UNIVERSITAS INDONESIA TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN KANKER SERVIKS YANG MENJALANI TERAPI RADIASI SERIAL KASUS JULIA DEWI NERFINA 1106142601 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JULI 2014 Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 UNIVERSITAS INDONESIA TATALAKSANA NUTRISI PADA PASIEN KANKER SERVIKS YANG MENJALANI TERAPI RADIASI SERIAL KASUS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik JULIA DEWI NERFINA 1106142601 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JULI 2014 i Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus atas berkat dan campur tanganNya sehingga laporan serial kasus yang berjudul Tatalaksana Nutrisi pada Pasien Kanker Serviks yang Menjalani Terapi Radiasi ini dapat terselesaikan. Laporan serial kasus ini disusun sebagai tugas akhir dalam menempuh Program Studi Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada ibunda terkasih Ny.L.E.Siagian untuk segala dukungan doa yang tiada putus-putusnya hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengingat untuk ayahanda tercinta, Alm.Marsekal Pertama (Pur) L.E.Siagian untuk semua hal terbaik yang pernah diberikan dalam kehidupan penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis haturkan kepada Dr.dr. Inge Permadhi, MS, SpGK selaku pembimbing akademik atas bimbingan, perhatian dan dukungan yang diberikan dalam menempuh masa-masa sulit selama masa pendidikan ini. Kiranya Tuhan yang membalaskan segala kebaikan yang telah diberikan. Kepada Dr.dr. Fiastuti Witjaksono, MSc, MS, SpGK selaku kepala departemen Ilmu Gizi FKUI, dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK selaku ketua program studi PPDS-1 IGK FKUI, Dr.dr. Johana Titus, MS, SpGK sebagai sekretaris program studi PPDS-1 IGK FKUI, seluruh dosen pembimbing di RSCM, rumah sakit jejaring di RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita, terima kasih atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. Terima kasih yang tulus juga untuk orang-orang tercinta, suami, inang mertua, kakak-kakak dan adik-adik atas segala pengertian dan dukungan yang diberikan selama masa pendidikan ini. Terima kasih juga kepada teman-teman peserta PPDS-1 IGK FKUI angkatan ketiga sampai angkatan keenam, atas segala kekompakan, saling berbagi, saling menguatkan, selama menjalani proses pendidikan, kiranya persaudaraan kita tetap berlanjut. iv Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Penghargaan tak terhingga untuk semua pasien-pasien kanker serviks terkasih di Departemen Radioterapi RSCM. Terima kasih untuk kerjasama yang baik, tanpa dukungan dari semua pasien, serial kasus ini tidak dapat terlaksana, doa penulis senantiasa menyertai. Terimakasih kepada seluruh rekan-rekan PPDS, konsulen, perawat, dietisien RSCM, terutama di Departemen Radioterapi RSCM, RSUD Tangerang, RS Sumber Waras, dan RSAB Harapan Kita atas kerja sama yang terjalin baik selama ini. Terimakasih kepada seluruh karyawan Departemen Ilmu Gizi, atas bantuan, dukungan, kerjasama dan pengertian yang baik selama penulis menempuh pendidikan. Untuk sahabat-sahabatku yang terbaik dr.Christianie Setiadie, M.Gizi, SpGK, dr.Tutik Ernawati, M.Gizi, SpGK dan dr.Anna Maurina Singal, M.Gizi, teman dalam suka dan duka, terima kasih atas semua bantuan yang tulus dan semangat yang diberikan selama ini. Penulis berharap semoga laporan serial kasus ini memberikan manfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khusunya untuk penderita kanker serviks. Kiranya Tuhan yang membalas segala budi baik semua pihak yang telah berperan dan membantu penulis selama menempuh studi. Jakarta, 14 Juli 2014, Penulis v Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 ABSTRAK Nama Program Studi Judul Pembimbing : Julia Dewi Nerfina : Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 : Tatalaksana Nutrisi pada Pasien Kanker Serviks yang Menjalani Terapi Radiasi : Dr.dr.Inge Permadhi, MS, SpGK Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang berhubungan dengan masalah nutrisi. Massa tumor dapat menyebabkan berbagai perubahan metabolik dalam tubuh dan dapat mempengaruhi asupan sehingga pasien dapat jatuh dalam kondisi malnutrisi. Efek samping radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan efek mual, muntah dan diare yang dapat semakin memperburuk status gizi pasien. Tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi dan kemoterapi bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan status gizi, meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang harapan hidup pasien. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien, nutrient spesifik serta pemberian konseling dan edukasi. Pasien pada serial kasus ini berusia antara 42 hingga 52 tahun dengan stadium yang berbeda. Seluruh pasien menjalani radioterapi, sedangkan satu pasien menjalani radioterapi dan kemoterapi. Semua pasien memiliki skrining dengan nilai ≥2 menggunakan malnutrition screening tool (MST). Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subyektif, kondisi klinis, tanda vital, antropometri, kapasitas fungsional dan analisis asupan. Hasil pemantauan keempat pasien ternyata dukungan nutrisi yang diberikan dapat meningkatkan asupan dan menaikkan berat badan pada pasien pertama sedangkan pada pasien kedua, ketiga dan keempat terjadi penurunan berat badan yang minimal. Kapasitas fungsional pasien tidak mengalami penurunan dan kualitas hidup keempat pasien membaik. Kata kunci: kanker serviks, radioterapi, kemoterapi, tatalaksana nutrisi vii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 ABSTRACT Name Study Programme Title Supervisor : Julia Dewi Nerfina : Study Program of Clinical Nutrition Specialist, Faculty of Medicine, University of Indonesia : Nutrition Therapy in Cervical Cancer Patients Undergoing Radiotherapy : Dr.dr. Inge Permadhi, MS, SpGK Cervical cancer is malignant disease associated with nutrition problem. Tumor mass can lead to metabolic changes in the body and affect nutritional intake, so that patients can fall in malnutrition. Side effects of radiotherapy and chemotherapy are nausea, vomiting and diarrhea which can further worsen the nutritional status of patients. Nutrition management for cervical cancer patients in radiotherapy and chemotherapy are to maintain or increase nutritional status, improve quality of life and prolong survival of patients. Management of nutrients provision include to provide macronutrients, micronutrients, specific nutrients, counseling and education. Patients age in this case series were between 42 to 52 years with a different stage of cervical cancer. All patient underwent radiotherapy, in which one patient underwent radiotherapy and chemotherapy. All patients had a screening score ≥2 using a malnutrition screening tool (MST). Monitoring included subjective complaints, clinical condition, vital signs, anthropometric, functional capacity and intake analysis. The results of monitoring for all patients were nutritional support could increase intake and weight gain in the first patients, for second, third and fourth patients minimize weight loss. Functional capacity of all patients did not decline and quality of life all patients are increasing. Keywords: cervical cancer, radiotherapy, chemotherapy, nutrition management. viii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iii KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................. vi ABSTRAK ............................................................................................................... vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii DAFTAR TABEL .................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xii DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xviii 1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2. Tujuan ...................................................................................................... 2 1.2.1. Tujuan Umum .............................................................................. 2 1.2.2. Tujuan Khusus ............................................................................. 2 1.3. Manfaat ..................................................................................................... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 2.1. Anatomi Serviks ....................................................................................... 2.2. Kanker Serviks .......................................................................................... 2.2.1. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks ............................................ 2.3 Epidemiologi ............................................................................................. 2.4. Etiologi ...................................................................................................... 2.5. Faktor Risiko ............................................................................................. 2.6. Tanda dan Gejala ........................................................................................ 2.7. Staging ...................................................................................................... 2.8. Kaheksia Kanker ....................................................................................... 2.9. Gangguan Metabolisme pada Kanker ....................................................... 2.9.1. Metabolisme Karbohidrat ............................................................. 2.9.2. Metabolisme Protein .................................................................... 2.9.3. Metabolisme Lipid ....................................................................... 2.10. Terapi Kanker Serviks .............................................................................. 2.10.1. Operasi ........................................................................................ 2.10.2. Terapi Radiasi ............................................................................. 2.10.2.1 Radiasi eksterna ............................................................ 2.10.2.2 Brakiterapi ..................................................................... 2.10.2.3 Intravena ....................................................................... 2.10.3 Kemoterapi ................................................................................... 2.10.4. Efek Samping Terapi Radiasi dan Kemoterapi ............................ 2.11. Tatalaksana Nutrisi ................................................................................. 2.11.1. Skrining ..................................................................................... 2.11.2. Kebutuhan Energi ....................................................................... 2.11.3. Kebutuhan Protein ..................................................................... 2.11.4. Kebutuhan Lemak ...................................................................... 2.11.5. Kebutuhan Karbohidrat dan Serat .............................................. 2.11.6. Kebutuhan Mikronutrien ............................................................ 2.11.7. Kebutuhan Cairan ...................................................................... 2.11.8. Nutrient Spesifik ........................................................................ 2.11.8.1. Asam Amino Rantai Cabang ....................................... ix 4 4 4 5 8 8 9 10 11 13 16 16 17 18 19 19 20 20 21 22 22 22 24 24 25 25 26 27 29 30 31 31 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 2.11.8.2. Asam Lemak Omega-3 ................................................ 2.11.8.3. Probiotik, Prebiotik, dan Sinbiotik .............................. 2.12. Jalur Pemberian ................................................................................................ 2.13. Interaksi Obat terhadap Saluran Cerna dan Nutrisi .......................................... 2.13.1.Cisplatin ............................................................................................... 2.13.2.Ondansetron .......................................................................................... 2.13.3.Ultracet ................................................................................................. 2.13.4.Transamin/asam traneksamat................................................................ 2.13.5.Lansoperazol ........................................................................................ 2.13.6.Loperamid ............................................................................................ 35 42 45 45 45 46 46 46 46 46 3. KASUS ............................................................................................................. 3.1. Kasus 1 ................................................................................................... 3.2. Kasus 2 ................................................................................................... 3.3. Kasus 3 ................................................................................................... 3.4. Kasus 4 ................................................................................................... 47 47 56 64 72 4. PEMBAHASAN ............................................................................................... 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 80 90 DAFTAR REFERENSI ......................................................................................... 91 x Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia .......................................... 38 Tabel 2.2. Risiko Terjadinya Efek Samping dari Asupan Omega-3 .................. 41 Tabel 3.1. Karakteristik Pasien ........................................................................... 47 Tabel 3.2. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ....... 49 Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ...................................................................................... 50 Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Pertama Selama Terapi Radiasi ...................................................................... 50 Tabel 3.5. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan .......... 58 Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ...................................................................................... 58 Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ...................................................................................... 59 Tabel 3.8. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ........... 66 Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ...................................................................................... 67 Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama Terapi Radiasi .................................................................................. 67 Tabel 3.11. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ...... 74 Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ...................................................................................... 74 Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan .......................................................................... 75 Tabel 3.4. Tabel 3.7. Tabel 3.10. Tabel 3.13. xi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Anatomi Serviks ........................................................................... 4 Gambar 2.2. Human Papilloma Virus Menginduksi Proliferasi Sel .................. 7 Gambar 2.3. Stadium Kanker Serviks ................................................................ 13 Gambar.2.4. Mekanisme Kanker Kaheksia ........................................................ 16 Gambar 2.5. Pengaruh Keadaan Hipoksia pada Penggunaan Glukosa oleh Sel Kanker........................................................................................... 17 Gambar 2.6. Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi ................................ 21 Gambar 2.7. Peran AARC pada Inflamasi Jaringan Otot. .................................. 32 Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker .......... 35 Gambar 2.9. Jalur Metabolisme Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 ............. 37 Gambar 2.10. Mekanisme Peran PUFA Dalam Modulasi Fungsi Imun............... 39 Gambar 2.11. Jalur Seluler Homeostasis Protein Otot ......................................... 40 Gambar 3.1. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 52 Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 52 Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 53 Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 54 Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 54 Gambar 3.6. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan 55 Gambar 3.7. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan ................................................................................... 55 Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ................................................................................... 60 Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ................................................................................... 61 Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ................................................................................... 62 Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ................................................................................... 62 Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Gambar 3.10. Gambar 3.11. xii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Gambar 3.12. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan ................................................................................... 63 Gambar 3.13. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan . 63 Gambar 3.14. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan .................................................................................. 64 Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .................................................................................. 68 Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .................................................................................. 69 Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ................................................................................... 70 Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .................................................................................. 70 Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ................................................................................... 71 Gambar 3.20. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan .. 71 Gambar 3.21. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan ................................................................................... 72 Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 76 Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 76 Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 77 Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 77 Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 78 Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 78 Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan ................................................................................... 79 Gambar 3.15 Gambar 3.16. Gambar 3.17. Gambar 3.18. Gambar 3.19. Gambar 3.22. Gambar 3.23. Gambar 3.24. Gambar 3.25. Gambar 3.26. Gambar 3.27. Gambar 3.28. xiii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 DAFTAR SINGKATAN α-MSH : α-melanocyte stimulating hormone AARC : asam amino rantai cabang ACS : American Cancer Society ACTH : adrenocorticotropic hormone AgRP : agouti related protein AI : acceptable intake AICR : American Institute for Cancer Research AKG : angka kebutuhan gizi ALA : alpha-linolenic acid AMP : adenosine mono phosphate AMPK : adenosine mono phosphate kinase AP : associated protein ASKES : asuransi kesehatan ATP : adenosine triphosphate BMS : bahan makanan sumber CACS : cancer anorexia-cahexia syndrome cAMP : siklus adenosin monofosfat CFU : colony forming unit CIN : cervical intraepithelial neoplasia COX : cyclooxygenase CRP : C-reactive protein CT scan : computed tomography scan EE : energy expenditure EPA : eicosapentaenoic acid DES : dietilstilbestrol DHA : docosahexanoic acid DNA : deoxyribose nucleic acid DPJP : dokter penanggung jawab pelayanan 4EBP1 : eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein 1 ESPEN : European Society for Parenteral and Enteral Nutrition FA : faktor aktivitas FIGO : International Federation of Gynecolog and Obstetric FS : faktor stres xiv Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 GDS : gula darah sewaktu GLUT-1 : glucose transporter-1 Gln : Glutamin GTPase : guanine triphosphate hydrolysis enzymes Gy : grey Hb : hemoglobin HB : Harris-Benedict 15-HETE : 15-hydroxy eicosatetraenoic acid HIF-1 : hypoxia-inducible factor 1 HIV : human immunodeficiency virus HPV : human papilloma virus Ht : hematokrit Hsp : heat shock protein HSL : hormone sensitive lipase HSV : herpes simplex virus IGF 1 : insulin-like growth factor 1 IKB : inhibitory κB-protein IL : interleukin IMT : indeks massa tubuh IR : insulin receptor IRS1 : substrat reseptor insulin-1 Jamkesda : jaminan kesehatan daerah KEB : kebutuhan energi basal KET : kebutuhan energi total KH : karbohidrat KPS : Karnofsky performance scale LAT1 : L-type amino acid transporter LCT : long chain trigliseride LDH : laktat dehidrogenase LED : laju endap darah LMF : lipid mobilizing factor LNAA : large neutral amino acid LOX : lipooxygenase LPL : lipoprotein lipase LT : leukotrien xv Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 MCH : mean corpuscular hemoglobin MCHC : mean corpuscular hemoglobin consentration MCT : medium chain trigliseride MC3R : melanocortine 3 receptor MCV : mean corpuscular volume MST : malnutrition screening tool mTORC 1 : mammalian target of rapamycin complex I NCI CTC : National Cancer Institute Common Toxicity Criteria NF-ĸb : nuclear transcripsi ĸB NPY : neuropeptida Y PDH : pyruvat dehidrogenase PDHK : pyruvate dehydrogenase kinase PG : prostaglandin PG-SGA : patient-generated subjective global assessment PIF : proteolysis-inducing factor PLA : phospholipase PMI : Palang Merah Indonesia PMN : polimorfonuklear POMC : proopiomelanocortin PPAR γ : peroxisome proliferator activated receptor γ PUFA : polyunsaturated fatty acid Rag GTPases : Rag guanine triphosphate hydrolysis enzymes RCT : randomized controlled trial RDA : Recommended Dietary Allowances REE : resting energy expenditure Rheb : homolog enriched in brain RNA : ribonucleic acid S6K1 : ribosom S6 kinase 1 SREBP : sterol regulatory element-binding protein SCFA : short chain fatty acid TB : tinggi badan TIBC : total iron binding capacity TNF : tumor necrosis factor TSC1/2 : sclerosis tuberous 1/2 TSG : tumor suppressor gene xvi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 TX : tromboksan Ub : ubiquitin USG : ultrasonografi WHO : World Health Organization ZAG : zinc-α2-glikoprotein xvii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Skrining Gizi ................................................................... 99 Lampiran 2 Lembar Monitoring Pasien Kasus Pertama .................................. 100 Lampiran 3 Lembar Monitoring Pasien Kasus Kedua ..................................... 106 Lampiran 4 Lembar Monitoring Pasien Kasus Ketiga ..................................... 111 Lampiran 5 Lembar Monitoring Pasien Kasus Keempat ................................. 114 xviii Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker serviks merupakan suatu neoplasma ganas primer pada organ serviks uteri. Sampai saat ini, kanker serviks masih merupakan penyebab kematian terbanyak akibat penyakit kanker di negara berkembang. Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. 1 Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40.000 kasus baru kanker serviks setiap tahun. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu kurang lebih 36%. Frekuensi kanker serviks di Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebesar 76,2% di antara kanker ginekologi.2 Penyebab utama dari kanker serviks adalah infeksi HPV (Human Papilloma Virus) yang terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Proses terjadinya karsinoma serviks sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia pada sel-sel epitel serviks. Sel kanker berperan dalam mengeluarkan sitokin yang dapat menyebabkan anoreksia hingga malnutrisi. Penderita kanker sering mengalami malnutrisi dengan karakteristik kehilangan berat badan (BB) secara progresif. Terapi kanker termasuk kemoterapi dan radioterapi memiliki efek samping anoreksia, nausea, muntah dan diare yang akan memperberat kehilangan BB. Radioterapi daerah pelvis dapat menyebabkan kerusakan jaringan sehat di sekitar sehingga terjadi komplikasi gastrointestinal seperti diare dan/atau keram perut, proktitis (gangguan pada daerah anorektal, tenesmus, perdarahan rektum) dan komplikasi genitourinari seperti sistouretritis (nyeri BAK, BAK sering, dan/atau BAK malam hari).1,2 Malnutrisi menimbulkan perpanjangan lama rawat di rumah sakit, juga morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Malnutrisi yang tidak segera diterapi dengan baik dapat menyebabkan terjadinya kaheksia. Kaheksia merupakan sindrom multifaktorial dengan karakteristik kehilangan BB, lemak dan massa otot. Beberapa penelitian yang dilakukan pada pasien kanker, pemberian nutrisi berupa makronutrien dan mikronutrien serta nutrient spesifik dapat meningkatkan Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 2 atau mempertahankan status gizi dan memperbaiki kualitas hidup. Namun beberapa penelitian untuk pemberian mikronutrien dan nutrient spesifik masih bersifat kontroversi. Dukungan nutrisi yang tepat sejak dini sangat diperlukan. Tatalaksana nutrisi yang adekuat meliputi pemberian nutrisi berupa diet makronutrien dan mikronutrien serta pemberian nutrient spesifik dapat meningkatkan asupan kalori pasien dan mencegah terjadinya kanker kaheksia serta dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Serial kasus ini ditujukan untuk membahas tatalaksana nutrisi pada pasien-pasien kanker serviks yang sedang menjalani terapi radiasi dan kemoterapi dan yang memiliki risiko malnutrisi. 