangkutan. Di samping itu, dalam arti yang lebih khusus, Pasal 5 ayat 5 Konvensi Eropa menetapkan bahwa setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Pasal yang sama harus memperoleh hak atas kompensasi yang bisa diberlakukan. Mahkamah Eropa memberikan "kepuasan yang adil" (ps. 50 Konvensi) yang bersifat finansial dalam lebih dari 100 kasus. Jumlah yang diberikan sangat berbeda-beda dan merupakan kompensasi atas kerusakan (berupa uang atau bukan uang) dan/atau penggantian biaya dan pengeluaran (terutama biaya untuk pengacara). Mahkamah belum pernah diminta untuk mengambil keputusan tentang suatu kasus yang menyangkut pelanggaran "berat" terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Akibatnya, untuk keperluan studi ini tidak ada analisis terinci mengenai kasus hukum yang berhubungan dengan Pasal 50 Konvensi Eropa yang digunakan itu. Tetapi, mungkin berguna untuk memberi beberapa petunjuk berkenaan dengan penafsiran dari Pasal 50. Dalam hal ini, acuan khusus akan dilakukan kepada salah satu keputusan terdahulu dari Makhamah Eropa berkaitan dengan masalah penerapan Pasal 50, yaitu keputusan tertanggal 10 Maret 1972 dalam kasus De Wilde, Ooms dan Versijp (yang dikenal dengan: Kasus "Vagrancy" – Gelandangan).17 Dalam Kasus "Vagrancy" itu, Pemerintah Belgia mengajukan argumentasi bahwa permintaan para pemohon untuk keadilan yang memadai atau memuaskan tidak dapat dikabulkan karena para pemohon belum menempuh semua upaya remedi domestik sesuai dengan Pasal 26 Konvensi. Dalam pandangan Pemerintah, Pasal ini berlaku tidak hanya pada permohonan yang asli, di mana suatu pelanggaran terhadap ketentuan substantif Konvensi diajukan, tetapi juga kepada setiap klaim untuk kompensasi berdasarkan Pasal 50. Mahkamah tidak dapat menerima pembelaan Pemerintah mengenai tidak bisa dikabulkannya klaim tersebut. Mahkamah berargumentasi, antara lain, bahwa Pasal 50 mempunyai asal usul dalam klausula 17 Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa, Kasus-Kasus De Wilde, Ooms dan Versijp (Kasus "Vagrancy" Gelandangan), keputusan tertanggal 10 Maret 1972 (Pasal 50), Seri A, vol. 14. 48 tertentu yang tampak pada perjanjian-perjanjian suatu jenis klasik, seperti misalnya Pasal 10 Perjanjian Jerman-Swis tahun 1921 tentang Arbitrasi dan Konsiliasi, dan Pasal 32 Undang-Undang Umum Jenewa untuk Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional, 1928 – dan tidak mempunyai hubungan dengan peraturan mengenai telah ditempuhnya semua upaya remedi di tingkat domestik. Yang paling penting, Mahkamah menambahkan: "…. kalau korban – setelah menempuh dengan sia-sia semua upaya remedi domestik sebelum mengajukan keluhan ke Strasbourg mengenai pelanggaran terhadap hak-haknya – diwajibkan untuk berbuat demikian kedua kalinya sebelum bisa mendapatkan dari Mahkamah keadilan yang memadai, keseluruhan prosedur yang ditetapkan oleh Konvensi hampir tidak sejalan dengan gagasan mengenai perlindungan efektif terhadap hak asasi manusia. Persyaratan semacam itu akan menuju ke suatu situasi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari Konvensi".18 Jelaslah bahwa Mahkamah memberikan makna besar pada syarat-syarat penyelesaian yang cepat dan efektif dalam masalah-masalah yang berkenaan dengan pemberian rasa keadilan yang memadai. Adapun mengenai baik-buruknya kasus yang sama, Pemerintah Belgia mengajukan argumentasi bahwa hukum dalam negeri Belgia memungkinkan pengadilan nasional memberi perintah kepada Negara untuk memberi remedi atas kerusakan yang disebabkan oleh suatu situasi ilegal di mana Negara bertanggung jawab; terlepas dari apakah situasi itu merupakan pelanggaran terhadap aturan hukum dalam negeri atau aturan hukum internasional. Mahkamah tidak menerima pandangan ini. Mahkamah berpendapat bahwa perjanjian dari mana Pasal 50 “dipinjam” mempunyai lebih banyak kasus khusus yang dipelajari di mana sifat kerugian kiranya memungkinkan untuk menghapuskan sama sekali akibat-akibat dari pelanggaran, tetapi ternyata hukum dalam negeri atau hukum nasional Negara yang terlibat menghalangi terlaksananya hal ini. Mahkamah menambahkan: "Namun demikian, ketentuan Pasal 50 yang mengakui kompetensi Mahkamah untuk memberikan kepada pihak yang dirugikan suatu kepuasan yang adil juga mencakup kasus di mana ketidak-mungkinan restitutio in integrum timbul justru dari sifat kerugian itu; memang akal sehat menyarankan bahwa hal ini haruslah begitu a fortiori".19 18 Ibid., paragraf 16. 19 Ibid., paragraf 20. 49 Dalam kasus yang sama, berbagai persyaratan ditinjau untuk pemberian "kepuasan yang adil" dalam penerapan Pasal 50, dengan tujuan bahwa: a. Mahkamah telah menemukan "suatu keputusan atau tindakan perlu diambil" oleh suatu kewenangan dari Negara penanda-tangan untuk "bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari … Konvensi". b. Tidak ada suatu "pihak yang dirugikan"; c. Mahkamah menganggap "perlu" untuk memberikan kompensasi yang adil.20 Sekalipun Mahkamah berpendapat bahwa pihaknya mempunyai yurisdiksi untuk memberikan kompensasi, Mahkamah menyatakan bahwa dalam kasus ini klaim para pemohon tidak mempunyai dasar yang kuat. Dalam hubungan ini adalah jelas bahwa kata-kata dari Pasal 50 memberikan kepada Mahkamah banyak kebebasan ruang gerak berkenaan dengan kompetensinya apakah akan memberikan kompensasi dan berapa banyak kompesasi yang diberikan itu. Mahkamah sendiri mengatakan hal tersebut ketika mengamati: "sebagaimana diperkuat oleh kata sifat 'adil' dan ungkapan 'kalau perlu', Mahkamah menikmati suatu kebijaksanaan tertentu dalam melaksanakan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 50".21 Sebagai kesimpulan, dapat diamati bahwa empat syarat dasar harus dipenuhi untuk memberikan rasa adil yang memuaskan bagi pihak yang dirugikan berdasarkan Pasal 50 Konvensi Eropa: (i) suatu pelanggaran oleh Negara Pihak terhadap kewajibannya berdasarkan Konvensi; (ii) tidak adanya kemungkinan untuk suatu pemulihan menyeluruh (restitutio in integrum) pada Negara Pihak tersebut; (iii) adanya kerusakan material dan/atau moral; (iv) suatu kaitan kausal antara pelanggaran terhadap Konvensi dan adanya kerusakan.22 Di samping kondisi-kondisi substantif ini, bobot khusus seharusnya diberikan, seperti dikemukakan di atas, kepada persyaratan 20 Ibid., paragraf 21. 21 Keputusan tanggal 6 Nopember 1980 dalam Kasus "Guzzardi", Seri A, vol. 39, paragraf 114. 22 Lihat juga Jacques Velu dan Rusen Ergec, La Convention Europeenne des Droits de l'Homme, Bruxelles, 1990, paragraf 1200-1207; P. van Dijk dan G.J.H. van Hoof, Theory and Practice of the European Convention on Human Rights (edisi kedua), Deventer-Boston, 1990, hlm. 171-185. 50 prosedural mengenai kecepatan dan keefektifan. Tetapi dalam banyak hal, Mahkamah berpendapat bahwa suatu keputusan yang menguntungkan tentang baik buruk merupakan sesuatu yang terdapat dalam dirinya sendiri, maskudnya dalam "rasa adil yang memuaskan bagi pihak yang dirugikan" dan bahwa suatu pemberian kompensasi lebih lanjut tidak dianjurkan.23 Dalam sejumlah kasus, sejumlah Pemerintah juga melakukan pembayaran, dengan jalan kompensasi, sebagai bagian dari suatu penyelesaian secara bersahabat yang dicapai sesuai dengan Pasal 28 (b) Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar. Suatu peranan khusus dalam hal ini diberikan kepada Komisi Eropa untuk Hak Asasi Manusia yang tidak hanya menempatkan dirinya untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan tujuan untuk menjamin penyelesaian tetapi yang harus menjaga, sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 28 (b), agar penyelesaian dicapai "atas dasar penghormatan kepada Hak Asasi Manusia sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini". Dalam prakteknya, persyaratan ini seharusnya mengandung arti bahwa penyelesaian tidak hanya merupakan suatu tawar-menawar antara para pihak tetapi bahwa Pemerintah yang bersangkutan juga akan mengatasi sebab-sebab pelanggaran yang mungkin telah terjadi dan mengambil tindakan yang perlu untuk mencegah berulangnya pelanggaran tersebut. Komisi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang bertindak demi kepentingan publik untuk mempertahankan hak asasi manusia, dalam hubungan ini mempunyai suatu tugas pengawasan yang penting untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip Konvensi. Setiap kompensasi atau hadiah yang diberikan kepada pihak yang dirugikan haruslah tidak hanya adil terhadap pihak itu sendiri tetapi juga memenuhi rasa keadilan bagi tujuan dan prinsip dari sistem perlindungan hak asasi manusia. Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia Mahkamah Antar-Amerika telah dicekam oleh sejumlah kasus yang menyangkut hilangnya orang-orang yang diakibatkan oleh pasukan bersenjata dan aparat keamanan di Honduras. 24 23 Lihat A.H. Robertson dan J.G. Merrills, Human Rights in Europe (edisi ketiga), Manchester dan New York, 1993, hlm. 311-315 (di hlm. 314). 24 Lihat Juan E. Mendez dan Jose Miguel Vivanco, "Orang Hilang dan Pengadilan Antar-Amerika: refleksi tentang suatu pengalaman litigasi", dalam Hamline Law Review, vol. 13 (1990), hlm. 507-577. 51 Mahkamah mencapai keputusan dalam kasus Velasquez Rodriguez, 25 kasus Godinez Cruz, 26 dan kasus Fairen Garbi dan Solis Corrales.27 Mengingat kesamaan kasus-kasus ini, acuan hanya akan dilakukan pada kasus Velasquez, untuk keperluan praktis. Dengan adanya sifat laporan kemajuan ini, tiga aspek akan dikemukakan untuk mendapat perhatian khusus. Pertama, kewajiban untuk membayar kompensasi yang berkaitan dengan kewajiban untuk mencegah, menyelidiki dan menghukum; kedua, penetapan kerugian yang dapat diberi kompensasi; ketiga, persoalan tindak-lanjut dan pemantauan. Perlu dicatat bahwa Mahkamah Antar-Amerika menafsirkan kewajiban-kewajiban yang tercakup dalam Pasal 1 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dengan tujuan bahwa Negara Pihak berusaha untuk memastikan kepada semua orang yang tunduk pada yurisdiksinya pelaksanaan bebas dan sepenuhnya dari hak dan kebebasan yang diakui dalam Konvensi secara menyeluruh. Mahkamah menyatakan bahwa: "Sebagai akibat dari kewajiban ini, Negara harus mencegah, menyelidiki dan menghukum setiap pelanggaran terhadap hak-hak yang diakui oleh Konvensi dan, tambahan pula, kalau mungkin berusaha memulihkan hak yang dilanggar dan memberi kompensasi sebagaimana dibenarkan untuk kerugian-kerugian sebagai akibat dari pelanggaran tersebut".28 Dengan nafas yang sama Mahkamah memutuskan: "Negara mempunyai suatu tugas hukum yakni mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia dan menggunakan sarana yang dipunyainya untuk melaksanaan penyelidikan serius mengenai pelanggaran yang dilakukan dalam yurisdiksinya, untuk mengidentifikasi orang-orang yang bertanggung jawab, untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal dan untuk memastikan kompensasi kepada korban".29 Dalam pendekatan Mahkamah, yang sangat mirip dengan pendekatan yang dilakukan Komite Hak Asasi Manusia, sebagaimana didiskusikan di atas, kewajiban untuk mencegah dan 25 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C. no. 4 (1988). 