1 PENDIDIKAN ISLAM DAN UPAYA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA 1 Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Untuk konteks Indonesia upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama karena rendahnya tingkat kualitas manusia Indonesia sebagaimana terbaca dalam laporan resmi badan dunia UNDP. UNDP melalui Human Development Report tahun 2007 melaporkan tingkat kemajuan manusia di seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan pada penilaian terhadap tiga variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia hidup manusia (long and healthy life); pengetahuan (knowledge) dan kelayakan standard hidup manusia (a decent standard of living). Untuk tingkat Asia dijumpai laporan berikut. Human Development Index (HDI) tahun 2008 Indonesia menduduki peringkat ke-109 dengan nilai akumulatif 0,688. China 0,762 (peringkat ke-96), Filipina 0,754 (peringkat ke-77), Thailand 0,752 (peringkat ke-70), Malaysia, 0,782 (peringkat ke-59), Brunei Darussalam 0,856 (peringkat ke-32), Singapura 0,885 (peringkat ke-25), Jepang 0,933 (peringkat ke-9). Laporan tersebut seharusnya membuka mata kita untuk mengakui secara jujur bahwa di tingkat Asia saja Indonesia berada pada urutan 109, hanya setingkat di atas negara-negara Afrika yang miskin dan dilanda perang. Sementara itu, dilaporkan pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun terakhir mengalami kemajuan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang pernah diprediksikan para pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan ternyata jauh lebih cepat dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu saja perubahan ini berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di dalamnya perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam Indonesia harus merespon perubahan tersebut melalui pendidikan. Mengapa pendidikan? Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi atau penanaman modal untuk suatu bangsa yang amat penting. Di antara semua bentuk investasi yang dilakukan suatu bangsa, pendidikan yang baik dan profesional merupakan investasi yang paling penting, paling produktif 1 Professor Riset Bidang Lektur Agama dan Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2 dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika pendidikan diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan bangsa dan negara. Untuk merealisasikan hal ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pimpinan negara, terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis investasi jangka panjang. Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan baru terlihat setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun atau satu generasi. Itulah tantangannya sehingga investasi di bidang pendidikan ini sering tidak menarik kalangan investor yang ingin cepat-cepat meraih keuntungan. Untuk keberhasilan pendidikan dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan kegigihan dari semua elemen masyarakat, termasuk ketabahan menunda berbagai harapan kesenangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rendah menginvestasikan diri dalam pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha sadar yang sengaja dikemas untuk mempersiapkan manusia agar mampu memecahkan pelbagai problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga pada gilirannya nanti mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, institusi pendidikan menempati posisi yang amat strategis dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan iptek dan tuntutan dinamika manusia. Mengapa pendidikan sangat relevan dalam upaya-upaya peningkatan SDM suatu bangsa? Sebab, ada ungkapan populer, knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan yang berhasil merupakan sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari unsur keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut. Pendidikan memiliki paling sedikit dua macam dampak posistif. Pertama, meningkatkan kemampuan kerja manusia dengan keahlian dan profesionalisme. Pendidikan membekali manusia dengan sejumlah keahlian dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri menurut bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen, kesehatan, pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai dampak besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional. Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan keagamaan. Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluasluasnya. Perpaduan informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan yang dahsyat. Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan 3 yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali berbagai alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya mempermudah mereka untuk menemukan solusi bagi problem yang dihadapinya. Pentingnya Pendidikan Dalam Islam Islam sejak semula diyakini sebagai agama yang menaruh perhatian dan kepedulian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Bukan hal kebetulan jika Al-Qur'an, kitab suci umat Islam memulai tuntunannya dengan ayat-ayat yang berisi perintah membaca (QS. al-Alaq, 1-6). Membaca merupakan media utama dalam pendidikan karena membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan. Hanya dengan membacalah pikiran dan wawasan manusia dapat terbuka dan tercerahkan sehingga pada gilirannya diharapkan membentuk manusia menjadi lebih arif bijaksana, lebih berkualitas dalam semua hal, terutama akhlaknya. Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat penting bagi manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ditemukan sejumlah ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi orang-orang yang menekuni pendidikan dan bidang keilmuan, salah satunya dapat dirujuk pada ayat: Allah swt. mengangkat derajat orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan.” Adapun dalam hadis Nabi, antara lain: ”menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan” atau seruan Nabi kepada segenap kaum muslim: laki-laki dan perempuan “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.” Sayangnya nilai-nilai ideal yang begitu luhur pada tataran normatif tersebut tidak berlanjut ke tataran empiris sebagaimana terlihat dalam realitas kehidupan di masyarakat. Ironis sekali, meskipun ajaran Islam sangat kuat mendorong umatnya menekuni dan mengembangkan pendidikan, namun faktanya di berbagai belahan dunia dijumpai cukup banyak penganut Islam tidak tersentuh pendidikan. Angka partisipasi mereka dalam semua level pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat rendah, terlebih lagi bagi kaum perempuan. Sebagian besar umat Islam tidak memiliki akses, tidak mampu berpatisipasi dalam upaya-upaya pendidikan, serta tidak mampu mengambil manfaat atau menikmati hasil-hasil pembangunan dalam bidang pendidikan. Akibatnya, seperti yang banyak diungkap selama ini, umat Islam masih menempati posisi yang lemah dan terkebelakang, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. Islam secara tegas mengajarkan bahwa ilmu dan iman merupakan syarat bagi kesuksesan hidup di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. 4 Karena itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu ke tingkat yang sangat tinggi. Ada jaminan Tuhan bahwa mereka yang memiliki iman dan ilmu akan selalu bijaksana dan bersikap lapang dada karena mereka memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang dalam. Mereka akan bersikap empati, peduli dan toleran terhadap sesama manusia, sekali pun berbeda agama dan kepercayaan (QS, al-Mujaadilah, 58:11). Esensi Pendidikan Islam Para pakar menawarkan beragam rumusan mengenai pendidikan yang pada esensinya dapat dikategorikan pada dua aliran. Pertama, aliran yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses pewarisan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah mapan di masyarakat. Kedua, aliran yang memahami pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan tergalinya sejumlah potensi manusia agar dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hidup mereka. Kedua sudut pandang yang berbeda dalam memahami pendidikan tersebut, masingmasing memiliki implikasi yang luas terhadap pelaksanaan pendidikan di masyarakat. Aliran pertama mengandaikan peserta didik sebagai obyek pasif dalam pendidikan. Sebaliknya, aliran kedua mengasumsikan peserta didik sebagai subyek yang harus terlibat aktif dalam seluruh proses dan tahapan pendidikan. Pendidikan Islam yang diuraikan dalam tulisan ini cenderung mengambil corak aliran kedua karena sejalan dengan filsafat pendidikan Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah fi al-ardh, subyek yang menerima amanah untuk mengelola kehidupan dunia dengan berbasis keimanan kepada Allah swt. Adalah suatu fakta yang tak dapat dibantah bahwa tingkat pendidikan umat Islam, kuhususnya di Indonesia masih sangat rendah, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea. Lebih memprihatinkan lagi bahwa tingkat pendidikan perempuan dan angka partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim masih sangat memprihatinkan. Mengapa ini terjadi? salah satu hipotesa yang dapat dikedepankan adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam pada umumnya masih bersipat tradisional, belum bersifat profesional. Berbicara tentang pengelolaan pendidikan Islam profesional akan membawa kita pada diskusi mengenai sejumlah elemen penting dalam pendidikan. Akan tetapi, dalam tulisan terbatas ini, penulis akan menyoroti tiga elemen dasar, yaitu tujuan pendidikan, materi pendidikan, dan 5 metododologinya. Ketiga elemen dasar tersebut akan diurakan