i PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+ OLEH

advertisement
PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+ OLEH ADSORBEN
SILIKA DARI BAGASSE TEBU
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi
Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana
Oleh :
Karlinda
NIM 13307141024
PROGRAM STUDI KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
i
PENGARUH SUHU PADA ADSORPSI KATION Ca2+ OLEH ADSORBEN
SILIKA DARI BAGASSE TEBU
Oleh:
Karlinda
NIM 13307141024
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) cara mensintesis silika gel
dari bagasse tebu, 2) karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis, 3)
pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika
yang berasal dari bagasse tebu.
Subjek penelitian adalah adsorben silika gel dari bagasse tebu. Objek
penelitian adalah pengaruh suhu pada adsorpsi kation Ca2+ oleh silika dari bagasse
tebu. Sintesis silika gel dilakukan dengan metode sol-gel, yaitu mereaksikan HCl
1 M dengan larutan natrium silikat hasil sintesis dari bagasse tebu hingga
terbentuk gel dengan pH 7. Gel yang terbentuk dikeringkan dalam oven dengan
suhu 80°C hingga massa konstan. Silika gel dikarakterisasi dengan FTIR dan
XRD. Silika gel kemudian digunakan sebagai adsorben dalam proses adsorpsi
terhadap kation Ca2+ pada pH 5, waktu kontak 15 menit, dan berbagai variasi
suhu. Pengukuran konsentrasi Ca2+ sebelum dan sesudah adsorpsi dilakukan
dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
Hasil karakterisasi secara Difraksi Sinar-X menunjukkan bahwa silika gel
yang disintesis berstruktur amorf dengan puncak landai pada 2θ=22,0132°.
Spektra FTIR menunjukkan bahwa silika gel berhasil disintesis, yang ditandai
dengan munculnya puncak pada bilangan gelombang 3464,81 cm-1 yang
mengindikasikan adanya gugus -OH pada silanol dan puncak pada bilangan
gelombang 1094,65 cm-1 merupakan gugus –Si-O pada siloksan. Hasil analisis
menggunakan AAS dan hasil perhitungan menunjukkan bahwa suhu dan
konsentrasi mempengaruhi proses adsorpsi. Suhu optimal pada proses adsorpsi
dengan konsentrasi 10 ppm yaitu 27°C.
Kata kunci : bagasse tebu, adsorpsi, silika gel, kation Ca2+, suhu
ii
EFFECTS OF TEMPERATURE ON Ca2+ CATION ADSORPTION BY
SILICA ADSORBEN FROM SUGARCANE BAGASSE
By:
Karlinda
NIM 13307141024
ABSTRACT
This research aims to determine 1) how to synthesis silica gel from
sugarcane bagasse, 2) the characters of silica gel from sugarcane bagasse that had
synthesized, 3) the effect of temperature and concentration on Ca2+ cation
adsorption by silica adsorbent from sugarcane bagasse.
The subject of this research was silica gel adsorbent from sugarcane
bagasse. The object of this research was the effect of temperature on Ca2+ cation
adsorption by silica from sugarcane bagasse. Synthesis of silica gel was prepared
by sol-gel method that reacted HCl 1 M with synthesized sodium silicate solution
from sugarcane bagasse until gel formation in pH 7. The gel was dried in oven at
80°C up to constant mass. The silica gel was characterized by FTIR and XRD.
The silica gel was then used as the adsorbent in adsorption process Ca2+ cation at
pH 5, contact time of 15 minutes, and various temperature variation. Measuring
the concentrations of Ca2+ cation in before and after adsorption were treated by
using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
The results of X-Ray Diffraction characterization showed that silica gel
had amorphous structure with peak at 2θ=22.0132°. FTIR spectra showed that the
gel silica had been synthesized successfully which were indicated by appearance
of peak at wavenumber of 3464.81 cm-1 that indicating the -OH group of silanol
and peak at wavenumber of 1094.65 cm-1 was –Si-O group of siloksan. The result
of analysis AAS showed that temperature and concentration influenced the
adsorption process, the optimum temperature on adsorption process at
concentration of 10 ppm was 27°C.
Keywords: sugarcane bagasse, adsorption, gel silica, Ca2+ cation, temperature.
iii
iv
v
vi
MOTTO
Tak peduli seberapa banyak orang yang membencimu
Tak peduli seberapa banyak orang yang tak percaya padamu
Tak peduli seberapa banyak orang yang iri pada hidupmu
Tak peduli seberapa banyak orang yang tak suka padamu
Tak peduli seberapa banyak orang yang ingin menjatuhkanmu
Tak peduli betapa banyak hinaan yang telah kau dapatkan
Tak peduli seberapa banyak hal buruk yang kau terima
YANG PERLU KAU LAKUKAN HANYA TERUS BERJUANG
MELEWATI SEGALANYA.
Kamu pasti bisa
Kamu pasti bahagia
Nikmatilah segala proses dihidupmu
BERFIKIR DAN BERTINDAK DENGAN TENANG DAN
SESUAI ATURAN UNTUK MENDAPATKAN HASIL YANG
MEMUASKAN
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan limpahan berkah dan nikmat yang luar
biasa.
2. Kedua orang tua Bapak Karsito dan Ibu Lasmini yang selalu memberikan
kasih sayang, dukungan, semangat, nasehat dan doa yang tiada hentihentinya.
3. Adikku Ahmad Raya Sukoco dan Sayidati Asmaul Khusnah yang selalu
memberikan semangat dan masukan.
4. Heru Setito Bakti yang selalu mengingatkan, memberikan semangat,
motivasi, masukan, dan doa.
5. Aruminah, Sutarmi, Anggraeta Puspa, Lucky Enjang Sari, Seti fani,
Hernanda Apriyanto dan Herlinda Tri Yunita Sari selaku rekan satu
penelitian yang selalu memberi semangat dan kerjasama yang baik.
6. Teman-teman Kimia B 2013 terkhusus Enny Dwi Cahyanti, Lathifa
Hidayati, Ratih Widyandari, Yenni Rafika Pratiwi, dan Herlinda
Meilianita yang selalu menemani dalam perjuangan ini, saling memberi
semangat dan nasehat yang tiada henti.
7. Temanku Amida Dhestiana Musaffa dan Erfan Erfiani yang telah
memberikan dukungan.
8. Almamaterku tercinta, Prodi Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga atas kehendak-Nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation
Ca2+ oleh Adsorben Silika dari Bagasse Tebu.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah memberikan izin penelitian.
2. Bapak Jaslin Ikhsan, Ph.D selaku Ketua Jurusan Pendidikan Kimia dan
Koordinator Program Studi Kimia serta Koordinator Tugas Akhir Skripsi
Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin
penelitian dan memberikan nasihat serta saran-saran.
3. Ibu Prof. Dr. Endang Widjajanti L. FX M.S. selaku Dosen Penasehat Akademik
yang telah membimbing akademik selama 4 tahun.
4. Ibu Dra. Susila Kristianingrum, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan ilmu.
5. Bapak Sunarto, M.Si selaku penguji utama yang telah memberikan pertanyaan,
kritik, dan saran.
6. Ibu Annisa Fillaeli, S.Si., M.Si selaku penguji pendamping yang telah
memberikan pertanyaan, kritik, dan saran.
ix
x
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL........................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
ABSTRACT.......................................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERNYATAAN..................................Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN..................................Error! Bookmark not defined.
MOTTO ................................................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ viii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ix
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Identifikasi Masalah ..............................................................................6
C. Batasan Masalah....................................................................................6
D. Rumusan Masalah .................................................................................7
E. Tujuan Penelitian ..................................................................................7
F. Manfaat Penelitian ................................................................................8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori......................................................................................9
1. Tebu..................................................................................................9
2. Bagasse Tebu..................................................................................10
3. Silika...............................................................................................12
4. Metode Sol-Gel ..............................................................................14
5. Adsorpsi..........................................................................................16
6. Unsur Hara Tanaman......................................................................21
xi
7. Unsur Makro Kation Ca2+ ..............................................................22
8. Pengaruh Suhu pada Adsorpsi........................................................24
9. Difraksi Sinar X (XRD) .................................................................25
10.
Spktroskopi FTIR ......................................................................28
11.
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) .....................................31
B. Penelitian Yang Relevan .....................................................................35
C. Kerangka Berpikir...............................................................................37
BAB III METODE PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian ...............................................................39
B. Variabel Penelitian ..............................................................................39
C. Alat dan Bahan Penelitian...................................................................40
D. Prosedur Kerja.....................................................................................41
E. Teknik Analisis Data...........................................................................45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN.........................................................................46
1. Hasil Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ..................................46
2. Hasil Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD)..............................46
3. Hasil Analisis secara Spektroskopi FTIR.......................................47
4. Hasil Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel pada Variasi Suhu.....48
B. PEMBAHASAN .................................................................................50
1. Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ............................................51
2. Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD) .......................................60
3. Analisis secara Spektroskopi FTIR ................................................61
4. Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel pada Variasi Suhu ..............63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................71
A. Kesimpulan .........................................................................................71
B. Saran....................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................73
LAMPIRAN..........................................................................................................79
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbedaan Antara Fisisorpsi dan Kemisorpsi .................................... 21
Tabel 2. Sifat Kalsium ..................................................................................... 24
Tabel 3. Serapan Karakteristik Senyawa-Senyawa Organosilikon.................. 31
Tabel 4. Data Hasil AAS Proses Adsorpsi....................................................... 49
Tabel 5. Interpretasi Spektra FTIR Silika Kiesel Gel 60 Merck dan Silika
Gel......................................................................................................... 62
Tabel 6. Hasil Proses Adsorpsi pada Waktu 15 menit dan 60 Menit.................. 65
Tabel 7. Klasifikasi Asam dan Basa Beberapa Senyawa dan Ion Logam Menurut
Prinsip HSAB ....................................................................................... 69
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur Silika Gel ........................................................................ 12
Gambar 2.1. (a) Elektron Penembak Menumbuk Elektron Atom Pada
Kulit Terdalam .............................................................................. 25
Gambar 2.1. (b) Elektron Atom Kulit Terluar Mengisi Kekosongan
dan Memancarkan Sinar X ........................................................... 25
Gambar 2.2. Diagram Sinar X Datang dan Terdifraksi oleh Ato-Atom
Kristal...............................................................................................26
Gambar 3. Difraktogram XRD Silika Gel dari Bagasse Tebu ......................... 28
Gambar 4. Skema Alat Spektroskopi FTIR ..................................................... 30
Gambar 5. Skema Instrumentasi Spektrophotometer Serapan Atom Berkas
Ganda............................................................................................... 33
Gambar 6. Silika Gel Hasil Sintesis dari Bagasse Tebu .................................. 46
Gambar 7. Difraktogram Sinar X Silika Gel Hasil Sintesis dari Bagasse
Tebu................................................................................................. 47
Gambar 8. (a) Hasil Analisis FTIR Silika Gel Hasil Penelitian ...................... 48
Gambar 8. (b) Hasil Analisis FTIR Kiesel Gel 60 Merck ............................... 48
Gambar 9. Grafik Pengaruh Suhu terhadap Absorbansi .................................. 49
Gambar 10. Grafik Pengaruh Suhu terhadap % Terikat .................................. 50
Gambar 11. Abu Bagasse Netral...................................................................... 55
Gambar 12. Mekanisme Reaksi Pembentukan Natrium Silikat....................... 56
xiv
Gambar 13. Mekanisme Reaksi Pembentukan Ikatan Siloksan....................... 57
Gambar 14. Mekanisme Reaksi Pembentukan Silika Gel ............................... 59
Gambar 15. Reaksi Pengikatan Kation Ca2+ pada Gugus Silanol dan
Siloksan ....................................................................................... 70
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan untuk Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu ............... 80
Lampiran 2. Hasil Karakterisasi FTIR dan XRD Silika Gel................................. 82
Lampiran 3.Perhitungan untuk Pembuatan Larutan Eksperimen Adsorpsi .......... 85
Lampiran 4. Penentuan Persamaan Garis Regresi Linear Larutan Standar Ca2+ .. 87
Lampiran 5. Analisa Adsorpsi dengan Spektrofotometer Serapan Atom ............. 94
Lampiran 6. Data dan Perhitungan Pengaruh Suhu pada Eksperimen Adsorpai 103
Lampiran 7. Skema Penelitian ........................................................................... 106
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian.................................................................. 110
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang tumbuh
subur di daerah beriklim tropis termasuk di Indonesia. Tebu digunakan
sebagai bahan baku pembuatan gula pasir. Menurut Akhinov, dkk. (2010: 1),
di Indonesia diperkirakan terdapat 64 pabrik gula yang hingga saat ini masih
beroperasi. Pabrik-pabrik gula tersebut beroperasi dengan kapasitas produksi
yang berbeda-beda. Menurut Rusono, dkk. (2013: 175), jumlah produksi gula
di Indonesia pada tahun 2011 adalah 2.228 kilo ton dengan konsumsi sebesar
4.503 kilo ton dan produksi tahun 2012 adalah 2.601 kilo ton dengan
konsumsi sebesar 5.335 kilo ton. Data tersebut membuktikan bahwa, hingga
saat ini kebutuhan masyarakat Indonesia akan gula masih belum dapat
terpenuhi. Semakin meningkatnya jumlah penduduk juga menuntut semakin
meningkatnya konsumsi gula di masyarakat, maka diperkirakan bahwa dari
tahun ke tahun produksi gula akan selalu mengalami peningkatan.
Proses pembuatan gula tidak hanya menghasilkan produk utama
namun juga menghasilkan hasil samping yang berupa limbah produksi.
Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
tahun 2008 komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia
terdiri dari limbah cair 52,9 %, blotong 3,5 %, ampas (bagasse) 32,0 %, tetes
4,5 % dan gula 7,05 % serta abu 0,1 %. Dari berbagai hasil samping tersebut
bagasse tebu merupakan limbah produksi yang hingga saat ini belum banyak
dimanfaatkan.
1
Bagasse merupakan limbah padat sisa penggilingan tebu. Menurut
Novitasari, dkk. (2012: 67), sebagian besar bagasse dimanfaatkan sebagai
bahan bakar boiler. Namun jumlah bagasse yang dihasilkan lebih banyak
dibandingkan dengan kebutuhan pembakaran oleh boiler pabrik, sehingga
bagasse yang tidak digunakan akan menumpuk dan menimbulkan masalah
bagi pabrik gula. Ampas tebu yang bersifat meruah membutuhkan area yang
luas dalam hal penyimpanan. Selain itu Akhinov,dkk. (2010: 1), menyatakan
bahwa bagasse tebu mengandung 48-52% air; 3,3% gula; 47,7% serat dan
mikroba, yang apabila ditumpuk dalam waktu yang lama akan terfermentasi
dan melepaskan panas. Oleh karena itu sering kali terjadi kasus kebakaran di
beberapa pabrik gula yang diperkirakan penyebabnya adalah ampas tebu.
Sehingga perlu pemanfaatan yang tepat terhadap limbah bagasse tebu.
Berdasarkan hasil analisa XRF terhadap abu bagasse diketahui
bahwa dalam abu bagasse mengandung mineral – mineral yang berupa Si, K,
Ca, Ti, V, Mn, Fe, Cu, Zn dan P. Dengan kandungan terbesar adalah mineral
Si yaitu sebesar 55,5%. Karena kandungan silika dalam abu bagasse besar
maka abu bagasse berpotensi sebagai bahan baku pembuatan silika gel
(Akhinov, dkk., 2010: 1). Bagasse yang awalnya hanya dimanfaatkan sebagai
bahan bakar maupun bahan baku dalam beberapa industri seperti industri
kertas dan industri kanvas, juga dapat dimanfaatkan sebagai silika gel yang
mempunyai nilai jual yang lebih.
Silika merupakan salah satu padatan anorganik dapat berstruktur
kristalin, seperti kristobalit dan kuarsa (Sulasri, 2013: 10). Silika banyak
2
sekali digunakan dalam industri baik sebagai produk akhir maupun sebagai
bahan penunjang proses industri, seperti industri pasta gigi, perawatan kulit,
pemrosesan bir, pelapisan kertas, bahkan dimanfaatkan sebagai desikan,
pendukung katalis, katalis polyolefin, antibloking agent dan dalam bidang
farmasi (Akhinov,dkk., 2010: 1). Amaria (2012: 56), juga menyatakan bahwa
penggunaan silika sangat luas, antara lain untuk detergen, komponen alat
elektronik, mekanik, medis, adesif, kolom kromatografi dan keramik.
Selain penggunaan tersebut, silika gel juga sering dimanfaatkan
sebagai adsorben dalam proses adsorpsi karena memiliki sisi aktif pada
permukaannya yang berupa gugus silanol (≡Si-OH) dan gugus siloksan (≡SiO-Si≡). Silika gel banyak dimanfaatkan karena memiliki berbagai kelebihan.
Menurut Sulastri (2009: 367) kelebihan silika gel diantaranya yaitu mudah
diproduksi, memiliki sifat inert, hidrofilik, mempunyai kestabilan termal dan
mekanik yang tinggi, serta relatif tidak mengembang dalam pelarut organik.
Namun di samping kelebihan silika gel juga mempunyai kelemahan yaitu,
gugus silanol yang dimiliki oleh silika gel mempumyai sifat keasaman yang
lemah dan juga mengandung atom oksigen sebagai donor yang sifatnya lemah
(Tokman, 2003: 202).