26 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 5 (1989). 27 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 6 (1989). 28 Keputusan, Catatan 63, paragraf 166. 29 Ibid., paragraf 174. 52 kewajiban untuk memulihkan saling berkaitan erat. Tambahan pula, adalah jelas bahwa pendekatan preventif haruslah mendapat prioritas dan penekanan yang selayaknya karena satu ons pencegahan lebih efektif ketimbang satu pon penyembuhan. Juga patut dicatat bahwa di antara sarana-sarana reparasi yang disebutkan Mahkamah dalam suatu perintah berikutnya adalah penyelidikan mengenai pelanggaran yang dilakukan, hukuman terhadap yang bersalah dan pemberian kompensasi yang memadai. Dengan kata lain, reparasi berarti bahwa keadilan sepenuhnya haruslah dilakukan terhadap masyarakat secara keseluruhan, orang-orang yang bertanggung jawab dan para korban. Tindakan-tindakan untuk memberikan kompensasi merupakan bagian dari suatu kebijakan keadilan. Dalam keputusannya tertanggal 29 Juli 1988, Mahkamah Antar-Amerika memutuskan, dengan mempertimbangkan Pasal 63 (1) Konvensi Amerika, bahwa Negara Pihak yang bersangkutan diharuskan untuk membayar kompensasi yang layak kepada keluarga terdekat korban dan bahwa bentuk dan jumlah kompensasi tersebut, yang gagal memberi Kovenan dalam waktu enam bulan setelah tanggal keputusan itu, harus diselesaikan oleh Mahkamah dan bahwa, untuk tujuan itu, Mahkamah mendapat yurisdiksi atas kasus tersebut. Akibatnya, Mahkamah sekali lagi disibukkan oleh masalah itu dan pada tanggal 21 Juli 1989 mengeluarkan suatu keputusan tentang kompensasi atas kerugian dalam kasus Velasquez-Rodriguez. 30 Dalam keputusannya Mahkamah menetapkan lingkup dan isi dari kompensasi yang adil yang harus dibayarkan kepada keluarga dari orang yang hilang. Mahkamah membuatnya jelas bahwa sebagai suatu prinsip hukum internasional setiap pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional yang menimbulkan kerugian menciptakan suatu kewajiban untuk memberi reparasi yang memadai. Dalam hubungan ini Mahkamah memutuskan bahwa reparasi itu "terdiri dari restitusi sepenuhnya (restitutio in integrum), yang mencakup pemulihan dari keadaan sebelumnya, perbaikan dari akibat-akibat pelanggaran, dan remedi untuk kerugian patrimonial (warisan) dan non-patrimonial, termasuk kerugian emosional".31 Adapun megenai kerugian emosional, Mahkamah berpendapat bahwa ganti rugi harus diberikan berdasarkan hukum inernasional (yaitu Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia) dan bahwa ganti rugi harus didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan. Dalam konteks ini Mahkamah mengacu pada ketentuan yang bisa diterapkan mengenai Konvensi Amerika 30 Keputusan, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, Seri C, no. 7 (1989). 31 Keputusan kompensasi Velasquez, paragraf 26. 53 (Pasal. 63 [1]), yang menurut Mahkamah "tidak dibatasi oleh cacat, ketidak-sempurnaan atau kekurangan hukum nasional, tetapi berfungsi secara mandiri".32 Adapun mengenai lingkup reparasi, Mahkamah mengamati bahwa tindakan-tindakan seperti penyelidikan terhadap fakta-fakta, hukuman kepada orang-orang yang bertanggung jawab, pernyataan publik yang mengutuk praktek penghilangan orang secara paksa dan dalam kenyataan keputusan Mahkamah sendiri tentang baik-buruk merupakan bagian dari perbaikan dan kepuasan moral yang mempunyai makna penting bagi keluarga para korban. Di lain pihak, bertentangan dengan apa yang telah diminta oleh pengacara para korban, Mahkamah berpendapat bahwa kerugian yang dapat dihukum tidak termasuk dalam ungkapan "kompensasi yang adil", yang digunakan dalam Pasal 61 (1) dari Konvensi Amerika. Ungkapan ini menurut Mahkamah, mengacu pada sebagian dari reparasi dan kepada "pihak yang dirugikan", dan oleh karena itu harus diberi kompensasi dan bukan harus dihukum. Sebagai akibatnya, Mahkamah menyimpulkan bahwa kompensasi yang adil mencakup perbaikan kepada keluarga korban berupa kerugian materiil dan moral yang mereka derita karena hilangnya korban secara paksa.33 Harus dicatat lebih lanjut bahwa Mahkamah juga memberi pertimbangan luas kepada persoalan kerugian moral dan berpendapat bahwa hilangnya korban menimbulkan dampak psikologis yang merugikan di kalangan keluarga dekatnya yang diberi ganti rugi sebagai kerugian moral.34 Akhirnya, berkenaan dengan pemantauan dari kegiatan tindak-lanjut, yang telah didiskusikan terlebih dahulu dalam hubungan dengan pandangan Komite Hak Asasi Manusia, berdasarkan Protokol Opsional (lihat paragraf 55 dan 59 di atas), adalah jelas bahwa argumen sama yang menggarisbawahi kebutuhan akan pengawasan lanjutan menerapkan a fortiori kepada keputusan Mahkamah yang mengikat. Oleh karena itu, harus dicatat dengan semestinya bahwa Mahkamah Antar-Amerika dalam keputusannya mengenai konpensasi Velasquez menetapkan dalam kalimat penutupnya mengenai pemberian itu: Mahkamah harus mengawasi pemberian ganti rugi yang diperintahkan dan akan menutup perkara hanya apabila kompensasi telah dibayarkan. 32 Ibid., paragraf 30. 33 Ibid., paragraf 32-39.. 34 Ibid., paragraf 51. 4 Hukum Nasional dan Prakteknya Tidaklah mungkin untuk menghimpun informasi terinci tentang hukum dan kebiasaan nasional yang berkaitan dengan hak atas reparasi bagi para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Suatu permintaan kepada Pemerintah untuk memberikan informasi yang relevan sangat jarang mendapatkan tanggapan yang memadai. Akibatnya, Pelapor Khusus harus mengandalkan diri terutama pada informasi yang diterima dari sumber-sumber lain 1 dan berkaitan dengan sejumlah negara yang terbatas. Bagian tentang hukum nasional dan prakteknya ini dimasukkan untuk keperluan ilustrasi guna menunjukkan bagaimana beberapa negara yang telah mengalami suatu kurun waktu pelanggaran berat hak asasi manusia telah berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan. Sekalipun informasi yang ditinjau dalam bagian ini tidak cukup lengkap untuk menarik kesimpulan umum, namun memungkinkan untuk melakukan observasi tertentu dengan cara pemberian ilustrasi. Preseden yang paling lengkap dan sistematik mengenai reparasi oleh suatu Pemerintah kepada kelompok-kelompok korban yang menderita akibat kesalahan negara disediakan oleh Republik Federal Jerman kepada para korban penganiayaan Nazi. Hukum-hukum terdahulu yang berlaku di Jerman setelah Perang Dunia II hanya menangani restitusi, atau kompensasi untuk kekayaan yang bisa diidentifikasi.2 Yang lebih berjangkauan jauh adalah Undang-Undang dan Perjanjian-Perjanjian Kompensasi berikutnya, yang diberlakukan dan ditetapkan dari tahun 1948 1 Secara khusus sumbangan tertulis yang disampaikan pada Seminar Tentang Hak Atas Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi untuk Para Korban Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar (Maastricht, 11-15 Maret 1992), yang dimasukkan dalam Report of the Maastricht Seminar, SIM Khusus no. 12 (1992), Dewan Redaksi: Theo van Boven, Cees Flinterman, Fred Grunfeld, Ingrid Westendorp. 2 Kurt Schwerin, "Kompensasi Jerman untuk Para Korban Penganiayaan Nazi", Northwestern University Law Review, vol. 67 (1972), no. 4, hal. 479-527 (pada hal. 489-491). Karl Josef Partsch, Report of the Maastricht Seminar, hal. 130-145 (pada hal. 133-136). 57 dan seterusnya, hingga kemudian diberlakukannya Undang-Undang Kompensasi Final Federal (BEG = Bundesentschädigungsschluessgesetz) pada tahun 1965. Di bawah BEG, seorang korban penganiayaan Nazi didefinisikan sebagai seorang yang tertindas karena oposisi politik terhadap Sosialisme Nasional, atau disebabkan oleh ras, agama atau ideologi, dan yang menderita dengan konsekuensi kehilangan jiwa, kerusakan pada anggota badan atau kesehatan, kehilangan kebebasan, kekayaan atau hak milik, atau kerugian pada prospek profesi atau ekonomi. 3 Suatu aspek penting dari kriteria untuk bisa memenuhi persyaratan berdasarkan BEG adalah prinsip kewilayahan dari hukum itu. Sebuah klaim untuk mendapatkan kompensasi terikat pada tempat tinggal pengaju klaim, yakni harus berdomisili di Jerman. Tetapi undang-undang tersebut tidak hanya mencakup penduduk Republik Federal Jerman dan bekas penduduk dari bekas wilayah Jerman seperti tahun 1937, tetapi juga mencakup berbagai kategori pengungsi, emigran, orang-orang yang dideportasi atau diusir – sejauh mereka, untuk beberapa waktu lamanya – mempunyai tempat tinggal atau tempat persinggahan permanen di Jerman.4 Adapun mengenai berbagai kategori kerusakan yang dicakup oleh BEG, yang berikut ini dapat dicatat: a. Kehilangan jiwa mencakup, menurut penafsiran mahkamah, pembunuhan terencana, pembunuhan tak direncanakan dan kematian sebagai akibat kerusakan terhadap kesehatan yang ditimbulkan pada korban, terutama juga di kamp-kamp konsentrasi. Kehilangan jiwa juga mencakup kematian yang disebabkan oleh kemerosotan kesehatan sebagai akibat emigrasi atau kondisi kehidupan yang tidak sesuai dengan kesehatan. Di samping itu, kompensasi telah dibayarkan dalam kasus-kasus bunuh diri yang dipicu oleh penganiayaan, termasuk bunuh diri yang disebabkan oleh kesukaran ekonomi yang tidak dapat diatasi korban di negara di mana ia beremigrasi;5 b. Kerusakan pada anggota badan atau kesehatan mengakibatkan kompensasi kalau kerusakan itu bukan merupakan kekrusakan sepele. Artinya, kerusakan itu mengakibatkan 3 Schwerin, catatan 75, hal. 496; Partsch, catatan 75, hal. 136. 4 Schwerin, ibid., hal. 497, Partsch, ibid., hal. 136-137. 5 Schwerin, ibid., hal. 499. 