1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Memberikan tatalaksana nutrisi yang tepat pada pasien kanker serviks agar dapat meningkatkan atau mempertahankan status gizi, menurunkan angka morbiditas dan lama rawat di rumah sakit serta dapat meningkatkan kualitas hidup. 1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui perubahan metabolisme protein, lemak, KH yang terjadi pada pasien kanker serviks stadium IIb, IIIb dan IVb yang menjalani radioterapi dan kemoterapi. 2. Mengetahui efek samping radioterapi dan kemoterapi terhadap pemberian nutrisi. 3. Memberikan tatalaksana nutrisi yang tepat pada pasien kanker serviks yang sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi. 4. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap tatalaksana nutrisi yang diberikan. 1.3. Manfaat 1. Manfaat bagi pasien: 1 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 3 Pasien diharapkan dapat memperoleh dukungan nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhannya untuk dapat menunjang keberhasilan terapi yang dijalani. 2. Manfaat bagi institusi: Hasil studi kasus serial ini diharapkan dapat menjadi data dan sumber informasi dalam memberikan tatalaksana nutrisi untuk pasien kanker serviks. 3. Manfaat bagi penulis: Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa pendidikan dalam memberikan tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Serviks Serviks uteri atau biasa disebut serviks terdapat di setengah hingga sepertiga bawah uterus, berbentuk silindris, dan menghubungkan uterus dengan vagina melalui kanal endoservikal. Serviks terdiri dari portio vaginalis, yaitu bagian yang menonjol ke arah vagina dan bagian supravaginal. Panjang serviks kira-kira 2,5–3 cm dan memiliki diameter 2–2,5 cm. Pada bagian anterior berbatasan dengan kantung kemih, pada bagian posterior, ditutupi oleh peritoneum yang membentuk garis cul-de-sac.2 Gambar.2.1. Anatomi Serviks Sumber: daftar referensi no.3 Terdapat banyak kelenjar serviks yang memanjang dari permukaan mukosa endoserviks langsung menuju jaringan ikat di sekitarnya, karena tidak terdapat lapisan sub mukosa, kelenjar inilah yang berfungsi mengeluarkan sekret yang kental dan lengket dari kanalis servikalis. Jika duktus kalenjar serviks tersumbat, dapat terbentuk kista retensi yang disebut sebagai folikel atau kista Nabothian.4 2.2. Kanker Serviks Kanker serviks merupakan kanker primer serviks yang tumbuh dan berkembang pada serviks atau mulut rahim, khususnya berasal dari lapisan epitel atau lapisan terluar permukaan serviks. Perjalanan penyakit kanker serviks melalui dimulai 4 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 5 dari proses karsinogenesis awal hingga terjadinya perubahan morfologi dan tumbuh menjadi kanker invasif.5 2.2.1. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks Infeksi HPV merupakan awal dari proses karsinogenesis kanker serviks uterus, infeksi ini dapat berlanjut menjadi lesi prakanker dan kemudian kanker serviks invasif karena ada ko-faktor infeksi. Beberapa faktor secara umum dibagi menjadi tiga faktor besar yaitu faktor eksogen, faktor virus dan faktor pejamu. Faktor eksogen antara lain faktor penggunaan kontrasepsi oral, merokok dan faktor penyakit hubungan seksual. Faktor virus antara lain viral load dan jenis HPV. Faktor pejamu antara lain faktor hormon, faktor genetik dan sistem kekebalan tubuh penderita.6 Sejak terinfeksi virus hingga menjadi lesi pra kanker serta akhirnya kanker, rentang waktunya adalah 3–14 tahun, dan rata-rata 10 tahun. Infeksi HPV merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan pada sel serviks. Onkoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat protein sel (associated protein/AP) kompleks E6-AP menyebabkan kerusakan p53 sehingga tumor suppressor gene (TSG) p53 akan kehilangan fungsinya. Fungsi p53 ini bekerja menghentikan siklus sel pada fase G1. Kerusakan p53 menyebabkan aktivitas henti sel (check point) dan apoptosis tidak terjadi, siklus sel berjalan tanpa kontrol, sedangkan onkoprotein E 7 akan mengikat TSG pRb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E 2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol. Protein virus E2 mempunyai peranan sebagai regulator replikasi virus, E 2 akan terikat dengan kromosom DNA sel, ikatan ini menyebabkan ekspresi E2 terganggu, terganggunya E2 menyebabkan terjadi penekanan p97 dan peningkatan ekspresi E 6 dan E7.7,8 Integrasi DNA virus dengan genom sel tubuh menyebabkan E 2 tidak berfungsi, tidak berfungsinya E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan menghambat p53 dan pRb. Penghentian siklus sel bertujuan memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang timbul. Setelah perbaikan selesai maka sel akan masuk ke fase S. Kemampuan p53 menghentikan Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 6 siklus sel melalui hambatannya pada cdk-cyclin. Kompleks cdk-cyclin berfungsi merangsang siklus sel memasuki fase selanjutnya.7,8 Hilangnya fungsi p53 menyebabkan penghentian sel pada fase G1 tidak terjadi, dan perbaikan tidak terjadi, dan sel akan terus masuk ke fase S tanpa ada perbaikan. Sel yang abnormal ini akan terus membelah dan berkembang tanpa kontrol. Selain itu p53 juga berfungsi sebagai perangsang apoptosis. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan.7,8 Protein E7 menghambat proses perbaikan sel melalui mekanisme yang berbeda. Pada proses regulasi siklus sel di fase G0 dan G1, tumor suppressor gene pRb berikatan dengan E2F, ikatan ini menyebabkan E2F menjadi tidak aktif (E2F merupakan gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, N-myc). Masuknya protein E7 menyebabkan E2F bebas terlepas dan merangsang proto-onkogen c-myc dan N-myc yang selanjutnya akan terjadi proses transkripsi atau proses siklus sel, seperti terlihat pada gambar 2.2. 7,8 Infeksi HPV merupakan infeksi yang terjadi secara lokal pada lapisan epitel serviks. Infeksi HPV tidak menembus membran basalis sehingga tidak menimbulkan viremia, tanpa gejala serta tidak menimbulkan reaksi radang.7 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 7 HPV E6 E7 p53 Cdk-cyclin E2 F pRb-E2F E6-p53 C-myc, N-myc G1 S M G2 Gambar 2.2. Human Papilloma Virus Menginduksi Proliferasi Sel dengan Merangsang cdk-cyclin, c-myc, N-myc Sumber: diolah kembali dari daftar referensi no.7 Proses karsinogenesis awal atau lesi pra kanker servik adalah lesi sebelum kanker disebut juga lesi intraepithel serviks/cervical intraepithelial neoplasia (CIN I), lesi ini merupakan awal dari perubahan menuju kanker serviks. Diawali dengan CIN I yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi kanker serviks. Tidak semua lesi pra kanker akan berkembang menjadi lesi invasif, karena masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi. Infeksi HPV yang berisiko terjadinya CIN adalah infeksi HPV persistent.7,8 Untuk memudahkan penilaian sitologi, klasifikasi Bethesda memperkenalkan dua kategori untuk menilai derajat lesi prakanker yaitu lesi derajat rendah (low grade squamous epithelial lesion) dan lesi derajat tinggi (high grade squamous epithelial lesion). Lesi derajat rendah setara dengan CIN I, sedangkan lesi derajat tinggi setara dengan CIN II dan CIN III. Kategori derajat rendah oleh karena CIN I hanya 12% saja yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II dan CIN III mempunyai risiko menjadi kanker invasif yang lebih besar bila tidak mendapat pengobatan.4,8 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 8 2.3. Epidemiologi Kanker serviks merupakan kanker yang menduduki urutan pertama dari kejadian kanker pada wanita di negara berkembang. Di negara maju, angka kejadian dan angka kematian kanker serviks telah menurun karena suksesnya program deteksi dini. Akan tetapi, kanker ini masih menempati posisi kedua terbanyak di seluruh dunia untuk keganasan pada wanita (setelah kanker payudara) dan diperkirakan diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya dengan angka kematian 27.000 orang.4,5 Apabila terdeteksi pada stadium awal, kanker serviks merupakan kanker yang paling berhasil diterapi dengan 5 years survival rate sebesar 92% untuk kanker lokal. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana, dan prasarana, jenis histopatologi, dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.5 2.4. Etiologi Hampir seluruh kanker serviks (99,7%) disebabkan oleh infeksi HPV. Virus ini bersifat spesifik dan hanya tumbuh di dalam sel manusia, terutama pada sel-sel lapisan permukaan serviks.5 HPV merupakan virus deoxyribose nucleic acid (DNA) dengan diameter kurang lebih 55 nm, genomnya terbentuk oleh dua rantai (double stranded) DNA yang terdiri dari kurang lebih 8000 pasang basa. Ukuran HPV sangat kecil, virus ini bisa menular melalui mikro lesi atau sel abnormal di vagina.4,8 Human papilloma virus dibagi menurut risikonya dalam menimbulkan kanker serviks, yaitu risiko tinggi dan risiko rendah, yang tergolong risiko rendah yaitu tipe 6,11, 42, 43, 44, 54, 61, 72, 81 disebut tipe non-onkogen. Jika terinfeksi, hanya menimbulkan lesi jinak, misalnya kutil dan jengger ayam, sedangkan untuk risiko tinggi yaitu tipe 16, 18, 31, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 82 disebut tipe onkogenik. Jika terinfeksi dan tidak diketahui ataupun tidak diobati, bisa menjadi kanker. Virus tipe ini ditemukan pada hampir semua kasus kanker serviks (99%).8,9 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 9 2.5. Faktor Risiko Faktor risiko dibagi menjadi dua yaitu faktor risiko yang telah dibuktikan dapat menyebabkan kanker serviks dan faktor risiko yang masih diperkirakan. Faktor risiko yang telah dibuktikan diantaranya hubungan seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya keterkaitan antara riwayat hubungan seksual dan risiko terkena penyakit ini.2 Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa, maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat.2 Karakteristik pasangan juga termasuk faktor risiko, dimana studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering berhubungan seks dengan pasangan pria yang sebelumnya telah memiliki pasangan seksual yang berganti-ganti. Sedangkan untuk riwayat ginekologis, telah dibuktikan bahwa hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko. 2,5 Penggunaan obat yang merupakan faktor risiko adalah Dietilstilbestrol (DES) dan telah terbukti ada keterkaitan antara clear cell adenocarcinoma serviks dengan paparan DES. Agen infeksius yang juga merupakan faktor risiko adalah HPV, herpes simpleks virus (HSV), serta infeksi bakteri.2,5 Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan HPV sebagai penyebab neoplasia servikal. Human Papilloma Virus tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan displasia ringan, yang sering mengalami regresi sedangkan tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan displasia berat, yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma in situ.8 Herpes Simplex Virus (HSV) spesifik ribonucleic acid (RNA) terbukti ditemukan pada pemeriksaan sampel jaringan wanita dengan displasia serviks, sedangkan infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berkaitan dengan kanker serviks. Infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan banyak pasangan.2 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 10 Merokok juga merupakan penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks telah terbukti dari berbagai penelitian. Mekanisme kerjanya dapat langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari rokok. 2,9 Faktor risiko yang masih diperkirakan yaitu kontrasepsi hormonal. Lamanya penggunaan kontrasepsi hormonal akan meningkatkan risiko menderita kanker serviks, kesimpulan tersebut diperoleh berdasarkan penelitian metaanalisis. Penggunaan sampai dengan 10 tahun kontrasepsi oral, meningkatkan risiko sampai dua kali. Paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan seperti debu, logam, bahan kimia, tar, oli mesin diperkirakan dapat menjadi risiko terkena kanker serviks, sedangkan dari segi etnis dan faktor sosial didapatkan bahwa wanita kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar terkena kanker serviks daripada wanita di kelas sosioekonomi yang paling tinggi.1,9 2.6. Tanda dan Gejala Pada lesi pra kanker 92% tidak terdapat gejala, walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, dan kalaupun ada hanya berupa rasa kering di vagina, atau keputihan berulang atau tidak sembuh-sembuh walaupun sudah diobati. Gejala klinis dapat dibedakan menjadi beberapa tahapan yaitu gejala awal, gejala lanjut, gejala metastase dan gejala kambuh.1,5 Gejala awal ditandai oleh adanya perdarahan lewat vagina pasca senggama atau spontan di luar masa haid. Perdarahan pasca senggama bisa terjadi bukan disebabkan oleh adanya kanker serviks, melainkan karena mikro lesi atau lukaluka kecil di vagina saat bersenggama. Serviks yang normal konsistensinya kenyal dan permukaannya licin, sedangkan serviks yang sudah berubah menjadi kanker bersifat rapuh, mudah berdarah dan diameternya biasanya membesar. Serviks yang rapuh tersebut akan mudah berdarah pada saat aktivitas seksual sehingga terjadi perdarahan pasca senggama.1,5 Gejala lain adalah keputihan yang berulang dan tidak sembuh-sembuh walaupun telah diobati. Keputihan ini terutama terjadi pada tahap nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat dan tidak diimbangi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 11 dengan pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapat aliran darah yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap, gatal, panas karena disertai adanya infeksi sekunder.1,5 Pada stadium lanjut disertai dengan nyeri panggul, pinggang dan tungkai, gangguan berkemih serta nyeri di kandung kemih dan anus. Keluhan ini muncul karena pertumbuhan kanker tersebut menekan atau mendesak, ataupun menginvasi organ sekitarnya.5 Gejala yang timbul pada kanker yang telah metastase, sesuai dengan organ yang terkena seperti penyebaran di paru-paru, hati dan tulang. Penyebaran ke kelenjar getah bening tungkai bawah dapat menimbulkan edema tungkai bawah, sedangkan gejala kekambuhan atau residif terlihat dari adanya edema pada tungkai satu sisi, nyeri panggul menjalar ke tungkai dan obstruksi ureter.1 2.7. Staging9 Penentuan stadium kanker serviks menurut International Federation of Gynecolog and Obstetric (FIGO) masih berdasarkan pada pemeriksaan klinis pra operatif ditambah dengan foto toraks serta sitoskopi dan rektoskopi. Stadium kanker serviks menurut FIGO 2000 adalah : Stadium 0 Karsinoma insitu, karsinoma intra epithelial Stadium I Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri diabaikan) Stadium Ia Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm. Stadium Ia1 Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm. Stadium Ia2 Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm. Stadium Ib Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia. Stadium Ib1 Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 12 Stadium Ib2 Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm Stadium II Telah melibatkan vagina, tapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul. Stadium IIa Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium Stadium IIb Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul. Stadium III Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain. Stadium IIIa Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul. Stadium IIIb Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal. Stadium IV Perluasan ke luar organ reproduktif Stadium IVa Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum Stadium IVb Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul. Gambaran stadium kanker serviks ini dapat dilihat pada gambar 2.3. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 13 Gambar 2.3. Stadium Kanker Serviks Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.9 2.8. Kaheksia Kanker Kanker kaheksia atau disebut juga dengan cancer anorexia-cahexia syndrome (CACS), merupakan sindrom dengan karakteristik kehilangan BB yang progresif, penurunan massa lemak dan massa otot, yang ditemukan pada 40–85% pasien stadium lanjut dan menyebabkan 20% kematian dari seluruh pasien kanker. Kanker kaheksia dapat juga menurunkan kualitas hidup pasien, menurunkan respon kemoterapi dan memperpendek harapan hidup. Angka kematian tinggi pada pasien yang kehilangan BB lebih dari 30%.10,11 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 14 Kanker kaheksia dibagi dalam tiga tahap yaitu prekaheksia, kaheksia dan refractory cachexia. Pada tahap prekaheksia ditandai dengan gejala klinis dan perubahan metabolisme seperti anoreksia dan toleransi glukosa terganggu yang menyebabkan penurunan BB tanpa disadari ≤5%. Tahap kaheksia terjadi penurunan BB ≥5% dalam waktu enam bulan terakhir atau IMT <20 kg/m 2 dan penurunan BB yang sedang berlangsung >2%, atau sarkopenia. Sedangkan pada tahap refractory cachexia, ditandai dengan progresivitas kanker yang cepat dan tidak respon dengan terapi anti kanker. Pada tahap ini harapan hidup kurang dari tiga bulan.12 Kriteria diagnosis sindrom kanker kaheksia ditegakkan apabila memenuhi kriteria penurunan BB minimal 5% dalam 12 bulan atau kurang (atau IMT <20 kg/m2) ditambah dengan tiga dari lima gejala yaitu penurunan kekuatan otot, fatigue, anoreksia, indeks massa bebas lemak yang rendah dan peningkatan parameter biokimia (C-reactive protein/CRP atau interleukin/IL-6), anemia dengan Hb <12 g/dL dan albumin serum yang rendah <3,2 mg/dL).12,13 Gejala klinis kanker kaheksia antara lain mual, muntah, perubahan rasa, diare, yang dapat timbul akibat gangguan metabolisme atau karena efek samping terapi. Anoreksia pada kanker disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sinyal oreksigenik seperti neuropeptida Y (NPY) yang merangsang asupan makan dan anoreksigenik seperti proopiomelanokortin (POMC) yang menghambat asupan makan di hipotalamus.13 Neuropeptida Y merangsang nafsu makan melalui pelepasan protein oreksigenik yang meningkatkan agouti related protein (AgRP). AgRP ini akan menetralkan kerja protein perangsang melanocortine 4 receptor (MC4R) yang dapat meningkatkan nafsu makan, sedangkan POMC merupakan neuron yang melepaskan α-melanocyte stimulating hormone (α-MSH) melalui sinyal pada reseptor MC3R dan MC4R. Pelepasan hormon ini akan menghasilkan penurunan nafsu makan, penurunan massa otot dan peningkatan basal metabolic rate (BMR).13 Sitokin pro inflamasi memegang peranan pada perubahan rasa lapar dan kenyang, beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sel tumor atau oleh respon tubuh terhadap adanya tumor seperti interleukin-1 (IL-1β), IL-6, tumour necrosis factor Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 15 α (TNF-α) dan interferon-γ (IFN-γ) merupakan mediator terjadinya kanker kaheksia. Pada pasien kanker umumnya ditemukan kadar serum IL-1, IL-6, TNFα yang tinggi, dan berkorelasi dengan progresivitas tumor. Sitokin ini juga mempengaruhi asupan dengan melepaskan leptin.10,13 Hormon leptin yang diproduksi oleh jaringan adiposa berperan pada pengaturan BB. Leptin berperan dalam mengontrol cadangan lemak dengan menghambat asupan makanan dan meningkatkan energy expenditure (EE). Kadar leptin serum tergantung dari jumlah cadangan lemak lemak tubuh. Kadar leptin yang rendah dapat meningkatkan aktivitas sinyal oreksigenik di hipotalamus yang merangsang makan dan menurunkan aktivitas sinyal anoreksigenik yang menghambat nafsu makan. Kadar leptin yang rendah di otak akan berpengaruh terhadap sitokin yang akan menghambat jalur NPY atau menyebabkan efek negatif dari leptin, yang akan menurunkan kadar NPY dan menyebabkan terjadinya anoreksia.14,15 Pada penelitian yang dilakukan pada pasien kanker dengan tumor solid, didapatkan EE pasien meningkat dibandingkan kelompok kontrol, bahkan sebelum terjadi penurunan BB. Peningkatan EE tersebut terlihat berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan diperkirakan akibat peningkatan adrenergik. Jenis tumor juga berperan dalam peningkatan resting energy expenditure (REE), dimana pada pasien kanker paru dan pankreas, didapatkan adanya peningkatan REE, sedangkan pada kanker gaster dan kolorektal tidak didapatkan.16 Terapi anti-kanker juga dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi. Kemoterapi dapat mengakibatkan mual, muntah, kembung, mukositis, ileus paralitik dan malabsorpsi. Beberapa obat anti-kanker, seperti fluorourasil, adriamicin, methotrexate dan cisplastin menyebabkan komplikasi yang berat pada gastrointestinal.16 Malnutrisi juga dapat menyebabkan terjadinya depresi pada pasien yang ditandai oleh perubahan kualitas hidup dan penurunan drastis dari penampilan pasien. Patofisiologis terjadinya kaheksia pada kanker bersifat mutifaktorial seperti akibat terapi anti-kanker, anoreksia, asupan makan yang tidak adekuat dan karena gangguan metabolisme. (gambar 2.5)1 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 16 KANKER Kompetisi pejamu/tumor Tumor side product Pengobatan anti kanker Aktivitas fisik ↓ Gangguan psikis Hambatan mekanik Metabolisme Inadekuat asupan energi dan pengeluaran energi Penurunan asupan KH, protein, lemak Gangguan metabolik Gangguan absorpsi Enteropati eksudatif KAHEKSIA Gambar.2.4. Mekanisme Kanker Kaheksia Sumber: daftar referensi no.16 2.9. Gangguan Metabolisme pada Kanker 2.9.1. Metabolisme Karbohidrat Hampir semua sel kanker menggunakan proses glikolisis yang membutuhkan glukosa yang sangat tinggi untuk menghasilkan ATP, proses ini dikenal sebagai efek Warburg. Efek Warburg disebabkan oleh adanya disfungsi mitokondria yang menyebabkan terjadinya mutasi DNA mitokondria yang akan menghalangi pemakaian asam piruvat sehingga menghambat siklus asam trikarboksilat.14 Deoksiribonukleat mitokondria mengkode 13 komponen rantai pernafasan, sehingga mutasi pada DNA mitokondria akan menyebabkan gangguan fungsi rantai pernafasan dan meningkatkan ketergantungan sel pada proses glikolisis. Gangguan ini akan menyebabkan terjadinya kondisi hipoksia yang akan mengaktifkan faktor transkripsi. Kondisi ini disebut sebagai hypoxia-inducible factor 1 (HIF-1) dimana HIF-1 ini akan meningkatkan transkripsi reseptor glucose transporter-1 (GLUT 1) dan pyruvate dehydrogenase kinase (PDHK) yang berperan memfosforilasi dan menginaktivasi pyruvat dehidrogenase (PDH) complex. Selanjutnya PDH ini akan mengubah piruvat menjadi acetyl-CoA di mitokondria sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi piruvat yang kemudian Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 17 akan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase (LDH).13 Kondisi hipoksia pada sel kanker yang mempengaruhi penggunaan glukosa digambarkan pada gambar 2.5. Gambar 2.5. Pengaruh Keadaan Hipoksia pada Penggunaan Glukosa oleh Sel Kanker Sumber: daftar referensi no.13 Perubahan glukosa menjadi laktat merupakan suatu proses yang tidak efisien, dimana untuk pertumbuhannya sel tumor membutuhkan 40 kali glukosa lebih banyak dibandingkan dengan oksidasi melalui siklus asam trikarboksilat. Laktat yang dihasilkan dari sel tumor selanjutnya akan dibawa ke hati dimana selanjutnya akan disintesis kembali menjadi glukosa. Proses ini disebut siklus Cori yang juga merupakan proses yang tidak efisien energi karena membutuhkan 6 mol ATP untuk menghasilkan 1 mol glukosa dari 2 mol asam laktat. Siklus Cori ini menyebabkan kehilangan energi pada pasien kanker sekitar 300 kkal perhari. 13 2.9.2. Metabolisme Protein Pada kondisi starvasi, penggunaan energi untuk otak oleh glukosa digantikan dengan benda keton yang merupakan hasil pemecahan lemak. Protein otot dan protein visceral dipergunakan sebagai prekursor glukoneogenesis sehingga terjadi penurunan katabolisme protein dan penurunan glukoneogenesis dari asam amino Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 18 di hati. Pada pasien kanker, asam amino tidak disimpan sehingga terjadi deplesi dari massa otot dan pada sebagian pasien terjadi atrofi otot yang berat.16 Kehilangan massa otot merupakan akibat dari peningkatan degradasi protein dan penurunan sintesis protein karena terpakai untuk pembentukan protein fase akut dan glukoneogenesis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa asam amino rantai cabang (AARC) dapat meregulasi sintesis protein secara langsung dengan memodulasi translasi mRNA.16 Proteolysis-inducing factor (PIF) merupakan glikoprotein sulfat yang dapat mengaktivasi jalur proteolisis. Kehilangan massa otot pada pasien kanker dan hewan coba dengan kaheksia menunjukkan korelasi dengan adanya PIF di dalam serum yang mampu menginduksi secara seimbang degradasi protein dan penghambatan sintesis protein. PIF dihasilkan khususnya pada pasien kanker kaheksia, dimana di dalam urin pasien kanker kaheksia dapat ditemukan adanya PIF, sedangkan pada urin pasien dengan kondisi kehilangan BB seperti luka bakar, multiple injuries, pasien bedah dengan katabolisme berat dan pada sepsis, PIF tidak ditemukan.13,14 Pada kanker terjadi ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-2, IL-6, interferon-γ dan sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-12, IL-15. Aktivasi sitokin proinflamasi akan mengaktivasi nuclear transcripsi factorκB (NF-кB) sehingga terjadi inhibisi sintesis protein otot dan penurunan protein Myo D, suatu faktor transkripsi yang berperan dalam modulasi jalur signaling dalam perkembangan otot. Sitokin proinflamasi juga mengaktivasi proteolisis melalui jalur ubiquitin.12,14 Ubiquitin menghambat sintesis protein dan meningkatkan proteolisis secara tidak langsung, dengan cara menghambat inhibitory KB-protein (IKB) yang merupakan inhibitor kuat NF-кB. Selain itu, aktivasi kortisol dan pelepasan katekolamin juga meningkatkan aktivitas proteolisis ubiquitin. 