PENDIDIKAN ISLAM DAN UPAYA PENINGKATAN KUALITAS

advertisement
1
PENDIDIKAN ISLAM DAN UPAYA PENINGKATAN
KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA 1
Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan
Untuk konteks Indonesia upaya peningkatan sumber daya manusia
(SDM) merupakan hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama
dalam pembangunan bangsa. Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama
karena rendahnya tingkat kualitas manusia Indonesia sebagaimana terbaca
dalam laporan resmi badan dunia UNDP.
UNDP melalui Human Development Report tahun 2007 melaporkan
tingkat kemajuan manusia di seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan
pada penilaian terhadap tiga variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia
hidup manusia (long and healthy life); pengetahuan (knowledge) dan
kelayakan standard hidup manusia (a decent standard of living). Untuk
tingkat Asia dijumpai laporan berikut. Human Development Index (HDI)
tahun 2008 Indonesia menduduki peringkat ke-109 dengan nilai akumulatif
0,688. China 0,762 (peringkat ke-96), Filipina 0,754 (peringkat ke-77),
Thailand 0,752 (peringkat ke-70), Malaysia, 0,782 (peringkat ke-59), Brunei
Darussalam 0,856 (peringkat ke-32), Singapura 0,885 (peringkat ke-25),
Jepang 0,933 (peringkat ke-9). Laporan tersebut seharusnya membuka mata
kita untuk mengakui secara jujur bahwa di tingkat Asia saja Indonesia
berada pada urutan 109, hanya setingkat di atas negara-negara Afrika yang
miskin dan dilanda perang.
Sementara itu, dilaporkan pula bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun terakhir mengalami kemajuan
sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang pernah diprediksikan para
pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan ternyata jauh lebih cepat
dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu saja perubahan ini
berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di dalamnya
perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam Indonesia harus merespon
perubahan tersebut melalui pendidikan.
Mengapa pendidikan? Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi
atau penanaman modal untuk suatu bangsa yang amat penting. Di antara
semua bentuk investasi yang dilakukan suatu bangsa, pendidikan yang baik
dan profesional merupakan investasi yang paling penting, paling produktif
1
Professor Riset Bidang Lektur Agama dan Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2
dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika pendidikan
diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan bangsa dan negara.
Untuk merealisasikan hal ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat
dari para pimpinan negara, terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis
investasi jangka panjang. Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan
baru terlihat setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun
atau satu generasi. Itulah tantangannya sehingga investasi di bidang
pendidikan ini sering tidak menarik kalangan investor yang ingin cepat-cepat
meraih keuntungan. Untuk keberhasilan pendidikan dibutuhkan kesabaran,
keuletan, dan kegigihan dari semua elemen masyarakat, termasuk ketabahan
menunda berbagai harapan kesenangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia
tercatat sebagai negara yang paling rendah menginvestasikan diri dalam
pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha sadar yang sengaja
dikemas untuk mempersiapkan manusia agar mampu memecahkan pelbagai
problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga pada gilirannya nanti
mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan
demikian, institusi pendidikan menempati posisi yang amat strategis dalam
menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan iptek
dan tuntutan dinamika manusia.
Mengapa pendidikan sangat relevan dalam upaya-upaya peningkatan
SDM suatu bangsa? Sebab, ada ungkapan populer, knowledge is power
(ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan yang berhasil merupakan
sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari unsur
keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu
bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut.
Pendidikan memiliki paling sedikit dua macam dampak posistif.
Pertama, meningkatkan kemampuan kerja manusia dengan keahlian dan
profesionalisme. Pendidikan membekali manusia dengan sejumlah keahlian
dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri menurut
bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen, kesehatan,
pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai dampak
besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional.
Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan
memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam
kehidupan keagamaan.
Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluasluasnya. Perpaduan informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan
yang dahsyat. Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan
3
yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali
berbagai alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya
mempermudah mereka untuk menemukan solusi bagi problem yang
dihadapinya.
Pentingnya Pendidikan Dalam Islam
Islam sejak semula diyakini sebagai agama yang menaruh perhatian
dan kepedulian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Bukan hal
kebetulan jika Al-Qur'an, kitab suci umat Islam memulai tuntunannya
dengan ayat-ayat yang berisi perintah membaca (QS. al-Alaq, 1-6).
