9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri 2.1.1 Definisi Nyeri Pada

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Nyeri
2.1.1
Definisi Nyeri
Pada tahun 1996, the International Association for the Study of Pain (IASP),
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan
(Rosenquist, 2013). Berdasarkan definisi tersebut, nyeri merupakan suatu gabungan
dari komponen obyektif (aspek fisiologik sensorik nyeri) dan komponen subyektif
(aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri memberikan informasi terhadap
stimulus noksius yang memungkinkan tubuh merespons terhadap kerusakan
jaringan yang terjadi. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai
secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan
menggunakan alat bantu (Steeds, 2009).
Adanya nyeri yang bersifat akut merupakan alasan individu untuk mencari
sumber pelayanan kesehatan dan pada umumnya timbul setelah terjadinya trauma,
pembedahan, atau suatu proses penyakit. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri
yang disebabkan karena cedera jaringan tubuh dan terjadi aktivasi transducer
nosiseptif pada tempat terjadinya kerusakan jaringan lokal. Cedera lokal ini
menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik nosiseptor dan koneksi ke sentral,
serta sistem saraf otonom. Cedera pada nyeri somatik akut berasal dari permukaan
tubuh atau jaringan muskuloskeletal, sedangkan nyeri viseral akut
10
berasal dari organ-organ internal dalam. Secara umum, nyeri akut berlangsung
dalam kurun waktu yang relatif singkat, dan berangsur-angsur menghilang bila
proses patologis yang mendasari dapat diatasi (Marsaban AHM, 2009).
Nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu kekhawatiran bagi pasienpasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan. Studi yang dilakukan oleh
Warfield, 2001 di Amerika Serikat melaporkan bahwa sekitar 77% pasien
merasakan nyeri pascaoperasi, dimana 80% diantaranya melaporkan nyeri dengan
intensitas sedang berat. Nyeri pascaoperasi tidak hanya terjadi setelah pembedahan
mayor, bahkan terjadi pada pembedahan yang relatif minor. Selanjutnya terjadi
respon individu terhadap berbagai kerusakan jaringan yang terjadi akibat
pembedahan berupa perubahan neurofisiologi, endokrin, serta fungsi metabolisme.
Berlandaskan pada hal tersebut, penanganan nyeri akut pascaoperasi ini mutlak
dilakukan secara agresif, efektif, dan aman dengan menggunakan pendekatan
multimodal (Marsaban AHM, 2009).
2.1.2
Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi (Ballantyne,
2008):
a.
Nyeri nosiseptif. Nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan baik
somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun
tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
11
b.
Nyeri neurogenik. Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau
disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera
pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan
terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan
seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya rasa
tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya
alodinia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan
sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically
maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri kronik.
Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
c.
Nyeri psikogenik. Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa
misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan
pasien tenang
Berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada
lima aksis yaitu:

Aksis I

Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
: regio atau lokasi anatomi nyeri
timbulnya nyeri

Aksis III : karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)

Aksis IV : waktu mula/onset terjadinya nyeri

Aksis V : etiologi nyeri
12
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi (Latief, 2001):
a.
Nyeri akut. Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri
ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti: takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat, midriasis dan perubahan wajah seperti
menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1) Nyeri somatik luar adalah nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa.
2) Nyeri somatik dalam adalah nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat.
3) Nyeri viseral adalah nyeri akibat disfungsi organ viseral.
b.
Nyeri kronik. Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda
aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri
yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini
disebabkan oleh :
1) kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2) non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
a.
Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari
hari dan menjelang tidur.
b.
Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang
bila penderita tidur.
13
c.
Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
2.1.3
Fisiologi Nyeri
Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Nosisepsi termasuk menyampaikan
informasi perifer dari reseptor khusus pada jaringan (nosiseptor) kepada struktur
sentral pada otak. Sistem nyeri mempunyai beberapa komponen (Marsaban AHM,
2009):
a.
Reseptor khusus yang disebut nosiseptor, pada sistem saraf perifer,
mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noksius.
b.
Saraf aferen
primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus
noksius ke susunan saraf pusat
c.
Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan
antara serat aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks
hubungan antara lokal eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus
desenden inhibitor dari otak.
d.
Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus)
menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada CNS.
e.
Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat
relay sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis.
14
Gambar 2.1
Lintasan nyeri
f.
Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif
nyeri,ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon
motoris (termasuk withdrawal respon).
g.
Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada
level medulla spinalis.
15
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan kerusakan sel dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri, akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit, radikal
bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui
mekanisme spesifik (Rosenquist, 2013).
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4
proses yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu (Rosenquist, 2013)
1.
Tranduksi adalah perubahan rangsang nyeri menjadi aktifitas listrik pada
ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan
lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri.
Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A
delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit,
periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf
aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai
fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf
pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan
terbentuknya impuls nyeri.
2.
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri melalui A-delta dan C
serabut yang menyusul proses tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C
16
impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron
di kornu dorsalis. Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan
impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta
mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat
C (0.5-5 m/dtk). Sel-sel neuron di medula spinalis kornu dorsalis yang
berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada
nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serat aferent A-delta dan C
diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di kornua antero-lateral
dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior medulla
spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan
peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang
dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah
cedera dengan segala akibatnya.
3.
Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,
noradrenalin, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior.
Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi
interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem
inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang
lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita
17
akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang
lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4.
Persepsi impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses
yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang
akhirnya menghasilkan rasa nyeri.
Gambar 2.2
Patofisiologi nyeri
2.1.3.1 Reseptor nyeri dan aferem primer
Nosiseptor adalah reseptor di jaringan yang mengalami aktivasi secara
spesifik oleh stimulus noksius. Stimulus noksius ini mengalami suatu proses
transduksi oleh reseptor menjadi sinyal elektrik dan selanjutnya ditransmisikan dari
perifer menuju sistem saraf pusat melalui suatu axon saraf. Nosiseptor ini tersebar
di kulit, otot, jaringan penunjang, pembuluh darah, dan viscera (Marsaban AHM,
18
2009). Secara anatomi, nosiseptor merupakan free nerve ending suatu serabut saraf,
dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
1)
High-threshold mechanoreceptors (HTM), yang berespon terhadap
deformitas mekanis.
2)
Polymodal nociceptors, yang berespon terhadap berbagai variasi input
akibat kerusakan jaringan: ion hidrogen (proton), 5-hydroxytryptamine (5HT), sitokin, bradikin, histamin, prostaglandin, dan leukotrien.
Mediator inflamasi ini akan membanjiri nosiseptor, menimbulkan
sensitisasi dan aktivasi. Prostaglandin dan bradikinin menimbulkan sensitisasi
nosiseptor dengan stimulus intensitas yang bersifat rendah. Histamin dan 5-HT
menimbulkan sensitisasi langsung terhadap nerve ending. Ion hidrogen dan 5-HT
bekerja langsung di saluran ion membran sel, namun sebagian besar berikatan
dengan reseptor membran sel dan mengaktifkan second-messenger melalui protein
G (Steeds, 2009).
Terdapat dua jenis serabut saraf Aδ dan C. Karakteristik kedua jenis serabut
saraf ini ditampilkan dalam tabel berikut. Serabut saraf aferen primer ini memiliki
badan sel, baik di dorsal root ganglia atau terminal ganglion, dan berakhir di kornu
dorsalis medula spinalis. Meskipun seluruh serabut saraf ini berakhir di kornu
dorsalis medula spinalis, jalur untuk mencapai kornu dorsalis ini bervariasi.
Sebagian besar memasuki kornu dorsalis di sisi ventrolateral dorsal root. Pada sisi
lateral serabut Aβ yang bermielin besar, bersepon terhadap stimulus non noksius
vibrasi dan raba ringan. Sebesar 30% serabut C memasuki medula spinalis melalui
ventral root. Saat memasuki medula spinalis, nerve root ini mengalami bifurkasi
19
menjadi cabang ascending ataupun descending, memasuki kornu dorsalis satu atau
dua segmen superior atau inferior dibandingkan dengan segmen aslinya (Steeds,
2009).
Tabel 2.1
Karakteristik Serabut Aferen Primer
Diameter
Kecepatan konduksi
Distribusi
Sensasi nyeri
Posisi sinaps di kornu dorsalis
Aδ (bermielin)
2-5µm
5-15 m/s
Permukaan tubuh,
otot, sendi
Cepat, tajam,
terlokalisir baik
Lamina I dan V
C (tidak bermielin)
<2 µm
0,5-2 m/s
Jaringan
Lambat, difus,
tumpul
Lamina II (substansia
gelatinosa)
Aferen primer nosiseptor merupakan neuron pseudo unipolar dengan badan
sel terletak di dorsal root ganglion (DRG). Mayoritas nosiseptor adalah nociceptor
polimodal serabut C dan berespon terhadap stimuli yang beragam, termasuk
noksious termal (suhu diatas 45°), noksius mekanik, dan stimuli noksious kimiawi.
Perbandingan serabut bermielin ini terhadap yang tidak bermielin di nerve kutaneus
adalah 1:4 (Marsaban AHM, 2009).
Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ-organ internal. Nyeri
viseral ini disebabkan oleh mekanisme berbagi dengan mekanisme nyeri somatik
yang unik berkaitan dengan viseral. Adanya cedera jaringan bukan semata-mata
sebagai penyebab nyeri viseral. Mekanisme non-damaging merupakan penyebab
nyeri viscera, seperti distensi, kontraksi, peregangan mendadak suatu kapsul organ,
20
atau traksi ligamen dan pembuluh darah. Karakteristik nyeri viseral ini sulit
dilokalisir dan bersifat difus. Substansia P diekspresikan dalam persentase yang
lebih besar pada serat aferen viseral dibandingkan dengan somatik. Hal ini
menunjukkan bahwa substansi P memberikan kontribusi terhadap proses
viserosensorik. Informasi dari nociceptor aferen viseral menuju ke medula spinalis
dan selanjutnya melalui traktus spinotalamikus kemudian menuju otak. Badan sel
terletak di dorsal root ganglia (DRG) dan serabut berjalan bersama-sama dengan
axon simpatis dan parasimpatis. Berlawanan dengan nyeri kutaneus yang bersifat
tajam dan terlokalisir baik, nyeri viseral ini bersifat difus, tumpul, dan sulit
dilokalisir. Seringkali berkaitan dengan reflek dominan otonom viseral,
bermanifestasi sebagai rasa mual dan berkeringat. Sulitnya melokalisir sumber
nyeri ini diduga sebagai konsekuensi jumlah aferen fiber yang rendah dibandingkan
dengan ukuran permukaan organ yang diinervasi. Serabut ini bertemu di secondorder kornu dorsalis yang juga menerima input segemental spinal kutaneus.
Fenomena reffered pain di segmen dermatomal menghasilkan keadaan allodynia
dan hiperalgesia (Hudspith, 2006).
21
Gambar 2.3
Mekanisme Nyeri Viseral
Prevalensi nyeri viseral persisten, episodik atau kronis dijumpai lebih tinggi
pada wanita. Diduga bahwa hormon sex steroid wanita berperan dalam modulasi
nosisepsi viseral. Adanya konvergensi stimuli nosiseptif dan input estrogen pada
neuron primer aferen yang menginervasi viscera uterus. Reseptor estrogen
diekspresikan di neuron primer aferen untuk modulasi sinyal nosiseptif (Hudspith,
2006).
2.1.3.2 Modulasi pada level medula spinalis
Kornu dorsalis medula spinalis adalah tempat serabut aferen primer
bersinap dengan neuron second-order. Terjadi suatu interaksi kompleks antara
interneuron eksitasi dan inhibisi serta traktus inhibisi descending. Kornu dorsalis
terdiri atas lamina Rexed dimana terdapat sejumlah koneksi diantara lamina-lamina
ini. Lamina II dikenal dengan substansia gelatinosa, terbentang dari nukleus
22
trigeminus di medulla, sampai fillum terminale di bagian kaudal medula spinalis.
Serabut C berakhir di lamina II dan serabut Aδ berakhir di lamina I dan V. Serabut
Aβ, raba ringan dan vibrasi memasuki medula spinalis sisi medial kornu dorsalis
tanpa bersinap di dorsal column, memberikan cabang kolateral di kornu dorsalis
yang berakhir di lamina III-V, bersinap langsung dengan serabut C tidak bermielin
di lamina II. Lamina II dan V merupakan area penting untuk proses modulasi nyeri
(Rosenquist, 2013).
Terdapat tiga jenis neuron second-order di kornu dorsalis (Rosenquist,
2013):
1)
Nosiseptif spesifik, terdapat di lamina II dan III, berespon secara selektif
terhadap stimuli noksious high-threshold.
2)
Wide Dynamic range (WDR), terdapat di lamina V dan VI, berespon
terhadap stimulus sensoris dengan kisaran yang luas.
3)
Low-threshold, berespon tunggal terhadap stimulus non noksious.
Pada level medula spinalis, jalur transmisi nyeri dari perifer menuju sentral
dikontrol oleh sejumlah mekanisme modulasi sinyal nyeri, diantaranya: mekanisme
kontrol inhibisi oleh pusat yang lebih superior, aktivitas kolateral Aβ, modulasi
segmental spinal oleh sejumlah mekanisme meliputi opioid endogen dan sistem
cannabinoid, asam amino inhibisi, seperti γ-aminobutyric acid (GABA), galanin,
kolesistokinin, dan nitric oxide (Marsaban AHM, 2009).
23
Gambar 2.4
Lamina Rexed Penyusun Kornu dorsalis
Mekanisme kontrol inhibisi merupakan mekanisme “close the gate”
terhadap aktivitas transmisi serabut C. Pada tahun 1965, Melzack dan Wall
menyatakan suatu the gate-control theory, bahwa interneuron inhibisi lamina II
dapat diaktivasi secara langsung maupun tidak langsung (melalui interneuron
eksitasi) oleh stimulus non noksious aferen sensoris besar dari kulit (Aβ) yang
selanjutnya menimbulkan supresi transmisi serabut saraf C tidak bermielin
sehingga terjadi blokade nyeri. Mekanisme menggosok area nyeri dapat
menghilangkan rasa nyeri (Steeds, 2009).
24
Gambar 2.5
Teori The Gate Control
Melzack dan Wall pada tahun 1965, menyatakan suatu teori the gate control
bahwa proses transmisi nyeri mengalami modulasi mekanisme inhibisi spinal dan
jalur descending. Proses transmisi berlokasi di kornu dorsalis selanjutnya menuju
ke otak. Output dari sel ini bergantung pada informasi yang memasuki kornu
dorsalis dalam berbagai jenis aferen primer. Output dari sel transmisi ini mengalami
regulasi atau modulasi oleh sel inhibisi di substansia gelatinosa, efek tergantung
dari informasi non noksius dari aferen fiber berdiameter besar atau informasi
noksious dari aferen berdiameter kecil. Input non noksious sepanjang serabut aferen
berdiameter besar terutama mengaktifkan sel inhibisi sehingga terjadi penurunan
output dari neuron transmisi. Input noksious sepanjang aferen berdiameter kecil
menghambat sel inhibisi sehingga meningkatkan output dari sel transmisi. Output
dari sel transmisi ini ditentukan oleh keseimbangan relatif aktivitas serabut aferen
berdiameter besar atau pun kecil yang tiba di kornu dorsalis. Level modulasi yang
25
lebih jauh dari teori ini adalah adanya jalur descending dari otak yang bekerja untuk
menghambat transmisi informasi. Aktivitas sel transmisi mengalami modulasi baik
bersifat eksitatori dan inhibisi yang berasal dari substansia gelatinosa dan oleh
kontrol inhibisi descending dari brainstem (Rosenquist, 2013; Marsaban AHM,
2009).
Kornu dorsalis mengandung sejumlah peptide dan neurotransmiter asam
amino, neuromodulator, dan masing-masing reseptornya. Neurotransmisi di dalam
kornu dorsalis meliputi (Hudspith, 2006):
1)
Transmitter eksitatori dilepaskan dari terminal sentral nociceptor primer
aferen.
2)
Transmisi eksitatori diantara neuron medula spinalis.
3)
Transmitter inhibisi dilepaskan oleh interneuron di medula spinalis.
4)
Transmitter inhibisi dilepaskan dari supraspinal.
Glutamat merupakan neurotransmiter utama di sistem saraf pusat dan
berperan dalam transmisi nosiseptif di kornu dorsalis. Glutamat bekerja di reseptor
AMPA (α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazalepropionic acid), reseptor Nmethyl-D-aspartate, reseptor kainate dan metabotropic glutamate (Rosenquist,
2013).
Pada nyeri inflamasi, nyeri neuropatik, dan nyeri yang disebabkan proses
sentral, amplifikasi neuron eksitatorik pada sistem susunan saraf pusat dapat terjadi.
Proses ini disebut sensistisasi sentral. Sensitisasi sentral merupakan peranan
penting dalam nyeri kronik. Sensitisasi sentral memiliki dua fase. Yang pertama
26
fase akut dan cepat, yang kedua memiliki onset yang lebih lambat dan durasi yang
lama. Fase akut sensitisasi sentral menggambarkan perubahan koneksi sinaps dalam
medula spinalis, setelah signal nosiseptif diterima dari nosiseptor perifer.
Nosiseptor ini melepaskan glutamat (transmitter eksitatorik), neuropeptida seperti
substansi P dan CGRP (calcitonin gene-related peptide), dan modulator sinaps
seperti brain derived neurotrophic factor. Bekerja pada reseptor spesifik pada
neuron medula spinalis, neurotransmiter dan neuromodulator ini mengaktifkan
jalur fosforilasi beragam reseptor membran dan saluran ion. Termasuk diantaranya
reseptor NMDA dan AMPA. Perubahan ini menurunkan ambang aktivasi dan
ambang terbukanya saluran ion sehingga meningkatkan eksitabilitas neuron. Efek
keseluruhan perubahan ini adalah peningkatan sensibilitas nyeri dimana rangsangan
yang pada normalnya tidak nyeri akan tetapi dirasakan seperti nyeri. Hal ini disebut
dengan alodinia. Alodinia merupakan keluhan umum pada pasien nyeri kronik
dimana rangsangan yang pada normalnya tidak nyeri (seperti sentuhan, tekanan
ringan, baju, atau sisir) dirasakan sebagai nyeri. Peningkatan sensitivitas terhadap
rangsangan nyeri (hiperalgesia) dan meluasnya sensitifitas ke daerah yang non
traumatik (hiperalgesia sekunder) merupakan manifestasi sensistisasi sentral. Fase
selanjutnya berhubungan dengan peningkatan produksi protein, yang membantu
mempertahankan eksitabilitas dan sensitivitas nyeri. Dinorfin, sebuah peptida
opioid endogen yangdapat meningkatkan eksitabilitas neuron, adalah salah satu
protein yang terlibat dalam efek ini. Protein yang lain adalah cyclooxygenase-2
(COX-2), enzim yang memfasilitasi produksi prostaglandin E2. Prostaglandin ini
merupakan mediator inflamasi (Argoff CE, 2008).