14 2.9.3. Metabolisme Lipid Pada pasien kanker terjadi perubahan mobilisasi lipid berupa, penurunan lipogenesis, penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis disebabkan oleh peningkatan hormon efinefrin, Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 19 glukagon, adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang dimediasi melalui cyclic adenosine monophosphate (c-AMP). c-AMP akan mengaktivasi hormone sensitive lipase (HSL) yang selanjutnya akan mengkonversi satu molekul trigliserida menjadi tiga molekul asam lemak bebas dan satu molekul gliserol. Penurunan aktivitas LPL disebabkan oleh sitokin pro inflamasi TNF-α, INF-γ dan IL-1β yang mencegah penyimpanan asam lemak pada jaringan adiposa dan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol dalam sirkulasi.10,13 Lipid mobilizing factor (LMF) yang ditemukan pada urin pasien kanker dan pada hewan coba yang menderita kanker, menyebabkan kehilangan massa lemak karena terjadi peningkatan lipolisis disertai dengan peningkatan EE. Pada jaringan adiposa, LMF dapat menyebabkan pemecahan jaringan adiposa menjadi asam lemak dan gliserol melalui c-AMP. Penurunan massa lemak pada pasien kanker dapat disebabkan karena anoreksia, tapi dapat juga disebabkan karena peningkatan lipolisis yang tidak diimbangi oleh lipogenesis.10,13 2.10. Terapi Kanker Serviks 2.10.1. Operasi Terapi utama pada kanker serviks stadium I sampai IIa adalah operasi dengan atau tanpa radiasi. Penelitian oleh Landoni17 pada kanker serviks stadium Ib1–IIa1, tindakan pembedahan, dengan atau tanpa kemoterapi atau terapi radiasi, tidak ada perbedaan dalam angka kesembuhan. Tindakan pembedahan yang standar untuk stadium Ib1–IIa1 adalah radiasi radikal, histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis.18 Pada kanker serviks stadium lokal lanjut (stadium IIb–IIIb), terapi bedah bukan merupakan terapi utama. Pada stadium ini terapi utama adalah kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Studi menunjukkan terapi radioterapi saja umumnya memberikan tingkat kegagalan yang tinggi (stadium IIb 20–50%, stadium IIIb 50– 75%) sedangkan kombinasi radioterapi dengan kemoterapi (cisplatin, 5 fluorourasil/FU) memberikan hasil yang baik, dengan tingkat rekurensi 3 tahun dan 5 tahun yang rendah, survival rate yang meningkat, dan risiko timbulnya metastasis jauh berkurang.18 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 20 2.10.2. Terapi Radiasi Terapi radiasi (radioterapi) adalah pengobatan yang terutama ditujukan untuk penyakit keganasan dengan menggunakan sinar pengion. Tehnik radioterapi dibagi dalam radiasi eksterna, radiasi interna atau brakiterapi dan intravena. Jenis terapi yang yang diberikan tergantung dari usia, keadaan umum penderita, luasnya penyebaran dan komplikasi lain yang menyertai. Satuan unit radiasi dinyatakan dalam gray (Gy).18 2.10.2.1 Radiasi Eksterna18 Radiasi eksterna merupakan terapi pilihan untuk kanker serviks stadium lanjut. Radiasi eksterna adalah cara penyampaian radiasi dimana terdapat jarak antara sumber radiasi dan target radiasi. Keuntungan tehnik ini dapat dilakukan untuk suatu target atau lapangan radiasi yang luas sehingga target radiasi yang berupa tumor primer dan kelenjar getah bening regional dapat dicakup sepenuhnya. Tehnik ini umumnya digunakan pada saat radiasi pertama kali diberikan. Kerugian dari radiasi eksterna adalah jaringan sehat sekitar tumor masuk dalam lapangan radiasi sehingga dapat menimbulkan efek samping atau komplikasi pasca radiasi. Radiasi eksterna merupakan modalitas utama pengobatan kanker serviks. Pada kanker serviks stadium dini, radioterapi merupakan terapi adjuvan yang dilakukan pasca histerektomi radikal atau terapi definitif pada pasien dengan kontra indikasi terhadap tindakan pembedahan. Terapi radiasi dilakukan sebanyak 25 fraksi selama lima minggu. Mekanisme Kematian Sel oleh Radiasi Kematian sel dalam konteks biologi radiasi adalah hilangnya kemampuan sel untuk berproduksi akibat rusaknya DNA oleh sinar pengion. Mekanisme kerusakan DNA ini dapat bersifat efek langsung atau efek tidak langsung. Efek langsung adalah kerusakan DNA akibat interaksi langsung yang terjadi antara radiasi pengion dengan DNA. Atom-atom yang menyusun molekul DNA mengalami ionisasi, akibatnya DNA kehilangan fungsinya, sehingga sel berhenti berproliferasi.18 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 21 Efek tidak langsung terjadi melalui kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi bebas toksik yang dihasilkan dari ionisasi molekul air (H20) oleh radiasi pengion. Radikal bebas ini yang akan menimbulkan reaksi kimiawi yang mengakibatkan putusnya rantai DNA secara permanen (gambar 2.6).19,20 Efek tidak langsung Efek langsung Gambar 2.6. Efek Langsung dan Tidak Langsung Radiasi Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.20 2.10.2.2 Brakiterapi Radiasi dalam atau brakiterapi adalah pengobatan radiasi dengan mendekatkan sumber radiasi ke tumor primer. Terapi ini merupakan periode radiasi singkat yang diberikan melalui serviks ke dalam kavum intrauterin. Tehnik brakiterapi diberikan dengan menempatkan aplikator intravaginal sebagai tempat radioaktif, untuk mendapatkan dosis yang optimal. Prinsip brakiterapi ini adalah memberikan radiasi dosis tinggi pada tumor primer serviks, serta menghindarkan jaringan sehat atau organ lain (rektosigmoid dan kandung kemih) dari efek radiasi.19 Kelebihan brakiterapi adalah tumor akan mendapat dosis yang besar dengan menjaga jaringan sehat dari dosis yang berlebihan. Selain itu tehnik ini bermanfaat untuk tumor yang bersifat hipotoksik atau memiliki daya proliferasi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 22 lambat karena radiasi diberikan secara terus menerus. Kekurangannya adalah letak tumor harus dapat dijangkau dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal pada tumor dengan risiko adanya keterlibatan kelenjar getah bening regional, selain itu diperlukan suatu keterampilan khusus dan perencanaan terapi yang baik.20 2.10.2.3. Intravena Terapi ini dilakukan dengan memasukkan larutan radioisotop ke dalam vena, yang kemudian akan diserap oleh jaringan tertentu, misalnya 131I untuk terapi kanker tiroid dan 32P untuk terapi mieloma.20 2.10.3. Kemoterapi1 Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan atau hormon. Tujuan penggunaan obat kemoterapi terhadap kanker adalah mencegah atau menghambat multiplikasi sel kanker, menghambat invasi serta menghambat metastase. Kemoterapi harus mempunyai efek menghambat yang maksimal terhadap pertumbuhan sel kanker, tetapi mempunyai efek yang minimal terhadap sel-sel jaringan tubuh yang normal. Obat sitotoksik umumnya mempunyai efek yang utama pada proses sintesis DNA, RNA atau protein. Proses ini dapat menimbulkan kematian sel. Kemoterapi dilakukan pada pasien stadium IIb sampai IVa. Regimen yang mengandung cisplatin umumnya diberikan selama lima minggu dan memberikan angka survival yang bagus. 2.10.4. Efek Samping Terapi Radiasi dan Kemoterapi Tujuan utama terapi radiasi pada pasien kanker adalah meningkatkan kerusakan DNA pada sel tumor, selain itu untuk mengubah homeostasis seluler, mengubah jalur transduksi sinyal pada sel tumor dan apoptosis. Radiasi kanker serviks meliputi daerah pelvis dan memungkinkan terkenanya daerah saluran cerna sehingga dapat menimbulkan efek samping mual, muntah, diare dan nyeri abdomen. Gejala yang terjadi umumnya kurang lebih dua minggu pasca awal radiasi, atau timbul dalam beberapa bulan atau tahun pasca radiasi. Keadaan ini dialami oleh 20–70% pasien yang menjalani radiasi.19,21 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 23 Gejala-gejala ini disebabkan oleh pelepasan sitokin pro inflamasi akibat radiasi. Hal ini juga yang mengakibatkan kerusakan pada mukosa usus halus oleh karena penurunan aliran darah ke sel-sel epitel usus halus yang menyebabkan atrofi. Gejala-gejala ini umumnya membaik kurang lebih tiga minggu pasca radiasi. Pada kasus yang lebih berat, dapat terjadi malabsorpsi zat gizi dan kehilangan cairan akibat diare, sehingga diperlukan dukungan nutrisi untuk mencegah terjadinya defisiensi nutrisi dan penurunan BB.22,23 Komplikasi radiasi seperti diare dan/atau keram perut, proktitis (gangguan pada daerah anorektal, tenesmus, perdarahan rektum) dan sistouretritis (nyeri BAK, BAK sering, dan/atau BAK malam hari), dapat membaik dengan terapi yang tepat. Efek samping jangka panjang antara lain stenosis vagina yang dapat diterapi dengan dilator vagina. Ulserasi vagina atau nekrosis terjadi pada kurang lebih 7% pasien, umumnya terjadi enam sampai 12 bulan pasca terapi radiasi, namun umumnya gejala sudah mulai terlihat sejak satu sampai enam bulan pasca radiasi. Komplikasi lain pada daerah gastrointestinal, umumnya terjadi setelah 19 bulan pasca radiasi, sedangkan komplikasi genitourinari dapat terjadi setelah dua tahun pasca radiasi.22 Kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi adjuvan kombinasi operasi atau radioterapi. Efek kemoterapi bersifat sistemik sehingga dapat mempengaruhi seluruh tubuh, di antaranya fungsi gastrointestinal karena kerusakan sel saluran cerna akibat pelepasan sitokin pro inflamasi. Efek samping kemoterapi antara lain adalah mual, muntah, diare dan gangguan motilitas lambung.22 Tingkat keparahan diare menurut National Cancer Institute Common Toxicity Criteria (NCI CTC) versi 2.0. Grade 0 = tidak ada diare, grade 1 = peningkatan diare <4 kali/hari selama pra-perawatan, grade 2 = peningkatan 4–6 kali/hari, atau pada malam hari, grade 3 = peningkatan ≥7 kali/hari atau inkontinensia/butuh dukungan parenteral untuk dehidrasi, grade 4 = membutuhkan perawatan intensif.24 Terapi radiasi radikal pada keganasan daerah panggul dapat membawa risiko komplikasi untuk jaringan normal di sekitar tumor. Komplikasi akut yang mempengaruhi saluran pencernaan terjadi pada sekitar 80% pasien, tetapi pada Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 24 umumnya ringan dan jarang mempengaruhi pengobatan. Salah satu komplikasi akut yang paling umum dari radioterapi panggul adalah perubahan inflamasi akut pada usus halus menyebabkan gejala gastrointestinal selama pengobatan. Gejala akut yang dialami meliputi diare, sakit perut, tenesmus dan mual, biasanya dimulai pada minggu kedua atau ketiga radioterapi yang menyebabkan kejadian malnutrisi pada pasien yang menerima radioterapi panggul sebesar 11–33% sampai dengan 83%.24 Komplikasi gastrointestinal yang serius, termasuk obstruksi usus, fistula dan pendarahan. Radiasi dapat menyebabkan perubahan bakteri usus, permeabilitas pembuluh darah dari sel-sel mukosa usus dan motilitas.24 2.11. Tatalaksana Nutrisi Tujuan tatalaksana nutrisi pada pasien kanker adalah untuk menjaga agar asupan nutrisi tetap adekuat sehingga dapat mempertahankan dan/atau mencegah penurunan BB karena perjalanan penyakitnya atau karena efek samping dari terapi yang diterima, mencegah defisiensi mikronutrien dan memaksimalkan kualitas hidup pasien. Pemberian nutrisi secara dini terbukti dapat mempertahankan status nutrisi pasien kanker.16,25 2.11.1. Skrining Skrining nutrisi dibuat untuk mengevaluasi atau mengidentifikasi sejak awal pasien yang berisiko tinggi mengalami malnutrisi berat. Metode skrining ini dibuat untuk menskrining secara cepat dan tepat pada pasien yang membutuhkan dukungan nutrisi. Parameter skrining umumnya termasuk BB, tinggi badan, perubahan BB, dan perubahan kemampuan untuk makan.26 Malnutrition screening tool (MST) merupakan perangkat skrining yang telah tervalidasi untuk mengidentifikasi risiko nutrisi pada pasien kanker. Perangkat ini terdiri dari dua pertanyaan yang berhubungan dengan penurunan BB dan selera makan. Skrining MST dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat oleh perawat.27 Hasil skor skrining MST terbagi menjadi dua kelompok yaitu skor 0–1, dan ≥2. Skor 0–1 menunjukkan tidak berisiko malnutrisi, skor ≥2 memiliki risiko Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 25 malnutrisi. Apabila pasien berada pada skor 0–1 maka dilakukan skrining ulang pada pasien dua minggu kemudian atau pada konsultasi berikutnya, apabila skor = 2 maka dilakukan pemantauan setiap dua minggu dengan menilai asupan dan BB serta memberikan intervensi diet, sedangkan bila skor 3–5 pemantauan dilakukan setiap minggu.27 2.11.2. Kebutuhan Energi Kebutuhan energi pada pasien kanker didapatkan bervariasi luas, di mana terapi dan stadium kanker akan mempengaruhi besarnya kebutuhan tersebut. Pemenuhan kebutuhan energi merupakan suatu masalah yang penting untuk mencegah kehilangan BB pada pasien kanker selama proses penyakit dan terapinya. 27 Gold standard untuk menentukan kebutuhan energi basal pasien kanker adalah menggunakan kalorimetri indirek, tetapi seringkali hal ini sulit dilakukan karena ketidaktersediaan alat. Kondisi ini menyebabkan penentuan kebutuhan energi basal (KEB) seringkali menggunakan persamaan-persamaan, walaupun tidak ada persamaan khusus yang dikembangkan untuk menentukan KEB pada pasien kanker. Persamaan Harris-Benedict (HB) sering digunakan untuk menentukan KEB pasien kanker, dan kebutuhan energi total (KET) diperoleh dengan penambahan faktor stres (FS) dan faktor aktivitas (FA). Faktor stres pasien kanker berkisar antara 1,3–1,528 sedangkan FA untuk pasien sedentary adalah 1,1 dan ambulatory adalah 1,2.29 Kebutuhan energi yang adekuat pada pasien kanker harus terpenuhi agar protein otot tidak dipecah dan digunakan sebagai sumber energi.30 2.11.3. Kebutuhan Protein Kebutuhan protein akan meningkat pada pasien kanker, dan penambahan tersebut dibutuhkan oleh tubuh untuk memperbaiki kerusakan jaringan selama terapi kanker serta mempertahankan fungsi imun. Pada pemberian protein perlu dipertimbangkan beberapa faktor seperti derajat malnutrisi pasien, stadium kanker, derajat stres, dan kemampuan tubuh untuk memetabolisme serta menggunakan protein.30 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 26 Pemenuhan kebutuhan protein adekuat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi keseimbangan nitrogen negatif. Kebutuhan protein pasien kanker tanpa stres adalah berkisar antara 1–1,5 g/kgBB/hari, sedangkan kondisi hipermetabolisme atau terjadi kehilangan protein akibat enteropati, maka kebutuhan protein meningkat menjadi 1,5–2,5 g/kgBB/hari.27 Pada pasien kanker didapatkan ketidakseimbangan kadar asam amino dalam plasma, salah satunya adalah triptofan. Terdapat dua bentuk triptofan dalam plasma, yaitu pada keadaan normal 90% triptofan terikat dengan albumin dan hanya 10% dalam bentuk bebas. Sedangkan pada pasien kanker didapatkan kadar triptofan bebas meningkat dalam plasma, dan peningkatan ini diikuti dengan peningkatan kejadian anoreksia.31 Peningkatan kadar triptofan bebas terjadi sejak awal pertumbuhan tumor, yang secara pararel diikuti dengan meningkatnya kadar triptofan di otak yang akan mempengaruhi asupan makanan pasien kanker. Triptofan sendiri merupakan prekursor dari serotonin sehingga kadarnya akan meningkat bila kadar triptofan di otak meningkat. Sintesis serotonin yang meningkat dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas serotoninergik di hipotalamus yang menimbulkan anoreksia.31 Triptofan memasuki otak diatur oleh sistem transpor spesifik yang berkompetisi dengan large neutral amino acid (LNAA) lain yaitu asam amino rantai cabang (AARC), tirosin, fen ilalanin, metionin. Masuknya triptofan ke otak dengan menurunkan kadar plasma kompetitornya sehingga dengan pemberian AARC pada pasien kanker dapat menurunkan kadar triptofan di otak dan menurunkan aktivitas serotoninergik sehingga dapat meningkatkan asupan.32 2.11.4. Kebutuhan Lemak Rekomendasi kebutuhan lemak pada pasien kanker sebesar 20–35% dari KET.33 Radiasi pada daerah pelvis dapat mengakibatkan respon inflamasi yang mengakibatkan perubahan fungsi gastrointestinal dari ringan sampai berat. Diet dengan pengurangan atau modified lemak ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan.34 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 27 Penelitian oleh Wedlake dkk.34 pada penderita tumor daerah pelvis (48% urologi, 32% gastrointestinal, 20% ginekologi) yang mendapat terapi radiasi, diberikan diet yang mengandung rendah lemak, normal lemak dan modified lemak. Rendah lemak terdiri dari 20% long chain trigliseride (LCT), normal lemak terdiri dari 40% LCT dan modified lemak terdiri dari 20% LCT dan 20% medium chain trigliseride (MCT). Hasil penelitian ini ternyata pada kelompok yang diberikan rendah lemak dan modified lemak tidak memperbaiki skor gejala gastrointestinal akibat terapi radiasi dibandingkan dengan kelompok yang mendapat normal lemak. Beberapa pendapat menyatakan bahwa diet ketogenik berupa diet tinggi lemak, rendah karbohidrat dan protein adekuat, lebih baik daripada diet standar dengan jumlah lemak 25% dari KET. Pemberian lemak pada diet ketogenik didasarkan pada pemakaian glukosa sebagai sumber energi bagi sel kanker. Diet ketogenik menekankan pada konsumsi lemak karena lemak tidak memiliki efek pada kadar gula darah dan kadar insulin secara bermakna. Asupan KH dan protein yang rendah akan meningkatkan konsumsi lemak yang akan menghambat pertumbuhan sel kanker.35 Sel kanker tumbuh pada kadar glukosa yang tinggi dan tergantung pada kadar insulin yang tinggi untuk memperoleh glukosa. Kadar insulin yang tinggi meningkatkan produksi hormon yang meningkatkan kondisi metabolik. Diet ketogenik akan menyebabkan terjadinya ketosis, inhibisi fatty acid synthase, penurunan kadar insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan sitokin pro inlamasi. Kadar insulin dan kadar IGF-1 yang rendah akan menghambat tumor angiogenesis factor substansi yang dihasilkan oleh sel kanker yang merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah ke dalam sel kanker. Keadaan hipoglikemia dan inhibisi fatty acid synthase, juga akan memicu terjadinya apoptosis.35 Pada diet ketogenik, rasio lemak : protein atau karbohidrat = 4:1.36 Namun penelitian oleh Ho37 menyatakan bahwa asupan rendah karbohidrat dapat meningkatkan pertumbuhan dan progresivitas sel tumor. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 28 2.11.5. Kebutuhan Karbohidrat dan Serat Kebutuhan karbohidrat pada pasien kanker adalah untuk memenuhi kecukupan energi sel dalam melakukan fungsinya secara optimal. Kebutuhan karbohidrat berkisar antara 55–60% dari KET,33 dengan sumber karbohidrat terutama dari sumber karbohidrat kompleks seperti whole grains, sayuran, buah-buahan, nasi, roti, kentang, spageti, sereal, dan jagung. Sedangkan untuk karbohidrat simpleks seperti permen dan minuman yang mengandung gula, walaupun juga sebagai sumber karbohidrat, hanya mengandung sedikit vitamin, mineral, dan fitonutrien.38 Salah satu karbohidrat, yaitu laktosa suatu disakarida yang tersusun dari satu molekul glukosa dan galaktosa yang biasanya terkandung dalam susu, yogurt, dan es krim membutuhkan laktase untuk absorpsinya di usus halus. Pada pasien kanker daerah pelvis yang mendapatkan terapi radiasi atau kemoterapi dapat mengalami defisiensi laktase sekunder, keadaan ini menyebabkan timbulnya diare. Insiden defisiensi laktosa pada pasien kanker daerah pelvis yang mendapatkan radioterapi dalam suatu penelitian adalah sekitar 15%.34 Penelitian randomized controlled trial (RCT) pada 64 pasien radioterapi daerah pelvis dengan perlakuan tunggal pemberian diet rendah laktosa. Hasilnya tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi BAB.39 Penelitian prospektif lain pada pasien keganasan ginekologi yang mendapatkan terapi radiasi daerah pelvis, dengan pemberian diet rendah laktosa dan diet rendah lemak didapatkan hasil berkurangnya frekuensi diare.40 Rekomendasi dari National Cancer Institute (NCI) pemberian diet rendah laktosa, rendah lemak, dan rendah serat untuk mengurangi keluhan gastrointestinal pasien.41 Serat merupakan polimer karbohidrat yang terdiri dari >10 unit monomer dan tidak dapat dihidrolisis oleh enzim endogen pada usus halus manusia. Serat secara alami didapatkan dari buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan sereal. Serat dalam bahan makanan merupakan kombinasi dari serat larut dan tidak larut dengan perbandingan yang berbeda-beda. Serat tidak larut sulit difermentasi dan berperan pembentukan massa feses dan memperbaiki motilitas usus besar, sedangkan serat larut mempunyai pengaruh pada absorpsi glukosa dan lemak, serta berperan pada produksi short chain fatty acid (SCFA).42Serat tidak Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 29 larut seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin sedangkan serat larut seperti gums, psyllium, β-glukan, inulin, wheat dextrin, dan pektin.43 Rekomendasi kebutuhan serat untuk usia 19–50 tahun adalah 25 g/hari untuk perempuan dan 38 g/hari untuk laki-laki yang merupakan adekuat intake untuk serat atau dapat menggunakan pemberian serat sebesar 14 g/1000 kal.38 Sedangkan rekomendasi dari American Cancer Society (ACS) adalah pemberian diet rendah serat pada pasien kanker yang mengalami masalah gastrointestinal. Diet rendah serat tersebut masih mengandung sedikit serat larut yang bersifat tidak mengiritasi saluran cerna.44 Suatu systematic review mengenai pemberian serat pada pasien kanker dengan radioterapi daerah pelvis didapatkan hasil yang tidak konsisten dalam pemberian diet rendah atau tinggi serat. 34 2.11.6. Kebutuhan Mikronutrien Pada sebagian besar pasien kanker akan mengalami malnutrisi akibat penyakitnya yang ditandai dengan asupan makro dan mikronutrien tidak adekuat. Adanya malnutrisi terkait CACS, efek samping terapi radiasi dan kemoterapi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien serta prognosisnya.45 Defisiensi mikronutrien dapat terjadi pada pasien kanker apabila asupan energi total <60% selama lebih dari 10 hari, dan kejadiannya meningkat dengan adanya terapi radiasi dan kemoterapi. Penelitian kasus kontrol pada 58 pasien dengan CIN didapatkan kadar vitamin C yang rendah dan kadar peroksidasi lipid yang lebih tinggi pada pasien-pasien tersebut dibandingkan dengan 86 pasien kelompok kontrol.46 Suatu metaanalisis oleh Myung SK dkk.47 didapatkan hasil efek preventif dari vitamin dan antioksidan terhadap keganasan serviks pada penelitian-penelitian kasus kontrol. Penelitian kasus kontrol lain pada 235 pasien dengan 125 pasien didiagnosis CIN dan 15 pasien menderita kanker serviks didapatkan kadar yang rendah dari β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E pada kedua kelompok tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol. 48 Defisiensi mikronutrien yang terjadi pada pasien kanker, memiliki arti yang bermakna karena akan menyebabkan gangguan fungsi imun akibat defisiensi seng, selenium, vitamin C, vitamin E, menurunkan kemampuan penyembuhan luka akibat defisiensi vitamin C, vitamin A, vitamin B6, asam folat, seng, tembaga dan meningkatkan risiko terjadinya sindrom depresi akibat defisiensi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 30 vitamin B. Rekomendasi pemberian suplementasi vitamin dan mineral pada pasien kanker adalah bila didapatkan kondisi pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut melalui asupan sehari-hari atau didapatkan adanya efek samping dari terapi yang mempengaruhi asupan pasien. Rekomendasi jumlah yang diberikan adalah 100% recommeded dietary allowances (RDA).46 Pada pasien kanker yang menjalani terapi radiasi dan kemoterapi, sesuai rekomendasi dari American Institute for Cancer Research (AICR), sebaiknya tidak mengonsumsi suplementasi vitamin dan mineral yang berperan sebagai antioksidan dalam jumlah yang melebihi upper limits of safe intake yaitu untuk vitamin C 2000 mg/hari, vitamin E 250 mg/hari, dan selenium 400 µg/hari. Rekomendasi AICR adalah penggunaan suplementasi vitamin dan mineral sesuai RDA selama menjalani terapi radiasi dan kemoterapi. 47 Pemberian mikronutrien sebagai antioksidan mempunyai efek potensial untuk menangkap reactive oxygen species (ROS), sedangkan proses penghancuran tumor oleh kemoterapi dan radioterapi sebagian merupakan efek dari peningkatan ROS, sehingga pemberian antioksidan selama kemoterapi dan radioterapi dapat menurunkan efek terapi. Penggunaan suplementasi vitamin dan mineral untuk pencegahan primer dan sekunder kanker tidak direkomendasikan. Pasien-pasien tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan vitamin dan mineralnya dari bahan makanan sumber dengan warna yang bervariasi seperti pada buah-buahan dan sayuran.45 2.11.7. Kebutuhan Cairan30 Pemenuhan kebutuhan cairan pada pasien kanker bertujuan untuk mencapai status hidrasi dan keseimbangan elektrolit yang adekuat, mencegah dehidrasi serta keadaan hipovolemia. Keadaan dehidrasi dapat timbul akibat adanya anoreksia, sedangkan kondisi hipovolemia terjadi karena adanya muntah, diare, dan malabsorpsi. Tanda dan gejala dehidrasi meliputi fatique, kehilangan BB akut, hipernatremia, turgor kulit menurun, mukosa oral yang kering, urin berwarna gelap dan berbau tajam, serta penurunan produksi urin. Kebutuhan cairan orang Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 31 dewasa tanpa adanya kelainan ginjal adalah 30–35 ml/kgBB/hari atau cairan dapat diberikan sebesar 1 ml untuk setiap 1 kalori (kal) kebutuhan energi. 