Membaca merupakan media utama dalam pendidikan karena membaca
merupakan jendela ilmu pengetahuan. Hanya dengan membacalah pikiran
dan wawasan manusia dapat terbuka dan tercerahkan sehingga pada
gilirannya diharapkan membentuk manusia menjadi lebih arif bijaksana,
lebih berkualitas dalam semua hal, terutama akhlaknya.
Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat
penting bagi manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Ditemukan sejumlah ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi
orang-orang yang menekuni pendidikan dan bidang keilmuan, salah satunya
dapat dirujuk pada ayat: Allah swt. mengangkat derajat orang-orang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan.”
Adapun dalam hadis Nabi, antara lain: ”menuntut ilmu merupakan
kewajiban bagi laki-laki dan perempuan” atau seruan Nabi kepada segenap
kaum muslim: laki-laki dan perempuan “tuntutlah ilmu walau sampai ke
negeri Cina.” Sayangnya nilai-nilai ideal yang begitu luhur pada tataran
normatif tersebut tidak berlanjut ke tataran empiris sebagaimana terlihat
dalam realitas kehidupan di masyarakat.
Ironis sekali, meskipun ajaran Islam sangat kuat mendorong umatnya
menekuni dan mengembangkan pendidikan, namun faktanya di berbagai
belahan dunia dijumpai cukup banyak penganut Islam tidak tersentuh
pendidikan. Angka partisipasi mereka dalam semua level pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi sangat rendah, terlebih lagi bagi kaum
perempuan. Sebagian besar umat Islam tidak memiliki akses, tidak mampu
berpatisipasi dalam upaya-upaya pendidikan, serta tidak mampu mengambil
manfaat atau menikmati hasil-hasil pembangunan dalam bidang pendidikan.
Akibatnya, seperti yang banyak diungkap selama ini, umat Islam masih
menempati posisi yang lemah dan terkebelakang, khususnya dalam bidang
sains dan teknologi.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa ilmu dan iman merupakan
syarat bagi kesuksesan hidup di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi.
4
Karena itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan
berilmu ke tingkat yang sangat tinggi. Ada jaminan Tuhan bahwa mereka
yang memiliki iman dan ilmu akan selalu bijaksana dan bersikap lapang
dada karena mereka memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang
dalam. Mereka akan bersikap empati, peduli dan toleran terhadap sesama
manusia, sekali pun berbeda agama dan kepercayaan (QS, al-Mujaadilah,
58:11).
Esensi Pendidikan Islam
Para pakar menawarkan beragam rumusan mengenai pendidikan
yang pada esensinya dapat dikategorikan pada dua aliran. Pertama, aliran
yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses pewarisan atau enkulturasi
dan sosialisasi perilaku sosial yang telah mapan di masyarakat. Kedua,
aliran yang memahami pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang
memungkinkan tergalinya sejumlah potensi manusia agar dapat
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hidup mereka. Kedua
sudut pandang yang berbeda dalam memahami pendidikan tersebut, masingmasing memiliki implikasi yang luas terhadap pelaksanaan pendidikan di
masyarakat. Aliran pertama mengandaikan peserta didik sebagai obyek pasif
dalam pendidikan. Sebaliknya, aliran kedua mengasumsikan peserta didik
sebagai subyek yang harus terlibat aktif dalam seluruh proses dan tahapan
pendidikan. Pendidikan Islam yang diuraikan dalam tulisan ini cenderung
mengambil corak aliran kedua karena sejalan dengan filsafat pendidikan
Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah fi al-ardh, subyek yang
menerima amanah untuk mengelola kehidupan dunia dengan berbasis
keimanan kepada Allah swt.
Adalah suatu fakta yang tak dapat dibantah bahwa tingkat pendidikan
umat Islam, kuhususnya di Indonesia masih sangat rendah, terutama jika
dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea.
Lebih memprihatinkan lagi bahwa tingkat pendidikan perempuan dan angka
partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan di negara-negara Islam atau
negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim masih sangat
memprihatinkan. Mengapa ini terjadi? salah satu hipotesa yang dapat
dikedepankan adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam pada umumnya
masih bersipat tradisional, belum bersifat profesional.