58 atau mungkin mengakibatkan hambatan terus-menerus terhadap kemampuan mental atau fisik korban;6 c. Kerusakan terhadap kebebasan mencakup perampasan kebebasan dan pembatasan terhadap kebebasan. Dalam perampasan kebebasan termasuk penahanan oleh polisi atau militer, penangkapan oleh Partai Sosialis Nasional, pemenjaraan untuk penahanan atau hukuman, penahanan di kamp konsentrasi dan tinggal paksa di ghetto. Korban dianggap telah dirampas kebebasannya kalau ia hidup atau melakukan kerja paksa di bawah kondisi-kondisi yang mirip penahanan. Pembatasan terhadap kebebasan, yang menimbulkan hak untuk mengajukan klaim atas kompensasi, mencakupi juga paksaan untuk memakai lencana Bintang Daud dan hidup "di bawah tanah" di bawah kondisi yang tidak layak untuk manusia.7 d. Kerusakan pada prospek profesi dan ekonomi menyebabkan diajukannya kompensasi kalau korban telah kehilangan kekuatan untuk mencari penghasilan.8 Banyak korban penganiayaan Nazi tidak memenuhi persyaratan untuk BEG. Di antara para korban ini terdapat warga negara Belgia, Denmark, Belanda dan Prancis yang dianiaya dan dirugikan di negara mereka sendiri. Untuk memenuhi klaim-klaim ini, sejumlah negara (Luksemburg, Norwegia, Denmark, Yunani, Belanda, Prancis, Belgia, Italia, Swis, Austria, Inggris – Britania Raya, Swedia) pada tahun-tahun antara 1959 – 1961 mengadakan "perjanjian global" dengan Republik Federal Jerman di mana mereka menerima dana untuk pembayaran kepada masing-masing pengaju klaim.9 Sebelumnya pada tahun 1952, Republik Federal Jerman dan Israel telah menanda-tangani perjanjian di mana Jerman berusaha membayar kompensasi kepada Israel untuk membantu penyatuan para pengungsi yang terusir dan melarat dari Jerman 6 Schwerin, ibid., hal. 500-501. 7 Schwerin, ibid., hal. 502. 8 Schwerin, ibid., hal. 506. 9 Schwerin, ibid., hal. 510-511. 59 dan untuk membayar restitusi dan ganti rugi atas klaim orang-orang, organisasi Yahudi, dan untuk rehabilitasi para korban Yahudi dari penganiayaan Nazi.10 Sekalipun penilaian menyeluruh mengenai BEG adalah positif (lihat bab ini, bagian “Beberapa Komentar”), namun undang-undang ini tetap memperlihatkan ketidaksempurnaannya. Dan keputusan yang didasarkan pada undang-undang ini, dengan demikian, tetap menunjukkan kekurangannya. Misalnya, banyak pengamat tetap berpendapat bahwa kerusakan pada kekayaan dan harta milik mendapat pertimbangan yang terlalu menguntungkan dibanding dengan perlakuan yang kurang memadai mengenai kerusakan terhadap kehidupan dan kesehatan. Demikian pula, prinsip kewilayahan tidak menguntungkan para korban yang bukan penduduk Jerman atau orang-orang atau pengungsi yang tidak berkewarga-negaraan. Di lain pihak, satu kelompok korban jelas telah diuntungkan. Mereka adalah para bekas anggota pegawai negeri Jerman atau Pemerintah Jerman, termasuk para hakim, guru besar (profesor) dan guru yang dikembalikan ke posisi mereka, termasuk juga kelompok penerima gaji atau pensiun. Dikatakan demikian, karena kelompok-kelompok pengaju klaim ini toh tetap akan menerima hak mereka kalau penganiayaan tidak terjadi. 11 Dengan latar belakang inilah bahwa dalam seperangkat prinsip dan pedoman untuk kebijakan kompensasi nasional, yang dirumuskan atas dasar pengalaman yang didapat oleh Wiedergutmachung Jerman, dua prinsip dan pedoman pertama berbunyi sebagai berikut: (i) Prinsip persamaan hak dari semua korban adalah sangat penting. Ini tidak berarti bahwa mereka semua harus menerima jumlah bantuan yang sama, tetapi itu berarti bahwa mereka harus menikmati hak yang sama dalam lingkup klaim-klaim yang ditetapkan oleh hukum; (ii) Adalah perlu untuk mempunyai perencanaan terpusat, legislatif, dan aparat pemerintahan, karena prinsip sentralitas saja yang dapat memastikan prinsip persamaan hak.12 10 Schwerin, ibid., hal. 493. 11 Schwerin, ibid., hal. 519. 12 "Korban Kejahatan", makalah kerja yang disiapkan oleh Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kongres PBB VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Para Pelanggar (Milan, 26 Agustus - 6 September 1985) (A/CONF.121/6) paragraf 124. 60 Di Polandia, pada tanggal 23 Februari 1991, Parlemen mengesahkan undang-undang mengenai pembalikan keputusan yang diambil dalam kurun waktu antara 1 Januari 1944 sampai 31 Desember 1956 (periode yang biasa disebut “Periode Stalinis”) untuk kegiatan-kegiatan demi kemerdekaan Negara Polandia.13 Pembalikan keputusan itu dapat dianggap sebagai suatu bentuk rehabilitasi terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia oleh badan peradilan. Tetapi, pembalikan keputusan oleh pengadilan itu tidak secara otomatis berakibat tindakan-tindakan kompensasi. Untuk keperluan itu suatu pengajuan terpisah perlu dilakukan dan harus diajukan dalam waktu satu tahun setelah pembalikan keputusan tersebut. Sekalipun nilai moral dari undang-undang Polandia mengenai pembalikan keputusan itu tidak diragukan lagi, namun telah diamati bahwa undang-undang tersebut hanya mempunyai ruang lingkup yang terbatas. 14 Pertama-tama, ratione temporis undang-undang itu mencakup kurun waktu sampai 31 Desember 1956 dan tidak memperbolehkan reparasi atas kerugian terhadap para korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi setelah tahun 1956. Suatu pembatasan serius ratione materiae lainnya adalah bahwa undang-undang itu tidak mencakup pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh organ pemerintahan atau oleh polisi, misalnya kematian atau penyiksaan yang dilakukan selama interogasi. Juga, tidak ada undang-undang yang memberikan hukuman terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia antara tahun 1945 dan 1956. Setelah kediktatoran militer di Chili yang berlangsung dari 11 September 1973 sampai 11 Maret 1990, Pemerintah demokratik yang baru membentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Dekrit Tertinggi tanggal 25 April 1990.15 Kekuasaan Komisi Nasional itu berkaitan dengan penyelidikan terhadap pelanggaran serius hak asasi manusia yang dilakukan di Chili selama kurun waktu kediktatoran militer. Pelanggaran berat hak asasi manusia dipahami sebagai pelanggaran terhadap kehidupan: orang hilang, hukuman mati secara sumir dan di luar pengadilan, penyiksaan yang diikuti kematian, maupun penculikan tak terpecahkan dan kematian orang-orang yang dilakukan oleh orang-orang swasta dengan dalih politik. Sebagaimana telah diamati dengan cermat, pembentukan Komisi Nasional dan kegiatan yang mengikutinya dengan 13 Asnna Michalska, Report of the Maastricht Seminar, hal. 117-124. 14 Michalska, ibid., hal. 119-121. 15 Cecilia Medina Quiroga, Report of the Maastricht Seminar, hal. 101-116. 61 sendirinya merupakan suatu tindakan perbaikan pertama, dengan memberikan kepuasan parsial kepada keluarga para korban berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengetahui keadaan di mana keluarga mereka dibunuh atau dihilangkan. 16 Komisi Nasional menggambarkan tiga kategori reparasi: pertama, perbaikan simbolik untuk membersihkan nama korban; kedua, tindakan hukum dan administratif untuk menyelesaikan beberapa masalah yang berkaitan dengan pengakuan atas kematian (status keluarga, warisan, perwalian hukum untuk orang-orang di bawah umur); ketiga, kompensasi termasuk tunjangan sosial, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Berdasarkan laporan Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi, Undang-Undang No. 19.123 tertanggal 31 Januari 1992 disahkan, yang merupakan instrumen hukum pembentukan Korporasi Nasional untuk Reparasi dan Rekonsiliasi selama jangka waktu dua tahun. Korporasi ini ditugaskan untuk mengkoordinasi, melaksanakan dan memajukan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk memenuhi rekomendasi yang terkandung dalam laporan Komisi Nasional. Salah satu tugas utama dari Korporasi adalah memajukan dan bekerja sama dalam aksi-aksi dengan tujuan untuk menentukan keberadaan dari orang-orang yang hilang setelah ditahan dan yang mayatnya belum ditemukan, sekalipun secara hukum mereka dinyatakan telah mati (Pasal 2 ayat 2). Suatu tugas penting lain dari Korporasi tersebut adalah untuk menyelidiki kasus-kasus di mana Komisi Nasional tidak dapat menegaskan bahwa ada korban-korban pelanggaran terhadap hak asasi manusia maupun kasus-kasus lain yang tidak ditangani oleh Komisi Nasional (Pasal 2 ayat 4). Juga perlu dicatat bahwa Korporasi Nasional tidak diberi kuasa untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan yang menjadi tugas pengadilan hukum dan oleh karena itu Korporasi tidak akan memutuskan tentang tanggung jawab kriminal dari para pribadi. Informasi relevan seperti itu haruslah dikirim ke pengadilan hukum (Pasal 4). Undang-Undang No. 19.123 menyediakan "pensiun reparasi", yang merupakan tunjangan bulanan kepada keluarga para korban pelanggaran hak asasi manusia atau kekerasan politik yang diidentifikasi dalam laporan Komisi Nasional dan orang-orang yang diakui sebagai korban oleh Korporasi sendiri (Pasal 17 dan 18). Yang berhak untuk mengajukan permohonan pensiun reparasi adalah pasangan dari korban yang masih hidup, ibu (atau ayah kalau ibu tidak ada) dari anak-anak yang berumur di bawah 25 tahun atau anak-anak cacat dari segala umur (Pasal 20). 16 Medina Quiroga, ibid., hal. 107. 62 Bentuk-bentuk lain kompensasi adalah tunjangan medis (Pasal 28) dan tunjangan pendidikan (Pasal 29 – 31). Dapat dicatat bahwa Chili telah memberi banyak penekanan pada pengungkapan kebenaran berkenaan dengan pelanggaran yang paling serius terhadap hak asasi manusia: hak untuk hidup. Perbaikan difokuskan terutama pada pembersihan nama para korban pelanggaran serius tersebut dan pada kompensasi kepada keluarga mereka. Sementara itu, harus dicatat bahwa tindakan reparasi di Chili tidak mencakup pelanggaran serius hak asasi manusia lainnya dan bahwa tetap tidak jelas apakah dan sejauh mana orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan selama kediktatoran militer itu akan dibawa ke depan pengadilan.17 Seorang pengamat yang kapabel memberi komentar tentang usaha reparasi di Chili bahwa laporan yang dibuat Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan "suatu kemajuan besar dibanding dengan pendahulu-pendahulunya di negara-negara lain, dalam ruang lingkup, kedalaman dan dalam keberanian politik. Bahkan kalau pelaksanaan rekomendasi-rekomendasinya kurang dari yang diharapkan, laporan itu akan tetap merupakan suatu standar khas, yang mempunyai implikasi lebih luas ketimbang laporan dalam konteks Chili".18 Di Argentina, Undang-Undang No. 24.043 telah diundangkan tanggal 23 Desember 1991. Undang-undang itu menetapkan ganti rugi dari Negara – yang dapat dibayarkan dalam enam angsuran – kepada orang-orang yang, pada saat keadaan darurat diberlakukan, ditempatkan di tangan Eksekutif Nasional atau yang, sebagai penduduk sipil, menderita penahanan karena tindakan mahkamah militer.19 Ganti rugi itu berjumlah sepertiga-belas dari pembayaran bulanan yang ditetapkan pada kategori tertinggi pada skala upah untuk personil sipil dalam pemerintahan publik nasional untuk setiap hari dalam tahanan. Undang-undang itu dilaksanakan di bawah kewenangan Kantor Hak Asasi Manusia dari Kementerian Dalam Negeri – dengan kerja sama dari organisasi-organisasi hak asasi manusia – dan undang-undang itu menetapkan penolakan terhadap setiap jenis perbaikan lainnya. Sekalipun Undang-Undang No. 24.043 disahkan untuk memperbaiki kerusakan dan kerugian yang diderita oleh orang-orang yang ditahan secara tidak sah, namun ada berbagai alasan 17 Medina Quiroga, ibid., hal. 115. 