Adsorpsi merupakan proses penyerapan yaitu terjadinya penarikan
molekul gas atau cairan pada permukaan adsorben. Metode adsorpsi sering
digunakan dalam berbagai proses kimia karena dirasa efisien, sederhana,
dapat bekerja pada konsentrasi rendah, lebih mudah dilakukan dan juga
biayanya relatif murah. Pada proses adsorsi zat yang terikat pada permukaan
3
padatan disebut adsorbat, sedangkan padatan yang menahan atau mengikat
disebut adsorben. Adsorben yang baik harus memiliki luas permukaan efektif
yang besar dan juga memiliki sejumlah besar jaringan pori-pori sebagai jalan
bagi molekul menuju kedalam adsorben.
Silika gel yang berasal dari abu bagasse dapat digunakan sebagai
adsorben karena memenuhi dua sifat yang harus dimiliki oleh adsorben
tersebut. Affandi, dkk. (2009: 472) telah berhasil melakukan sintesis silika
xerogel dari abu bagasse tebu yang memiliki luas permukaan sebesar 69-152
m2g-1, volume pori sebesar 0,059-0,137 cm3 g-1 dan diameter pori sebesar 3234 Å atau 3,2-3,4. Sehingga silika gel dari abu bagasse dapat dimanfaakan
sebagai penjerap yang baik. Menurut Buhani dan Suharso (2010: 177), silika
juga memiliki kemampuan untuk melepaskan kembali sorbat yang diikatnya
sehingga sangat tepat jika diaplikasikan melalui prinsip pupuk slow release
fertilizer di mana unsur hara yang telah terjerap oleh silika dapat dilepaskan
secara perlahan sesuai dengan laju penyerapan tanaman dan juga sesuai
dengan jumlah yang dibutuhkan tanaman.
Tanaman membutuhkan dua jenis unsur hara yaitu unsur hara makro
dan unsur hara mikro, keduanya merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh
tanaman untuk melakukan proses fotosintesis. Menurut Sutedjo (1988: 85),
unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam
jumlah banyak, sedangkan unsur hara mikro dibutuhkan tanaman hanya
dalam jumlah yang sedikit. Unsur hara makro yang dibutuhkan oleh tanaman
di antaranya yaitu zat arang, oksigen, hidrogen, nitrogen, fosfat, kalium,
4
kalsium, kapur, magnesium dan belerang. Sedangkan unsur hara mikro yang
dibutuhkan tanaman di antaranya yaitu zat borium, klor, kuningan, besi,
mangan,
molibdenum
dan
seng,
yang
kadang-kadang
juga
masih
membutuhkan silisium (Si), natrium (Na) dan kobalt (Co).
Kalsium dalam bentuk kation Ca2+ merupakan salah satu zat hara
makro yang dibutuhkan tanaman. Kation Ca2+ sangat dibutuhkan tanaman
dalam pembentukan protein, pembentukan bagian tanaman yang aktif, dan
pembentukan dinding sel sehingga berpengaruh pada kesegaran tanaman.
Apabila kebutuhan kalsium tidak terpenuhi, maka akan mengganggu
pertumbuhan tanaman, seperti pertumbuhan ujung dan bulu – bulu akar akan
terhenti dan bagian – bagian yang telah terbentuk akan mati dan berwarna
coklat kemerah – merahan (Rizky, 2011: 4-5). Kation Ca2+ juga termasuk zat
essensial yang tidak dapat diproduksi sendiri oleh tanaman sehingga perlu
adanya tambahan zat dari luar. Untuk itu perlu adanya asupan nutrisi kalsium
yang mungkin terkandung pada pupuk.
Berdasakan uraian di atas, dilakukan penelitian dengan mensintesis
silika gel melalui proses sol-gel menggunakan prekursor natrium silikat dari
bagasse tebu. Menurut Indriyanti, dkk. (2011: 405), metode sol-gel memiliki
kelebihan yaitu relatif mudah dan dapat dilakukan pada temperatur kamar.
Selanjutnya hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu tersebut akan digunakan
sebagai uji pendahuluan dalam pembuatan pupuk SRF sehingga akan dicari
optimasi adsorpsi terbaik supaya kation Ca2+ dapat termuat lebih banyak pada
adsorben silika hasil sintesis. Menurut Syauqiah, dkk. (2011: 14), proses
5
adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya yaitu faktor suhu.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu
pada adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika dari bagasse tebu.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pokok
permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:
1. Jenis bahan dasar yang digunakan dalam penelitian,
2. Jenis metode yang digunakan untuk mensintesis adsorben,
3. Jenis adsorbat yang akan diadsorpsi oleh adsorben silika yang berasal dari
bagasse tebu,
4. Jenis adsorben yang akan disintesis dalam penelitian,
5. Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi,
6. Variasi konsentrasi yang digunakan pada penelitian,
7. Variasi waktu adsorpsi yang digunakan dalam penelitian,
8. Perlakuan yang dilakukan dalam proses adsorpsi,
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka perlu
diberikan pembatasan masalah, yaitu:
1. Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah silika yang berasal
dari bagasse tebu yang diambil dari pedagang es tebu sekitar kampus ISI,
2. Jenis metode yang digunakan untuk mensintesis adsorben pada penelitian
ini adalah metode sol-gel,
3. Jenis adsorbat pada unsur hara yang akan diadsorpsi adalah kation Ca2+,
6
4. Jenis adsorben yang akan disintesis dalam penelitian ini adalah silika gel
dari bagasse tebu,
5. Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi 27, 32, 37, 42, 47 dan
52oC.
6. Variasi konsentrasi yang digunakan yaitu 10 dan 20 ppm.
7. Variasi waktu yang digunakan yaitu 15 dan 60 menit, dan waktu optimum
untuk proses adsorpsi adalah 15 menit.
8. Proses adsorpsi dilakukan pada pH 5, serta waktu adsorpsi yang digunakan
yaitu 15 menit.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat ditentukan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara mensintesis silika gel dari bagsse tebu?
2. Bagaimana karakter silika gel dari bagsse tebu yang telah disintesis?
3. Bagaimana pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+
oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengetahui cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu.
2. Mengetahui karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah disintesis.
3. Mengetahui pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap adsorpsi kation Ca2+
oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse tebu.
7
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagi peneliti
a. Memberikan informasi tentang cara mensintesis silika gel dari bagasse
tebu.
b. Memberikan informasi tentang karakter silika gel dari bagasse tebu
yang telah disintesis.
c. Memberikan informasi tentang pengaruh suhu dan konsentrasi terhadap
adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika yang berasal dari bagasse
tebu.
2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi
masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis dari limbah
industri pengolahan tebu menjadi gula yaitu bagasse tebu, sehingga limbah
tersebut tidak mencemari lingkungan.
3. Bagi akademisi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian
selanjutnya terkait sintesis silika dari bagasse tebu.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Tebu
Tanaman tebu tumbuh di dataran rendah. Tanaman tebu termasuk
jenis rumput-rumputan. Tebu diperkirakan berasal dari Papua dan mulai
dibudidayakan sejak 8000 SM. Tanaman ini menyebar seiring dengan migrasi
manusia. Tebu menyebar, mulai dari Papua ke Kepulauan Solomom, New
Hibride, dan Kaledonia Baru (Suwarto, dkk., 2014: 248). Tebu hanya dapat di
tanam di daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, perkebunan
menempati luas yang mencapai 375 ribu hektar pada tahun 2012 yang
tersebar di Medan, Lampung, Solo, Tegal, dan Mojokerto. Pada tahun 2012
produksi tebu Indonesia mencapai dua juta ton (Li-An’Amie dan Nugraha,
2014: 1).
Menurut Suwarto (2014: 248), berdasarkan klasifikasinya, tanaman
tebu dikelompokkan sebagai berikut,
Divisi
:
Spermatophyta
Subdivio
:
Angiospermae
Kelas
:
Monocotyledonae
Ordo
:
Graminales
Famili
:
Gramineae
Genus
:
Saccharum
Spesies
:
Saccharum officinarum L.
9
Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan spesies paling penting
dalam genus Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi dan
kandungan seratnya paling rendah (Wijayanti, 2008: 3).
Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi kurus, tidak bercabang
dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik, tinggi batangnya dapat
mencapai 3 – 5 meter atau lebih. Pada batang terdapat lapisan lilin yang
berwarna putih dan keabu-abuan. Lapisan ini banyak terdapat sewaktu batang
masih muda. Ruas-ruas batang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan
tempat duduk daun tebu. Di ketiak daun terdapat sebuah kuncup yang biasa
disebut “mata”. Bentuk ruas batang dan warna batang tebu yang bervariasi
merupakan salah satu ciri dalam pengenalan varietas tebu (Wijayanti, 2008:
3). Tanaman tebu memiliki sistem perakaran serabut. Batangnya berbentuk
silinder, beruas-ruas. Batangnya memiliki cincin yang tumbuh melingkar.
Tebu ditanam sebagai bahan baku pembuatan gula (Suwarto, 2014: 248).
Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik gula. Dalam proses
produksi gula, dari setiap tebu yang diproses, dihasilkan bagasse tebu sebesar
90%, gula yang dimanfaatkan hanya 5% dan sisanya berupa tetes tebu
(molase) dan air (Migas, 2004: 1).
2.
Bagasse Tebu
Bagasse atau ampas tebu adalah zat padat dari tebu yang diperoleh
sebagai sisa dari pengolahan tebu pada industri pengolahan gula pasir.
Bagasse mengandung air 48 – 52%, gula 3,3% dan serat 47,7% (Akhinov,
2010: 1). Berdasarkan Li-An’Amie dan Nugraha (2014: 1), ampas tebu
10
merupakan salah satu sumber serat alam terbanyak yang terdapat di
Indonesia. Selain ketersediannya yang melimpah, ampas tebu berpotensi
karena memiliki sifat yang tahan kelembapan, tahan terhadap jamur, awet dan
memiliki rasa manis. Sriatun, dkk. (2015: 35), juga menyatakan bahwa ampas
tebu (bagasse) mengandung lignoselulosa yaitu suatu komposit yang terdiri
dari selulosa (50%), hemiselulosa (25%) dan lignin (25%).
Bagasse tebu biasanya dihasilkan dari proses ekstraksi cairan tebu
yang diolah di pabrik gula. Abu Bagasse mempunyai sifat fisika antara lain
densitas 2,52 g/cm3, luas permukaan 5140 cm2/g, ukuran partikel C28,9 μm,
dan berwarna abu kemerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abu
bagasse dari limbah pabrik gula dapat diolah menjadi silika (Hanafi dan
Nandang, 2010: 37). Hal tersebut juga terbukti dengan besarnya kandungan
silikon (Si) sebesar 55,5 % yang merupakan kandungan tertinggi
dibandingkan dengan mineral-mineral lain yang berada pada bagasse
Akhinov, dkk. (2010: 1). Govindarajan dan Jayalakhsmi (2011: 549)
melaporkan bahwa pada suhu 500˚C hingga 700 ˚C abu bagasse tebu
memiliki struktur amorf sedangkan pada 1000˚C memiliki struktur kristalin.
Menurut Hanafi dan Nandang (2010: 36), pada pembakaran bagasse, semua
komponen organik diubah menjadi gas CO2 dan H2O dengan meninggalkan
abu yang merupakan komponen anorganik dengan mengikuti reaksi:
CxHyOz + O2
CO2(g) + H2O(g) + abu
Selain kandungan komponen organik, bagasse yang telah diabukan
juga mengandung oksida-oksida anorganik yaitu SiO2 71%, Al2O3 1,9%,
11
Fe2O3 7,8%, CaO 3,4%, MgO 0,3%, K2O 8,2%, P2O5 3,0% dan MnO 0,2%
(Sriatun, dkk., 2015: 35).
3. Silika
Secara umum rumus kimia silika gel adalah SiO2.xH2O. Silika gel
merupakan silika amorf yang terdiri dari globula-globula SiO4 tetrahedral
yang tersusun secara tidak teratur dan beragregasi membentuk kerangka tiga
dimensi yang lebih besar (sekitar 1-25μm). (Sriyanti, dkk., 2005: 2). Menurut
Oscik (1982: 188), struktur satuan mineral silika gel pada dasarnya
mengandung kation Si4+ yang terkoordinasi secara tetrahedral dengan anion
O2-. Namun demikian, susunan tetrahedral SiO4 pada silika gel tidak
beraturan. Struktur kimia dari silika gel dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur silika gel
Di alam senyawa silika ditemukan dalam beberapa bahan alam
seperti pasir, kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika sebagai senyawa yang
terdapat di alam berstruktur kristalin, sedangkan sebagai senyawa sintetis
adalah amorf (Sulastri dan Kristianingrum, 2010: 211). Silika gel merupakan
salah satu padatan anorganik yang dapat digunakan untuk keperluan adsorpsi
12
karena memiliki gugus silanol (≡Si-OH) dan gugus siloksan (≡Si-O-Si≡)
yang merupakan sisi aktif pada permukaannya. Menurut Sulastri dan
Kristianingrum (2010: 212), gugus siloksan ada dua macam yaitu Si-O-Si
rantai lurus dan gugus siloksan yang membentuk struktur lingkar dengan
empat anggota. Jenis pertama tidak reaktif dengan pereaksi pada umumnya,
tetapi sangat reaktif terhadap senyawa logam alkali. Jenis gugus siloksan
yang membentuk lingkar dengan empat anggota mempunyai reaktivitas yang
tinggi, dapat mengadakan kemisorpsi dengan air, amoniak dan metanol.
Reaksi dengan air akan menghasilkan dua gugus Si-OH, reaksi dengan
amoniak akan menghasilkan gugus Si-NH2 dan silanol, sedangkan reaksi
dengan metanol akan menghasilkan gugus silanol dan Si-O-CH3. Disamping
itu silika gel mempunyai pori-pori yang luas, berbagai ukuran partikel
dan area permukaan yang khas (Kristianingrum, 2011: 282).
Selain itu, silika gel memiliki karakteristik yang unik, yaitu porositas
tinggi (80-90%), densitas rendah (0,003-0,35 gram/cm3), konduktivitas
termal rendah (<0,005 W/mK), indeks bias rendah (~1.05) dan luas
permukaan yang tinggi (500-1600 m2/gram). Silika mampu untuk mengikat
sorbat melalui proses penyerapan (adsorpsi), silika juga memiliki kemampuan
melepaskan kembali sorbat yang diikatnya. Silika gel dapat digunakan
sebagai adsorben. Hal ini dikarenakan silika gel mudah di produksi, sangat
inert, hidrofilik, mempunyai kestabilan termal dan mekanik yang tinggi, serta
relatif tidak mengembang dalam pelarut organik jika dibandingkan dengan
padatan resin polimer organik (Sulastri, 2009: 367). Menurut Sriyanti, dkk.
13
(2005: 2), silika gel memiliki kelebihan sifat, yaitu memiliki kestabilan tinggi
terhadap pengaruh mekanik, temperatur, dan kondisi keasaman. Kelebihan
sifat silika gel ini menyebabkan silika gel banyak digunakan sebagai
adsorben, material pendukung katalis, dan lain-lain. Sebagai adsorben silika
gel memiliki kelemahan yaitu, rendahnya efektivitas adsorpsi silika terhadap
ion logam, ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan oksigen (silanol dan
siloksan) sebagai donor pasangan elektron, yang berakibat lemahnya ikatan
ion logam pada permukaan silika. (Buhani dan Sunarso, 2010: 177)
Sifat silika gel ditentukan oleh orientasi dari ujung tempat gugus
hidroksil berkombinasi. Oleh karena ketidak-teraturan susunan permukaan
SiO4 tetrahedral, maka jumlah distribusinya per unit area bukan menjadi
ukuran kemampuan adsorpsi silika gel, meskipun gugus silanol dan siloksan
terdapat pada permukaan silika gel. Kemampuan adsorpsi ternyata tidak
sebanding dengan jumlah gugus silanol dan gugus siloksan yang ada pada
permukaan silika gel, tetapi tergantung pada distribusi gugus OH per unit area
adsorben (Oscik, 1982; 188)
4. Metode Sol-Gel
Proses sol-gel yaitu penambahan bahan yang diimobilkan dilakukan
pada saat matriks berbentuk sol, kemudian menuju ke arah pembentukan
padatan (gel). Metode ini relatif mudah dilakukan, tidak memerlukan waktu
yang lama dan interaksi antara padatan dan bahan yang diimobilkan relatif
kuat (Sriyanti, dkk., 2005: 2). Proses sol-gel adalah pelarutan pada temperatur
rendah yang merupakan dasar pada sintesis gelas tidak membutuhkan
14
temperatur tinggi karena dapat dilakukan pada temperatur yang rendah,
seperti proses dasar pada sintesis gelas. Pembentukan matriks silika diperoleh
melalui hidrolisis pada suatu alkoksi yang diikuti dengan jembatan okso.
Hidrolisis menghasilkan konversi ikatan Si-OR ke Si-OH yang memadat
membentuk suatu polimer berjembatan okso Si-O-Si. Reaksi yang terjadi
dalam daerah yang terlokalisasi menuju pembentukan partikel sol. Material
yang kental kemudian mengeras membentuk suatu gel yang porous (Brinker
dan Scherer, 1990: 6). Saat ini metode sol-gel banyak dikembangkan. Teknik
sol-gel banyak dimanfaatkan untuk proses sintesis material, terutama
memperlihatkan kemampuan, versatilitas, kemurnian, homogenitas, dan
modifikasi sifat material dengan mengubah parameter sintesisnya (Zawrah et
al, 2009: 129).
Menurut Rahman dan Padavettan (2012: 2), proses sol-gel banyak
digunakan untuk menghasilkan silika, kaca, dan bahan keramik karena
mempunyai kemampuan membentuk produk yang murni dan homogenitas
yang tinggi. Metode sol-gel memiliki beberapa keunggulan diantaranya yaitu,
relatif mudah dilakukan, tidak memerlukan waktu yang lama serta interaksi
antara padatan dan bahan yang diimobilkan relatif kuat (Sriyanti dkk., 2005:
2). Selain itu menurut Buhani dan Suharso (2009: 178), keunggulan lain dari
metode sol-gel yaitu dapat dipreparasi pada temperatur rendah, bercampur
dengan baik pada sistem multi-komponen, homogen, memiliki kemurnian
tinggi, serta ukuran, bentuk dan sifat partikel dapat dikontrol, dapat dibuat
15
material hibrida-organik serta dapat digunakan untuk meningkatkan
selektivitas dalam kromatografi.