2.11.8. Nutrient Spesifik 2.11.8.1. Asam Amino Rantai Cabang Asam amino rantai cabang berupa leusin, isoleusin dan valin merupakan asam amino esensial bagi manusia. AARC eksogen yang berasal dari diet maupun intravena, dibutuhkan untuk fungsi selular normal. Semua asam amino yang diperoleh dari diet, termasuk AARC, diabsorbsi oleh sel epitel usus halus melalui carrier / pembawa asam amino khusus, kemudian ditranspor ke hepar melalui vena porta dan dilepaskan ke sirkulasi sistemik.50 Asam amino rantai cabang merupakan regulator metabolisme protein dan merupakan prekursor kunci bagi sintesis glutamin dan alanin. Sebagai tambahan, oksidasi AARC memberikan energi utama bagi otot. Pada keadaan katabolik ditandai dengan peningkatan konsumsi energi, imbang nitrogen negatif, peningkatan penggunaan glutamin, gangguan metabolisme asam amino dan terjadinya peningkatan oksidasi AARC di otot skelet. Hal ini merupakan salah satu respon metabolik dengan kompensasi peningkatan penggunaan energi dan konsumsi glutamin.50 Pada pasien kanker terjadi respon inflamasi, berupa pelepasan sitokin dan growth factor untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis sel inflamasi seperti netrofil dan makrofag. Sel-sel ini berkontribusi untuk degradasi dan penurunan sintesis protein otot melalui pelepasan reactive oxygen species (ROS) dan produksi sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan NF-κB. Suplementasi AARC dapat menetralkan efek penekanan proteolisis dan merangsang sintesis protein otot, seperti terlihat pada gambar 2.8. 49 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 32 Gambar 2.7. Peran AARC pada Inflamasi Jaringan Otot. Sumber: daftar referensi no.49 Keterangan: BCAA: branched-chain amino acids; IL-6: interleukin 6: NF-κB, nuclear factor kappa B: ROS: reactive oxygen species; TNF-α: tumor necrosis factor alpha. Pada keadaan normal, oksidasi AARC di otot skelet menghasilkan 6–7% dari energi total, namun pada keadaan katabolik, dapat mencapai 20% dari energi total. Pada keadaan stress yang singkat, konsentrasi protein intraselular otot dan glutamin menurun, sedangkan konsentrasi AARC intrasel otot meningkat, hal ini menunjukkan peningkatan proteolisis yang menghasilkan AARC untuk meningkatkan sintesis glutamin. Glutamin yang baru disintesis membantu mempertahankan konsentrasi plasma dan memenuhi kebutuhan glutamin yang meningkat. Pada keadaan stress berat dalam waktu yang berkepanjangan, penggunaan glutamin meningkat melebihi kapasitas tubuh untuk mensintesis sehingga terjadi deplesi berat glutamin otot. Bila keadaan hipermetabolik berlanjut, cadangan protein otot dan AARC akan berkurang dan terjadi kerusakan yang ireversibel. Kemampuan absorbsi AARC intestinal juga meningkat pada keadaan stres.49 Pada pasien kanker, umumnya juga terjadi anoreksia yang disebabkan efek dari radiasi, kemoterapi atau efek dari tumor itu sendiri. Sistem serotoninergik berperan pada patogenesis terjadinya anoreksia pada pasien kanker. Selama masa pertumbuhan tumor, kadar triptofan bebas dalam plasma (yang juga menggambarkan kadar triptofan di otak) dan sintesis serotonin meningkat. Triptofan memasuki sawar darah otak diatur oleh suatu sistem transport yang berkompetisi dengan LNAA (AARC, fenilalanin, metionin, tirosin), kemungkinan dengan masuknya triptofan ke otak akan menurunkan kadar plasma kompetitornya.51 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 33 Berdasarkan hal itu, dapat diduga bahwa pemberian AARC secara oral dapat menurunkan anoreksia pasien kanker dengan menurunkan kadar triptofan otak dan menurunkan kadar serotoninergik sehingga dapat meningkatkan asupan makanan. Belum ada rekomendasi yang jelas untuk pemberian AARC pada pasien kanker. Perbandingan kadar triptofan bebas dalam plasma dengan LNAA, meningkat pada kelompok pasien kanker dengan anoreksia, dibandingkan pasien sehat atau pasien kanker tanpa anoreksia. Peningkatan ini berhubungan langsung dengan peningkatan kadar triptofan dalam cairan serebrospinal. 51 Pada penelitian lain, pada hewan coba tikus yang menderita tumor, terlihat bahwa penurunan kadar serotonin ternyata tidak berpengaruh pada kebiasaan makan hewan tersebut. Hal ini adalah karena pengaruh sitokin TNF-α, IL-1, neuropeptida Y, ammonia atau hormon lain yang mungkin dapat berpengaruh. 52 Asam amino rantai cabang berperan pada pencegahan muscle wasting yang umumnya terjadi pada pasien kanker melalui jalur metabolik. Pada keadaan dimana asupan protein meningkat maka akan dideteksi oleh nutrient sensitive kinase mammalian target of rapamycin complex I (mTORC I) yang merupakan regulator utama pada sintesis protein, sintesis lipid, jalur transkripsi gen dan autophagi.51 Aktivasi mTORC1 tergantung pada ketersediaan yang cukup dari asam amino, terutama AARC. Aktivasi mTORC1 dimodulasi oleh tiga jalur utama seperti terlihat pada gambar 2.9. Salah satu jalur melibatkan faktor pertumbuhan seperti insulin dan insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang akan mengaktifkan protein kinase PI3K/Akt kompleks dan menyebabkan fosforilasi protein sclerosis tuberous 2 (TSC2) yang dapat menurunkan fungsi inhibisi dari kompleks TSC1/TSC2. Inhibisi ini menyebabkan pengaktifan guanine triphosphate hydrolysis enzymes (GTPase) kecil, ras homolog enriched in brain (Rheb), yang selanjutnya akan mengaktifkan mTORC1.51 Ada tiga faktor penting yang berkontribusi terhadap proliferasi sel melalui jalur mTORC1, yaitu aktivasi protein ribosom S6 kinase 1 (S6K1) yang mengarah ke sintesis protein, aktivasi sterol regulatory element-binding protein (SREBP) yang menyebabkan peningkatan sintesis lipid dan inhibisi eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein 1 (4EBP1) untuk proses transkripsi. Aktivasi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 34 S6K1 juga menghasilkan umpan balik negatif pada substrat reseptor insulin-1 (IRS-1) yang menyebabkan sensitivitas insulin menurun.51 Kadar glukosa juga berdampak pada aktivitas mTORC1 melalui jalur adenosine mono phosphate (AMP) kinase (AMPK). Apabila kadar glukosa tinggi, kadar adenosine triphosphate (ATP) meningkat dan kadar AMP menurun, yang menyebabkan inaktivasi AMPK. Seperti kompleks protein kinase PI3K/Atk, AMPK juga berinteraksi dengan kompleks TSC1/TSC2 yang selanjutnya mengaktivasi mTORC1. Apabila AMPK tidak aktif, maka fungsi inhibisi TCS1/TSC2 kompleks juga akan menurun sehingga menyebabkan aktivasi mTORC1 dan terjadinya resistensi insulin.51 Beberapa penelitian menyatakan bahwa leusin lebih berperan dalam sintesis protein dibanding isoleusin dan valin. Leusin dikaitkan dengan stimulasi sintesis protein otot melalui jalur mTORC1 dan juga dapat menyebabkan translokasi aktif mTORC1 ke lisosom. Studi pada sel mamalia telah menunjukkan bahwa kekurangan asam amino dapat dengan cepat meniadakan aktivitas mTORC.51 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 35 Gambar 2.8. Peran AARC Melalui Jalur Signaling Sel pada Sel Kanker Sumber: daftar referensi no.51 Keterangan : AMP:adenosine monophosphate; AMPK:adenosine monophosphate kinase; ATP:adenosine triphosphate; BCAA:branched chain amino acid; 4EBP:eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein 1; Gln:Glutamin; GLUT:glucose transport protein; IGF-1:insulin-like growth factor 1; IR:insulin receptor; IRS-1:insulin receptor substrate-1; LAT1:L-type amino acid transporter; mTORC1 : mammalian target of rapamycin complex 1; PI3K : phosphatidy linosotide 3-kinases; Rag GTPases:Rag guanine triphosphate hydrolysis enzymes; Rheb:Ras homolog enriched in brain. S6K1:ribosomal protein S6 kinase; SREBP:sterol regulatory element-binding protein; TSC1/TSC2:complex of tuberous sclerosis proteins 1/2. 2.11.8.2. Asam Lemak Omega-3 Asam lemak omega 3 merupakan golongan polyunsaturated fatty acids (PUFA), penamaan ini berdasarkan adanya ikatan rangkap pada posisi ketiga dari ujung metil, sedangkan berdasarkan jumlah atom karbon, termasuk asam lemak rantai panjang. Asam lemak omega-3 juga termasuk asam lemak esensiel sebab tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari luar tubuh. Yang termasuk asam lemak esensiel antara lain adalah asam lemak omega-3 dan asam lemak omega-6 (asam linoleat). Asam lemak omega-3 terdiri dari alpha-linolenic acid (ALA), eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexanoic acid (DHA).52 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 36 Umumnya EPA dan DHA ditemukan pada lemak ikan sedangkan ALA dapat ditemukan pada flaxseed, walnuts dan kacang kedelai. Tubuh manusia tidak dapat mensintesis ALA, sedangkan ALA yang akan diubah menjadi EPA dan DHA di dalam tubuh hanya terbatas, kurang lebih 5% ALA akan diubah menjadi EPA dan kurang dari 0,5% akan diubah menjadi DHA.52 Asam lemak omega-3 dan omega-6 akan membentuk membran sel fosfolipid dan berperan penting dalam metabolisme eikosanoid. Yang termasuk dalam eikosanoid adalah prostaglandin (PG), tromboxan (TX), leukotrin (LT). Eikosanoid yang berasal dari asam lemak omega-6 bersifat proinflamasi dan angiogenesis, sedangkan omega-3 bersifat anti-inflamasi dan tidak merangsang angiogenesis. Asam arakidonat merupakan turunan dari asam lemak omega-6 yang berkompetisi dengan EPA pada jalur metabolik yang sama, yaitu melalui enzim cyclooxygenase (COX) dan lipooxygenase (LOX) sehingga apabila asupan yang berasal dari diet mengandung banyak EPA, maka akan menurunkan kadar asam arakidonat, demikian pula sebaliknya. Jalur metabolisme asam lemak omega-3 dan omega-6 dapat dilihat pada gambar 2.10.53,54 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 37 Omega-3 Omega-6 α-asam linolenat Asam linoleat Asam stearidonat Asam γ-linolenat Asam eikosatetraenoat Asam dihomo-γ-linolenat Asam eikosapentaenoat Pro-angiogenesis/ eikosanoid pro-inflamatori Asam arakidonat Anti-angiogenesis/ eikosanoid anti-inflamatori Asam dokosapentaenoat Asam dodosatetraenoat Asam dokosaheksaenoat Asam dokosapentanoat Gambar 2.9. Jalur Metabolisme Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.54 Keterangan: COX:cyclooxygenase, LOX:lipooxygenase Asam lemak omega-6 dapat diperoleh dari minyak tumbuhan seperti safflower, minyak jagung, soybean oil dan jaringan lemak mamalia, sedangkan asam lemak omega-3 umumnya terdapat pada ikan laut dalam. Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan dan makanan laut yang mengandung omega-3, walaupun kadarnya tidak sebanyak ikan yang berasal dari laut dalam.55 Kandungan omega-3 dan omega-6 pada beberapa ikan dan makanan laut yang ada di Indonesia, dapat dilihat pada tabel 2.1. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 38 Tabel 2.1. Kandungan Omega-3 dan Omega-6 dalam Ikan dan Makanan Laut yang Dikonsumsi Masyarakat Indonesia Jenis Ikan Omega-3 (g)/100 g berat basah Tembang 1,2 Sirkuning 0,2 Belanak 0,4 Teri 1,4 Tenggiri 1,1 Sardin 1,2 Kakap 0,6 Cucut 1,9 Sumber: daftar referensi no.56 Omega-6 (g)/100 g berat basah 0,3 0,2 0,3 0,3 0,7 0,6 0,3 0,5 Rasio n-3/n-6 4,0 1,0 1,3 4,7 1,6 2,0 2,0 3,8 Polyunsaturated fatty acids pada awalnya tidak dianggap memiliki aktivitas anti kanker, namun selanjutnya diketahui bahwa insiden kanker yang rendah dilaporkan di daerah seperti Jepang dan Mediterania, dimana penggunaan omega3 tinggi dalam diet. Sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA kemungkinan memiliki efek anti kanker. Eikosanoid dapat mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur inflamasi COX. Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada pasien kanker. 54 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi omega-3 khususnya EPA dan DHA dapat menghambat pertumbuhan sel tumor melalui mekanisme apoptosis, penghambatan angiogenesis dan perubahan pada sinyal sel. Suplementasi EPA dan DHA juga menghambat pelepasan sitokin pro inflamasi TNF-α, IL-1 dan IL-6.54 Beberapa mekanisme asam lemak omega-3 dalam memodulasi sistem imun, antara lain dengan menempel pada membran fosfolipid, meningkatkan fluiditas membran sel, dan mempengaruhi struktur dan fungsi reseptor, transporter dan enzim yang berhubungan. Adanya pengaruh dari phospholipase A2 menyebabkan omega-3 dilepaskan dari membran sel, kemudian digunakan sebagai substrat untuk sintesis eikosanoid anti-inflamatori.54 Omega-3 yang dilepaskan dari membran fosfolipid, juga berperan dalam menghambat transkripsi sitokin pro-inflamatori oleh karena diaktivasi oleh peroxisome-proliferator activated receptors (PPAR), selanjutnya PPAR akan berperan dalam menginhibisi NF-κB yang berperan dalam proses transkripsi sitokin. Omega-3 memiliki derajat unsaturated yang tinggi sehingga Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 39 penggabungan omega-3 pada membran fosfolipid dapat menurunkan aktivasi dan proliferasi fungsi lipid rafts yang berperan pada agregasi beberapa reseptor imun.57 Pada proses perbaikan respon inflamasi, EPA merupakan substrat untuk membantu proses seri E (RvE) dan DHA untuk penyelesaian seri D (RvD), dimana RvE dan RvD merupakan molekul yang berperan untuk menurunkan aktivasi dan migrasi lekosit polimorfonuklear (PMN) yang dapat mencegah progresivitas proses inflamasi yang berakibat terjadinya cedera jaringan. Jalur mekanisme peran PUFA dapat dilihat pada gambar 2.10.57 Sitoplasma Omega-6 Nukleus Sinyal aktivasi Sitoplasma Omega-3 Nukleus Rangsangan eksogen Endotel dengan leukosit Progresi inflamasi Gambar 2.10. Mekanisme Peran PUFA Dalam Modulasi Fungsi Imun Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.57 Keterangan : PUFA:polyunsaturated fatty acids, PG:prostaglandin; TX:tromboksan, LT:leukotrin; IL:interleukin, TNF:tumor necrosis factor, COX:cyclooxygenase, LOX: lipooxigenase; PLA:phospholipase, PPAR:peroxisome-proliferator activated receptors, NF-κB:nuclear transcription factor κB. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 40 Kanker kaheksia merupakan kondisi multidimensi yang ditandai oleh penurunan BB, hilangnya massa otot dan massa lemak yang merupakan respon inflamasi dari tumor. Penurunan BB disebabkan oleh hilangnya jaringan adiposa melalui lipolisis yang dimobilisasi oleh LMF dan zinc-α2-glikoprotein (ZAG). Suplementasi EPA dapat mengurangi degradasi jaringan adiposa melalui down regulation dari ZAG.54 Kehilangan massa otot pada pasien kanker kaheksia disebabkan terjadinya degradasi protein melalui jalur ubiquitin-proteasome oleh TNF-α. Pemberian suplementasi EPA dapat menyebabkan down regulationdari jalur ubiquitin-proteasome. Proses ini dimulai dengan adanya interaksi antara TNF-α dengan INF-γ yang akan mengaktivasi NF-κB dan selanjutnya akan menginhibisi ekspresi dari MyoD. MyoD merupakan faktor transkripsi yang diperlukan untuk pembentukan protein otot, sehingga apabila terjadi inhibisi pada Myo D, dapat menyebabkan gangguan pada regenerasi otot. Setelah protein dikenali oleh ubiquitin (Ub), selanjutnya protein akan didegradasi oleh ubiquitin-proteasome.58 Demikian pula aktivasi NF-κB juga menghasilkan penurunan degradasi protein dengan menghambat proteasome. Degradasi protein juga meningkat dengan adanya PIF yang juga berperan meningkatkan produksi proteasom. Efek ini dimediasi oleh adanya 15-HETE (15-hydroxy eicosatetraenoic acid). Peran EPA dalam hal ini adalah menghambat produksi 15-HETE sehingga dapat mencegah kehilangan massa otot pada pasien kanker, seperti terlihat pada gambar 2.10.58 Peptida Asam amino Asam amino Degradasi protein Degradasi otot Gambar 2.11. Jalur Seluler Homeostasis Protein Otot Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.58 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 41 Murphy dkk.59 melakukan penelitian pada pasien kanker paru yang sedang menjalani kemoterapi, yang diberikan suplementasi minyak ikan mengandung EPA sebanyak 2,2 g. Pada penelitian ini terlihat bahwa pemberian intervensi suplementasi EPA 2,2 g/hari pada pasien stadium awal penyakit kanker paru, dapat mencegah terjadinya kehilangan massa otot dibandingkan dengan pemberian pada pasien dengan stadium lanjut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Luis dkk.60 memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada pasien kanker kepala dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama tiga bulan, terbukti dapat mempertahankan BB pasien. Beberapa teori menyatakan bahwa asam lemak omega-3 dapat menyebabkan perdarahan dengan menghambat jalur asam arakidonat, namun efek ini sangat minimal. Pada uji klinis pasien yang menjalani operasi bypass arteri koronaria dan mendapat terapi aspirin atau warfarin, ternyata waktu perdarahan dan episode terjadinya perdarahan tidak lebih tinggi dibandingkan pada kelompok yang mendapat asam lemak omega-3 sebanyak 4 g per hari.52 Beberapa efek samping yang ditimbulkan akibat mengonsumsi asam lemak omega-3 tergambar dalam tabel 2.2. Tabel 2.2. Risiko Terjadinya Efek Samping dari Asupan Omega-3 Jumlah Glikemia Risiko yang peningkatan memburuk* kolesterol LDL† Sangat Sangat rendah rendah Gangguan gastrointestinal Perdarahan Klinis Fishy aftertaste 1 g/hari Sangat rendah Sangat rendah Rendah 1–3 g/hari Moderate Sangat rendah Moderate Rendah Moderate >3 g/hari Moderate Rendah Likely Moderate Likely Sumber: telah diolah kembali dari daftar referensi no.61 Keterangan: *Biasanya hanya terjadi pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes †Biasanya hanyaterjadi pada pasien hipertrigliseridemia Pada saat ini belum ada rekomendasi pasti kebutuhan asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 juga tidak memiliki RDA, namun memiliki acceptable intake (AI) Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 42 di mana AI untuk laki-laki adalah 1,6 g/hari, sedangkan untuk perempuan sebesar 1,1 g.hari.62 2.11.8.3. Probiotik, Prebiotik, dan Sinbiotik Probiotik adalah mikroorganisme hidup, yang apabila diberikan dalam jumlah yang adekuat dapat memberikan pengaruh menguntungkan bagi penggunannya. Prebiotik merupakan suatu bahan bila terfermentasi yang dapat memberikan pengaruh berupa perubahan pada komposisi mikrobiota usus dan memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan, sedangkan sinbiotik merupakan kombinasi dari probiotik dan prebiotik.63 Bakteri yang sering digunakan sebagai probiotik adalah spesies Lactobacillus, Bifidobacterium, Saccharomyces cerevisiae, Eschericia coli, dan Bacillus.63 Kriteria dari bakteri komensal tersebut sebagai probiotik adalah berasal dari manusia, resisten terhadap asam dan empedu, dapat bertahan hidup dalam saluran cerna, tidak bersifat patogen, dapat memproduksi substansi antimikroba, serta memiliki aktivitas untuk memodulasi sistem imun. 64 Interaksi probiotik pada saluran cerna adalah melalui berbagai komponen seluler dan efek didapatkan apabila bakteri berada dalam keadaan aktif. Beberapa mekanisme kerja probiotik melalui jalur signal NFκβ, MAPK, Akt/PI3K, PPARγ, dan modifikasi jalur dapat terjadi tergantung pada strains probiotik.65 Peran probiotik pada sel-sel epitel saluran cerna adalah dengan memperbaiki fungsi barier mukosa, meningkatkan produksi musin, menginduksi aktivitas antimikroba dan produksi heat shock protein (hsp), memodulasi jalur signal kelangsungan hidup sel, dan sekresi sitokin. Produksi hsp25 dan hsp72 yang dimodulasi oleh probiotik sebagai respon terhadap stresor berperan untuk mempertahankan tight junctions pada sel epitel intestinal sehingga memperbaiki fungsi barier mukosa usus. Produksi sitokin proinflamasi dihambat dengan pemberian probiotik melalui jalur NFκβ. Selain itu peran probiotik melalui jalur MAPK menyebabkan supresi dari p38, sehingga terjadi inhibisi sekresi sitokin IL8. Kerja probiotik melalui aktivasi jalur PPARγ juga berperan menghambat produksi sitokin proinflamasi.64,65 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 43 Peran imunomodulasi probiotik adalah melalui interaksi dengan sel epitel mukosa usus, sel M, atau sel dendritik yang menyebabkan terjadinya internalisasi probiotik atau komponenya. Interaksi ini menstimulasi penglepasan IL-6 oleh sel epitel usus yang selanjutnya mempengaruhi makrofag dan sel dendritik untuk menghasilkan TNF-α serta IFN-γ, selain itu juga menyebabkan sel mast menghasilkan IL-4. Sitokin-sitokin tersebut kemudian akan menginduksi produksi IgA oleh sel B, selanjutnya sel Th1 akan memproduksi IFN-γ, TNF-α, dan IL-2 yang menstimulasi fagositosis dan destruksi mikroba patogen, serta menginduksi makrofag, sel NK, sel T sitotoksik untuk membunuh virus dan tumor. 66 Sumber utama probiotik adalah dari yogurt, cultured buttermilk, keju dan kefir.67 Prebiotik bersifat resisten terhadap asam lambung serta hidrolisis enzimatik, dan tidak dapat diabsorpsi oleh saluran cerna. Selain itu prebiotik dapat difermentasi oleh mikroflora kolon dan secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas mikroflora tersebut yang berkontribusi terhadap kesehatan. 43 Jenisjenis prebiotik meliputi oligofruktosa, inulin, galaktooligosakarida, dan laktulosa.63 Mikroflora kolon`menghidrolisis karbohidrat yang tidak dapat dicerna tersebut dan dihasilkan hidrogen, metana, CO2, laktat, dan SCFA yaitu asetat, propionat serta butirat. Prebiotik berperan meningkatkan massa mikroflora kolon dan massa fecal sehingga memiliki efek bulking. Sebanyak 30 g mikroflora kolon dihasilkan dari fermentasi 100 g prebiotik.43 Butirat merupakan sumber energi utama bagi kolonosit, dan SCFA lainnya yaitu asetat dimetabolisme oleh otak serta otot. Propionat dibawa ke hati dan dapat berperan menurunkan produksi kolesterol hepatik dengan mempengaruhi sintesisnya. Pemanfaatan SCFA oleh otak, otot, hati, dan jaringan perifer lainnya berkontribusi sebesar 7–8% dari kebutuhan energi harian. Fermentasi SCFA juga menghambat pertumbuhan organisme patogen melalui penurunan pH luminal dan fecal. Penurunan pH intraluminal berperan pada peningkatan absorpsi kalsium, magnesium, seng, dan zat besi. Pemberian prebiotik meningkatkan solubilitas dan bioavailabilitas kalsium di kolon, sehingga meningkatkan absorpsi sebesar 20%. Selain itu SCFA menyebabkan penurunan resistensi listrik mukosa dan meningkatkan permeabilitas paraseluler mineral. Produksi SCFA juga menstimulasi flux Mg2+ melalui aktivasi Mg2+/H+ antiport.43 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 44 Kolonisasi flora usus dapat terganggu akibat paparan dari terapi radiasi, sehingga kondisi ini menimbulkan permasalahan saluran cerna seperti enteritis dan kolitis. Radiasi dapat menyebabkan perubahan bakteri usus, permeabilitas pembuluh darah dari sel-sel mukosa usus dan motilitas. Penelitian oleh Chitapanarux dkk.24 dilakukan pada 63 pasien kanker serviks stadium IIb dan IIIb yang sedang menjalani terapi radiasi dan mendapat kemoterapi Cisplatin. Pasien diberi probiotik Acidophilus lactobacillus ditambah Bifidobacterium bifidum dengan dosis 2 x 109 unit sehari sebelum makan (pagi dan sore), dimulai sejak tujuh hari sebelum terapi dan selama menjalani terapi radiasi. Hasil penelitian didapatkan pada kelompok kontrol, kejadian diare sebesar 45% dibandingkan hanya 9% pada kelompok perlakuan (p=0,002). Penggunaan obat antidiare lebih sedikit pada kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0,03), dan perbaikan konsistensi feses lebih baik pada kelompok perlakuan (p<0,001). Urbancsek dkk.68 melakukan penelitian RCT pada 206 pasien kanker yang mengalami diare setelah terapi radiasi selama empat minggu. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang mendapatkan Lactobacillus rhamnosus 1,5 x 109 colony forming unit (CFU), dan kelompok plasebo mendapatkan corn starch selama satu minggu. Pada hasil penelitian didapatkan, pasien pada kelompok perlakuan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam konsistensi feses (p <0,05). Penelitian lain oleh Giralt dkk.69 dilakukan pada 85 pasien kanker dengan radioterapi pelvis dan kemoterapi cisplatin. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, dan kelompok perlakuan mendapatkan Lactobacillus casei DN-114001 108 CFU/g dalam bentuk yogurt, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan plasebo. Pada penelitian ini didapatkan pemberian probiotik tidak mengurangi insiden diare, tetapi terdapat perbaikan dalam konsistensi feses menggunakan skala Bristol. Pemberian probiotik untuk mengurangi toksisitas saluran cerna pada pasien kanker dengan terapi radiasi dan kemoterapi daerah pelvis pada beberapa penelitian memperlihatkan hasil yang baik. Permasalahan pada penggunaannya adalah mengenai komposisi strains dan jumlah yang digunakan masih terbatas dan dosis sangat individual. Penggunaannya pada pasien-pasien dengan kondisi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 45 imunosupresi masih merupakan perdebatan karena respon yang timbul dapat berbeda pada kelompok berisiko tinggi tersebut.35 2.12. Jalur pemberian70 Pada pasien kanker dengan asupan 60–75% dari KET maka pemberian nutrisi yang dianjurkan dalam bentuk oral nutritional supplements. Pemberian nutrisi melalui jalur enteral diindikasikan apabila jalur oral tidak mencukupi selama lebih dari 7–10 hari yaitu asupan nutrisi <60% dari KET selama lebih dari 10 hari dan pasien tidak mampu makan lebih dari tujuh hari. Untuk pemberian selama empat sampai enam minggu dapat diberikan melalui tube feeding sed angkan apabila lebih dari empat sampai enam minggu, pemberian dilakukan melalui jalur gastrostomi atau jejunostomi. Apabila asupan nutrisi <60% dari KET selama lebih dari 10 hari atau usus tidak dapat berfungsi dengan baik, maka diindikasikan pemberian nutrisi melalui parenteral. Untuk pemberian kurang dari tujuh hari diindikasikan melalui jalur perifer, sedangkan untuk lebih dari tujuh hari melalui jalur sentral. 