18 Daan Bronkhorst, "Conciliation in the aftermath of political killings", Amnesty International, Seksi Belanda (1992), 19 hal. (pada hal. 8). 19 Emilio Mignone, Report of the Maastricht Seminar, hal. 125-129. 63 mengapa undang-undang itu tidak berfaedah bagi banyak korban (dan keluarga mereka); terutama bagi korban penculikan dan penghilangan paksa, dan siksaan yang mereka derita tidak bisa terhapuskan atau terkompensasikan oleh undang-undang itu. Alasan pertama, Pemerintah militer yang memerintah negara itu dari bulan November 1974 sampai Desember 1983 menolak untuk mengakui penculikan-penculikan itu; sedangkan Pemerintah baru, setelah pemulihan demokrasi, belum menuntut angkatan bersenjata untuk mengungkapkan sepenuhnya fakta-fakta yang berkaitan dengan orang-orang yang hilang. Kedua adalah kesukaran untuk membuktikan tanggung jawab agen-agen Negara dalam aksi penculikan itu, kesukaran yang disebabkan sistem klandestin yang digunakan oleh Pemerintah militer. Ketiga adalah keengganan di pihak para keluarga korban (orang-orang yang ditahan/hilang) untuk menuntut kompensasi finansial. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu suapan selama tuntutan utama mereka, yaitu mengetahui kebenaran tentang nasib orang-orang yang ditahan/hilang, belum terpenuhi.20 Dalam suatu note verbale tanggal 20 Mei 1992 yang ditujukan kepada Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Orang-Orang yang Dihilangkan Secara Paksa atau Tidak Sukarela, Pemerintah Argentina menarik perhatian Kelompok Kerja tersebut kepada suatu keputusan dari Pengadilan Banding Federal dalam kasus seorang warga negara Swedia yang diculik dan hilang di Argentina tahun 1977. Pengadilan memutuskan, dengan mempertimbangkan keadaan khusus dari kasus itu, untuk memberi kompensasi kepada ayah korban dengan mengingat kerusakan moral yang ditimbulkan kepadanya oleh penculikan dan hilangnya anak perempuannya.21 Patut dicatat lebih lanjut bahwa Komisi Antar-Amerika Tentang Hak Asasi Manusia sangat membantu dalam mencapai suatu penyelesaian secara bersahabat dalam kasus 13 orang yang telah mengajukan petisi kepada Komisi yang mengutuk pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia selama rezim militer yang memerintah Argentina antara tahun 1976 dan 1983 (laporan No. 1/93 dari Komisi Antar-Amerika Tentang Hak Asasi Manusia yang diterima tanggal 3 Maret 1993). Pelanggaran terdiri dari penahanan sewenang-wenang di bawah dekrit undang-undang yang dikenal sebagai "Kekuasaan Eksekutif Nasional" yang telah memperbolehkan penahanan orang-orang untuk jangka waktu tak terhingga tanpa pengadilan. Para pengaju petisi 20 Mignone, ibid., hal. 128-129. 21 Laporan Kelompok Kerja untuk Orang-Orang yang Dihilangkan Secara Paksa atau Tidak Dengan Sukarela Kepada Komisi Hak Asasi Manusia dalam sidangnya ke-49 (E/CN.4.1993/25), paragraf 77. 64 mendasarkan diri mereka pada Pasal 8 dan 25 dari Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia dan pada keputusan Mahkamah Antar-Amerika dalam kasus Velasquez Rodriguez. Mengikuti dekrit pemerintah No. 70/91 tertanggal 10 Januari 1991 yang kemudian dipertegas oleh Undang-Undang No. 24.043, yang diacu dalam paragraf 118 di atas, kompensasi yang diberikan berjumlah sepertiga-belas dari gaji bulanan pada skala gaji tertinggi untuk pegawai sipil yang dipekerjakan dalam pemerintahan umum nasional untuk setiap hari penahanan secara ilegal. Berkenaan dengan orang-orang yang meninggal selama dalam tahanan, sejumlah kompensasi tambahan diberikan. Kompensasi itu bersifat setara dengan ganti rugi selama lima tahun dalam penahanan. Dalam kasus orang-orang yang mengalami cedera-cedera serius, pemberian kompensasi untuk penahanan ilegal diperbesar dengan jumlah yang setara dengan 70 persen dari kompensasi yang kiranya diterima oleh para anggota keluarga seorang yang meninggal. Dalam suatu press communiqué (siaran pers) yang relevan (No. 5/93, tertanggal 10 Maret 1993) Komisi Antar-Amerika menunjukkan bahwa ini adalah untuk pertama kali bahwa suatu penyelesaian yang bersahabat telah berhasil dicapai dan Komisi menyatakan harapan bahwa preseden itu akan mengilhami penggunaan prosedur ini lebih sering "untuk kepentingan orang-orang yang hak asasi manusianya telah dilanggar di belahan bumi ini". Di Uganda, setelah berakhirnya kediktatoran Presiden Idi Amin Dada, Pemerintah memberlakukan Undang-Undang Kepresidenan Tentang Dana Kedermawanan untuk Veteran Perang, Janda dan Anak Yatim-Piatu (No. 2 tahun 1982) atas nama para korban (dan keluarga mereka) yang telah ikut serta dalam usaha pembebasan melawan kediktatoran, dan Undang-Undang Tentang Kekayaan yang Diambil-alih (No. 9 tahun 1982); di bawah undang-undang itu orang-orang Asia yang diusir diberi wewenang untuk kembali ke Uganda dan mengklaim kembali kekayaan mereka.22 Tetapi, di Uganda berbagai pembatasan tentang klaim untuk kompensasi berlaku. Jadi, klaim untuk mendapatkan kembali tanah mungkin tidak ditangani setelah 12 tahun dan klaim yang berkaitan dengan kerugian biasa mungkin tidak ditangani sampai 3 tahun setelah klaim semula diajukan. Pada tahun 1986, Pemerintah Perlawanan Nasional (NRM) memberlakukan kembali dalam suatu Pengumuman Hukum (No. 6 tahun 1986) kekebalan berdasarkan undang-undang yang menghalangi pengajuan klaim terhadap Pemerintah berkenaan dengan serangan, penghilangan nyawa (jiwa), penangkapan dan penahanan, perampasan, penggunaan, penghancuran atau kerusakan terhadap harta milik yang 22 Edward Khiddu-Makubuya, Report of the Maastricht Seminar, hal. 86-100. 65 mungkin telah dilakukan oleh agen-agen Pemerintah sebelum NRM memegang kekuasaan di Uganda tahun 1986. Ketika Pengumuman Hukum No. 6 tahun 1986 dituduh inkonstitusional di depan Pengadilan Tinggi Uganda, Pengadilan justru memberikan keputusan imunitas/kekebalan berdasarkan undang-undang itu. Sesudah itu, Pemerintah dengan segera mengesahkan Dekrit No. 1 tahun 1987 di mana ketentuan hukum mengenai imunitas berdasarkan undang-undang ditegakkan kembali.23 Seorang komentator tentang situasi Uganda mengamati bahwa banyak korban pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Uganda tidak mendapatkan remedi yang efektif.24 Banyak alasan untuk hal ini, antara lain, tidak adanya sistem hukum mengenai suatu indikasi khusus dari kategori konkret tentang pelanggaran terhadap hak asasi manusia, ketidak-acuhan terhadap hukum dan hak asasi manusia dasar di pihak banyak korban, kesukaran yang dijumpai dalam akses ke pengadilan, penerapan kurun waktu pembatasan menurut undang-undang maupun ketentuan tentang imunitas menurut undang-undang, penafsiran sempit mengenai hukum adat tentang tanggung jawab orang lain atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen-agen Pemerintah, maupun tidak diratifikasinya Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional-nya oleh Uganda. Beberapa Komentar Tinjauan mengenai hukum nasional dan prakteknya di beberapa negara tertentu, yang berkaitan dengan pemberian remedi kepada para korban pelanggaran berat hak asasi manusia, menampilkan suatu gambaran yang bercampur aduk. Suatu kecenderungan umum dalam tinjauan ini ialah adanya keinginan dari negara-negara yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari serangan serius terhadap martabat manusia yang dilakukan di bawah rezim-rezim terdahulu dan untuk memikul tanggung jawab guna memberikan perbaikan atas tindakan-tindakan salah yang dilakukan dan ganti rugi kepada para korban. Bersamaan dengan itu, hukum-dan-praktek nasional juga memperlihatkan beberapa kekurangan mendasar yang disebabkan oleh lingkup yang terbatas dari tindakan yang diambil. Tampaknya kategori-kategori besar dari para korban 23 Khiddu-Makubuya, ibid., hal. 94-95. 24 Khiddu-Makubuya, ibid., hal. 96-98 66 pelanggaran berat hak asasi manusia, sebagai akibat dari isi aktual hukum nasional atau disebabkan oleh cara di mana undang-undang ini diterapkan, gagal untuk menerima ganti rugi yang disediakan bagi mereka. Keterbatasan dalam waktu, termasuk penerapan pembatasan menurut undang-undang; pembatasan dalam definisi mengenai ruang lingkup dan sifat pelanggaran; kegagalan di pihak para pejabat untuk mengakui jenis-jenis tertentu pelanggaran serius; beroperasinya undang-undang amnesti; sikap pengadilan yang bersifat membatasi; ketidak-mampuan kelompok tertentu dari korban untuk mengajukan dan memperjuangkan klaim-klaim mereka; kurangnya sumber daya ekonomi dan keuangan; akibat dari semua faktor ini, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, adalah bahwa prinsip-prinsip persamaan hak dan reparasi yang semestinya bagi semua korban tidak dilaksanakan. Kekurangan ini tidak hanya tampak dalam konteks nasional, kekurangan ini bahkan lebih mencolok lagi dalam konteks global di mana berjuta-juta korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia masih tidak memperoleh hak dan perspektif untuk pemulihan atau perbaikan. Juga harus diingat bahwa sampai hari ini sistem perbaikan yang paling menyeluruh diterapkan oleh Republik Federal Jerman untuk memberi kompensasi kepada para korban penganiayaan Nazi. Sebagaimana telah diamati dengan tepat lebih dari 20 tahun yang lalu dalam suatu tinjauan menyeluruh yang menjelaskan mengenai preseden penting ini: "pembayaran itu mempunyai arti (bagi banyak korban) perbedaan antara kemiskinan yang hina dan kehidupan yang bermartabat dengan keamanan secukupnya. Ini tidak berarti bahwa restitusi sepenuhnya atau secara murni telah dilakukan. Penganiayaan yang dilakukan rezim Nazi tidak ada tandingannya, khas dalam ruang lingkupnya, dan sangat tidak manusiawi. Penganiayaan itu tidak dapat ditebus dan tidak dapat dilupakan. Tetapi, dari sudut pandang historis dan hukum, program kompensasi dan reparasi merupakan suatu operasi yang khas".25 25 Schwerin, op.cit., hal. 523. 