27
Gambar 2.6
Sensitisasi Sentral
2.1.3.3 Traktus ascending
Second-order neuron mengalami ascending melalui traktus spinotalamikus
menuju talamus sebagai pusat proses informasi somatosensoris. Berdasarkan
tempat berakhirnya, axon traktus spinotalamikus dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar. Kelompok pertama berjalan di funikulus anterolateral, bersamasama berasal dari medula, pons, dan midbrain, berakhir di sebelah lateral nukleus
ventroposterior dan kompleks posterior talamus. Axon ini berkaitan dengan
komponen nyeri sensoris diskriminatif. Kelompok kedua berakhir di sebelah medial
di nukleus intralaminar, meliputi sentrolateral, ventroposterolateral, dan nukleus
submedian, dimana mengarah ke korteks somatosensori. Masing-masing area
tersebut memiliki peran penting dalam persepsi nyeri dan saling berinteraksi
dengan area brain yang lainnya (Marsaban AHM, 2009).
28
Gambar 2.7
Proyeksi Proses Nosiseptif di Rostral
2.1.3.4 Traktus descending
Terdapat suatu mekanisme inhibisi descending yang berasal dari otak untuk
modulasi refleks spinal yang mempengaruhi transmisi nosiseptif pada berbagai
level neuraksis. Dua area penting di batang otak yang terlibat dalam mekanisme
inhibisi adalah periaquaductal grey (PAG) dan nucleus raphe magnus (NRM)
(Steeds, 2009).
2.1.3.4.1 PAG (periaquaductal grey)
Area ini mengelilingi cerebral aqueduct midbrain dan menerima impuls
sejumlah regio brain, termasuk amigdala, frontal, korteks insular, hipotalamus, dan
bersama-sama dengan rostral ventromedial medulla (RVM) berfungsi sebagai
29
sistem modulasi nyeri. Stimulasi elektrik neuron PAG menimbulkan eksitasi sel
NRM dan sel kornu dorsalis medula spinalis untuk menghambat transmisi nyeri
(Steeds, 2009). Endorfin disintesis di pituitari dilepaskan ke cairan serebrospinal
dan menunjukkan efek inhibisi pada beberapa titik, termasuk PAG (Hudspith,
2006).
2.1.3.4.2 NRM (nucleus raphe magnus)
Sama seperti PAG, stimulasi elektrik atau kimiawi di midline nukleus raphe
magnus atau ventrolateral medula (nukleus paragigantocellular) menghasilkan sifat
antinosiseptif. Di dalam RVM, terdapat dua jenis neuron, on-cells dan off-cells,
telah teridentifikasi sebagai modulasi nyeri. On-cells menunjukkan peningkatan
firing secara tiba-tiba sedangkan off-cells menghentikan firing segera sebelum
terjadi inisiasi respon nosiseptif. Diduga bahwa serotonin yang dilepaskan akibat
stimulasi disini mengaktifkan interneuron inhibisi dan menimbulkan blokade
transmisi nyeri. Selanjutnya traktus yang berasal dari struktur ini berjalan
descending terutama di funikulus dorsolateral medula spinalis dan mengalami
terminasi di lamina I, II, dan V (Hudspith, 2006).
Molekul signalling terlibat dalam proses nosisepsi, diantaranya bradikinin,
5-HT, dan prostaglandin secara cepat dan reversibel mengubah eksitabilitas viseral
sensori neuron, menurunkan ambang terbentuknya potensial aksi, dan atau
meningkatkan frekuensi sebagai respon terhadap stimulus yang terjadi. Selanjutnya
mengaktivasi G-protein coupled receptor, menghasilkan second- messenger di
30
sitosol. Protein kinase akan teraktivasi dan memfosforilasi ion channel (Hudspith,
2006).
2.1.4
Konsekuensi Negatif Nyeri Akut
Kerusakan jaringan saat pembedahan menyebabkan pelepasan biokimiawi
lokal dan menimbulkan perubahan lingkungan mikro yang meliputi otot polos,
kapiler, dan aktivasi serat simpatis eferen. Selanjutnya terjadi aktivasi respon reflek
otonom segmental maupun suprasegmental yang mempengaruhi berbagai fungsi
sistem organ (Liu SS, 2007).
Respon refleks suprasegmental terhadap pusat medula sistem respirasi
menyebabkan hiperventilasi dan meningkatnya tonus otot skeletal yang
menyebabkan penurunan komplian dinding dada dan meningkatnya tekanan
intraabdomen. Akibatnya terjadi mismatch alveolar/arterial yang meningkatkan
risiko hipoksemia. Stimulasi neuron preganglion simpatis di anterolateral horn
medula spinalis menyebabkan peningkatan laju jantung, volume sekuncup dan
sebagai konsekuensinya menyebabkan peningkatan kerja jantung dan konsumsi
oksigen miokard. Hiperaktivitas simpatis menyebabkan menurunnya tonus
gastrointestinal yang mencetuskan timbulnya ileus dan menurunnya fungsi
urinarius (White PP, 2009).
Peningkatan tonus simpatis mengaktifkan neural hipotalamus sehingga
terjadi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol, adrenokortikotropik, glukagon,
cyclic adenosine monophosfat, anti duretik, growth hormone, renin, dan hormon
katabolik lainnya. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa darah, free fatty
31
acids, laktat, dan keton. Respon psikofisiologis berupa rasa cemas dan ketakutan
akibat rasa nyeri akut pascaoperasi meningkatkan respon hipotalamus melalui
stimulus kortikal sehingga terjadi peningkatan sekresi katekolamin dan kortisol
sampai mencapai 50-200%, serta terjadi peningkatan viskositas darah, waktu
pembekuan, fibrinolisis, dan agregasi platelet yang meningkatkan risiko
thromboemboli (Hudspith, 2006).
2.1.5
Penilaian Nyeri
Nyeri merupakan suatu keadaan yang multidimensional sebagai akibat dari
kombinasi rangsang nyeri dan kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya,
kepercayaan pasien, budaya, dan kepribadian pasien. Rasa nyeri ini bersifat
individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan observasi
serta penilaian rutin dengan menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan mengapa
pasien dengan tingkat stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan
merasakan pengalaman nyeri dengan sangat berbeda. Oleh karena tidak terdapat
suatu alat obyektif, maka kita harus mempercayai laporan pasien tentang tingkat
nyeri yang mereka alami (Ballantyne, 2008).
2.1.5.1 Instrumen Penilaian Nyeri
Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare
Organizations) pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima
yang harus kita nilai pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang
harus dilakukan untuk menilai keadekuatan terapi analgesia yang sedang berjalan.
32
Frekuensi penilaian nyeri tergantung dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan serta
respon pasien serta jenis obat dan intervensi yang digunakan. Penilaian rasa nyeri
pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian pada kondisi statik (saat istirahat,
tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak, duduk, batuk). Secara
garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian unidimensional dan
penilaian multidimensional (Marsaban AHM, 2009).
Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri
ataupun tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam
menilai respon terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan
bukan intensitas nyerinya. Skala kategori menggunakan kata-kata untuk
mendeskripsikan intensitas nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive
scale (VDS) biasanya menggunakan kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang,
nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama kali disampaikan oleh Keele pada tahun
1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien pascaoperasi dibandingkan dengan
skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil terapi analgesia
dibandingkan dengan VAS (Ballantyne, 2008). Skala kategori mempunyai
keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan berguna pada
pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi
terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical scales membuat skala
kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi
analgesia yang diberikan (Marsaban AHM, 2009).
Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun
tertulis. Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating
33
scale (NRS), disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta
untuk menyatakan tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10
dimana 0 sebagai tidak nyeri, dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah
satu instrumen pengukur nyeri yang sering digunakan dalam penelitian. Skala
numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai VAS dan saat ini merupakan
pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam
penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada
ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan ditandai
dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis
tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut
dihitung dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang
dialami pasien. Selain dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal
dan hasilnya tetap valid. Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari
definisi yang digunakan, akan tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak
digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri
sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari penilaian VAS ini dapat
digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis obat anti nyeri
yang diberikan (Aubrun, 2003; Bodian, 2001). Skala ini mempunyai keuntungan
oleh
karena
sederhana,
mudah,
dan
cepat
menggunakannya,
sehingga
memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya dalam rentang yang
cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan konsentrasi dan
koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada anak-anak
(Marsaban AHM, 2009). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat
34
kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai
nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai
penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66%
dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang substansial (Ballantyne, 2008).
Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga
menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap
individu pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah
the McGill Pain Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada
tahun 1987 untuk memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien. MPQ menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index
dan intensitas nyeri terkini. MPQ terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan
dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan
yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi sensoris, afektif, dan dimensi
nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5, dimana 0 = tidak nyeri, 1
= nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh nyeri, 4 = sangat
terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri (Marsaban AHM, 2009).
