KOINFEKSI TB HIV DAN KAITANNYA DENGAN TB MDR Titik Nuryastuti Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran UGM Email : [email protected] Abstract Tuberculosis (TB) is a most common opportunistic infection of HIV. TB co-infection with HIV is now the major cause of mortality worldwide. In addition, HIV-TB co-infection also poses a diagnostic and management challenges in each infection. HIV infection is the most powerful predisposing for new TB infection and increase the risk of reactivation of latent TB 20 fold. Thus, M. tuberculosis and HIV work synergistically, accelerate the decline in the function of the immune system and can cause death rapidly if not handled appropriately. The purpose of this study is to provide an overview of the epidemiology, pathogenesis, clinical presentation, diagnosis and management of HIV TB coinfection including its relation to the emergence of MDR TB. Keywords: TB HIV coinfection, MDR TB Abstrak Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada infeksi HIV. Koinfeksi TB HIV sekarang ini merupakan penyebab mortalitas utama di dunia dikarenakan oleh agen infeksius tersebut. Selain itu, koinfeksi TB HIV juga menimbulkan tantangan dalam diagnostik dan managemen masing-masing infeksi. Infeksi HIV merupakan predisposisi paling kuat untuk terjadi infeksi TB baru dan meningkatkan resiko reaktivasi pada TB laten 20 kali lipat. Dengan demikian, M. Tuberculosis dan HIV bekerja secara sinergis, 57 mempercepat penurunan fungsi sistem imun dan bisa menyebabkan kematian dengan cepat jika tidak ditangani dengan tepat. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang epidemiologi, patogenesa, gambaran klinis, cara diagnosis dan manajemen koinfeksi TB HIV serta kaitannya sebagai penyebab munculnya TB MDR. Kata Kunci : Koinfeksi TB HIV, TB MDR PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, TB menduduki peringkat pertama penyebab kematian akibat penyakit menular di Indonesia (27,8%) [1]. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi antara program pengendalian TB dan pengendalian HIV/ AIDS [2]. Munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global, sehingga berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan dengan HIV/AIDS (ODHA) [3]. Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara, dimana sekitar 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi 58 dapat mengancam upaya pengendalian TB [4]. HIV meningkatkan epidemi TB dengan beberapa cara. Telah diketahui bahwa HIV merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi TB laten [5]. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/ TB berkisar antara 5–10% per tahun [6]. Sekitar 60% orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Purified Protein Derivative (PPD) positif berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya, sedangkan pada PPD positif dan HIV negatif adalah sekitar 10%. HIV meningkatkan angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen atau re-infeksi eksogen [7]. Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB menggunakan protokol sepenuhnya dari program DOTS, karena juga mencakup pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS [3]. Gambar 1. Faktor resiko kejadian TB [3] 59 Koinfeksi TB HIV Epidemiologi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis terutama disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). TB telah menyebabkan penderitaan besar bagi manusia sepanjang sejarah. Bahkan setelah dua dekade implementasi strategi DOTS untuk pengendalian TB, tuberkulosis masih tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Sepertiga dari penduduk dunia diperkirakan terinfeksi MTB [8]. Risiko penularan tuberkulosis (TB) diperkirakan antara 26 sampai 31 kali lebih besar pada orang yang hidup dengan HIV dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi HIV. Pada tahun 2014, dilaporkan ada 9,6 juta kasus baru TB, dimana 1,2 juta diantaranya terdapat pada orang yang hidup dengan HIV. Koinfeksi TB HIV telah menjadi ancaman kesehatan bagi umat manusia, yang apabila tidak ditangani secara serius akan menyebabkan keduanya tidak dapat lagi dikendalikan [9]. Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB [2]. Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif [2,7]. 60 Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat [2]. Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV [7]. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. TB juga terbukti mempercepat perjalanan infeksi HIV. Angka mortalitas pertahun dari HIV terkait TB yang diobati berkisar antara 20,35% [10]. Angka mortalitas TB HIV empat kali lebih tinggi dari pada angka mortalitas TB tanpa HIV [11]. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang [8]. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara [4]. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangat berpengaruh terhadap peningkatan kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade terakhir. Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV juga harus merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB [3]. Perjalanan klinis dan aspek respon imun Dilaporkan bahwa terjadi hubungan yang kompleks antara infeksi TB dan HIV [12]. Infeksi TB akan mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS, dan sebaliknya infeksi HIV akan memperparah kondisi TB. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek fungsi makrofag. Sebagai akibatnya pasien HIV mempunyai 61 resiko lebih tinggi untuk terjadinya reaktivasi TB laten menjadi TB aktif dan peningkatan resiko terinfeksi baru oleh kuman TB [12,13]. Disamping itu interaksi kedua infeksi ini akan meningkatkan resiko kegagalan pengobatan TB dan meningkatkan case fatality rate TB [6]. Patogenesis koinfeksi TB HIV berhubungan langsung dengan respon imunitas pada infeksi TB, yang meliputi cell mediated immunity (CMI) dan delayed type hypersensitivity (DTH), kedua respon imunitas tersebut bertujuan untuk melokalisir infeksi dan membunuh MTB. Pada infeksi HIV stadium lanjut, kadar CD4 sangat rendah sehingga terjadi gangguan sistem imunitas baik CMI maupun DTH. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman TB. Selain itu, dilaporkan bahwa CD4 dan TNF penting dalam mempertahankan stuktur granuloma pada infeksi TB. Akibatnya replikasi MTB meluas tanpa disertai pembentukan granuloma, nekrosis perkejuan dan pembentukan kavitas. Hal ini berimplikasi pada sulitnya diagnosis TB karena gambaran radiologis yang tidak spesifik, sering ditemukan kasus TB paru BTA negatif dan meluasnya penyebaran TB sehingga banyak dilaporkan TB ekstra paru [7]. Tingginya angka TB pada pasien HIV/AIDS disebabkan terutama karena adanya kesamaan pathogenesis pada cell mediated immunity, terutama sel CD4. Penekanan jumlah sel CD4 oleh HIV akan membuat pengendalian infeksi M. tuberculosis menjadi terganggu, sehingga invasi dan penyebaran penyakit menjadi lebih mudah [12,13]. Kesamaan pathogenesis ini juga membuat diagnosis TB menjadi sulit, karena penekanan CD4 membuat rendahnya kejadian nekrosis kaseosa (perkejuan) yang diperlukan untuk memaparkan kuman TB ke luar. Rendahnya paparan keluar ini membuat diagnosis TB dengan hapusan Basil Tahan Asam (BTA) menjadi sulit, sehingga diagnosis TB pada pasien-pasien HIV/AIDS menjadi rumit [3]. TB juga dapat mempercepat laju perjalanan penyakit HIV melalui berbagai cara, di antaranya melalui mekanisme aktivasi selular 62 yang pada akhirnya dapat meningkatkan viral load HIV. TB pada pasien HIV/AIDS dapat meningkatkan level viremia plasma antara 5 sampai 160 kali lipat [14]. Dilaporkan bahwa pasien TB memiliki lingkungan mikro yang memfasilitasi infeksi HIV dengan cara i) meningkatkan ekspresi co-reseptor CXCR4 dan CCR5 diatur oleh produk metabolit M. Tuberculosis; ii) meningkatkan produksi sitokin pro-inflamasi, terutama TNF; dan iii) down-regulasi CCL5. Demikian juga disebutkan bahwa lipoarabinomannan(LAM) komponen dinding sel M. tuberculosis dapat mengaktifkan replikasi HIV dengan menginduksi TNF dan IL-6 [7]. Gambaran Klinis Dilaporkan bahwa manifestasi klinis ko-infeksi TB-HIV bermacam-macam. Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV, selanjutnya bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi pleura, limpadenopati, penyakit perikardium, milier, meningitis, TB diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia). Gambaran klinis tuberkulosis paru tergantung tingkat kekebalan tubuh. Gambaran klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV. Pada stadium awal infeksi HIV, gambaran klinisnya sering menyerupai TB paru postprimer, hasil pemeriksaan dahak seringkali positif, dan gambaran radiologi sering tampak kavitas, sedangkan pada tahap lanjutan sering menyerupai TB paru primer, BTA mikroskopisnya negatif dan foto rontgen sering didapatkan gambaran infiltrat tanpa kavitas [3]. Diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil sputum BTA negatif [3,11]. Di samping itu, 63 pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang tempat lesi. Oleh karena itu, untuk mendiagnosis TB perlu menggunakan alur diagnosis TB pada ODHA [3]. diagnosisnya pemeriksaan didapat dari pada ODHA Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA rawat jalan [3] Keterangan gambar: a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan. b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif. c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK. d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. 64 e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis. f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal. g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP. h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi [3]. TB MDR pada koinfeksi TB HIV Multidrug Resistance Tuberculosis (atau TB MDR) adalah salah satu jenis resistensi bakteri TB terhadap minimal dua obat anti TB lini pertama, yaitu Isoniazid dan Rifampicin yang merupakan dua obat TB yang paling efektif. TB MDR menjadi tantangan baru dalam program pengendalian TB karena penegakan diagnosis yang sulit, tingginya angka kegagalan terapi dan kematian [15]. Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi dan prioritas kegiatan untuk TB MDR/XDR [2]. Beberapa penyebab utama resistensi obat TB di Indonesia telah diidentifikasi, antara lain: (1) implementasi DOTS rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain yang masih rendah kualitasnya (2) peningkatan ko-infeksi TBHIV; (3) sistem surveilans yang lemah, dan (4) penanganan kasus TB resisten obat yang belum memadai [2]. Kombinasi TB dan HIV sudah cukup memberikan tantangan masalah yang belum bisa terpecahkan sampai saat ini. Dengan demikian ko-infeksi TB MDR dan HIV tentu saja menjadi kombinasi penyakit yang lebih mematikan dibanding TB-HIV. Lebih dari 50% pasien TB MDR yang terinfeksi HIV di Peru meninggal dalam waktu kurang dari dua minggu setelah diagnosis. Di Inggris, seorang pasien TB MDR dengan penurunan fungsi imunitas tubuh memiliki risiko kematian sembilan kali lebih besar dibanding pasien TB MDR tanpa gangguan imunitas [15]. Prevalensi maupun insidensi infeksi TB 65 pada penderita HIV, atau infeksi HIV pada penderita TB, belum rutin dilaporkan. Secara nasional diperkirakan angka TB-HIV di Indonesia adalah 3% [2]. Famili genotip spesifik strain M.TBC yang resistan terhadap obat dapat berperan dalam transmisi, khususnya di kalangan orang yang hidup dengan HIV. Dilaporkan bahwa genotipBeijing yang meliputi “W” strain M. tuberculosis terlibat dalam banyak kasus MDR-TB di Amerika Serikat, lebih virulen dan berhubungan resistensi obat di wilayah tertentu seperti Kuba, Estonia, Rusia, Vietnam, dan Afrika Selatan [15]. Selain itu, genotipe karakteristik Afrika Selatan dilaporkan berkaitan dengan resistensi obat anti TB di Provinsi KwaZulu Natal, Afrika Selatan, di mana TB XDR muncul sebagai problem utama di masyarakat. Infeksi HIV juga berkaitan dengan munculnya resistensi dapatan rifampisin pada penderita koinfeksi TB HIV [15]. Meta analisis yang dilakukan oleh Mesfin YM et al [16] didapatkan bahwa infeksi HIV berkorelasi positip dengan munculnya TB MDR, dua kali lipat lebih beresiko menyebabkan TB MDR dan munculnya TB MDR primer. Managemen TB MDR-HIV Pada awal 1990-an, ditemukan bukti adanya hubungan antara infeksi HIV dan TB MDR terkait dengan tingginya kematian penderita koinfeksi TB HIV di lembaga pemasyarakatan dan rumah sakit dengan manajemen kontrol infeksi yang jelek sehingga diagnosis TB MDR terlambat [15]. Pasien dengan MDR-TB memerlukan pengobatan dengan jangka waktu yang lebih lama, biasanya antara 18-24 bulan, dibandingkan dengan hanya 6-8 bulan waktu yang diperlukan untuk TB yang rentan terhadap obat [2]. Angka kegagalan terapi pada pasien-pasien dengan ko-infeksi TB-HIV dilaporkan lebih tinggi dibandingkan pasien dengan infeksi TB saja, yakni 38% vs. 12,5% [6]. Selain itu, pengobatan memerlukan penggunaan obat lini kedua, yang 66 lebih toksik dan harganya lebih mahal, dengan asumsi pembiayaan obat MDR-TB rata-rata 100-300 kali lipat lebih tinggi [16]. Pasien