5 Impunitas dan Hak Korban Atas Reparasi Suatu studi mengenai persoalan yang berkaitan dengan hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi untuk para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar pada akhirnya menghadapi persoalan impunitas. Studi ini tidak akan menganalisis secara mendalam masalah impunitas, sebab itu merupakan pokok masalah dari suatu studi khusus yang dilakukan oleh Tn. Guissé dan Tn. Joinet. Keduanya adalah Pelapor Khusus dari Sub-Komisi (resolusi Komisi Hak Asasi Manusia No. 1993/43). Tetapi, untuk keperluan sekarang ini tidak dapat diabaikan bahwa ada suatu kaitan yang jelas antara impunitas terhadap para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia dan kegagalan untuk memberikan reparasi yang adil dan memadai kepada para korban dan keluarga atau tanggungan mereka. Dalam banyak situasi di mana impunitas telah didukung oleh hukum atau di mana impunitas de facto berlaku berkaitan dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat hak asasi manusia, para korban secara efektif dihalangi untuk mencari dan menerima ganti rugi dan reparasi. Dalam kenyataannya, sekali para pejabat Negara gagal untuk menyelidiki fakta-fakta dan menetapkan tanggung jawab kriminal, maka akan menjadi sangat sukar bagi para korban atau keluarga mereka untuk melaksanakan tuntutan hukum efektif yang bertujuan untuk memperoleh reparasi yang adil dan memadai. Badan-badan hukum seperti Komite Hak Asasi Manusia dan Komisi Antar-Amerika dan Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia – yang tugasnya adalah menjaga agar Negara Pihak dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia menaati kewajiban mereka terhadap berbagai instrumen hak asasi manusia internasional – telah menetapkan suatu garis yang masuk akal dan konsisten yang menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk memperbaiki 69 pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Garis kegiatan yang masuk akal dan konsisten ini mencakup penyelidikan atas fakta-fakta, membawa ke depan pengadilan orang-orang yang kedapatan bertanggung jawab, dan memastikan reparasi kepada para korban (lihat Bab 6 bagian “Komite Hak Asasi Manusia”). Dalam Komentar Umum 20 yang disetujui oleh Komite Hak Asasi Manusia dalam sidangnya yang ke-44 tahun 1992 yang berkaitan dengan larangan penyiksaan, Komite menyatakan bahwa amnesti terhadap tindak penyiksaan pada umumnya tidak sesuai dengan kewajiban Negara untuk menyelidiki perbuatan tersebut; untuk menjamin kebebasan dari perbuatan tersebut dalam yurisdiksi mereka; dan untuk memastikan bahwa perbuatan tersebut tidak terjadi lagi di masa depan. Komite menambahkan dalam komentar yang sama bahwa Negara tidak dapat merampas hak para individu untuk memperoleh pemulihan yang efektif, termasuk kompensasi dan rehabilitasi penuh kalau mungkin. 1 Terutama keputusan tentang kasus Velasquez Rodriguez (lihat Bab 6 bagian “Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia”), suatu keputusan yang menonjol dari Mahkamah Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia menegaskan posisi yang sama. Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia sangat mengandalkan diri pada keputusan ini ketika Komisi menyimpulkan dalam kasus dari delapan pengaju petisi bahwa hukum amnesti Uruguay tahun 1986, Ley de Caducidad, yang memberikan impunitas kepada para pejabat yang telah melanggar hak asasi manusia selama kurun waktu kekuasaan militer, telah melanggar Pasal 1, 8 dan 25 Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia. Komisi Antar-Amerika mencatat dalam laporannya No. 29/92 tertanggal 2 Oktober 1992 bahwa negeri yang bersangkutan, dengan mengesahkan dan menerapkan Ley de Caducidad, belum melakukan suatu penyelidikan resmi untuk menetapkan kebenaran tentang peristiwa-peristiwa masa lalu. Komisi mengulangi pandangan Mahkamah dalam kasus Velasquez Rodriguez: jika suatu Negara gagal atau tidak secara serius melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia – dengan konsekuensi bahwa pelanggaran tetap tak dihukum dan korban tidak mendapat kompensasi – maka itu berarti bahwa Negara tersebut melanggar usahanya sendiri untuk memastikan pelaksanaan sepenuhnya dan secara bebas atas hak yang terkena pelanggaran. Komisi Antar-Amerika menyimpulkan dengan memberi rekomendasi kepada Pemerintah yang bersangkutan agar Pemerintah membayar kompensasi yang adil kepada para pengaju petisi atas hak-hak mereka yang telah dilanggar. Dalam suatu 1 HRI/GEN/1, bag. I, Komentar Jmum 20 (ps. 7), alinea 15. 70 laporan terpisah No. 28/92, juga tertanggal 2 Oktober 1992, Komisi Antar-Amerika mendapati bahwa undang-undang Argentina "Ketaatan yang Semestinya" dan "Titik Akhir", maupun Pengampunan Presiden No. 1002, telah melanggar Konvensi Amerika. Sekalipun secara faktual tidak sama seperti kasus Uruguay, Komisi pada hakikatnya menetapkan alasan hukum yang sama sebagaimana yang dilakukannya berkenaan dengan kasus-kasus Uruguay.2 Komisi Ahli Hukum Internasional menyimpulkan bahwa rakyat di negara-negara yang bersangkutan mempunyai hak untuk membuat agar kebenaran diumumkan; agar supaya para pelaku pelanggar hak asasi manusia diadili dan dihukum, dan para korban dan/atau keluarga mereka diberi kompensasi atas penderitaan yang mereka tanggung sebagai akibat kejahatan yang dilakukan oleh para agen Negara.3 Hal lain yang juga relevan untuk diingat adalah bahwa Kelompok Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Orang Hilang yang Dihilangkan Secara Paksa atau Tidak Dengan Sukarela telah mengambil sikap yang keras: menentang impunitas. Kelompok Kerja tersebut menyatakan bahwa mungkin faktor tunggal paling penting yang memberi sumbangan kepada gejala orang hilang adalah faktor impunits itu. Para pelaku pelanggaran hak asasi manusia, baik sipil maupun militer, menjadi semakin tidak bertanggung jawab lagi kalau mereka tidak dimintakan pertanggungjawabannya di depan pengadilan. Kelompok Kerja itu selanjutnya berargumentasi bahwa impunitas juga dapat mendorong para korban pelanggaran itu untuk melakukan suatu bentuk kegiatan swadaya dan mengambil hukum ke tangan mereka sendiri (main hakim sendiri), yang pada gilirannya lebih memperburuk lagi spiral kekerasan (E/CN.4/1990/13 paragraf 18-24 dan 344-347). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam suatu suasana sosial dan politik di mana impunitas berlaku, hak atas reparasi bagi para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar mungkin sekali hanya merupakan suatu ilusi. Adalah sukar untuk memahami bahwa suatu sistem keadilan yang menaruh perhatian pada hak para korban, dalam waktu yang bersamaan dapat tetap acuh-tak-acuh dan tak berdaya terhadap perbuatan-salah yang berat dari para pelaku. 2 Lihat lebih lanjut Robert K. Goldman, "Impunitas dan hukum internasional – Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Amerika menemukan bahwa undang-undang amnesti Uruguay 1986 melanggar Konvensi Amerika Tentang Hak Asasi Manusia", makalah (12 halaman) yang diajukan kepada Rapat Internasional mengenai Impunitas, yang diselenggarakan oleh Komisi Ahli Hukum Internasional dan Commission nationals consultative des droits de l'homme, Jenewa, November 1992. 3 Pernyataan tertulis yang diajukan oleh Komisi Para Ahli Hukum Internasional kepada Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Terhadap Golongan Minoritas dalam sidangnya ke-44 (E/CN.4/Sub.2/1992/NGO/9). 6 Kompensasi Bagi Para Korban: Studi Kasus Terhadap Invasi Irak Atas Kuwait Dalam resolusi 687 (1991) yang disahkan oleh Dewan Keamanan tanggal 3 April 1991, Dewan menegaskan bahwa Irak "… bertanggung jawab berdasarkan hukum internasional atas setiap kerugian, kerusakan langsung, termasuk kerusakan lingkungan dan habisnya sumber daya alam, atau kerugian yang ditimbulkan kepada pemerintah dan warga negara serta perusahaan asing, sebagai akibat dari penyerbuan dan pendudukan Irak secara tidak sah atas Kuwait" (paragraf 16). Berkaitan dengan hal itu, Dewan memutuskan untuk membentuk suatu organisasi penggalangan dana untuk membayar klaim-klaim yang termasuk dalam paragraf 16 yang dikutip di atas dan untuk mendirikan suatu Komisi yang akan mengatur dana tersebut. Perlu dicatat bahwa perumusan dalam paragraf 16 dari resolusi 687 (1991) pada dasarnya mempertegas kembali paragraf 8 resolusi Dewan 674 (1990), yang mengingatkan Irak bahwa "… berdasarkan hukum internasional, Irak bertanggung jawab atas kerugian, kerusakan atau cedera yang ditimbulkannya terhadap Kuwait dan negara ketiga, dan warga negara serta perusahaan mereka, sebagai akibat dari penyerbuan dan pendudukan tidak sah Kuwait oleh Irak". Untuk keperluan studi ini, ada tiga masalah yang akan didiskusikan: (a) dasar hukum mengenai kewajiban Irak membayar kompensasi: (b) kerugian, kerusakan atau cedera yang diderita dalam hubungan dengan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia; (c) Pemerintah dan perorangan sebagai subyek yang mengajukan klaim.1 1 Lihat juga Larisa Gabriel, "Para korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang timbul dari penyerbuan dan pendudukan tidak sah atas Kuwait oleh Irak", Laporan dari Seminar Maastricht, hal. 29-39; Frank C. Newman, "Reparasi untuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam Perang Teluk", Denver Journal of International Law and Policy, vol. 20 (1992), hal. 213-221; John R. Crook, "Komisi Kompensasi Perserikatan Bangsa-Bangsa – Suatu Struktur Baru Terhadap Tanggung Jawab Negara", American Journal of International Law, vol. 87 (1993), hal. 144-157. 73 Dasar Hukum Bagi Kewajiban Irak untuk Membayar Kompensasi Dalam Bab 2 buku ini tentang perlindungan korban berdasarkan norma hukum internasional dan tentang tanggung jawab negara, kewajiban untuk memberi kompensasi berdasarkan hukum inernasional telah ditinjau dengan mengingat prinsip dan aturan hukum humaniter, norma-norma hukum hak asasi manusia internasional dan hukum nasional Negara yang bertanggung jawab, yaitu negara yang menjadi subjek dari suatu studi menyeluruh Komisi Hukum Internasional. Ketika Dewan Keamanan menegaskan tanggung jawab Irak berdasarkan hukum internasional untuk setiap kerugian, kerusakan atau cedera, Dewan tidak mempertimbangkan kerugian, kerusakan atau cedera yang ditimbulkan Irak pada warga negaranya sendiri sebagai akibat dari praktek besar-besaran pelanggaran berat hak asasi manusia dan yang menjadi pokok masalah dari suatu mandat yang dipercayakan kepada seorang Pelapor Khusus sesuai dengan resolusi 1991/74 dari Komisi tentang Hak Asasi Manusia (E/CN.4/1992/31. Dewan Keamanan, dengan mendasarkan diri pada konsep tradisional mengenai hukum internasional dan terutama sekali dengan mengingat kepentingan pampasan dalam konteks antar-negara, yang mengacu pada kerugian, kerusakan atau cedera-cedera yang ditimbulkan oleh Irak kepada Pemerintah Kuwait, warga negara dan perusahaan asing. Dari perspektif ini, adalah sangat wajar dan layak bahwa Pelapor Khusus yang menelaah situasi hak asasi manusia di Kuwait di bawah pendudukan Irak, yang ditunjuk sesuai dengan resolusi 1991/67 dari Komisi Hak Asasi Manusia, memberi perhatian semestinya dalam laporannya kepada isu-isu yang berkaitan dengan tangung jawab dan kompensasi (E/CN.4/1992/26, paragraf 249-261). Harus diingat, sebagaimana dilakukan oleh Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusia di Kuwait di bawah pendudukan Irak, bahwa menurut suatu prinsip hukum internasional yang sudah mantap, terjadi "perbuatan salah secara internasional