2.13. Interaksi Obat dengan Nutrisi 2.13.1. Cisplatin Cisplatin digunakan sebagai obat kemoterapi primer pada kanker serviks. Cisplatin bekerja dengan cara berinteraksi dengan DNA dan mempengaruhi replikasi DNA, diberikan melalui jalur intra vena. Efek samping utama adalah nefrotoksik yang berhubungan dengan dosisnya, sehingga perlu monitor kadar ureum kreatinin. Efek ini biasanya muncul pada hari ke 10 sampai 20 tetapi kerusakan ini bersifat reversibel.71 Efek samping pada gastrointestinal adalah mual dan muntah yang muncul pada jam pertama setelah pemberian dan menetap selama 24–48 jam bahkan pernah dilaporkan efek ini tetap berlangsung sampai 3–5 hari, sehingga diperlukan anti emetik yang kuat. Mielosupresif dapat terjadi pada 25–30% pasien dengan dosis yang direkomendasikan dan akan lebih tinggi pada dosis yang lebih besar.71,72 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 46 2.13.2. Ondansetron Ondansetron merupakan antiemetik yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika cisplatin dan radiasi. Ondansetron dapat mempercepat pengosongan lambung tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi dan gangguan saluran cerna.71 2.13.3. Ultracet Ultracet merupakan analgetik untuk nyeri akut sedang sampai berat. Analgesia timbul dalam satu jam setelah penggunaan, dengan lama analgesia sekitar enam jam. Efek samping yang ditimbulkan mual, muntah dan mulut kering. 71,72 2.13.4. Transamin/asam traneksamat Asam traneksamat cepat diabsorpsi dalam saluran cerna. Efek samping yang ditimbulkan mual, muntah dan diare.71 2.13.5. Lansoperazol Obat ini bekerja menekan produksi asam lambung. Efek samping yang dihasilkan mual, nyeri perut, konstipasi flatulence dan diare.71 2.13.6. Loperamid Obat ini memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Efek samping yang ditimbulkan adalah kolik abdomen, sedangkan konstipasi sangat jarang.71 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 47 BAB 3 KASUS Kriteria pengambilan pasien pada kasus serial ini adalah usia minimal 18 tahun, menderita penyakit keganasan di daerah serviks, terdapat penurunan selera makan, terdapat penurunan BB minimal 1–5 kg dalam waktu tiga sampai enam bulan terakhir dan sedang menjalani radioterapi di Departemen Radioterapi RSCM. Berdasarkan kriteria di atas, didapatkan empat orang pasien wanita dengan karakteristik yang tertera pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Karakteristik Pasien Kasus 1 Kasus 2 Kasus 3 Kasus 4 No. rekam medic Nama Umur ( tahun ) BB sebelum sakit (kg) BB saat diperiksa (kg) Penurunan BB (%) (dalam lima bulan) IMT (kg/m2) Kanker kaheksia Stadium MST Radiasi/Kemoterapi Efek samping 3895616 Ny. L 50 50 45 10 3895616 Ny.I 43 50 45,5 9 3813980 Ny.S 52 73 62,1 15 3816755 Ny.A 44 75 57,5 23 20,3 + IIb 2 +/Mual, diare 21,6 + IIIb 2 +/Mual, muntah, diare Perjalanan penyakit sejak timbul gejala sampai terapi pertama 4 tahun 10 bulan 5 bulan 29,6 + IVb 5 +/+ Mual, nafsu makan menurun 1 tahun 10 bulan 26,3 + IIIb 5 +/Mual, diare, nafsu makan menurun 9 bulan Keterangan: BB:berat badan; IMT:indeks massa tubuh; MST:malnutrition screening tool Pemantauan dan pemeriksaan dilakukan setiap kali pasien kontrol ke poliklinik radioterapi setelah menyelesaikan lima kali radiasi. 3.1. Kasus 1 Pasien Ny. L berusia 51 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks stadium IIb dan sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-16 di poliklinik radioterapi RSCM. Pasien menikah satu kali pada usia 24 tahun dan memiliki empat orang anak yang semuanya lahir normal ditolong oleh bidan. 47 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 48 Penurunan BB sebanyak 5 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan setelah terdiagnosis kanker serviks, sehingga pada saat ini berat badannya adalah 45 kg. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh asuransi kesehatan (ASKES) yang berasal dari suami pasien. Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak awal tahun 2009 (lima tahun yang lalu). Pasien mengeluh keluar bercak darah pada saat setelah pasien berhubungan dengan suami, pasien juga mengeluh adanya perdarahan pervaginam seperti haid yang hilang timbul. Perdarahan kadang kala banyak hingga menghabiskan dua pembalut dan berangsur-angsur berkurang hingga berhenti dalam waktu dua sampai tiga minggu. Perdarahan timbul kembali dengan jarak tiga sampai empat minggu kemudian. Pasien kemudian berobat ke dokter kandungan di RS TNI AU di lingkungan rumah pasien, dikatakan bahwa hal ini disebabkan karena pasien sudah mulai memasuki masa menopause. Pada bulan April 2013 pasien mulai merasakan keputihan terus menerus, encer dan berbau tidak sedap, pasien kemudian kembali berobat ke dokter kandungan di RS TNI AU dan disarankan untuk dilakukan biopsi di RS Palang Merah Indonesia (PMI) Bogor. Hasil biopsi tersebut menyatakan adanya keganasan di daerah leher rahim, pasien kemudian dirujuk ke RSCM, namun pasien tidak langsung berobat ke RSCM, pasien masih mencoba pengobatan alternatif dengan pemanasan di daerah bagian perut selama kurang lebih satu bulan. Selama pengobatan tersebut pasien tidak merasakan adanya perbaikan, sehingga pasien akhirnya berobat ke RSCM. Pasien kemudian melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan dan transfusi darah sebanyak dua kali masingmasing dua kantong sebelum dilakukan radiasi. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Suami pasien merokok namun tidak di dalam rumah. Pasien juga tidak pernah melakukan seks bebas. Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat, tidak memiliki riwayat penyakit keganasan. Pasien selama ini tidak menggunakan suntik KB. Pasien mengeluh mual dan tidak ada nafsu makan. Keluhan mual dirasakan pasien terutama semenjak dilakukan radisasi. Pasien juga sering merasa nyeri perut Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 49 bagian bawah. Pasien masih dapat makan melalui oral, buang air besar (BAB) teratur satu kali per hari, namun kadang-kadang mengalami diare satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak berlendir, sedangkan buang air kecil (BAK) tidak ada gangguan. Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25 kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Selama menjalani terapi, pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama menjalani terapi terlihat sebagai berikut (tabel 3.2.) : Tabel 3.2. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Terapi Kontrol ke Subyektif Radiasi 15 1 Mual hilang timbul Radiasi 20 2 Mual, diare selama dua hari, frekuensi 2–3 kali sehari Radiasi 25 3 Mual, nyeri perut bawah hilang timbul Brakiterapi 1 4 Mual berkurang Brakiterapi 2 5 Mual berkurang, nafsu makan membaik Brakiterapi 3 6 Mual berkurang, nafsu makan membaik 1 minggu pasca 7 Mual tidak ada, nafsu makan baik brakiterapi 3 2 minggu pasca 8 Mual tidak ada, nafsu makan baik brakiterapi 3 Selama kontrol ke poliklinik radioterapi, dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia. Kapasitas fungsional berdasarkan karnofsky performance scale (KPS) bernilai 90% yang berarti pasien mampu melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari dengan penyakit ringan. Selama pasien kontrol ke poliklinik, KPS pasien bernilai 90%, cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi. Pemeriksaan antropometri dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan mengukur tinggi badan dengan alat pengukur tinggi badan (TB) dan mengukur Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 50 BB menggunakan timbangan digital yang sama. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar 148 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.3. Tabel 3.3. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Kontrol ke BB (kg) 2 IMT (kg/m ) 1 2 3 4 5 6 7 8 45,0 46,0 44,9 45,0 46,0 46,3 46.7 47,1 20,5 21,0 20,5 20,5 21,0 21,1 21,3 21,5 Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum pasien dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.4. dengan kesan adanya anemia hipokrom mikrositik dan lekositosis. Tabel 3.4. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Pertama Selama Terapi Radiasi Kontrol 1 2(pra transfusi) (pasca transfusi) 11,9 78,8 25,5 32,4 36,7 5.000 301.000 - 3 4 5 6 Hb (g/dL) 10,1 8,8 12,7 12,0 11,8 11,9 MCV (fL) 75,2 76,5 79,0 MCH (pg) 24,1 24,0 25,7 32,5 MCHC (g/dL) 32,1 31,4 31,5 28 39,1 36,8 36,9 37,9 Ht (%) 8260 5.090 5.950 6.560 6.820 Leuko (µ/L) 10.030 308.000 277.000 289.000 321.000 Trombo (µ/L) 364.000 355.000 18 16 Ur (mg/dL) Kr (mg/dL) 0,6 0,6 16 19 SGOT (U/L) 7 13 SGPT (U/L) 120 GDS (mg/dL) 142 Na (mEq/L) 4,21 K (mEq/L) 98,7 Cl (mEq/L) 97 40 LED (mm) Keterangan : Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV:mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju endap darah Hasil pemeriksaan penunjang patologi anatomi disimpulkan histologik dapat ditemukan pada karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin serviks, berdiferensiasi sedang. Analisis asupan pasien dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan menggunakan food record. Pada pasien ini direncanakan pemberian nutrisi berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh kebutuhan energi basal (KEB) sebesar 1118 kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan kebutuhan energi total Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 51 (KET) sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Pada saat pasien mengalami kenaikan atau penurunan BB, maka dilakukan penghitungan ulang untuk kebutuhan energi dan makronutrien. Asupan makan pasien sebelum sakit kurang lebih 1780 kkal, dengan protein 51 g, lemak 66 g dan KH 259 g, berupa sarapan pagi nasi goreng satu centong dan satu butir telur ceplok, makanan selingan pagi berupa kue nagasari dua buah. Makan siang dan malam masing-masing berupa nasi putih satu centong, sayur lima hingga enam sendok makan, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati satu potong sedang dan buah satu potong. Makanan selingan sore berupa tahu isi atau pisang goreng sebanyak dua potong. Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan pasien, dinaikkan bertahap sesuai toleransi pasien hingga tercapai KET. Bentuk makanan yang dianjurkan berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada gambar 3.1 dan gambar 3.2. Pada saat kontrol pertama dan ketiga terlihat asupan pasien belum mencapai kebutuhan total karena efek mual yang dialami pasien. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 52 2500 2000 kkal 1500 1000 500 0 SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 Energi 1780 1700 1437 1732 1147 1826 1936 2148 1820 1918 Gambar 3.1. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KET : kebutuhan energi total K : kontrol 350 300 250 Gram 200 150 100 50 0 Protein SS 51 KT 68 K1 52 K2 62 K3 69 K4 66 K5 70 K6 96 K7 78 K8 80 Lemak 66 47 41 56 62 89 67 69 79 79 KH 259 251 188 257 145 299 274 302 212 242 Gambar 3.2. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KT : kebutuhan total KH : karbohidrat K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 53 Selama menjalani terapi radiasi, pasien mendapat beberapa medikamentosa berupa Lansoperazol 1 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual, Loperamid 2 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengalami diare dan Tramadol 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh nyeri perut bawah. Pemberian mikronutrien berupa multivitamin dan mineral diberikan sesuai RDA, terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan, diutamakan dari bahan makanan sumber. Analisis asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E masih ada yang belum mencapai RDA seperti terlihat pada gambar 3.3, gambar 3.4 dan gambar 3.5, sehingga pada pasien ini diberikan suplementasi multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA. 0.9 0.8 0.7 gram 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 Pasien 1 0.3 0.2 0.6 0.4 0.7 0.4 0.7 0.3 RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 Gambar 3.3. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 54 300 250 Gram 200 150 100 50 0 K2 K3 K6 K7 K8 Pasien 1 32.4 K1 130 108 30.9 220. 109 242 229 RDA 100 100 100 100 100 100 100 K4 K5 100 Gambar 3.4. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol 30 25 Gram 20 15 10 5 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 Pasien 1 3.9 8.9 17.4 3.1 9.3 8.2 26.9 8.9 RDA 12 12 12 12 12 12 12 12 Gambar 3.5. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang mengandung omega-3 diberikan sebanyak 3 x 2 kapsul yang mengandung EPA sebanyak 1,08 g untuk pemenuhan kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada gambar 3.6 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target, namun menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Gram 55 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.7 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 Pasien 1 Target Gambar 3.6. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian belum mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan AARC dari putih telur dan lauk hewani, analisis asupan terlihat pada gambar 3.7. Gambar 3.7. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Pertama Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 56 3.2. Kasus 2 Pasien Ny.I berusia 43 tahun, beragama Kristen, menikah, bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik radioterapi RSCM. Biaya pengobatan pasien ditanggung oleh jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak lima bulan yang lalu (bulan Juli 2013) pasien mengeluh keluar bercak darah setelah berhubungan dengan suami. Satu bulan kemudian pasien juga mengeluh adanya keputihan sedikit, cair, berwarna putih bercampur warna kekuningan dan kehijauan. Keputihan awalnya tidak berbau, namun lama kelamaan dirasakan pasien berbau tidak sedap. Pasien kemudian berobat ke bidan tempat pasien biasa melakukan suntik KB setiap tiga bulan sekali, dan dikatakan bahwa hal itu disebabkan karena efek dari suntik KB dan pasien dianjurkan untuk berhenti menjalani suntik KB. Pasien kemudian berkonsultasi ke bidan lain dan dianjurkan untuk berkonsultasi ke dokter kandungan. Selanjutnya di dokter kandungan, dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen dan dikatakan tidak ada kelainan, namun ketika dilakukan pemeriksaan dalam, didapatkan adanya benjolan di leher rahim. Pasien kemudian dirujuk ke RSU Tangerang untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pasien memperoleh pemeriksaan lanjutan berupa computed tomography scan (CT scan), pemeriksaan darah dan USG, dari hasil pemeriksaan tersebut, pasien didiagnosis menderita kanker serviks stadium IIb. Pasien selanjutnya disarankan untuk dilakukan histerektomi, dan pasien menyetujui, namun pada saat operasi ternyata didapatkan bahwa kanker serviks pasien sudah masuk stadium IIIb sehingga tidak jadi dilakukan histerektomi, hanya dilakukan ovoreksi ovarium kanan. Dua minggu pasca operasi, pasien dirujuk ke departemen radioterapi RSCM untuk dilakukan terapi radiasi. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Pasien juga tidak pernah melakukan seks bebas. Suami pasien merokok namun tidak di dalam rumah. Pasien merupakan anak pertama dari empat Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 57 bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat, tidak memiliki riwayat penyakit keganasan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien pada tanggal 20 Desember 2013, didapatkan adanya keluhan mual yang semakin memberat dan juga nafsu makan yang menurun. Nyeri perut bagian bawah dirasakan pasien hilang timbul, namun nyeri tersebut tidak terlalu mengganggu. Keluhan ini dirasakan pasien semenjak timbul gejala. Pasien dapat makan melalui oral, BAB teratur satu kali per hari, tetapi pasien kadang-kadang mengalami diare satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak berlendir, BAK tidak ada gangguan. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 45,5 kg, TB 145 cm dengan IMT 21,6 kg/m2, pasien masuk dalam status gizi BB normal. Pasien didiagnosis kanker serviks stadium IIIb, BB normal berisiko malnutrisi, hipermetabolisme sedang, anemia. Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25 kali dan brakiterapi sebanyak tiga kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Pasien juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau setelah lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari penyinaran. Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi selama masa penyinaran, yaitu sebanyak sembilan kali. BB pasien sebelum sakit adalah 50 kg, dan mengalami penurunan sebanyak 5 kg dimulai sejak tiga bulan sebelum radiasi. Pada pemantauan hingga radiasi selesai, pasien mengalami penurunan dan peningkatan BB. Berat badan pada awal penyinaran 45,5 kg, setelah selesai penyinaran menjadi 45 kg. Selama menjalani terapi, pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi dan konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.5): Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 58 Tabel 3.5. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Terapi Kontrol ke Subyektif Radiasi 1 1 Mual yang sangat berat, keputihan Radiasi 5 2 Mual yang sangat berat, keputihan Radiasi 9 3 Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Radiasi 15 4 Mual yang memberat, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Radiasi 20 5 Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Radiasi 25 6 Mual berkurang, diare selama 2 hari, frekuensi 3 kali per hari, keputihan Brakiterapi 1 7 Mual berkurang, keputihan berkurang Brakiterapi 2 8 Mual berkurang, keputihan tidak ada Brakiterapi 3 9 Muntah-muntah dua hari pasca brakiterapi kedua Pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan secara rutin ketika pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Pada pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal demikian juga pada pemeriksaan fisik. Kapasitas fungsional berdasarkan KPS bernilai 90% yang berarti pasien mampu melakukan aktivitas dan pekerjaan sehari-hari dengan penyakit ringan. Kapasitas fungsional pasien tetap bernilai 90% sampai akhir radiasi. Pemeriksaan antropometri juga dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan mengukur tinggi badan dengan alat pengukur TB dan mengukur BB menggunakan timbangan digital yang sama. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar 145 cm, sedangkan BB pasien terlihat berfluktuasi. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.6. Tabel 3.6. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Kontrol ke 1 2 BB (kg) 45,5 45,4 21,6 21,6 2 IMT(kg/m ) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 45,3 43,6 43,8 43,6 45 45,1 44,6 44,7 45 21,4 20,7 20,8 20,7 21,4 21,5 21,2 21,3 21,4 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 59 Hasil pemeriksaan penunjang patologi anatomi menyatakan karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, berdiferensiasi buruk. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan dilakukan sebelum dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.7, dengan kesan anemia, normokrom normositik, lekositosis dan trombositosis. Tabel 3.7. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Kontrol 1 Hb (g/dL) Ht (%) Leko (µ/L) Trom (µ/L) MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL) Ur (mg/dL) Kr (mg/dL) SGOT (U/L) SGPT (U/L) LED (mm) GDS(mg/dL) Na (mEq/L) K (mEq/L) Cl (mEq/L) 11,0 33,1 12.940 414.000 83,8 27,8 33,2 12 0,6 - 2 3 4 5 6 7 8 9 9,6 28,8 11.260 387.000 83,0 27,7 33,3 120 - 11,5 34,5 9.920 345.000 82,5 27,5 33,3 125 - 11,5 34,8 11.350 342.000 82,9 27,4 33,0 118 - 11,2 34,1 8.370 301.000 84,0 27,6 32,8 - 11,9 36,0 6,260 278.000 82,8 27,4 33,1 15 0,6 16 9 120 104 143 4,26 102 11,2 34,8 6.560 240.000 84,9 27,3 32,2 - 10,8 33,7 7.510 216.000 86,6 27,8 32,0 - 11.9 36,5 6.320 285.000 82,5 27,5 33,3 125 - Keterangan : Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trom:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV: mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular hemoglobin consentration; Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju endap darah, Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energy berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155 kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien. Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1329 kkal dengan komposisi makronutrien protein 39 g, lemak 67 g, dan KH 149 g, berupa sarapan pagi nasi uduk satu centong, tempe orek tiga hingga empat sendok makan, bihun goreng tiga hingga empat sendok makan, lauk nabati satu potong sedang, sedangkan makanan selingan pagi berupa kue satu potong. Makan siang berupa Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 60 nasi putih satu centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati satu potong sedang dan sayur lima sampai enam sendok makan, sedangkan makanan selingan berupa kue satu buah dan pisang kepok rebus satu buah. Makan malam berupa nasi goreng satu centong dan telur ceplok satu butir. Pasien jarang mengonsumsi buah. Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair Analisis asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada gambar 3.8 dan gambar 3.9. Selama pemantauan terlihat asupan pasien belum pernah mencapai Gram kebutuhan total. 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 Energi 1329 1700 496 537 1027 512 1057 1132 1314 1603 1075 Gambar 3.8. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KET. : kebutuhan energi total K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 61 300 250 Gram 200 150 100 50 0 SS Protein 39 KT 68 K1 15 K2 23 K3 62 K4 34 K5 59 K6 51 K7 77 K8 72 K9 64 Lemak 67 47 16 14 36 13 36 40 37 39 39 KH 149 251 77 86 118 65 126 144 167 250 91 Gambar 3.9. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KT : kebutuhan total KH : karbohidrat K : kontrol Medikamentosa yang diberikan selama pasien menjalani terapi radiasi berupa obat anti nyeri Ultracet 3 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual dan Loperamid 2 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengalami diare. Pemberian mikronutrien berupa multivitamin dan mineral diberikan sesuai RDA, terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan, diutamakan dari bahan makanan sumber. Analisis asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E masih ada yang belum mencapai RDA seperti terlihat pada gambar 3.10, gambar 3.11 dan gambar 3.12, sehingga pada pasien ini diberikan suplementasi multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 62 Gambar 3.10. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: RDA : Recommended Dietary Allowances K : kontrol 300 250 Gram 200 150 100 50 0 Pasien 2 RDA K1 K2 K3 K4 33 52 198 68 100 100 100 100 K5 K6 K7 K8 K9 63.3 45.2 15.9 243 11.4 100 100 100 100 100 Gambar 3.11. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: RDA : Recommended Dietary Allowances K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 63 14 12 Gram 10 8 6 4 2 0 K1 K2 K3 K4 Pasien 2 1.8 5.5 8.1 RDA 12 12 12 K5 K6 K7 K8 K9 1.3 1 4.5 0.3 7.1 0.8 12 12 12 12 12 12 Gambar 3.12. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang mengandung omega-3 diberikan sebanyak 3 x 2 kapsul yang setara dengan 1,08 g EPA untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada gambar 3.13 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target, namun Gram menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan. 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Pasien 2 Target K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 0 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.4 1.3 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 Gambar 3.13. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 64 Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian belum mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan AARC dari telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.14. Gram 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 Pasien 2 3.9 8.5 11.7 6.1 10.5 9.9 9.4 16.5 7.3 Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 Gambar 3.14. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Kedua Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol 3.3. Kasus 3 Pasien Ny. S berusia 52 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pasien baru mulai menjalani terapi radiasi eksterna di poliklinik radioterapi RSCM. Pembayaran biaya pengobatan menggunakan jamkesda. Penurunan BB sebanyak 10,8 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan sebelumnya, saat ini BB pasien adalah 62,1 kg. Riwayat perjalanan penyakit sudah mulai dirasakan oleh pasien sejak bulan Januari tahun 2013. Pasien mengeluh keluar mengeluh adanya perdarahan pervaginam seperti haid yang hilang timbul. Perdarahan kadang kala banyak, kadang sedikit seperti bercak. Lama perdarahan tidak menentu, kadang hanya satu sampai dua hari, kadangkala hingga dua minggu. Pasien kemudian berobat ke bidan tempat pasien melakukan suntik KB, dikatakan pasien sudah mulai memasuki masa menopause. Pasien selama ini menggunakan KB suntik sejak lima tahun yang lalu. Pada bulan Juli 2013 pasien memutuskan berobat ke dokter kandungan karena merasa perdarahan tidak kunjung berhenti. Dokter kandungan merujuk ke Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 65 RSU Tangerang karena curiga ada keganasan di daerah serviks, di RSU Tangerang dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi, pasien didiagnosa dengan kanker serviks stadium IIb. Pasien selanjutnya dirujuk ke RSCM, namun karena takut, pasien tidak ke RSCM, hanya istirahat di rumah. Selama pasien di rumah, perdarahan semakin banyak dan sering, disertai keputihan encer yang tidak berbau. Pada bulan Nopember 2013, kurang lebih tiga bulan kemudian, pasien akhirnya mau dibawa ke RSCM setelah dibujuk oleh keluarganya. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien didiagnosa dengan kanker serviks stadium IVb dan dirujuk ke Departemen Radioterapi untuk dilakukan radiasi. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien merupakan anak ketiga dari enam bersaudara yang semuanya sehat, orang tua pasien juga sehat. Keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit keganasan. Pasien juga tidak pernah melakukan seks bebas. Pasien menikah satu kali pada usia 16 tahun, memiliki lima orang anak yang semuanya lahir melalui persalinan normal dan ditolong oleh bidan. Pasien tidak merokok dan mengonsumsi alkohol. Suami pasien dahulu merokok, namun sudah berhenti sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, anak pasien juga ada yang merokok namun jarang berada di rumah karena sudah bekerja. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien pada tanggal 11 Desember 2013, didapatkan adanya keluhan mual dan muntahmuntah yang berat disertai nafsu makan yang menurun. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak mulai timbul gejala perdarahan. Pasien juga mengeluh adanya benjolan yang timbul di selangkangan sebesar kelereng yang tidak membesar. Pasien dapat makan melalui oral, BAB teratur satu kali per hari, BAK tidak ada gangguan. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB 62,1 kg, TB 145 cm dengan IMT 29,6 kg/m2, pasien masuk dalam status gizi obes II. Pasien didiagnosis kanker serviks stadium IVb, obes I, hipermetabolisme sedang, anemia. Pasien direncanakan untuk mendapat terapi radiasi eksterna sebanyak 25 kali setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu, kemoterapi sebanyak empat kali, Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 66 seminggu sekali dan brakiterapi sebanyak tiga kali dengan jarak seminggu. Pasien juga melakukan kontrol ke poli radioterapi setiap satu minggu sekali atau setelah lima kali dilakukan radiasi, untuk melihat kemajuan atau efek dari radioterapi. Pemantauan pasien dilakukan pada saat pasien kontrol ke poli radioterapi selama masa penyinaran, yaitu sebanyak enam kali, sebab pasien tidak meneruskan dengan brakiterapi. BB pasien sebelum sakit adalah 78 kg dan mengalami penurunan sebanyak 15,9 kg dimulai sejak timbulnya gejala (bulan Januari 2013). Pada pemantauan sejak dimulai radiasi hingga radiasi selesai, pasien mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg. BB pada awal penyinaran 62,1 kg, setelah selesai penyinaran menjadi 56,3 kg. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama pemantauan terlhat pada tabel 3.8. Tabel 3.8. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Terapi Kontrol ke Subyektif Radiasi 1 1 Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Radiasi 5 2 Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Radiasi 12 3 Mual berkurang, nafsu makan membaik Radiasi 16 4 Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Radiasi 19 5 Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Radiasi 24 6 Mual, nyeri ulu hati sampai ke perut bawah, keputihan hilang timbul Pasien dilakukan radiasi dan kemoterapi selama empat kali dengan jarak satu minggu, dimulai pada radiasi ke 10. Selama kontrol ke poliklinik radioterapi, dilakukan pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia. Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90%, cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi. Pemeriksaan antropometri dengan mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB menggunakan timbangan digital yang sama. Pengukuran BB dilakukan setiap pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar 145 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.9. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 67 Tabel 3.9. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Kontrol ke 1 2 3 4 5 6 BB (kg) 62,1 61,2 59,3 58,1 57,9 56,3 IMT (kg/m2) 29,6 29,1 28,2 27,6 27,5 26,8 Pada pemeriksaan penunjang patologi anatomi disimpulkan histologik sesuai dengan karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin serviks berdiferensiasi baik. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan dilakukan sebelum dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.10, didapatkan adanya kesan anemia hipokrom mikrositik, trombositosis, leukopenia, lekositosis. Tabel 3.10. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Ketiga Selama Terapi Radiasi Kontrol Hb (g/dL) Ht (%) Leko (µ/L) Trombo (µ/L) MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL) Ur (mg/dL) Kr (mg/dL) SGOT (U/L) SGPT (U/L) LED 1 10,8 33,2 14.040 478.000 77,9 25,4 32,5 30 0,7 - 2 10,5 32,6 10.130 486.000 79,1 25,5 32,2 14 0,7 16 5 90 3 10,8 32,3 6.960 335.000 79,8 26,7 33,4 9 0,8 - 4 10,9 32,7 3.640 292.000 80,5 26,8 33,3 15 0,9 90 5 11,3 33,0 4.580 194.000 79,7 27,3 34,2 20 0,5 - 6 10,6 30,2 1.880 135.000 20 1,0 - Keterangan : Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leko:lekosit; Trombo:trombosit; Ur:ureum; Kr:Kreatinin; MCV: mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular hemoglobin consentration; SGOT: serum glutamic oxaloacetic transferase, SGPT: serum glutamic piruvic transaminase, Na:natrium; K:kalium; Cl:chlor; GDS:gula darah sewaktu; LED:laju endap darah Analisis asupan pasien dilakukan menggunakan food record dan dilakukan setiap kali pasien kontrol ke poliklinik radioterapi. Pemberian nutrisi pada pasien ini dihitung berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1155 kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1700 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 68 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 47 g (25% KET) dan KH sebesar 251 g (59% KET). Pada saat Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 68 pasien mengalami kenaikan atau penurunan BB, maka dilakukan penghitungan ulang untuk kebutuhan energi dan makronutrien. Asupan makan pasien sebelum sakit kurang lebih 2054 kkal, dengan protein 67 g, lemak 83 g dan KH 266 g, berupa sarapan pagi nasi putih satu setengah centong, telur ceplok satu butir, timun 1 buah dan makanan selingan pagi berupa kue pancong dua buah. Makan siang dan malam masing-masing berupa nasi putih dua centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati dua potong sedang, sayur lima hingga enam sendok makan, sambal satu sendok makan dan krupuk udang satu buah. Makanan selingan sore berupa pisang goreng sebanyak satu potong. Pasien jarang mengonsumsi buah, hanya satu potong dalam sehari. Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan pasien, dinaikkan bertahap sesuai toleransi pasien hingga tercapai KET. Bentuk makanan yang dianjurkan berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis asupan energi dan makronutrien rata-rata pasien dalam seminggu, terlihat pada gambar 3.15. dan gambar 3.16, terlihat asupan pasien tidak pernah mencapai KET terutama pada saat pasien pasca menjalani kemoterapi akibat efek mual dan muntah yang dialami pasien. 2500 kkal 2000 1500 1000 500 0 SS Energi 2054 KET 1700 K1 502 K2 370 K3 975 K4 1486 K5 1205 K6 850 Gambar 3.15. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KET : kebutuhan energi total K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 69 300 250 Gram 200 150 100 50 0 Protein SS 67 KT 68 K1 17 K2 36 K3 50 K4 50 K5 50 K6 39 Lemak 83 47 23 12 31 42 42 25 266 251 61 27 126 234 291 135 KH Gambar 3.16. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: SS : KT : KH : K : sebelum sakit kebutuhan total karbohidrat kontrol Medikamentosa yang diperoleh pasien berupa Lansoperazol 1 x 1 tablet, Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual dan Tramadol 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh nyeri perut bawah. Multivitamin dan mineral diberikan karena selama menjalani terapi radiasi, asupan vitamin pasien tidak mencukupi kebutuhan, seperti terlihat dari gambar 3.17, gambar 3.18 dan gambar 3.19. Suplementasi multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng dengan dosis sesuai RDA. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 70 Gram 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 Pasien 3 0.1 0.2 0.6 0.9 0.5 0.3 RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 Gambar 3.17. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol 120 100 Gram 80 60 40 20 0 Pasien 3 RDA K1 K2 K3 K4 K5 K6 65 0 97 95.9 24.9 40.7 100 100 100 100 100 100 Gambar 3.18. Analisis Asupan Vitamin C Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 71 Gram 14 12 10 8 6 4 2 0 K1 K2 K3 K4 K5 Pasien 3 K6 3.7 2.3 4.1 2.8 4.3 1 RDA 12 12 12 12 12 12 Gambar 3.19. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: RDA : Recommended Dietary Allowances K : kontrol Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang mengandung omega-3, dosis yang diberikan sebanyak 3 x 1 kapsul yang setara dengan 0,54 g EPA per hari, untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada gambar 3.20 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai Gram target, namun menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan. 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Pasien 3 Target K1 K2 K3 K4 K5 K6 0 1.1 1.3 1.1 1.3 1.1 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 Gambar 3.20. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.21. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 72 16 14 Gram 12 10 8 6 4 2 0 K1 K2 Pasien 3 3.4 6.2 Target 14.4 14.4 K3 K4 K5 K6 3.5 9.3 10.6 6.1 14.4 14.4 14.4 14.4 Gambar 3.21. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Ketiga Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol 3.4. Kasus 4 Pasien Ny. A berusia 44 tahun, beragama Islam, menikah, bekerja sebagai pedagang baju di pasar. Pasien ini didiagnosis sebagai penderita kanker serviks stadium IIIb. Pembiayaan pengobatan pasien menggunakan ASKES yang berasal dari suami pasien. Pasien sedang menjalani terapi radiasi eksterna ke-11 di poliklinik radioterapi RSCM. Sejak didiagnosis dengan kanker serviks, pasien menalami penurunan BB sebanyak 5 kg dialami pasien dalam waktu lima bulan, BB pasien saat ini adalah 57,5 kg. Riwayat perjalanan penyakit dimulai sejak bulan Pebruari 2014 pasien mulai merasakan haid dengan jarak yang pendek sekitar satu sampai dua minggu, selama ini jarak haid pasien cenderung teratur sekitar 25–27 hari, disertai keputihan yang encer dan tidak berbau. Haid yang dialami pasien tidak terlalu banyak, hanya menghabiskan satu pembalut setiap hari. Kondisi ini berlangsung selama kurang lebih empat bulan, namun pasien tidak berobat. Pasien juga merasakan nyeri perut bawah sampai ke bokong yang hilang timbul. Pasien kemudian merasakan perdarahan menjadi bertambah banyak, bergumpal, dan tidak berhenti selama satu bulan. Pasien kemudian berobat ke bidan, dan oleh bidan dirujuk ke RSU Karawang, pasien kemudian dirawat selama dua hari dan dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi serviks. Hasil biopsi menyimpulkan Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 73 adanya keganasan pada daerah serviks sehingga pasien dirujuk ke RSCM. Pasien selanjutnya menjalani beberapa pemeriksaan di RSCM dan dirujuk ke Departemen Radioterapi untuk terapi radiasi. Riwayat penyakit sebelumnya, pasien menyangkal pernah menderita penyakit darah tinggi, kencing manis maupun penyakit keganasan lainnya. Pasien tidak pernah merokok dan mengonsumsi alkohol, namun suami pasien perokok, sejak menikah pasien selalu menghirup asap rokok dari suami pasien. Pasien tidak pernah melakukan hubungan seks bebas. Pasien dua kali menikah, usia pernikahan pertama adalah 16 tahun dan dikaruniai satu orang anak, pasien kemudian menikah lagi pada usia 25 tahun dan dikaruniai dua orang anak. Semua persalinan pasien ditolong oleh bidan. Pasien menggunakan KB suntik tiga bulan hanya tiga kali, selain itu pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi hormonal lainnya. Pasien merupakan anak kedua dari enam bersaudara yang semuanya sehat namun ibu pasien memiliki penyakit keganasan payudara. Semenjak dilakukan radiasi pasien mengeluh mual, nyeri perut bawah yang hilang timbul dan nafsu makan menurun. Pasien selama ini BAB secara teratur satu kali per hari, selama menjalani radiasi pasien kadang-kadang mengalami diare satu sampai dua hari lamanya dengan frekuensi dua sampai tiga kali sehari, tidak berlendir, sedangkan BAK tidak ada gangguan. Kapasitas fungsional berdasarkan KPS bernilai 90%. Pasien melakukan kontrol ke poliklinik radioterapi secara teratur dan konsultasi gizi setiap menyelesaikan lima kali radiasi. Keluhan subyektif yang dialami pasien selama menjalani terapi terlihat dalam berikut (tabel 3.11) : Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 74 Tabel 3.11. Keluhan Subyektif Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Terapi Kontrol ke Subyektif Radiasi 5 1 Radiasi 11 2 Radiasi 16 3 Radiasi Brakiterapi 21 1 4 5 Brakiterapi 2 6 Brakiterapi 3 7 Mual hilang timbul, perdarahan pervaginam berkurang Mual berkurang, diare selama dua hari, frekuensi 2– 3 kali sehari, perdarahan pervaginam berkurang . Mual berkurang, nafsu makan membaik, perdarahan per vaginam berkurang Mual bertambah, perdarahan per vaginam berkurang Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, perdarahan per vaginam berkurang Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang, keputihan Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang, keputihan Pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan dan suhu setiap pasien kontrol berada dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik juga dalam batas normal, pada konjungtiva tidak ditemukan adanya anemia. Penilaian kapasitas fungsional pasien menggunakan KPS bernilai 90% Selama pasien kontrol ke poliklinik, KPS pasien bernilai 90%, cenderung tidak menunjukkan peningkatan sampai akhir radiasi. Pemeriksaan antropometri dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan mengukur TB dengan alat pengukur TB dan mengukur BB menggunakan timbangan digital yang sama. Status gizi pasien tergolong obes I. Hasil pengukuran TB didapatkan sebesar 148 cm. Hasil pemeriksaan BB dan IMT terlihat pada tabel 3.12. Tabel 3.12. Hasil Pengukuran BB dan IMT Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Kontrol ke BB (kg) IMT (kg/m2) 1 57,5 26,3 2 57,0 26,0 3 58,0 26,5 4 57,5 26,3 5 56,0 25,6 6 57,0 26,0 7 56,2 25,7 Hasil pemeriksaan patologi anatomi disimpulkan karsinoma sel skuamosa sedikit berkeratin serviks, diferensiasi sedang. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebelum pasien dilakukan terapi radiasi, hasil pemeriksaan laboratorium tergambar pada tabel 3.13, dengan kesan anemia hipokrom mikrositik. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 75 Tabel 3.13. Monitoring Laboratorium Darah Rutin Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 12,7 Hb (g/dL) 10,6 11,0 10,9 10,3 10,0 11,0 39,1 Ht (%) 32,4 32,3 32,2 32,4 31,8 33,3 9.340 9.654 5.090 8.300 7.150 9.740 Leuko (µ/L) 10.370 369.000 300.000 353.000 308.000 335.000 362.000 428.000 Trombo (µ/L) MCV (fL) 75,6 75,5 75,6 78,5 79,5 75,5 MCH (pg) 24,8 21,9 24,8 24,9 25,5 21,9 32,8 32,0 32,8 31,4 30,0 MCHC (g/dL) LED (mm) 105 117 105 117 Keterangan : Hb:hemoglobin; Ht:hematokrit; Leuko:leukosit; Trombo:trombosit; MCV:mean corpuscular volume; MCH:mean corpuscular hemoglobin; MCHC:mean corpuscular hemoglobin consentration; LED:laju endap darah Setiap kali pasien kontrol, dilakukan analisis asupan satu minggu terakhir dengan menggunakan food record. Pada pasien ini, perhitungan kebutuhan energi berdasarkan persamaan Harris-Benedict diperoleh KEB sebesar 1175 kkal dengan faktor stres 1,5 didapatkan KET sebesar 1800 kkal. Komposisi makronutrien yang akan diberikan terdiri dari protein 72 g (1,5 g/kg BB atau 16% KET), lemak 50 g (25% KET) dan KH sebesar 266 g (59% KET). Perencanaan pemberian nutrisi disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan BB pasien. Analisis asupan pasien sebelum sakit kurang lebih sebesar 1740 kkal dengan komposisi makronutrien protein 63 g, lemak 83 g, dan KH 193 g, terdiri dari sarapan pagi roti manis satu buah dan susu kental manis satu sachet. Makan siang berupa nasi putih satu centong, ikan asin kurang lebih seperempat potong, lauk nabati satu potong sedang, sayur lima sampai enam sendok makan dan buah satu potong. Makan malam berupa nasi putih satu centong, lauk hewani satu potong sedang, lauk nabati satu potong sedang dan buah satu potong, sedangkan makanan selingan berupa gorengan dua potong sedang. Pemberian nutrisi dilakukan dengan memperhitungkan analisis asupan pasien. Peningkatan asupan dilakukan bertahap sesuai dengan toleransi pasien berupa kombinasi makanan biasa dan diet cair. Analisis asupan pasien dilakukan setiap kali pasien kontrol dengan menggunakan food record. Hasil analisis asupan energi dan makronutrien pasien terlihat pada gambar 3.22. dan gambar 3.23, terlihat pada kontrol ke tujuh, asupan sudah mencapai KET. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 76 2000 1800 1600 1400 kkal 1200 1000 800 600 400 200 0 SS KET K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Energi 1740 1800 1487 1527 1619 1116 1410 1872 1716 Gambar 3.22. Analisis Asupan Energi Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol SS : sebelum sakit KET : kebutuhan energi total 300 Gram 250 200 150 100 50 0 Protein SS 63 KT 72 K1 69 K2 65 K3 72 K4 57 K5 65 K6 77 K7 73 Lemak 83 50 56 80 81 45 48 71 74 KH 193 266 183 151 156 123 168 244 190 Gambar 3.23. Analisis Asupan Makronutrien Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Keterangan: SS : sebelum sakit KT : kebutuhan total KH : karbohidrat K : kontrol Terapi medikamentosa yang diperoleh pasien selama menjalani terapi radiasi berupa Ondansetron 2 x 1 tablet yang diberikan pada saat pasien mengalami mual dan Ultracet 3 x 1 tablet diberikan pada saat pasien mengeluh nyeri perut bawah. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 77 Multivitamin dan mineral diberikan terutama pada saat asupan pasien tidak mencukupi kebutuhan. Pada pasien ini selama menjalani terapi radiasi asupan rata-rata vitamin tidak mencapai kebutuhan seperti terlihat pada gambar 3.24, gambar 3.25 dan gambar 3.26. Suplementasi multivitamin yang diberikan yang mengandung vitamin A, vitamin B komplek, vitamin C, vitamin D, asam folat, selenium dan seng. Dosis yang diberikan adalah sesuai dengan RDA. 2.5 2 Gram 1.5 1 0.5 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Pasien 4 0.8 0.3 0.4 0.8 0.6 0.8 2 RDA 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 Gambar 3.24. Analisis Asupan Vitamin A Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Gram Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Pasien 4 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 157 70.8 20 144 54.4 90 73 RDA 100 Asupan 100 Vitamin 100 C Pasien 100 Kasus 100Keempat 100 Selama 100 Gambar 3.25. Analisis Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 Gram 78 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Pasien 4 RDA K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 8 8.3 10.5 5 5.7 17.1 14.9 12 12 12 12 12 12 12 Gambar 3.26. Analisis Asupan Vitamin E Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Keterangan: RDA: Recommended Dietary Allowances K : kontrol Pemberian nutrient spesifik berupa suplementasi kapsul minyak ikan yang mengandung omega-3 dianjurkan sebanyak 3 x 2 kapsul setara dengan 1,08 mg EPA untuk memenuhi kebutuhan EPA selain dari bahan makanan sumber. Pada gambar 3.27 terlihat asupan EPA pasien belum mencapai target, namun menunjukkan peningkatan dibandingkan pada awal pemantauan, sedangkan pada Gram pemantauan kelima terlihat sudah mendekati target. 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Pasien 4 0.3 0.5 0.5 0.5 1.3 0.5 0.9 Target 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 Gambar 3.27. Analisis Asupan EPA Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 79 Analisis asupan AARC pada pasien selama pemantauan, sebagian besar belum mencapai target sebesar 14,4 g, namun pasien berusaha meningkatkan asupan AARC dari putih telur dan lauk hewani, terlihat pada gambar 3.28. terdapat Gram peningkatan asupan dibandingkan pada awal pemantauan. 16 14 12 10 8 6 4 2 0 K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 Pasien 4 7.6 12.1 9.5 9.1 14.9 12.4 13.5 Target 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 14.4 Gambar 3.28. Analisis Asupan AARC Pasien Kasus Keempat Selama Pemantauan Keterangan: K : kontrol Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 80 BAB 4 PEMBAHASAN Pasien pada serial kasus ini adalah pasien kanker serviks dengan stadium yang berbeda dan rentang usia pasien antara 43 tahun sampai 52 tahun dimana pasien pada rentang usia ini termasuk berisiko tinggi terkena kanker serviks. Pada penelitian di Indonesia, pasien kanker serviks terbanyak menyerang wanita pada usia produktif 30–50 tahun.4 Teori menyatakan bahwa peningkatan usia seseorang selalu diiringi dengan penurunan kinerja organ-organ dan kekebalan tubuhnya sehingga relatif mudah terkena berbagai infeksi. Telah banyak penelitian menemukan bahwa insiden kanker serviks pada usia tua yang semakin meningkat, dan proliferasi tumor terlihat lebih agresif. Pada analisis retrospektif terhadap 2.628 pasien, penderita kanker serviks pada kelompok umur 30–39 tahun dan kelompok umur 60–69 tahun, memiliki jumlah yang sama banyaknya. 4 Berbagai faktor risiko berperan terhadap angka kejadian kanker serviks, diantaranya kontrasepsi hormonal, merokok, wanita yang berganti-ganti pasangan, wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda, hamil di usia muda, jumlah persalinan banyak dan manajemen persalinan yang tidak tepat. Faktor risiko merokok terdapat pada semua pasien, dimana semua pasien merupakan perokok pasif. Sebuah meta-analisis menyatakan bahwa risiko terjadinya kanker serviks sel skuamous meningkat 50% pada wanita perokok. Meta-analisis lain pada pasien kanker serviks menyatakan bahwa pada wanita yang tidak pernah merokok tapi terpapar oleh asap rokok mengalami risiko terkena kanker serviks sebanyak 73% dibandingkan dengan wanita yang tidak terpapar asap rokok. 73 Asap rokok yang mengandung zat karsinogenik menyebabkan gangguan pada proses metabolik yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450. Hal ini menyebabkan terbentuknya DNA adduct yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan coding pada saat sel melakukan replikasi sehingga proses yang dibantu enzim DNA polimerase tersebut berjalan tidak normal. Hal ini berakibat terjadinya mutasi gen, yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi pertumbuhan 80 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 81 sel normal melalui berbagai jalur transduksi sinyal, sehingga terjadi instabilitas genomik, selanjutnya menjadi sel kanker.74 Faktor risiko kontrasepsi hormonal terdapat pada pasien kedua dan pasien ketiga. Pasien kedua telah menggunakan KB suntik selama 13 tahun dan berhenti setelah terdiagnosis kanker serviks, sedangkan pasien ketiga menggunakan KB suntik selama lima tahun dan baru berhenti juga setelah terdiagnosis kanker serviks. Pemakaian kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu lama (lebih dari 10 tahun) berhubungan dengan angka kejadian kanker serviks, sedangkan angka kejadian kanker serviks yang rendah juga berhubungan dengan pemakaian kontrasepsi hormonal injeksi dalam jangka waktu pendek (kurang dari lima tahun).75 Pemakaian kontrasepsi hormonal diduga akan membuat perubahan pada kekentalan lendir pada leher rahim. Kekentalan lendir tersebut, akan memperlama keberadaan suatu agen karsinogenik di leher rahim, yang terbawa melalui hubungan seksual, termasuk adanya virus HPV. Hormon estrogen juga memiliki efek anti apoptosis pada virus HPV sehingga dapat menyebabkan proliferasi sel. 75 Menikah di usia kurang dari 16 tahun memiliki resiko terkena kanker serviks 10–12 kali lebih besar dibandingkan dengan yang menikah di atas 20 tahun sebab pada usia tersebut rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat metaplasia yang aktif. Kondisi tersebut dapat mengarah pada kelainan sel dan pertumbuhan abnormal yang menginisiasi suatu proses CIN yang merupakan prainvasif dari kanker serviks. Semua pasien ini menikah pada usia 16 tahun ke atas sehingga tidak memiliki faktor risiko ini.76 Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan meningkatkan risiko terkena kanker serviks karena memperbesar kemungkinan terinfeksi HPV. Wanita yang sering melahirkan, juga berisiko terkena kanker serviks, disebabkan karena perlukaan dan trauma akibat proses melahirkan dapat menyebabkan perubahan sel abnormal dan kemungkinan terinfeksi HPV. Untuk kategori paritas yang berisiko tinggi, sampai saat ini belum ada keseragaman, namun para ahli memberikan batasan antara 3–5 kali melahirkan. Pada semua pasien ini, menurut pasien, tidak memiliki riwayat berganti-ganti pasangan, sedangkan riwayat paritas lebih dari tiga orang terdapat pada pasien pertama dan pasien keempat. Untuk riwayat Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 82 pertolongan persalinan, semua pasien melahirkan dengan ditolong oleh bidan, sehingga perlukaan dan trauma akibat persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan akan lebih baik.76,77 Gejala awal kanker serviks ditandai oleh adanya perdarahan per vaginam pasca senggama atau spontan di luar masa haid hal ini disebabkan karena mikro lesi atau luka-luka kecil di vagina saat bersenggama. Gejala lain adalah keputihan yang berulang dan tidak sembuh-sembuh walaupun telah diobati. Keputihan ini disebabkan adanya nekrosis karena pertumbuhan tumor yang cepat dan tidak diimbangi dengan pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis). Keputihan hanya dijumpai pada pasien kedua, pasien ketiga dan pasien keempat. 