satu persatu dalam uraian berikut. a. Tujuan Pendidikan Islam Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam dipadang sebagai subsistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Pendidikan Islam di Indonesia sangat diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan. Para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa fungsi utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia sehingga membentuk manusia beriman dan berilmu secara seimbang. Perlu diberi catatan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan manusia, sebagaimana yang ingin diwujudkan, baik dalam penyelenggaraan pendidikan nasional terlebih lagi dalam pendidikan Islam hendaknya jangan diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan dan ketakwaan seseorang, misalnya tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang sifatnya legal formal, seperti salat, puasa, rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir, pergi haji dan seterusnya. Lebih fatal lagi kalau diukur dari hal-hal yang bersifat sangat simbolistik, seperti panjangnya janggut bagi laki-laki, panjangnya jilbab buat perempuan, atau seringnya menggunakan label-label syariah dan sebagainya. Sesungguhnya hanya Allah semata yang mengetahui ukuran keimanan dan ketakwaan manusia. Sebab, Dia lah Zat Yang Maha Mengetahui. Keimanan dan ketakwaan manusia tidak dapat diukur secara kasat mata. Akan tetapi, indikasi keimanan dan ketakwaan seseorang terefleksikan pada seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada upaya-upaya berikut: membangun lingkungan yang bersih, baik secara material maupun moral; menolong fakir-miskin; membantu anak-anak dan perempuan terlantar serta kelompok rentan lainnya; mengentaskan kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari semua tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun, termasuk kekerasan yang menggunakan alasan agama sekalipun. Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan hendaknya menyentuh dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri manusia secara bersamaan, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Inilah problemnya, karena dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan 6 Islam pada umumnya baru menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum optimal. Hasilnya seperti yang kita saksikan, yaitu manusia-manusia yang mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau bahkan tidak mampu menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran Islam, apalagi mengimplementasikan pengetahuan keagamaannya itu ke dalam perilaku islami sehari-hari. Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam yang demikian adalah munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum memberikan kontribusi positif bagi bangunan peradaban Islam, belum memberikan solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat. Pendidikan Islam harus mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi. Pendidikan harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka; mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga menjadi lebih empati terhadap sesama, serta lebih peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta; dan mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih santun dan bermoral. Ringkasnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia berbudi-pekerti luhur atau berakhlak mulia. Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu? Paling tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap senantiasa taat dan patuh kepada Allah swt. dengan melakukan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga selalu tergugah untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama manusia tanpa melihat kepada status sosial, warna kulit, suku bangsa, jenis kelamin, dan bahkan tanpa memandang agamanya; dan menyayangi makhluk lain; serta memelihara kelestarian lingkungan. Dengan ungkapan lain, tujuan pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia; menjadikan manusia lebih manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan dan keesaan Tuhan; memiliki empati kepada sesama, serta selalu berpihak kepada kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin), seperti anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan konflik, fakir miskin, para penyandang cacat (disable people), perempuan, buruh kasar, dan orang-orang yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. b. Materi Pendidikan Islam 7 Materi pendidikan Islam, khususnya di perguruan tinggi hendaknya dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama Islam. Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa pada masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat berlangsung sejak awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan keilmuan studi keislaman berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti keilmuan humaniora dan keilmuan sosial dengan fondasi epistemologi dan filsafat keilmuan studi keislaman corak baru. M. Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan spesialisasi keilmuan apa pun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu kaku dan rigid tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman kontemporer. Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup di dalam bilik-bilik sempit epistemologi dan institusi fakultas yang dibangun sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di perguruan tinggi Islam, seperti STAIN. Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak mengenal atau kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syari'ah begitu pula sebaliknya. Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun, seperti keilmuan Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak saling mengenal dan tidak saling menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi umum, seperti MIPA, Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi Islam akan gamang menghadapi realitas kehidupan keilmuan di luar dirinya, dan menjadi kurang percaya diri menghadapi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya. Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer membagi corak epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Corak Epistemologi Bayani didukung oleh pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi Irfani diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu, corak Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi'), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui otoritas teks seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui otoritas intuisi seperti dalam corak Irfani. 8 Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga corak keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi Bayani adalah teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani adalah pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber ilmunya berasal dari realitas (al-waqi'). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan dari ketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolok ukur validitas keilmuan masing-masing. Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru mendasarkan tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang, yang tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati. Berbeda dengan tolok ukur kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan pada korespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal manusia dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi atau keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus demi memperbaiki dan menyempurnakan teori-teori yang telah dibangun dan dikonstruksikan oleh akal manusia. Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir seluruh materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN, IAIN, STAIN, maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta. Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantrenpesantren juga secara dominan menggunakan model Bayani. Masalahnya, penggunaan model Bayani itu bersifat hegemonik sehingga menafikan keberadaan dan kehadiran kedua corak pemikiran keislaman lainnya, yaitu Irfani, dan Burhani. Akibat dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam pendidikan Islam terlihat perilaku keberagamaan masyarakat umumnya sangat rigid dan kaku. Mereka kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual. Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir model tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual. Oleh karena itu, sudah waktunya merumuskan kembali bangunan materi pendidikan dan keilmuan Islam dengan mempertimbangkan ketiga corak epistemologi tadi: epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani. c. Metodologi Pendidikan Islam 9 Kritik terhadap metodologi pendidikan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, antara lain bahwa pelaksanaannya sangat didominasi oleh sikap pendidik yang monolog dan banyak bicara. Materi dan bahan ajar yang digunakan pun sangat tekstual, peserta didik lebih diarahkan kepada kemampuan menghafal, bukan diarahkan pada kemampuan berfikir kritis dan analitis. Konsekuensinya, peserta didik lebih banyak dijejali materi dari teks-teks yang digunakan para pendidik, sedikit sekali kesempatan mengeksplorasi kemampuan kritis mereka. Mereka hanya mendapatkan informasi secara tekstual dari buku teks yang diwajibkan dan sudah tentu sangat terbatas jumlah dan ragamnya. Akibatnya, peserta didik dijauhkan dari lingkungan keseharian mereka yang justru merupakan sumber belajar yang sangat kaya. Kritik yang sama juga ditujukan kepada pelaksanaan pendidikan Islam di perguruan tinggi. Mahasiswa