dengan TB MDR memiliki tingkat kesembuhan yang lebih rendah dan mortalitas lebih tinggi dibanding pasien dengan rentan terhadap obat TB. Pengobatan TB MDR pada koinfeksi TB HIV membutuhkan kepatuhan pasien yang sangat tinggi karena harus menelan 6-10 jenis obat dan mendapatkan injeksi setiap harinya. Disamping itu, penanganannya menjadi lebih kompleks akibat toksisitas obat yang tinggi dan terjadinya interaksi obat [2,5]. Masalah yang penting pada koinfeksi tuberkulosis dan HIV adalah hepatoksisitas obat antiberkulosis, padahal pada saat yang bersamaan ODHA juga mengonsumsi obat antiretroviral yang juga bersifat hepatotoksik. Kombinasi pengobatan antiretroviral dan antituberkulosis juga dapat merugikan. Antituberkulosis, dalam hal ini rifampisin, dapat menurunkan kadar antiretroviral golongan protease inhibitor (PI) dan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) sampai di atas 90%. Sebaliknya, antiretroviral jenis PI dapat meningkatkan kadar antituberkulosis rifampisin dan rifabutin antara 2 sampai 4 kali lipat, sehingga menimbulkan toksisitas klinis (leukopenia, uveitis, athralgia dan diskolorasi kulit) [2,10]. Dibandingkan rifampisin, Rifabutin merupakan pilihan terbaik untuk menangani pasien dengan ko-infeksi TB-HIV. karena merupakan induktor CYP3A yang kurang kuat. Melalui peningkatan dosis rifabutin dan ARV yang tersedia, kita dapat memperoleh efektivitas terapi yang kurang lebih sama dengan rifampin (rifampisin). Dengan demikian, penyediaan Rifabutin sebagai terapi untuk pasien dengan koinfeksi HIV/AIDS-TB tampaknya perlu dipertimbangkan [10]. Kesimpulan Pasien dengan ko-infeksi TB HIV mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa ko-infeksi. 67 Koinfeksi TB HIV berkaitan erat denagn munculnya TB MDR. Data-data yang ada di atas menunjukkan bahwa koinfeksi antara TB dan HIV memerlukan penanganan komprehensif, baik dalam hal diagnosis, pengobatan, pencegahan maupun penanganan komplikasi berupa MDR TB. Daftar Pustaka 1. Riskesdas 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 2. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Rencana Aksi Nasional Programmatic Management of Drug resistance Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis Indonesia : 2010-2014 3. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Petunjuk teknis Tata laksana klinis Ko-infeksi TB HIV 4. Narain JP, Ying-Ru Lo. 2004. Epidemiology of HIV-TB in Asia. Indian J Med Res. 120: 277-289 5. Getahun H, Gunneberg C, Granich R, Nunn P. 2010. HIV Infection–Associated Tuberculosis:The Epidemiology and the Response. Clinical Infectious Diseases; 50(S3):S201–S207 6. Surendra K, Sharma, Mohan A. 2013.Tuberculosis: From an incurable scourge to a curable disease - journey over a millennium. Indian J Med Res.137: 455-493 7. Pawlowski A., Jansson M, Markus Sko¨, Rottenberg ME, Gunilla Ka¨ llenius. 2012.Tuberculosis and HIV Co-Infection. PLoS Pathogens 8(2): e1002464 8. WHO, 2014. Global Tuberculosis Report 2014. WHO Press, World Health Organization, Geneva. 9. Tuberculosis and HIV. http://www.who.int/hiv/topics/tb/en/, diakses tanggal 19 Februari 2016 68 10. Padmapriyadarsini C, Narendran G, Swaminathan S. 2011. Diagnosis & treatment of tuberculosis in HIV co-infected patients. Indian J Med Res 134: 850-865 11. Kogieleum Naidoo, Kasavan Naidoo, Padayatchi N, Karim QA. 2011. HIV-Associated Tuberculosis. Clinical and Developmental Immunology.Article ID 585919 12. Mansyur MS, Suharto A, Sari R, 2009. TB dan HIV. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta. 13. Fajrin, PN, 2012, Evaluasi Terapi ARV terhadap perubahan jumlah CD4 dan terapi OAT terhadap perubahan BB pada pasien koinfeksi TB/HIV di Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo, Skripsi, Fak Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 14. Schluger NW. 2001.Recent advances in our understanding of human host responses to tuberculosis.Respir Res. 2(3):157-63 15. Wells CD, Cegielski JP, Nelson LJ, Laserson KF, Holtz TH, Finlay A, Castro KG, Weyer K. 2007. HIV Infection and MultidrugResistant Tuberculosis: The Perfect Storm. The Journal of Infectious Diseases. 196:S86–107 16. Mesfin YM, Hailemariam D, Biadglign S, Kibret KT. 2014. Association between HIV/AIDS and Multi-Drug Resistance Tuberculosis: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS ONE. 9(1):e82235 69