2.2
Opioid
Opioid masih menjadi pilihan utama dalam penatalaksanaan nyeri sedang
sampai berat pascaoperasi bedah mayor. Mekanisme kerja dari opioid yaitu dengan
menstimulasi reseptor µ dan κ yang berada di pusat (batang otak, hipotalamus,
sistem limbik, dan substansia gelatinosa di medula spinalis) dan perifer (traktus
gastrointestinal, reseptor histamin). Aktivasi dari reseptor opioid akan
35
menyebabkan penghambatan voltage-gated calcium channel dan meningkatkan
influk kalium yang menyebabkan penurunan eksitabilitas saraf. Pada gambaran
lebih luas dikatakan bahwa opioid akan menghambat transmisi rangsang nyeri dari
saraf aferen pertama ke saraf kedua pada kornu dorsalis medulla spinalis baik
melalui mekanisme presinaptik maupun postsinaptik. Mereka juga mengaktifkan
penghambatan jalan kebawah dari otak tengah, rostral ventromedial medulla dan
berakhir di kornu dorsalis medulla spinalis (Rosenquist, 2013).
Morfin merupakan alkaloid opium yang bekerja agonis, mengikat reseptor
di otak, medulla spinalis, dan jaringan lainnya. Reseptor yang paling dominan yaitu
reseptor µ yang terdistribusi paling banyak pada sistem saraf pusat, dan dengan
konsentrasi yang paling tinggi pada sistem limbik. Morfin mengeluarkan efek
paling utama di sistem saraf pusat dan organ yang berisikan otot polos. Morfin akan
menimbulkan banyak efek termasuk analgesia, penurunan motilitas usus, depresi
nafas, mengantuk, perubahan mood, dan perubahan pada sistem endokrin serta saraf
otonom. Stimulasi langsung pada CTZ (chemoreceptor trigger zone) akan
menimbulkan mual dan muntah. Retensi urin juga bisa terjadi oleh karena
peningkatan tonus spinkter kandung kemih (Rosenquist, 2013).
Absorbsi morfin setelah pemberian intramuskuler dan subkutan terjadi
dalam waktu 30-60 menit dengan analgesia puncak terjadi pada menit ke 50-90
menit. Morfin didistribusikan ke seluruh tubuh, khususnya jaringan berparenkim
seperti ginjal, paru, dan limpa. Konsentrasi yang lebih rendah di dapatkan pada otot
dan jaringan otak. Morfin dapat melewati plasenta dan juga bisa di dapatkan pada
keringat dan air susu ibu meskipun jumlahnya kecil. Morfin 35% terikat oleh
36
protein, terutama albumin, di metabolisme di hati dengan jalan konjugasi dengan
asam glukoronat, dan hasil metabolitnya adalah morfin-3-glukoronat, dan morfin6-glukoronat yang secara farmakologi aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan dengan morfin. Waktu paruh eliminasi sekitar 1,5-2 jam pada subyek
yang sehat (Omoigui, 1999).
Morfin dapat menimbulkan ketergantungan dan berpotensi untuk
disalahgunakan. Ketergantungan fisik dan psikologis dapat terjadi pada pemberian
yang berulang. Nalokson dapat mengantagonis efek analgesia, depresi susunan
saraf pusat, dan dapat mencetuskan gejala putus obat bila diberikan pada subyek
yang tergantung dengan morfin (Rosenquist, 2013).
2.3
NMDA (N-methyl-D-aspartate) Reseptor Antagonis
NMDA (N-methyl-D-aspartate) reseptor antagonis diberikan sebagai obat
tambahan pada penatalaksanaan nyeri. Reseptor N-methyl-D Aspartate reseptor
adalah ligand-gated ion channel yang memungkinkan masuknya kalsium, sodium,
potassium ke dalam sel. Reseptor diaktifkan oleh glisin dan glutamat dan tidak
terbuka saat membran potensial istirahat. Glutamat merupakan neurotransmiter
eksitasi mayor pada susunan saraf pusat mempunyai peranan signifikan dalam
modulasi nyeri di level medula spinalis. Peranan ini khususnya pada sensitisasi
nosiseptor setelah paparan stimulasi nyeri sehingga meningkatkan besarnya dan
durasi respon neurogenik terhadap nyeri, bahkan setelah inisial perifer telah
dihentikan. Obat ini membawa efek antinosiseptif dengan menghambat sensitisasi
sentral terhadap stimulasi nyeri (Price DD, 2000).
37
2.3.1
Ketamin
Ketamin adalah derivatif phencyclidine (anestesi yang digunakan pada
kedokteran hewan), antagonis nonkompetitif NMDA reseptor. Ketamin digunakan
untuk induksi intravena dalam dunia anestesi terutama pada keadaan dimana
rangsangan simpatis dibutuhkan (hypovolemia, trauma). Ketika akses intravena
tidak ada, ketamin dapat digunakan secara intramuskular untuk induksi pada
pediatric atau orang dewasa yang tidak kooperatif. Ketamin dapat dikombinasikan
dengan obat lain (seperti propofol atau midazolam) dalam dosis bolus yang kecil
atau infus untuk sedasi selama blok saraf tepi, endoskopi, dan lain lain. Dosis
subanestesi ketamin dapat menyebabkan halusinasi (tergantung dosis), meskipun
pada praktik sehari-hari efek ini tidak begitu terlihat dikarenakan pemberian
kombinasi dengan midazolam (atau obat sejenisnya) untuk amnesia dan sedasi
(Hirota, 2011).
2.3.1.1 Farmakokinetik
1)
Absorbsi. Ketamin dapat digunakan melalui oral, nasal, rectal, subkutan,
dan epidural, walupun dalam praktik sehari-hari ketamin digunakan secara
intravena atau intramuscular. Level peak plasma dicapai dalam 5-15 menit
setelah injeksi intramuscular, dalam 1 menit setelah injeksi intravena, dan
30 menit setelah pemberian oral. Absorbsi ketamin melalui rektal pada
pediatrik dalam suatu studi dapat mencapai 45 menit. Konsentrasi plasma
metabolit norketamin lebih tinggi dibandingkan dengan ketamin sendiri
setelah pemberian oral.
38
2)
Distribusi. Ketamin lebih larut lemak dan sedikit terikat protein (12%)
dibandingkan thiopental, yang memfasilitasi transfer melalui sawar darah
otak. Ketamin didistribusikan ke jaringan dengan perfusi tinggi seperti otak
untuk mencapai level 4-5x lebih tinggi dibandingkan plasma. Karakteristik
ini meningkatkan aliran darah otak dan curah jantung, menghasilkan uptake
cepat oleh otak dan redistribusi setelahnya (waktu paruh distribusi 10-15
menit). Efek kerja ketamin menghilang dengan redistribusi dari jaringan
kaya pembuluh darah ke jaringan kurang pembuluh darah. Awakening
dikarenakan redistribusi dari otak ke kompartemen perifer.
3)
Biotransformasi. Ketamin dibiotransformasi di hati menjadi beberapa
metabolit, salah satunya adalah norketamin yang tetap memiliki aktivitas
anestetik. Jalur biotransformasi yang paling penting melibatkan Ndemethylation oleh sitokrom p450 menjadi norketamin. Norketamin
kemudian dihidroksilasi dan mengalami konjugasi menjadi komponen larut
air yang nantinya akan diekskresi dalam urin. Uptake hati yang besar
(hepatic extraction ratio 0,9) menjelaskan waktu paruh eliminasi ketamin
yang relative singkat (1-2 jam) dan tergantung pada perubahan aliran darah
hepar. Pemberian bersamaan dengan diazepam dapat memperpanjang
waktu paruh ketamin dan metabolitnya.
4)
Ekskresi. Produk akhir biotransformasi ketamin diekskresi melalui ginjal,
dengan persentase kecil ditemukan di urin dalam bentuk utuh. Waktu paruh
eliminasi 2 jam, yang dikarenakan kombinasi clearance cepat dan volume
distribusi yang besar. Telah dilaporkan dalam studi penelitian bahwa pada
39
pediatrik eliminasi ketamin dua kali lebih cepat dibanding dewasa (Haas
DA, 1992; Rosenquist, 2013).
2.3.1.2 Farmakodinamik
1)
Susunan saraf pusat. Ketamin menghasilkan suatu keadaan yang dijelaskan
sebagai anestesia disosiatif dengan karakteristik analgesia kuat, amnesia,
dan katalepsi. Komponen disosiatifnya dihasilkan dari pengaruhnya
terhadap sistem limbik dan talamoneokortikal. Pada kondisi ini dikatakan
bahwa otak gagal mentranduksi impuls aferen secara benar karena
gangguan komunikasi normal antara kortek sensori dan area asosiasi.
Hasilnya menyerupai katalepsi yaitu kedua mata tetap terbuka dengan
nistagmus lambat, dan reflek kornea yang intak. Pasien secara umum nonkomunikatif walaupun mereka terlihat sadar. Berbagai derajat hipertonus
otot skeletal dapat terjadi. Kontraksi otot skeletal involuter dapat terjadi
selama pembedahan. Pengguna ketamin memiliki kesulitan sendiri untuk
menilai level sedasi atau anestesi karena tidak dapat menggunakan tanda
gerakan mata, tonus otot atau gerakan pasien sebagai indikator. Efek
ketamin terhadap karakteristik diatas tidak konsisten dengan tanda klasik
anestesia. Ketamin berinteraksi dengan lebih dari 1 tipe reseptor untuk
menghasilkan beragam efek (Haas DA,1992).
Efek analgesia sebagian dimediasi oleh reseptor opioid di otak,
spinal, dan perifer. Ketamin lebih berikatan dengan resptor opioid mu
dibandingkan dengan delta. Ketamin berinteraksi juga dengan reseptor
40
opioid sigma/tempat ikatan phenyclyclinidine. Komponen sigma mungkin
memediasi disforia yang dihasilkan oleh ketamin (Hirota, 2011).