umumnya diarahkan menguasai teks yang lepas dari pengalaman mereka. Materi pendidikan yang disajikan di ruang kuliah sangat berbeda dengan realitas sosiologis di masyarakat. Pendidikan tidak membuat mahasiswa berempati dan peka terhadap lingkungan di mana mereka hidup; tidak membuat mereka menjadi empati terhadap persoalan kemanusiaan yang bergumul di sekitar mereka. Pendidikan tidak menjadikan mahasiswa tergugah nuraninya dan kemudian aktif mencari solusi terhadap pelbagai problem sosial yang terjadi di sekitarnya, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, perilaku konsumeristik dan hedonistik, perilaku kekerasan, termasuk kekerasan atas dalil membela agama, bahaya narkoba, HIV/Aids, minuman keras, perjudian, perkosaan, pornografi, perdagangan anak dan perempuan, perkelahian, penipuan, dan pelacuran. Beranjak dari tujuan pendidikan yang menekankan pada dua aspek sekaligus: ruhani dan jasmani manusia, maka pilihan metode dalam pendidikan Islam, khususnya tingkat perguruan tinggi lebih fokus kepada upaya penggalian pengalaman konkret mahasiswa untuk kemudian dikembangkan melalui kemampuan analisis sosial, analisis yang kritis dan rasional. Pengajaran tentang fikih, misalnya tidak lagi disampaikan secara monolog dan hanya berpegang pada buku teks yang ada, melainkan diberikan dalam bentuk dialog dengan mengangkat kasus-kasus yang riil dan aktual di masyarakat. Dengan demikian mahasiswa dapat memahami isu-isu fikih aktual yang berkembang di sekitar mereka dan bagaimana mencari solusi yang humanis dan efektif bagi pemecahannya dengan berpedoman pada Qur`an dan Sunnah atau beranalog pada hasil ijtihad para ulama sebelumnya. Metode ini lebih menekankan pada partisipasi aktif mahasiswa sehingga terpacu untuk menggali segenap potensi atau pengalaman yang ada 10 dalam diri mereka untuk kemudian disampaikan di dalam kelas di hadapan dosen dan sesama mahasiswa lalu didiskusikan secara terbuka dan demokratis. Dosen hanya memfasilitasi agar diskusi berjalan efektif dan tiba pada kesimpulan yang memuaskan semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar tersebut. Pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada pendidikan yang demokratik. Sejumlah pakar pendidikan, seperti Freire menandaskan bahwa pertumbuhan daya intelektual seseorang hanya dapat berjalan dengan baik manakala ia diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan opini dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak akan terbangun intelektual tanpa membebaskan pikiran manusia dari berbagai bentuk kungkungan, pembatasan dan penjajahan. Ciri utama pendidikan demokratik adalah mengikutsertakan seluruh pelaku pendidikan: dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proses pendidikan tersebut. Para mahasiswa sesungguhnya memiliki obyek dan persoalan yang ingin mereka pelajari karena dalam hidup kesehariannya mereka menemukan persoalan-persoalan hidup yang membutuhkan solusi. Akan tetapi, pendidikan selama ini hampir selalu menempatkan mahasiswa sebagai obyek, belum sebagai subyek. Dalam banyak proses belajar, mahasiswa hampir tidak pernah menentukan sendiri apa yang ingin diperbuat atau apa yang diingin diraih berkaitan dengan pendidikan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu, pendidikan Islam hendaknya menfasilitasi mahasiswa secara demokratis untuk mengenali sendiri kebutuhan mereka dan problem yang mereka hadapi serta membantu mereka memecahkan persoalan mereka secara mandiri. Dengan ungkapan lain, melalui pendidikan mahasiswa dilatih hidup secara demokratis, bisa menerima dan memberikan pendapat, bisa berbeda pendapat dengan orang lain tanpa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Menghargai orang lain tanpa mengorbankan prinsip diri sendiri. Pendidikan Islam hendaknya bersifat membebaskan. Memposisikan mahasiswa sebagai subyek berarti membebaskan mereka dari belenggu dan ikatan seperti dialami selama ini dalam hampir setiap aktifitas pendidikan. Tentu disertai dengan tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa batas. Pendidikan dengan demikian dirasakan tidak membelenggu, melainkan membebaskan. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagi wadah kosong yang dapat diisi apa saja dalam oleh para pendidiknya. Bentuk penyelenggaraan pendidikan selalu mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa karena itu selalu ada upaya melakukan need assesment. Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan dan bukan kewajiban. Pendidikan yang membebaskan hanya dapat diwujudkan melalui aktualisasi para mahasiswa dalam proses 11 belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat dikontrol benar dan salahnya, baik dan tidaknya dan dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai untuk kehidupannya nanti. Pendidikan Islam hendaknya bersifat konstruktif. Pendidikan Islam, terutama di pesantren dan madrasah sangat menekankan pada kemampuan menghafal, bukan kemampuan memahami. Sementara dalam pendidikan modern dikenal suatu pola yang disebut pendidikan yang konstruktif. Pola ini berkaitan dengan upaya pengembangan konseptual dan dimaksudkan agar mahasiswa mampu menyusun konsep sendiri. Kemampuan ini sangat penting dalam membentuk manusia yang inovatif, kreatif, dan mandiri, bukan manusia yang cuma tahu menghafal dan taqlid buta pada pendapat ulama sebelumnya. Pendidikan konstruktif merupakan proses pembelajaran induktif yang berati mengangkat tinggi nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan konseptual. Pendidikan harus mampu membuat mahasiswa memahami dengan baik materi yang dipelajarinya untuk kemudian berani mengkonstruksikan apa yang dipahaminya itu dalam bahasanya sendiri, atau bahkan mampu melahirkan teori baru yang diharapkan berguna bagi perkembangan keilmuan dan bangunan peradaban manusia. Terakhir, pendidikan hendaknya bersifat humanis, yakni berorientasi kepada kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan pendidik. Menurut Freire, pendidikan yang memperhatikan keperluan mahasiswa atau yang memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) adalah pendidikan yang humanis. Pendidikan bercorak humanis memberikan kebebasan seluasluasnya kepada mahasiswa untuk berfikir rasional dan kritis, namun tetap dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan. Koridornya adalah penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, semakin kita memahami kewajiban menghargai dan memenuhi hak-hak asasi manusia, semakin kita sadar dan bertanggungjawab untuk membatasi kebebasan diri kita sendiri. Perlunya Reformasi Ilmu dan Pendidikan Islam Reformasi ilmu dan pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada empat paradigma berikut. Pertama, reformasi ilmu dan pendidikan Islam diarahkan kepada pendidikan yang demokratik. Sejumlah pakar pendidikan, seperti Freire menandaskan bahwa pertumbuhan daya intelektual seseorang hanya dapat berjalan dengan baik manakala ia diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan opini dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak akan terbangun intelektualitas tanpa membebaskan 12 pikiran manusia dari berbagai bentuk kungkungan, pembatasan dan penjajahan. Kedua, ilmu dan pendidikan Islam hendaknya bersifat membebaskan. Memposisikan mahasiswa sebagai subyek berarti membebaskan mereka dari belenggu dan ikatan seperti dialami selama ini dalam hampir setiap aktifitas pendidikan. Tentu disertai dengan tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa batas. Pendidikan dengan demikian dirasakan tidak membelenggu, melainkan membebaskan. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagi wadah kosong yang dapat diisi apa saja dalam oleh para pendidiknya. Bentuk penyelenggaraan pendidikan selalu mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa karena itu selalu ada upaya melakukan need assesment. Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan dan bukan kewajiban. Pendidikan yang membebaskan hanya dapat diwujudkan melalui aktualisasi para mahasiswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat dikontrol benar dan salahnya, baik dan tidaknya dan dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai untuk kehidupannya nanti. Ketiga, ilmu dan pendidikan Islam hendaknya bersifat konstruktif. Pendidikan Islam, terutama di pesantren dan madrasah sangat menekankan pada kemampuan menghafal, bukan kemampuan memahami. Sementara dalam pendidikan modern dikenal suatu pola yang disebut pendidikan yang konstruktif. Pola ini berkaitan dengan upaya pengembangan konseptual dan dimaksudkan agar mahasiswa mampu menyusun konsep sendiri. Kemampuan ini sangat penting dalam membentuk manusia yang inovatif, kreatif, dan mandiri, bukan manusia yang cuma tahu menghafal dan taqlid buta pada pendapat ulama sebelumnya. Pendidikan konstruktif merupakan proses pembelajaran induktif yang berati mengangkat tinggi nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan konseptual. Pendidikan harus mampu membuat mahasiswa memahami dengan baik materi yang dipelajarinya untuk kemudian berani mengkonstruksikan apa yang dipahaminya itu dalam bahasanya sendiri, atau bahkan mampu melahirkan teori baru yang diharapkan berguna bagi perkembangan keilmuan dan bangunan peradaban manusia. Keempat, pendidikan hendaknya bersifat humanis, yakni berorientasi kepada kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan pendidik. Menurut Freire, pendidikan yang memperhatikan keperluan mahasiswa atau yang memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) adalah pendidikan yang humanis. Pendidikan bercorak humanis memberikan kebebasan