Proses sol-gel dimulai dengan pengasamkan larutan natrium silikat
hingga terbentuk gel karena silika memiliki kelarutan yang tinggi, yaitu pada
pH lebih dari 10 (Scott, 1993). Pengasaman natrium silikat dapat dilakukan
dengan menggunakan asam klorida. Menurut Sriyanti (2005: 3), pengasaman
natrium silikat dengan HCl menyebabkan pembentukan gel yang sangat
cepat, hal ini terjadi di sekitar pH 9-7. Penambahan HCl terus menerus akan
menyebabkan gel melarut kembali. Penambahan asam klorida pada larutan
natrium silikat mengakibatkan terjadinya penurunan pH dan meningkatkan
konsentrasi H+ dalam Na2SiO3. Silikat akan berubah menjadi asam silikat dan
terjadi proses polimerisasi dan kondensasi hingga terbentuk gel silika.
5. Adsorpsi
Proses sorpsi terdiri dari adsorpsi dan desorpsi. Adsorpsi merupakan
suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang
terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul
pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam, sedangkan proses
pemindahan molekul dari permukaan disebut desorpsi. Adsorpsi dapat terjadi
pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair (Tandy, E., dkk., 2012: 3435).
Metode adsorpsi umumnya berdasarkan adanya interaksi antara ion
logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui
pembentukan kompleks. Proses pembentukan kompleks ini terjadi pada
16
permukaan padatan yang mempunyai gugus fungsional yang mengandung
atom donor oksigen, nitrogen, fosfor dan belerang seperti –OH, -NH2, -SH, –
COOH, fosforil dan sebagainya (Jal. P.K, dkk., 2004: 1006). Adsorpsi
merupakan proses akumulasi substansi adsorbat pada permukaan adsorben
yang disebakan oleh gaya tarik antar molekul atau interaksi kimia atau suatu
akibat dari medan gaya pada permukaan padatan (adsorben) yang menarik
molekul-molekul gas/uap atau cairan (Oscik, 1982: 191). Dalam adsorpsi
digunakan istilah adsorbat dan adsorben, dimana adsorbat adalah substansi
yang terjerap atau substansi yang akan dipisahkan dari pelarutnya, sedangkan
adsorben merupakan suatu media penyerap. Daya adsorpsi merupakan ukuran
kemampuan suatu adsorben untuk menarik sejumlah adsorbat (Syauqiah,
dkk., 2011: 12). Adsorben merupakan bahan yang sangat berpori, dan
adsorpsi berlangsung terutama pada dinding-dinding pori atau pada letakletak tertentu di dalam partikel itu (Tandy, E., dkk., 2012: 35). Kebanyakan
adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi adalah alumina, karbon aktif,
silika gel, dan zeolit (Nurhasni, dkk., 2014: 131). Adsorben silika di dalam air
membentuk silanol (SiOH), yang memiliki gugus fungsional aktif –OH. Dari
berbagai pendapat tentang mekanisme reaksi, protonasi dan deprotonasi
gugus aktif –OH silanol diusulkan oleh beberapa peneliti sebagai suatu reaksi
dasar yang terjadi pada permukaan logam oksida seperti silika. (Ikhsan, dkk.,
2015: 11).
Menurut Syauqiah, dkk. (2011: 13-14), secara umum faktor-faktor
yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah sebagai berikut:
17
a. Luas permukaan
Semakin luas permukaan adsorben, maka makin banyak zat yang
teradsorpsi. Luas permukaan adsorben ditentukan oleh ukuran partikel dan
jumlah dari adsorben.
b. Jenis adsorbat
Peningkatan polarisabilitas adsorbat akan meningkatkan kemampuan adsorpsi molekul yang mempunyai polarisabilitas yang tinggi (polar)
memiliki kemampuan tarik menarik terhadap molekul lain dibandingkan
molekul yang tidak dapat membentuk dipol (non polar); Peningkatan berat
molekul adsorbat dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi. Adsorbat dengan
rantai yang bercabang biasanya lebih mudah diadsorbsi dibandingkan rantai
yang lurus.
c. Struktur molekul adsorbat
Hidroksil dan amino mengakibatkan berkurangnya kemampuan
penyisihan, sedangakan Nitrogen meningkatkan kemampuan penyisihan.
d. Konsentrasi Adsorbat
Semakin besar konsentrasi adsorbat dalam larutan maka semakin
banyak jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben,
dikarenakan konsentrasi adsorbat yang tinggi dapat menghasilkan daya
dorong yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk ke dalam situs aktif
adsorben (Altaher dan Elqada, 2011: 1117). Handayani dan Sulistiyono
(2009: 131), juga menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi larutan,
semakin banyak jumlah zat terlarut yang dapat diadsorbsi sehingga tercapai
18
keseimbangan tertentu, dimana laju zat yang diserap sama dengan zat yang
dilepas dari adsorben pada suhu tertentu.
e. Temperatur
Suhu sangat mempengaruhi proses adsorpsi, ion akan semakin
banyak teradsorpsi seiring dengan menurunnya suhu (Kundari dan Wiyuniati
2008: 493) .
f. pH
pH larutan mempengaruhi kelarutan ion logam, aktivitas gugus
fungsi pada biosorben dan kompetisi ion logam dalam proses adsorpsi.
Semakin rendah pH maka semakin besar daya adsorpsi (Altaher dan Elqada,
2011). pH dapat berpengaruh signifikan pada adsorpsi kation karena pH
memengaruhi sifat hidrolisis masing-masing kation (Ikhsan, dkk., 2015: 11).
g. Kecepatan pengadukan
Menentukan kecepatan waktu kontak adsorben dan adsorbat. Bila
pengadukan terlalu lambat maka proses adsorpsi berlangsung lambat pula,
tetapi bila pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur adsorben cepat
rusak, sehingga proses adsorpsi kurang optimal.
h. Waktu Kontak
Penentuan waktu kontak yang menghasilkan kapasitas adsorpsi
maksimum terjadi pada waktu kesetimbangan.
i. Waktu kesetimbangan dipengaruhi oleh:
1) tipe biomasa (jumlah dan jenis ruang pengikatan),
2) ukuran dan fisiologi biomasa (aktif atau tidak aktif),
19
3) ion yang terlibat dalam sistem biosorpsi
4) konsentrasi ion logam.
Porositas adsorben juga mempengaruhi daya adsorbsi dari suatu
adsorben. Adsorben dengan porositas yang besar mempunyai kemampuan
menyerap yang lebih tinggi dibandingkan dengan adsorben yang memiliki
porositas kecil. Untuk meningkatkan porositas dapat dilakukan dengan
mengaktivasi secara fisika seperti mengalirkan uap air panas ke dalam
poripori adsorben atau mengaktivasi secara kimia. (Syauqiah, dkk., 2011: 14)
Molekul dan atom dapat menempel pada permukaan dengan dua
cara. Dalam fisisorpsi (adsorpsi fisika) terdapat antaraksi van der Waals
(contohnya, dispersi atau antaraksi dipolar) antara adsorbat dan substrat.
Antaraksi van der Waals mempunyai jarak jauh, tetapi lemah, dan energi
yang dilepaskan jika partikel terfisisorpsi mempunyai orde besaran yang
sama dengan entalpi kondensasi. Entalpi fisisorpsi dapat diukur dengan
mencatat kenaikan temperatur sampel dengan kapasitas kalor yang diketahui,
dan nilai khasnya berada sekitar -20 kJ mol-1. Sedangkan dalam kemisorpsi
(adsorpsi kimia) partikel melekat pada permukaan dengan membentuk ikatan
kimia (biasanya ikatan kovalen). Entalpi kemisorpsi jauh lebih besar
daripada entalpi fisisorpsi, dan nilai khasnya adalah sekitar -200 kJ mol-1
(Atkins, 1999: 437-438). Menurut Hartati, dkk. (2011: 26) perbedaan
fisisorpsi dan kemisorpsi ditampilkan dalam Tabel 1.
20
Tabel 1. Perbedaan antara fisisorpsi dan kemisorpsi
Adsorpsi fisika
Melibatkan gaya van der Waals
antara adsorben dan adsorbat
Adsorpsi kimia
Melibatkan pembentukan ikatan
kimia antara adsorben dan
adsorbat
Entalpi adsorpsi rendah (sekitar 5 Entalpi adsorpsi tinggi (20kkal/mol)
100kkal/mol)
Dapat membentuk lapisan multi
molekul
Terbentuk monolayer
Reversible
Irreversible
Fenomena umum, muncul dalam
sistem padat/cair atau padat gas
Proses yang sangat spesifik, lebih
Energi ikat umumnya berkisar
antara 10-100 meV
Energi ikat umumnya berkisar
antara 1-10 meV
Tidak melibatkan energi aktivasi
Melibatkan energi aktivasi
spesifik dari pada adsorpsi fisika
Kesetimbangan dapat dicapai pada Butuh waktu yang lebih lama
waktu yang singkat
untuk mencapai kesetimbangan
6. Unsur Hara Tanaman
Tanaman menyerap seluruh unsur hara dalam bentuk kation atau
anion yang terlarut dalam air tanah. Didalam tanah unsur hara akan terserap
masuk ke dalam tanaman dengan mekanisme tukar kation dan anion.
Kebutuhan unsur hara tanaman membutuhkan pupuk kimia yang pada
umumnya bersifat cepat tersedia (quick release) bagi tanaman, sehingga
cepat habis digunakan atau tercuci oleh air. Ada juga pupuk yang bersifat
lambat terurai (slow release) sehingga dapat bertahan lama dalam tanah.
(Kurnia, -
: 39)
21
Unsur hara merupakan ion atau molekul tertentu yang diserap oleh
tanaman Unsur hara dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur hara makro dan
unsur hara mikro. Unsur hara makro adalah nsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman dalam jumlah banyak. Unsur hara mikro adalah unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Unsur hara makro:
Nitrogen(N), fosfor(P), kalium(K), kalsium(Ca), Magnesium (Mg), dan
Sulfur (S). Unsur hara mikro: Mangan (Mn), Seng (Zn), Besi (Fe), Silisium
(Si), Natrium (Na), Kobalt (Co), Molibdenum, khlor, Kuningan (Sutedjo dan
Kartasapoetra, 1988: 85).
7. Unsur Makro Kation Ca2+
Kalsium merupakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk
pertumbuhan meristem, terutama pertumbuhan yang tepat dan fungsi ujung
akar (Winangun, 2005: 75). Kalsium juga berperan dalam proses pembelahan
dan perpanjangan sel, serta mengatur distribusi hasil fotosintesis. Kalsium
didistribusikan oleh air ke dalam jaringan tanaman. Meski kalsium rata-rata
tersedia dalam jumlah yang cukup dalam media namun, jika tidak berada
dalam wilayah jangkauan akar maka tanaman tetap mengalami kekurangan
kalsium (Arwida, 2008: 40).
Unsur kalsium diperlukan oleh tanaman dalam jumlah relatif banyak
dan diserap dalam bentuk ion Ca2+. Kekurangan kalsium bisa menghambat
pertumbuhan tunas baru. Jika terjadi pada masa awal pembungaan bisa
menyebabkan gugurnya kuncup bunga. Namun untuk kekurangan kalsium
ringan biasanya ditandai oleh daun yang keriting dan munculnya warna putih
22
pada tepian daun muda yang disebabkan oleh menurunnya kadar klorofil.
Sedangkan kekurangan kalsium yang parah bisa menyebabkan kerusakan dan
kematian akar. Disamping kekurangan kalsium, kelebihan kalsium juga
menyebabkan dampak negatif bagi tanaman, diantaranya yaitu menyebabkan
pertumbuhan terhamat dan mengganggu penyerapan magnesium dan kalium
(Arwida, 2008: 40). Menurut Winangun (2005: 75), kekurangan kalsium
banyak terjadi di tanah yang sangat asam. Kekurangan kalsium dapat
menghambat pembentukan akar baru, daun, dan bagian tanaman yang lain.
Kekurangan unsur hara kalsium menyebabkan tanaman menjadi kerdil,
pertambahan panjang yang lambat, dan pertamahan tepi daun terhambat
sehingga daun menggulung.
Vogel (1990: 300) menyatakan bahwa, kalsium menguraikan air
dengan membentuk kalsium hidroksida dan hidrogen. Garam – garamnya
biasanya berupa bubuk putih dan membentuk larutan yang tak berwarna,
kecuali bila anionnya berwarna. Dalam suasana basa, ion kalsium dalam air
dapat bereaksi dengan CO2 menghasilkan CaCO3 yang dapat mengendap,
sesuai reaksi berikut
CO2 (g) + Ca2+ (aq) + 2 OH- (aq) → CaCO3 (s) + H2O (l)
(Vogel, 1990: 317)
23
Tabel 2. Sifat Kalsium
1 Hidrolisis
2 Jari-Jari
Sifat
Kalsium
Mn+ + H2O ↔[M(OH)](n+1)+(n-1)H+
(Log K=1,3)
Mn+ + 2H2O ↔ M(OH)2 + 2H+
(Log K=1,3x10-6)
Atom
1,97 Å
Ion
1,00 Å
Terhidrat
4,12 Å
3 Elektronegatifitas
1,0
(Ikhsan, dkk., 2015: 15)
8. Pengaruh Suhu pada Adsorpsi
Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu
benda. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sering kali hanya
menggunakan indra peraba untuk mengukur suhu, namun dengan
perkembangan teknologi sebuah alat yang disebut thermometer dipercaya
dapat mengukur suhu dengan lebih valid, sehingga baik suhu tubuh manusia,
suhu pada benda maupun suhu larutan diukur dengan menggunakan
thermometer (Kristanto dan Riandari, 2013: 23).
Adsorpsi merupakan proses kinetika, maka pengaturan suhu akan
mempengaruhi kecepatan proses adsorpsi sehingga juga akan mempengaruhi
daya adsorpsi. Reaksi yang terjadi pada proses adsorpsi adalah reaksi
eksoterm karena pada saat molekul-molekul adsorbat menempel pada
permukaan adsorben terjadi pembebasan sejumlah energi, maka dari itu
adsorpsi akan berkurang pada temperatur lebih tinggi dan sebaliknya tingkat
24
adsorpsi umumnya meningkat seiring dengan menurunnya suhu. (Nurhasni,
dkk., 2014: 133).
Menurut Kundari dan Wiyuniati (2008: 493), semakin tinggi suhu
maka semakin sedikit ion yang terjerap oleh adsorben.
9. Difraksi Sinar X (XRD)
Radiasi sinar-x dihasilkan saat elektron penembak yang bergerak
dipercepat, akibat beda tegangan (potensial) anoda yang tinggi, menumbuk
permukaan suatu bahan padat (logam). Semakin cepat gerak elektron,
semakin besar sinar-x yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah elektron,
semakin besar intensitas sinar x. Salah satu analisis untuk material kimia
yaitu difraksi sinar X (Budi, 2011: 35). Berdasarkan Budi (2011: 35-36), jika
sebuah elektron bebas bergerak dipercepat, mampu menerobos suatu atom
hingga menumbuk elektron pada kulit terdalam keluar. Karena adanya
kekosongan pada kulit terdalam, maka untuk mempertahankan keadaan stabil,
elektron terluar akan mengisi kekosongan pada kulit atom terdalam dengan
memancarkan gelombang sinar-x seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
25
(a) Sebuah elektron penembak menumbuk elektron atom pada kulit
terdalam hingga keluar;
(b) elektron atom kulit terluar mengisi kekosongan dengan
memancarkan sinar-x.
Gambar 2.2. Diagram sinar x datang dan terdifraksi oleh atom-atom kristal
Difraksi sinar X (X-Ray Diffraction), atau yang sering dikenal
dengan XRD, merupakan instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengetahui karakteristik suatu material. Dari proses difraksi sinar x
tersebut dapat mengidentifikasi struktur, ukuran butir, unsur dan parameter
kisi suatu kristal. Seiring dengan perkembangan teknologi, difraksi sinar x
sendiri dapat dilakukan dengan beberapa alat yang berbeda diantaranya X-Ray
Diffraction dan X-Ray Physics Basic Unit (Wahyuni dan Hastuti, 2010: 3233). Metode analisis X- Ray Diffraction (XRD) didasarkan pada pengukuran
transmisi dan difraksi dari sinar X yang dilewatkan pada sampel padat yang
kemudian dapat menentukan system kristal, kualitas kristal, dan identifikasi
campuran dan analisis kimia (Tutu, dkk., 2015: 193).
Sinar-x memiliki daya tembus yang cukup besar dan panjang
gelombangnya berorde 10-10 m yang bersesuaian dengan ukuran kisi kristal.
Karena itu sinar-x dapat digunakan untuk menganalisis struktur kristal bahan
26
padatan melalui peristiwa difraksi. Peristiwa difraksi sinar x pada kristal
padatan dinyatakan dengan persamaan Bragg:
λ = 2dsinθ
dengan λ = panjang gelombang radiasi sinar-X, d = jarak antar bidang dalam
kristal dan θ = sudut difraksi (Budi, 2011: 35). Persamaan diatas
menjunjukkan bahwa sistem kerja difraktometer sinar-X didasarkan pada
hukum Bragg yang menjelaskan tentang pola, intesitas dan sudut difraksi (θ)
yang berbeda-beda pada tiap bahan. Interferensi berupa puncak-puncak
sebagai hasil difraksi, terjadi interaksi antara sinar-X dengan atom-atom pada
bidang kristal (Cullity, 1978: 8).