Tempat bekerja ketamin melibatkan reseptor NMDA (N-methyl-Daspartate). Reseptor ini memainkan peranan besar dalam transmisi
informasi sensorik dan memediasi neuron eksitasi di susunan saraf pusat
setelah interaksi dengan neurotransmiter eksitatorik . Inhibisi NMDA
memberikan efek katalepsi, konsisten dengan efek yang dihasilkan oleh
ketamin (Hirota , 2011).
Ketamin menghasilkan antinosisepsi melalui interaksi dengan
reseptor u pada saraf spinal, anatagonis NMDA reseptor, dan aktivasi jalur
monoaminergik descending pain inhibitory. Afinitas ketamin pada reseptor
NMDA lebih besar dibandingkan terhadap u reseptor, dan jauh lebih besar
dibandingakan reseptor monoamin atau reseptor non-NMDA lain (misalnya
asetilkolinesterase dan reseptor sigma), yang menyebabkan semakin kecil
dosis ketamin semakin selektif ketamin berinteraksi dengan reseptor
NMDA (Price DD, 2000).
Ketamin mempotensiasi efek pelumpuh otot tergantung besar dosis.
Mekanisme ini mungkin melibatkan reseptor muskarinik kolinergik.
Ketamin dapat mengaktifkan gelombang epilepticform pada pasien dengan
gangguan konvulsi (Krystal, 1994).
Emergence merupakan efek samping yang paling sering dilaporkan.
Reaksi ini digambarkan sebagai rasa melayang, mimpi yang tampak jelas,
halusinasi, dan delirium. Insidensi untuk efek ini berkisar 5-30%. Reaksi ini
41
pada umumnya muncul pada pasien dengan usia diatas 16 tahun, wanita,
prosedur singkat, dan tergantung dosis dan kecepatan pemberian obat.
Pengggunaaan benzodiazepine dapat mengurangi efek ini (Rosenquist,
2013).
Dogma ketamin terhadap susunan saraf pusat menyebabkan
peningkatan konsumsi oksigen pada serebral, aliran darah serebral, dan
peningkatan tekanan intracranial. Ketamin memvasodilatasi pembuluh
darah otak yang menyebabkan peningkatan aliran darah serebral sebanyak
62-80%. Efek ini berkurang bila diazepam, midazolam, atau tiopental
diberikan sebelum ketamin. Efek ini menghalangi pengunaan ketamin pada
pasien dengan space occupying lesion di intracranial atau trauma kepala.
Publikasi sekarang ini menawarkan bukti yang menyakinkan bahwa bila
dikombinasi dengan benzodiazepine (atau agen lain yang bekerja di reseptor
GABA), dan ventilasi kendali, tapi tidak dengan nitrous oksida, ketamin
tidak meningkatkan tekanan intracranial. Efek samping psikotomimetik
(seperti mimpik buruk dan delirium) saat emergence jarang terjadi pada
pasien pediatrik atau yang telah dipremedikasi dengan benzodiazepine atau
propofol (Rosenquist, 2013).
2)
Respirasi. Pada pasien dengan nafas spontan, pemberian obat anestesi
umum lain dapat menyebabkan penurunan FRC (Functional Residual
Capacity) secara cepat. Dengan menurunnya volume paru selama ekspirasi,
jalan nafas yang kecil dan berdinding tipis pada paru dependen memiliki
kecenderungan untuk kolaps. Volume dimana jalan nafas menutup disebut
42
closing capacity. Efek mempertahankan FRC adalah menjamin tetap
terbukanya bagian dependen paru ini. Hal ini penting terutama untuk
pediatrik, dimana closing capacity berbeda tipis dengan FRC dibandingkan
dewasa. Pada pediatrik, penurunan kecil dari FRC dapat menyebabkan
penutupan jalan nafas selama pernafasan normal, yang dapat menyebabkan
abnormalitas ventilasi perfusi yang secara klinis terlihat sebagai penurunan
saturasi oksigen. Ketamin dianggap unik karena dapat mempertahankan
FRC selama induksi anestesia (Rosenquist, 2013).
Selama Pemberian ketamin pada pasien bernafas spontan, ventilasi
semenit dipertahankan hampir sama seperti pasien sadar. Perubahan
minimal terjadi pada pertukaran gas dan tidak adanya kejadian atelektasis
dan shunting. Hal ini dikarenakan tonus otot skeletal dipertahankan selama
pemberian ketamin (tidak seperti pada pasien dengan anestesi volatil) maka
atelektasis, perubahan venilasi perfusi, dan FRC tidak terjadi. Pernafasan
dipengaruhi secara minimal oleh ketamin. Ketamin memiliki efek
menguntungkan yang lain, termasuk peningkatan pengembangan paru dan
menurunkan resistensi jalan nafas. Mekanisme kerja efek ini belum dapat
dimengerti
sepenuhnya.
Bronkodilatasi,
yang
dihasilkan
ketamin,
merupakan hasil inhibisi saluran kalsium oleh ketamin. Racemic ketamin
adalah bronkodilator poten, membuatnya menjadi agen induksi yang baik
untuk pasien asma; bagaimanapun S(+) ketamin memiliki efek
bronkodilator minimal. Ketamin dengan infus kontinu digunakan sebagai
terapi asma yang tidak responsif terhadap pendekatan konvensional. Reflek
43
jalan nafas dipertahankan intak, akan tetapi obstruksi jalan nafas parsial
dapat terjadi. Hipersaliva yang disebabkan ketamin dapat dikurangi dengan
pemberian premedikasi agen antikolinergik seperti glikopirolate dan atropin
(Haas DA, 1992; Rosenquist, 2013).
3)
Kardiovaskular.
Kontras
dengan
agen
anestesi
lainnya,
ketamin
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan curah jantung, terutama
setelah injeksi bolus cepat. Efek indirek pada kardiovaskular ini
dikarenakan stimulasi sentral dari sitem saraf simpatis dan inhibisi reuptake
norepinephrine setelah dilepas di saraf terminal. Ketamin mendepresi
kontraktilitas miokard, akan tetapi efek ini tertutupi oleh stimulasi simpatis.
Selain itu, kemampuan ketamin meningkatkan konsentrasi katekolamin
dengan menginhibisi neuronal reuptake juga menutupi efek inotropik
negatif ketamin. Oleh karena itu, injeksi bolus dosis tinggi ketamin harus
diberikan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit jantung coroner,
hipertensi tidak terkontrol, penyakit jantung kongestif, atau aneurisma
pembuluh darah (Hirota, 2011; Rosenquist, 2013).
Efek simpatomimetik ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard, oleh karena itu ketamin kontraindikasi pada pasien dengan
kelainan jantung iskemik. Disritmia kardiak jarang terjadi dalam pemberian
ketamin, walaupun studi pada hewan menyatakan ketamin mensensitisasi
miokardium sehingga menyebabkan efek disritmogenik seperti dengan
epinerfrine. Berdasarakan efek kardiovaskular, terutama kemampuan
mempertahankan tekanan darah, ketamin diindikasikan pemberiannya pada
44
pediatrik dengan penyakit jantung bawaan sianotik, pasien hipovolemik,
dan syok kardiogenik. Pada pediatrik dengan penyakit jantung bawaan
sianotik, jumlah oksigen yang dapat diambil oleh paru tergantung pada
aliran darah paru. ketamin digunakan untuk menurunkan pintasan kanan ke
kiri, yang akan memaksimalkan aliran darah paru dan tekanan arteri oksigen
(Rosenquist, 2013).
4)
Temperatur. Dahulu, ada kekhawatiran bahwa ketamin mencetuskan
hipertermi malignan. Hal ini dikarenakan ketamin dapat meningkatkan
katekolamin sirkulasi, yang dianggap sebagai pencetus hipertermi
malignan. Meskipun demikian ketamin tidak mencetuskan hipertermi
maligna pada suatu studi menggunakan babi. Hal ini diperkuat oleh
rekomendasi Malignant Hyperthermia Association of the United States
(Rosenquist, 2013).
5)
Inflamasi
Reaksi inflamasi bertujuan untuk menjaga homeostasis tubuh. Tujuannya
untuk melawan infeksi dan cedera jaringan. Hal ini didasari oleh berbagai
tahap reaksi, yang masing-masing di bawah pengaruh kontrol postif
(proinflamasi) atau negatif( anti inflamasi). Reaksi inflamasi terjadi bila sel
imun inang seperti makrofag, fibroblas, sel mast, dan sel dendrit atau
leukosit sirkulasi mendeteksi patogen atau kerusakan sel. Mekanisme
deteksi melibatkan reseptor surface expressed patern recognition yaitu
resptor Toll (TLRs) yang memegang peranan utama dalam mengaktivasi sel
imun inang. Sebagai konsekuensi reaksi ini, faktor transkripsi (NF-κB, AP1,
45
CREB, c/EBP, dan IRF) akan teraktivasi. Leukosit yang berada di sirkulasi
akan terarah ke daerah ini. Mediator histamin, prostaglandin, dan NO akan
menyebakan vasodilatasi lokal. Di bawah pengaruh histamin dan leukotrien,
permeabilitas vaskular akan meningkat. Sel imun yang berada di tempat
infeksi atau terluka akan menyingkirkan benda asing dengan fagisitosis.
Pada saat yang sama akan melepaskan sitokin dan mediator lain yang kan
memulai proses penyembuhan (Kock MD, 2013; Kawamata T, 2000).