seluasluasnya kepada mahasiswa untuk berfikir rasional dan kritis, namun tetap dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan. Koridornya adalah 13 penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, semakin kuat upaya seseorang menghargai dan memenuhi hak-hak orang lain, semakin kuat pula kesadaran dan tanggungjawabnya untuk tidak berbuat semena-mena, termasuk kesadaran untuk membatasi kebebasan diri sendiri. Penutup dan Rekomendasi Sebagai penutup, saya merekomendasikan tiga aksi konkret untuk upaya reformasi dan pembaruan ilmu dan pendidikan Islam di masa depan sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat umat Islam menuju baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Ketiga aksi dimaksud adalah upaya-upaya rekonstruksi budaya, revisi peraturan dan perundang-undangan, serta reinterpretasi ajaran agama. Upaya-upaya rekonstruksi budaya perlu dilakukan melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, mencakup pendidikan informal dalam keluarga, pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non-formal di masyarakat sehingga terbangun budaya damai, gemar membaca, cinta ilmu, dan senang berkarya. Upaya ini harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga. Keluarga harus mampu menanamkan kepada seluruh anggotanya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, rasa empati, respek dan kepedulian kepada sesama serta kecintaan terhadap lingkungan. Upaya merevisi peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi pelaksanan pendidikan merupakan agenda yang harus dicermati oleh semua pihak atau merumuskan peraturan baru yang memihak pada kemajuan lembaga pendidikan Islam. Terakhir, upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama ke arah pemahaman yang inklusif, toleran, humanis dan ramah kepada perempuan menjadi catatan yang sangat penting dalam membangun suasana pendidikan Islam yang humanis, demokratik, dan membebaskan. Melalui lembaga pendidikan Islam inilah diharapkan komunitas Islam Indonesia dapat mewujudkan SDM yang berkualitas yang pada gilirannya akan mempromosikan ajaran Islam yang ramah dan sejuk serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan sehingga pada akhirnya Islam sungguh-sungguh menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a'lam bi as-shawab. 14 DAFTAR BIBLIOGRAFI Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. -----------------------, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. Al-Ghazaly, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl al-Fiqh wa ahl alHadist, Dar al-Syuruq, Beirut, 1989. Al-Jabiri, Muhammad Abid, Al-Aql al-Siyasy al-Araby: Muhaddidatuh wa Tajalliyatuh, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby, Beirut, 1991. ------------------------------, Taqwin al-Aql al-Araby, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby, Beirut, 1990. Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, Syracuse University, New York, 1990. ----------------------------, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995. Arkoun Mohammed, Rethinking Islam Today, Center for Contemporary Arab Studies, Washington, 1987. Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Tourchbooks, New York, 1996. Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago, Chicago, 1988. 15 Boullata Issa J. (Ed.), Anthology of Islamic Studies, McGill Indonesian IAIN Development Project, Montreal, 1992. EL Fadl, Khaled Abou, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women, One World Publications, Oxford, 2001. Esack, Farid, Qur'an, Liberation & Pluralism, One World Publications, Oxford, 1997. Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2004 Khallâf, 'Abd al-Wahhâb, 'Ilm Ushûl al-Fikih, cet. 12, Dâr al-Qalam, Mesir, 1978. Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, (terjemahan) Beacon Press, Boston, 1971. Hidayat, Komaruddin, Problem &Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Departemen Agama, Jakarta, 2000. Mulia, Siti Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 2000. ------------------------, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan Sebagai Profesor Riset), Departemen Agama, Jakarta, 1999. ------------------------, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005 ------------------------, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung. ------------------------(Ed.), Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI, Departemen Agama, Tim Pengarusutamaan Gender, Jakarta, 2004 (naskah belum dipublikasikan). Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995. Peretz, Don, The Middle East Today, Praeger, New York. Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988. Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan oleh Hasan Langgulung), Bulan Bintang, Jakarta, 1979.