Berbicara tentang pengelolaan pendidikan Islam profesional akan
membawa kita pada diskusi mengenai sejumlah elemen penting dalam
pendidikan. Akan tetapi, dalam tulisan terbatas ini, penulis akan menyoroti
tiga elemen dasar, yaitu tujuan pendidikan, materi pendidikan, dan
5
metododologinya. Ketiga elemen dasar tersebut akan diurakan satu persatu
dalam uraian berikut.
a. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam dipadang sebagai
subsistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah
untuk mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME. Pendidikan Islam di Indonesia sangat diharapkan dapat
menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan. Para
ahli pendidikan Islam sepakat bahwa fungsi utama pendidikan Islam adalah
membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral
atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam
yang mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia
sehingga membentuk manusia beriman dan berilmu secara seimbang.
Perlu diberi catatan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan manusia,
sebagaimana yang ingin diwujudkan, baik dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional terlebih lagi dalam pendidikan Islam hendaknya jangan
diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan dan ketakwaan seseorang,
misalnya tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang sifatnya legal formal,
seperti salat, puasa, rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir,
pergi haji dan seterusnya. Lebih fatal lagi kalau diukur dari hal-hal yang
bersifat sangat simbolistik, seperti panjangnya janggut bagi laki-laki,
panjangnya jilbab buat perempuan, atau seringnya menggunakan label-label
syariah dan sebagainya.
Sesungguhnya hanya Allah semata yang mengetahui ukuran
keimanan dan ketakwaan manusia. Sebab, Dia lah Zat Yang Maha
Mengetahui. Keimanan dan ketakwaan manusia tidak dapat diukur secara
kasat mata. Akan tetapi, indikasi keimanan dan ketakwaan seseorang
terefleksikan pada seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada
upaya-upaya berikut: membangun lingkungan yang bersih, baik secara
material maupun moral; menolong fakir-miskin; membantu anak-anak dan
perempuan terlantar serta kelompok rentan lainnya; mengentaskan
kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari semua tindakan
diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun, termasuk
kekerasan yang menggunakan alasan agama sekalipun.
Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan
bertakwa dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan
hendaknya menyentuh dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri
manusia secara bersamaan, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Inilah problemnya, karena dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan
6
Islam pada umumnya baru menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum
optimal. Hasilnya seperti yang kita saksikan, yaitu manusia-manusia yang
mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau bahkan tidak mampu
menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran Islam, apalagi
mengimplementasikan pengetahuan keagamaannya itu ke dalam perilaku
islami sehari-hari. Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam
yang demikian adalah munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum
memberikan kontribusi positif bagi bangunan peradaban Islam, belum
memberikan solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial
kontemporer yang dihadapi masyarakat.
Pendidikan Islam harus mampu mengubah dan mengembangkan
ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih
baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi. Pendidikan harus
mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan
terbuka; mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih
pluralis, dan lebih humanis sehingga menjadi lebih empati terhadap sesama,
serta lebih peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta; dan
mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih santun dan bermoral.
Ringkasnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia
berbudi-pekerti luhur atau berakhlak mulia.
Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu?
Paling tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap
senantiasa taat dan patuh kepada Allah swt. dengan melakukan semua
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki kepekaan sosial yang
tinggi sehingga selalu tergugah untuk menyelesaikan problem-problem
kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama manusia tanpa
melihat kepada status sosial, warna kulit, suku bangsa, jenis kelamin, dan
bahkan tanpa memandang agamanya; dan menyayangi makhluk lain; serta
memelihara kelestarian lingkungan. Dengan ungkapan lain, tujuan
pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia; menjadikan manusia lebih
manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi
juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan dan keesaan
Tuhan; memiliki empati kepada sesama, serta selalu berpihak kepada
kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin), seperti anak-anak
yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan konflik, fakir
miskin, para penyandang cacat (disable people), perempuan, buruh kasar,
dan orang-orang yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.
b. Materi Pendidikan Islam
7
Materi pendidikan Islam, khususnya di perguruan tinggi hendaknya
dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama
Islam. Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa
pada masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses
humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat
berlangsung sejak awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan
keilmuan studi keislaman berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti
keilmuan humaniora dan keilmuan sosial dengan fondasi epistemologi dan
filsafat keilmuan studi keislaman corak baru.
M. Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan
spesialisasi keilmuan apa pun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu
kaku dan rigid tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman
kontemporer. Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu
untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu
agama Islam serta membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin
keilmuan agama yang hidup di dalam bilik-bilik sempit epistemologi dan
institusi fakultas yang dibangun sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di
perguruan tinggi Islam, seperti STAIN.
Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak
mengenal atau kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syari'ah begitu
pula sebaliknya. Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun,
seperti keilmuan Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak saling mengenal
dan tidak saling menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi
umum, seperti MIPA, Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi
yang luas dalam kehidupan sosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi
Islam akan gamang menghadapi realitas kehidupan keilmuan di luar dirinya,
dan menjadi kurang percaya diri menghadapi dinamika perkembangan ilmu
pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya.
Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer membagi
corak epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu
epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Corak Epistemologi Bayani
didukung oleh pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi
Irfani diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu,
corak Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi'), baik realitas
alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul
dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang
dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui otoritas teks
seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui otoritas intuisi
seperti dalam corak Irfani.
8
Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga
corak keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi
Bayani adalah teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani
adalah pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber
ilmunya berasal dari realitas (al-waqi'). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan
dari ketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolok ukur
validitas keilmuan masing-masing.
Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman
hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru mendasarkan
tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang, yang
tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati. Berbeda dengan tolok ukur
kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan pada
korespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal
manusia dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan
aspek koherensi atau keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus
demi memperbaiki dan menyempurnakan teori-teori yang telah dibangun
dan dikonstruksikan oleh akal manusia.
Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir
seluruh materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN,
IAIN, STAIN, maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara
negeri dan swasta. Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantrenpesantren juga secara dominan menggunakan model Bayani. Masalahnya,
penggunaan model Bayani itu bersifat hegemonik sehingga menafikan
keberadaan dan kehadiran kedua corak pemikiran keislaman lainnya, yaitu
Irfani, dan Burhani. Akibat dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam
pendidikan Islam terlihat perilaku keberagamaan masyarakat umumnya
sangat rigid dan kaku. Mereka kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan
yang bersifat kontekstual.
Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi
nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang
dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir
model tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat
dogmatik, defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu
mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual.
Oleh karena itu, sudah waktunya merumuskan kembali bangunan materi
pendidikan dan keilmuan Islam dengan mempertimbangkan ketiga corak
epistemologi tadi: epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani.
c. Metodologi Pendidikan Islam
9
Kritik terhadap metodologi pendidikan Islam di pesantren-pesantren
dan madrasah-madrasah, antara lain bahwa pelaksanaannya sangat
didominasi oleh sikap pendidik yang monolog dan banyak bicara. Materi
dan bahan ajar yang digunakan pun sangat tekstual, peserta didik lebih
diarahkan kepada kemampuan menghafal, bukan diarahkan pada
kemampuan berfikir kritis dan analitis. Konsekuensinya, peserta didik lebih
banyak dijejali materi dari teks-teks yang digunakan para pendidik, sedikit
sekali kesempatan mengeksplorasi kemampuan kritis mereka. Mereka hanya
mendapatkan informasi secara tekstual dari buku teks yang diwajibkan dan
sudah tentu sangat terbatas jumlah dan ragamnya. Akibatnya, peserta didik
dijauhkan dari lingkungan keseharian mereka yang justru merupakan sumber
belajar yang sangat kaya.
Kritik yang sama juga ditujukan kepada pelaksanaan pendidikan
Islam di perguruan tinggi. Mahasiswa umumnya diarahkan menguasai teks
yang lepas dari pengalaman mereka. Materi pendidikan yang disajikan di
ruang kuliah sangat berbeda dengan realitas sosiologis di masyarakat.
Pendidikan tidak membuat mahasiswa berempati dan peka terhadap
lingkungan di mana mereka hidup; tidak membuat mereka menjadi empati
terhadap persoalan kemanusiaan yang bergumul di sekitar mereka.
Pendidikan tidak menjadikan mahasiswa tergugah nuraninya dan kemudian
aktif mencari solusi terhadap pelbagai problem sosial yang terjadi di
sekitarnya, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, perilaku konsumeristik
dan hedonistik, perilaku kekerasan, termasuk kekerasan atas dalil membela
agama, bahaya narkoba, HIV/Aids, minuman keras, perjudian, perkosaan,
pornografi, perdagangan anak dan perempuan, perkelahian, penipuan, dan
pelacuran.