Sinar X dihasilkan ketika tegangan tinggi dikenai terhadap dua
elektron. Ketika elektron mempunyai energi yang cukup dan kecepatan yang
tinggi, maka elektron tersebut akan keluar dari katoda dan menumbuk
elektron materi pada anoda. Elektron tersebut kemudian melambat dan
kehilangan energinya. Ketika elektron kehilangan energinya, terbentuklah
sinar X kontinyu dengan beberapa panjang gelombang (Waseda dkk., 2011:
6) Berdasarkan hasil experimen Hariharan dan Sivakumar (2013: 1264-1265),
pita lebar yang kuat berpusat pada 22°(2θ) menunjukkan silika amorf yang
ditunjukan oleh Gambar 3.
27
Gambar 3. Difraktogram XRD silika gel dari bagasse tebu
10. Spktroskopi FTIR
FT-IR merupakan salah satu metode spektroskopi yang sangat
populer, yaitu metode dengan menggunakan spektroskopi inframerah yang
dilengkapi
dengan
transformasi
fourier
untuk
menganalisis
hasil
spektrumnya. Metode spektroskopi yang digunakan adalah metode absorpsi,
yaitu metode spektroskopi yang didasarkan atas perbedaan penyerapan radiasi
inframerah. Absorbsi inframerah oleh suatu materi dapat terjadi jika dipenuhi
dua syarat, yaitu kesesuaian antara frekuensi radiasi inframerah dengan
frekuensi vibrasional molekul sampel dan perubahan momen dipol selama
bervibrasi (Anam, dkk., 2007: 79-80). Spektroskopi inframerah berguna
untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya yang sangat
kompleks yang terdiri dari banyak puncak-puncak. Jika sinar inframerah
dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah
frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa
diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur elektronik dari
28
molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan
energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi (Suseno dan Firdausi, 2008:
23).
Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam,
setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi
ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana
sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut. Energi ulur (stretch)
suatu ikatan lebih besar daripada energi tekuk (bend) sehingga serapan ulur
suatu ikatan muncul pada frekuensi lebih tinggi dalam spektrum inframerah
daripada serapan tekuk dari ikatan yang sama. Frekuensi vibrasi suatu ikatan
dapat dihitung dengan persamaan hukum Hooke, yaitu
]1/2
v=
dimana v adalah frekuensi spasial (cm-1), c kecepatan cahaya dalam ruang
hampa, f tetapan gaya ikatan, m1 dan m2 masing-masing massa dari atom 1
dan atom 2 yang saling berikatan (Suseno dan Firdausi, 2008: 24).
Fourier Transform Infrared (FTIR) merupakan metode bebas
reagen, tanpa penggunaan radioaktif dan dapat mengukur kadar hormon
secara kualitatif dan kuantitatif. Prinsip kerja FTIR adalah mengenali gugus
fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap
senyawa tersebut. Pola absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap senyawa
berbeda-beda,
sehingga
senyawa-senyawa
dikuantifikasikan (Sankari, 2010: 42).
29
dapat
dibedakan
dan
Berikut adalah skema alat spektroskopi FTIR ditunjukkan oleh
Gambar 4.
Gambar 4. Skema Alat Spektroskopi FTIR (Nicolet, 2001: 6)
Daerah inframerah dibagi menjadi tiga daerah yakni derah
inframerah jauh pada daerah bilangan gelombang <400 cm-1, daerah
inframerah tengah pada daerah bilangan gelombang 4000-400 cm-1 dan
daerah inframerah dekat pada bilangan gelombang 13000-4000 cm-1. Banyak
aplikasi inframerah bekerja pada daerah tengah (Stuart, 2004: 24). Serapan
karakteristik senyawa-senyawa karbon-silikon ditunjukan pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Serapan karakteristik senyawa-senyawa organo-silikon
Gugus Fungsional
Frekuensi (cm-1)
Panjang Gelombang (µm)
Si-H
2230-2150
4,48-4,65
890-860
11,24-11,63
3390-3200
2,95-3,13
870-820
11,49-12,20
Si-O
1110-100
9,01-10,00
SO-O-Si (disiloksan)
1053
9,50
Si-O-Si (linier)
1080
9,26
1025
9,76
Si-O-Si (trimersiklis)
1020
9,80
Si-O-Si (tetramersiklis)
1082
9,42
Si-OCH3
1090-1050
9,18-9,52
Si-OC2H5
1090
9,18
Si-C
890-690
11,24-14,49
Si-CH3
1260
7,93
820-800
12,21-12,50
1260
7,93
840
11,90
1632
6,13
1428
7,00
1125
8,89
Si-OH
Si(CH3)2
Si-C6H5
(Sastrohamidjojo, 1992: 102)
11. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) merupakan perangkat untuk
analisis zat pada kosentrasi rendah. Prinsip metode AAS adalah absorpsi
31
cahaya oleh atom, yang atom-atom tersebut menyerap cahaya pada panjang
gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya (Khopkar, 1990: 288).
Kelebihan analisis unsur dengan SSA antara lain analisis dapat dilakukan
dengan cepat, ketelitian tinggi sampai tingkat runut (kemungkinan untuk
menentukan kosentrasi semua unsur pada kosentrasi runut), dan tidak
memerlukan pemisahan (penentuan suatu unsur dapat dilakukan dengan
kehadiran unsur lain, asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia)
(Khopkar, 1990: 296). Penentuan kosentrasi unsur logam dalam sampel dapat
dilakukan antara absorbansi terhadap kosentrasi larutan standar. Hal ini sesuai
dengan Hulum Lambert-Beer
A=ϵ.b.c
Keterangan:
A = absorbansi
b = tebal larutan (tebal kuvet diperhitungkan juga umumnya 1 cm)
c = konsentrasi larutan yang diukur
ε = tetapan absorptivitas molar (jika konsentrasi larutan yang diukur dalam
molar).
Hukum
Lambert-Beer
dapat
digunakan
jika
sumbernya
adalah
monokromatis. Pada AAS diperlukan sumber radiasi yang mengemisikan
sinar pada pada panjang gelombang yang tepat sama pada proses absorpsinya
dan itu adalah lampu hallow cathode (Khopkar, 1990: 290).
32
Cara kerja spektrofotometri serapan atom adalah berdasarkan atas
penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya
diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorpsi radiasi dari sumber
cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang
mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi
kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya
(Winarna, dkk,. 2015: 38)
Menurut Sari (2010: 9), pada sistem instrumentasi spektrophotometer
serapan atom dikenal dua jenis sistem optik yaitu berkas tunggal dan berkas
ganda, namun yang banyak digunakan dalam spektrophotometer serapan
atom modern adalah jenis berkas ganda. Instrumen spektrofotometri serapan
atom ditunjukkan oleh Gambar 5.
Gambar 5. Instrumen Spektrofotometri Serapan Atom
(Anggraeni, 2015: 8)
Komponen utama pada instrumentasi metode SSA adalah sumber
cahaya, monokromator, gas dan alat pembakar, kuvet dan detektor.
33
a. Sumber cahaya
Sumber cahaya berupa lampu yang dapat memancarkan energi yang
cukup. Ada jenis lampu yang dapat memancarkan spektrum kontinyu
sebaliknya ada lampu yang dapat memancarkan spektrum garis. Pada metode
SSA dipergunakan jenis lampu katoda dengan spektrum garis. Lampu katoda
terdiri atas sebuah katoda berongga berbentuk tabung dan berhadapan
dengan anoda dari kawat wolfram, keduanya terbungkus dengan bahan gelas.
Lampu ini diisi dangan gas mulia seperti argon, neon, helium atau krypton
sampai tekanan maksimal 1 cmHg. Pada anoda dan katoda dipasang
tegangan sebesar kira-kira 300 V dan melalui katoda dialirkan arus sebesar
10 mA. Akibatnya, katoda menjadi berpijar dan mengakibatkan penguapan
atom logam yang elektron-elektronnya mengalami eksitasi dalam rongga
katoda. Lampu ini akan memancarkan emisi spektrum yang khas untuk
logam bahan penyusun katoda.
b. Monokromator
Monokromator merupakan suatu alat yang diletakkan diantara nyala
dan detektor pada suatu rangkaian instrumentasi SSA. Monokromator terdiri
atas sistem optik yaitu celah, cermin dan kisi.
c. Gas dan alat pembakar
Gas dan alat pembakar pada metode SSA dikenal dua jenis yaitu:
34
1) Gas pembakar yang bersifat oksidasi misalnya udara (O2) atau campuran
O2 dan N2O.
2) Gas pembakar yang bersifat bahan bakar adalah gas alam, propane,
butane, asetilen dan H2. Gas pembakar dapat pula berupa campuran udara
dengan propane, udara dengan asetilen (terbanyak dipakai) dan N2O dengan
asetilen.
d. Kuvet
Kuvet merupakan suatu tempat untuk nyala api dan atom-atom yang
ada didalamnya, seolah-olah berfungsi sebagai kuvet.
e. Detektor
Detektor berfungsi sebagai mengukur radiasi yang ditransmisikan
oleh sampel dan mengukur intensitas radiasi tersebut dalam bentuk energi
listrik. Syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah detektor adalah memiliki
respon yang linear terhadap energi sinar dalam kawasan spektrum yang
bersangkutan. Pada SSA detektor yang lazim dipakai adalah Detektor
Tabung Pengadaan Foton atau Photon Multiplier Tube Detector (PMTD)
(Sari, 2010: 10-12).
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang telah dilakukan oleh Samsudin Affandi, dkk. (2009)
berjudul “A facile method for production of high-purity silica xerogels from
bagasse ash” berhasil mensintesis silika xerogel dari abu bagasse tebu yang
35
memiliki luas permukaan sebesar 69-152 m2 g-1, volume pori sebesar 0,0590,137 cm3 g-1 dan diameter pori sebesar 32-34 Å atau 3,2-3,4 nm.
Berdasarkan Sulastri (2013), dalam penelitiannya menggunkana
spektrofotometer FTIR yang berjudul “Sintesis dari Abu Sekam Padi Melalui
Proses Sol Gel sebagai Penukar Kation Logam Berat dalam Larutan”
menyebutkan bahwa adanya puncak serapan gugus fungsi silanol (≡Si-OH)
dan siloksan (=Si-O-Si=).
Kristianingrum, dkk. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Jenis Asam pada Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse dan Uji
Sifat Adsorptifnya Terhadap Ion Logam Tembaga (II)” menyebutkan bahwa
silika gel hasil sintesis dengan asam klorida, asam sulfat, asam asetat, dan
asam sitrat 3M mempunyai nilai keasaman berturut-turut sebesar 8,320;
6,554; 6,836 dan 7,574 mmol/g. Kadar air masing-masing 12,880; 15,118;
11,085 dan 17,423%. Hasil karakterisasi dengan spektroskopi infra merah
menunjukkan bahwa silika gel hasil sintesis mempunyai kemiripan dengan
kiesel gel 60 G dan memiliki struktur amorf.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah ada tersebut, pada
penelitian ini akan dilakukan sintesis silika gel dari bagasse tebu dengan
menggunakan metode sol gel. Silika gel yang diperoleh digunakan untuk
adsorpsi kation Ca2+ pada berbagai variasi suhu. Sintesis ini diharapkan dapat
mengetahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+.
36
C. Kerangka Berpikir
Penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan siika yang terkandung
dalam bagasse tebu karena hingga saat ini bagasse tebu belum dimanfaatkan
dengan baik, hanya digunakan sebagai bahan bakar boiler dalam pabrik, sebagai
bahan penunjang proses produksi maupun sebagai produk akhir, dan juga
sebagai makanan ternak, namun pemanfaatan tersebut masih belum dapat
mengatasi ketersediaan bagasse yang sangat meruah. Untuk itu perlu adanya
pemanfaatan bagasse menjadi hasil yang lebih bermanfaat dan bernilai jual
tinggi.
Berdasarkan penelitian Akhinov, dkk. (2010: 1) dengan menggunakan
XRF diketahui bahwa didalam bagasse tebu kandungan (Si) sangat tinggi yaitu
mencapai 55,5%. Oleh karena itu abu dari bagasse sangat berpotensi digunakan
sebagai bahan baku dalam pembuatan silika gel untuk kepentingan adsorpsi.
Silika gel memiliki kemampuan mengikat yang tinggi karena memiliki gugus
silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si) yang merupakan sisi aktif permukaannya
sehingga baik untuk digunakan sebagai penjerap pada proses adsorpsi, di
samping itu silika gel juga dapat melepaskan unsur hara yang lambat sehingga
dapat diaplikasikan melalui prinsip pupuk slow release fertilizer (SRF) (Ikhsan
dkk., 2015).
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan silika gel dari abu bagasse
dengan menggunakan metode sol-gel. Hasil sintesis silika gel dikarakterisasi
dengan menggunakan spektroskopi FTIR dan XRD. Silika gel yang telah
disintesis digunakan sebagai adsorben pada proses adsorpsi kation Ca2+ dalam
37
larutan pada berbagai variasi suhu. Berdasarkan proses adsorpsi ini akan
diketahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika dari
bagasse tebu. Dimana suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
adsorpsi. Menurut Nurhasni, dkk. (2014: 133), tingkat adsorpsi akan meningkat
seiring dengan menurunnya suhu.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah adsorben silika gel dari bagasse tebu.
2. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini adalah pengaruh suhu pada adsorpsi kation
Ca2+ oleh silika dari bagasse tebu.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variasi suhu yang digunakan selama proses adsorpsi adalah 27oC,
32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC.
2. Variabel Kontrol
Variabel kendali dalam penelitian ini adalah tekanan yang digunakan
selama proses adsorpsi yakni 1 atm, pH yang digunakan yaitu 5 serta
waktu adsorpsi yang digunakan yaitu 15 menit.
3. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah kation Ca2+ yang
terikat oleh silika dari bagasse tebu.
39
C. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Spektrofotometer Serapan Atom Shimadzu AA-7000
b. Spektrofotometer FTIR Thermo Nicolet Avatar 360
c. Difraktometer Sinar X Rigaku Miniflex 600
d. Oven
e. Neraca massa
f. Crush
g. pH indikator universal
h. Thermometer
i. Magnetic stirrer dan pemanas
j. Muffle furnace
k. Ayakan 200 mesh
l. Perangkat penyaring Buchner
m. Teflon
n. Alat centrifuge
o. Alat-alat gelas: tabung reaksi, gelas ukur, Erlenmeyer, pipet
volum, beker glass, labu ukur, pipet tetes, kaca arloji,
spatula dll.
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a) Bagasse tebu
b) HCl dan NaOH untuk pemisahan silika
40
c) Aquadest
d) Larutan HCl dan NaOH untuk penyesuaian pH
e) Ca (NO3)2.4H2O sebagai sumber Ca2+
f) Air demineralisata
g) Kertas saring
h) Indikator pH
D. Prosedur Kerja
Propsedur kerja dari penelitian ini mengadopsi dari jurnal penelitian
yang telah dilakukan oleh Jaslin Ikhsan (2015)
1. Preparasi Sampel Bagasse tebu
1) Sampel bagasse tebu dikeringkan dan dibersihkan.
2) Sampel bagasse tebu dibakar dan ditumbuk sampai halus.
3) Sampel dikalsinasi di dalam muffle furnace pada suhu 600oC
selama 5 jam.
4) Sampel hasil kalsinasi ditumbuk dan diayak pada ukuran 200
mesh hingga diperoleh abu bagasse yang halus.
2. Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse Tebu
a. Pembuatan Natrium Silikat dari abu bagasse
1) Sebanyak 20 gram abu bagasse yang telah halus dimasukkan
dalam teflon kemudian ditambahkan 1 L larutan HCl 0,1 M.
41
2) Campuran diaduk dengan magnetik stirer selama 2 jam, dan
dibiarkan semalam, disaring dengan penyaring Buchner dan
dicuci dengan aquades sampai netral.
3) Hasil pencucian dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC sampai
massa konstan.
4) Hasil abu yang telah kering direaksikan dengan larutan 1 M
NaOH yaitu 6 g abu/200 mL NaOH dalam wadah teflon
5) Campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih selama 1 jam
sambil diaduk dengan magnetic stirrer.
6) Filtrat dipisahkan dari endapannya dengan menyaring campuran
menggunakan kertas saring Whatman no.42. Diperoleh larutan
Na2SiO3 berwarna bening kekuningan.
b. Pembuatan silika gel
1) Larutan Na2SiO3 hasil sintesis, ditambah dengan HCl 1 M tetes
demi tetes sambil diaduk hingga pH netral dan dibiarkan selama
18 jam.
2) Endapan dipisahkan dari larutannya menggunakan penyaring
Buchner dengan kertas saring Whatman no.42 kemudian dicuci
dengan aquades sampai netral sehingga diperoleh silika gel.
3) Gel silika yang diperoleh, dioven pada suhu 80oC sampai massa
konstan, kemudian ditimbang.
4) Hasil akhir ini adalah silika hasil pemisahan dari bagasse tebu
(SG).
42
3. Karakterisasi
a. Spektroskopi FTIR
Pengukuran spektrum inframerah dilakukan menggunakan instrumen
spektroskopi FTIR. Sampel di scanning pada daerah panjang
gelombang 300-4000 cm-1 dengan spektorfotometer FTIR Thermo
Nicolet Avatar 360.
b. XRD
Pengukuran difraksi sinar-X menggunakan instrumen Rigaku
Miniflex 600. Sampel diletakkan pada sample holder dalam alat
difraktometer sinar-X. Sampel kemudian disinari menggunakan sinar
X, dimana selama proses penyinaran sampel dirotasi dengan
kecepatan 60 rpm. Sudut pembacaan dalam pengukuran difraksi
sinar-X diperoleh grafik intensitas versus sudut difraksi ( θ).