dari suatu Negara apabila: (a) perbuatan berupa ‘melakukan suatu kegiatan’ (action) atau ‘tidak melakukan kegiatan’ (omission) oleh suatu Negara berdasarkan hukum internasional; dan (b) perbuatan itu merupakan suatu pelanggaran terhadap kewajiban internasional dari Negara tersebut" (Pasal 3 dari pasal-pasal rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab Negara, Bag. Satu, dok. A/CN.4/SER/A/1975/Add.1). Tambahan pula, di bidang hukum humaniter internasional, acuan harus dilakukan pada ketentuan umum dalam empat Konvensi Jenewa tahun 19949 (Pasal 74 51 Konvensi Pertama, Pasal 52 Konvensi Kedua, Pasal 131 Konvensi Ketiga dan Pasal 148 dari Konvensi Keempat) dengan tujuan bahwa tidak satu pun negara diperbolehkan membebaskan dirinya sendiri atau suatu negara lainnya dari tanggung jawab yang ditimbulkan oleh negara itu sendiri atau oleh suatu negara lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran berat yang didaftar dalam Konvensi-Konvensi Jenewa itu. "Pelanggaran berat", menurut rumusan Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat adalah "pelanggaran yang mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut ini (kalau dilakukan terhadap orang-orang atau kekayaan yang dilindungi oleh Konvensi): penyiksaan dengan sengaja atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis, dengan sengaja menimbulkan penderitaan berat atau cedera serius pada tubuh atau kesehatan, deportasi atau pemindahan tidak sah atau penahanan tidak sah terhadap orang yang dilindungi, memaksa seorang yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan suatu Kekuatan yang bermusuhan, atau dengan sengaja meniadakan hak dari orang yang dilindungi untuk memperoleh pengadilan yang jujur dan teratur yang ditetapkan dalam Konvensi, menahan sandera dan melakukan penghancuran meluas dan perampasan kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara serampangan". Di samping itu, semua Pasal 3 dalam Konvensi-Konvensi Jenewa, yang dimasukkan ke dalam berbagai konvensi tersebut sebagai suatu standar perlindungan dalam kaitan dengan perselisihan bersenjata yang tidak bersifat internasional, harus dianggap sebagai suatu ukuran minimum dari hukum kebiasaan internasional yang dapat diterapkan pada semua jenis konflik bersenjata dan dengan demikian relevan dalam konteks hukum sekarang ini. Akibatnya, setiap Negara dan satuan hukum lain yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata akan terikat untuk menerapkan, paling sedikit, ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat berikut ini: Orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang sudah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan pada hors de combat karena sakit, cedera, ditahan, atau suatu sebab lain, dalam keadaan apa pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan lain yang bertentangan dan didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran atau kekayaan, atau kriteria lain yang serupa. Untuk tujuan ini, tindakan-tindakan berikut ini dilarang dan akan tetap dilarang setiap waktu, di mana pun dan bagaimanapun berkenaan dengan orang-orang yang tersebut di atas: (a) kekerasan 75 terhadap kehidupan dan manusia, terutama pembunuhan dalam berbagai jenis dan bentuknya, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; (b) penahanan terhadap sandera; (c) kebiadaban terhadap martabat manusia, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat; (d) dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya eksekusi tanpa keputusan yang sebelumnya diumumkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara biasa: pengadilan yang memberikan semua jaminan yudisial yang diakui secara umum dan dikenal oleh orang-orang yang beradab sebagai pengadilan yang memang semestinya ada. Kerugian, Kerusakan Atau Cedera yang Diderita Dalam Hubungan Dengan Pelanggaran Berat Terhadap Hak Asasi Manusia Salah satu tugas utama Dewan Pengatur dari Komisi Kompensasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCC = United Nations Compensation Commission), yang dibentuk sesuai dengan paragraf 18 dari resolusi Dewan Keamanan 687 (1991) untuk mengatur dana pembayaran kompensasi terhadap klaim-klaim, adalah dirumuskannya kriteria untuk memproses klaim-klaim mendesak (S/AC.26/1991/1). Kriteria ini belakangan dilengkapi dalam keputusan-keputusan berikutnya yang diambil oleh Dewan Pengatur UNCC (S/AC.26/1991/2-7). Menurut kriteria Komisi, "klaim yang diajukan haruslah untuk kasus kematian, cedera pribadi atau kerugian langsung terhadap para pribadi sebagai akibat dari penyerbuan dan pendudukan Kuwait oleh Irak. Ini mencakup setiap kerugian yang diderita sebagai akibat dari: a. Operasi militer atau ancaman aksi militer oleh kedua belah pihak selama kurun waktu antara 2 Agustus 1990 dan 2 Maret 1991; b. Keberangkatan dari atau ketidakmampuan meninggalkan Irak atau Kuwait (atau keputusan untuk tidak kembali) selama kurun waktu tersebut; c. Tindakan oleh para pejabat, pegawai atau wakil Pemerintah Irak atau satuan hukum yang dikuasai selama kurun waktu itu dalam hubungan dengan penyerbuan atau pendudukan tersebut; d. Rusaknya tatanan sipil di Kuwait atau Irak selama kurun waktu itu; atau e. Penahanan sandera atau penahanan ilegal lainnya (S/AC.26/1991/1, paragraf 18). 76 Dalam suatu keputusan yang diambil oleh Dewan Pengatur UNCC selama sidangnya yang kedua, yang diselenggarakan tanggal 18 Oktober 1991, Dewan Pengatur mengesahkan rumusan mengenai gagasan tentang cedera tubuh yang serius dan kesakitan dan kesedihan mental, dengan tujuan untuk penerapan kriteria itu (S/AC.26/1991/3). Berkenaan dengan cedera pribadi yang serius, Dewan Pengatur memutuskan bahwa gagasan ini berarti: a. Cedera; b. Cacat mencolok secara permanen atau sementara, seperti misalnya perubahan substansial dalam penampilan luar seseorang; c. Kehilangan permanen atau sementara atas penggunaan atau terbatasnya penggunaan suatu anggota, bagian, fungsi atau sistem tubuh; d. Suatu cedera yang, kalau dibiarkan tak terawat, mungkin sekali membawa akibat tidak tersembuhkan sepenuhnya bagian tubuh yang cedera itu, atau mungkin sekali memperpanjang jangka waktu penyembuhan. "Untuk keperluan penyembuhan di hadapan Komisi Kompensasi, 'cedera pribadi serius' juga mencakup hal-hal mengenai cedera fisik atau mental yang timbul dari serangan seksual, siksaan, serangan fisik berat, penahanan sandera atau penahanan ilegal selama lebih dari tiga hari atau dipaksa bersembunyi selama lebih dari tiga hari karena ketakutan yang sangat beralasan untuk hidup seseorang atau karena ditahan sebagai sandera atau ditahan secara ilegal. "Cedera pribadi serius" tidak termasuk berikut ini: lecet, ketegangan mental atau keseleo ringan, cedera bakar ringan, luka teriris dan luka kecil lainnya; atau iritasi lain yang tidak membutuhkan perawatan medis untuk jangka waktu tertentu". Mengenai cidera mental dan kesedihan, berikut itu dikatakan: "Kompensasi akan diberikan untuk masalah kehilangan daya dukung finansial (termasuk kehilangan penghasilan dan biaya ganti rugi) yang ditimbulkan kesakitan mental dan penderitaan batin yang dalam. Di samping itu, kompensasi akan diberikan untuk ‘cedera-cedera non-keuangan’ yang berasal dari kesakitan mental dan kesedihan, sebagaimana dinyatakan berikut: a. Pasangan hidup, anak atau orang tua dari seseorang yang mengalami kematian; 77 b. Seorang pribadi mengalami cedera serius yang mencakup mutilasi, cacat mencolok secara permanen atau sementara, atau kehilangan secara permanen atau sementara daya atas penggunaan atau terbatasnya penggunaan dari suatu organ, anggota, fungsi atau sistem tubuh; c. Orang tersebut menderita serangan seksual atau serangan berat atau penyiksaan." Juga harus dicatat bahwa Dewan Pengatur UNCC memutuskan dalam sidangnya yang keenam pada tanggal 26 Juni 1992 bahwa para anggota Angkatan Bersenjata Koalisi Sekutu tidak berhak memperoleh kompensasi sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam operasi militer gabungan terhadap Irak, kecuali: (a) kompensasi diberikan sesuai dengan kriteria yang sudah disahkan oleh Dewan; (b) orang yang mengajukan klaim adalah tawanan perang; dan (c) kehilangan atau cedera yang diakibatkan oleh perlakuan salah yang melanggar hukum humaniter internasional (S/AC.26/1992/11). Pemerintah dan Pribadi Sebagai Subjek yang Mengajukan Klaim Mula-mula, menurut kriteria untuk pemrosesan klaim-klaim mendesak, pengajuan klaim merupakan hak terutama bagi Pemerintah. Sebagaimana dinyatakan oleh kriteria itu, "setiap pemerinah dari suatu Negara secara wajar akan mengajukan klaim orang-orang lain yang tinggal di wilayahnya" (S/AC.26/1991/1, paragraf 19). Akan tetapi, Dewan Pengatur Dana Kompensasi "dapat meminta seorang, pejabat atau badan yang tepat untuk mengajukan klaim-klaim atas nama orang-orang yang tidak berada dalam posisi pemerintahan untuk membuat agar klaim mereka diajukan oleh Pemerintah". Pemecahan ini tampaknya tidak memuaskan dan Dewan Pengatur Dana Kompensasi merasakan kebutuhan untuk mengembangkan lebih lanjut pedoman-pedoman dalam hal ini. Dalam suatu keputusan yang diambil selama sidang keduanya pada tanggal 18 Oktober 1991 yang berisi pedoman lebih lanjut ini (S/AC.26/1991/5), Dewan Pengatur menyatakan bahwa "sejumlah perorangan yang sangat besar mungkin sekali tidak berada dalam posisi untuk membuat agar klaim-klaim mereka diajukan oleh suatu Pemerintah. Di antara perorangan ini, orang-orang Palestina merupakan kelompok yang paling besar. Tambahan pula, orang-orang tanpa kewarga-negaraan dan perorangan lain dalam posisi sama 78 yang masih berada di Kuwait atau yang berada di garis perbatasan juga harus dimasukkan dalam kategori ini". Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang itu – orang-orang yang tidak terwakili oleh Pemerintah – dan untuk memenuhi klaim-klaim mereka, Komisi Kompensasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCC) menganggap bahwa seorang pribadi, pihak yang berwenang atau badan yang tepat perlu ditunjuk untuk mengajukan klaim atas nama orang-orang tersebut. Menyadari luasnya tugas yang hendak dipercayakan kepada orang, maka pihak berwenang atau badan tersebut, menurut Dewan Pengatur UNCC, seyogianya minta nasihat dan kerja sama yang layak dari badan-badan internasional yang sudah mantap dan berpengalaman, seperti misalnya UNRWA, UNHCR dan ICRC. Beberapa Komentar Pengaturan yang dilakukan berkenaan dengan kompensasi kepada para korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kasus penyerbuan dan pendudukan tidak sah terhadap Kuwait oleh Irak memiliki suatu dasar politik dan hukum yang kuat dalam resolusi Dewan Keamanan dan sekaligus menarik manfaat dari kewenangan Dewan Keamanan. Merupakan sifat dari tugas dan mandat Dewan Keamanan bahwa pembentukan Dana Kompensasi dan kriteria untuk pemrosesan klaim-klaim diatur berdasarkan kepentingan Negara. Kerangka hukum diletakkan dalam hukum yang berkaitan dengan klaim-klaim ganti rugi di pihak para subjek asing ketimbang di pihak hukum hak asasi manusia internasional modern. Namun demikian, kecenderungan dan unsur penting dapat dilihat sebagai relevan dalam konteks keseluruhan dari studi ini. Misalnya, pernyataan yang dikemukakan oleh Dewan Pengatur UNCC bahwa untuk tujuan pemulihan di hadapan Komisi Kompensasi, gagasan "cedera pribadi yang serius" mencakup hal-hal yang menyangkut cedera fisik atau mental yang timbul dari serangan seksual, siksaan, serangan fisik berat, penahanan sandera atau pendudukan ilegal selama lebih dari tiga hari, dapat memberi petunjuk yang berguna dalam mengembangkan kriteria mengenai hak atas ganti rugi bagi para korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Hal yang sama berlaku juga bagi lingkup dan isi yang diberikan kepada "kesakitan mental dan kesedihan" dan kepada kerugian finansial dan non-finansial yang merupakan akibat atau yang timbul dari 79 kesakitan mental dan kesedihan tersebut. Akhirnya, berdasarkan perkembangan progresif dari hukum hak asasi manusia internasional dan pemberian focus standi kepada para pribadi di depan forum internasional, maka ada satu hal penting yang perlu diperhatikan. Yaitu bahwa orang-orang yang menderita kerugian boleh mengajukan klaim mereka atas nama mereka sendiri dan tidak harus menyandarkan diri pada kemauan baik Pemerintah. Ini adalah suatu pertimbangan a fortiori dan suatu persyaratan keadilan yang mendesak dalam kasus orang-orang yang tak mempunyai kewarganegaraan dan pribadi-pribadi lain yang tidak mempunyai Pemerintah untuk bertindak atas nama mereka. Persoalan ini telah diperlihatkan sangat jelas dalam praktek UNCC. Dan orang tidak dapat tidak setuju dengan Pelapor Khusus tentang situasi hak asasi manusia di Kuwait di bawah pendudukan Irak, bahwa kompensasi harus diberikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia tanpa memandang kebangsaan dan status mereka sekarang ini di Kuwait (E/CN.4/1992/26, paragraf 261). 7 Penutup Kesimpulan, Rekomendasi, Prinsip Dasar dan Pedoman Sudah jelas bahwa pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar, khususnya ketika pelanggaran tersebut dilakukan dalam skala besar-besaran, pada dasarnya tidak dapat diperbaiki (irreparable). Dalam kasus semacam ini, perbaikan dan ganti rugi apa pun tidak memiliki hubungan yang proporsional dengan cedera yang teramat dalam yang diderita oleh para korban. Namun merupakan suatu norma imperatif keadilan bahwa tanggung jawab pelaku harus dijelaskan dan bahwa hak-hak para korban harus didukung sampai pada kemungkinan yang maksimal. Sudah jelas pula – sejak awal studi – bahwa hanya sedikit perhatian yang diberikan pada masalah-masalah remedi dan reparasi bagi para korban. Sikap tak acuh terhadap korban juga dijelaskan oleh kelompok kerja dan pelapor PBB yang berhubungan dengan pola konsisten pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh, Pelapor Khusus tentang eksekusi ekstra-yudisial, sumir atau sewenang-wenang baru-baru ini menyatakan bahwa dalam hal kompensasi yang dijamin bagi keluarga korban, eksekusi ekstra-yudisial, sumir atau sewenang-wenang hanya satu Pemerintah yang telah melapor kepadanya bahwa ganti rugi telah dilakukan terhadap keluarga korban.1 Meskipun ada standar internasional yang relevan dengan pengaruh tersebut (lihat Bab 2 buku ini), perspektif terhadap korban sering terlupakan. Tampaknya banyak penguasa memandang perspektif ini rumit, tidak menyenangkan dan memandangnya sebagai fenomena pinggiran. Oleh karena itu, hal tersebut tidak dapat terlalu ditekankan bahwa perhatian yang lebih sistematik dapat diberikan pada tingkat nasional dan internasional untuk pelaksanaan hak ganti rugi bagi korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Di PBB, kebutuhan ini dapat dipenuhi dalam kerja standar yang tersusun, dalam studi, dalam pelaporan, dalam prosedur pembebasan 1 E/CN.4/1993/46, paragraf 688. 81 dan ganti rugi dan dalam kegiatan praktis seperti yang telah dirancang oleh Dana Sukarela PBB untuk Korban Penyiksaan dan Dana Modal Sukarela Terhadap Bentuk Perbudakan Kontemporer. Harus selalu diingat bahwa banyak korban dan keluarga serta teman-temannya memaksa pengungkapan kebenaran sebagai pemenuhan keadilan yang pertama. Hal ini sesuai dengan kutipan dari dalam sebuah buku yang diberikan oleh orang yang bekerja sebagai anggota Komisi Nasional Chili untuk Kebenaran dan Konsiliasi: “Kebenaran dianggap sebagai sesuatu yang absolut, nilai yang tidak dapat ditinggalkan karena banyak alasan. Untuk mengambil tindakan reparasi dan pencegahan, harus diketahui dengan jelas apa yang harus diperbaiki dan dicegah. Lebih lanjut, masyarakat tidak dapat meninggalkan begitu saja babak kehidupannya; masyarakat tidak dapat menyangkal kenyataan di masa lalunya, namun hal ini dapat diinterpretasikan secara berbeda. Tidak dapat dihindarkan bahwa kekosongan ini diisi dengan kebohongan atau dengan versi masa lalu yang saling bertentangan dan membingungkan. Keutuhan bangsa tergantung pada berbagi identitas, yang pada gilirannya sebagian besar tergantung pada kenangan bersama. Kebenaran juga akan menjadi ukuran katarsis sosial yang sehat dan membantu mencegah kejadian masa lalu terulang kembali”.2 Kadang kala ada anggapan bahwa dengan berlalunya waktu maka kebutuhan untuk reparasi menjadi daluwarsa dan oleh karena itu tidak lagi berhubungan. Seperti yang sudah dibuktikan dalam studi ini, aplikasi pembatasan hukum sering kali menghapus reparasi bagi korban pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang menjadi hak mereka. Prinsip tersebut harus berlaku bahwa klaim yang berhubungan dengan ganti rugi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia harus tunduk pada batasan undang-undang. 3 Dalam hubungan ini, harus diperhitungkan bahwa pengaruh pelanggaran berat hak asasi manusia dihubungkan pada kejahatan yang paling berat. Dan menurut pendapat hukum yang otoritatif, terhadap kejahatan seperti itu, seharusnya pembatasan undang-undang tidak diterapkan. Lebih lagi, bagi banyak korban pelanggaran berat hak asasi manusia, berlalunya waktu tidak memiliki pengaruh yang melemahkan; sebaliknya ada peningkatan ketegangan pasca-traumatik, yang membutuhkan 2 José Zalaquett, “Kuliah Peringatan untuk Mathew O. Tobriner; Menyeimbangkan imperatif etika dan hambatan politik: Dilema demokrasi baru melawan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu”, dalam Hastings Law Journal, vol. 43 (1992), No. 6, hlm. 1425-1438 (pada paragraf 1433). 3 Lihat juga Ellen L. Lutz, “Setelah pemilihan: kompensasi korban pelanggaran hak asasi manusia”, dalam New Directions in Human Rights (ed. Ellen L. Lutz, Hurst Hannum, Kathryn J. Burke), University of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1989, hlm. 195 – 212. 82 semua bantuan dan dukungan material, medis, psikologis dan sosial yang perlu selama jangka waktu yang panjang. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan paparan di atas dan mengacu pada keseluruhan pembahasan di depan, maka di sini Pelapor Khusus menyerahkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: Umum Permintaan ganti rugi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia dan kebebasan dasar telah mendapatkan perhatian yang tidak memadai dan harus diarahkan lebih konsisten dan lebih menyeluruh baik di PBB maupun organisasi internasional yang lain, seperti juga di tingkat nasional. Persoalan reparasi harus dilihat dalam konteks keseluruhan promosi dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dan mencegah serta memperbaiki pelanggaran hak asasi manusia. Dalam menangani masalah reparasi, perhatian yang cukup harus diberikan kepada pengalaman yang didapatkan berbagai negara yang telah melalui pelanggaran berat hak asasi manusia dalam jangka waktu tertentu. Persatuan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Antar-Pemerintah Lainnya Telah direkomendasikan bahwa PBB, selama Dekade Undang-Undang Internasional saat ini, memberikan perhatian utama untuk melaksanakan seperangkat prinsip dan panduan yang memberikan isi terhadap hak reparasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Usulan panduan prinsip dasar yang termasuk dalam studi saat ini (lihat bab ini bagian “Prinsip Dasar dan Pedoman”) dapat berfungsi secara berdaya guna sebagai dasar bagi usaha semacam itu. 83 Telah direkomendasikan juga bahwa, sejauh tepat, instrumen baru hak asasi manusia mencakupi ketetapan mengenai reparasi dan bahwa pertimbangan perlu diberikan untuk mengubah instrumen yang ada dalam kaitan dengan kepentingan korban. Semua badan dan mekanisme yang berhubungan dengan masalah hak asasi manusia dan kemanusiaan pada tingkat nasional dan internasional harus menyadari perspektif korban, dan fakta bahwa korban sering kali menderita akibat-akibat berjangka panjang karena kesalahan yang membebani mereka. Badan perjanjian internasional yang memantau pengawasan dan pelaksanaan hak asasi manusia, dalam menjalankan tugasnya, harus memberikan perhatian secara sistematik dan semestinya pada persoalan reparasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia. Mereka harus mengangkat persoalan ini dalam menelaah kinerja Negara Pihak dan memasukkan masalah reparasi tersebut dalam ulasan dan rekomendasi umum mereka. Dan, sejauh dianggap tepat, perlu juga dimasukkan dalam penilaian dan pandangan mereka yang berhubungan dengan kasus khusus ini. Kelompok kerja dan pelapor yang berhubungan dengan situasi dan praktek yang mencakup pelanggaran berat dan sistematik terhadap hak asasi manusia harus membuat rekomendasi kepada Pemerintah mengenai langkah yang harus diambil sebagai upaya reparasi bagi korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Direkomendasikan bahwa dalam kegiatan pengembangan yang progresif dan kodifikasi mengenai topik “tanggung jawab negara”, lebih banyak perhatian diberikan pada aspek-aspek tanggung jawab negara. Tanggung jawab negara yang dimaksudkan tidak lain adalah kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang dalam wilayah kekuasaannya. Perundangan yang memberikan wewenang yurisdiksi universal atas mereka yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia, maupun pendirian pengadilan hak asasi manusia, pidana atau perdata, regional atau universal, harus disadari berarti bahwa hal tersebut dapat membuat mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Pelaku-Pelaku Lain 84 Lembaga Swadaya Mayarakat (organisasi