1 Pemeriksaan fisik pada semua pasien pada saat pemantauan didapatkan hemodinamik stabil. Tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi nadi, laju pernafasan dan suhu tubuh dalam batas normal. Kapasitas fungsional pasien berdasarkan KPS selama pemantauan bernilai 90% karena pasien masih dapat melakukan aktivitas secara normal dengan tanda dan gejala penyakit yang minimal. Hasil pemeriksaan laboratorium selama pemantauan didapatkan anemia dan leukositosis didapatkan pada pasien pertama dan pasien kedua. Pada pasien ketiga didapatkan adanya anemia, trombositosis, leukositosis, leukopenia, sedangkan pada pasien keempat didapatkan adanya anemia dan trombositopenia. Anemia pada pasien kanker dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu adanya perdarahan, asupan nutrisi yang tidak adekuat, produksi sitokin proinflamasi, dan pengobatan. Adanya pelepasan sitokin IF-γ, TNF-α, IL-1, IL-6, IL-10 dari monosit atau makrofag dapat merangsang penahanan mineral besi (Fe) dalam makrofag. IL-6 dan lipopolisakarida akan merangsang ekspresi protein fase akut hepatik hepsidin yang akan menghalangi absorpsi besi di usus dan pelepasan besi dari sel makrofag. Anemia pada ketiga pasien ditandai dengan MCV dan MCH menurun yang dapat disimpulkan sebagai anemia, mikrositik hipokrom. Anemia ini sesuai dengan gambaran anemia yang disebabkan oleh defisiensi zat besi dan anemia karena penyakit kronis.78,79 Perbedaan antara anemia defisiensi besi dan anemia pada penyakit kronis diantaranya adalah kadar total iron binding capacity (TIBC) yang meningkat pada Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 83 anemia defisiensi besi, sedangkan pada anemia pada penyakit kronis, kadarnya rendah. Kadar serum feritin pada anemia defisiensi besi menurun, sedangkan pada anemia pada penyakit kronis meningkat. Kadar zat besi dan saturasi transferin menurun pada kedua jenis anemia ini.79 Pada semua pasien tidak dilakukan pemeriksaan zat besi, TIBC, serum feritin dan saturasi transferin, sehingga tidak dapat dipastikan jenis anemianya. Penyebab anemia defisiensi besi diantaranya peningkatan penggunaan zat besi untuk meningkatkan pertumbuhan pada bayi dan remaja, kehilangan darah fisiologik pada saat menstruasi, melahirkan dan kehamilan, kehilangan darah patologis misalnya perdarahan saluran cerna, adanya penurunan absorpsi zat besi pada keadaan dimana asupan zat besi menurun, kondisi malabsorpsi dan pada pasien geriatri. Gejala klinis pada defisiensi zat besi diantaranya adanya glositis, stomatitis, koilonikia, palpitasi, sesak dan rasa lelah. Gejala-gejala tersebut tidak dijumpai pada semua pasien ini.80 Bahan makanan sumber zat besi diantaranya daging, ayam, ikan, telur, sayuran dan kacang-kacangan. Berdasarkan rata-rata analisis asupan pasien, asupan zat besi dari bahan makanan sumber sudah hampir memenuhi kebutuhan. Pada pasien dengan penyakit kronis, anemia disebabkan karena proses inflamasinya sehingga pemberian suplementasi zat besi tidak dianjurkan. Anemia dapat diatasi dengan mengatasi masalah inflamasinya. Pada pasien kanker, absorpsi zat besi akan terhambat karena adanya hepsidin sehingga supplementasi zat besi tidak diperlukan. Pemberian zat besi pada keadaan inflamasi dapat memicu terjadinya radikal bebas. Kurang lebih 90% asupan zat besi tidak dapat diabsorpsi melalui usus yang mengalami inflamasi, dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif melalui reaksi Fenton.80 Pada pasien kedua terdapat anemia normokrom normositik, dimana anemia jenis ini juga merupakan anemia yang terjadi pada keganasan. Trombositosis terjadi pada 10–57% dari pasien kanker, namun tergantung dari jenis kankernya. Trombositosis berhubungan dengan prognosis buruk dari keganxasan. Trombosit digunakan oleh sel tumor agar dapat memicu proliferasi sel endotel dan angiogenesis dengan pelepasan sitokin dan enzim proteolitik. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 84 Perlekatan antara sel tumor dan trombosit membentuk coating sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem imun.81 Pada pasien kanker juga dapat terjadi trombositopenia karena efek obat anti-kanker yang dapat menyebabkan mielosupresif atau obat golongan H2 antagonis.81 Pasien kedua terlihat adanya trombositopenia, pasien ini sering mengonsumsi obat H2 antagonis karena kerap mengalami dispepsia. Kemoterapi bekerja dengan membunuh secara cepat sel-sel yang membelah termasuk sel kanker serta sel sehat yang pembelahannya cepat seperti sel tulang, saluran pencernaan, sistem reproduksi dan folikel rambut. Kemoterapi dapat menimbulkan berbagai efek antara lain anemia, leukopenia dan trombositopenia. Supresi sumsum tulang akibat kemoterapi disebut juga dengan myelosupresion. Pasien yang menjalani kemoterapi hanya pasien ketiga, dari hasil pemeriksaan laboratorium, pasien ini juga mengalami leukopenia.82 Skrining yang digunakan pada pasien ini adalah MST yang merupakan skrining untuk mengidentifikasi risiko malnutrisi pada pasien kanker dan dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat oleh perawat. Skrining lain dengan metode khusus yang digunakan untuk pasien kanker adalah PG-SGA. Metode ini menggambarkan status nutrisi berdasarkan riwayat medis (perubahan BB, perubahan asupan, adanya gangguan yang berhubungan dengan nutrisi yang telah berlangsung lebih dari dua minggu, kapasitas fungsional) dan penilaian fisik (kehilangan lemak subkutan, muscle wasting, edema, asites).26,27 Sistem skoring PG-SGA berkorelasi dengan beberapa parameter seperti persentase kehilangan BB, IMT, usia harapan hidup, lama rawat di RS dan kualitas hidup. Skrining PG-SGA ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan metode skrining lainnya yang telah divalidasi. Skrining ini juga melibatkan partisipasi dari pasien dan keluarga namun membutuhkan waktu 10–15 menit untuk melengkapi data skrining tersebut. Hal ini sulit dilakukan pada semua pasien kanker secara teratur sehingga pada pasien ini dipilih skrining yang menggunakan metode MST.26,27 Semua pasien ini memiliki skor ≥2 yang menunjukkan berisiko malnutrisi dan membutuhkan penanganan tim terapi gizi. Penurunan BB terjadi pada semua pasien, dimana penurunan BB sudah mulai terjadi sebelum dilakukan terapi radiasi. Pada pasien Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 85 pertama terjadi penurunan BB 5 kg (10%) dalam waktu lima bulan, pasien kedua terjadi penurunan BB 4,5 kg (9%) dalam lima bulan, pasien ketiga 10,9 kg (15%) dalam waktu lima bulan dan pasien keempat 17,5 kg (23%) dalam waktu lima bulan. Selama pemantauan terlihat BB pasien mengalami peningkatan dan penurunan. Pada pasien pertama, selama pemantauan terlihat peningkatan BB sebanyak 2,1 kg, pasien kedua mengalami penurunan BB sebanyak 0,5 kg, pasien ketiga juga mengalami penurunan BB sebanyak 5,8 kg, sedangkan pasien keempat mengalami penurunan BB sebanyak 1,3 kg. Pada sel kanker, sitokin yang dilepaskan akan melewati sawar darah otak dan berinteraksi dengan sel pada permukaan endotel otak dan kemudian melepaskan substansi yang mempengaruhi selera makan akibat pelepasan sitokon akan menyebabkan terjadinya respon sinyal oreksigenik dan anoreksigenik. Neuropeptida Y (NPY) bersifat oreksigenik, sedangkan proopiomelanokortin (POMC) bersifat anoreksigenik. Neuron NPY akan meningkatkan aktivitas parasimpatis sehingga akan menurunkan REE, demikian sebaliknya pada neuron POMC. Semua pasien ini mengalami anoreksia. Radiasi daerah pelvis memberikan efek terhadap saluran cerna karena pengaruh dari sitokin pro inflamasi yang mengakibatkan kerusakan dan atrofi pada mukosa usus halus yang dapat menyebabkan mual, muntah dan diare. Pada keempat pasien ini ditemukan adanya mual dan muntah, sedangkan diare hanya ditemukan pada pasien pertama, kedua dan ketiga. Pada keempat pasien diedukasi untuk mengatasi mual muntah dengan mengonsumsi minuman dalam jumlah kecil dan dalam suhu yang hangat, mengonsumsi jahe dalam bentuk kue, minuman atau permen. Beberapa penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa jahe dapat menurunkan rasa mual. Makan dalam porsi kecil dan sering 6–8 kali/hari, juga disarankan makan makanan dengan tekstur yang lembut seperti es krim, jelly atau yoghurt. Hindari makanan yang berminyak, pedas, manis dan berbumbu keras.30 Untuk mengatasi diare, pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang rendah serat dan mengandung serat larut seperti apel, pisang, wortel, sayur berdaun, banyak minum air putih. Pemberian serat pada pasien kanker yang Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 86 mengalami masalah gastrointestinal berdasarkan rekomendasi American Cancer Society (ACS) adalah dengan memberikan diet rendah serat yang mengandung serat larut yang bersifat tidak mengiritasi saluran cerna. Namun penelitian pada pasien kanker yang menjalani radioterapi di daerah pelvis, pemberian diet rendah atau tinggi serat memberikan hasil tidak konsisten. Pasien ini asupan serat bervariasi namun tergolong rendah, antara 3,5–17 g / hari. Pemberian probiotik pada pasien kanker selama tujuh hari sebelum dilakukan radiasi, menurunkan angka kejadian diare secara bermakna, sedangkan pemberian probiotik pada masa terapi radiasi hanya memperbaiki konsistensi feses. Peran probiotik pada sel-sel epitel saluran cerna antara lain dengan memperbaiki fungsi barier mukosa dan menginduksi aktivitas antimikroba. Semua pasien ini tidak diberikan probiotik karena memang komposisi strains dan jumlah probiotik yang diberikan masih terbatas dan dosis juga sangat individual. Penelitian dengan pemberian diet elemental pada pasien kanker daerah pelvik yang menjalani radioterapi tidak menunjukkan perubahan yang signifikan secara statistik pada BB atau perbaikan toksisitas usus selama periode penelitian. Pada penelitian ini pasien diberikan diet elemental dengan jumlah dan jenis yang berbeda selama lima minggu, namun jumlah diet elemental yang mampu dikonsumsi oleh pasien hanya berkisar 250–500 ml. Berdasarkan penelitian ini belum dapat diketahui berapa banyak diet elemental yang harus dikonsumsi pasien untuk menurunkan gejala-gejala gangguan usus, kapan diet mulai diberikan dan berapa lama harus diberikan, apakah digunakan untuk menggantikan kebutuhan kalori atau hanya sebagai suplemen, masih perlu penelitian lebih lanjut.83 Pemberian diet rendah laktosa belum ada rekomendasi yang pasti. Insiden defisiensi laktosa pada pasien kanker daerah pelvis yang mendapatkan radioterapi dalam suatu penelitian adalah sekitar 15%.34 Terdapat satu penelitian RCT pada 64 pasien radioterapi daerah pelvis dengan perlakuan tunggal pemberian diet rendah laktosa. Pada penelitian ini pasien dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok dengan pemberian susu sebanyak 480 ml, dan kelompok terakhir mendapatkan 480 ml susu dan juga diberikan laktase. Hasil penelitian ini memperlihatkan tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 87 BAB dan jumlah obat antidiare yang digunakan pada ketiga kelompok tersebut. Hasil tidak bermakna ini dapat disebabkan oleh angka drop out pada penelitian mencapai 17%.39 Penelitian prospektif lain pada pasien keganasan ginekologi yang mendapatkan terapi radiasi daerah pelvis, adalah dengan pemberian diet rendah laktosa dan diet rendah lemak dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan diet reguler. Penelitian dilakukan pada 143 pasien dan didapatkan hasil berkurangnya frekuensi diare pada kelompok perlakukan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,01).40 Sedangkan rekomendasi dari National Cancer Institute (NCI) adalah pemberian diet rendah laktosa, rendah lemak, dan rendah serat untuk mengurangi keluhan gastrointestinal pasien. 41 Status gizi pasien pertama dan kedua adalah normoweight, pasien ketiga obes 2 sedangkan pasien ketiga obes 1. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa jaringan lemak menghasilkan hormon polipeptida adipokin, leptin dan adiponektin yang berperan dalam perkembangan kanker.84 Leptin berkorelasi dengan simpanan lemak dalam tubuh dan merupakan mediator potensial yang dapat menginduksi progresivitas kanker melalui aktivasi jalur PI3K, MAPK dan STAT3. Jaringan lemak juga dapat meningkatkan sitokin pro inflamasi termasuk PGE2, TNF-α, IL-1, IL-8, IL-10 dan MCP-1 yang dapat merangsang pertumbuhan sel kanker melalui jalur inflamasi yang diaktivasi oleh NF-κB.84 Kebutuhan energi basal pasien dihitung berdasarkan rumus HarrisBenedict selanjutnya dikalikan faktor stres 1,5 untuk mendapatkan KET. Berdasarkan analisis asupan selama pemantauan dari keempat pasien didapatkan peningkaatan asupan secara bertahap. Pasien pertama dan ketiga sudah mencapai KET sedangkan pasien kedua belum mencapai KET namun cenderung meningkat. Pasien keempat terlihat belum mencapai KET, ada peningkatan dan penurunan asupan. Penurunan asupan terutama saat dilakukan kemoterapi. Pada pasien ini diberikan edukasi untuk mengonsumsi makanan dalam porsi kecil dan sering, mengonsumsi makanan ringan yang mengandung karbohidrat,makanan dengan tekstur yang lembut, suhu yang hangat dan tidak berbumbu keras. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 88 Penelitian pada pasien menderita kanker serviks didapatkan kadar yang rendah dari β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Pemberian suplementasi vitamin dan mineral pada pasien kanker direkomendasikan bila pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut melalui asupan sehari-hari atau didapatkan adanya efek samping dari terapi yang mempengaruhi asupan pasien. Pada keempat pasien ini terlihat asupan vitamin A, vitamin C dan vitamin E ada yang mencapai RDA, namun terlihat juga yang masih di bawah RDA. Hal ini tergantung kondisi klinis pasien, akibat asupan pasien yang tidak mencukupi sehingga multivitamin perlu diberikan yang sesuai dengan jumlah yang di rekomendasikan yaitu 100% RDA. Beberapa penelitian menyatakan pemberian vitamin dan mineral dapat mengurangi efektivitas radioterapi atau kemoterapi, namun berdasarkan AIRC, pemberian multivitamin dan mineral dengan dosis yang sesuai dengan RDA, aman diberikan untuk pasien kanker yang sedang menjalani radioterapi atau kemoterapi.45 Pemberian AARC pada pasien kanker bertujuan untuk mencegah terjadinya proteolisis dan mengurangi anoreksia dengan cara menurunkan kadar triptofan di otak dan menurunkan kadar serotonin. Belum ada rekomendasi yang pasti untuk pemberian AARC pada pasien kanker namun pada penelitian oleh Cangiano dkk.32 memperlihatkan bahwa pemberian AARC 4,8 g sebanyak tiga kali sehari selama tujuh hari berturut-turut pada pasien kanker, dapat menurunkan kadar triptofan di otak dan menurunkan anoreksia secara bermakna dibandingkan pasien yang hanya mendapat plasebo. Pada keempat pasien terlihat pada awalnya terdapat asupan AARC yang rendah dan pada pemantauan selanjutnya terdapat peningkatan. Pada pasien pertama terlihat asupan AARC relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pasien lainnya, dan pada pasien pertama didapatkan efek mual yang lebih jarang dibandingkan pasien lainnya. Pada pasien ketiga terlihat asupan AARC paling rendah di antara pasien lainnya, dan pada pasien ini, terjadinya mual dan muntah cukup sering. Namun hal ini bisa juga tergantung efek radiasi dan kemoterapi yang diterima pasien. Pemberian EPA pada pasien kanker memiliki efek anti kanker oleh karena sifat anti-inflamasi dari eikosanoid pada metabolisme EPA. Eikosanoid dapat Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 89 mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh stres oksidatif dan menghambat jalur inflamasi COX. Pemberian EPA juga terbukti meningkatkan massa otot pada pasien kanker.54 Penelitian lain yang memperlihatkan bahwa pemberian EPA pada pasien kanker kepala dan leher yang diberi EPA sebanyak 1,5 g dan 1,6 g, selama tiga bulan, terbukti dapat mempertahankan BB pasien. 85 Asupan makanan yang mengandung EPA seperti dari ikan laut dalam sangat jarang didapat, sedangkan ikan yang ada di Indonesia mengandung EPA yang sangat kecil sehingga pemberian suplementasi sangat diperlukan. Pada 1 g kapsul omega-3 umumnya mengandung 180 mg EPA, dan untuk memperoleh 1,5 g EPA dibutuhkan sekitar delapan kapsul omega-3. Pada ketiga pasien diberikan suplementasi kapsul asam lemak omega-3 sebanyak enam kapsul setiap hari, dan sisanya dipenuhi dari bahan makanan sumber. Kapsul asam lemak omega-3 dapat memberikan efek samping yang minimal pada gastrointestinal, seperti rasa tidak nyaman pada perut dan fishy aftertaste, salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memberikan edukasi kepada pasien untuk mengonsumsinya bersama dengan makanan dan pada waktu sebelum tidur. Pada pasien keempat terkadang mengalami perdarahan pervaginam, sehingga pemberian kasul omega-3 diberikan sebanyak tiga kapsul perhari. Sebab berdasarkan penelitian Penny dkk.61 pemberian 1 g omega-3 dapat memberikan efek perdarahan yang minimal, sehingga omega-3 yang diberikan jumlahnya dibawah 1 g. Pasca dilakukan radioterapi dan brakiterapi, kapasitas fungsional berdasarkan KPS pada pasien pertama dan kedua meningkat menjadi 100%, sedangkan pasien ketiga dan keempat tetap 90%. Kualitas hidup keempat pasien menjadi lebih baik, pasien pertama sudah dapat menjadi motivator bagi sesama penderita kanker serviks dan sudah dapat memberikan ceramah mengenai kanker serviks pada kelompok ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal pasien. Pasien kedua sudah dapat mengikuti kegiatan kerohanian yang rutin dilakukan di lingkungan tempat tinggal pasien. Pada pasien ketiga dapat melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan, sedangkan pasien keempat sudah mulai melaksanakan aktivitasnya sebagai pedagang baju di pasar dan perdarahan pervaginamnya sudah berhenti. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 90 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pada pemberian tatalaksana nutrisi pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada pasien kanker serviks terjadi perubahan metabolisme protein, lemak dan karbohidrat yang dapat mempengaruhi status gizi pasien. 2. Pada pasien kanker serviks yang menjalani radioterapi memiliki permasalahan dalam asupan nutrisi akibat efek samping radiasi yang diterima berupa mual, muntah, anoreksia dan diare. Tatalaksana nutrisi yang diberikan kepada pasien bermanfaat untuk meningkatkan asupan pasien, mempertahankan atau meningkatkan status gizi dan meningkatkan kualitas hidup pasien. 3. Tatalaksana nutrisi yang diberikan meliputi pemberian makronutrien, mikronutrien dan nutrient spesifik yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta pemberian konseling dan edukasi. 4. Monitoring dan evaluasi sangat diperlukan untuk memantau pencapaian target nutrisi yang diharapkan. Selama pemantauan, pada pasien pertama terjadi peningkatan BB, sedangkan pada pasien kedua dan keempat terjadi penurunan BB yang minimal. Pada pasien ketiga terjadi penurunan BB yang cukup banyak karena efek kemoterapi yang diterima membuat rasa mual yang berat disertai muntah. 5.2. Saran 1. Dukungan nutrisi sebaiknya diberikan sebelum pasien menjalani radioterapi sehingga dapat meningkatkan pencapaian target nutrisi dengan meminimalkan efek samping radioterapi dan kemoterapi serta dapat meningkatkan kualitas hidup. 2. Pemberian nutrient spesifik sebaiknya terus diberikan secara rutin sesuai dengan kebutuhan pasien dan untuk mencapai terapi nutrisi yang optimal. 3. Monitoring dan evaluasi sebaiknya rutin dilakukan untuk memantau kondisi, toleransi asupan dan pencapaian target nutrisi. 90 Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 91 DAFTAR REFERENSI 1. Aziz F, Andrijono, Saifuddin AB, editor. Onkologi Ginekologi. Edisi I. Cetakan I. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2006. 2. Rasjidi I. Epidemiologi kanker serviks. Indonesian J Cancer 2009;Vol.III, No.3. Hal.103–8. 3. Scanlon VC, Sander T. Female Reproductive System. Dalam: Scanlon VC, Sander T., eds. Essentials of Anatomy and Pathophysiology. Edisi ke-5. New York: FA Davis Company. 2007. 4. Rasjidi I, ed. Manual Prakanker Serviks. Edisi Pertama. Sagung Seto. Jakarta. 2008. 5. Samadi HP. Yes, I Know Everything about Kanker Serviks. Cetakan I. Metagraf. Solo. 2011. 6. Catellsague X, Munoz N. Cofactor in human papilloma virus carcinogenesisrole of parity, oral contraceptives, and tobacco smoking. J Natl Cancer Ins, Monographs. 2003;31:20–8. 7. Kauffman RH, Adam E, Vonka V. Human papilloma virus infection and cervical carcinoma. Clin Obstet and Gynecol 2000;43:363–80. 8. Ibeanu OA. Molecular pathogenesis of cervical cancer. Cancer Biology and Therapy February 1, 2011;11:3, 295–306;. 9. Schorge JO, Schaffer JI, Molvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. William’s Gynecology. St. Louis: Mc Graw Hill, Co. Hal. 1285–1322. 10. Gordon JN, Green SR, Goggin PM. Cancer cachexia. Q J Med 2005;98:779– 88. 11. Topkan E, Yavuz AA, Ozyilkan O. Cancer cachexia: pathophysiologic aspects and treatment options. Asian Pac J Cancer Prev 2007;8, 445–51 12. Fearon K, Strasser F, Anker SD, Bosaeus I, Bruera E, Fainsinger RL, et al. Definition and classification of cancer cachexia an international consensus. Lancet Oncol 2011;12:489-95. 13. Donohoe CL, Ryan AM, Reynolds JV. Cancer cachexia: mechanisms and clinical implications. Gastroenterol Res Pract 2011; 601434, 2011. 14. Tisdale MJ. Mechanism of cancer cachexia. Physiol Rev 2009;89:381–410. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 92 15. Perboni S, Inui A. Anorexia in cancer: role of feeding-regulatory peptides. Phil Trans R Soc B 2006;361, 1281–1289. 16. Nitenberg G, Raynard BB. Nutritional support of cancer patients: issues and dilemmas. Crit Rev Oncol Hematol 2000;34,137–68. 17. Landoni F, Maneo A, Colombo A, et al. Randomised study of radical surgery versus radiotherapy for stage Ib – IIa cervical cancer. Lancet 1997;350 (9077) : 535–40. 18. Rasjidi I, Supriana N, Cahyono K. Radioterapi pada Keganasan Ginekologi. Cetakan I. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. 19. Schmidt-Ullrich RK. Molecular targets in radiation biology. Oncogene 2003;22, 5730–5733. 20. Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebrulic. Radiobiology. Dalam: Basic Radiation Oncology. Springer 2010. Hal.87. 21. Havrika C, Reed PW, Mack D. Medical radiation oncology. Dalam: Marian M, Roberts S, ed. Clinical Nutrition for Oncology Patients. Boston: Jones and Bartlett publishers, 2010. Hal.65–100. 22. Brady LW, Lu JJ (eds). Radiation Oncology. Spinger. Germany. 2008. Hal.366–7. 23. Shadad AK, Sullivan FJ, Martin JD, Egan LJ. Gastrointestinal radiation injury: symptoms, risk factors and mechanism. World J Gastroenterol 2013 January 14; 19(2): 185–98. 24. Chitapanarux I, Chitapanarux T, Traisathit P, Kudumpee, Tharavichitkul E, Lorvidhaya. Radiation Oncology 2010,5:31 25. Cohen DA. Neoplastic disease. Dalam: Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth SL, editor. Nutrition Therapy and Pathophysiology. Edisi ke-2. Belmont: Wadsworth Cencage Learning, 2011.Hal.702–34. 26. Charney P, Cranganu A. Nutrition screening and assessment in oncology. Dalam: Marian M, Roberts S, ed. Clinical Nutrition for Oncology Patients. Boston: Jones and Bartlett publishers, 2010. Hal.31–42. 27. Bauer J. Nutritional management and dietary guidelines for cancer cachexia. Eur Oncol Dis 2007;1(2) :12–4. 28. Reeves MM. Estimating patients’ Energy Requirement: Cancer as a Case Study. A thesis submitted for the degree of doctor of Phylosophy in the Centre for health Research, School of Public Health Queensland University of Technology, March 2004. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 93 29. Total Nutrition Therapy version 2.0. 30. Grant BL, Hamilton KK. Medical nutrition therapy for cancer prevention, treatment, and recovery. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Raymond JL, eds. Krause's Food and the Nutrition Care Process. 13 ed. Missouri: Elsevier; 2012:832-63. 31. Mackenzie M, Baracos VE. Cancer associated-cachexia: altered metabolism of protein and amino acids. Dalam: Cynober LA, ed. Metabolic & Therapeutic Aspects of Amino Acids in Clinical Nutrition. Edisi kedua. USA: CRC Press, 2013. Hal 339–54. 32. Cangiano C, Laviano A, Meguid MM, Mulieri M, Conversano L, Preziosa I, Rossi Fanelli F. Effects of administration of oral branched-chain amino acids on anorexia and caloric intake in cancer patients. J Natl Cancer Inst 1996;88:550–2. 33. Hurst JD, Gallagher AL. Energy, macronutrient, micronutrient, and fluid requirements. In: Elliott L, Molseed LL, McCallum PD, Grant B, eds. The Clinical Guide to Oncology Nutrition. USA: American Dietetic Association; 2006:54-68. 34. Wedlake L.J., McGough C., Shaw C., Klopper T., Thomas K., Lalji A., Dearnaley D.P., Blake P., Tait D., Khoo V.S. & Andreyev H.J.N. Clinical trial: efficacy of a low or modified fat diet for the prevention of gastrointestinal toxicity in patients receiving radiotherapy treatment for pelvic malignancies. J Hum Nutr Diet 2012;25,247–259. 35. Fine EJ, Segal-Isaacson CJ, Feinman R, Sparano J. Carbohydrate restriction in patients with advanced cancer: a protocol to assess safety and feasibility with an accompanying hypothesis. Community Oncol. Vol.5, No.1. Januari 2008. Hal. 22–5. 36. Remig VM. Medical Therapy for neurologic disorders. In Mahan LK, Escott Stump S. Krausse’s food & nutrition therapy. Edisi 12. 2008. Hal.1091. 