4. Adsorspsi tepi untuk menentukan suhu optimal
a. Pembuatan larutan Ca(NO3)2
1) Larutan Ca2+ 10 ppm
Sebanyak 0,059 gram kristal Ca(NO3)2.4H2O dilarutkan dalam air
demineralisata dan diencerkan hingga tanda batas dengan labu
takar 1000 mL.
2) Larutan Ca2+ 20 ppm
43
Sebanyak 0,118 gram kristal Ca(NO3)2.4H2O dilarutkan dalam air
demineralisata dan diencerkan hingga tanda batas dengan labu
takar 1000 mL.
b. Uji Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika
Gel
a. Sebanyak 0,2 gram sorben silika gel dilarutkan ke dalam 200 mL
larutan Ca(NO3)2 10 ppm dan larutan Ca(NO3)2 20 ppm larutan
Ca(NO3)2
b. Dipanaskan dan diaduk campuran suspensi dengan magnetic
stirrer.
c. pH dipertahankan konstan yaitu pH 5 dan waktu 15 menit untuk
setiap kenaikan suhu.
d. Pemanasan dilakukan untuk menaikkan suhu hingga 53 ºC dari
(27oC, 32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC).
e. Sebanyak 5 mL sampel diambil dan dipusingkan dengan
centrifuge,
dan
filtratnya
kemudian
dianalisis
dengan
spektrofotometer Serapan Atom (SSA) untuk mengetahui
konsentrasi Ca2+. Perbedaan konsentrasi awal dan sisa kation
merupakan jumlah Ca2+ yang teradsorp oleh silika gel
Melakukan hal yang sama untuk suhu 32oC, 37oC, 42oC,
47oC dan 52oC.
44
E. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, analisis data yang dilakukan dengan metode
spektrofotometer, yaitu:
a. Penentuan konsentrasi larutan Ca(II)
Untuk menentukan konsentrasi larutan Ca2+ setelah proses
adsorpsi dapat dilakukan dengan mensubstitusikan pada persamaan
garis regresi linier yang sudah diperoleh. Selanjutnya masing-masing
harga absorbansi dari larutan sampel disubstitusikan ke dalam
persamaan:
Y= aX + b
Berdasarkan persamaan di atas maka konsentrasi larutan Ca2+
dalam larutan dapat ditentukan. Perhitungan dilakukan secara
otomatis oleh program komputerisasi dari alat AAS.
b. Penentuan jumlah Ca2+ terikat (%)
Jumlah Ca2+ terikat (%) dihitung dengan menggunakan data
konsentrasi sisa tersebut.
% terikat dihitung dengan persamaan
berikut:
% terikat =
x 100%
45
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Hasil Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu
Penelitian ini dilakukan dengan mensintesis silika gel dari bagasse tebu.
Sintesis silika gel dilakukan dengan melakukan pengasaman dan penetralan
larutan natrium silkat dari bagasse tebu. Kemudian mengekstraksinya hingga
terbentuk silika gel. Hasil sintesis silika gel dari bagasse tebu dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Silika Gel Hasil Sintesis Dari Bagasse Tebu
Hasil sintesis silika dari bagasse tebu tersebut selanjutnya dikarakterisasi
secara difraksi sinar X dan spektoskopi FTIR.
2. Hasil Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD)
Setelah selesai dilakukan sintesis, silika gel dari bagasse tebu yang
dihasilkan dianalisis menggunakan XRD. Karakerisasi atau analisis secara
XRD bertujuan untuk mengetahui struktur silika hasil sintesis. Dari hasil
penelitian diperoleh silika hasil sintesis berupa padatan yang mempunyai
46
struktur amorf. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai struktur silika
hasil sintesis dapat dilihat pada Gambar 7.
2000
1500
Intensity (cps)
1000
500
0
20
40
60
2-theta (deg)
Gambar 7. Difraktogram sinar X silika gel hasil sintesis dari bagasse tebu
3. Hasil Analisis secara Spektroskopi FTIR
Selain dianalisis menggunakan XRD, hasil sintesis silika gel dari bagasse
tebu juga perlu untuk dianalisis menggunakan spektroskopi FTIR. Dimana
analisis tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terdapat
pada silika hasil sintesis dan juga untuk memastikan keberhasilan dari proses
sintesis yang dilakukan. Jika gugus fungsi yang diharapkan telah muncul pada
spektra hasil analisis FTIR maka dapat dipastikan bahwa sintesis yang
dilakukan telah berhasil dengan pembanding yang digunakan yaitu kiesel gel
47
dengan tipe 60 dari Merck. Hasil analisis spektroskopi FTIR ditunjukkan oleh
Gambar 8.
Gambar 8 . (a) Hasil analisis FTIR silika gel hasil penelitian dan
(b) Hasil analisis FTIR kiesel gel 60 Merck
4. Hasil Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel pada Variasi Suhu
Proses adsorpsi dilakukan dengan memvariasi suhu adsorpsi untuk mengetahui
pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation Ca2+ dengan adsorben yang berupa silika
gel dari bagasse tebu. Analisis dilakukan dengan menggunkan instrumen AAS.
Data hasil AAS ditunjukkan oleh Tabel 4.
48
Tabel 4. Data Hasil AAS Proses Adsorpsi
Suhu (°C)
10 ppm
20 ppm
Konsentrasi
Absorbansi
Konsentrasi
Absorbansi
awal
10,1291
0,7162
9,6223
0,6823
27
3,4575
0,2700
7,1253
0,5153
32
3,5144
0,2738
7,5051
0,5407
37
5,1486
0,3831
7,0909
0,5130
42
4,9871
0,3723
7,1148
0,5146
47
4,4862
0,3388
7,3511
0,5304
52
4,1947
0,3193
6,9100
0,5009
Konsentrasi yang digunakan yaitu 10 ppm dan 20 ppm. Pengaruh suhu
terhadap adsorpsi dapat dilihat dari Gambar 9.
Gambar 9. Grafik Pengaruh Suhu terhadap Absorbansi
Analisis untuk perhitungan % terikat kation Ca2+ dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan =
x 100%
49
Hasil perhitungan dapat dilihat dari grafik hubungan antara % kation Ca2+ yang
terikat dengan suhu (°C) seperti pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik Pengaruh Suhu terhadap % Terikat
B.
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Pengaruh Suhu pada Adsorpsi Kation Ca2+ oleh
Adsorben Silika dari Bagasse Tebu” dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
cara mensintesis silika gel dari bagasse tebu, mengetahui karakter silika gel dari
bagasse tebu yang telah disintesis, dan mengetahui pengaruh suhu dan konsentrasi
terhadap sifat adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika dari bagasse tebu. Bahan
utama dalam penelitian ini yaitu bagasse tebu yang diperoleh dari pedagang es
tebu disekitar kampus ISI, di mana bagasse tersebut merupakan limbah padat yang
berupa serat hasil penggilingan tebu. Namun bagasse yang diperoleh dari penjual
50
es masih basah artinya masih mengandung banyak air sehingga perlu untuk
dikeringkan terlebih dahulu sebelum pembakaran menjadi arang.
Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari selama satu atau dua hari
tergantung bagaimana intensitas panas dari cahaya matahari. Pengeringan
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kandungan air pada bagasse tebu
karena adanya kandungan air di dalam abu bagasse dapat mempengaruhi hasil
pembakaran yang nantinya juga dapat berpengaruh terhadap hasil analisis dari
silika gel. Kandungan air yang terdapat pada abu bagasse dapat menghalangi
proses difusi komponen kimia yang terkandung dalam bagasse tebu saat
pembakaran. Oleh karena itu dengan dilakukan pengeringan terlebih dahulu
diharapkan bisa membantu mempercepat proses penguapan air pada permukaan
bagasse sehingga akan lebih mudah saat dilakukan proses pembakaran menjadi
arang. Bagasse yang telah kering kemudian dibakar hingga mebentuk arang yang
berwarna hitam. Arang tersebut kemudian ditumbuk hingga halus untuk
memperkecil ukurannya sehingga akan mempermudah saat proses pembentukan
abu. Prosedur selanjutnya yang dilakuakan yaitu sintesis terhadap silika gel dari
bagasse tebu.
1.
Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu
Pada penelitian ini dipelajari bagaimana pembuatan suatu material berpori
yaitu silika gel yang disintesis dari abu bagasse dengan metode sol gel yang
nantinya dapat diaplikasikan sebagai media penyimpanan kation dan dalam
penelitian ini yang disimpan adalah kation Ca2+. Tujuan dari sintesis silika gel
ini yaitu untuk memperoleh silika dari bagasse tebu, yang kemudian dapat
51
digunakan untuk mengetahui karakter silika gel dari bagasse tebu yang telah
disintesis tersebut, dan juga mengetahui pengaruh suhu terhadap adsorpsi kation
Ca2+ oleh adsorben silika gel dari bagasse tebu.
Penelitian ini dimulai dengan menyiapkan sampel, yaitu mengkalsinasi
bagasse tebu yang telah menjadi arang di dalam muffle furnace pada suhu 600oC
selama 5 jam hingga diperoleh abu bagasse tebu halus yang berwarna abu-abu
putih, yang telah bebas karbon dan berstruktur amorf. Pada penelitian ini yang
dibutuhkan adalah silika, di mana silika terkandung di dalam komponen
anorganik pada arang bagasse tebu. Oleh karena itu dilakukan kalsinasi untuk
menghilangkan komponen organik dan zat pengotor dari arang bagasse tebu,
sehingga hanya akan tersisa komponen anorganiknya yang mengandung silika.
Pengabuan bagasse mengakibatkan terjadinya perubahan kimia pada komponen
penyusunnya. Jika sebelumnya bagasse mengandung air, sisa gula, serat lignin
dan selulosa serta mikroba, maka adanya pemanasan suhu tinggi menyebabkan
komponen-komponennya terdekomposisi dan hanya tersisa komponen anorganik
berupa oksidaoksida logam.
Pemilihan suhu kalsinasi didasarkan pada Govindarajan dan Jayalakshmi
(2011: 549) yang menyatakan bahwa struktur abu bagasse tebu berubah dari
amorf pada 500°C sampai 700°C menjadi kristalin pada suhu 1000°C.
Sementara itu, Goyal dkk. (2009: 1) juga menyatakan bahwa pada temperatur
700°C, silika masih berstruktur amorf, namun kristal silika tumbuh sepanjang
waktu pengabuan. Berdasarkan keterangan tersebut kalsinasi dilakukan pada
suhu dibawah 700°C dan juga diatas suhu 500°C. Pembakaran tidak dilakukan
52
pada suhu 700°C karena ditakutkan abu akan berstruktur kristal, dan jika pada
suhu 500°C waktu pembakaran menjadi abu akan semakin lama, karena menurut
Chakraverty et.al., (1988: 22), pembakaran fraksi organik dalam bagasse tebu
pada temperatur yang rendah memiliki kecepatan pembakaran yang rendah.
Sehingga untuk mempercepat proses pembakaran dan memperoleh abu dengan
struktur amorf digunakan suhu pemanasan 600°C. Agar mendapatkan hasil yang
maksimal arang ditumbuk terlebih dahulu agar ukurnnya menjadi lebih kecil,
karena dengan ukuran yang semakin kecil maka pemanasan menggunakan
furnace dapat terjadi secara merata dan abu yang dihasilkan akan lebih
sempurna. Menurut Chakraverty et.al., (1988: 22), pembakaran yang sempurna
menghasilkan abu bagasse tebu yang berwarna putih, sedangkan proses
pembakaran yang kurang sempurna akan menghasilkan abu dengan warna yang
masih hitam. Hasil pengabuan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa abu
yang terbentuk berubah warna menjadi abu-abu, perubahan warna tersebut
menandakan bahwa struktur abu juga sudah berubah dari sebelumnya saat
sebagai arang yang berwarna hitam. Berdasarkan Sriyanti, dkk., (2005: 5) reaksi
pengabuan yang terjadi adalah :
(Zat berisi C, H, O dan Si) (s) + O2 → CO2(g) + H2O(g) + SiO2(s)
Abu yang telah terbentuk kemudian ditumbuk kembali dengan
menggunakan mortar untuk memperkecil ukuran abu dan memperluas
permukaannya sehingga akan lebih mudah lolos dalam pori-pori ayakan ukuran
200 mesh. Proses pengayakan dilakukan untuk mendapatkan abu dengan ukuran
yang sama.
53
Tahap selanjutnya yaitu pencucian abu menggunakan asam klorida. Abu
bagasse halus direndam dengan larutan asam di dalam teflon, kemudian diaduk
dengan magnetik stirer selama 2 jam. Pencucian tersebut dilakukan untuk
menghilangkan zat-zat pengotor yang berupa oksida logam yang masih terdapat
pada abu seperti K2O, CaO, TiO2, MnO, Fe2O3, CuO, dan ZnO. Menurut
Kamath and Proctor (1998: 484), abu bagasse harus diaktifkan dengan larutan
asam (HCl, H2SO4, atau HNO3) untuk menghilangkan oksida logam dan
komponen dalam abu bagasse tebu yang tidak diperlukan sekaligus
meningkatkan porositas dan aktivitas adsorpsi. Dalam penelitian ini asam yang
digunakan yaitu asam klorida (HCl) 0,1 M, larutan itu dipilih berdasarkan
Chandrasekhar et. al. (2006: 7931), yang menyatakan bahwa asam klorida
merupakan bahan kimia yang sangat efektif untuk mengurangi zat-zat anorganik
yang terdapat di dalam bagasse tebu.
Setelah dicuci dengan asam kemudian disaring dengan menggunakan
penyaring Buchner untuk memperoleh residunya, hasil penyaringan kemudian
dicuci lagi dengan menggunakan aquademineralisata untuk menghilangkan
kandungan klor. Abu yang telah dicuci kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 80°C hingga massa konstan. Hasil dari proses tersebut seperti pada Gambar
11.
54
Gambar 11. Abu Bagasse Netral
Residu hasil pencucian yang berupa abu bagasse netral tersebut digunakan pada
tahap selanjutnya yaitu tahap sintesis natrium silikat.
Sintesis natrium silikat dilakukan dengan mereaksikan abu bagasse yang
telah netral dengan larutan basa yang berupa larutan NaOH. Silika mampu larut
dalam larutan alkali terutama natrium hidroksida. Sehingga dalam penelitian ini
digunakan NaOH 1 M sebanyak 200 ml untuk setiap 6 gram abu, campuran
kemudian dipanaskan dalam wadah teflon hingga mendidih pada suhu ± 90oC
selama 1 jam. Pada penelitian ini pemanasan dilakukan dengan suhu luar (suhu
magnetic stirrer) 400oC dan suhu dalam yaitu suhu larutan 90oC sambil
dilakukan pengadukan dengan kecepatan konstan. Pengadukan menggunakan
magnetic stirrer dimaksudkan untuk mempercepat reaksi homogenisasi antara
NaOH dan abu. Campuran kemudian didinginkan pada suhu kamar dan disaring
dengan penyaring Buchner dan kertas saring Whatman no.42. Penyaringan
dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan antara residu dan filtrat yang
kemudian diambil filtratnya. Filtrat yang diperoleh merupakan larutan natrium
silikat yang berwarna bening kekuningan. Larutan natrium silikat tersebut
55
digunakan sebagai prekursor dalam pembuatan silika gel. Persamaan reaksi
pembentukan larutan natrium silikat dapat dilihat pada persamaan berikut.
SiO2 (s) + 2 NaOH(aq)
Na2SiO3(aq) + H2O (l)
Larutan NaOH akan bereaksi dengan SiO2 yang terkandung dalam abu.
Reaksi tersebut akan menyebabkan silika larut dan kemudian akan terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan silika yang ada dalam abu dengan
larutan NaOH. Adanya gaya tarik menarik antara silika dengan NaOH akan
menyebabkan terjadinya pemisahan larutan yang mengandung silika. Larutan
tersebut merupakan larutan natrium silikat. Mekanisme reaksi pembentukan
natrium silikat dapat dilihat pada Gambar 12 (Prastiyanto dkk., 2006 :4).
Gambar 12. Mekanisme reaksi pembentukan natrium silikat
Hasil penelitian untuk larutan natrium silikat dari penelitian yang
dilakukan yaitu larutan natrium silikat sebanyak 60 ml tiap 200 ml NaOH 1 M.