Regulasi reaksi inflamasi terjadi pada tingkat perifer dan tingkat
sentral. Pada tingkat perifer, sitokin anti-inflamasi (antagonis reseptor Il-1,
Il-4, Il-10, interferon alfa) akan dilepaskan oleh sel imun yang akan
mengantagonis reaksi inflamasi (IL-1, IL-6, TNF α) dengan mengapoptosis
sel inflamasi. Il-6 akan merangsang produksi CRP (C-Reactive Protein) di
hati dengan mengaktivasi jalur kinase. Pada tingkat sentral, saat terjadi
inflamasi perifer maka akan terdapat komunikasi antara sel imun dan
susunan saraf pusat. Susunan saraf pusat diinformasikan bahwa terjadi
‘sesuatu’ di perifer. Susunan saraf pusat kemudian memodulasi inflamasi
sehingga reaksi ini hanya terjadi di perifer saja. Hal ini diekspresikan
dengan dominasi Th-2 (anti-inflamasi) terhadap Th-1 (pro-inflamasi) (Kock
MD, 2013).
Ketamin dikatakan dapat memperngaruhi inflamasi. Ketamin secara
bermakna mengurangi produksi sitokin inflamasi tanpa mempengaruhi
produksi sitokin anti-inflamsi. Ketamin mengurangi terjadinya eksaserbasi
reaksi inflamasi dan mempercepat resolusi inflamasi dengan membantu
46
apoptosis sel inflamasi. Ketamin tidak memiliki efek terhadap sel imun
yang memproduksi sitokin inflamasi bila tidak terdapat stimulus inflamasi.
Efek regulasi ini lebih bermakna bila ketamin diberikan sebelum terjadi
inflamasi. Hal inilah yang juga menjadi dasar mengapa ketamin diberikan
saat induksi anestesi sebelum pembedahan. Ketamin dengan dosis 0,5
mg/kg meningkatkan rasio Th1/Th2 sehingga meningkatkan fungsi imun
pasien. Dalam beberapa penelitian, ketamin menurunkan TNF α, IL-6, IL1, dan IL-8 yang pada akhirnya memberikan hasil seperti mengurangi
asidosis dan meningkatkan tingkat kesembuhan (Kock MD, 2013)
Tabel 2.2
Farmakodinamik Ketamin
Susunan saraf pusat
Anestesia
Respirasi
FRC dipertahankan
Analgesia
Bronkodilatasi
Amnesia
Hipersalivasi
Emergence
Depresi minimal
Kardiovaskular
Peningkatan curah
jantung
Peningkatan denyut
jantung
Peningkatan tekanan
darah
2.3.1.3 Aplikasi klinis
Ketamin dapat digunakan untuk sedasi preoperatif dan intraoperatif,
anestesia balance, anestesia regional, anestesia spinal, dan analgesia pascaoperasi.
Ketamin digunakan untuk preoperatif untuk mengurangi anxietas dan memfasilitasi
induksi anestesi umum. Pemberian intramuskular digunakan pada pediatrik. Suatu
studi menyatakan pemberian intramuskular dengan dosis 2 mg/kg menghasilkan
47
mula kerja cepat efek disosiasi mulai pada 2,7 menit. Pemberian secara rektal
dengan dosis 10 mg/kg untuk induksi anestesi umum diawali dengan premedikasi
midazolam dan atropin. Penurunan kesadaran terjadi dalam 9-15 menit. Ketamin
juga sudah dipakai untuk anestesia regional dan melaui epidural (Hirota, 2011).
Untuk pemberian sedasi dan analgesia, ketamin diberikan dengan dosis
subanestesi 0,2-0,75 mg/kg intravena, infus kontinu 5-20 ug/kg/menit, 2-4 mg/kg
intramuskular.efek analgesia ketamin tercapai pada konsentrasi plasma 100-150
ng/ml (Rowland L, 2005). Suatu penelitian mengatakan bahwa analgesia dicapai
dengan pemberian ketamin 125-250 ug/kg. Dosis ini cukup untuk mencapai
konsentrasi plasma 100-150 ng/ml (Suzuki M, 1999). Pemberian ketamin 50 ug/kg
tidak memberikan efek analgesia yang cukup, akan tetapi cukup untuk membuat
drowsiness, dosis analgesia paling rendah yang bermakna memberikan efek
analgesia 75 ug/kg (Suzuki M, 1999). Konsentrasi plasma ini dapat dicapai dengan
infus kontinu dengan dosis 3-4 ug/kg/menit setelah bolus awal dan 14 ug/kg/menit
tanpa dosis awal (Keith B, 1996). Untuk anestesia umum, ketamin diberikan
dengan dosis 1-4,5 mg/kg secara intravena, 6,5-10 mg/kg intramuskular (Rowland
L, 2005).
48
Tabel 2.3
Keuntungan dan Kerugian Ketamin
Keuntungan
Analgesia pada dosis subanestetik
Amnesia
Mempertahankan FRC
Reflek laringeal terdepresi minimal
Onset yang cepat
Lama kerja terprediksi
Metabolit non-toksik
Larut dalam air
Stabil dalam larutan
Tidak nyeri pasca injeksi
Reaksi alergi minimal
Kerugian
Emergence
Stimulasi kardiovaskular
Depresi pernafasan minimal
Hipersalivasi
2.3.1.3.1 Aplikasi Klinis Dosis Subanestesia Ketamin
Pada dosis subanestesia, ketamin mengganggu beberapa fungsi kognitif dan
memori. Ketamin menghasilkan emotional withdrawal, afek tumpul, dan
penurunan psikomotor Pada dosis subanestesia ketamin (misalkan 100 ug/kg)
mulai merubah status mood dan mengahasilkan gangguan persepsi sensorik yang
meningkat berdasarkan dosis.(Jouguet-Lacoste J, 2015) Dosis ketamin 75-100
ug/kg menghasilkan sensasi aneh ketika pasien bangun, tapi tidak sampai
menyebabkan disforia, akan tetapi tetap merasakan nyaman ketika bangun. Pada
dosis 500 ug/kg, ketamin menghasilkan efek seperti psikosis, skizofrenia, dan
disforia (Suzuki M, 1999). Dosis subanestesia 0,12 mg/kg menghasilkan
peningkatan metabolisme glukosa pada korteks prefrontal dan kortek cingulata
anterior. Metabolisme glukosa prefrontal dan anterior cingulata berkaitan dengan
pikiran yang tidak terorganisasi, halusinasi, dan paranoia. Oleh karena itu ketamin
49
menghasilkan pikiran yang tidak terorganisasi, halusinasi, dan paranioa tergantung
besar dosis. Pemberian ketamin dengan dosis 0,3 mg/kg meningkatkan aliran darah
otak pada daerah kortek anterior cingulata, kortek frontal medius dan inferior.
Pemberian ketamin dengan dosis 0,23 mg/kg bolus mengahsilkan efek emotional
blunting (Rowland L, 2005). Pemusatan perhatian terganggu pada pemberian
ketamin 0,1 mg/kg, usaha yang lebih besar diperlukan untuk memulai dan
mempertahankan perhatian dan emosional pada pemberian ketamin dengan dosis
0,5 mg/kg (Krystal, 1994).
Pada pemberian dosis 0,27 mg/kg, ketamin
mengahasilkan gangguan untuk memproses kata setelah pemberian ketamin, akan
tetapi pasien masih dapat mengingat kata sebelum pemberian ketamin (Rowland,
2005). Pada dosis 0,12 mg/kg, ketamin mengganggu kelancaran berbicara yang
beratnya tergantung dosis (Adler, 1998). Ketamin tergantung dosis merubah status
mood, pada dosis 0,1 mg/kg pasien merasakan euforia mild, sensasi tingling pada
wajah dan extremitas, sedangkan pada dosis 0,5 mg/kg pasien merasakan seperti
high saat mabuk. Sebagian besar pasien yang diberikan dosis 0,1 mg/kg merasakan
nyaman, sedangkan pada dosis 0,5 mg/kg pasien bervariasi antara senang sampai
ketakutan (Ahmed S, 2014). Pasien yang memiliki karakter pemegang kontrol, pada
pemberian ketamin merasakan efek tidak nyaman saat pemberian ketamin karena
pasien merasakan tidak lagi dapat memgang kontrol atas dirinya. Pasien yang
memiliki masalah emosional sebelum pemberian ketamin dapat meningkatkan
resiko reaksi tidak menyenangkan terhadap ketamin. Pada kesimpulannya, dosis
ketamin yang lebih besar memberikan efek kecemasan pada penelitian ini (Krystal,
1994; Kochs E, 1996).
50
Ketamin menghasilkan peningkatan tekanan darah tergantung dari besar
dosis. Pada penelitian Krystal dkk, ketamin pada dosis 0,1 mg/kg dan 0,5 mg/kg
menghasilkan peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 13,2±1,9 mmHg dan
18,6±2,6 mmHg. Peningkatan tekanan darah diastolik pada dosis ketamin 0,1
mg/kg dan 0,5 mg/kg sebesar 6,9±0,9 mmHg dan 12,5 ±2,2 mmHg. Sedangkan
untuk nadi, pemberian ketamin tersebut tidak memberikan perbedaan bermaknan
dengan pemberian plasebo (Krystal, 1994). Pada penelitian yang dilakukan Nadia
H, menunjukkan tekanan darah arteri rerata tidak berbeda bermakna antara plasebo
dengan pemberian ketamin 0,3 mg/kg saat induksi (88±10 mmHg, 87 ±12 mmHg),
dimana tekanan darah arteri rerata setelah intubasi menunjukkan ketamin (86±6
mmHg) lebih rendah dibandingkan plasebo (94±9 mmHg). Perbedaan bermaknan
juga ditunjukkan pada tekanan darah arteri rerata setelah insisi, dimana ketamin
(94±12 mmHg) lebih rendah dibandingkan plasebo (101±10 mmHg). Tidak ada
perbedaan bermakna antara nadi pasien yang diberikan ketamin dan plasebo saat
induksi. Perbedaan bermakna terlihat pada nadi pasien sesudah intubasi, dimanan
ketami mengahsilkan nadi (90±4 mmHg) yang lebih rendah dibandingkan plasebo
(99±6 mmHg). Begitu juga setelah insisi, pasien dengan pemberian ketamin (93±6
mmHg) menunjukkan nadi lebih rendah dibandingkan plasebo (108±8 mmHg)
(Jouguelet-Lacoste J, 2015).