Beranjak dari tujuan pendidikan yang menekankan pada dua aspek
sekaligus: ruhani dan jasmani manusia, maka pilihan metode dalam
pendidikan Islam, khususnya tingkat perguruan tinggi lebih fokus kepada
upaya penggalian pengalaman konkret mahasiswa untuk kemudian
dikembangkan melalui kemampuan analisis sosial, analisis yang kritis dan
rasional. Pengajaran tentang fikih, misalnya tidak lagi disampaikan secara
monolog dan hanya berpegang pada buku teks yang ada, melainkan
diberikan dalam bentuk dialog dengan mengangkat kasus-kasus yang riil dan
aktual di masyarakat. Dengan demikian mahasiswa dapat memahami isu-isu
fikih aktual yang berkembang di sekitar mereka dan bagaimana mencari
solusi yang humanis dan efektif bagi pemecahannya dengan berpedoman
pada Qur`an dan Sunnah atau beranalog pada hasil ijtihad para ulama
sebelumnya. Metode ini lebih menekankan pada partisipasi aktif mahasiswa
sehingga terpacu untuk menggali segenap potensi atau pengalaman yang ada
10
dalam diri mereka untuk kemudian disampaikan di dalam kelas di hadapan
dosen dan sesama mahasiswa lalu didiskusikan secara terbuka dan
demokratis. Dosen hanya memfasilitasi agar diskusi berjalan efektif dan tiba
pada kesimpulan yang memuaskan semua pihak yang terlibat dalam proses
belajar mengajar tersebut.
Pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada pendidikan yang
demokratik. Sejumlah pakar pendidikan, seperti Freire menandaskan bahwa
pertumbuhan daya intelektual seseorang hanya dapat berjalan dengan baik
manakala ia diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat,
menyampaikan opini dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak
akan terbangun intelektual tanpa membebaskan pikiran manusia dari
berbagai bentuk kungkungan, pembatasan dan penjajahan. Ciri utama
pendidikan demokratik adalah mengikutsertakan seluruh pelaku pendidikan:
dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan proses pendidikan tersebut. Para mahasiswa
sesungguhnya memiliki obyek dan persoalan yang ingin mereka pelajari
karena dalam hidup kesehariannya mereka menemukan persoalan-persoalan
hidup yang membutuhkan solusi. Akan tetapi, pendidikan selama ini hampir
selalu menempatkan mahasiswa sebagai obyek, belum sebagai subyek.
Dalam banyak proses belajar, mahasiswa hampir tidak pernah menentukan
sendiri apa yang ingin diperbuat atau apa yang diingin diraih berkaitan
dengan pendidikan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu,
pendidikan Islam hendaknya menfasilitasi mahasiswa secara demokratis
untuk mengenali sendiri kebutuhan mereka dan problem yang mereka hadapi
serta membantu mereka memecahkan persoalan mereka secara mandiri.
Dengan ungkapan lain, melalui pendidikan mahasiswa dilatih hidup secara
demokratis, bisa menerima dan memberikan pendapat, bisa berbeda
pendapat dengan orang lain tanpa menimbulkan perasaan tidak nyaman.
Menghargai orang lain tanpa mengorbankan prinsip diri sendiri.
Pendidikan Islam hendaknya bersifat membebaskan. Memposisikan
mahasiswa sebagai subyek berarti membebaskan mereka dari belenggu dan
ikatan seperti dialami selama ini dalam hampir setiap aktifitas pendidikan.
Tentu disertai dengan tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa batas.
Pendidikan dengan demikian dirasakan tidak membelenggu, melainkan
membebaskan. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagi wadah kosong yang
dapat diisi apa saja dalam oleh para pendidiknya. Bentuk penyelenggaraan
pendidikan selalu mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa karena itu
selalu ada upaya melakukan need assesment. Pendidikan dirasakan sebagai
kebutuhan dan bukan kewajiban. Pendidikan yang membebaskan hanya
dapat diwujudkan melalui aktualisasi para mahasiswa dalam proses
11
belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat dikontrol
benar dan salahnya, baik dan tidaknya dan dari sini mereka memperoleh
pengalaman nilai-nilai untuk kehidupannya nanti.
Pendidikan Islam hendaknya bersifat konstruktif. Pendidikan Islam,
terutama di pesantren dan madrasah sangat menekankan pada kemampuan
menghafal, bukan kemampuan memahami. Sementara dalam pendidikan
modern dikenal suatu pola yang disebut pendidikan yang konstruktif. Pola
ini berkaitan dengan upaya pengembangan konseptual dan dimaksudkan
agar mahasiswa mampu menyusun konsep sendiri. Kemampuan ini sangat
penting dalam membentuk manusia yang inovatif, kreatif, dan mandiri,
bukan manusia yang cuma tahu menghafal dan taqlid buta pada pendapat
ulama sebelumnya. Pendidikan konstruktif merupakan proses pembelajaran
induktif yang berati mengangkat tinggi nilai-nilai faktual empirik.