Setelah terbentuk larutan natrium silikat langkah selanjutnya yaitu pembuatan
silika gel dengan menggunakan proses sol-gel yaitu proses pembentukan
hidrosol hasil reaksi natrium silikat dengan asam. Dalam penelitian ini asam
yang digunakan yaitu asam klorida 1 M sebanyak 100 ml untuk setiap 60 ml
56
larutan natrium silikat. Hal tersebut berdasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Zuryati (2005) dimana telah terbukti bahwa silika gel hasil
penelitian dengan asam klorida mempunyai porositas yang lebih besar
dibandingkan penggunaan asam lain. Porositas merupakan salah satu faktor yang
sangat mempengaruhi proses adsorpsi, semakin besar porositas maka akan
semakin besar kapasitas adsorpsinya. Sehingga dengan menggunakn HCl
diharapkan proses adsorpsi akan semakin maksimal dan kapasitas adsorpsinya
lebih besar. Menurut Mujiyanti dkk. (2010: 157), penambahan asam klorida
pada prekursor yaitu natrium silikat menyebabkan terjadinya protonasi gugus
siloksi (Si-O-) menjadi silanol (Si-OH). Kemudian gugus silanol yang terbentuk
diserang lanjut oleh gugus siloksi (Si-O-) dengan bantuan katalis asam untuk
membentuk ikatan siloksan (Si-O-Si). Spesies anion silikat akan menggantikan –
OH pada Si-OH sehingga membentuk siloksan (Si-O-Si) dan -OH yang lepas
akan berikatan dengan H+ membentuk molekul air. Mekanisme reaksi
pembentukan ikatan siloksan ditunjukkan pada Gambar 13 berikut:
Gambar 13. Mekanisme reaksi pembentukan ikatan siloksan
HCl 1 M ditambahkan secara tetes demi tetes sambil diaduk hingga terbentuk
gel dengan pH netral. Sebelum ditetesi dengan HCl, pH larutan adalah basa
57
yaitu pH 12, penambahan HCl 1 M pada larutan natrium silikat dapat
menurunkan pH dan meningkatkan konsentrasi H+ dalam Na2SiO3. Menurut
Scott (1993), silika mempunyai kelarutan yang tinggi pada pH > 10, untuk itu
agar silika tidak larut maka pH perlu diturunkan menjadi asam yaitu pH
dibawah 10. Menurut Sriyanti dkk. (2005: 3), pembentukan silika gel dapat
terjadi sangat cepat pada pH 9-7 dengan penambahan HCl pada larutan natrium
silikat, namun jika HCl ditambahkan terus menerus maka gel dapat larut
kembali, sehingga dalam penelitian ini pH dijaga dan dibuat pada pH 7.
Pengecekan pH dilakukan dengan menggunakan kertas pH universal.
Pengadukan dilakukakn dengan menggunakan magnetik stirer agar proses
homogenisasi berlangsung dengan baik. Penambahan asam klorida dilakukakn
dengan tujuan agar berlangsung reaksi kondensasi dan reaksi polimerisasi.
Berikut reaksi yang terjadi:
Na2SiO3(aq) + 2HCl(aq) ⟶ H2SiO3(aq) + 2NaCl(aq)
Gel yang terbentuk belum sempurna, masih dalam bentuk endapan berupa
agregat-agregat, untuk itu perlu didiamkan selama 18 jam agar gel mampu
terbentuk secara sempurna. Setelah didiamkan kemudian disaring dengan
menggunakan penyaring Buchner dan kertas saring Whatman no.42 untuk
memisahkan antara endapan yang merupakan gel dengan filtrat. Setelah
diperoleh gel, kemudian dicuci dengan aquades dan diperoleh silika gel.
Pencucian dengan aquades dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan
mineral-mineral ion yang kemungkinan terjebak dalam pori silika dan juga
membebaskan ion Cl- yang terbentuk saat penambahan HCl pada proses
58
pembentukan gel dengan pH 7. Pada pencucian gel terjadi reaksi pembentukan
sol asam Si(OH)4. Reaksi yang terjadi yaitu sebagai berikut:
H2SiO3(aq) + H2O(l) ⟶ Si(OH)4(aq)
Menurut Sriyanti dkk. (2005), agregat polimer akan bergabung membentuk
bola polimer yang disebut primary silica particle. Primary silica particle pada
ukuran tertentu akan mengalami kondensasi membentuk fasa padatan yang
disebut alkogel. Alkogel yang didiamkan akan mengalami sinerisis dan
pelepasan NaCl sehingga dihasilkan gel kaku yan disebut hidrogel. Mekanisme
reaksi pembentukan silika gel dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Mekanisme reaksi pembentukan silika gel (Prastiyanto dkk., 2006 :7)
Silika gel yang telah bebas dari Cl- kemudian dioven pada suhu 80°C
sampai diperoleh masa konstan. Pengovenan tersebut dilakukan untuk
menghilangkan kandungan air atau menghilangkan molekul H2O pada silika
gel, karena sebelumnya gel dicuci dengan menggunakan aquades maka
tentunya gel yang dihasilkan mengandung air. Setelah proses penghilangan
molekul H2O, maka akan diperoleh silika gel dalam bentuk kering dan
berwarna putih atau yang sering disebut xerogel. Xerogel tersebut yang
nantinya akan digunakan pada tahap adsorpsi yaitu sebagai adsorben. Sebelum
59
digunakan
dalam
proses
adsorpsi,
xerogel
terlebih
dahulu
digerus
menggunakan mortar untuk memperkecil ukuran dan memperluas permukaan
pori silika. Penggerusan tersebut juga untuk memudahkan proses pencampuran
silika agar ukurannya lebih homogen. Dari penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan abu bagasse netral sebanyak 12 gram didapatkan hasil 105 ml
larutan natrium silikat yang telah disintesis, dan hasil akhir silika gel kering
sebanyak 4,0633 gram.
2.
Analisis Secara Difraksi Sinar-X (XRD)
Analisis dengan menggunakan difraksi sinar x bertujuan untuk mengetahui
struktur silika hasil sintesis, apakah berstruktur amorf atau berstruktur kristalin.
Selain itu XRD juga dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian dari silika.
Dalam penelitian ini, uji XRD dilakukan dengan maksud untuk memastikan
bahwa silika yang berasal dari bagasse tebu berstruktur amorf. Struktur dari
bahan yang dianalisis sangat dipengaruhi oleh suhu pada saat proses kalsinasi.
Menurut Govindarajan dan Jayalakshmi (2011), abu bagasse tebu berstruktur
amorf pada suhu 500-700°C dan kristalin pada suhu 1000°C. Prinsip dari
analisis XRD didasarkan pada atom-atom dalam suatu struktur bahan
terdifraksi pada panjang gelombang tertentu dan sudut (θ) tertentu, sedangkan
sistem kerja XRD didasarkan pada hukum Bragg. Interferensi berupa puncakpuncak sebagai hasil difraksi, terjadi interaksi antara sinar-X dengan atomatom pada bidang kristal (Cullity, 1978: 8).
Berdasarkan hasil yang didapatkan seperti yang ditunjukkan pada Gambar
8, menunjukkan bahwa hasil analisis silika dengan menggunakan difraksi sinar
60
X merupakan padatan yang berstruktur amorf. Hal tersebut terlihat dari
munculnya puncak lebar pada sudut difraksi (2θ) yaitu pada 22,0132°. Hasil
dari analisis menggunakan XRD pada penelitian ini telah sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Nuryono dan Narsito (2005:
28), yang menyatahan bahwa hasil analisis silika gel dari natrium silikat murni
dengan variasi konsentrasi asam sitrat memberikan 1 puncak yang melebar
pada 2θ sekitar 22° yang dinyatakan hasil berstruktur amorf. Kalapathy et al.
(2000: 100), juga telah berhasil mensintesis silika amorf dari abu sekam padi
dengan puncak yang dihasilkan pada sudut difraksi (2θ) = 22,159o. Menurut
Kalaphaty munculnya puncak disekitar sudut difraksi ±20o-22o menunjukkan
bahwa puncak tersebut untuk silika. Hasil analisis XRD penelitian ini juga
sesuai dengan hasil XRD dari penelitian yang dilakukan Hariharan dan
Sivakumar (2013: 1264) yang mendapatkan puncak kuat pada sudut difraksi
(2θ) 22° yang menunjukkan silika berstruktur amorf.
3.
Analisis secara Spektroskopi FTIR
Selain analisis menggunakan XRD, silika yang berasal dari bagasse tebu
juga perlu untuk dianalisis menggunakan spektrometer FTIR. Analisis ini
dimaksudkan untuk mengidentifikasi gugus fungsional yang terdapat dalam
silika gel khususnya gugus siloksan (Si-O-Si) dan gugus silanol (Si-OH).
Prinsip kerja FTIR adalah mengenali gugus fungsi dari absorbansi. Pola
absorbansi yang diserap oleh tiap-tiap senyawa berbeda-beda, sehingga
senyawa-senyawa dapat dibedakan dan dikuantifikasikan (Sankari, 2010: 42).
Daerah inframerah yang digunakan untuk menganalisis senyawa yang terdapat
61
pada silika gel berada pada kisaran bilangan gelombang 400-4000 cm-1.
Sebagai pembanding dalam penelitian ini digunakan silika kiesel gel 60 dari
Merck. Hasil analisis FTIR silika dari bagasse tebu dengan menggunakan FTIR
kemudian dibandingkan dengan hasil analisis FTIR dari silika kiesel gel 60,
dan hasil yang menunjukkan gugus-gugus fungsi pada spektra hasil sintesis
FTIR untuk keduanya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Interpretasi Spektra FTIR Silika Kiesel Gel 60 Merck dan Silika Gel
Bilangan Gelombang (cm-1)
Gugus Fungsi
Silika Kiesel Gel 60
Silika Gel
Merck
Vibrasi ulur –OH dari Si-OH
3462,86
3464,81
Vibrasi ulur asimetris Si-O dari Si-O-Si
1097,17
1094,65
Vibrasi ulur simetris Si-O dari Si-O-Si
800,85
797,25
Vibrasi tekuk –OH dari Si-OH
1637,09
1638,19
-
-
471,16
463,87
2361,20
-
Vibrasi ulur Si-O dari Si-OH
Vibrasi tekuk Si-O-Si
C=O
Berdasarkan hasil analisis muncul beberapa pita dengan puncak yang
berbeda-beda. Pita lebar dengan puncak pada bilangan gelombang 3464,81cm-1
mengindikasikan adanya gugus -OH pada silanol. Pelebaran pita terjadi karena
gugus fungsi –OH dan air terserap pada permukaan silika melalui ikatan
hidrogen. Munculnya pita serapan pada bilangan gelombang 1094,65 cm-1
merupakan vibrasi ulur asimetri dari –Si-O pada siloksan, sedangkan pita
serapan pada bilangan gelombang 797,25 cm-1 merupakan vibrasi ulur simetri
dari –Si-O yang ada pada siloksan. Vibrasi tekuk gugus –OH pada molekul air
yang terikat ditunjukkan dengan adanya pita dengan puncak yang berada pada
62
bilangan gelombang 1638,19 cm-1, sedangkan vibrasi tekuk dari gugus siloksan
(Si-O-Si) ditunjukkan dengan puncak pada bilangan gelombang 463,87 cm-1.
Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa secara umum, gugus
fungsional pada silika gel adalah silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si).
Berdasarkan hasil keseluruhan interpretasi spektra FTIR silika gel dari bagasse
tebu menunjukkan kemiripan dengan spektra silika Kiesel gel 60 dari merck.
Pada kedua hasil analisis yaitu pada Kiesel gel 60 dari merck maupun pada
hasil sintesis vibrasi ulur gugus fungsi Si-O dari Si-OH tidak terdeteksi, tetapi
pada grafik keduanya terdapat puncaknya. Sedangkan berdasarkan teori
harusnya muncul pada bilangan gelombang 970,1 cm-1. Hal ini dapat terjadi
karena puncak tersebut memiliki intensitas yang kecil sehingga tidak dapat
terbaca oleh alat. Pada silika kiesel gel 60 merck mucul puncak pada panjang
gelombang 2361,20 cm-1 yang diperkirakan sebagai gugus C=O. Adanya gugus
C=O tersebut dapat dikarenakan silika telah terkontaminasi dan telah bereaksi
dengan udara, sehingga muncul gugus C=O yang terjebak dalam silika.
Kemiripan pola serapan pada silika gel hasil sintesis dan silika pembanding
untuk gugus silanol dan siloksan dapat disimpulkan bahwa sintesis telah
berhasil dilakukan dan bagasse tebu dapat dijadikan sebagai bahan untuk
pembuatan silika gel.
4.
Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel pada Variasi Suhu
Hasil dari analisis dengan menggunakan difraksi sinar X dan
spektrometer FTIR menunjukkan keberhasilan sintesis, sehingga hasil sintesis
berupa silika yang berasal dari bagasse tebu dapat diterapkan sebagai adsorben
63
dalam proses adsorpsi kation Ca2+. Dalam penelitian ini yang digunakan
sebagai sumber kation Ca2+ adalah kristal Ca(NO3)2.4H2O yang diencerkan
sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan yaitu 10 ppm dan 20 ppm, dengan
variabel tetap dalam proses adsorpsi berupa pH, waktu kontak/ waktu
pengadukan, dan massa adsorben.
Proses adsorpsi terhadap kation Ca2+
dimulai dengan melarutkan 0,2 gram sorben silika gel ke dalam 200 mL
larutan Ca(NO3)2. Kemudian memanaskannya sambil diaduk dengan
kecepatan konstan. Selama proses adsorpsi berlangsung, pH dipertahankan
konstan yaitu pH 5. pH awal dari larutan yaitu 7 sehingga untuk
menjadikannya pH 5 dan mempertahankannya tetap konstan maka larutan
ditambah dengan HCl 0,01 M. Adsorpsi dilakukan pada pH 5 karena menurut
Vogel (1990: 300) pada pH lebih dari 7 suasana akan menjadi basa, dan
sebagian Ca2+ akan mengendap menjadi CaCO3. Pemanasan dilakukan dengan
menggunakan magnetic stirrer untuk memvariasi suhu menjadi 27oC, 32oC,
37oC, 42oC, 47oC dan 52oC. Pada saat masing-masing suhu telah tercapai,
suhu dipertahankan konstan selama 15 menit. Waktu kontak pada proses
adsorpsi tersebut dipilih berdasarkan percobaan adsorpsi yang telah dilakukan
diawal dengan menggunakan variasi waktu kontak 15 menit dan 60 menit
dengan konsentrasi larutan 10 ppm pada suhu 27oC dan 37oC. Hasilnya
menunjukkan bahwa kation Ca2+ lebih banyak teradsorp pada waktu kontak 15
menit dibandingkan dengan waktu kontak 60 menit. Hal tersebut dapat dilihat
dari hasil perhitungan % Ca2+ terikat yang ditunjukkan pada Tabel 6.
64
Tabel 6. Hasil proses adsorpsi pada waktu kontak 15 menit dan 60 menit
Suhu (oC)
Waktu (menit)
% Ca2+ Terikat (%)
27
15
67,682
37
15
50,697
27
60
66,396
37
60
50,383
Proses pemanasan pada berbagai suhu dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh suhu terhadap proses adsorpsi kation Ca2+, untuk itu
dilakukan pemanasan pada berbagai suhu. Pemanasan pada proses adsorpsi
akan menurunkan daya jerap adsorben terhadap ion Kundari dan Wiyuniati
(2008: 493). Nurhasni, dkk. (2014: 133), juga menegaskan bahwa tingkat
adsorpsi akan meningkat seiring dengan menurunnya suhu. Setelah dilakukan
pemanasan pada masing-masing suhu dengan waktu 15 menit dan pH 5,
kemudin mengambil 5 ml sampel dan memusingkannya menggunakan
centrifuge. Mengambil filtratnya dan menganalisisnya dengan mengguna
AAS. Dari analisis AAS diperoleh nilai absorbansi pada berbagai suhu. Selain
itu juga diperoleh nilai konsentrasi Ca2+ sisa untuk tiap-tiap suhu. Hasil
absorbansi dari analisis dengan menggunkana AAS tersebut kemudian
diplotkan pada grafik hubungan antara suhu dan absorbansi, hasilnya seperti
ditunjukkan oleh Gambar 10.
Sedangkan untuk data hasil yang berupa konsentrasi sisa Ca2+ digunakan
untuk menentukan besarnya kation Ca2+ yang terikat pada adsorben yang
dinyatakan dalam persen (%). Data tersebut yang kemudian dilakukan
perhitungan dengan menggunakan persamaan:
65
% Terikat =
x 100%
Berdasarkan hasil perhitungan dari persamaan tersebut, didapatkan grafik
hubungan antara suhu dan % terikat yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Pada
Gambar 11 tersebut juga menunjukkan adanya dua garis karena adsorpsi
dilakukan pada dua konsentrasi yaitu 10 ppm dan 20 ppm. Konsentrasi juga
merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi proses adsorpsi.
Menurut Altaher dan Elqada (2011: 1117), semakin besar konsentrasi adsorbat
dalam larutan maka semakin banyak jumlah substansi yang terkumpul pada
permukaan adsorben, dikarenakan konsentrasi adsorbat yang tinggi dapat
menghasilkan daya dorong yang tinggi bagi molekul adsorbat untuk masuk
ke dalam situs aktif adsorben.
Berdasarkan Gambar 11 (grafik antara suhu dan % terikat) menunjukkan
bahwa hasil yang diperoleh telah sesuai dengan teori yang telah ada, yaitu suhu
sangat mempengaruhi proses adsorpsi dan proses adsorpsi optimal terjadi pada
suhu yang paling rendah. Pada proses adsorpsi dengan konsentrasi 10 ppm,
jumlah kation Ca2+ yang terikat paling banyak yaitu pada suhu 27°C (suhu
ruang) dengan persentase terikat sebesar 65,8650% dan mengalami penurunan
pada suhu-suhu selanjutnya yaitu 65,3043% pada suhu 32°C; 49,1707% pada
suhu 37°C; 50,7641% pada suhu 42°C; 55,7092% pada suhu 47°C dan
58,5880% pada suhu 52°C. Setelah mengalami penurunan daya ikat terhadap
kation Ca2+ pada suhu 32°C dan 37°C kemudian mengalami peningkatan
kembali pada suhu 42°C, 47°C dan 52°C.