Ketamin yang diberikan sebelum
insisi memiliki efek pada nyeri
pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan analgesik. Masukan impuls nyeri durante
operasi dan pascaoperasi menyebabkan stimulasi terus-menerus pada nosiseptor
serabut C dan menyebabkan pelepasan glutamat. Glutamat adalah neurotransmiter
51
eksisatori utama pada susunan saraf pusat yang mengaktifkan reseptor postsinaptik
NMDA. Aktivasi reseptor NMDA ini berkontribusi pada proses nyeri seperti wind
up dan sensitisasi sentral. Aktivasi reseptor ini yang terus-menerus memiliki
peranan dalam inflamasi dan proses nyeri neuropatik, yang nantinya akan
menyebabkan hiperalgesia sekunder. Intervensi analgesik sebelum terjadinya
stimulasi nyeri dapat menghambat sensitisasi dan mengurangi nyeri akut ( Helmy
N, 2015; Singh H, 2013).
Pemberian PCA morfin dan ketamin bervariasi mulai dari 0,4mg/ml sampai
dengan 5 mg/ml. Pada suatu penelitian menggunakan ketamin 0,4 mg/ml
dinyatakan gagal untuk mengurangi rasa nyeri (Unlugenc H, 2003). Pada penelitian
dengan dosis ketamin 0,75 mg/ml dikatakan tidak memberikan perbedaan
bermakna dalam konsumsi morfin pascaoperasi (Murdoch CJ, 2002). Pemberian
dosis ketamin 1 mg/ml adalah dosis yang pada penelitian-penelitian dianggap
optimal pada pasien yang menjalani operasi tulang belakang dan panggul (Sveticic
G, 2003).
2.3.1.4 Interaksi Obat
Ketamin berinteraksi secara sinergis dengan agen volatil, propofol,
benzodiazepine, dan agen yang dimediasi oleh reseptor GABA lainnya. Pada
percobaan dengan hewan, pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin
secara minimal. Diazepam dan midazolam merubah efek simultan kardiak dari
ketamin dan diazepam memperpanjang waktu paruh eliminasi ketamin
(Rosenquist, 2013).
52
2.3.1.5 Ketamin dan Sensitisasi sentral
Preemptif analgesia adalah terapi antinosisepsi sebelum stimulus
pembedahan, yang mencegah terjadinya perubahan proses sentral dari masukan
aferen (sensitisasi sentral), yang akan melipatgandakan nyeri pascaoperasi. Efek
analgesik ketamin dimediasi oleh beberapa mekanisme. Antagonis nonkompetitif
reseptor NMDA memegang peranan penting untuk efek analgesik ini. Afinitas
ketamin terhadap reseptor NMDA beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan
terhapat reseptor mu, reseptor glutamat non NMDA, reseptor kolinergik muskarinik
dan nikotinik, dan monoaminergik (Fu ES,1997, Zakine J, 2008). Penambahan
ketamin dosis kecil terhadap opioid menghasilkan efek sinergistik yang sebagian
besar dikarenakan kombinasi inhibisi presinaptik opioid mengurangi transmisi
aferen dengan mengurangi pelepasan neuroteransmitter dan penghambatan post
sinaptik NMDA yang mengurangi wind up dan sentral sensitisasi. Sensistisai
sentral terjadi melalui stimulus (pembedahan) yang menyebabkan aktivasi proteinkinase C (PKC). PKC sangat sensitif terhadap kalsium, setiap stimulus yang
meningkatkan kalsium intraseluluar di kornu dorsalis akan mengaktifkannya.
Fosforilasi reseptor NMDA menurunkan inhibisi magnesium pada potensial
membran istirahat dan menghasilkan aktivitas sinaptik yang terus-menerus.
Aktivasi ini yang mendasari sentral sensitisai. Dari berbagai obat atau tekhnik
hanya antagonis NMDA yang mengembalikan sensitisasi yang telah terjadi.
Analgesia sebelum insisi bertujuan untuk mencegah atau mengurangi sensitisasi ini
sehingga mengurangi nyeri pascaoperasi (Hajipour A, 2002). Opioid menghasilkan
53
anti nosisepsi melalui reseptor mu dan aktivasi jalur descending monoaminergik
pada level medulla spinalis, yang nantinya akan mengaktivasi reseptor NMDA
(Parikh B, 2011). Aktivasi reseptor NMDA pada susunan saraf pusat merupakan
mekanisme yang terlibat pada perubahan adaptif yang mendasari toleransi opioid
dan delayed hiperalgesia. Aktivasi rseptor opioid menyebabkan aktivasi reseptor
NMDA melalui protein kinase. Perkembangan toleransi akut dari opioid yang cepat
terjadi pada hewan dari berbagai macam opioid. Penghambatan terhadap toleransi
ini oleh ketamin telah mendapat perhatian yang serius (Guillou N, 2003;
Subramaniam K, 2004). Stimulasi nosiseptif menyebabkan aktivasi reseptor
NMDA, yang juga dapat terjadi karena pemberian opioid dosis tinggi. Penambahan
ketamin dapat mencegah proses ini (Michelet P, 2007). Pada penelitian Parikh B,
ketamin yang diberikan sebelum insisi dengan dosis 0,15 mg/kg memberikan efek
analgesik sampai pascaoperasi. Waktu paruh ketamin adalah kurang dari 17 menit
dan analgesia yang dihasilkan oleh ketamin dengan dosis 0,125-0,25 mg/kg
intravena bertahan sampai 5 menit ketika konsentrasi plasma >100 ng/mL. Akan
tetapi pada penelitian ini ditemukan bahwa efek analgesia ketamin bertahan sampai
pascaoperasi. Analgesia pascaoperasi yang bertahan lama ini dapat dijelaskan
dengan mekanisme hambatan pada sensitisasi sentral (Parikh B, 2013). Ketamin
dosis rendah 0,15 mg/kg yang diberikan sebelum insisi operasi dapat menurunkan
40 persen konsumsi morfin pada 24 jam pascaoperasi (Hajipour A, 2002).
54
2.4
Patient Controlled Analgesia (PCA)
Pemberian analgesia pascaoperasi yang paling lazim digunakan yaitu
melalui PCA atau analgesia terkontrol oleh pasien. PCA secara umum dianggap
memberikan opioid secara intravena, berkala, sesuai permintaan pasien (dengan
atau tanpa infus kontinyu). Tehnik ini berdasarkan pada penggunaan mesin pompa
infus yang canggih dengan mikroprosesor yang mampu mengalirkan dosis opioid
sesuai program saat tombol permintaan ditekan. Analgetik apapun yang diberikan
dengan cara beragam (misal oral, subkutan, kateter epidural, kateter saraf perifer,
atau transdermal) dapat dianggap sebagai PCA bila diberikan segera setelah diminta
oleh pasien dalam jumlah yang cukup (Macintyre PE,2001).
Pada tahun 1993, Ballantyne melaporkan suatu hasil metaanalisis yang
dirancang untuk meneliti hasil-hasil uji klinis pemakaian PCA dan analgesia intra
muskular (IM) konvensional. Mereka membandingkan PCA (tanpa dilanjutkan
infus kontinyu) dengan analgetika opioid intra muskular setiap 3-4 jam. Kriteria
eksklusi meliputi populasi pasien khusus (anak-anak dan orang tua) dan pasien yang
secara rutin dirawat di ICU pascaoperasi jantung. Secara signifikan efikasi
analgesia lebih besar, meskipun perbedaannya kecil (hanya 5,6 pada skala nyeri 0100). Beberapa penelitian terbaru yang membandingkan PCA dengan metode
konvensional seperti pemberian analgetika opioid secara intra muskular,
subkutaneus dan intra vena, atau secara infus kontinyu menunjukkan hasil yang
saling berlawanan. Beberapa penelitian menunjukkan secara signifikan PCA lebih
baik sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan (Ballantyne,
2008; Macintyree, 2001).
55
Pada tahun 1980, Austin mampu menjabarkan prinsip-prinsip farmakologi
yang merupakan dasar PCA intravena. Didalam penelitian tersebut, diberikan
meperidine dosis kecil yang ditingkatkan secara bertahap, mengukur konsentrasi
plasma dan mengambil kesimpulan skor nyeri pada pasien untuk memperlihatkan
kecuraman kurve konsentrasi-efek untuk analgetik opioid. Peningkatan minimal
konsentrasi meperidine (cukup 3%-5%) di atas konsentrasi yang masih terkait
dengan nyeri berat ternyata secara dramatis dapat mengurangi nyeri. Konsentrasi
terkecil dimana nyeri berkurang disebut sebagai Minimum Effective Analgesic
Concentration (MEAC) atau konsentrasi analgetik efektif minimum. Analgesia
minimal dicapai dengan titrasi opioid hingga MEAC tercapai, yang membatasi
antara nyeri berat dengan analgesia. Lebih jauh lagi, para peneliti ini menemukan
bahwa dosis yang dapat menimbulkan analgesia bervariasi diantara individu,
sehingga disimpulkan bahwa variabilitas dalam farmakodinamik
opioid
menyebabkan perbedaan dosis yang diperlukan (Grass JA, 2005).