Pendidikan konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan
konseptual. Pendidikan harus mampu membuat mahasiswa memahami
dengan baik materi yang dipelajarinya untuk kemudian berani
mengkonstruksikan apa yang dipahaminya itu dalam bahasanya sendiri, atau
bahkan mampu melahirkan teori baru yang diharapkan berguna bagi
perkembangan keilmuan dan bangunan peradaban manusia.
Terakhir, pendidikan hendaknya bersifat humanis, yakni berorientasi
kepada kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan pendidik. Menurut
Freire, pendidikan yang memperhatikan keperluan mahasiswa atau yang
memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) adalah pendidikan yang
humanis. Pendidikan bercorak humanis memberikan kebebasan seluasluasnya kepada mahasiswa untuk berfikir rasional dan kritis, namun tetap
dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan. Koridornya adalah
penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, semakin
kita memahami kewajiban menghargai dan memenuhi hak-hak asasi
manusia, semakin kita sadar dan bertanggungjawab untuk membatasi
kebebasan diri kita sendiri.
Perlunya Reformasi Ilmu dan Pendidikan Islam
Reformasi ilmu dan pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada
empat paradigma berikut. Pertama, reformasi ilmu dan pendidikan Islam
diarahkan kepada pendidikan yang demokratik. Sejumlah pakar pendidikan,
seperti Freire menandaskan bahwa pertumbuhan daya intelektual seseorang
hanya dapat berjalan dengan baik manakala ia diberi kebebasan untuk
mengemukakan pendapat, menyampaikan opini dan mengekspresikan diri
sebebas-bebasnya. Tidak akan terbangun intelektualitas tanpa membebaskan
12
pikiran manusia dari berbagai bentuk kungkungan, pembatasan dan
penjajahan.
Kedua, ilmu dan pendidikan Islam hendaknya bersifat membebaskan.
Memposisikan mahasiswa sebagai subyek berarti membebaskan mereka dari
belenggu dan ikatan seperti dialami selama ini dalam hampir setiap aktifitas
pendidikan. Tentu disertai dengan tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa
batas.
Pendidikan dengan demikian dirasakan tidak membelenggu,
melainkan membebaskan. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagi wadah
kosong yang dapat diisi apa saja dalam oleh para pendidiknya. Bentuk
penyelenggaraan pendidikan selalu mempertimbangkan kebutuhan
mahasiswa karena itu selalu ada upaya melakukan need assesment.
Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan dan bukan kewajiban. Pendidikan
yang membebaskan hanya dapat diwujudkan melalui aktualisasi para
mahasiswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai
kegiatan yang dapat dikontrol benar dan salahnya, baik dan tidaknya dan
dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai untuk kehidupannya
nanti.
Ketiga, ilmu dan pendidikan Islam hendaknya bersifat konstruktif.
Pendidikan Islam, terutama di pesantren dan madrasah sangat menekankan
pada kemampuan menghafal, bukan kemampuan memahami. Sementara
dalam pendidikan modern dikenal suatu pola yang disebut pendidikan yang
konstruktif. Pola ini berkaitan dengan upaya pengembangan konseptual dan
dimaksudkan agar mahasiswa mampu menyusun konsep sendiri.
Kemampuan ini sangat penting dalam membentuk manusia yang inovatif,
kreatif, dan mandiri, bukan manusia yang cuma tahu menghafal dan taqlid
buta pada pendapat ulama sebelumnya. Pendidikan konstruktif merupakan
proses pembelajaran induktif yang berati mengangkat tinggi nilai-nilai
faktual empirik. Pendidikan konstruktif merupakan salah satu pendekatan
pendidikan konseptual. Pendidikan harus mampu membuat mahasiswa
memahami dengan baik materi yang dipelajarinya untuk kemudian berani
mengkonstruksikan apa yang dipahaminya itu dalam bahasanya sendiri, atau
bahkan mampu melahirkan teori baru yang diharapkan berguna bagi
perkembangan keilmuan dan bangunan peradaban manusia.