37. Ho VW, Leung K, Hsu A. A Low carbohydrate, high protein diet slows tumor growth and prevents cancer initiation. Cancer Res 2011;71:4484–93. 38. American Society for Nutrition. Dietary fiber. Adv Nutr 2011;2:151–2. 39. Styker JA, Bartholomew M. Failure of lactose-restricted diets to prevent radiation-induced diarrhoea in patients undergoing whole pelvis irradiation. Int Radiat Oncol Biol Phys 1986;12:789–92. 40. Bye A, Kaasa S, Ose T,Sundfør K, Tropé C. The influence of low fat, low lactose diet on diarrhoea during pelvic radiotherapy Clin Nutr 1992;11:147– 53. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 94 41. McGough C, Baldwin C, Frost G,Andreyev HJN. Role of nutritional intervention in patients treated with radiotherapy for pelvic malignancy. Bri J Cancer 2004;90:2278–87. 42. Cummings JH, Stephen AM. Review: carbohydrate terminology and classification. EJCN 2007;61: S5–S18. 43. Slavin J. Review: fiber and prebiotics mechanisms and health benefits Nutrients 2013;5:1417–35. 44. http://www.cancer.org/treatment/survivorshipduringandaftertreatment/nutritio nforpeoplewithcancer/low-fiber-foods diunduh 23 Juni 2013 45. Strohle A, Zanker K, Hahn A. Nutrition in oncology: the case of micronutriens (review). Oncol Rep 2010;24:815–28. 46. Lee GJ, Chung HW, Lee KH, Ahn HS. Antioxidant vitamins and lipid peroxidation in patients with cervicalintraepithelial neoplasia. J Korean Med Sci 2005;20:267–72. 47. Myung SK, Ju W, Kim SC, Kim H. Vitamin or antioxidant intake (or serum level) and risk of cervical neoplasm: a meta-analysis. BJOG 2011;118:1285– 91. 48. Palan PR, Mikhail MS, Goldberg GL, Basu J, Runowicz CD, Romney SL. Plasma level of β-carotene, lycopene, canthaxantin, retinol, α– dan γ– tocoferol cervical intraepithelial neoplasia and cancer. Clin Cancer Res 1996;2:181–5. 49. Choudry HA, Pan M, Karinch AM, Souba WW. Branched-chain amino acidenriched nutritional support in surgical and cancer patients. J Nutr 2006;136: 314S– 318S. 50. Nicastro H, da Luz CR, Chaves DFS, Bechara LRG, Voltarelli VA, Rogero MM and Lancha AH Jr. Does branched-chain amino acids supplementation modulate skeletal muscle remodeling through inflammation modulation possible mechanisms of action. J Nutr Metabolism. Vol. 2012. Article ID 136937. 51. O’Connell TM. The complex role of branched chain amino acids in diabetes and cancer. Metabolites 2013, 3, 931–45. 52. Cho L, Chan EJ. What can we expect from omega-3 fatty acid? Cleve Clin J Med April 2009; Vol. 76, 4: 245–51. 53. Chalder PC. Omega-3 Fatty acids and inflammatory processes. Nutrients 2010;2,355–374. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 95 54. Vaughan VC, Hassing M-R , Lewandowski PA. Marine polyunsaturated fatty acid and cancer therapy. Br J Cancer 2013;108,486–92. 55. Kris-Etherton PM, Harris WS, Appel LJ. Fish consumption, fish oil, omega 3 fatty acids, and cardiovascular disease. Circulation 2002;106:2747–57. 56. Hanafiah A, Karyadi D, Lukito W, Muhilal, Supari F. Desirable intakes of polyunsaturated fatty acids in Indonesia adults. Asian Pac J Clin Nutr 2007;16(4):632–40. 57. Waitzberg DL, Torrinhas RS. Fish oil lipid emulsions and immune response: What clinicians need to know. Nut in Clin Pract August/September 2009; Vol. 24, No.4. 58. Ockenga J, Valentini L. Review article: anorexia and cachexia in gastrointestinal cancer. Aliment Pharmacol Ther 2005; 22: 583–594. 59. Murphy RA, Yeung E, Mourtzakis M. Influence of eicosapentanoic acid supplementation on lean body mass in cancer cachexia. Bri J Cancer 2011; 105:1469–73. 60. Luis DA, Izaola O, Aller R, Cuellar L, Terroba MC and Martin T. A randomized clinical trial with two omega 3 fatty acid enhanced oral supplements in headand neck cancer ambulatory patients. Eur Rev Med Pharmacol Sci 2008;12:177–81. 61. Penny M, Khris-Etherton, Harris WS, Appel LJ. Fish consumption, fish oil, omega-3 fatty acids, and cardiovascular disease. American Heart Association. 2002;106:2747–57. 62. Institute of Medicine of the National Academies. Food and Nutrition Board. 2005. 63. World Gastroenterology Organisation. Practice guideline probiotics and prebiotics. 2008. 64. O’Hara AM, Shanahan F. Mechanisms of action of probiotics in intestinal diseases. Sci World J 2007;7:31–46. 65. Thomas CM, Versalovic J. Probiotics-host communication modulation of signaling pathways in the intestine. Gut Microbes 2010;1:148–63. 66. Hemaiswarya S, Raja R, Ravikumar R , Carvalho IS. Mechanism of action of probiotics. Braz Arch Biol Techn 2013;56:113–9. 67. Anandharaj M, Sivasankari B, Parveen Rani R. Effects of probiotics, prebiotics, and synbiotics on hypercholesterolemia: a review. Chin J Biol 2014:1–7. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 96 68. Urbancsek H, Kazar T, Mezes I, Neumann K. Results of a double blind, randomized study to evaluate the efficacy and safety of antibiophilus in patients with radiation induced diarrhoea. Eur J Gastroenterol Hepatol 2001;13:391–6. 69. Giralt J, Regadera JP, Verges R, Romero J, De La Fuente I, Biete A, dkk. Effect of probiotic lactobacillus casei DN-114001 in prevention of radiationinduced diarrhea: results from multicentre, randomized, placebo-controlled nutritional trial. Int J Radiation Oncology Biol Phys 2008;71:1213–9. 70. Arends J, Bodoky G, Bozzeti F, Fearon K, Muscaritoli M, Selga G, et al. ESPEN guideline on enteral nutrition: non-surgical oncology. Clin Nutr 2006; 25:245-59. 71. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2011. 72. MIMS Indonesia. Edisi 116, 2011. 73. Zeng X, Xiong P, Wang F, Li C, Yao J, Guo Y. Passive smoking and cervical cancer risk: A Meta-analysis based on 3, 230 cases and 2,982 controls. Asian Pac J Cancer Prev 2012;13:2687–2693 74. Hecht SS. Cigarette smoking: cancer risks, carcinogens, and mechanism. Langenbeecks Arch Surg 2006; 391603–13. 75. Herrero R, Brinton LA, Reeves WC, Brenes MM, de Britton RC, Tenorio F, Gaitan E. Injectable contraceptives and risk of invasive cervical cancer: evidence of an association. Int J Cancer 1990; 46, 5–7. 76. www.pps.unud.ac.id?thesis/pdf-thesis/unud-291-1009483473babi,ii,iii,iv.pdf diunduh 26 Juni 2014 77. Natphopsuk S, Settheetham-Ishida W, Sinawat S, Pientong C, Yuenyao P, Ishida T. Risk Factors for Cervical Cancer in Northeastern Thailand: Detailed analyses of sexual and smoking behavior. Asian Pac J Cancer Prev 2012;13 (11), 5489–95. 78. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med 2005;352;10. 79. Ahmad H, Asdie (ed). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.4. Edisi 13. EGC: Jakarta. 2000. Hal. 1920–30. 80. Gasche C, Berstad A, Befrits R, Beglinger C, Dignass A, Erichsen K, et al. Guidelines on the diagnosis and management of iron deficiency and anemia in inflamatory bowel diseases. Inflamm Bowel Dis 2007;13:154 –53. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 97 81. Bambace NM & Holmes CE. The platelet contribution to cancer progression. J Thromb Haemost 2011;9: 237–49. 82. Hadi SH, Iskandar TM. Hubungan anemia dan transfusi darah terhadap respons kemoradiasi pada karsinoma serviks uteri stadium IIb–IIIb. Med Hosp 2012; vol.1 (1):32–36. 83. McGough, Baldwin C, Norman A, Frost A, Blake P, Tait D, et al. Is supplementation with elemental diet feasible in patients undergoing pelvic radiotherapy?. Clin Nutr 2006;25:109–16. 84. Vucenik I, Stains JP. Obesity and cancer risk: evidence, mechanism, and recommendations. Ann NY Acad Sci 2012; 1271,37–43. 85. Luis DA, Izaola O, Aller R, Cuellar L, Terroba MC and Martin T.A randomized clinical trial with two omega 3 fatty acid enhanced oral supplements in head and neck cancer ambulatory patients. Eur Rev Med Pharmacol Sci 2008;12:177–81. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 99 Lampiran 2: Lembar Monitoring Pasien Kasus Pertama S O Kontrol 1 (radiasi ke 16) Mual ada, muntah tidak ada. BAK dan BAB normal Kontrol 2 (radiasi ke 20) Diare 2–3 kali dalam sehari selama dua hari. Kontrol 3 (radiasi ke 25) Mual, nyeri perut bawah hilang timbul Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/80 mmHg, N 72 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 84 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 8 g/dL, Ht 28%, leukosit 8.260/µL, trombosit 355.000/µL Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Terapi DPJP : Loperamid 2 x 1 Terapi DPJP : Ultracet 3 x 1 Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 46 kg, IMT= 21,0 kg/m2 Antropometri : TB 148 cm, BB 44,9 kg, IMT= 20,5 kg/m2 Analisis asupan : Analisis asupan : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,1 g/dL, Ht 31,5%, leukosit 10.031/µL, trombosit 364.000/µL, LED 97, SGOT 16, SGPT 7, ureum 18, kreatinin 0,6. Terapi DPJP: Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 45 kg, IMT= 20,5 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) Makanan 1437 biasa A P (g) 52 L (g) 41 KH (g) 188 Kanker serviks II b, normoweight malnutrisi, anemia, leukositosis. berisiko E (kal) 1732 P (g) 62 L (g) 56 KH (g) 257 Makanan biasa Kanker serviks II b, normoweight berisiko malnutrisi, anemia Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL, trombosit 308.000/µL,ureum 16, kreatinin 0,6 E P (g) L (g) KH (g) (kal) Makanan biasa 1147 69 62 145 Kanker serviks II b, normoweight berisiko malnutrisi Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 100 P KEB = 1118,4 kkal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik KEB = 1158 kkal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali KEB = 1150,6 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 101 S O Kontrol 4 (brakiterapi 1) Mual berkurang Kontrol 5 (brakiterapi 2) Mual berkurang, nafsu makan membaik Kontrol 6 ( brakiterapi 3) Mual berkurang, nafsu makan membaik) Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,8 g/dL, Ht 36,9%, leukosit 6.560/µL, trombosit 289.000/µL Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,9 g/dL, Ht 37,9 leukosit 6.820/µL, trombosit 321.000/µL Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 45 kg, IMT= 20,5 kg/m2 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 46 kg, IMT= 21,0 kg/m2 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 46,3 kg, IMT= 21,1 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) Analisis asupan : E (kal) Makanan 1936 biasa Analisis asupan : E(kal) Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 12,0 g/dL, Ht 36,8%, leukosit 5.950/µL, trombosit 277.000/µL. A P P (g) L (g) KH(g) Makanan 1826 66 89 299 biasa Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi KEB = 1118 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik P (g) 70 L (g) 67 KH(g) 274 Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia. KEB = 1128 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik P(g) L(g) KH(g) Makanan 2148 96 69 302 biasa Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia. KEB = 1130,9 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 102 Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 103 O Kontrol 7 (1 minggu pasca brakiterapi 3) Mual tidak ada, nafsu makan baik, BAB normal Kontrol 8 (2 minggu pascabrakiterapi 3) Mual tidak ada, nafsu makan baik, BAB normal Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru : vesikuler, tidak ada ronki & wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 100% Kapasitas fungsional : KPS 100% Antropometri : TB 148 cm, BB 46,7 kg, IMT= 21,3 kg/m2 A Analisis asupan : E (kal) Makanan 1820 biasa Kanker serviks IIb, malnutrisi Antropometri : TB 148 cm, BB 47,1 kg, IMT= 21,5 kg/m2 Analisis asupan : P (g) 78 L (g) 79 KH (g) 212 normoweight berisiko E (kal) P (g) L (g) KH (g) Makanan 1918 80 79 242 biasa Kanker serviks IIb, normoweight berisiko malnutrisi, Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 104 P KEB = 1134,7 kkal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik KEB = 1138,5 kkal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan tetap 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 251 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 105 Lampiran 3: Lembar Monitoring Pasien Kasus Kedua S O Kontrol 1 (Radiasi ke 1) Mual yang sangat berat, keputihan Kontrol 2 (Radiasi ke 5) Mual yang sangat berat, keputihan Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Kontrol 3 (Radiasi ke 9) Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 9,6 g/dL, Ht 28,8%, leukosit 11.260/µL, trombosit 387.000/µL. Laboratorium : Hb 11,5 g/dL, Ht 34,5%, leukosit 9.920/µL, trombosit 345.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Ultracet 3 x 1 Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 33,1%, leukosit 12.940/µL, trombosit 414.000/µL, ureum 12, kreatinin 0,6 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 45,5 kg, IMT= 21,6 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P Antropometri : TB 145 cm, BB 45,4 kg, IMT= 21,6 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) Makanan 496 15 16 biasa Kanker serviks IIIb, normoweight malnutrisi, anemia, leukositosis. KEB = 1155,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) KH(g) 77 berisiko Makanan biasa 537 P (g) L (g) KH(g) 23 14 86 Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia, leukositosis KEB = 1150,6 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Antropometri : TB 145 cm, BB 45,3 kg, IMT= 21,4 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Makanan 1027 62 36 118 biasa Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia KEB = 1146,4 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 106 Nutrisi diberikan dimulai dari 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali S O Nutrisi diberikan 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Nutrisi diberikan akan dinaikkan 1200 kal, P 59 g, L 33 g, KH 167 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Kontrol 4 (Radiasi ke 15) Mual yang memberat, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Kontrol 5 (Radiasi ke 20) Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, keputihan Kontrol 6 (Radiasi ke 25) Mual berkurang, diare selama 2 hari, frekuensi 3 kali per hari, keputihan Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 33,1%, leukosit 12.940/µL, trombosit 414.000/µL. Laboratorium : Hb 11,9 g/dL, Ht 36,0%, leukosit 6.260/µL, trombosit 278.000/µL. Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,5 g/dL, Ht 34,8%, leukosit 11.350/µL, trombosit 342.000/µL. Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 107 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 43,6 kg, IMT= 20,7 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P Antropometri : TB 145 cm, BB 43,8 kg, IMT= 20,8 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Loperamide 2 x 1 Makanan biasa 1057 P (g) L (g) KH(g) 59 36 126 Antropometri : TB 145 cm, BB 43,6 kg, IMT= 20,7 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Makanan 512 34 13 65 biasa Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia, leukositosis KEB = 1137,2 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diturunkan menjadi 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia, leukositosis KEB = 1139,1 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Makanan 1132 51 40 144 biasa Kanker serviks IIIb, normoweight berisiko malnutrisi, anemia KEB = 1137,2 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 108 S O Kontrol 7 (Brakiterapi ke 1) Mual, keputihan mulai berkurang Kontrol 8 (Brakiterapi ke 2) Mual berkurang, keputihan berhenti Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Kontrol 9 (Brakiterapi ke 3) Mual, muntah-muntah dua hari pasca brakiterapi kedua selama tiga hari Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,8 g/dL, Ht 33,7%, leukosit 7.510/µL, trombosit 216.000 /µL. Laboratorium : Hb 11,9 g/dL, Ht 36,0%, leukosit 6.260/µL, trombosit 278.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Loperamid 2 x 1 Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,2 g/dL, Ht 34,8%, leukosit 6.560/µL, trombosit 240.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 45 kg, IMT= 21,4 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P P (g) L (g) KH(g) Antropometri : TB 145 cm, BB 45,1 kg, IMT= 21,5 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Antropometri : TB 145 cm, BB 44,6 kg, IMT= 21,2 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) P (g) L (g) KH(g) Makanan 1314 77 37 167 biasa Kanker serviks III b, normoweight berisiko malnutrisi, anemia Makanan 1603 72 39 250 biasa Kanker serviks III b, normoweight berisiko malnutrisi, anemia Makanan 1075 64 39 91 biasa Kanker serviks III b, normoweight berisiko malnutrisi, anemia KEB = 1137,2 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diturunkan menjadi 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g KEB = 1139,1 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g KEB = 1137,2 kal KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan ditingkatkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 109 Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 110 Lampiran 4: Lembar Monitoring Pasien Kasus Ketiga S O Kontrol 1 (Radiasi ke 1) Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Kontrol 2 (Radiasi ke 5) Mual yang sangat berat, nafsu makan menurun Kontrol 3 (Radiasi ke 12) Mual berkurang, nafsu makan membaik Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 110/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,5 g/dL, Ht 32,6%, leukosit 10.130/µL, trombosit 486.000/µL, ureum 14 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL, SGOT 16 U/L, SGPT 5 U/L. Laboratorium : Hb 10,8 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 6.960/µL, trombosit 335.000/µL, ureum 9 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Lansoperazol 1 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 61,2 kg, IMT= 29,1 kg/m2 Antropometri : TB 145 cm, BB 59,3 kg, IMT= 28,2 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) Analisis asupan : E (kal) Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,8 g/dL, Ht 33,2%, leukosit 14.040/µL, trombosit 478.000/µL, ureum 30 mg/dL, kreatinin 0,7 mg/dL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Lansoperazol 1 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 62,1 kg, IMT= 29,6 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P P (g) L (g) KH(g) Makanan 502 17 23 61 biasa Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukositosis, trombositosis KEB = 1144,9 kkal P (g) L (g) KH(g) Makanan 370 36 12 27 biasa Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukositosis, trombositosis KEB = 1144,9 kkal P (g) L (g) Makanan 975 50 31 biasa Kanker serviks IVb, obes I, anemia KH(g) 126 KEB = 1138,2 kkal Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 111 KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi ditberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi diberikan sebesar 900 kal, P 45 g, L 25 g, KH 127 g Bentuk : makanan lunak dan diet cair komersial polimerik KET = 1700 kal (FS 1,5) Nutrisi dinaikkan menjadi 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Kontrol 4 (Radiasi ke 16) Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Kontrol 5 (Radiasi ke 19) Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Kontrol 6 (Radiasi ke 24) Mual hilang timbul, nafsu makan membaik Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/70 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,3 g/dL, Ht 33,0%, leukosit 4.580/µL, trombosit 194.000/µL, ureum 20 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL Laboratorium : Hb 10,6 g/dL, Ht 30,2%, leukosit 1.880/µL, trombosit 135.000/µL, ureum 20 mg/dL, kreatinin 1,0 mg/dL Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali S O Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,9 g/dL, Ht 32,7%, leukosit 3.640/µL, trombosit 292.000/µL, ureum 15 mg/dL, kreatinin Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 112 0,9 mg/dL, LED 90. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 58,1 kg, IMT= 27,6 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P P (g) L (g) KH(g) Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 145 cm, BB 57,9 kg, IMT= 27,5 kg/m2 Antropometri : TB 145 cm, BB 56,3 kg, IMT= 26,8 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) Analisis asupan: E (kal) Makanan biasa 1226 P (g) L (g) 50 42 KH(g) 291 Makanan biasa 850 P (g) L (g) KH(g) 39 25 135 Makanan 1486 50 42 234 biasa Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukopenia Kanker serviks IVb, obes I, anemia, leukopenia KEB = 1135,2 kkal KET = 1700 kkal (FS 1,5) Nutrisi diberikan sebesar 1700 kal, P 68 g, L 47 g, KH 215 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik KEB = 1134,3 kkal KET = 1700kkal (FS 1,5) Nutrisi diturunkan sebesar 1500 kal, P 68 g, L 42 g, KH 213 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Kanker serviks IVb, obes I, anemia, trombositopenia, leucopenia KEB = 1130,5 kkal KET = 1700 kkal (FS 1,5) Nutrisi diturunkan sebesar 1200 kal, P 59 g, L 33 g, KH 167 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 113 Lampiran 5: Lembar Monitoring Pasien Kasus Keempat S O Kontrol 1 (Radiasi ke 5) Mual hilang timbul, perdarahan pervaginam berkurang Kontrol 2 (Radiasi ke 11) Mual berkurang, diare selama dua hari, frekuensi 2–3 kali sehari, perdarahan pervaginam berkurang Kontrol 3 (Radiasi ke 16) Mual berkurang, nafsu makan membaik, perdarahan per vaginam berkurang Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/70 mmHg, N 76 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, P 20 x/mnt, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 130/80 mmHg, N 80 x/menit, P 20 x/menit, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,6 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 9.340/µL, trombosit 369.000/µL. Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 32,3%, leukosit 9.654/µL, trombosit 300.000/µL Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 10,9 g/dL, Ht 32,2%, leukosit 10.370/µL, trombosit 353.000/µL Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Loperamid 2 x 1 Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= 26,3 kg/m2 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0 kg/m2 Antropometri : TB 148 cm, BB 58,0 kg, IMT= 26,5 kg/m2 Analisis asupan : Analisis asupan : E (kal) P (g) Makanan 1527 65 biasa Kanker serviks IIIb, obes I, anemia KEB = 1175,4 kkal Analisis asupan : E (kal) 1487 A P Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% P (g) 69 Makanan biasa Kanker serviks IIIb, obes I, anemia KEB = 1175,4 kkal L (g) 56 KH (g) 183 L (g) 80 KH (g) 151 E (kal) P (g) L (g) KH (g) Makanan 1619 72 81 156 biasa Kanker serviks IIIb, obes I, anemia, leukositosis KEB = 1175,4 kkal Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 114 S O KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5) KET = 1800 kkal (FS 1,5) Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Kontrol 4 (Radiasi ke 21) Mual bertambah, perdarahan per berkurang vaginam Kontrol 5 (Brakiterapi ke 1) Mual berkurang, nyeri perut bawah hilang timbul, perdarahan per vaginam berkurang Kontrol 6 (Brakiterapi ke 2) Mual berkurang, perdarahan pervaginam berkurang, keputihan Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 110/70 mmHg, N 83 x/menit, P 18 x/menit, Sb afebris Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 120/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Laboratorium : Laboratorium : Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 115 A P Hb 12,7 g/dL, Ht 39,1%, leukosit 5.090/µL, trombosit 308.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Hb 10,3 g/dL, Ht 32,4%, leukosit 8.300/µL, trombosit 335.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Hb 10,0 g/dL, Ht 31,8%, leukosit 7.150/µL, trombosit 362.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,5 kg, IMT= 26,3 kg/m2 Antropometri : TB 148 cm, BB 56,0 kg, IMT= 25,6 kg/m2 Antropometri : TB 148 cm, BB 57,0 kg, IMT= 26,0 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) Analisis asupan : Analisis asupan : P (g) Makanan 1116 57 biasa Kanker serviks IIIb, obes I KEB = 1175,4 kkal KET = 1800 kkal (FS 1,5) L (g) 45 KH (g) 123 Makanan biasa E (kal) 1410 P (g) 65 L (g) 48 KH (g) 168 Makanan biasa E (kal) 1872 P (g) 77 L (g) 71 KH (g) 244 Kanker serviks IIIb, obes I, anemia KEB = 1175,4 kkal KET = 1800 kkal (FS 1,5) Kanker serviks IIIb, obes I, anemia KEB = 1175,4 kkal KET = 1800 kkal (FS 1,5) Nutrisi diberikan sebesar 1500 kal, P 72 g, L 50 g, KH 191 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 116 S O Kontrol 7 (Brakiterapi ke 3) Mual berkurang, perdarahan per vaginam berkurang, keputihan Tampak sakit sedang, kesadaran CM TD 110/70 mmHg, N 80 x/menit, P 16 x/menit, Sb afebris Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik Jantung : BJ I-II murni, murmur & gallop tidak ada Paru: vesikuler, tidak ada ronki dan wheezing Abdomen : BU (+) normal Ekstremitas : tidak ada edema Kapasitas fungsional : KPS 90% Laboratorium : Hb 11,0 g/dL, Ht 33,3%, leukosit 9.740/µL, trombosit 428.000/µL. Terapi DPJP : Ondansetron 3 x 1 Antropometri : TB 148 cm, BB 56,2 kg, IMT= 25,7 kg/m2 Analisis asupan : E (kal) A P P (g) L (g) KH (g) Makanan 1716 73 74 190 biasa Kanker serviks IIIb, obes I, anemia, trombositosis KEB = 1175,4 kkal KET = 1800 kkal (FS 1,5) Nutrisi diberikan sebesar 1800 kal, P 72 g, L 50 g, KH 266 g Bentuk : makanan biasa dan diet cair komersial Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014 117 polimerik Jalur : per oral Mikronutrien : Multivitamin dan mineral 1 x 1 tablet, minyak ikan omega-3 3 x 2 kapsul Monitoring : Klinis, tanda vital setiap 1 minggu sekali Analisis asupan setiap hari Toleransi rata-rata asupan & kapasitas fungsional setiap satu minggu sekali Antropometri 1 minggu sekali Universitas Indonesia Tatalaksana nutrisi ..., Julia Dewi Nerfina, FK UI, 2014