MEAC individual mungkin ditentukan oleh kadar opioid endogen dalam
cairan serebrospinal preoperatif, pasien dengan kadar opioid endogen yang lebih
besar dalam cairan serebrospinal memerlukan MEAC yang lebih rendah untuk
mendapat dan mempertahankan analgesia. Dua hal yang mempengaruhi efektivitas
analgesia kemudian ditentukan oleh dosis individual dan titrasi sampai nyeri
berkurang untuk mencapai MEAC dan mempertahankan analgesia, serta
konsentrasi opioid plasma dipertahankan dan menghindari peningkatan atau
penurunan yang tajam. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dengan pemberian prn
ataupun injeksi intra muskular sesuai waktu yang ditentukan. Setelah titrasi untuk
56
mencapai MEAC dan mendapatkan analgesia, pasien menggunakan PCA untuk
mempertahankan konsentrasi opioid plasma tepat atau sedikit di atas MEAC
individu (konsentrasi plasma optimal). Sebaliknya, pasien yang mendapat injeksi
bolus intra muskular mengalami periode nyeri berat yang signifikan dengan
konsentrasi opioid plasma kurang dari MEAC individu, diikuti dengan pemberian
suntikan berlebihan yang melebihi konsentrasi optimal plasma sehingga
menyebabkan sedasi berlebihan, kemungkinan depresi pernafasan dan tidak
mengurangi nyeri lebih baik (Grass JA, 2005).
PCA dapat diberikan dengan beberapa cara. Dua diantaranya yang paling
lazim adalah dosis sesuai permintaan atau demand dose (dosis yang telah ditetapkan
diberikan sendiri oleh pasien secara berkala) dan infus kontinyu atau background
infusion disertai dosis sesuai permintaan (infus konstan dengan kecepatan tetap
yang disuplementasi dengan dosis sesuai kebutuhan pasien). Untuk semua metode
PCA, terdapat variabel dasar berikut: dosis loading awal, dosis permintaan atau
demand dose, interval dimana mesin terkunci (lockout interval), kencepatan infusi
dasar (background infusion), dan batasan dosis maksimal dalam 1 jam dan 4 jam.
Dosis loading awal memungkinkan dilakukan titrasi obat saat diaktivasi oleh
programmer (bukan pasien). Dosis awal dapat digunakan oleh para perawat di
PACU untuk mentitrasi dosis opioid sampai mencapai MEAC atau oleh perawat
pascaoperasi untuk memberikan dosis breaktrough. Dosis permintaan atau demand
dose (sering disebut sebagai dosis incremental atau dosis PCA) adalah jumlah
analgetik yang diberikan ke pasien pada saat tombol ditekan oleh pasien. Untuk
mencegah overdosis dengan permintaan yang terus-menerus, semua alat PCA
57
menggunakan kunci interval (lock out interval), yaitu jarak waktu setelah
pemberian dosis permintaan yang sukses dimana alat tidak akan memberikan dosis
permintaan lagi (walaupun pasien menekan tombol permintaan) sampai waktu yang
telah ditentukan. Infus dasar atau kontinyu adalah infusi dengan kecepatan konstan
yang diberikan tanpa memperhatikan apakah pasien memerlukan dosis permintaan.
Beberapa alat memungkinkan batasan satu jam atau empat jam dengan tujuan
sebagai program alat untuk membatasi pasien dalam interval 1 jam atau 4 jam
mendapat dosis kumulatif total yang lebih sedikit dibanding mereka secara sukses
mendapat dosis permintaan di setiap akhir interval penguncian. Penggunaan
batasan interval 1 jam atau 4 jam ini masih kontroversial. Orang yang pro
memberikan pendapat bahwa batasan ini memberikan keamanan yang lebih baik,
sedangkan yang tidak setuju menyatakan tidak ada data yang menunjukkan
keamanan yang lebih baik. Selain itu, bila pasien menggunakan dosis permintaan
yang cukup untuk mencapai batasan 1 jam atau 4 jam, mereka mungkin
memerlukan analgetik yang lebih banyak bukannya dikunci dari akses lebih jauh
untuk mencapai keseimbangan interval. Batas dosis untuk morfin biasanya diatur
10 mg dalam 1 jam atau 30 mg dalam 4 jam. Perlu diingat bahwa PCA merupakan
terapi pemeliharaan sehingga nyeri yang dirasakan pasien harus dikendalikan dulu
sebelum PCA dimulai (Grass JA, 2005).
58
Gambar 2.8
Perbedaan Kadar Serum Obat dengan Berbagai Cara Pemberian
Background infusion dapat diberikan oleh sebagian besar mesin PCA
elektrik. Diharapkan dengan penggunaan infus kontinyu sebagai tambahan dalam
pemberian dosis bolus akan meningkatkan analgesia pada pasien sehingga tidurnya
lebih baik tanpa terbangun akibat nyeri. Kekurangannya adalah opioid tetap
diberikan tanpa memperhatikan level sedasi pasien dan dapat meningkatkan risiko
depresi nafas. Pada orang dewasa penggunaan rutin background infusion tidak
direkomendasikan. Background infusion kemungkinan diperlukan pada pasien
yang toleran terhadap opioid, pasien sudah terbiasa menggunakan opioid sehingga
memerlukan opioid dosis tinggi atau pasien yang mengeluh sering terbangun dari
tidurnya pada malam hari akibat merasakan nyeri hebat (Ballantyne, 2008).
59
Semua opioid telah digunakan dengan sukses untuk regimen PCA intra
vena, dengan morfin yang paling banyak dipelajari. Apapun opioid yang dipilih
untuk PCA intravena, pengetahuan tentang farmakologi diperlukan untuk mengatur
variabel dosis pada alat PCA (Grass JA, 2005).
Morfin masih merupakan gold standard untuk PCA intravena, karena masih
banyak dipelajari dan merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk PCA
intravena di Amerika Serikat. Morfin merupakan alkaloid opium yang bekerja
agonis, mengikat reseptor di otak, dan medula spinalis. Reseptor yang dominan
adalah reseptor µ yang terdistribusi paling banyak pada sistem saraf pusat, dengan
konsentrasi yang paling tinggi pada sistem limbik. Absorbsi morfin setelah
pemberian intra muskular dan subkutan terjadi pada menit ke-50-90 menit. Morfin
didistribusikan ke seluruh tubuh, khususnya jaringan seperti ginjal, paru, dan limpa.
Morfin 35% terikat oleh protein, terutama albumin, dimetabolisme di hati. Sangat
penting untuk diberi catatan bahwa morfin mempunyai metabolit aktif morfin-6
glukuronide (M6G) yang juga menghasilkan efek analgesia, sedasi, dan depresi
respirasi (Ballantyne, 2008).
Komponen kunci untuk efektivitas terapi PCA adalah titrasi yang sesuai
untuk mendapatkan analgesia awal. Dosis loading morfin 2-4 mg (atau sejumlah
ekuianalgesia opioid alternatif lain) harus diberikan setiap 5-10 menit di PACU
sampai skor nyeri ≤4 dari 10 atau bila frekuensi nafas <12 kali per menit membatasi
untuk pemberian opioid lebih lanjut. Harus menjadi pertimbangan untuk
menggunakan pendekatan terapi multimodal untuk menghasilkan analgesia yang
60
optimal dan menurunkan kebutuhan opioid, yang selanjutnya akan menurunkan
potensial efek samping dan depresi respirasi (Ballantyne, 2008).
2.5
Stabilitas Larutan Ketamin-Morfin
Penelitian sekarang ini dalam mekanisme nyeri akut menyimpulkan bahwa
reseptor NMDA memiliki peranan dalam perkembangan hiperalgesia pascaoperasi
dan toleransi akut opioid. Antagonis resptor NMDA seperti ketamin telah banyak
diteliti dalam peranannya dalam meminimalkan nyeri akut pascaoperasi dan
menurunkan kebutuhan opioid. Campuran ketamin dan opioid pada larutan yang
sama merupakan suatu hal yang praktis dan berguna untuk analgesia pascaoperasi
seperti PCA, infus kontinu intravena, dan epidural. Schmid (2002) meneliti
kestabilan larutan morfin sulfat dan racemic ketamin dalam normal saline dalam
pH 5,5-7,5 dalam 4 hari. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa campuran ketamin
dan morfin stabil dalam temperatur ruangan dalam 4 hari dalam berbagai variasi
pH antara 5,5-7,5. Lau MH juga meneiliti kestabilan ketamin dan morfin dengan
hasil bahwa campuran ketamin dan morfin stabil dalam bentuk campuran dalam 24
jam (Lau MH, 1998). Penelitian yang dilakukan Ronald FD juga menunjukkan
bahwa campuran ketamin (2 mg/ml) dengan morfin (2,5, atau 10 mg/ml) secara
fisik dan kimiawi stabil bila dicampur dengan normal saline dengan suhu 23 oC
selama 91 hari. Semua campuran tetap jernih dan tidak bewarna, serta pH tidak
berubah secara signifikan. Konsentrasi setiap campuran tetap diatas 98% dari
konsentrasi awal (Schmid R, 2002).
61
Download