non-pemerintah), sejauh dipandang tepat, harus mendesak pengakuan dan pelaksanaan hak atas reparasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, baik pada tingkat internasional maupun nasional dengan, antara lain, memaparkan pelanggaran dan membantu korban dalam memperjuangkan klaim mereka. Direkomendasikan bahwa korban itu sendiri atau – sejauh dipandang tepat – keluarga dekat, orang yang berada di bawah tanggungan korban atau orang yang bertindak atas nama korban, yang mengupayakan reparasi bagi cedera yang diderita sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia, harus memiliki akses pada prosedur sumber daya nasional dan internasional. Negara yang mencari dan memperoleh kompensasi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia yang diderita oleh warga negaranya atau orang lain di mana negara tersebut memiliki hak untuk bertindak mewakilinya harus menggunakan sumber daya ini bagi kepentingan korban. Negara tersebut seharusnya tidak meninggalkan atau menyelesaikan masalah kompensasi tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan korban. Dalam semua hal yang tepat, pusat atau lembaga nasional atau internasional yang berkegiatan mempromosikan keadilan bagi para korban pelanggaran berat hak asasi manusia seharusnya didirikan. Pusat atau lembaga semacam itu seyogianya menyelenggarakan dan memelihara catatan publik yang permanen tentang kebenaran. Lebih jauh, pusat dan lembaga tersebut harus mengumpulkan dan menampung informasi, hukum, studi, dan bahan-bahan lain tentang pengalaman bangsa yang terkait, memajukan pertukaran pengalaman dan perbandingan, menyaring pelajaran yang relevan, dan membantu membangun “gudang” pengetahuan. Prinsip Dasar dan Pedoman yang Diusulkan Pelapor Khusus dengan ini menyampaikan usul-usul berikut ini mengenai reparasi kepada para korban pelanggaran berat hak asasi manusia. Prinsip-Prinsip Umum Di bawah hukum internasional, pelanggaran terhadap setiap hak asasi manusia menimbulkan suatu hak atas reparasi bagi korban. Perhatian utama harus diberikan kepada pelanggaran berat 85 hak asasi manusia dan kebebasan dasar, yang mencakup sekurang-kurangnya berikut ini: genosida; perbudakan dan kebiasaan-kebiasaan menyerupai perbudakan; eksekusi secara sumir atau sewenang-wenang; penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; penghilangan secara paksa; penahanan sewenang-wenang dan berkepanjangan; deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; dan diskriminasi sistematik, terutama yang didasarkan pada ras atau gender. Setiap Negara4 mempunyai kewajiban untuk memberikan reparasi dalam hal terjadi suatu pelanggaran terhadap kewajiban di bawah hukum internasional untuk menghormati dan memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kewajiban untuk mencegah pelanggaran, kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran, kewajiban untuk mengambil tindakan yang layak terhadap para pelanggar, dan kewajiban untuk memberikan remedi kepada para korban. Negara harus memastikan bahwa tidak ada orang yang mungkin bertanggung jawab atas pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia akan mempunyai kekebalan dari tanggung jawab atas tindakan mereka. Reparasi untuk pelanggaran hak asasi manusia mempunyai tujuan untuk meringankan penderitaan dan memberikan keadilan kepada para korban dengan menghilangkan atau memperbaiki sejauh mungkin akibat-akibat dari tindakan salah dan dengan mencegah dan menangkal pelanggaran. Reparasi seharusnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan para korban. Reparasi haruslah proporsional dengan beratnya pelanggaran dan kerusakan yang ditimbulkan dan haruslah mencakup: restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan untuk tidak terulang lagi. Reparasi untuk pelanggaran berat hak asasi manusia tertentu yang menjadi kejahatan di bawah hukum internasional mencakup suatu kewajiban untuk menuntut dan menghukum para pelaku. Impunitas bertentangan dengan prinsip ini. Reparasi dapat dituntut oleh korban langsung dan – sejauh dipandang mungkin – keluarga dekat, orang yang berada di bawah tanggungan korban atau orang-orang lain yang mempunyai hubungan khusus dengan korban langsung. Di samping memberikan reparasi kepada perorangan, Negara seharusnya membuat ketentuan yang memadai bagi kelompok-kelompok korban untuk mengajukan klaim kolektif dan untuk 4 Di mana prinsip ini mengacu kepada negara, maka juga berlaku, sebagaimana layaknya, kepada satuan-satuan hukum lain yang melaksanakan kekuasaan efektif. 86 memperoleh reparasi kolektif. Tindakan khusus haruslah diambil untuk keperluan memberikan kesempatan untuk pengembangan-diri dan kemajuan bagi kelompok yang, sebagai akibat dari pelanggaran hak asasi manusia, telah dirampas haknya untuk memperoleh kesempatan tersebut. Bentuk-Bentuk Reparasi Restitusi haruslah diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh mungkin, situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Restitusi mengharuskan, antara lain, pemulihan kebebasan, kewarga-negaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja atau hak milik. Kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia, seperti misalnya: a. Kerusakan fisik dan mental; b. Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin; c. Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan; d. Hilangnya mata pencarian dan kemampuan mencari nafkah; e. Biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akal; f. Kerugian terhadap hak-milik atau usaha, termasuk keuntungan yang hilang; g. Kerugian terhadap reputasi atau martabat; h. Biaya dan bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan. Rehabilitasi haruslah disediakan, yang mencakupi pelayanan hukum, psikologis, perawatan medis, dan pelayanan atau perawatan lainnya, maupun tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi (nama baik) sang korban. Tersedianya atau diberikannya kepuasan dan jaminan bahwa perbuatan serupa tidak akan terulang lagi di masa depan, yang mencakupi: a. Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan; 87 b. Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan kebenaran sepenuhnya dan secara terbuka; c. Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban; d. Permintaan maaf, termasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta dan penerimaan tanggung jawab; e. Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran; f. Peringatan dan pemberian hormat kepada para korban; g. Dimasukkannya suatu catatan yang akurat mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam kurikulum dan bahan-bahan pendidikan; h. Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti: (i). Memastikan pengendalian sipil yang efektif atas militer dan pasukan keamanan; (ii) Membatasi yurisdiksi mahkamah militer; (iii) Memperkuat kemandirian badan peradilan; (iv) Melindungi profesi hukum dan para pekerja hak asasi manusia; (v) Memberikan pelatihan hak asasi manusia pada semua sektor masyarakat, khususnya kepada militer dan pasukan keamanan dan kepada para pejabat penegak hukum. Prosedur dan Mekanisme Setiap Negara akan mempertahankan prosedur disiplin, administratif, sipil dan kriminal yang cepat dan efektif, dengan yurisdiksi universal untuk pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional. Sistem hukum, khususnya dalam masalah-masalah perdata, administratif dan prosedural, harus disesuaikan sehingga menjamin bahwa hak atas reparasi dapat diakses dengan mudah, tidak dihambat secara tak masuk akal dan mempertimbangkan kerentanan potensial dari para korban. 88 Setiap Negara akan mengumumkan, lewat media dan mekanisme yang tepat lainnya, prosedur yang tersedia untuk memperoleh reparasi. Keadaan daluwarsa tidak berlaku bagi jangka waktu di mana selama itu tidak ada upaya perbaikan yang efektif untuk pelanggaran hak asasi manusia. Klaim-klaim yang berkaitan dengan reparasi bagi pelanggaran berat hak asasi manusia sepantasnyalah untuk tidak terkena batasan waktu. Tidak seorang pun akan dipaksa untuk melepaskan haknya yaitu hak untuk memperoleh reparasi. Setiap Negara akan menyediakan semua bukti yang dipunyainya mengenai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mahkamah administratif atau yudisial yang bertanggung jawab atas pemberian reparasi harus memperhitungkan bahwa catatan-catatan atau bukti nyata lainnya mungkin terbatas atau tidak tersedia. Dengan tidak adanya bukti lain, reparasi seharusnya didasarkan pada kesaksian para korban, anggota keluarga, para ahli medis dan kesehatan mental. Setiap Negara akan melindungi para korban, keluarga dan teman-teman mereka, dan para saksi dari intimidasi dan pembalasan dendam. Keputusan yang berkaitan dengan reparasi untuk para korban pelanggaran terhadap hak asasi manusia akan dilaksanakan dengan teliti dan cepat. Demi keperluan ini, maka prosedur tindak-lanjut, seruan atau peninjauan sudah seharusnyalah dirancang. ***** Erangan kesakitan di halaman-halaman buku ini tidak pernah disuarakan oleh korban yang paling menderita dan sengsara. Selama berabad-abad mereka terdiam membisu. Di mana pun hak asasi manusia telah diinjak-injak secara kejam, di sanalah kebisuan dan kepasifan merajalela, tidak meninggalkan jejak dalam sejarah; karena sejarah hanya mencatat perkataan dan perbuatan mereka yang mampu – meskipun hanya sekelumit – mengatur nasib mereka sendiri, atau paling tidak mencoba berbuat demikian. Masih sangat banyak – dan kini pun demikian – pria, wanita, dan anak-anak yang sebagai akibat kemiskinan, teror, atau kebohongan, telah dipaksa melupakan martabat yang sebetulnya tidak dapat dipisahkan dari diri mereka, atau dibuat untuk melepaskan usaha-usaha untuk menjamin pengakuan terhadap martabat itu oleh yang lain. Mereka membisu. Kebanyakan korban yang mengeluh dan didengarkan adalah yang bernasib mujur. Buku ini merupakan laporan dari hasil studi yang dilakukan Mr. Theo van Boven, seorang pelapor khusus PBB. Buku ini hadir dengan harapan bahwa wacana hak asasi manusia semakin menemukan bentuknya yang elegan dalam perjuangan demokratisasi di negeri ini. Konsep hak asasi manusia adalah elemen inti dari demokrasi itu sendiri. Baik konsep hak asasi manusia maupun demokrasi sama-sama menolak setiap sikap (entah terbahasakan dalam berbagai cara) yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Keadilan harus ditegakkan. Korban harus dipulihkan dan dihormati. Itulah pesan utama buku ini dalam praktek kehidupan kita ke depan terutama di masa transisi ini. Bagi setiap nurani yang terusik – dan juga bagi yang tumpul – tatkala menyaksikan korban berjatuhan di bawah tahta ketidakadilan, buku ini hadir menjadi pemacu semangat dan penyejuk kemarahan agar tidak takabur.