66
Sama seperti adsorpsi pada larutan dengan konsentrasi 10 ppm, adsorpsi
terhadap larutan dengan konsentrasi 20 ppm juga dilakukan mulai dari suhu
27°C hingga suhu 52°C. Hasil perhitungan % kation Ca2+ yang terikat untuk
masing-masing suhu (27°C, 32°C, 37°C, 42°C, 47°C dan 52°C) berturut-turut
adalah sebagai berikut: 64,0576%; 62,1417%; 64,2311%; 64,1100%;
62,9185% dan 65,1436%. Dari data hasil tersebut menunjukkan bahwa
adsorpsi terhadap larutan dengan konsentrasi 20 ppm mengikat kation Ca2+
paling banyak pada suhu 52°C yaitu sebanyak 65,1436%. Hasil % terikat
kation Ca2+ tersebut sangat berbeda dengan hasil % terikat kation Ca2+ pada
konsentrasi 10 ppm, dimana adsorpsi untuk konsentrasi 10 ppm % kation Ca2+
yang terikat paling besar pada suhu terendah yaitu suhu 27°C, sedangkan untuk
konsentrasi 20 ppm % terikatnya paling besar dicapai pada suhu tertinggi yaitu
suhu 52°C. Hasil untuk konsentrasi 10 ppm telah sesuai dengan teori yaitu
suhu optimum adsorpsi adalah suhu terendah, namun untuk hasil konsentrasi
dengan 20 ppm belum sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kundari dan
Wiyuniati (2008: 493), yang menyatakan bahwa semakin rendah suhu, ion
yang terjerap akan semakin banyak. Ketidaksesuaian antara hasil dan teori
mungkin dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya penelitian yang hanya
dilakukan hingga pemanasan 52°C, yang mungkin pada suhu tersebut masih
ada kecenderungan untuk menyerap kation Ca2+ lebih banyak. Mungkin saja
jika proses adsorpsi dilakukan pada satu titik suhu yang lebih tinggi dari 52°C
akan mendapatkan data yang sesuai dengan teori yang telah ada. Faktor lain
yaitu pengadukan yang tidak merata, sehingga pemanasannya pun tidak bisa
67
merata dan akan menyebabkan hasil adsorpsi juga tidak sesuai dan masih
mengalami peningkatan dan penurunan nilai % ion terikatnya pada tiap
kenaikan suhu. Selain itu dapat juga dikarenakan pada suhu tertentu (pada saat
mengalami penurunan nilai % terikat) terjadi proses desorpsi yaitu pelepasan
kembali ion Ca2+ yang terikat oleh adsorben sehingga ion Ca2+ yang terikat
berkurang, bisa juga dikarenakan pada suhu tersebut adsorpsi telah sampai
pada titik jenuhnya, sehingga sudah tidak mampu untuk menyerap lebih
banyak kation Ca2+.
Hasil dari penelitian yang dilakukan juga membuktikan bahwa pada
proses adsorpsi konsentrasi juga sangat berpengaruh terhadap daya adsorpsi
kation Ca2+. Handayani dan Sulistiyono (2009: 131), menyatakan bahwa
semakin besar konsentrasi larutan, semakin banyak jumlah zat terlarut yang
dapat diadsorbsi. Hasil dari penelitian mengenai pengaruh konsentrasi telah
sesuai dengan teori tersebut, dimana dapat dilihat dari hasil perhitungan pada
keseluruhan suhu untuk persen kation Ca2+ yang terikat menunjukkan bahwa
hasilnya lebih besar pada konsentrasi 20 ppm daripada pada hasil perhitungan
untuk konsentrasi 10 ppm.
Perbedaan daya adsorpsi pada ion-ion dapat dijelaskan dengan prinsip
HSAB (Hard Soft Acid Base). Konsep tersebut menjelaskan bahwa asam keras
lebih cepat bereaksi dengan basa keras dan akan membentuk interaksi ionik.
Sedangkan jika asam lunak bereaksi dengan basa lunak akan membentuk
interaksi kovalen. Dalam penelitian ini yang digunakan yaitu adsorben yang
berupa silika gel. Silika gel ini merupakan basa keras sehingga akan
68
berinteraksi kuat dengan ion Ca2+ yang merupakan asam keras. Klasifikasi
asam dan basa beberapa senyawa ion menurut prinsip HSAB dari Pearson
ditunjukkan oleh Tabel 7.
Tabel 7 . Klasifikasi Asam dan Basa Beberapa Senyawa dan Ion Logam Menurut
Prinsip HSAB.
Kelas
Asam
Basa
Keras
H+, Li+, Na+, Be2+,
Mg2+, Ca2+, Sr2+, Ti4+,
Cr3+, Cr6+, Mn2+, Mn7+,
Fe3+, Co3+, BF3, BCl3,
AlCl3, AlH3, CO2, Si4+,
HX (molekul ikatan
hidrogen)
H2O, NH3, N2H4, F-, Cl-,
OH-, ROH, R2O, NO3-,
ClO4-, CHCOO-, O2-,
CO32-, SO42-, PO42-
Daerah batas (diantara
asam dan basa)
Fe2+, Co2+, Ni2+, Cu2+, C6H5NH2, N3-, N2, NO2-,
Zn2+, Sn2+, Pb2+, C6H5, Br-, SO3NO+, Sb3+, Bi3+, SO2
Cu+, Ag+, Au+, CH3Hg+, H-, C2H4, C6H6, CO,
Hg22+, Hg2+, Cd2+, Pd2+, SCN-, CN-, I-, S2-, S2O32Pt2+, Pt4+, Br2, Br+, I2, I+,
O, Cl, Br, I, N, AtomAtom logam
Proses adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben yang berupa silika gel
Lunak
melibatkan gugus aktif yang berupa gugus silanol dan gugus siloksan,
interaksi yang terjadi pada proses tersebut yaitu interaksi ionik. Interaksi ionik
yang terjadi merupakan interaksi kimia atau proses adsorpsi kimia. Interaksi
kimia pada penelitian ini disebabkan karena terbentuknya ikatan antara sisi
aktif yang berupa gugus silanol dan siloksan dari adsorben (silika gel) dengan
zat yang teradsorp (kation Ca2+). Ikatan antara kation Ca2+ dengan gugus aktif
pada silika gel terjadi melalui pembentukan ikatan koordinasi, yaitu pasangan
elektron bebas dari atom O pada Si-OH akan menempati orbital kosong yang
69
dimiliki oleh kation Ca2+, sehingga terbentuk kompleks koordinasi. Berikut
reaksi pengikatan kation Ca2+ pada gugus silanol dan siloksan (Wogo, dkk.,
2011: 88)
a.
Reaksi pengikatan kation Ca2+ pada gugus silanol
Ca + 2H+
Ca2+
b.
Reaksi pengikatan kation Ca2+ pada gugus siloksan
Ca2+
Ca
Gambar 15. Reaksi Pengikatan Kation Ca2+ pada
Gugus Silanol dan Siloksan
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Silika gel yang berasal dari bagasse tebu dapat disintesis dengan metode
sol gel.
2.
Berdasarkan analisis XRD dan FTIR karakter silika gel dari bagasse tebu
yang telah disintesis berstruktur amorf serta mengandung gugus silanol
dan siloksan.
3.
Suhu dan konsentrasi mempengaruhi proses adsorpsi. Suhu optimal pada
konsentrasi 10 ppm adalah 27°C.
B.
Saran
Berdasarkan penelitian, dan pembahasan tentang pengaruh suhu pada
adsorpsi kation Ca2+ oleh adsorben silika dari bagasse tebu saran yang dapat
diajukan antara lain:
1.
Melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan bahan baku yang
berbeda (mengganti bagasse tebu dengan bahan yang lain).
2.
Melakukan penelitian dengan uji yang lain, misalnya uji untuk mengetahui
faktor lain yang mempengaruhi adsorpsi (seperti uji porositas dll).
3.
Menerapkan penelitian adsorpsi lebih lanjut pada kation yang berbeda
untuk mengatahui apakah silika yang berasal dari bagasse tebu dapat
diaplikasikan untuk mengikat kation selain Ca2+.
71
4.
Melakukan penelitian keasaman setelah bagasse tebu menjadi adsorben
yang berupa silika gel.
72
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, S., Setyawan, H., Winardi S., Purwanto, A. & Balgis, R. (2009). A
Facile Method for Production of High Purity Silica Xerogel from Bagasse
Ash. Advanced Powder Technology 20 (2009). 468–472.
Altaher, H., & ElQada, E. (2011). Investigation of the Treatment of Colored
Water Using Efficient Locally Available Adsorbent. International Journal
of Energy and Environment. 2 (6):1113-1124
Akhinov, F. A., dkk. (2010). Sintesis Silika Aerogel Berbasis Abu Bagasse
dengan Pengeringan Pada Tekanan Ambient. Prosiding: Seminar Rekayasa
Kimia dan Proses. Surabaya: ITS.
Amaria. (2012). Adsorpsi Ion Sianida Dalam Larutan Menggunakan Adsorben
Hibrida Aminopropil Silika Gel Dari Sekam Padi Terimpregnasi
Aluminium. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 19, No.1: 56-65.
Anam, C., Sirojudin, & Firdausi, K. S. (2007). Analisis Gugus Fungsi Pada
Sampel Uji, Bensin Dan Spiritus Menggunakan Metode Spektroskopi FTIR.
Berkala Fisika. Vol 10. No.1. 79-85.
Anggraeni, N. (2015). Penetapan Kadar Vitamin C dan Timbal dalam Kentang
(Solanum Tuberosum L). Diambil pada tanggal 15 Juni 2017, dari
http://documentslide.com/documents/penetapan-kadar-pb-dalam
kentang.html
Arwida, S. D. (2008). Arabicum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Atkins, P.W. (1997). Kimia Fisika, Jilid 2, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Brinker, C.J., & W.J. Scherer. (1990). Sol-Gel Science: The Physics and
Chemistry of Sol Gel Processing. San Diego: Academic Press.
Budi, E. (2011). Kaidah Difraksi Sinar X dalam Analisis Struktur Kristal KBr.
Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. XI No. 1. Universitas Negeri Jakarta.
Buhani & Suharso. 2010. Modifikasi Silika Dengan 3-Aminopropiltrimetoksisilan
Melalui Proses Sol Gel untuk Adsorpsi Ion Cd (II) dari Larutan. Jurnal
Sains MIPA. Vol. 16, No. 3, Hal: 177-183. ISSN 1978-1873. Lampung:
Universitas Lampung Indonesia.
Chakraverty, A., Mishra, P., dan Banerjee, D. (1988). Investigation of
Combustion of Raw and Acid-Leached Rice Husk for Production of Pure
Amorphous White Silica. Journal of Materials Science. Vol. 23. Hlm. 2124.
73
Chandrasekhar, S., Pramada, P.N., dan Majeed, J. (2006). Effect of calcination
temperature and heating rate on the optical properties and reactivity of rice
husk ash. Journal of Materials Science. Vol. 41. Hlm. 7926-7933.
Cullity, B. D. (1992). Element of X-Ray Diffraction. Department of Metallurgical
Enginering and Material Science. Edisson-Wesley Publishing Company:
Inc. USA.
Govindarajan & Jayalakshmi G. (2011). XRD, FTIR and Microstructure Studies
of Calcined Sugarcane Bagasse Ash. Pelagia Research Library. 2(3). Hlm.
44-54.
Goyal, A., dkk. (2009). Properties and Reactivity of Sugarcane Bagasse
Ash.Tottory: Tottory University.
Hanafi, A. & Nandang A. (2010). Studi Pengaruh Bentuk Silika dari Abu Ampas
Tebu terhadap Kekuatan Produk Keramik. Jurnal Kimia Indonesia. Vol.5
(1). H.35-38.
Handayani, M. & Sulistiyono, E. (2009). Uji Persamaan Langmuir dan Freundlich
pada Penyerapan Limbah Chrom (VI) oleh Zeolit. Prosding Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Nuklir PTNBR-BATAN.
Hariharan, V. & Sivakumar, G. (2013). Studies On Synthesized Nanosilica
Obtained From Bagasse Ash. Internatinal Journal of ChemTech Research.
CODEN (USA): IJCRGG. ISSN: 0974-4290 Vol.5, NO.3, PP 1263-1266.
Hartati, I., Riwayati, I. & Kurniasari, L. (2011). Potensi Xanthate Pulpa Kopi
Sebagai Adsorben pada Pemisahan Ion Timbal dari Limbah Industri Batik.
Momentum, Vol. 7, No. 2, halaman: 25- 30. Semarang: Fakultas Teknik
Universitas Wahid Hasyim.
Ikhsan, J., Sulastri, S. & Priyambodo, E. (2015). Measurement Of Rate Of Cation
Exchange Reactions On Surface Of Silica Separated From Lapindo Mud.
International Confrence on Research, Implementation, Education of
Mathematics and Sciences (ICRIEMS 2015). Yogyakarta: FMIPA UNY.
Indriyanti, N. Y., Nuryono, & Narsito. (2011). Kajian Adsorpsi-Desorpsi Au (III)
dalam Sistem Au/Cu/Ag pada Kolom Hibrida Merkapto-Silika. Prosiding
Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia III. Surakarta: Program
Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS.
Jal, P.K., Patel, S., & Mishra, B.K. (2004). Chemical Modification of Silica
Surface by Immobilization of Functional Group for Extractive
Concentrations of Metal Ions. Talanta. 62(5). Hlm. 1005–1028.
Kalaphaty, U., Proctor, A., dan Schultz, J. (2000). Production and Properties of
Flexible Sodium Silicate Fils From Rice Hull Ash Silica. Bioresource
Technology. 72 (2), 99-106.
74
Kamath, S. R. dan Proctor, A. (1997). Silica Gel from Rice Hull Ash: Preparation
and characterization. AACC International. 75 (4). 484-487.
Khopkar, S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Kristianingrum, S., Siswani, E. D., & Fillaeli, A (2011). Pengaruh Jenis Asam
pada Sintesis Silika Gel dari Abu Bagasse dan Uji Sifat Adsorptifnya
terhadap Ion Logam Tembaga (II). Prosiding Seminar Nasional Kimia
.Yogyakarta: UNY.
Kristanto, J. K. & Riandari, D. (2013). Analisis Pengaruh Kebisingan dan
Temperatur Terhadap Produktivitas Pembuatan Spare Part Motor Pada Ud.
Sinar Abadi Waru Sidoarjo. JTM, Volume 01 Nomor 02. Universitas Negeri
Surabaya.
Kundari, N.A. & Wiyuniati, S. (2008). Tinjauan Kesetimbangan Adsorpsi
Tembaga dalam Limbah Pencuci PCB dengan Zeolit. Seminar Nasional IV
SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta: ISSN 1978-0179.
Kurnia, A. (-). Perunjuk Praktis Budidaya Stroberi. Jawa Barat: Pesona Depok II
Estate.
Li-An’Amie, N.L. & Nugraha, A. (2014). Pemanfaatan Limbah Ampas Tebu
Melalui Desain Produk Perlengkapan Rumah. Jurnal Tingkat Sarjana
Senirupa dan Desain No.1.
Migas. (2004). Produksi Furfural dan Turunannya: Alternatif Peningkatan Nilai
Tambah Ampas Tebu Indonesia. Diambil pada tanggal 27 Maret 2017, dari
http://migas-indonesia.com/2004/03/16/produksi-furfural-dan-turunannyaalternatif-peningkatan-nilai-tambah-ampas-tebu-indonesia/
Mujiyanti, D.R, Nuryono & Kunarti, E. S. (2010). Sintesis dan Karakterisasi
Silika Gel dari Abu Sekam Padi yang Diimobilisasi dengan 3(Trimetoksisilil)-1-Propantiol. Jurnal Sains dan Terapan Kimia, Vol.4,
No.2, hal 150-167. Universitas Lambung Mangkurat.
Nicolet, T. (2001). Introduction to Fourier Transform Infrared Spectrometry.
Thermo Nicolet Corpration.
Novitasari, C. D., Ani, A. & Ekawati, R. (2012). Pemanfaatan Limbah Ampas
Tebu (Bagasse) untuk Produksi Bioetanol melalui Proses Sakarifikasi dan
Fermentasi Serentak. PELITA, Volume VIII, Nomor 2. Universitas Negeri
Yogyakarta.
75
Nurhasni, Hendrawati & Saniyyah, N. (2014). Sekam Pdu untuk Menyerap Ion
Logam Tembaga dan Timbal dalam Air Limbah. Valensi Vol.4 No. 1, (3444). ISSN: 1978-8193. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Nuryono & Narsito. (2005). Effect of Acid Concentration on Characters of Silica
Gel Synthesized from Sodium Silicate. Indonesian Journal Chemistry, 5(1),
23-30. Gadjah Mada University.
Oscik, J. (1982). Adsorption. Chichester: Ellis Horwood Limited.
Prastiyanto, A., Azmiyawati, C. & Darmawan, A. (2006). Pengaruh Penambahan
Merkaptobenzotiazol (MBT) Terhadap Kemampuan Adsorpsi Gel Silika
dari Kaca pada Ion Logam Kadmium. Universitas Diponegoro Semarang.
Rahman, I. A., & V. Padavettan. 2012. Synthesis of Silica Nanoparticles by SolGel: Size-Dependent Properties, Surface Modification, and Applications in
Silica-Polymer Nanocomposites in Review. Journal of Nanomaterials, Vol.
2012: 1-15.
Rizky, A. (2011). Analisa Kadar Kalsium Oksida (CaO) dan Magnesium Oksida
(MgO) Pada Pupuk Dolomit Dan Kiserit Secara Titrasi Kompleksometri.
Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Rusono, N., Suanri, A., Candradijaya, A., dkk. (2013). Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan dan Pertanian 20152019. RPJM.Indd. Direktur Pangan dan Pertanian.
Samadi, B. (2007). Kentang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sankari, G., Krishnamoorthy E., Jayakumaran S., dkk. (2010). Analysis of serum
immunoglobulins using Fourier transform infrared spectral measurements.
Research Article. Biology and Medicine, 2 (3): 42-48.
Sari, N. K. (2010). Analisa Instrumentasi. Klaten: Yayasan Humaniora.
Sastrohamidjojo, H. (1992). Spektroskopi Inframerah. Edisi Pertama. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Liberty.