Keempat, pendidikan hendaknya bersifat humanis, yakni berorientasi
kepada kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan pendidik. Menurut
Freire, pendidikan yang memperhatikan keperluan mahasiswa atau yang
memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) adalah pendidikan yang
humanis. Pendidikan bercorak humanis memberikan kebebasan seluasluasnya kepada mahasiswa untuk berfikir rasional dan kritis, namun tetap
dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan. Koridornya adalah
13
penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, semakin
kuat upaya seseorang menghargai dan memenuhi hak-hak orang lain,
semakin kuat pula kesadaran dan tanggungjawabnya untuk tidak berbuat
semena-mena, termasuk kesadaran untuk membatasi kebebasan diri sendiri.
Penutup dan Rekomendasi
Sebagai penutup, saya merekomendasikan tiga aksi konkret untuk
upaya reformasi dan pembaruan ilmu dan pendidikan Islam di masa depan
sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam menuju
baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.
Ketiga aksi dimaksud adalah upaya-upaya rekonstruksi budaya,
revisi peraturan dan perundang-undangan, serta reinterpretasi ajaran agama.
Upaya-upaya rekonstruksi budaya perlu dilakukan melalui pendidikan dalam
arti seluas-luasnya, mencakup pendidikan informal dalam keluarga,
pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non-formal di masyarakat
sehingga terbangun budaya damai, gemar membaca, cinta ilmu, dan senang
berkarya. Upaya ini harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga.
Keluarga harus mampu menanamkan kepada seluruh anggotanya nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur, rasa empati, respek dan kepedulian kepada sesama
serta kecintaan terhadap lingkungan.
Upaya merevisi peraturan dan perundang-undangan yang tidak
kondusif bagi pelaksanan pendidikan merupakan agenda yang harus
dicermati oleh semua pihak atau merumuskan peraturan baru yang memihak
pada kemajuan lembaga pendidikan Islam. Terakhir, upaya-upaya
reinterpretasi ajaran agama ke arah pemahaman yang inklusif, toleran,
humanis dan ramah kepada perempuan menjadi catatan yang sangat penting
dalam membangun suasana pendidikan Islam yang humanis, demokratik,
dan membebaskan.
Melalui lembaga pendidikan Islam inilah diharapkan komunitas
Islam Indonesia dapat mewujudkan SDM yang berkualitas yang pada
gilirannya akan mempromosikan ajaran Islam yang ramah dan sejuk
serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan sehingga pada
akhirnya Islam sungguh-sungguh menjadi rahmat bagi alam semesta
(rahmatan lil alamin). In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ
tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a'lam bi as-shawab.
14
DAFTAR BIBLIOGRAFI
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
-----------------------, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1995.
Al-Ghazaly, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl al-Fiqh wa ahl alHadist, Dar al-Syuruq, Beirut, 1989.
Al-Jabiri, Muhammad Abid, Al-Aql al-Siyasy al-Araby: Muhaddidatuh wa
Tajalliyatuh, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby, Beirut, 1991.
------------------------------, Taqwin al-Aql al-Araby, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby,
Beirut, 1990.
Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,
Human Rights and International Law, Syracuse University, New York,
1990.
----------------------------, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta,
1995.
Arkoun Mohammed, Rethinking Islam Today, Center for Contemporary Arab
Studies, Washington, 1987.
Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Tourchbooks, New York,
1996.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The
University of Chicago, Chicago, 1988.
15
Boullata Issa J. (Ed.), Anthology of Islamic Studies, McGill Indonesian IAIN
Development Project, Montreal, 1992.
EL Fadl, Khaled Abou, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and
Women, One World Publications, Oxford, 2001.
Esack, Farid, Qur'an, Liberation & Pluralism, One World Publications, Oxford,
1997.
Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, 2004
Khallâf, 'Abd al-Wahhâb, 'Ilm Ushûl al-Fikih, cet. 12, Dâr al-Qalam, Mesir, 1978.
Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, (terjemahan) Beacon Press,
Boston, 1971.
Hidayat, Komaruddin, Problem &Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam,
Departemen Agama, Jakarta, 2000.
Mulia, Siti Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina,
Jakarta, 2000.
------------------------, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan
Sebagai Profesor Riset), Departemen Agama, Jakarta, 1999.
------------------------, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005
------------------------, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan,
Bandung.
------------------------(Ed.), Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI,
Departemen Agama, Tim Pengarusutamaan Gender, Jakarta, 2004
(naskah belum dipublikasikan).
Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.
Peretz, Don, The Middle East Today, Praeger, New York.
Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima
(ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta,
1988.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan
oleh Hasan Langgulung), Bulan Bintang, Jakarta, 1979.
Download