Scott, R.P.W. (1993). Silica Gel and Bonded Phases, Their Production,
Properties and use in LC. New York: John Willey & Sons Inc.
Sriatun, Taslimah & Suryati, L. (2015). Pemanfaatan Katalis Silika Alumina dari
Bagasse pada Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Sisa Pakai.
Utilization of Silica Alumina Catalyst from Sugar Cane Bagasse on
Biodiesel Synthesis from the Used Cooking Oil. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian 25(1): 35-42.
76
Sriyanti, Taslimah, Nuryono & Narsito. (2005). Sintesis Bahan Hibrida
AminoSilika Dari Abu Sekam Padi Melalui Proses Sol-Gel. JKSA. Vol.
VIII. NO.1. Hlm. 1-10. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Diponegoro.
Stuart, Barbara. (2004). Infrared Spectorscopy: Fundamentals and Applications.
John Wiley & Sons, Ltd.
Sulastri, S. (2009). Modifikasi Silika Gel dalam Kaitannya dengan Peningkatan
Manfaat. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Sulastri, S. & Kristianingrum, S. (2010). Berbagai Macam Senyawa Silika:
Sintesis, Karakterisasi dan Pemanfaatan. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Sulastri. (2013). Sintesis dari Abu Sekam Padi Melalui Proses Sol Gel Sebagai
Penukar Kation Logam Berat dalam Larutan. Laporan Akhir Penelitian
Disertasi. Yogyakarta: FMIPA UNY.
Suseno, J. E., & Firdausi, K. S. (2008). Rancang Bangun Spektroskopi FTIR
(Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi. Jurnal
Berkala Fisika. Vol 11, hal 23-28. ISSN: 1410-9662.
Sutedjo, M. M. & Kartasapoetra, A. G. (1988). Pengantar Ilmu Tanah;
Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Suwarto, Octavianty, Y., & Hermawati S. (2014). Top 15 Tanaman Perkebunan.
Jakarta: Swadaya.
Syauqiah, I., Mayang, A., & Hetty, A. K. (2011). Analisis Variasi Waktu Dan
Kecepatan Pengaduk Pada Proses Adsorpsi Limbah Logam Berat Dengan
Arang Aktif. Info Teknik. Volume 12. No. 1. 11-20.
Tandy, E., Hasibuan, I. F., & Harahap, H. (2012). Kemampuan Adsorben Limbah
Lateks Karet Alam Terhadap Minyak Pelumas dalam Air. Jurnal Teknik
USU, Vol.1, No.2. Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik. USU.
Tokman. N., Akman, S. & Ozsan, M., (2003). Solid Phase Extraction of Bismuth,
Lead and Nickel from Seawater using Silica Gel Modified with 3Aminoproplytriethoxysilane Filled in a Syringe Prior to Their
Determination by Graphite Furnace Atomic Absorption Spectrometry,
Talanta, 59, 201-205.
Tutu, R., Subaer & Usman. (2015). Studi Analisis Karakterisasi dan
Mikrostruktur Mineral Sedimen Sumber Air Panas Sulili Di Kabupaten
Pinrang. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika. Jilid 11, Nomor 2. Hal 192201. Universitas Negeri Makassar.
77
Vogel. (1990). Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta: PT.
Kalman Media Pustaka.
Wahyuni, M. S. & Hastuti E. (2010). Karakterisasi Cangkang Kerang
Menggunakan XRD dan X Ray PHYSICS Basic Unit. Jurnal Neutrino
Vol.3, No 1.
Waseda, Y., Matsubara, E., & Shinoda, K. (2011). X-Ray Diffraction
Crystallography: Introduction, Examples and Solved Problems. London
New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Wijayanti, W.A. (2008). Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)
di, Pabrik Gula Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur; Studi Kasus
Pengaruh Bongkar Ratoon Terhadap Peningkatan Produktivitas Tebu.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Winangun, Y. W. (2005). Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam
Era Globalisasi. Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS.
Winarna, Sikanna R. & Musafira. (2015). Analisis Kandungan Timbal Pada Buah
Apel (Pyrus Malus.L) yang Dipajangkan Dipinggir Jalankota Palu
Menggunakan Metode Spektrofotometriserapan Atom. Online Jurnal of
Natural Science Vol 4(1): 32-45. ISSN: 2338-0950.
Wogo, H. E., Segu, J. O., & Ola, P. D. (2011). Sintesis Silika Gel Termobilisasi
Dhitizon Melalui Proses Sol-Gel. Jurnal Sains dan Terapan. Vol 5, No.01.
Hal 82-92.
Zawrah, M. F., A. A. El-Kheshen, & H. M. Abd-El-Aal. (2009). Facile and
Economic Synthesis of Silica Nanopareticles. Journal of Ovonic Research,
Vol. 5, No. 5: 129-133.
Zuryati, U. K. (2005). Pembuatan Silika Gel dari Abu Sekam Padi Menggunakan
Asam Sitrat dan Asam Klorida serta Karakterisasinya. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
78
LAMPIRAN
79
Lampiran 1
Perhitungan untuk Sintesis Silika Gel dari Bagasse Tebu
1.
Larutan NaOH 1 M
Larutan NaOH 1 M dibuat dengan cara melarutkan 20 gram kristal NaOH
dengan aquades dan diencerkan dalam labu takar 500 mL hingga tanda batas.
Perhitungan untuk banyaknya NaOH yang digunakan sebagai berikut:
2.
M
=
1M
=
0,5 mol
=
Massa kristal NaOH
=
0,5 mol x 40 gram/mol
Massa kristal NaOH
=
20 gram
Larutan HCl 1 M
Larutan HCl 1 M dibuat dengan cara mengencerkan larutan HCl 5 M
sebanyak 100 mL dengan aquades ke dalam labu takar 500 mL hingga tanda
batas. Pengambilan volume larutan HCl didasarkan persamaan pengenceran
berikut:
1
.
1.
1
5M
=
2
.
2
= 500 mL . 1 M
1
=
1
= 100 mL
80
3.
Larutan HCl 0,1 M
Larutan HCl 0,1 M dibuat dengan cara memipet larutan HCl 1 M sebanyak
100 mL ke dalam labu takar 1000 mL, kemudian diencerkan hingga tanda batas.
Pengambilan volume larutan HCl 1 M berdasarkan persamaan pengenceran
berikut:
1
.
1.
1
1M
=
2
.
2
= 1000 mL . 0,1 M
1
=
1
= 100 mL
81
Lampiran 2
Hasil Karakterisasi FTIR dan XRD Silika Gel
Spektrum FTIR Silika Gel Hasil Sintesis
Thu Mar 09 13:26:47 2017 (GMT+07:00)
110
1638,19
797,25
105
100
4000
3500
1094,65
90
463,87
95
3464,81
%Transmittance
1.
3000
2500
2000
Wavenumbers (cm-1)
Collection time: Wed Mar 08 10:07:45 2017 (GMT+07:00)
Thu Mar 09 13:26:38 2017 (GMT+07:00)
FIND PEAKS:
Spectrum:
**0867 Silika
Region: 4000,00
400,00
Absolute threshold:
114,378
Sensitivity:
50
Peak list:
Position: 3464,81 Intensity:
89,634
Position: 1094,65 Intensity:
91,177
Position: 463,87 Intensity:
94,827
Position: 1638,19 Intensity:
100,409
Position: 797,25 Intensity:
104,623
82
1500
1000
500
Hasil analisis FTIR kiesel gel 60 Merck
Wed Mar 15 10:27:58 2017 (GMT+
106
104
94
92
4000
3500
3000
2500
2000
Wavenumbers (cm-1)
Collection time: Wed Mar 15 09:32:41 2017 (GMT+07:00)
Wed Mar 15 10:27:57 2017 (GMT+07:00)
FIND PEAKS:
Spectrum:
**0874 Silika Gel 60 Kiesel
Region: 4000,00
400,00
Absolute threshold:
107,699
Sensitivity:
50
Peak list:
Position: 1097,17 Intensity:
93,854
Position: 471,16 Intensity:
95,380
Position: 3462,86 Intensity:
95,624
Position: 1637,09 Intensity:
99,173
Position: 2361,20 Intensity:
99,866
Position: 800,85 Intensity:
100,600
83
1500
1000
471,16
96
1097,17
98
1637,09
2361,20
100
800,85
102
3462,86
%Transmittance
2.
500
3.
Difraktogram XRD Silika Gel
84
Lampiran 3
Perhitungan untuk Pembuatan Larutan Eksperimen Adsorpsi
Mr Ca (NO3)2.4H2O = 40,0 + (2 . 14,01 + 6 . 16,00) + (8 . 1,00 + 4 . 16)
= 40,0 + 28,02 + 96,00 + 8,00 + 64,00
= 236, 02 gr/mol
1.
Pembuatan Larutan Ca (NO3)2 konsentrasi 10 ppm dalam 1 L
Massa Ca (NO3)2.4H2O =
= 59,005 mg
= 0,059005 gram
aquademineralisata
0,059005 gram Ca (NO3)2.4H2O
Labu Ukur 1000 mL
Diencerkan hingga tanda batas
2.
Pembuatan Larutan Ca (NO3)2 konsentrasi 20 ppm dalam 1 L
Massa Ca (NO3)2.4H2O =
= 118,01 mg
= 0,11801 gram
85
aquademineralisata
0,11801 gram Ca (NO3)2.4H2O
Labu Ukur 1000 mL
diencerkan hingga tanda batas
86
Lampiran 4
Penentuan Persamaan Garis Regresi Linear Larutan Standar Ca2+
A. Penentuan Persamaan Garis Regresi Linear Larutan Standar Ca2+
1. Data konsntrasi dan absorbansi larutan standar Ca2+
Konsentrasi (ppm)
0,5000
1,0000
2,0000
3,0000
5,0000
7,0000
10,0000
Absorbansi
0,0375
0,1113
0,1802
0,2479
0,3989
0,5166
0,6850
Kurva Kalibrasi Larutan Standar Ca2+
87
2. Perhitungan Persamaan Garis Regresi Linear dan Uji Signifikasi Garis
Regresi
Data Statistik Penentuan Persamaan Garis Regresi Linear Larutan Standar
Ca2+
No
X (ppm)
Y (Absorbansi)
X2
Y2
XY
1
0,5000
0,0375
0,25
0,00140625
0,01875
2
1,0000
0,1113
1
0,01238769
0,1113
3
2,0000
0,1802
4
0,03247204
0,3604
4
3,0000
0,2479
9
0,06145441
0,7437
5
5,0000
0,3989
25
0,15912121
1,9945
6
7,0000
0,5166
49
0,26687556
3,6162
7
10,0000
0,6850
100
0,469225
6,85
Ʃ
28,5
2,1774
188,25
1,00294216
13,69485
Berdasarkan data diatas, dapat ditentukan garis regresi linear y = ax + b
a
=
=
=
= 0,06688042
88
b
=
=
=
= 0,03875831
3. Penentuan Signifikasi Korelasi X (Konsentrasi Larutan Standar Ca2+
dengan Y Absorbansi
Korelasi X dan Y dapat ditentukan dengan teknik korelasi momen tangkar
dari Pearson (product moment correlation), yaitu dengan menggunakan
persamaan berikut:
R hitung
=
=
=
=
= 0,99594974
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui persamaan regresi linear
larutan standar Ca2+ adalah y = 0,06688042 x + 0,03875831 dengan R =
0,99594974. Harga R kemudian dikonsultasikan dengan nilai R momen tangkar
dengan jumlah data 7 pada taraf signifikasi 1%. Berdasarkan hasil perhitungan
89
tersebut, didapatkan hasil yang menyatakan bahwa nilai R hitung lebih besar
dari nilai R tabel (0,874). Sehingga ada korelasi signifikan antara X dan Y.
4. Perhitungan Linearitas Garis Regresi Linear Larutan Standar Ca2+
Persamaan garis regresi linear diuji linearitasnya terlebih dahulu sebelum
digunakan untuk menentukan konsentrasi sampel. Uji linearitas dapat dilakukan
dengan menggunakan persamaan berikut:
Diket : k = 2, n=7
J Kreg
=
=
=
dbreg
=k–1
=2–1
=1
J Kres = ƩY2
J Kreg
= 1,00294216
0,99627579
= 0,00666637
dbres
=n–k
=7–2
=5
90
RJ K reg =
=
= 0,99627579
RJ Kres =
=
= 0,001333274
=
= 747,240095
F hitung
=
Nilai F hitung dibandingkan dengan harga F tabel dengan db (1,5) pada
taraf 1% yaitu 16,26. Nilai F hitung lebih besar dari harga F tabel, sehingga dapat
disimpulkan bahwa persamaan regresinya adalah linear dan dapat digunakan
untuk menentukan konsentrasi Ca2+.
91
Daftar r Nilai Koefisien Korelasi
92
93
Lampiran 5
Analisa Adsorpsi dengan Spektrofotometer Serapan Atom
1.
Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel denga Variasi Suhu 27°C dan 37°C
pada Waktu 15 Menit dan 60 Menit.
94
95
96
97
2.
Adsorpsi Kation Ca2+ oleh Silika Gel denga Variasi Suhu pada Waktu 15
Menit.
98
99
100
101
102
Lampiran 6
Data dan perhitungan untuk pengaruh suhu pada eksperimen adsorpsi
kation Ca2+ oleh adsorben silika dari bagasse tebu
Pada eksperimen adsorpsi variasi yang digunakan yaitu varisi suhu, yaitu 27 oC,
32oC, 37oC, 42oC, 47oC dan 52oC. Adsorpsi dilakukan pada kondisi pH 5 dan
waktu 15 menit.
Data Absorbansi pada Berbagai Variasi Suhu
Suhu (oC)
27
32
37
42
47
52
Absorbansi
Konsentrasi 10 ppm Konsentrasi 20 ppm
0,2700
0,5153
0,2738
0,5407
0,3831
0,5130
0,3723
0,5146
0,3388
0,5304
0,3193
0,5009
Perhitungan pada konsentrasi larutan 10 ppm
Konsentrasi awal
Perhitungan konsentrasi awal Ca2+ secara eksperimen
Y = 0,06688X + 0,038758
0,7162 = 0,06688X + 0,038758
X=
X = 10,129
Untuk suhu 27 oC pada silika gel
Absorbansi pengikatan = 0,2700
1. Perhitungan konsentrasi sisa Ca2+ secara eksperimen
Y = 0,06688X + 0,038758
0,2700 = 0,06688X + 0,038758
103
X=
X = 3,4576
2. Perhitungan % Ca2+ yang terikat secara eksperimen
% terikat
=
x100%
=
x100%
= 65,8650%
Suhu (oC)
X
% terikat (%)
27
3,4576
65,8650
32
3,5144
65,3043
37
5,1487
49,1707
42
4,9872
50,7641
47
4,4863
55,7092
52
4,1947
58,5880
Perhitungan pada konsentrasi larutan 20 ppm
Absorbansi
= 0,6823 x faktor pengenceran
= 0,6823 x 2
= 1,3646
Perhitungan konsentrasi awal Ca2+ secara eksperimen
Y = 0,06688X + 0,038758
1,3646 = 0,06688X + 0,038758
X=
X = 19,8242
104
Untuk suhu 27 oC pada silika gel
Absorbansi pengikatan = 0,5153
1. Perhitungan konsentrasi sisa Ca2+ secara eksperimen
Y = 0,06688X + 0,038758
0,5153 = 0,06688X + 0,038758
X=
X = 7,1253
2. Perhitungan % Ca2+ yang terikat secara eksperimen
% terikat
=
x100%
=
x100%
= 64,0576%
Suhu (oC)
X
% terikat (%)
27
7,1253
64,0576
32
7,5051
62,1417
37
7,0909
64,2311
42
7,1149
64,1100
47
7,3511
62,9185
52
6,9100
65,1436
105
Lampiran 7
Skema Penelitian
1.
Preparasi Bagasse Tebu
Bagasse tebu
Dikeringkan
dibawah sinar
matahari
600°C, selama 5 jam
Dibakar
Sampel dikalsinasi
Ditumbuk dan
Diayak
Ayakan 200 mesh
Abu bagasse tebu halus
berwarna abu-abu
106
2.
Pembuatan natrium silikat
20 gr abu
bagasse tebu
Toples
plastik
1 L HCl 0,1 M
Diaduk dengan
magnetic stirrer
2 jam
Disaring dengan
penyaring Buchner
Netral
Dicuci
Abu bagasse
netral
Filtrat
Konstan
Oven, 80°C
400 ml NaOH 1
M
90°C, selama
1 jam
Teflon
Dipanaskan dan
diaduk
Disaring
Filtrat
Residu
Larutan
Natrium Silikat
107
3.
Pembuatan Silika Gel
HCl 1 M
Tetes demi
tetes
Larutan
Natruim Silikat
Diaduk dengan magnetic stirrer
Gel, pH 7
Disaring
Hidrogel
Silika
Filtrat
Dicuci hingga
netral
Dikeringkan pada suhu
80°C selama 5 jam
Silika Gel
Karakterisasi FTIR,
XRD
108
4. Eksperimen Adsorpsi Variasi Suhu
0,2 gram silika gel
Erlenmeyer
200 mL larutan
Ca(NO3)2
Memanaskan dan
Mengaduk
pH 5, waktu 15
menit
Setelah suhu teramati 27°C, 32°C,
37°C, 42°C, 47°C, dan 52°C
Mengambil 5 mL
Centifuge
Sampel di AAS
109
Lampiran 8
Dokumentasi Penelitian
Pengeringan abu bagasse
Abu bagasse halus
Pereaksian abu dengan HCl
Abu bagasse netral
Pemisahan residu dan filtrat
natrium silikat
Sintesis natrium silikat
110
Download